Pages

Dakwah "Salafy" Dakwah Murji'ah (Membongkar Kebohonan Ali Hasan Al Kadzdzab Bagian 7)

Tinjauan Terhadap Fatwa Al Albaniy

Adapun fatwa Al Albaniy –semoga Allah memberikan kami dan ia petunjuk kepada kebenaran yang nyata– masih terus dibagikan dalam bentuk rekaman dan cetakan di tengah barisan Ahlut Tajahum Wal Irja di kawasan teluk. Dan diri ini selalu memaksa saya untuk segera membantah fatwa itu…, namun saya menangguhkan itu seraya mengedepankan atasnya hal lain yang saya pandang lebih penting dan lebih bermanfaat yaitu berupa tulisan-tulisan yang saya sibuk untuk merampungkannya, sampai pada akhirnya penjara menghalangi saya dari melanjutkan tulisan-tulisan itu, maka saya pun mendapatkan di dalamnya waktu kosong yang belum tentu orang mendapatkannya di luar. Kemudian sampai kepada saya –sebagaimana yang telah saya utarakan– dua cetakan yang berbeda dari fatwa ini… di mana saya ingin menulis bersamanya tinjauan-tinjauan yang cepat sebagai bentuk ketulusan bagi Allah, dien-Nya, kaum muslimin seluruhnya dan bagi Syaikh secara khusus, semoga Allah memberikannya manfaat dengan hal itu seraya mengingatkannya dengan ucapan Abdullah Ibnu Mas’ud radliallaahu’anhu: “Siapa orangnya datang kepadamu dengan membawa kebenaran maka terimalah darinya meskipun orang itu jauh lagi dibenci, dan siapa orangnya datang kepadamu dengan membawa kebatilan, maka tolaklah meskipun orang itu dicintai lagi dekat91.

Sebelum mulai dalam hal itu saya katakan: Pembaca telah melihat dalam uraian yang lalu dari bantahan kami terhadap Al Halabiy bahwa kami telah panjang lebar dalam mengoreksi hal-hal yang dianut oleh kaum Jahmiyyah dan Murji’ah secara umum pada zaman ini. Dan saya sengaja mengerahkan mayoritas apa yang ada dalam simpanan saya berupa catatan-catatan koreksian terhadap kerancuan-kerancuan terpenting mereka dalam koreksian saya terhadap muqaddimah Al Halabiy, agar saya tidak menyisakan dalam tinjauan saya terhadap (fatwa) Syaikh Al Albaniy, kecuali apa yang berkaitan dengan apa yang ada dalam fatwanya ini.

Dan itu dalam rangka menjaga dari adanya hujjah bagi sebagian orang-orang bodoh dalam ucapan saya –bila saya berbicara lebar– pada sikap lancang mereka terhadap ilmu hadits dan para pakarnya…
Atau dari keberadaan hal itu menjadi legalitas bagi kalangan pemula untuk tidak peduli dengan ilmu yang mulia ini atau menjadi pengajak untuk berpaling dari kitab-kitabnya dan kitab-kitab orang-orang yang menggelutinya.
Dan itu bukan karena Al Halabiy datang dengan bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan ini dari kantongnya atau dari diri pribadinya dan dia menggusur syaikhnya ke dalamnya begitu saja serta dia menisbatkan hal itu kepadanya secara zhalim, dusta dan mengada-ada, sebagaimana sebagian orang yang membantahnya berupaya memberikan image itu atau memahamkannya !!
Tidak sekali-kali –meskipun terhadap saya dia tidak segan-segan dari berdusta dan mengada-ada sebagaimana yang telah lalu– karena mereka itu berasal dari satu sumber dalam paham Tajahhum dan Irja mereka yang mana hal itu diketahui oleh orang yang mentelaah tulisan-tulisan mereka dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka. Dan engkau akan melihat dalil-dalil dan contoh-contoh atas hal itu dalam fatwa ini.
Pertama-tama ketahuilah: Bahwa Al Albaniy dalam fatwanya yang direkam lagi dicetak ini telah menyerang kepada seorang laki-laki yang miskin akan ilmu syar’iy untuk ia ajak (dalam) diskusi yang ‘kurus’ ini, dan ia merekamnya sebagai suatu sikap yang dianggap oleh para muqallidnya sebagai bantahan terhadap setiap orang yang mengkafirkan para thaghut hukum92. Dan akan nampak di hadapan anda kejahilan orang yang telah mereka pilih itu dalam diskusi ini, yaitu pelontaran takfier tanpa batasan, dan ketidakmampuan akan dalil-dalil syar’iy serta kelemahan pengetahuan dia terhadap realita para thaghut hari ini. Oleh sebab itu dia dipermainkan oleh mereka dengan syubuhat-syubuhatnya, karena kalau tidak demikian, sesungguhnya seorang muwahhid bila dia mengetahui tauhidnya dengan pengetahuan yang benar dan dia melihat pada realita kaum musyrikin hari ini dengan mata hati, maka dia sama sekali tidak akan terpengaruh dengan syubuhat-syubuhat Ahlut Tajahhum wal Irja.
Bahkan sesungguhnya bila dia mengetahui hal itu dan memiliki bashirah tentangnya, maka tidak akan tegak dalam berdebat di hadapannya Ahlut tajahhum wal Irja baik mereka itu kaum muqallid maupun para syaikh –walaupun dia itu orang awam–.
Itu dikarenakan Ahlut tajahhum wal Irja pada zaman kita ini, mereka memiliki kekurangan yang besar dan ketimpangan yang jelas dalam memahami tauhid dan secara khusus darinya apa yang berkenaan dengan masalah-masalah tasyri’ dan tauhidullah ta’ala dengan ketaatan serta talaqqiy di dalamnya.
Mereka menghina dan menyepelekan orang yang menulis dan menggembar-gemborkan seputar hal itu atau menjelaskan bahwa itu termasuk ushuluddien yang paling penting, dikarenakan ia termasuk sub-sub ibadah yang wajib dimurnikan dan ditauhidkan kepada Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana telah lalu dalam prihal (al hakimiyyah) seperti nama yang disandangkan sebagian orang. Dan mereka juga mencela orang yang berbicara tentang kekafiran para thaghut masa kini serta mereka tidak memandang dalam hal itu faidah yang diharapkan sebagaimana yang akan datang secara tegas dalam ucapan syaikh!! Hal 71.
Kemudian bila hal ini ditambah dengan kejahilan mereka akan realita para thaghut hukum tasyri’iy hari ini, maka ketimpangan pada diri mereka itu berlapis, yang tidak memungkinkan mereka untuk sampai pada kebenaran dalam masalah yang besar ini.
Dan itu sebagaimana dikatakan Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullaah: “Dan Mufti juga hakim tidak memungkinkan dari mengeluarkan fatwa dan vonis dengan al haq kecuali dengan dua macam pemahaman:
Pertama: Paham realita (waqi’) dan mengerti di dalamnya serta menyimpulkan ilmu hakikat apa yang terjadi dengan qarinah-qarinah, tanda-tanda dan ciri-ciri sehingga ia menguasai ilmu itu secara penuh.
Ke dua: Memahami apa yang mesti diterapkan pada realita itu, yaitu hukum Allah yang Dia tetapkan dalam Kitab-Nya atau lewat lisan rasul-Nya terhadap realita ini, terus yang satu diterapkan pada yang lainnya”93 Selesai.
Dan dengan sebab ketimpangan yang berlapis ini engkau melihat mereka menempatkan ucapan Ibnu ‘Abbas atau salaf lainnya tentang sebagian penguasa Bani Umayyah yang sama sekali tidak melakukan pembuatan hukum dan mereka tidak mengklaim bahwa itu adalah hak mereka dan tidak pula melimpahkan hak itu kepada selain Allah94 serta mereka tidak bersepakat atas selain hukum-hukum Allah, namun justru mereka itu berkomitmen terhadap hukum Allah lagi tunduk terhadapnya!!
Begitu pula ucapan Al Imam Ahmad tentang kekhilafahan Bani ‘Abbas –sebagaimana yang telah lalu– mereka menempatkannya pada thawaghit musyrikin yang membuat hukum lagi memerangi dienullah pada zaman ini…!!!
Maka apa gerangan bila ketimpangan dan kebodohan berlapis ini ~ditambah apa yang telah engkau ketahui tentang mereka pada uraian yang lalu~ berupa sikap ngawur dalam masailul kufri wal iman dengan bentuk sikap mereka membatasi kekafiran pada juhud qalbiy (pengingkaran hati) saja. Sedangkan ini sebagaimana yang telah engkau ketahui adalah warisan Jahmiyyah dan saripati paham Irja.
Oleh sebab itu kaum Murji’ah itu dan banyak para syaikh mereka ~mau tidak mau~ telah menjadi anshar bagi para thaghut, mereka membela-bela para thaghut itu dan membantah pengkafirannya dengan syubhat-syubhat mereka yang rapuh, serta dengan hal itu mereka menganggap ringan kebatilannya.
Di sisi lain mereka menyerang orang yang mengkafirkannya atau orang yang berupaya menjihadinya dan merubah kebatilannya bahkan mereka mencapnya sebagai Khawarij, Takfiriy dan cap lainnya!!!
Silahkan amati ucapan Syaikh Al Albaniy di depan fatwanya hal (52) setelah menyebutkan orang-orang yang dicap oleh para pemerintah kafir di zaman kita dengan cap (Jama’ah At Takfier), dia berkata: “Atau sebagian macam-macam jama’ah yang menisbatkan dirinya kepada jihad! Padahal ia pada hakikatnya adalah bagian dari pengusung takfier…!!!” Selesai.
Dan berkata hal (56): “Dan di antara orang-orang yang menyimpang itu adalah: Khawarij, baik yang dulu maupun yang baru! Maka sesungguhnya asal fitnah takfier pada masa sekarang ini –bahkan semenjak dulu– adalah ayat yang selalu mereka dengung-dengungkan seputarnya, yaitu firman Allah ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir”95, terus mereka mengambilnya tanpa pemahaman yang dalam dan menuturkannya tanpa pengetahuan yang jeli…!!!” Selesai.
Engkau telah mengetahui pada uraian yang lalu siapa sebenarnya orang-orang yang mengambilnya tanpa pemahaman yang dalam…!!! Dan menuturkannya tanpa pengetahuan yang jeli…!!!
Kemudian ia berbicara panjang lebar dalam hal itu dan menuturkan ucapan-ucapan salaf seraya berupaya berdalil dengannya bahwa itu adalah kufrun duna kufrin… hingga akhir. Dan di antara hal itu adalah ucapannya sebagai komentar terhadap ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas hal 59: “Seolah dia mengarahkan pendengarannya saat itu apa yang kami dengar persis hari ini bahwa di sana ada orang-orang yang memahami ayat ini secara kulit tanpa rincian…!!!” Selesai.
Perhatikanlah pencampuradukan antara Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin dengan sekedar sebab maksiat dan mereka khuruj terhadap sebagian penyimpangan para pemimpin bahkan mereka khuruj terhadap para pemimpin yang adil, di mana awal kemunculan mereka adalah pada masa kekhilafahan Utsman kemudian mereka makin menjadi-jadi pada masa kekhilafahan Ali radliallaahu’anhu…!!!
Dengan orang-orang yang mengkafirkan kaum musyrikin dari kalangan budak Undang-undang!! Atau orang-orang yang khuruj terhadap para thaghut syirik yang membuat hukum…!!! Dan mereka menjihadi para pemimpin kekafiran yang memerangi…!!!
Dia berjalan ke arah timur sedang aku ke arah barat
Sangat jauh antara yang ke timur dengan yang ke barat
Bahkan sesungguhnya Al Halabiy memberikan komentar di catatan kaki di sini hal (56) terhadap ucapan Syaikh seraya menukil ucapan Abu Hayyan Al Andalusiy dalam Al Bahrul Muhith 3/493: “Dan Khawarij berhujjah dengan ayat ini bahwa setiap orang yang maksiat kepada Allah maka dia kafir! Dan mereka berkata: Ia adalah nash dalam keberadaan (bahwa) setiap orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan maka ia adalah kafir! Dan setiap orang yang berbuat dosa itu maka dia itu telah memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan sehingga wajib ia itu menjadi kafir…!!!Selesai.
Syaikh dan muridnya sebenarnya mengetahui bahwa Khawarij itu saat berdalil dengan ayat ini ingin mengkafirkan orang-orang yang bermaksiat dari kalangan para penguasa dan yang lainnya; oleh sebab itu salaf mendebat mereka dan membantah ihtijaj mereka dengannya, dan berkatalah di antara salaf itu tentang maksiat-maksiat itu dan keadaan itu: (sesungguhnya ia adalah kufrun duna kufrin… dan bukanlah kekafiran yang kalian yakini), serta mereka mengingkari Khawarij atas sikap mereka menempatkan ayat-ayat tentang kuffar kepada kaum muslimin bukan dalam rangka tarhib dan ancaman sebagaimana yang dilakukan sebagian salaf, namun dalam rangka vonis dan takfier…
Sebagaimana yang diriwayatkan Ath Thabari dalam Tahdzibul Autsar secara maushul lewat jalan Bukair Ibnu Abdillah Ibnul Asyajj bahwa ia bertanya kepada Nafi: “Bagaimana pendapat Ibnu Umar tentang Haruriyyah? Beliau berkata: (Beliau memandang mereka sebagai makhluk Allah yang paling buruk, mereka mengambil ayat-ayat (tentang) orang-orang kafir terus menerapkannya pada kaum mu’minin…) Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Isnadnya shahih”.
Namun demikian Syaikh dan muridnya menisbatkan pendapat Khawarij itu kepada orang yang mengkafirkan thawaghit masa kini dengan sebab syirik yang nyata dan kekafiran yang jelas yang tidak samar –sebagaimana yang dikatakan Asy Syinqithiy– (kecuali terhadap orang yang telah Allah hapus mata hatinya dan Dia butakan dari cahaya wahyu seperti mereka). Selesai.
Ia (Syaikh) dan para muqallid-nya menempatkan ucapan-ucapan para sahabat dan bantahan mereka terhadap Khawarij dalam hal maksiat-maksiat itu, kepada realita syirik hari ini dan bencana para thaghut yang membuat undang-undang kafir…!!!
Sehingga hasilnya…!!! Atau buahnya:
Bahwa para thaghut itu menurut mereka pada keadaan yang paling jelek adalah seperti para penguasa Bani Umayyah…!!! Dan tidak boleh mengkafirkan mereka atau khuruj terhadap mereka karena (dunia ini dalam keadaan baik dan manusia di akhir kenikmatan)…!!!
Dan dari itu siapa yang mengkafirkan kaum musyrikin undang-undang itu atau berlepas diri dari mereka atau menjihadinya maka dia itu tergolong takfieriyyin yang berjalan persis!! di atas jalan Khawarij. Dan mereka lalai dari pemuthlaqan ini di mana telah masuk di dalamnya banyak dari kalangan ulama mutaqqadimin dan muta’akhkhirin yang mana kami telah menukilkan di hadapanmu ucapan-ucapan mereka yang tegas dalam masalah-masalah tasyri’.
Dan saya katakan: Bila sebagian celaan diarahkan kepada Syaikh dengan sebab pencampuradukan ini, maka sesungguhnya bagian terbesar dari celaan ini dialamatkan kepada orang yang menyeret ia ke dalam lingkaran seperti ini!! Dengan cara meminta fatwa dalam hal rentan seperti ini!! Dan menjadikannya sebagai bahan cemoohan dalam sikapnya mengarahkan hadits itu pada suatu yang tidak beliau kuasai ilmunya.
Kasihanilah Syaikh!! Lembutlah terhadapnya hai kaum!! Janganlah kalian Ahlul bid’ah dari kalangan musuh-musuh hadits dan lawan-lawan sunnah mencibir terhadapnya.
Begitulah sungguh Al Albaniy dalam fatwanya ini telah panjang lebar berbicara dalam pembagian kufur menjadi:
-   Kufur akbar yang mengeluarkan dari millah
-   Dan yang lain (kufur) ashghar yang tidak mengeluarkan darinya.
Sedangkan ini tidak ada perselisihan di dalamnya, namun yang menjadi perselisihan dengan mereka hanyalah dalam menentukan hal itu… dan apakah realita para thaghut pembuat hukum hari ini tergolong yang pertama atau yang ke dua…???!!!
Dan apakah kufur ‘amaliy seluruhnya adalah kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah atau justru di antaranya ada yang seperti itu dan di antaranya ada yang tergolong (kufur) akbar yang mengeluarkan darinya?
Al Albaniy berkata hal (63) setelah ia membahas hadits (menghina orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran): “Jadi memeranginya adalah kufrun duna kufrin sebagaimana perkataan Ibnu Abbas dalam penafsiran ayat yang lalu secara persis”. Selesai.
Dan di sini kami memiliki tinjauan dan tanbih bagi pencari al haq: yaitu bahwa ucapan yang masyhur dan disandarkan kepada Ibnu Abbas seputar ayat ini adalah tidak sah bila dikatakan – sebagaimana yang dikatakan Syaikh – bahwa ia adalah penafsiran ayat tersebut, karena ayat itu berbicara tentang orang-orang kafir – sebagaimana akan datang dalam dari hadits Al Barra (berkenaan dengan orang-orang kafir semuanya). Dan ini disepakati, di mana ia turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi, sedangkan tidak masuk akal bila Ibnu ‘Abbas mengatakan tentang orang-orang Yahudi bahwa kekafiran mereka itu (kufrun duna kufrin)!!.
Oleh sebab itu sesungguhnya kami meyakini dan bertanggungjawab di hadapan Allah bahwa ucapan yang disandarkan kepada Ibnu Abbas atau yang lainnya bukanlah penafsiran ayat ini… namun ia hanyalah bantahan terhadap orang yang keliru berdalil/dengannya dengan menempatkannya bukan pada tempatnya.
Dan itu dibuktikan dengan ucapan Ibnu Abbas: “Kekafiran itu bukanlah yang kalian yakini…” jadi ucapan itu tentang Khawarij… sedangkan engkau telah mengetahui bahwa Khawarij memaksudkan dengan ayat itu setiap orang yang maksiat kepada Allah sebagaimana yang telah lalu.
Ini dibuktikan secara jelas dengan apa yang diriwayatkan oleh Ath Thabariy dengan isnad yang shahih dari Umran Ibnu Hudair, berkata: “Datang kepada Abu Mijlaz segolongan orang dari Bani ‘Amr Ibnu Sadus (dan mereka itu adalah sekelompok dari Khawarij Al Ibadliyyah sebagaimana dalam riwayat lain) mereka berkata: Hai Abu Mijlaz, apa pendapatmu tentang firman Allah: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir…” apakah ia haq? Beliau menjawab: Ya. Mereka berkata: Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang zhalim apakah ia haq? Beliau menjawab: Ya. Mereka berkata: Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka orang-orang fasiq apakah ia haq? Beliau berkata: Ya. Mereka berkata: Hai Abu Mijlaz, apakah mereka memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan? Beliau berkata: Ia adalah dien mereka yang mereka anut, dengannya mereka berbicara dan kepadanya mereka menyeru, kemudian bila mereka meninggalkan sesuatu darinya maka mereka mengetahui bahwa mereka itu telah melakukan dosa. Maka mereka berkata: Tidak, demi Allah tapi kamu ini takut. Beliau berkata: Kalian yang lebih layak dengannya daripada saya, saya tidak memandang (itu) dan kalian memandang ini dan tidak merasa keberatan, akan tetapi ia diturunkan tentang Yahudi, Nashara dan Ahlusysyirki atau yang serupa ini
Ucapannya “…akan tetapi ia diturunkan tentang Yahudi dan Nashara dan ahlusy syirki atau yang serupa ini…” adalah bukti bahwa yang dimaksud dengannya adalah kufur akbar dan bukan kufrun duna kufrin.
Dan yang mereka maksud dengan ucapannya (kufrun duna kufrin) hanyalah apa yang dilakukan para penguasa zaman mereka bila ada di dalamnya suatu dari kezhaliman atau maksiat atau penyimpangan… andai boleh mencap mereka karenanya bahwa mereka itu (tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan), akan tetapi ini bukan termasuk jenis perbuatan Yahudi, Nashara dan ahlusysyirki yaitu berupa kesepakatan dan kemufakatan atas hukum selain hukum Allah sebagai pedoman hidup, sistem dan undang-undang yang mesti diikuti.
Oleh sebab itu dikatakan (ia itu bukanlah kekafiran yang kalian pahami) atau (kufurn duna kufrin).96
Inilah arahan yang shahih bagi ucapan Ibnu ‘Abbas dan salaf lainnya. Adapun klaim orang yang mengklaim bahwa mereka (kufrun duna kufrin) adalah tafsir ayat itu secara muthlaq maka ia adalah kekeliruan yang nyata dan ketergelinciran yang jelas.
Dan siapa yang ingin penafsiran ayat-ayat itu maka sesungguhnya penafsiran yang paling utama adalah sebab nuzul dan ia adalah posisi yang sebenarnya. Siapa yang melakukan seperti sebab itu maka ia dicakup oleh vonis tersebut, dan adapun orang yang jatuh dalam sekedar maksiat yang tidak mengkafirkan maka ia tidak seperti itu…
Dan inilah sebagian apa yang ada dalam sebab nuzul itu:
Al Bukhari (2/131) dan Muslim (7/208) serta yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Umar radliallaahu’anhu, berkata: “Didatangkan kepada Rasulullah seorang Yahudi laki-laki dan seorang wanita Yahudi yang telah sama-sama berzina, maka Rasulullah berkata kepada mereka: Apa yang kalian dapatkan dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Sesungguhnya alim ulama kami telah menciptakan (hukum) poles wajah dengan warna hitam (tahmim) dan tajbiyah. Abdullah Ibnu Salam berkata: Ajak mereka untuk mendatangkan Taurat wahai Rasulullah! Maka Tauratpun didatangkan, kemudian salah seorang di antara mereka meletakkan tangannya di atas ayat rajam dan dia membaca yang sebelumnya serta yang sesudahnya, maka Ibnu Salam berkata: Angkat tanganmu! Ternyata ada ayat rajam di bawah tangannya, maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan keduanya dibawa dan terus dirajam”. Ini lafazh Al Bukhari.
Al Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan 11/209 dari Al Bara Ibnu ‘Azib, berkata: “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dilewati seorang Yahudi yang telah dipoles hitam wajahnya lagi telah didera, maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka, terus berkata: Apa begini kalian mendapatkan had bagi pezina dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Ya, kemudian beliau memanggil salah seorang dari ulama mereka dan terus berkata: Saya ingatkan kamu dengan Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah seperti ini kalian dapatkan had pezina dalam kitab kalian? Maka dia berkata: Tidak, seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan ini tentu saya tidak akan memberitahukanmu, kami mendapatkannya rajam, akan tetapi hal itu banyak terjadi di kalangan bangsawan kami, adalah kami bila mendapatkan orang bangsawan maka kami meninggalkannya dan bila kami mendapatkan orang lemah maka kami tegakkan had terhadapnya, kemudian kami berkata: Mari kita bersepakat terhadap suatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap orang bangsawan dan orang kalangan bawah, akhirnya kami jadikan hukum poles wajah dan dera sebagai pengganti rajam. Maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: Ya Allah sesungguhnya aku adalah orang pertama yang menghidupkan perintahmu di kala mereka telah mematikannya, terus beliau menyuruh orang itu untuk dibawa dan kemudian dirajam, kemudian Allah ‘azza wa jalla menurunkan: “Wahai Rasul janganlah membuatmu bersedih orang-orang yang bergegas dalam kekafiran…” hingga firman-Nya: ”…Bila kalian diberi ini maka ambillah”. Dia berkata: Datanglah kalian kepada Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian bila dia memerintahkan kalian dengan (hukum) poles wajah dan dera maka ambillah dan bila dia memfatwakan rajam maka hati-hatilah, maka Allah ta’ala menurunkan: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir…” “…Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan meka mereka itulah orang-orang yang zhalim…” “…Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang yang fasiq…” tentang orang-orang kafir seluruhnya.
Dan di dalam hadits-hadits ini terdapat banyak faidah:
Pertama: Perhatikan ucapan mereka: “Kami berkata: Mari kita bersepakat terhadap suatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap orang bangsawan dan orang kalangan bawah, akhirnya kami jadikan hukum poles wajah dan dera sebagai pengganti rajam”.
Dan di dalam riwayat lain: “Sesungguhnya alim ulama kami telah menciptakan (hukum) poles wajah dengan warna hitam…”
Di dalamnya sama sekali tidak ada indiaksi bahwa mereka menyatakan bahwa hukum (buatan) mereka itu lebih baik dari hukum Allah, atau bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya hukum Allah itu kuno dan terbelakang, atau hal serupa itu yang disyaratkan Murji’ah untuk mengkafirkan para thaghut, akan tetapi yang ada pada mereka adalah penetapan hukuman yang mereka sepakati dan mereka komitmen untuk menerapkannya terhadap bangsawan dan kaum papa, karena had (sangsi hukum) yang ada dalam Taurat mereka membatasi penerapannya terhadap kaum papa.
Ke dua: Di dalam hadits-hadits ini ada faidah, yaitu bahwa tasyri’ itu bukan terbatas pada tahlil dan tahrim saja… yaitu tidak terbatas pada masalah hukum-hukum taklifiy, berupa pengharaman atau pencegahan dan pembolehan serta pewajiban dan yang lainnya, akan tetapi masuk dalam hal itu hukum-hukum wadl’iy, hudud, ukuran-ukuran nishab yang telah Allah tetapkan dalam warisan, zakat dan yang lainnya. Oleh sebab itu siapa yang mensyari’atkan asbab, mawani atau hudud (sanksi-sanksi hukuman) atau hukum-hukum yang tidak diizinkan oleh Allah ta’ala, dan dia menjadikan manusia tunduk kepadanya dan dia memberikan sanksi atas dasar itu atau dengannya, maka perumpamaan dia adalah seperti orang yang menghalalkan hal yang haram atau mengharamkan hal yang halal.
Karena di sini Yahudi tidaklah menghalalkan zina, bahkan justeru mereka meyakini bahwa itu haram, dan andaikata mereka menganggapnya halal tentulah mereka tidak menetapkan baginya sanksi apapun macamnya.
Hadits-hadits ini menjelaskan dengan gamblang bahwa kesepakatan mereka terhadap sanksi selain sanksi (dari) Allah padahal mereka itu meyakini bahwa zina itu haram adalah sebab turun firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al Maa-idah: 44).
Ke tiga: Ucapan kalangan awam mereka tatkala ditanya oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: Apakah seperti ini kalian mendapatkan had pezina dalam Kitab kalian?)  Mereka berkata: Ya, dan dalam satu riwayat: bahwa seorang di antara mereka menutupkan tangannya pada ayat rajam…
Tidak ragu bahwa pengada-adaan atas nama Allah ini dengan sendirinya adalah kufur akbar, sama saja baik dalam penisbatan kekafiran dan hukum thaghut kepada Allah maupun dalam penisbatan maksiat dan kemungkaran atau kezhaliman kepada-Nya. Semua itu adalah mengada-ada dan dusta atas nama Allah, sedangkan Allah telah manjadikan itu lebih besar dari syirik dalam firman-Nya ta’ala: “Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu metahui”. (Al A’raaf: 33).
Oleh sebab itu sesungguhnya apa yang dilakukan orang-orang Yahudi di sini adalah kekafiran yang berlapis dua:
1-    Pembuatan aturan yang tidak Allah izinkan atau bersekongkol dan bermufakat terhadap aturan kafir.
2-    Penyandaran hukum yang batil ini kepada Allah.
Mengada-ada dan berdusta atas nama Allah adalah kekafiran baik dalam bab pembuatan hukum atau dalam bab meninggalkan putusan atau dalam bab yang lainnya. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah.” (An Nahl: 105). Dan Dia Subhanahu wa ta’ala wa ta’ala berfirman: “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir.” (Al ‘Ankabuut: 68). Dan Dia ‘azza wa jalla berfirman tentang status sebagian orang-orang yang membuat aturan: “Allah sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanya bahirah, saaibah, washilah dan ham. Akan tetapi orang-orang kfir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Maidah: 103).
Orang yang sesekali meninggalkan putusan Allah –karena syahwat atau hawa nafsu– dia itulah macam orang yang kami melakukan rincian di dalamnya, karena dia berkomitmen dengan aturan Allah, dia menjadikannya sebagai acuan dan dia tidak berpaling darinya secara total; dan dia itulah orang yang tidak kami kafirkan kecuali bila dia mengingkari atau menganggap halal. Andaikata dia itu berkata: “Bahwa perbuatannya pada kasus itu adalah berasal dari Allah atau ia itu adalah hukum Allah”, tentulah dia kafir, karena dia telah menisbatkan kezhaliman dan aniaya serta hawa nafsu kepada Allah, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sandarkan.
Oleh sebab itu tidak boleh membatasi kekafiran yang nyata atau hukum thaghut tersebut dengan hal itu, di mana dia tidak mengkafirkan si pembuat hukum/undang-undang itu kecuali bila dia menisbatkan hukumnya yang kafir itu kepada Allah sebagaimana yang disyaratkan sebagian Ahlut Tajahhum Wal Irja97. Akan tetapi pembuatan hukum thaghut itu dengan sendirinya adalah kekafiran sebagaimana yang telah engkau ketahui; sedangkan menisbatkan hal itu kepada Allah adalah pengada-adaan atas nama-Nya dan tambahan dalam kekafiran… sebagaimana firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya mengundur-undur bulan haram itu adalah menambah kekafiran” (At Taubah: 37).
Sehingga sahlah bahwa sebagian orang kadang mengumpulkan berbagai kekafiran, sehingga dia lebih parah dalam kekafirannya daripada orang yang hanya mengoleksi satu sebab dari sebab-sebab kekafiran. Dan tidak sah membatasi dan mensyaratkan dalam takfier keberadaan si orang itu mengoleksi dua atau lebih dari sebab-sebab kekafiran dan kalau tidak (demikian) maka tidak boleh mengkafirkannya; seperti keadaan di mana si pembuat hukum/UUD itu tidak dikafirkan kecuali bila dia menambahkan kepada kufur tasyri’ (pembuatan hukum) kufur iftira (kekafiran karena mengada-ada) dan menyandarkan hukum buatannya itu kepada Allah!! Dan syarthiyyah (keberadaan suatu sebagai syarat) itu memiliki bentuk yang sudah terkenal dalam syari’at, sedangkan tidak setiap khabar itu memberikan faidah atau mengharuskan sebagai syarat, kecuali suatu yang datang dengan bentuk syarat yang terkenal yang mana ketidakadaannya berpengaruh pada ketidakadaannya yang disyaratkan.98
Syaikhul Islam berkata: “Dan ketahuilah bahwa kekafiran itu sebagiannya lebih dahsyat dari yang lain. Orang kafir yang mendustakan lebih dahsyat kebejatannya dari orang kafir yang tidak mendustakan, karena dia itu mengumpulkan antara meninggalkan al iman yang diperintah dengan pendustaan yang memang dilarang. Siapa yang kafir dan mendustakan serta memerangi Allah, Rasul-Nya dan kaum mu’minin dengan tangan dan lisannya adalah lebih dahsyat kebejatannya daripada orang yang hanya membatasi pada sekedar kekafiran dan pendustaan”99 Selesai.
Ibnu Hazm berkata: “Sebagian kekafiran lebih besar dan lebih dahsyat dari sebagian yang lain, sedangkan seluruhnya adalah kekafiran. Dan Allah ta’ala telah mengabarkan tentang sebagian kekafiran bahwa: “…Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gnung-gunung runtuh” dan Dia ‘azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu berada di tingkatan yang paling bawah dari neraka” dan Dia ta’ala berfirman: “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam ‘adzab yang sangat keras”100
Dan beliau juga berkata dalam Al Fashl 3/245 saat menjelaskan firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran”. “Dan sesuai ketentuan bahasa yang mana Al Qur’an turun dengannya bahwa tambahan dalam sesuatu tidak mungkin terjadi, kecuali bagian darinya bukan dari selainnya, sehingga sahlah bahwa pengundur-unduran bulan haram itu adalah kekafiran, sedangkan ia adalah ‘amal (perbuatan) dari banyak amalan, dan ia itu adalah penghalalan apa yang telah Allah ta’ala haramkan, padahal siapa yang menghalalkan apa yang telah Allah ta’ala haramkan sedang dia mengetahui bahwa Allah ta’ala telah mengharamkannya maka dia itu kafir dengan perbuatan itu sendiri”. Selesai.
Dan perhatikanlah penekanan beliau terhadap (perbuatan itu sendiri), karena yang beliau maksudkan adalah bantahan terhadap Ahlut Tajahhum Wal Irja yang tidak mengkafirkan kecuali dengan sebab pengingkaran hati dan keyakinannya. Dan perhatikanlah bahwa kaum msuyrikin itu tatkala mereka mengganti bulan haram dengan Shafar tidaklah mereka sandarkan tabdil (penggantian) atau tahrim atau tahlil itu kepada Allah, bahkan justru seorang laki-laki dari Bani Kinanah datang di musim haji terus menyerukan: “Wahai manusia, sesungguhnya saya tidak dicela dan tidak disambut, sesungguhnya kita telah mengharamkan Shafar dan mengakhirkan bulan Muharram”.
Dalam benaknya mereka mengetahui dan meyakini bahwa bulan-bulan yang Allah haramkan adalah Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, sedangkan penangguh-nangguhan bulan haram itu adalah kemufakatan dan kesepakatan dari mereka, agar mereka tetap menyelaraskan dan menjaga bilangan yang Allah haramkan atas mereka, yaitu empat bulan, namun demikian sungguh Allah telah memvonis atas hal itu dengan vonis kafir karena kemufakatan dan kesepakatan mereka atas tabdil itu.
Maka ini adalah kekafiran lain di atas kekafiran mereka terhadap Islam dan kekafiran mereka terhadap kenabian Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam serta kemusyrikan mereka terhadap Allah.
Dan sudah ma’lum bahwa mengada-ada atas Allah dengan cara menyandarkan hukum-hukum buatan kepada-Nya adalah tidak ada pada Ahlul Kitab seluruhnya, namun ia adalah perbuatan segolongan dari mereka, sebagaimana firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah, padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78).
Ucapan kaum awam Yahudi dalam hadits Al Barra tatkala mereka ditanya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang had zina yang diganti: “Apakah seperti ini kalian dapatkan had pezina dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Ya…” adalah termasuk jenis itu, maka ia adalah mengada-ada atas Allah dan ia adalah kekafiran di atas kekafiran, yaitu kufur dusta dan pengada-adaan atas Allah, sedangkan pemberlakuan mereka terhadap hukum yang diada-adakan adalah kekafiran yang ke tiga.
Adapun ucapan orang alim mereka setelah itu tentang had zina dalam Taurat: “Kami mendapatkannya rajam, akan tetapi hal itu (zina) banyak terjadi di kalangan bangsawan kami… sampai ucapannya… kami berkata: Mari kita bersepakat terhadap suatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap orang bangsawan dan orang kalangan bawah. Akhirnya kami jadikan hukuman pada wajah dan dera sebagai pengganti rajam…” Ditegaskan bahwa had yang mana Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka tentangnya adalah hasil buatan mereka dan produk para pendahulu mereka dan (orang alim) itu tidak menyandarkannya kepada Allah sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan awam (bodoh) mereka.
Kekafiran ini tergolong bab tasyri’ (pembuatan hukum) atau pemufakatan terhadap aturan-aturan thaghut, sedangkan ia adalah kufur akbar meskipun mereka tidak menyandarkannya kepada Allah, kemudian bila mereka memutuskan dengannya dan mengharuskan manusia untuk mengikutinya, maka mereka telah menggabungkan kepadanya kekafiran lain.
Dan dalam itu semua Allah ta’ala menurunkan: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir…”, sebagaimana yang dikatakan Al Bara di akhir hadits.
Dan sesuatupun darinya tidak datang sebagai bentuk pensyaratan dan pembatasan, sehingga siapa yang membatasi ayat-ayat itu terhadap suatu makna –dari itu semuanya– tanpa yang lainnya, maka dia dituntut mendatangkan dalil.
Dan siapa yang mengaitkan tasyri’ (pembuatan hukum) dengan iftira (pengada-adaan) penyandarannya kepada Allah, dan dia mensyaratkan pengaitan itu dalam takfier para pembuat hukum/aturan/UU/UUD, maka berarti dia telah mensyaratkan syarat yang tidak pernah Allah syaratkan, sedangkan setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah maka ia adalah batil.
Ini makin jelas dengan apa yang telah kami ketengahkan dari Asy Syinqithiy dan yang lainnya bahwa penyekutuan Allah dalam hukum-Nya adalah seperti penyekutuan terhadap dalam ibadah-Nya dan bahwa orang yang memberlakukan Qawanin (undang-undang) adalah seperti penyembah berhala, dan ini dibuktikan oleh firman Allah suhaanahu wa ta’ala sebagaimana dalam qira’ah Ibnu ‘Amir sedang ia tergolong qira’ah sab’ah: “Dan janganlah kamu menyekutukan seorangpun dalam hukum-Nya” dengan shighat (bentuk kalimat) larangan, di mana ia menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa penyekutuan Allah sebagaimana ia ada dalam macam-macam ibadah, maka begitu juga ada dalam bab hukum dan tasyri’, dan itu terjadi dengan menerima sebagian tasyri’ (aturan) dari Allah dan sebagiannya dari apa yang tidak Allah izinkan dari selain-Nya subhanahu wa ta’ala wa ta’ala. Dan untuk menjadi musyrik itu tidak disyaratkan dia menyandarkan hukum selain-Nya tersebut kepada Allah, persis seperti orang yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selainnya, maka dia musyrik dan untuk dikafirkan dan menjadi musyrik tidaklah mesti dia mengkalim bahwa yang dia ibadati selain Allah itu adalah Allah subhanahu wa ta’ala.
Ke empat: Dan untuk menambah penjelasan perbedaan antara meninggalkan memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan dengan memutuskan dengan selain apa yang telah Allah ta’ala turunkan (dengan makna tasyri’nya)… Perhatikan ucapan orang alim Yahudi dalam hadits Al Barra “…Kami mendapatkannya rajam), akan tetapi hal itu banyak terjadi di kalangan bangsawan kami, adalah kami bila mendapatkan orang bangsawan maka kami membiarkannya, dan bila kami mendapatkan orang lemah, maka kami menegakkan had terhadapnya…”
Maka sampai di sini, kebejatan mereka dalam bidang hukum adalah (meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan) sesekali terhadap sebagian manusia tanpa mereka menghukumi dengan hukum yang lain dan tanpa mereka berpaling dari hukum Allah ta’ala secara total. Dan gambaran inilah yang disebutkan oleh sebagian ulama saat mereka membuat rincian dalam masalah al hukmu bi ghairi ma anzalallah antara orang yang mengingkari atau menganggap halal dengan yang lainnya. Dan ia adalah gambaran yang mana Murji-atul ‘Ashri melakukan pengkaburan di dalamnya dan mereka menempatkannya terhadap realita pembuatan hukum hari ini.
Kemudian perhatikan ucapan orang alim mereka setelah itu: “Kami berkata: “Mari kita untuk bersepakat atas sesuatu yang kita terapkan terhadap orang bangsawan dan kalangan bawah, kemudian kami jadikan poles wajah dan dera sebagai pengganti rajam” Selesai. Nah di sinilah mereka berpaling dari had Allah ta’ala dalam zina secara total dan mereka bermufakat dan bersepakat atas pembuatan had (sanksi) selain syari’at Allah ta’ala, yaitu (mereka memutuskan dengan selain apa yang diturunkan Allah) atau [mereka menggulirkan bagi manusia dari dien (ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan] atau mereka mengikuti para pembuat hukum (yaitu mereka berhakim kepada thaghut). Dan gambaran ini dengan disertai upaya mereka mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan beliau mengakui mereka atas hukum buatannya, adalah sebab turun firman Allah ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir”, sebagaimana dalam hadits Al Barra Ibnu ‘Azib…
Jadi ia adalah nash dalam macam pembuatan hukum thaghut ini, dan inilah penafsirannya dan yang dimaksud darinya, yaitu kufur akbar yang mengeluarkan dari millah. Oleh sebab itu Al Barra berkata setelah membaca tiga ayat itu: (tentang orang-orang kafir semuanya), “maka setiap orang yang melakukan perbuatan mereka walau dalam satu masalah, karena gambaran sebab nuzul adalah mencakupnya sedangkan ayat itu adalah nash yang tegas dalam hal itu”.
Dan zhahir ayat itu adalah umum mencakup kedua macam pemutusan tersebut, sehingga masuk di bawah keumuman lafazhnya macam pertama, akan tetapi sesungguhnya jumhur salaf mentakwilnya dan memalingkannya dari zhahirnya pada orang yang iltizam (komitmen) dengan syari’at Allah dan meninggalkan penerapan syari’at sesekali sebagai maksiat, maka berkatalah sebagian mereka (kufrun duna kufrin) atau (bukanlah kekafiran yang

mengeluarkan dari millah), dan di antara mereka ada yang membiarkannya sesuai zhahirnya seperti Ibnu Mas’ud tentang putusan dengan risywah (suap).
Dan ini tidak penting bagi kami karena ia bukan termasuk realita kita, namun yang penting bagi kita adalah macam pembuatan hukum thaghut yang ada di zaman kita, oleh sebab itu engkau jarang melihat kami berdalil dengan ayat ini yang mana Ahlut Tajahhum Wal Irja ngawur memahaminya dan serabutan dalam memposisikannya, karena zhahir ayat ini mengandung dua makna. Dan kami mencukupkan untuk mengkafirkan para penguasa zaman kita ini dengan nash-nash yang tegas yang mencakup para pembuat hukum dan mentaati mereka dalam hukum apa yang tidak Allah izinkan atau (dengan) ayat-ayat yang berbicara tentang tahakum kepada thaghut dan mencari selain Allah sebagai rab, musyarri’ (pembuat hukum/UU/UUD) dan pemutus serta yang lainnya.
Kemudian perhatikan ucapan Al Albaniy hal (64): “Bila kita kembali kepada (Jama’atut Takfier) atau orang yang mencabang dari mereka!! dan vonis-vonis mereka terhadap para penguasa!! Serta terhadap orang-orang yang hidup di bawah panji mereka… dan berkumpul di bawah kekuasaan mereka dan pencapan mereka kafir dan murtad, maka sesungguhnya hal itu dari mereka terbangun di atas pandangan mereka yang rusak yang berdiri di atas (pemahaman) bahwa mereka itu telah melakukan maksiat, sehingga mereka kafir dengannya” Selesai.
Andaikata Syaikh membatasi ucapannya pada jama’ah yang ia namakan (Jama’atut Takfier) tentulah kami tidak akan mengomentari ucapannya ini, karena sesungguhnya ucapan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan kami, di mana Ushul Jama’ah ini bertentangan dengan Ushul Ahlus Sunnah terutama takfier dengan sebab maksiat secara muthlaq, karena ini adalah ‘Aqidah Khawarij, sedangkan kami berlepas diri darinya.
Tapi dia –semoga Allah memberinya hidayah– telah menambahkannya seraya berkata: “…atau orang yang mencabang dari mereka..”, dan ia memaksudkan dengan ini setiap orang yang mengkafirkan para thaghut atau keluar menjihadi mereka dalam rangka merealisasikan tauhid dan menghancurkan syirik dan tandid.
Hal itu dijelaskan dengan ucapannya yang telah lalu sebelumnya: “Jama’ah takfier atau sebagian macam jama’ah-jama’ah yang menisbatkan dirinya kepada jihad, Sedangkan ia pada hakikatnya termasuk fulul takfierSelesai.
Oleh sebab itu kami katakan: Adapun kritikan Syaikh (vonis mereka terhadap para penguasa dengan kufur dan riddah) maka ini adalah yang kami tidak berlepas diri darinya, akan tetapi kami adalah para pelakunya dan kami tidak memiliki dari amal perbuatan suatu yang kami berharap itu mendekatkan diri kami kepada Allah pada zaman ini sepertinya, oleh sebab itu kami tidak malu dari melontarkannya bahkan kami mengumumkannya dan tidak menyembunyikannya. Kami bangga dengannya dan mengajak kepadanya dalam tulisan-tulisan kami, kajian-kajian kami dan ceramah-ceramah kami, kami meneriakannya dalam setiap pertemuan dan kesempatan, dan kami memuji Allah ta’ala karena Dia telah memberi kami hidayah dan memberikan bashirah akannya, jadi ia adalah dien yang kami anut.
Sedangkan dalil-dalilnya adalah lebih kokoh di dalam hati kami daripada gunung-gunung yang terpancang dan lebih terang daripada matahari di siang bolong, dan telah kami ketengahkan kepada engkau dalam uraian yang lalu sebagian dari hal itu; dan engkau mendapatkannya dalam tulisan-tulisan kami yang telah kami tuangkan dalam bab ini.
Silahkan kembali ke sana, tentu engkau akan mendapatkan dengan sangat jelas bahwa hal ini tidak dibangun –sebagaimana yang diklaim Syaikh dalam lontarannya– di atas pemahaman bahwa mereka itu telah melakukan maksiat…!!!.
Akan tetapi ia dibangun di atas pemahaman bahwa mereka itu telah menghancurkan tauhid, mereka menegakkan dan menyiarkan syirik dan tandid.
Adapun apa yang dituturkan Syaikh berupa vonis mereka dengan vonis (kafir dan riddah terhadap orang-orang yang hidup di bawah panji mereka dan bergabung di bawah kekuasaan dan penguasaan mereka) maka ini tidak benar.
Dan syaikh di dalamnya telah ngawur dan menyelisihi al haq dan kebenaran, terutama sesungguhnya ia –sebagaimana yang telah engkau lihat– telah melontarkan itu terhadap orang yang kafir terhadap thaghut dan menjihadi mereka. Dan ia tidak mengkhususkannya pada orang-orang yang ia namakan sebagai jama’ah takfier.101 Sedangkan setiap orang yang memiliki pengetahuan akan jama’ah-jama’ah jihad di dunia hari ini atau ia membaca sedikit dari tulisan-tulisan mereka, tentu dia mengetahui bahwa jama’ah-jama’ah ini tidak mengatakan pendapat yang dituduhkan Syaikh ini.
Kami juga tidak mengatakan vonis muthlaq semacam yang dituturkan Syaikh tadi, karena mayoritas manusia pada zaman kita ini mau tidak mau hidup dengan sebab ketertindasan di bawah panji pemerintah-pemerintah syirik dan tandid, dan mereka tinggal di payung kekuasaan pemerintah-pemerintah diktator ini. Sedangkan kami hanyalah mengkafirkan dari mereka orang yang menghancurkan tauhid dan membela syirik dan tandid secara suka rela tanpa dipaksa, atau orang yang membela kaum musyrikin atas kaum muwahhidin yang kafir terhadap pemerintah-pemerintahnya dan para thaghutnya.
Adapun orang yang beriman kepada Allah dan menjauhi thaghut dengan makna bahwa ia menjauhi peribadatan terhadapnya dan menjauhi pembelaan terhadap hukum dan kemusyrikannya serta pembelaan terhadap auliyanya atas kaum muwahhidin, maka ia itu telah merealisasikan tauhid yang mana ia adalah hak Allah atas hamba-Nya, dan orang macam ini sama sekali kami tidak menyinggung pengkafirannya walaupun dia itu pegawai di pemerintahan-pemerintahan ini.

91 Hilyatul Auliya 1/134 dari Muqaddimah Al Halabiy…!!!
92 Al Albaniy telah menegaskan hal 65 dari fatwanya bahwa orang tersebut berasal dari jama’ah yang dicap orang-orang sebagai jama’ah takfier…, kemudian Allah memberi hidayah dia untuk meninggalkan mereka…!!!.
Dan sebagian ikhwah yang berasal dari Mesir yang tsiqat telah mengabari saya prihal orang itu, dan mereka menuturkan kebodohan dia akan ilmu syar’iy dan bahwa dia datang ke Pakistan serta berupaya untuk mengajar di ma’had syar’iy milik mereka di sana, maka al akh (Abdul Qadir Ibnu Abdil Aziz) pemilik kitab (Al Jami’ Fi Thalabil Ilmiy Asy Syarif) menulis tulisan –di mana mereka memperlihatkannya kepada saya– di dalamnya beliau menjelaskan kebodohan dia akan ilmu syar’iy serta sikap ngawurnya dalam hal bicara tentang penguasa, dan beliau menyarankan agar tidak mengizinkan dia untuk mengajar di sana.
93 I’lamul Muwaqqi’in 1/87-89.
94 Sebagaimana dalam pasal 25 UUD Yordania (Kekuasaan legislatif dipegang oleh Majlis Rakyat dan Raja).
95 Al Maa-idah: 44.
96 Syaikh Abdul Majid Asy Syadzaliy berkata dalam kitabnya (Haddul Islam Wa Haqiqatul Iman) hal 407 pada firman Allah ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir”: “Sesungguhnya Khawarij ingin memasukkan dalam kata “siapa yang” kezhaliman putusan, ketimpangan vonis dan sekedar penyimpangan syar’iyyah. Sedangkan ini adalah suatu yang ma’lum kebatilannya dari dien ini secara pasti, oleh sebab itu hal tersebut diingkari oleh sahabat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in dan para pengikut mereka dari tiga generasi terdahulu yang utama. Dan mereka mengatakan apa yang mereka katakan dalam tafsir ayat-ayat ini sebagai bantahan terhadap mereka, dan ucapan mereka dalam hal ini sesuai kadar kebutuhan yang ada” selesai. Dan beliau menuturkan tingkah Murji-atul ‘Ashri dalam berdalil dengan ucapan Ibnu Abbas dan yang lainnya dalam bantahan mereka terhadap tingkah Khawarij supaya mereka ~yaitu Murji’ah~ berdalil dengan hal itu bahwa orang yang mengembalikan urusan saat terjadi perselisihan kepada syari’at lain selain syari’at Allah tidaklah keluar sebabnya dari millah. Kemudian beliau berkata: “Khawarij membiarkan hukum atas zhahirnya dan memalingkannya kepada selain posisinya sedangkan mereka mentakwilkannya pada posisinya dan bukan pada posisinya. Padahal al haq adalah membiarkan atas zhahirnya di posisinya dan ditakwil pada bukan posisinya” selesai.
97 Al Halabiy berkata dalam catatan kaki muqaddimahnya hal (16): “Dan Al Imam Ibnul ‘Arabiy Al Malikiy memiliki ucapan lain yang di dalamnya ada penjelasan yang baik bagi makna tabdil, ia berkata dalam Ahkamul Qur’an 2/624: “Bila ia memutuskan dengan apa yang ada padanya dengan (anggapan) bahwa itu berasal dari sisi Allah, maka ia adalah tabdil (penggantian) terhadapnya yang mengharuskan (vonis) kafir. Dan bila dia memutuskan dengannya karena dasar hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang bisa diampuni sesuai dasar Ahlussunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa” kemudian Al Halabiy berkata: “Dan ia dengan makna itu sendiri…!!! Pada (ucapan) Syaikhul Islam – rahimahullaah – sebagaimana yang akan datang 16-18” selesai.
Saya berkata: Isyaratnya kepada hal 16-18 memberikan anggapan bahwa Syaikhul Islam memandang tabdil itu atas makna ini saja…!!! Dan bila engkau merujuk kedua tempat yang dia isyaratkan kepadanya, ternyata engkau mendapatkan beliau berbicara pada tempat pertama: “tentang orang yang tidak meyakini wajibnya memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan dan orang yang menganggap halal memutuskan di antara manusia dengan apa yang dia anggap adil… dan orang yang tidak memutuskan kecuali dengan adat yang diperintahkan oleh orang-orang yang ditaati…” Adapun di tempat ke dua hal 18 maka ternyata di dalamnya Syaikhul Islam tidak memiliki perkataan, akan tetapi ucapannya hal 19, dan ia adalah apa yang telah kami uraikan sebelumnya dalam bantahan terhadap Muqaddimah Al Halabiy… “Bahwa Ahlussunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat dengan sebab dosa…” dan ucapannya: “Dan begitu juga dikafirkan dengan sebab tidak meyakini wajibnya kewajiban-kewajiban yang zhahir…” Dan dalam itu semua tidak ada penyebutan tabdil dan bahwa Syaikhul Islam memandangnya sesuai makna yang mana Al Halabiy girang dengannya dari ucapan Ibnul ‘Arabiy, di mana dia menampilkan hal itu darinya dengan huruf (tebal), dan dia berkata sebelum ucapannya: “di dalamnya ada penjelasan yang bagus bagi makna tabdil” terus dia berkata langsung sesudahnya: “dan ia dengan makna itu sendiri pada (ucapan) Syaikhul Islam”, dan tidak pantas di sini dikatakan: niat saya dan maksud saya…!!! Karena si pembaca hanya melihat pada apa yang tertulis dan ia tidak punya jalan untuk mengetahui apa yang ada di dada.
Jadi silahkan gabungkan ini pada daftar koleksi penggelapan Al Halabiy yang panjang…!!!
98 Syarat menurut Ahlul Ushul adalah suatu yang mesti dari ketidakadaannya ketidakadaan (hukum) dan tidak mesti dari keberadaannya adanya (hukum).
99 Majmu Al Fatawa 20/87.
100 Al Fashl 3/256.
101 Dan perlu diketahui sesungguhnya jama’ah yang dicap syaikh sebagai jama’ah takfier, dan saya maksudkan secara tegasnya adalah orang-orang yang menamakan dirinya sebagai Jama’atul Muslimin, mereka itu tidak memandang ‘amal jihadi dan penghadangan terhadap pemerintah pada hari ini. Saya mendengar itu langsung dari mereka, bahkan sebagian mereka menamakan jama’ah-jama’ah jihadiyyah dengan nama Tsaurjiyyah sebagai bentuk kecaman dan pengingkaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar