Pages

Ambillah Pelajaran Ayyuhal Ikhwah

KOREKSI TERHADAP JAMA’AH-JAMA’AH ISLAMIYIN  بسم الله الرحمن الرحيم
Adapun metode kaum muslimin dalam mengadakan perubahan adalah jelas yaitu bukan dengan cara demokrasi yang syirik, akan tetapi dengan metode Nabi SAW yang dimulai dengan dakwah : Berdakwah yang terbuka di masjid-masjid dan tempat-tempat pertemuan yang lainnya serta berdakwah secara pribadi disetiap tempat yang memungkinkan baik siang maupun malam, terang-terangan maupun sembunyi. Semua ini dimulai dari keluarga terdekat dengan cara menyampaikan kebenaran dengan terang-terangan dan memberitahukan orang-orang yang terjerumus kedalam kekafiran bahwa mereka adalah kafir dan kita berlepas diri dari mereka serta kekafiran mereka, bagi mereka agama mereka dan bagi kita agama kita, Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ….. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (Muhammad) : “Hai orang-orang yang kafir,…. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.(QS.Al Kafiruun : 1-6)Dan Firman Allah :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Mumtahanah : 4)

Dan yang termasuk orang-orang yang kafir adalah orang-orang yang menjalankan hukum berdasarkan undang-undang positif seperti para hakim dan orang-orang yang seperti mereka, dan orang-orang yang berperan serta dalam menyelenggarakan demokrasi, seperti tokoh-tokoh partai politik, anggota-anggotanya, anggota parlemen dan orang-orang yang memilih mereka, dan yang termasuk orang kafir juga adalah para tentara yang membela sistem kafir tersebut dengan jiwa raga mereka dan juga orang-orang yang membelanya dengan lisan-lisan dan pena-pena mereka, maka mereka semua adalah kafir dan hal ini wajib dikatakan kepada mereka siapa tahu mereka atau sebagian dari mereka bertaubat, sampai terjadi pemisahan barisan. Dan terus berlanjut dakwah dengan berbagai macam sarana yang disyari’atkan hingga terbentuk jama’ah yang kuat dari kaum muslimin yang mampu untuk melakukan perubahan terhadap sistem kafir yang berkuasa, dan mampu untuk berhukum dengan hukum Islam apabila Allah memberikan kemenangan bagi jama’ah tersebut. Dan tergesa-gesa dalam melaksanakan hal ini akan mengakibatkan kerugian yang banyak, para fuqoha berkata :”Barangsiapa yang tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu sebelum datang waktunya maka akan dihukum dengan kegagalan”, Dan mereka berkata :”Tergesa-gesa adalah sebab kegagalan” (Al Jami’ fi Tholabil ‘ilmisy Syariif, XII/112)

KOREKSI TERHADAP JAMA’AH-JAMA’AH ISLAMIYIN   بسم الله الرحمن الرحيم

Adapun metode kaum muslimin dalam mengadakan perubahan adalah jelas yaitu bukan dengan cara demokrasi yang syirik, akan tetapi dengan metode Nabi SAW yang dimulai dengan dakwah : Berdakwah yang terbuka di masjid-masjid dan tempat-tempat pertemuan yang lainnya serta berdakwah secara pribadi disetiap tempat yang memungkinkan baik siang maupun malam, terang-terangan maupun sembunyi. Semua ini dimulai dari keluarga terdekat dengan cara menyampaikan kebenaran dengan terang-terangan dan memberitahukan orang-orang yang terjerumus kedalam kekafiran bahwa mereka adalah kafir dan kita berlepas diri dari mereka serta kekafiran mereka, bagi mereka agama mereka dan bagi kita agama kita, Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ….. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (Muhammad) : “Hai orang-orang yang kafir,…. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku”.(QS.Al Kafiruun : 1-6)
Dan Firman Allah :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Mumtahanah : 4)
Dan yang termasuk orang-orang yang kafir adalah orang-orang yang menjalankan hukum berdasarkan undang-undang positif seperti para hakim dan orang-orang yang seperti mereka, dan orang-orang yang berperan serta dalam menyelenggarakan demokrasi, seperti tokoh-tokoh partai politik, anggota-anggotanya, anggota parlemen dan orang-orang yang memilih mereka, dan yang termasuk orang kafir juga adalah para tentara yang membela sistem kafir tersebut dengan jiwa raga mereka dan juga orang-orang yang membelanya dengan lisan-lisan dan pena-pena mereka, maka mereka semua adalah kafir dan hal ini wajib dikatakan kepada mereka siapa tahu mereka atau sebagian dari mereka bertaubat, sampai terjadi pemisahan barisan. Dan terus berlanjut dakwah dengan berbagai macam sarana yang disyari’atkan hingga terbentuk jama’ah yang kuat dari kaum muslimin yang mampu untuk melakukan perubahan terhadap sistem kafir yang berkuasa, dan mampu untuk berhukum dengan hukum Islam apabila Allah memberikan kemenangan bagi jama’ah tersebut. Dan tergesa-gesa dalam melaksanakan hal ini akan mengakibatkan kerugian yang banyak, para fuqoha berkata :”Barangsiapa yang tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu sebelum datang waktunya maka akan dihukum dengan kegagalan”, Dan mereka berkata :”Tergesa-gesa adalah sebab kegagalan” (Al Jami’ fi Tholabil ‘ilmisy Syariif, XII/112)
Faedah : Pembahasan tentang cara merubah system pemerintahan Kafir.
Allah Ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu
(QS. Al Maaidah : 3)
Ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa Islam adalah nikmat dari Allah Ta’ala bahkan ia merupakan nikmat yang paling besar dan paling agung. Dan bagian seorang hamba dalam mendapatkan nikmat ini sesuai dengan kualitas Islamnya dan pelaksanaan dia terhadap syari’at-syari’atNya, dan nikmat yang didapatkan oleh ummat ini sesuai dengan andil ummat dalam melaksanakan Syari’at Islam.
Ini artinya bahwa hilangnya hukum Islam dari negeri kaum muslimin dan berkuasanya hukum-hukum kafir sebagai penggantinya adalah disebabkan kekurangannya dalam mengamalkan dinul Islam dan kekurangan dari nikmat Allah Ta’ala ini selamanya tidak akan terjadi kecuali apabila kaum muslimin melakukan kerusakan yang mencapai pada batas yang menyebabkan seperti ini. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian (siksaan) itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al Anfaal : 53)
Dan Firman Allah :
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).(QS. Asy Syuro : 30)
Bersamaan dengan terjadinya musibah ini, yaitu hilangnya hukum Islam dari kaum muslimin dan berkuasanya hukum kafir di negara Islam yang ditandai dengan runtuhnya khilafah Islam, kaum muslimin secara individu maupun berjama’ah berusaha untuk menyelesaikan masalah ini. Maka banyak jama’ah-jama’ah yang berusaha menegakkan kembali khilafah dan menegakkan hukum Islam, namun belum ada yang ditakdirkan untuk mendapatkan kemenangan dan keberhasilan satupun diantara jama’ah tersebut, hal ini pasti kembali kepada kekurangan dalam keimanan. Allah Ta’ala berfirman :
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ
“..Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”
(QS.Ar Ruum : 47)
Dan janji Allah itu pasti benar, sehingga apabila belum datang kemenangan itu menunjukkan akan kurangnya iman dan hamba itu belum memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan kemenangan. Dan kekurangan itu bisa jadi berkenaan dengan amal dlohir yaitu mengikuti syari’at atau berkenaan dengan amal batin, dan yang paling pokok adalah keikhlasan. Allah Ta’ala berfirman :
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
(QS. Al Kahfi : 110)
Ayat ini mengandung dua syarat diterimanya amal yaitu sesuai dengan syari’at (فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا ) “hendaknya mengerjakan amal shaleh”, dan ikhlash
(وَلَا يُشْرِكْ ) “dan jangan menyekutukan”.
Disini saya tidak bermaksud mengkritik secara keseluruhan, akan tetapi saya akan menyinggung beberapa bentuk kekurangan dalam beramal Islami, dari apa yang saya alami dan dialami oleh banyak orang selain saya, dan berbagai macam bentuk kekurangan ini terpulang bisa kepada kurangnya dalam mengikuti kebenaran atau kepada kurangnya keikhlasan, dan keduanya adalah bentuk kekurangan iman yang menyebabkan kegagalan.
Yang pertama : Termasuk kekurangan adalah : Tergesa-gesa dalam beramal Islami. Tergesa-gesa adalah penyebab kegagalan, sebagaimana para fuqoha berkata :”Barang siapa yang tergesa-gesa dalam melakukan suatu amal maka ia akan dihukum dengan kegagalan”. Dan diantara bentuk ketergesaan adalah :
1. Menempuh jalan demokrasi yang dikira bahwa itu merupakan jalan yang paling cepat dalam melakukan perubahan
2. Melakukan persekutuan dengan pihak-pihak kafir – baik negara-negara atau partai-partai sekuler – padahal Rasulullah SAW bersabda :
إنى لأ استعين بمشرك . رواه مسلم.
“Sesungguhnya aku tidak akan meminta pertolongan kepada orang musyrik” (HR. Muslim)
3. Berkumpul tidak diatas suatu manhaj : seperti dibentuknya beberapa jama’ah dengan mengumpulkan anggotanya tanpa manhaj atau diatas prinsip-prinsip yang umum, yang mengandung banyak penafsiran yang bertentangan. Untuk menyesuaikan diri dengan perubahan politik. Dan untuk merekrut jumlah anggota yang banyak dari berbagai kalangan yang berbeda-beda. Jama’ah-jama’ah ini lebih mirip dengan partai politik dari pada jama’ah diniyyah. Ini semua menyelisihi manhaj Nabi SAW dan seluruh para Nabi ‘alaihis salam. Sesungguhnya kebenaran itu harus dijelaskan walaupun tidak diikuti oleh seorangpun dan tidak boleh disembunyikan, diselewengkan dan dicampur adukkan dengan kebatilan, hanya untuk memperbanyak pengikut. Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu..” (QS. Al Maaidah :100)
Dan seorang da’i itu bertanggung jawab dihadapan Allah terhadap perkataan yang benar bukan terhadap jumlah pengikutnya. Nabi SAW telah bersabda :
عرضت علي الأمم فرأيت النبي ومعه الرهيط والنبي معه الرجل والرجلان والنبي ليس معه أحد
“Dinampakkan padaku ummat-ummat, maka aku melihat Nabi bersama sekelompok orang, dan Nabi bersama seorang atau dua orang, dan Nabi tidak bersama seorangpun”
(HR. Muttafaqun ‘alaih)
Nabi ini tidak diikuti oleh seorangpun dari kaumnya, dan ini tidak membahayakannya selama telah tersampaikan kebenaran yang dia bawa.
4. Tergesa-gesa dalam menulis buku dan membuat manhaj bagi jama’ah sebelum memiliki kemampuan yang cukup didalam hal itu. Maka keluarlah buku-buku dan manhaj-manhaj yang mengandung berbagai macam penyelewengan-penyelewengan aqidah dan keanehan-keanehan dalam hukum. Dan hal ini telah saya sebutkan pada akhir pembahasan masalah aqidah, contoh-contoh seperti itu sampai-sampai anda dapatkan sebuah jama’ah atau ada beberapa jama’ah yang tujuannya satu namun manhajnya jelas-jelas bertentangan, padahal kebenaran itu satu, tidak bermacam-macam dan tidak saling bertentangan. Dan tidaklah terjadi perbedaan kecuali disebabkan rusaknya manhaj yang dibuat secara tergesa-gesa dengan begitu anda dapatkan :
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“Setiap kelompok membanggakan diri dengan apa yang mereka miliki”
5. Mengangkat pemimpin yang bodoh, padahal semuanya ingin berusaha menuju kepada khilafah rasyidah, dan khilafah itu tidak akan diwujudkan oleh para pemimpin yang bodoh terhadap ilmu syari’ah, Rasulullah SAW, telah bersabda :
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء بعلماء الشريعة حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأتوا بغير علم فضلوا وأضلوا .متفق عليه.
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dari hambanya, namun mencabut ilmu itu dengan mematikan para ulama (ulama syari’at) hingga apabila tidak ada lagi orang yang berilmu, maka manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh, kemudian mereka ditanya, lalu berfatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan”
(HR. Muttafaqun ‘alaih)
Maka pemimpin yang bodoh tidak bisa menegakkan khilafah rasyidah, bahkan mereka tidak mendatangkan kecuali kesesatan sebagaimana yang terdapat dalam hadits ini. Telah kulihat beberapa pemimpin jama’ah melarang anggotanya untuk membaca buku-buku salaf, saya melihat juga lainnya, melarang para pengikutnya untuk membaca buku-buku dakwah najdiyah karena dianggap bahwa buku itu berpaham takfir, inilah beberapa bentuk kesesatan yang disebutkan dalam hadits diatas. Saya melihat yang lainnya berbuat berdasarkan pendapat-pendapat akal mereka, kemudian mereka membuat-buat pembahasan syar’i agar dapat membenarkan perbuatan mereka. Dan saya melihat beberapa jama’ah yang dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang bodoh, sedangkan diantara pengikutnya ada yang mempunyai sedikit ilmu syar’i, mereka diangkat sebagai mufti yang pekerjaannya adalah membuat fatwa syar’i yang membenarkan kegiatan-kegiatan para pemimpin mereka. Dan mereka juga memiliki fatwa-fatwa yang saling bertentangan dalam suatu permasalahan sesuai dengan petunjuk para pemimpin mereka dan hawa nafsunya. Mereka mirip sekali dengan mufti yang diangkat oleh para penguasa thoghut.
6. Mengangkat pemimpin yang masih kanak-kanak dan masih muda. Itu adalah termasuk penyebab-penyebab terjadinya fitnah dan perselisihan, maka dari itu Al Bukhori membuat bab tersendiri dalam kitab Al Fitan dalam shohihnya. Dalam Bab (Sabda Nabi yang berbunyi “hancurnya umatku melalui tangan anak kecil yang bodoh”).
Ibnu Hajar berkata dalam menjelaskan hadits ini (Ibnu Bathol berkata) : yang dimaksud dengan kehancuran oleh Ibnu Ma’bad dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan lain dari Abu Hurairoh yang dimarfu’kan :
أعوذ بالله من إمارة الصبيان. قالوا وما إمارة الصبيان؟ قال إن أطعتموهم هلكتهم – أي في دينكم – وإن عصيتموهم أهلكوكم
“Aku berlindung dari kepemimpinan anak kecil, mereka bertanya apa yang dimaksud dengan kepemimpinan anak kecil ?, beliau menjawab: apabila kamu mentaati mereka maka kamu akan binasa – yang dimaksud adalah diin kamu – dan apabila kamu menentangnya maka kamu akan dibinasakan mereka”
Yang dimaksud adalah dunia kamu dengan cara menghabisi nyawamu atau mengambil hartamu atau kedua-duanya (Fathul Bari, XIII / 10). Dan Nabi menyebutkan ciri-ciri orang khowarij bahwa mereka adalah
(حدثاء الاسنان) orang-orang yang masih kecil, artinya umurnya masih muda.
7. Berdakwah dengan cara terbalik. Nabi memulai dengan dakwah dan membedakan kebenaran dari kebathilan serta memisahkan orang-orang mukmin dari orang-orang kafir, sampai-sampai orang-orang kafir berkata bahwa Nabi SAW memisahkan antara bapak dengan anaknya dan antara suami dengan istrinya, nabi juga memulai dengan beradu argumentasi dengan orang-orang kafir dan membantah syubhat-syubhat serta kebathilan-kebathilan mereka, maka beliaupun diikuti oleh orang-orang yang mengikutinya berdasarkan ilmu terhadap apa-apa yang didakwahkannya, dan ditentang oleh orang-orang yang menentang berdasarkan ilmu juga. Lalu beliau menanamkan keimanan didalam jiwa pengikutnya lalu beliau mencari pertolongan dan dukungan, kemudian memulai peperangan dengan musuh-musuh Allah.
Sedangkan pada masa sekarang ini dilaksanakan dengan cara terbalik, yang dimulai peperangan sebelum menanamkan iman dan sebelum menyebarkan dakwah serta sebelum memahami mana yang haq dan mana yang bathil. Maka dari itu jangan heran apabila kamu melihat beberapa jama’ah Islamiyyah mencari dalil syar’i, sedang ia didalam penjara, terhadap apa yang dilakukan sebelumnya lalu terjadilah pertentangan pandangan, kemudian manusia saling mengkafirkan sebagian terhadap sebagian yang lainnya dan membid’ahkan sebagian dengan sebagian yang lainnya. Ini semua dampak dari ketergesaan yang merupakan penyebab kegagalan dan penyesalan.
8. Tergesa-gesa untuk mengadakan konfrontasi senjata melawan pemerintah kafir sebelum melakukan persiapan yang mencukupi yang kadang-kadang ketergesaan ini mengakibatkan kehancuran. Dalam hal ini yang menjadi kewajiban syar’i bukan hanya membuat kerusakan terhadap pemerintah kafir sehingga mengorbankan beberapa puluh orang dari kaum muslimin walaupun pengerusakan itu sendiri termasuk amal shaleh, sebagaimana firman Allah :
وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“…dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh…”(QS. At Taubah : 120)
Namun yang wajib itu adalah mengganti pemerintahan ini dan menggulingkannya kemudian menegakkan pemerintahan Islam, tidak hanya sekedar merusak saja.
Hal itu sebagaimana firman Allah :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah..”(QS. Al Anfaal :39)
Tergesa-gesa dalam mengangkat senjata ini bersumber pada beberapa sebab diantaranya :
A. Tidak memahami perbedaan antara mengimani suatu kewajiban dan kemampuan untuk melaksanakannya. Sesungguhnya beriman dengan kewajiban jihad melawan pemerintah ini wajib hukumnya berdasarkan dalil-dalil yang telah kami kemukakan, akan tetapi melaksanakan kewajiban ini selain memerlukan ilmu dan iman juga memerlukan kemampuan untuk melaksanakannya, seperti haji, zakat, dan ibadah lainnya : Iman kepadanya adalah wajib, akan tetapi dalam melaksanakannya tergantung pada kemampuan, apabila benar-benar tidak mampu maka kewajibannya gugur dan :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Tidaklah Allah membebani kecuali sesuai dengan kemampuannya”
Namun khusus dalam masalah jihad, wajib melakukan I’dad ketika dalam keadaan lemah, ini berdasarkan nash yang berkenaan dengan masalah ini yaitu firman Allah :
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لَا يُعْجِزُونَ(59)وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ
“Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah). Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi..” (QS. Al Anfaal : 59-60)
Ibnu Taimiyyah berkata :”Ayat-ayat tersebut merupakan kewajiban orang-orang mukmin yang lemah yang tidak mampu membela Allah dan RasulNya dengan tangannya atau dengan lisannya, sehingga dia hanya melakukan apa yang dia mampu seperti dengan hati atau yang lainnya. Dan ayatush shoghor (ayat-ayat yang memerintahakan untuk menghinakan) terhadap orang-orang kafir yang berdamai adalah kewajiban orang-orang mukmin yang kuat yang mampu melakukan pembelaan terhadap Allah dan RasulNya dengan tangan atau lisannya. Ayat-ayat semacam inilah yang dilaksanakan oleh kaum muslimin pada akhir hidup Rasulullah SAW, dan pada masa khulafaur Rasyidin, dan akan senantiasa dilaksanakan sampai hari kiamat. Dan akan senantiasa ada satu kelompok dari umat ini yang tegak diatas kebenaran yang membela Allah dan RasulNya dengan pembelaan yang maksimal. Maka apabila orang-orang beriman berada disuatu tempat atau disuatu masa, ia dalam keadaan tertindas dan lemah, maka hendaknya ia mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk bersabar, berlapang dada dan memaafkan terhadap orang-orang yang mencela Allah dan RasulNya dari kalangan ahlul kitab dan orang-orang musyrik. Adapun orang-orang yang kuat, mereka harus mengamalkan ayat-ayat yang memerintahkan untuk memerangi aimmatul kufri (para pemimpin kekafiran) yang mencela agama, dan juga mengamalkan ayat yang memerintahkan untuk memerangi ahlul kitab sampai mereka mau membayar jizyah dalam keadaan hina”. (Ash shorimul Maslul, hal. 221)
Dan Beliau berkata juga :”Kemashlahatan dalam hal itu bermacam-macam, kadang-kadang mashlahat syar’i itu terdapat pada peperangan, kadang-kadang yang mashlahat itu adalah melakukan perjanjian damai dan kadang-kadang mashlahat itu adalah menahan diri dan bersiap-siap tanpa harus dengan mengadakan perjanjian damai” (Majmu’ Fatawa, XV/174)
Dan dalam perkataan yang berkenaan dengan dengan Saddudz dzaro’i, Ibnul Qoyyim ra, berkata :”Sesungguhnya Allah Ta’ala melarang orang-orang di Makkah untuk melakukan perlawanan dengan tangan dan memerintahkan untuk memaafkan dan berlapang dada, supaya perlawanan mereka tidak menyebabkan terjadinya kerugian yang lebih besar dari pada kedzoliman yang ditanggung. Sedangkan menjaga jiwa dan diin mereka lebih utama dari pada perlawanan dan konfrontasi” (I’lamul Muwaqi’in, III/150).
Alhasil harus dibedakan antara iman dengan wajib dan kemampuan untuk melaksanakannya.
B. Kadang-kadang yang menyebabkan tergesa-gesa untuk mengadakan konfrontasi adalah keinginan yang kuat untuk mendapatkan kemenangan, dan ini bukanlah tanggung jawab individu kaum muslimin, namun merupakan tanggung jawab kaum muslimin secara menyeluruh, kemenangan itu bukan merupakan tanggung jawab individu atau jama’ah tertentu akan tetapi merupakan tanggung jawab seluruh kaum muslimin, sedangkan tiap individu wajib untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya dan ia akan mendapatkan pahala yang sempurna disisi Allah sesuai dengan usahanya walaupun belum mencapai kepada tujuannya, sebagaimana firman Allah :
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah”.
(QS. An Nisaa’ : 100)
Untuk itu Allah berfirman :
وَمَنْ يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar”.(QS. AnNisaa’ : 74)
Bagi seorang Mujahid dia akan mendapatkan pahalanya, sama saja dia terbunuh atau menang, sedangkan meraih kemenangan dan keberhasilah itu kewajiban bagi seluruhnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah”.(QS. Al Anfaal : 39)
Maka wajib untuk terus berusaha dengan berbagai macam usaha sampai tercapai kemenangan yang sempurna untuk diin Allah.
C. Kadang-kadang sebab tergesa-gesa dalam melakukan konfrontasi adalah taat kepada amir yang memerintahkan untuk itu, dan meniru keberhasilan perang yang pernah terjadi dinegeri lain yang keadaannnya berbeda dengan negerinya sehingga keberhasilan tidak dapat diraih. Disini apabila para pengikut bersepakat bahwa tidak ada kebaikannya dalam konfrontasi maka wajib bagi mereka untuk tidak mentaatinya, Muhammad bin hasan Asy Syaibani berkata didalam (bab hal-hal yang wajib ditaati dan hal-hal yang tidak wajib) :”Apabila mereka berpendapat jika mentaatinya mereka akan binasa, maka perintahnya kepada mereka seperti itu berarti sengaja untuk membinasakan dan merendahkan mereka, dan Allah mencela ketaatan seperti itu, Allah berfirman :
فَاسْتَخَفَّ قَوْمَهُ فَأَطَاعُوهُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Maka Fir`aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (QS. Az Zukhruf : 54) (Kitab As Sairul Kabir I/166)
D. Kadang-kadang penyebab tergesa-gesa melakukan konfrontasi adalah mengikuti pengalaman perang yang sukses disuatu negara. Dinegara lain berbeda kondisinya dengan negara yang pertama, sehingga ia tidak meraih kesuksesan. Pendapat disini : bahwa uslub (cara-cara) perubahan yang sesuai disuatu negara itu adalah metode yang telah dicoba dan sukses sebelumnya, ini yang seharusnya diikuti dengan dimasukkan perbandingan (penyeimbang) yang sesuai dengan perubahan keadaan dan waktu.
Inilah beberapa bentuk ketergesaan yang merupakan sebab kegagalan, Umar bin Khottob berkata :”Sesungguhnya peperangan itu tidak pantas dilakukan kecuali oleh orang yang cermat”, artinya hati-hati, Allah berfirman :
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya” (QS. Al Baqarah : 189)
Maka segala sesuatu – termasuk perubahan yang Islami – mempunyai pintu masuk yang harus dilalui, sehingga apabila masuk dengan cara melompat pagar – dengan jalan demokrasi, atau berkumpul tanpa dilandasi dengan manhaj, atau tergesa-gesa didalam membuat buku atau tergesa-gesa didalam mengadakan konfrontasi – itu semua bukan merupakan kebaikan dan bukan termasuk ketaqwaan dan tidak membuahkan kecuali kegagalan dan penyesalan.
Yang kedua : bentuk dari kekurangan didalam beramal Islami adalah : kurangnya keikhlasan, itu walaupun termasuk amalan hati yang tidak nampak, namun memiliki tanda-tanda yang dlohir, diantaranya :
1. Tidak mau kembali dari kesalahan dan tetap terus melakukannya, khususnya kesalahan didalam menulis buku-buku syar’i yang ditulis secara tergesa-gesa dengan tanpa memiliki kemampuan yang cukup, saya tidak melihat seorangpun yang kembali dari kesalahannya terutama orang-orang yang telah memiliki pengikut karena dengan kebodohannya dia berpendapat jika ia mengakui, akan terbuka aib-aibnya, padahal ini baik baginya didunia dan di akhirat dari pada terus menerus didalam kebathilan dan keras kepala. Hal ini terjadi walaupun mereka semua mengaku ingin mencari ridho Allah dan ingin membela agamaNya. Mereka itu bohong, seandainya maksudnya seperti itu pasti akan mengakui kesalahannya. Dan telah saya sebutkan beberapa contoh tentang itu pada beberapa tempat dalam kitab ini, khususnya pada akhir pembahasan aqidah, bahkan mereka masih terus diatas kesalahan dan menjadikannya sebagai diin dan madzhab sehingga mereka menanggung dosa-dosa mereka dengan sempurna pada hari kiamat dan juga dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa dasar ilmu, mereka itu seperti orang-orang yang Allah sebutkan dalam firmanNya :
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ جَاءَهُمْ نَذِيرٌ لَيَكُونُنَّ أَهْدَى مِنْ إِحْدَى الْأُمَمِ فَلَمَّا جَاءَهُمْ نَذِيرٌ مَا زَادَهُمْ إِلَّا نُفُورًا(42)اسْتِكْبَارًا فِي الْأَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ
“Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sekuat-kuat sumpah; sesungguhnya jika datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tatkala datang kepada mereka pemberi peringatan, maka kedatangannya itu tidak menambah kepada mereka, kecuali jauhnya mereka dari (kebenaran), karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri”. (QS. Fathir : 42-43)
2. Menolak untuk berhukum dengan hukum syar’i, Sesungguhnya wajib bagi kaum muslimin untuk memutuskan perkara diantara mereka dengan hukum syar’i – ini akan saya bahas pada satu judul tersendiri setelah pembahasan “Berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah”- dan telah saya lihat beberapa jama’ah Islamiyyah menolak untuk bertahkim kepada syari’at pada perselisihan yang terjadi pada mereka, padahal mereka menyeru untuk berhukum kepada syar’i dan jama’ahnya tidak dibentuk kecuali untuk memerangi orang-orang yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh Allah. Namun ketika mereka diajak untuk berhukum dengan hukum Allah mereka berpaling, mereka itu lebih berhak untuk diperangi dari pada penguasanya dan ini jelas-jelas merupakan kemunafikan, sebagaimana firman Allah :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisaa’ : 61)
Dan atas kehendak Allah saya pernah menjadi pemutus perkara pada beberapa perselisihan yang terjadi antara beberapa da’i yang terkenal, dan ketika diputuskan harus melaksanakan suatu kewajiban dia lari darinya dan menolak untuk melakukan apa yang diwajibkan kepadanya, maka kukatakan :”Wallahi, (demi Allah) Allah tidak akan menganugerahkan kepada kita untuk dapat berhukum dengan Islam sampai kita ridho dengan hukum Allah pada apa yang terjadi diantara kita. Allah Ta’ala telah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
(QS. Ar Ra’du : 11)
3. Fanatisme kelompok terhadap kebathilan.
Ini adalah keadaan kebanyakan para pengikut-pengikut jama’ah dan kelompok-kelompok Islam. Sebagian para pengikut tidak menggunakan akal dan tidak berpikir apakah kelompoknya diatas kesesatan atau diatas kebenaran ? dan tidaklah penghuni neraka itu menjadi penghuni neraka kecuali karena dia tidak menggunakan akalnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”.(QS. Al Mulk : 10)
Dan ada sebagian pengikut ketika nampak kesalahan kelompoknya dia membelanya dengan cara yang bathil keadaannya ini seperti firman Allah :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَابَاؤُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab: “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (QS. Al Maidah : 104)
4. Saya lihat beberapa pemimpin jama’ah Islamiyah berkata :”Seandainya jama’ah-jama’ah Islam selain jama’ahnya menang dinegaranya dan menegakkan hukum Islam disana, maka ia akan meninggalkan negerinya dan hidup ditempat yang lain. Ini bukan sekedar hanya karena kurangnya keikhlasan, lebih dari itu perkataan seperti itu adalah kesesatan yang nyata, karena perkataan seperti itu menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak menghendaki kekuasaan Islam, tetapi mereka hanya menghendaki kekuasaan mereka sendiri, seandainya mereka menghendaki hukum Islam, pasti mereka akan senang bagaimanapun keadaannya lebih-lebih taat kepada imam yang menang adalah wajib hukumnya berdasarkan ijma’ ahlus sunnah.
5. Saya lihat juga beberapa jama’ah Islamiyyah – sedang mereka itu dalam keadaan lemah dan terusir di muka bumi – mereka mengancam jama’ah-jama’ah lain yang berselisih dengannya dan akan balas dendam apabila Allah memenangkan mereka !! ini semua bentuk-bentuk dari kurangnya keikhlasan, Allah Ta’ala telah berfirman :
وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
“Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah”(QS. Ali Imran : 126)
Padahal Allah menurunkan pertolonganNya berdasarkan kebenaran dan keikhlasan yang terdapat dalam hati yang Allah ketahui, sebagaimana firman Allah :
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”. (QS. Al Fath : 18)
Apakah hati seperti ini yang mendapatkan pertolongan dan kemenangan ?!
Ini semua menjelaskan kepada anda bahwa sebagian orang-orang yang mengangkat bendera dakwah Islam itu sebenarnya hanya menyeru kepada diri mereka sendiri – untuk mendapatkan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan – tidak menyeru kepada Allah sebagaimana konsekwensi keikhlasan. Mereka itu bukanlah pengikut Nabi SAW, Rasulullah telah mensifati para pengikutnya bahwa mereka adalah :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf : 108)
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab ra, berkata :”Tentang pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini, pertama : bahwa berdakwah kepada Allah adalah jalannya orang-orang yang mengikuti nabi SAW, kedua : peringatan terhadap keikhlasan, karena seringkali katika mendakwahkan kebenaran, orang berdakwah hanya untuk dirinya sendiri”. (Fathul Majid sarh kitab Tauhid, hal. 94, cet, Ansharus Sunnah). Maka pengikut Nabi SAW adalah yang menyeru kepada Allah bukan menyeru kepada diri sendiri. Diriwayatkan oleh Al Bukhori ra, dengan sanadnya dai Abu Minhal berkata :”Ketika Ibnu Ziyad dan Marwan berada di Syam, Ibnu Zubair memberontak di Makkah dan Qurro’ (pembaca Al qur’an) memberontak di Basrah, maka aku bertolak bersama bapakku kepada Abu Barzah Al Aslami sampai kami masuk ke rumahnya dan dia dalam keadaan duduk dibawah atap yang terbuat dari bambu, lalu kami duduk disitu, maka ayahku memintanya untuk berbicara, ayahku berkata :”Wahai Abu Barzah, apakah engkau tidak melihat apa yang terjadi pada manusia? Maka ucapannya yang pertama kali saya dengar adalah :”Aku hanya berharap apa yang disisi Allah, saya marah terhadap orang-orang quraisy sebagai orang arab dahulu dalam keadaan hina dan sesat sebagaimana yang kalian ketahui, lalu Allah menyelamatkan kalian dengan Islam dan Nabi Muhammad SAW, hingga kalian mencapai apa yang kalian lihat, lalu dunia ini merusak hubungan antara kalian, sesungguhnya orang-orang yang di Syam demi Allah tidak berperang kecuali untuk dunia, dan orang-orang yang berada diantara kalian demi Allah tidak berperang kecuali untuk dunia dan orang-orang di Mekkah demi Allah tidak berperang kecuali untuk dunia” (Hadits 7112, di kitab Fitan dari shohihnya).
Dan saya katakan seperti yang dikatakan oleh Abu Barzah ra, :”Demi Allah, banyak diantara para pemimpin jama’ah Islam yang tidak mengharapkan kecuali dunia, dan tidak menyeru kecuali kepada diri mereka sendiri, seandainya mereka menyeru kepada Allah dan kepada kebenaran niscaya mereka akan belajar kebenaran dahulu, lalu kedua, berkumpul diatasnya. Akan tetapi (setiap kelompok bangga dengan apa yang mereka miliki) dan saya sesungguhnya mengharap apa yang disisi Allah, saya marah terhadap mereka dan orang-orang yang seperti mereka. Ketika orang-orang salib mulai menguasai negeri Andalus (Spanyol) dan mencaplok sedikit demi sedikit, sebelum itu Andalus terbagi menjadi beberapa kerajaan yang saling bermusuhan, disetiap kota ada kerajaan, maka kemudian raja-raja setiap kerajaan tersebut meminta pertolongan kepada Sultan Marokis Yusuf bin Tasifin dan pasukannya untuk menghadapi orang-orang Eropa, maka kemudian dia menolong raja-raja tersebut. Setelah mendapatkan kemenangan, para raja tersebut meminta kepada Yusuf untuk meninggalkan sebagian pasukannya di negara mereka untuk membantu melawan Eropa, maka Yusuf menolak dan berkata kepada mereka :”Ikhlaskan niat kalian, niscaya Allah akan mencukupi kalian untuk menghadapi musuh-musuh kalian”, hal itu karena beliau melihat mereka saling berselisih dan bermusuhan. Nasehat ini masih terus berlaku untuk setiap orang yang menyibukkan diri dengan amal Islami hingga hari ini.
Sedangkan tentang akhlaq jelek yang tersebar didalam ruang lingkup amal Islami, orang-orang yang menganut fanatisme jahiliyyah dalam menghadapi orang yang berbeda pendapat, orang-orang yang mengikut prinsip-prinsip mikafiliyah yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, jarangnya orang-orang yang berlaku amanah, dan egois, maka ceritakanlah semau anda (karena itu semua telah merajalela), ini semua adalah sebab-sebab kegagalan. Sedangkan keberhasilan itu memiliki sebab-sebab yang sudah diketahui didalam syari’at dan yang paling penting adalah akhlaq yang baik dan akhlaq-akhlaq yang mulia, dengan inilah Khadijah menilai Nabi SAW sebagaimana yang terdapat dalam riwayat Bukhori ra – dalam permulaan wahyu – Aisyah berkata :”Sampai datang kebenaran kepadanya ketika dia di gua hira, maka ia didatangi oleh malaikat dan berkata :”bacalah !” – sampai Aisyah berkata – kemudian Rasulullah pulang sampai tergoncang hatinya kemudian masuk ke rumah Khadijah lalu berkata :”Selimuti aku, selimuti aku !”, maka Khadijah menyelimutinya sampai hilang rasa takutnya, maka Nabi menceritakan apa yang terjadi kepada Khodijah dan berkata :”Sungguh aku khawatir terhadap diriku sendiri”, kemudian Khadijah berkata :”Tidak demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya karena kamu seorang yang selalu menyambung tali silaturrahim, menanggung orang yang lemah, memberi orang yang tidak punya dan memuliakan tamu, serta menolong orang-orang yang dirampas hartanya” (Hadits no. 3)
Khadijah ra, bersumpah pada Allah bahwa Allah tidak akan menghinakan Nabi SAW dan menjadikan dalil akan hal itu, ia simpulkan dari pokok-pokok akhlaq yang mulia yang ia lihat, inilah kesimpulan dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar didalam Syarahnya Fathul Bari I/24.
Apakah dalam keadaan seperti ini kita mengharap pertolongan Allah?,sesungguhnya meragukan orang-orang yang melaksanakan amal Islami itu lebih ringan dibandingkan meragukan janji Allah untuk menolong orang-orang mukmin, Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu”.(QS. An Nisaa’ : 135)
Dan termasuk kesempurnaan pada kesaksian adalah mengakui kesalahan diri sendiri, karena tidak diragukan lagi bahwa didalam perjuangan Islam ini terdapat orang-orang yang sholeh dan orang-orang yang selalu berusaha untuk beramal secara benar, semoga Allah memberikan manfaat dengan adanya mereka, akan tetapi permasalahannya sebagaimana yang ditanyakan kepada Rasulullah SAW :”Apakah kita akan binasa padahal diantara kita ada orang-orang yang sholeh?’, beliau menjawab:”ya!, apabila terjadi banyak kejelekan”. (HR. Bukhori)
Dan apa yang saya sampaikan disini adalah pengalaman, dan ini merupakan pandangan orang yang netral yang tidak bergabung dengan suatu jama’ah Islamiyyah, atau kelompok Islam tertentu, memang jama’ah itu adalah benar dan wajib diadakan pada zaman ini, saya telah mengarang kitab Al Umdah Fii I’dadil Uddah Lil Jihad Fi Sabilllah, yang membahas tentang fiqih dalam beramal Islami serta berjama’ah – akan tetapi sebagaimana yang telah saya katakan sebelumnya – sesungguhnya disana ada perbedaan antara memahami dan mengimani terhadap suatu kewajiban dengan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Sedangkan kewajiban yang memiliki tujuan-tujuan tertentu seperti ini, tidak akan terlaksana apabila bergabung dengan jama’ah-jama’ah yang terdapat padanya kekurangan-kekurangan sebagaimana yang tersebut diatas. Dalam keadaan seperti ini tidak bisa diharapkan mendapatkan pertolongan dan keberhasilan. Akan tetapi barangsiapa yang mendapati sebuah jama’ah yang sholeh, baik diin maupun amalnya maka ia harus bergabung dengannya, hal itu disebabkan karena saya tidak mengatakan paham dengan keadaan seluruh jama’ah-jama’ah diberbagai macam negara, tetapi saya hanya memberikan contoh-contoh negatif yang merajalela diberbagai jama’ah Islam, supaya hal-hal negatif tersebut dapat dijauhi. Inilah pembahasan tentang tata cara merubah sistem pemerintahan kafir.
Saya simpulkan apa yang telah dibahas sebelumnya, saya katakan :”Sesungguhnya cara kaum muslimin dalam merubah pemerintahan kafir adalah dengan dakwah dengan berbagai macam bentuknya, setelah memiliki manhaj yang benar dan aqidah yang lurus, dibarengi dengan menyatakan kebenaran dengan terang-terangan dan berlepas diri dari orang-orang kafir dan kekafiran mereka, bukan dengan cara mengikuti kekafiran mereka seperti menyertai mereka dalam pemerintahan sekuler atau parlemen syirik, akan tetapi berlepas diri dan memisahkan diri sehingga terjadi pemisahan barisan, dengan bersabar diatas siksaan orang-orang kafir dan mencari pertolongan dari orang-orang mukmin sampai terbentuk suatu jama’ah yang kuat yang mampu untuk melakukan perubahan dan mampu menjalankan hukum Islam apabila Allah memenangkannya. Dan ini merupakan suatu kewajiban seluruh ummat Islam, sedangkan kewajiban bagi tiap-tiap individu adalah berusaha untuk merealisasikan hal itu sesuai dengan kemampuannya.
مَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.
(QS. Al Zilzal : 7-8)
Dan wajib untuk menjadikan kekhususan setiap negara dan kekhususan penduduknya sebagai bahan pertimbangan, dan hendaknya setiap permasalahan itu diserahkan kepada ahlinya.
Penulis:Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz
Diterjemahkan dari kitab: Al Jami’ Fi Tholabil Ilmisy Syariif, , XII / 211-221
Penterjemah: Abu Musa Ath-Thoyar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar