Pages

Dakwah "Salafy" Dakwah Murji'ah (Membongkar Kebohonan Ali Hasan Al Kadzdzab Bagian 9)

Apa engkau tidak mengetahui wahai Syaikh apa yang kami petik dari sisi ‘amaliyyah…???!!!
Atau itu hanya sekedar debat…???!!!
Bukankah di sana ada perbedaan yang jauh antara prilaku muslim dan keadaan-keadaannya, hidupnya, bahkan dakwahnya, jihadnya dan banyak dari perlakuan-perlakuannya bila dia hidup di bawah payung negara kafir atau di bawah kekuasaan yang kafir… dengan keadaan semua itu bila dia hidup di bawah kekuasaan yang muslim atau khilafah rasyidah..???

Saya tidak mengira samar atas orang-orang semacam engkau apa yang telah kami utarakan –sebagai contoh– berupa pemilahan para ulama antara sikap amaliy terhadap penguasa muslim bila ia zhalim dan aniaya, dengan sikapnya terhadap penguasa bila dia murtad atau menampakkan kekafiran yang nyata.
Dan nash-nash syar’iyyah dalam bab ini adalah banyak…
Hadits-hadits tentang (anjuran) sabar terhadap pemimpin, tabah atas kezhaliman mereka dan tidak membangkang atau memberontak terhadap mereka adalah lebih banyak daripada yang bisa dicakup oleh tempat ini.
Namun nash-nash tentang orang yang menampakkan kekafiran yang nyata adalah lain.
Apakah tidak berbeda perilaku amaliy orang muslim antara orang yang turun nash berkenaan dengan mereka –umpamanya–; Firman-Nya ta’ala:“Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul dan para pemimpin di antara kalian…” (An Nisaa’: 59).
Dan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
    “Kamu mendengar dan patuh kepada amir, meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan patuhlah kamu”. (HR. Muslim).
    “Wajib atas orang muslim mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai dan dia benci kecuali bila ia perintahkan untuk maksiat…” Muttafaq ‘alaih dari hadits Ibnu Umar.
     “Siapa yang mencopot tangan dari ketaatan, maka dia berjumpa dengan Allah di hari kiamat sedang dia tidak memiliki hujjah. Dan siapa yang mati sedang di lehernya tidak ada bai’at maka ia mati jahiliyyah”. (HR. Muslim dari Ibnu Umar juga).
    “Mendengarlah dan ta’atlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyiy yang seolah-olah kepalanya adalah anggur kering”. (HR. Al Bukhari dari hadits Anas).
     “Wajib atas kamu mendengar dan ta’at pada saat situasi susah dan mudah kamu, pada saat giat kamu dan kebencianmu serta saat kamu tidak dihiraukan” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah).
    “Siapa yang membai’at imam terus dia memberikan keta’atan dan kesetiaannya, maka hendaklah dia mentaatinya bila dia mampu, kemudian bila datang yang lain menyainginya, maka penggallah leher yang menyainginya” (HR. Muslim dari Hadits Ibnu Umar).
     “Siapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Allah, dan siapa yang maksiat kepadaku maka ia telah maksiat kepada Allah, dan siapa yang mentaati amir maka ia telah mentaatiku dan siapa yang maksiat kepada amir maka ia telah maksiat kepadaku” (Muttafaq ‘alaih dari Hadits Abu Hurairah).
Dan tatkala beliau ditanya oleh Usamah Ibnu Zaid: “Wahai Nabiyyullah, bila memimpin atas kami para pemimpin yang meminta hak mereka kepada kami dan mereka menahan hak kami, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami? Maka beliau berpaling darinya, lalu Usamah ibnu Zaid bertanya lagi kepadanya, maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mendengar dan taatlah, karena atas mereka apa yang mereka pikul dan atas kalian apa yang kalian pikul” (HR. Muslim).
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud radliallaahu’anhu, berkata: “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: (Sesungguhnya setelahku akan ada pemonopolian dan hal-hal yang kalian ingkari, maka mereka berkata: Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada orang di antara kami yang mendapatkan itu? Beliau berkata: Kalian tunaikan hak yang jadi kewajiban kalian, dan kalian meminta kepada Allah hak kalian”. (Muttafaq ‘alaih).
Dan hadits Ibnu Abbas radliallaahu’anhu bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang membenci sesuatu dari amirnya, maka hendaklah dia bersabar, maka sesungguhnya siapa yang keluar sejengkal dari penguasa, maka ia mati dengan mati jahiliyyah”. (Muttafaq ‘alaih).
Dan hadits-hadits semacam ini yang berbicara tentang penguasa muslim yang tidak keluar dari lingkungan muwalah imaniyyah dan menghati-hatikan dari membangkang terhadapnya serta menganjurkan untuk bertahan atas kezhalimannya dan sabar atas penindasannya, demi menjaga pertumpahan darah dan menghindari fitnah yang lebih besar dan lebih dahsyat.
Dan karena itu, masihlah boleh mengajukan perkara ke peradilan-peradilan  mereka dan menunaikan hak kepada mereka, berupa zakat, seperlima ghanimah, ketaatan dan yang lainnya, sebagaimana boleh shalat di belakang mereka serta jihad bersama mereka dan di bawah panji dan kepemimpinan mereka. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah mencantumkan ini dalam Aqaid mereka dalam rangka membedakan manhaj Ahlus Sunnah dari Manhaj Ahlul Bid’ah dari kalangan Khawarij dan yang lainnya, mereka berkata: “Dan kami memandang shalat, haji dan jihad bersama para imam kita, sama saja mereka itu orang-orang baik ataupun jahat…”104
Apakah tidak berbeda sikap ‘amaliy orang muslim terhadap para penguasa macam itu, dengan sikapnya terhadap orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka: “Maka perangilah para pemimpin kekafiran itu, sesungguhnya mereka tidak bisa dipegang janjinya, agar supaya berhenti”105
Dan firman-Nya ta’ala: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan dien seluruhnya hanya milik Allah”106
Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya berkata: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah”: yaitu syirik107
Dan firman-Nya: “Kebenaran telah nyata dari kesesatan, maka siapa yang kafir terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kokoh”108
Dan firman-Nya ta’ala: “Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang-orang mu’min”109
Dan di antaranya arahan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar memberontak dan memerangi orang yang tidak menegakkan dien dari kalangan para pemimpin110. Dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengambil itu dalam bai’at atas mereka agar tidak merampas kepemimpinan dari pemiliknya [kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang pada kalian di dalamnya ada keterangan dari Allah) (HR. Al Bukhari dan Muslim].
Dan sabdanya shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang mengganti diennya maka bunuhlah” (HR. Al Bukhari).
Dan nash-nash lainnya yang menganjurkan untuk memerangi para pemimpin kekafiran, menghantam tokoh-tokoh kemurtadan, menentang mereka, memberontak mereka dan menyatakan bara’ah dari para thaghut serta kafir terhadap mereka dan kemusyrikan-kemusyrikan mereka, dan bahwa mereka itu tidak boleh dibantu, tidak boleh berjihad bersama mereka, bahkan mereka itu harus dijihadi dan diperangi sampai dien (ketundukan) ini seluruhnya kepada Allah. Dan bila sebagian dien (ketundukan) atau tasyri’ (hukum) kepada Allah sedangkan sebagiannya kepada thaghut, maka wajib memerangi mereka sebagai pemenuhan akan perintah Allah untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada manusia, dan agar dien seluruhnya milik Allah. Dan tidak boleh mengakui pemerintahan dan kekuasaan mereka atas kaum muslimin, baik umum maupun khusus, sehingga tidak boleh shalat di belakang mereka kecuali sebagai bentuk taqiyyah111, tidak boleh menyerahkan zakat, shadaqah dan seperlima ghanimah kepada mereka, kecuali bila mereka memungut itu dan mengambilnya dengan cara kekerasan, ghashab dan ikrah (paksaan)112. Putusan-putusan mereka dan perjanjian-perjanjian mereka tidak berlaku, kesepakatan-kesepakatan mereka satu sama lain tidak mengikat kita113, kita tidak rela dengan aturan-aturan kafir mereka, serta kita tidak memiliki kewajiban untuk mendengar dan patuh kepada mereka… dan hal lainnya yang dipaparkan lagi terkenal berupa banyak perbedaan dalam kitab-kitab Fiqh.
Apa yang telah Allah ta’ala syari’atkan bagi kita lewat lisan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam berupa menentang para penguasa yang kafir dengan sebab yang nyata ini (pengubahan dien/ajaran) atau (kalian melihat kekafiran yang nyata), bukan hanya terbatas pada pemberontakan dan perang, akan tetapi penentangan itu lebih umum dan lebih luas dari itu, sedang suatu yang tidak bisa didapatkan seluruhnya tidaklah boleh ditinggalkan seluruhnya. Siapa yang gugur darinya kewajiban memberontak dan memerangi para penguasa itu karena ketidakmampuan, maka tidak gugur darinya (kewajiban) i’dad dalam batasan istitha’ah, atau (kewajiban) ajakan terhadap hal itu, menyemangati terhadapnya, menghalang-halangi dan menggembosi darinya, karena hal yang mudah terjangkau tidak bisa gugur dengan hal yang susah.
Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata:
Inilah sungguh membela dien adalah keharusan yang mesti
Bukan fardlu kifayah namun atas semua individu
Dengan tangan atau dengan lisan, kemudian bila kamu tak mampu
Maka dengan memohon dan doa dengan lisan…
Maka apa Syaikh dan para muqallid-nya tidak membedakan antara sikap Al Imam Ahmad terhadap para penguasa zamannya secara umum dengan sikap Syaikhul Islam terhadap Tartar yang memberlakukan Yasiq (hukum-hukum Buatan)… Dan juga sikap ulama Ahlus Sunnah terhadap Banu ‘Ubaid Al Qadah yang menguasai Mesir dan Maghrib (wilayah-wilayah sebelah Barat Mesir) dan mereka menampakkan di dalamnya kekafiran yang nyata…
Apa Syaikh dan para muqallid-nya tidak membedakan antara menjabat sebagai hukum (qadli) –sebagai contoh– di sisi penguasa kafir di bawah payung hukum dan qanun (undang-undang) kafir yang mana ia tidak bisa memutuskan kecuali dengannya…!!! Dengan memangku jabatan itu di bawah payung sistem Islamiy yang tidak mengacu kecuali terhadap hukum syari’at, bukankah ini semuanya amal dan sikap-sikap amaliyyah…???
Kemudian Syaikh dan para pengikutnya malah mengatakan: “Apa yang kalian petik dari sisi amaliyyah…??”
Apa Syaikh dan para muqallid-nya tidak membedakan antara iqamah (menetap) di darul kufri dan di bawah kekuasaan kuffar serta hukum hijrah dalam keadaan seperti ini dengan iqamah di darul Islam dan di bawah payung hukum kaum muslimin…???
Atau Syaikh dan para muqallid-nya ini menyangka bahwa masalah takfir para penguasa itu hanya sekedar aksesori keilmuan yang tidak dibangun amalan di atasnya…???
Maka atas dasar apa kalau begitu kami dan jama’ah Tajahhum Wal Irja berpisah dalam manhaj, dakwah, metode dan jalan…???
Atas dasar apa kami menjadi musuh dan lawan bagi para thaghut, kami mengintai mereka dan mereka mengintai kami… padahal di sisi lain sesungguhnya mayoritas mereka –kecuali yang dirahmati Rabb kami– telah menjadi anshar, kekasih, auliya dan tentara yang setia buat para thaghut itu…???
Bukankah ini semuanya buah dan salah satu hasil serta efek dari sekian efek amaliy yang dibangun di atas vonis kafir terhadap para thaghut itu…???
Orang yang memandang para thaghut itu –dengan pandangannya yang sesat– sebagai kaum muslimin, maka dia tergelincir dalam sikap loyal terhadap mereka, membela mereka dan mendukung mereka… dan menurutnya tidak ada halangan untuk menjadi bagian dari tentara mereka atau tawalliy kepada mereka.
Adapun orang yang mengetahui kekafiran mereka, dan dia memiliki bashirah akan kemurtadan mereka serta nyata jelas baginya kebatilan mereka, maka dia tidak akan menganggap boleh suatupun dari itu semuanya bagi dirinya, dan justeru engkau bisa melihat dia itu mengibarkan genderang perang dengan lisan dan panah terhadap mereka, atau mendapatkan dia menjauhkan diri dari mereka lagi menghindari mereka seraya mendidik anak cucunya untuk membenci mereka, serta membisikkan dirinya untuk menjihadi mereka sebagai tingkatan iman paling lemah.
Jadi masalahnya bukanlah sekedar royal (tarof) pemikiran, akan tetapi dibangun di atasnya banyak hal dari amalan.
Dan andaikata kami menelusuri seluruh konsekuensi amaliyyahnya tentulah tempat ini menjadi lebar, akan tetapi dalam apa yang kami contohkan terdapat kadar cukup bagi orang yang menginginkan hidayah.
Adapun ucapan Syaikh: “Apa yang bisa kalian lakukan dan kalian perbuat?”
Maka kami katakan: Sesungguhnya suatu yang wajib kami lakukan bila sudah jelas si penguasa itu kafir atau murtad, adalah banyak.
Sungguh ini adalah kemungkaran besar yang tidak boleh diakui atau dibiarkan. Karena Allah subhanahu wa ta’ala wa ta’ala berfirman: Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang-orang yang mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan terhadap yang ma’ruf serta melarang dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, kemudian bila tidak mampu maka hendaklah merubahnya dengan lisannya, kemudian bila tidak mampu maka hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim dari hadits Abu Sa’id Al Khudriy).
Dan beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya saya hampir dipanggil terus saya memenuhi panggilan (itu), terus memimpin kalian setelahku para pemimpin yang mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengamalkan apa yang mereka ketahui. Mentaati mereka itu adalah ketaatan, terus kalian berada seperti itu beberapa lama, kemudian memimpin kalian setelah mereka para pemimpin yang mengatakan apa yang tidak mereka ketahui dan mengamalkan apa yang mereka tidak ketahui, maka siapa yang menjadi penasehat mereka dan menjadi pendamping mereka serta menjadi penopang mereka, maka mereka itu telah binasa dan telah membinasakan. Baurilah mereka dengan jasad kalian dan memisahkan dirilah (dari) mereka dengan amalan kalian, dan persaksikanlah terhadap orang yang baik bahwa ia itu baik dan terhadap orang yang berbuat buruk bahwa ia itu buruk”. (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath dari Abu Sa’id Al Khudriy sedang ia itu shahih).
Perhatikanlah perbedaan dalam mu’amalah antara aneka ragam penguasa, pemerintah dan umara…!!!
Oleh sebab itu para ulama berkata bahwa wajib atas muslim untuk mengetahui keadaan pemerintah di zamannya, kemudian perhatikan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “…dan persaksikanlah terhadap orang yang baik bahwa ia itu baik dan terhadap orang yang berbuat buruk bahwa itu buruk…” karena sesungguhnya ia adalah nash dalam tempat perselisihan… dan kemudian terapkan pada ucapan Al Albaniy dan yang lainnya dari kalangan yang mengklaim bahwa tidak ada faidah dari sisi amaliyyah dalam takfier para penguasa hari ini…!!!
Andaikata dalam hal itu tidak ada kecuali ta’at kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan merealisasikan perintahnya untuk memberikan kesaksian terhadap orang yang baik di antara mereka bahwa ia baik dan yang buruk bahwa ia buruk, tentulah cukup dengan hal itu sebagai faidah, qurbah dan ta’at yang dengannya kita mendekatkan diri kepada Allah tabaraka wa ta’ala. Maka bagaimana gerangan sedangkan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kebinasaan dan pembinasaan orang yang menyamakan dalam mu’amalah antara aneka ragam para penguasa, baik yang kafir di antara mereka maupun yang muslim, dan bahwa orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang mengetahui benar keadaan-keadaan para penguasa, lagi membedakan antara orang yang baik dan orang yang buruk.
Dan sudah ma’lum bahwa membedakan antara auliyaurrahman dengan auliyausysyaithan ini tidak bisa terealisasi, kecuali dengan memilah-milah keadaan mereka dan mendudukkan hukum syari’at pada mereka untuk mengetahui orang yang baik dari yang buruk di antara mereka.
Dan beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada seorang nabipun yang telah Allah utus di tengah umat sebelumku melainkan ia dari umatnya memiliki hawariyyin dan para sahabat, yang memegang tuntunannya dan mencontoh perintahnya, kemudian datang setelah mereka generasi pengganti yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Siapa yang menjihadi mereka dengan tangannya maka dia mu’min, dan siapa yang menjihadi mereka dengan lisannya maka dia mu’min, dan siapa yang menjihadi mereka dengan hatinya maka dia mu’min, dan di belakang itu tidak ada sebesar biji khardal pun dari keimanan” (HR. Muslim dari hadits Abdullah Ibnu Mas’ud).
Inilah Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan batasan bagi kita apa yang mungkin kita lakukan masing-masing sesuai kemampuannya, baik dengan tangan dan senjata atau dengan pena dan lisan atau dengan i’dad dan bantuan atau yang lainnya… yang penting tidak membela kemungkaran ini atau mengakui kekuasaan orang kafir… atau tunduk kepada hukumnya dan kekafirannya, atau kita ridla dengan pemberlakuannya akan undang-undangnya yang rusak, ajarannya yang bathil pada agama manusia, jiwa mereka, darah mereka, kemaluan mereka, kehormatan mereka dan harta mereka.
Dan telah kami ketengahkan kepada engkau ucapan para ulama tentang kewajiban menentang penguasa kafir dan berupaya untuk mencopotnya dan merubahnya, serta mengangkat imam yang mengayomi Ahlul Islam yang menghukumi dengan syari’at dan menjaga keutuhan, menghidupkan jihad, menegakkan hududullah dan memimpin umat untuk mengembalikan kejayaannya.
Di antaranya ucapan Al Qadli ‘Iyadl yang mana beliau berkata di dalamnya: “Wajib atas kaum muslimin bangkit menentangnya dan mencopotnya serta mengangkat imam yang adil bila itu memungkinkan mereka. Dan bila itu tidak terealisasi kecuali bagi segolongan orang maka wajib atas mereka mencopot orang kafir itu”. Selesai.
Dan ini dibenarkan oleh hadits Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sekian belas sahabat: “Senantiasa segolongan dari umatku berperang di atas al haq, mereka tidak terpengaruh dengan orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula dengan orang yang menggembosi mereka sampai datang urusan Allah”.
Dan dalam satu riwayat: “Sampai orang-orang akhir mereka memerangi Dajjal”.
Dan sudah ma’lum bahwa sabdanya shalallaahu ‘alaihi wa sallam (senantiasa) menunjukkan kesinambungan dan bahwa itu tidak putus sampai hari kiamat.
Bila kita tidak mampu mengkudeta dan memberontak mereka sekarang, maka sama sekali tidak boleh bagi kita mengakui kekuasaan orang kafir dan melapangkan baginya jalan untuk mendikte kaum mu’minin; yaitu menjadikannya sebagai waliyyul amri (pemimpin) dan imam kaum mu’minin, atau menambali kebatilannya serta membela-belanya dengan syubhat-syubhat yang rapuh, atau menabuh genderang perang terhadap orang yang kafir terhadapnya, bara’ darinya serta berupaya untuk menjihadinya dan merubah kebatilannya, dan menamakan mereka sebagai Khawarij dan Takfiriyyin…!!!. Akan tetapi kita wajib berupaya optimal mempersiapkan para pemuda untuk hal itu, menyemangati mereka terhadapnya serta menyiapkan segala perlengkapan untuknya, karena Allah ta’ala berfirman:“Dan jika mereka mau berangkat tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu…” (At Taubah: 46).
Dan juga sesungguhnya kemampuan dan istitha’ah adalah syarat untuk kewajiban menurut ahli ilmu, dan bukan syarat untuk pensyari’atan dan kebolehan, karena jihad adalah ibadah dan qurbah yang disyari’atkan bagi umat ini seperti ibadah lainnya, sehingga boleh memerangi orang-orang kafir untuk mengingkari kemungkaran dan mendatangkan pukulan terhadap mereka dan menghidupkan kefardluan jihad yang lenyap, meskipun tidak terealisasi dari hal itu pencopotan penguasa kafir tersebut. Semuanya ini tergolong penentangan yang disyari’atkan dan khuruj terhadap para thaghut; yang mana ia adalah tergolong tanda dan pengaruh bara’ah dari mereka dan kufur akan kebatilannya. Dan bahasan ini telah kami rinci di tempat lain.
Adapun orang yang menganggap bahwa penguasa ini adalah muslim, maka dia tidak akan menyiapkan persiapan dan tidak akan berfikir untuk memberontak dan menentang [tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka; dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu” (At Taubah: 46).
Bahkan menurut banyak orang-orang semacam itu tidak ada halangan untuk membai’atnya, tawalliy kepadanya, nushrah kepadanya dan membela-belanya. Oleh sebab itu engkau melihat banyak dari murid Syaikh, para pengikutnya dan para muqallid-nya tawalliy kepada orang-orang kafir, dan di antara mereka ada yang menjabat di sisi para thaghut sebagai menteri, anggota parlemen dan para penasehat, karena para penguasa itu menurut mereka adalah muslimin... sebab mereka tidak mengingkari...!!! tidak istihlal...!!! dan tidak meyakini...!!! serta tidak mengklaim bahwa undang-undang buatannya lebih baik dari hukum Allah...!!! Oleh sebab itu mereka menjadi tentara yang setia dan anshar yang tulus bagi para thaghut.
Bahkan tidak ada halangan bagi banyak mereka untuk menjadi mata-mata, intel, spionase dan penyampai berita (informan,ed.) yang melaporkan kegiatan para muwahhidin kepada para thaghut.114
Karena para thaghut menurut mereka adalah muslimin...!!!
Sedangkan para muwahhidin itu adalah Khawarij mubtadi’ah dan orang yang terbunuh paling buruk di kolong langit ini...!!! Yang keluar dari dien ini sebagaimana panah melesat dari busurnya...!!!
Selamat buat para thaghut dengan keberadaan Afrakhul Murji’ah dan Jahmiyyah itu yang melunakkan dien ini untuk berkhidmat kepada mereka, dan menjinakkannya untuk melegalkan kebatilan mereka dan (untuk) membungkam lawan dan musuh mereka dari kalangan muwahhidin.
Wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhim.
Adapun ucapan Syaikh: “Bila mereka berkata: Wala dan bara’, Maka kami katakan: Wala dan bara itu berkaitan dengan muwalah dan mu’adah qalbiyyah dan amaliyyah– dan sesuai kemampuan, sehingga tidak disyaratkan untuk keberadaan keduanya pernyataan takfier secara terang-terangan dan vonis murtad di hadapan umum, bahkan sesungguhnya al wala dan al bara kadang diterapkan kepada ahli bid’ah atau ahli maksiat atau orang zhalim”. Selesai hal (71).
Maka kami katakan: Semoga Allah memperbaiki Syaikh... dan siapa yang tidak mengetahui bahwa al wala dan al bara’ itu dilakukan terhadap ahli bid’ah, ahli maksiat dan orang zhalim...???
Akan tetapi tidak samar atas Syaikh bahwa bara’ah dari ahli bid’ah, ahli maksiat dan orang zhalim yang tidak keluar dari lingkaran Islam, tidak boleh terjadi dengan bentuk bara’ah yang total seperti bara’ah dari orang kafir dan murtad.
Orang kafir dan murtad, kita bara’ darinya dan dari kekafiran serta kemusyrikannya dengan bara’ah yang total, dan kita menampakkan kepada mereka permusuhan dan kebencian selamanya sampai mereka beriman kepada Allah saja. Allah ta’ala berfirman: “Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, saat mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, dan tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”. (Al Mumtahanah: 4).
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata dalam Kitabnya Sabilun Najah Wal Fikak: “Dan di sini ada faidah yang sangat indah yaitu bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala wa ta’ala mendahulukan sikap bara’ah dari kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah terhadap sikap bara’ah dari berhala-berhala yang diibadati selain Allah, karena yang pertama adalah lebih penting dari yang ke dua, karena sesungguhnya bila ia bara’ dari berhala-berhala dan tidak bara’ dari orang yang beribadah kepadanya maka ia itu tidak merealisasikan hal yang menjadi kewajiban dia. Dan ini seperti firman-Nya: “Dan aku tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah...” Allah mendahulukan sikap meninggalkan mereka terhadap sikap meninggalkan sembahan-sembahan mereka, dan begitu juga firman-Nya: “Tatkala dia meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah...” juga firman-Nya: “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Allah...” Maka camkanlah faidah ini, karena sesungguhnya ia membuka bagimu pintu untuk memusuhi musuh-musuh Allah, berapa banyak orang yang tidak muncul kemusyrikan darinya, akan tetapi dia tidak memusuhi para pelakunya115, maka dia tidak menjadi muslim dengan sebab itu karena ia telah meninggalkan dien seluruh rasul” Selesai.
Dan karena orang itu kafir dan murtad, kita bara’ darinya dan dari pahamnya dengan sikap bara’ yang total, oleh sebab itu Allah memutuskan antara kita dengan dia hubungan-hubungan pewarisan, nushrah, jalinan cinta kasih, sebagaimana ia dalam firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian...” dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala: “Kamu tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya walaupun mereka itu bapak-bapak mereka...”
Padahal orang muslim yang maksiat dan zhalim serta ahli bid’ah –bid’ah ghair mukaffirah– kita tidak bara’ kecuali dari maksiatnya, dosanya dan bid’ahnya, dan kita tidak bara’ darinya secara total, akan tetapi ia tetap di dalam muwalah imaniyyah selama ia muslim; sehingga pewarisan dan pembelaan dia atas al haq tidak terputus, dan ia tidak boleh dibenci secara total, akan tetapi dia dicintai karena keIslamannya dan dia dibenci karena maksiatnya. Allah ta’ala berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan” (Asy Syu’araa: 215-216).
Dan perbedaan sangat nampak dan jelas antara firman-Nya ta’ala di sini “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan” dengan firman-Nya ta’ala tentang kuffar: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian”
Oleh sebab itu Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya saya berlepas diri kepada-Mu dari apa yang telah dilakukan Khalid”.116
Dan beliau tidak berkata: “Ya Allah, sesungguhnya saya berlepas diri kepada-Mu dari Khalid...”
Perbedaan ini sangatlah nyata jelas, antara wala dan bara’, juga muwalah dan mu’adah terhadap kaum muslimin meskipun mereka itu para pelaku maksiat, bid’ah, kezhaliman dan kebejatan, dengan itu semua terhadap kuffar dan murtaddin.
Oleh sebab itu wajib mengetahui orang muslim dengan keIslamannya dan orang kafir dengan kekafiran dan kemurtadannya, untuk membedakan dalam perlakuan antara ini dan itu karena tidak boleh mencampuradukkan dan menyamakan sama sekali.
Allah subhanahu wa ta’ala wa ta’ala telah berfirman seraya mengingkari orang yang menyamakan antara keduanya: “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Al Qalam: 35-36).
Dengan sebab tidak ada furqan (pemilah) antara auliyaurrahman dengan auliyausysyaithan pada banyak dari jama’ah-jama’ah Irja pada hari ini, maka timpanglah timbangan-timbangan mereka dan menyimpanglah sikap amaliy mereka serta terjadi pada mereka pencampuradukkan dalam ta’amul antara ansharuttauhid dengan ansharusysyirki wat tandid. Dan engkau dalam uraian yang lalu telah melihat beberapa gambaran dari hal itu, dan bagaimana gerangan sesungguhnya mereka itu telah jauh dibawa hawa nafsu sampai mereka sampai pada keadaan yang mana mereka mengobarkan perang di dalamnya terhadap ahlul Islam, dan mereka membiarkan –bahkan mereka melindungi– para penyembah berhala!!
Adapun ucapan Syaikh hal (71-72): “Kemudian saya katakan kepada mereka itu: Ini mereka ~orang-orang kafir~ telah menjajah banyak tempat dari negeri Islam! –sedang kita sayang sekali telah mendapat bencana dengan penjajahan Yahudi terhadap Palestina– maka apa yang kami dan kalian bisa lakuakn terhadap mereka? Sehingga kalian –saja– berdiri menghadapi para penguasa yang kalian kira dan kalian klaim bahwa mereka itu kuffar?” Selesai.
Maka kami katakan:
Pertama: Kami tidak mengira-ngira belaka dan tidak mengklaim saja, akan tetapi kami meyakini itu dengan keyakinan yang mantap yang menghasilkan buah-buah amaliy di hati, lisan dan jawarih (anggota badan).
Dan terhadap hal itu telah kami ketengahkan kepada anda sesuatu dari dalil-dalil yang jelas yang tidak bisa ditolak, kecuali dengan suatu dari pemalingan ucapan dari tempat yang sebenarnya.
Dan siapa yang ingin mendapatkan bahasan tambahan maka silahkan merujuk kitab-kitab kami yang khusus membahas ini...
Kemudian kami katakan: Sesungguhnya bencana kita dengan penguasaan para pemerintah murtad, pemberlakuan hukum-hukum kafir kepada kaum muslimin, pemaksaan manusia untuk masuk dalam dien (hukum/sistim/ideologi/undang-undang) thaghut, pengharusan mereka untuk tahakum kepadanya, serta memasukkan mereka dalam peribadatan kepada manusia dan hukum-hukum mereka; adalah lebih dahsyat dari bencana kita dengan penjajahan Yahudi terhadap Palestina...117
Sungguh sudah baku menurut setiap orang yang telah mengetahui hakikat dienil Islam, bahwa mafsadah syirik yang menggugurkan tauhid, merobohkan dien, menghapuskan amalan, mengharamkan surga serta mengekalkan dalam neraka adalah mafsadah terbesar dalam realita kehidupan ini.
Ia adalah lebih besar dari mafsadah penjajahan kuffar ashliyyin terhadap sebagian negeri Islam. Dan penjajahan ini tidak lain pada dasarnya adalah salah satu pengaruh dari pengaruh-pengaruh kaum murtaddin di atas leher kaum muslimin, pembudakan kaum muslimin terhadap kemusyrikan mereka dan menggusur mereka terhadap aturan mereka dan kebatilan mereka yang mana ia adalah hasil dari sampah-sampah dan pahatan-pahatan Yahudi dan Nashara, oleh sebab itu ia datang melindungi mereka, mengharamkan untuk memerangi mereka lagi menjaga hak-hak mereka...!!!
Bahkan orang yang ‘alim lagi mengetahui akan dienul Islam, dia mengetahui bahwa penguasaan Yahudi –sedang mereka itu adalah ahli kitab– atas leher kaum muslimin adalah lebih ringan keburukannya daripada penguasaan kaum murtaddin.
Perbedaan ini sangatlah nampak di hadapanmu bila engkau mengetahui ucapan ulama tentang perbedaan antara kafir ashli ahli kitab dengan orang murtad yang mengetahui dienullah atau mengaku (Islam) kemudian dia memeranginya dan berupaya dalam menghancurkannya.
Dan bagaimana keadaannya sungguh Dia ta’ala telah berfirman sedangkan firman-Nya adalah ucapan pemungkas: “Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu” (At Taubah: 123). Yaitu perangilah orang-orang yang paling dekat dengan kalian kemudian yang setelahnya...
Dan tidak ragu bahwa musuh yang menguasai leher (kaum muslimin) yang menghalangi dari menjihadi Yahudi dan yang lainnya, yang menjaga lagi melindungi aturan-aturan mereka dengan bala tentaranya, dan ia pula pada dasarnya yang melenggangkan jalan bagi mereka untuk menduduki negeri kaum muslimin dan menjajahnya, adalah musuh yang paling dekat dan paling berhak serta paling utama untuk dijihadi dan ditanggulangi…
Oh semoga kaumku mengetahui…!!

104 Lihat Al ‘Aqidah Al Wasithiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, juga Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah serta yang lainnya.
105 Surat At Taubah: 21.
106 Al Anfal: 39.
107 Dan dikarenakan tidak boleh membaurkan antara macam ini dengan para pemimpin muslim, serta karena perbedaan yang jauh dalam ta’amul (berinteraksi) antara ini dan itu, maka sungguh Ibnu Umar telah mengingkari terhadap orang yang berhujjah dengan ayat ini untuk memberikan dorongan berperang dalam masa fitnah di antara kaum muslimin, dan beliau berkata sebagaimana dalam shahih Al Bukhari dan lainnya: “Sungguh kami telah berperang sampai tidak ada fitnah dan dien ini milik Allah, sedangkan kalian ingin berperang agar ada fitnah”.
108 Al Baqarah: 256.
109 An Nisaa’: 141.
110 Isyarat itu kepada hadits ‘Auf Bin Malik, berkata: “Saya mendengar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Para pemimpin kalian terbaik adalah orang-orang yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sedangkan para pemimpin kalian terburuk adalah orang-orang yang kalian benci dan mereka membenci kalian, serta kalian melaknat mereka dan mereka melaknat kalian,” Auf berkata: Saya berkata: “Wahai Rasulullah apa boleh kami menyingkirkan mereka? Beliau berkata: Tidak, selagi mereka mendirikan shalat di tengah kalian” (HR. Muslim).
Dan hadits: “Akan datang para amir, maka kalian mengenali dan mengingkari, siapa yang mengenali maka ia berlepas diri dan siapa yang mengingkari maka ia selamat, akan tetapi orang yang ridla dan mengikuti.” Ia berkata: Apa boleh kami memerangi mereka? Beliau menjawab: Tidak boleh selagi mereka shalat”. (HR. Muslim).
An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim: “Dan adapun ucapannya: Apa boleh kami memerangi mereka? Beliau menjawab: Tidak boleh selagi mereka shalat” maka di dalamnya terkandung makna apa yang telah lalu bahwa tidak boleh memberontak para Khalifah dengan sekedar kezhaliman dan kefasikan selagi mereka tidak merubah suatupun dari kaidah-kaidah syari’at ini” Selesai.
Dan untuk mengetahui realita bahwa mereka itu telah merubah kaidah-kaidah syari’at dan ushulnya serta telah merobohkan tujuan-tujuan intinya, selahkan rujuk kitab kami (Kasyfun Niqab ‘An Syari’atil Ghaab) baik yang materi Kuwait maupun Yordania.
111 Dalam keadaan seperti ini shalat diulangi, sebagaimana yang telah kami paparkan dalam kitab kami Masaajid Adl Dliraar Wa Hukmu Ash Shalaat Khalfa Auliya Ath Thaghut Wa Nuwwabih, dan hal ini tidak akan dianggap aneh oleh orang yang mengetahui dien dan tauhidnya. Bila saja Al Imam Ahmad telah memfatwakan dengan hal seperti ini pada status shalat di belakang Jahmiyyah –yang mana beliau tidak mengkafirkan mereka secara mu’ayyan, kecuali setelah penegakkan hujjah– maka apa gerangan dengan yang lebih buruk dari mereka dan lebih terang-terangan dalam kekafiran.
112 Allah ta’aalaa berfirman: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”. Ini tentang safahah shugra (kebodohan kecil), maka bagaimana dengan kebodohan terbesar yang telah Allah firmankan tentangnya: “Dan tidak ada yang benci terhadap millah Ibrahim kecuali orang yang telah orang yang telah memperbodohi dirinya sendiri” Dan Dia berfirman tentang orang-orangnya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menginfakkan harta-harta mereka untuk menghalang-halangi dari jalan Allah...” Maka apa kita menyerahkan kepada mereka harta-harta kaum muslimin juga supaya mereka gunakan untuk menghalang-halangi dari jalan Allah dan untuk memerangi dien ini...???
113 Dan rincian ini tempatnya adalah Kitab kami (Ar Ramhiyyah) semoga Allah mempermudah proses pengeluarannya.
114 Dan hal itu telah terjadi pada diri saya, di hari saat sebagian orang yang mengaku salafiy di Kuwait membuat laporan kepada pemerintah, mereka mengompori pemerintah terhadap saya seraya menyebutkan bahwa saya mengkafirkan penguasa negeri ini, ansharnya dan auliyanya, dan bahwa saya merencanakan untuk melakukan perbuatan yang mereka cap sebagai tindak pidana terorisme...!!!
Selamat buat para thaghut dengan macam para tentara yang tulus semacam mereka yang mana mereka itu seperti apa yang dikatakan oleh penyair:
Mereka saat berdebat tidak memiliki hujjah
Mana ada hujjah bagi muqallid yang bingung
Mereka tidak lari kepada dalil, namun
Saat lemah pelarian mereka kepada penguasa
Tidaklah aneh bila mereka kehilangan hidayah dien mereka
Mereka kembali pada kejahilan dan kedurhakaan...
Asal bait-bait syair ini milik Al ‘Allamah Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Hajar Al Hasaniy Al Jazairiy dari qashidah ‘Ad Durr Al Mandhum Fi Nushratin Nabiyyil Ma’shum.
115 Yaitu tidak ada padanya sedikitpun rasa permusuhan terhadap mereka, karena kadar iman terlemah adalah adanya permusuhan di dalam hati, sedang di belakang itu tidak ada sedikitpun iman dan Islam bila musuh-musuh Allah di sisinya menjadi auliya dan kekasih. Dan yang dimaksud bukanlah takfier dengan sekedar meninggalkan penampakan permusuhan dan meninggalkan sikap terang-terangan dengan hal ini, maka ini orang yang meninggalkannya tidak boleh dikafirkan, karena berapa banyak orang mu’min yang jujur lagi bertauhid menyembunyikan permusuhannya terhadap kaum musyrikin dengan sebab istidl’af (ketertindasan), maka selalu ingatlah akan hal ini dan hati-hatilah dari ifrath dan tafrith...
116 HR. Al Bukhari dalam Kitab Al Maghaziy dari Ibnu Umar dalam kisah orang-orang yang dibunuh Khalid Ibnul Walid dari Banu Judzaimah saat mereka berkat: “Shaba’na”, dan mereka tidak pandai mengatakan: Kami telah masuk Islam.
117 Faidah: Ketahuilah bahwa orang yang pertama kali mentalbis al haq dengan al bathil, di mana ia menamakan kekafiran yang mengeluarkan dari millah (sebagai kufrun duna kufrin) adalah Yahudi tatkala mereka menjadikan syirik yang nyata dan kekafiran yang jelas tidak mengekalkan dalam neraka (Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak akan disnetuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja”. Mereka menjadikan syirik mereka dalam penyembahan anak sapi sebagai hal yang tidak mengekalkan dalam neraka; dan mereka berkata: “Kami tidak akan masuk neraka, kecuali empat puluh hari selama waktu penyembahan kami terhadapnya”; maka Allah ta’aalaa mendustakan mereka dalam hal itu dan Dia membantah hal itu atas mereka serta Dia menjelaskan bahwa mereka dengan hal itu berkata atas nama Allah apa yang tidak mereka ketahui. Camkan hal ini dan hendaklah engkau mengetahui biang Irja dan akarnya. Dan jangan engkau heran setelah ini bila engkau telah mengetahui bahwa (Bisyr Al Mirrisiy) yang mengatakan bahwa sujud kepada matahari dan bulan bukanlah kekafiran, namun ia adalah tanda terhadap keyakinan kufur; dan yang mana Al Mirrisiyyah dari kalangan Murji’ah dinisbatkan kepadanya..., jangan heran pula bila engkau mengetahui bahwa ayahnya adalah Yahudi, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah (10/281) maka perhatikanlah...!!! Dan setelah ini tidaklah aneh bila Sa’id Ibnu Jubair rahimahullaah berkata: “Murji’ah adalah Yahudi kiblat ini” Selesai...!!! Sumber bibit dan ushul di samping ‘aqidah dalam bab ini adalah sama...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar