Dalam masalah ini akan kami tuturkan empat sub bahasan yaitu posisi bahasan masalah takfier, definisi riddah, kaidah takfier serta kekeliruan-kekeliruan yang umum dalam masalah ini.
Sub Bahasan Pertama
Posisi Bahasan Materi Takfier
Perkatan kami dalam takfier di sini akan terbatas pada orang yang sebelumnya telah tetap sebagai orang yang berstatus hukum sebagai muslim, baik dia itu masuk Islam dengan sendirinya ataupun dilahirkan di atas fithrah karena dua orang tua yang muslim, bukan orang kafir yang asli, meskipun kekafiran itu adalah kekafiran dengan tanpa melihat orang yang terperosok didalamnya, akan tetapi pembicaran mengenai kafir asli adalah tidak ada kesulitan di dalamnya dan tempatnya adalah bab Al Jihad.
Maka kami katakan bahwa sesunggguhnya materi takfier (yaitu memvonis kafir seseorang yaitu yang dikenal dengan nama takfier mu’ayyan) adalah memiliki dua sisi pembahasan, keduanya ada di dalam berbagai kitab-kitab ilmu, yaitu:
1. Sisi i’tiqod (keyakinan): yang berkaitan dengan hakikat kekafiran dan macam-macamnya sedangkan tempat pembahasannya adalah bab-bab al iman dan pembatal-pembatalnya dalam buku ‘aqidah.
2. Dan sisi qodloiy (peradilan): Ini membahas dua hal:
Pertama: Hal yang mengkafirkan –yaitu asbaabul kufri– dan sanksi orang kafir. Dan tempat bahasan masalah ini adalah bab-bab riddah dan murtad dalam kitab fiqh.
Ke dua: Pembuktian terjadinya hal yang mengakfirkan –yaitu sebab kekafiran- dari orang tertentu dan memandangnya pada kekosongannya dari penghalang-penghalang hukum yang dianggap secara syariat dan itu untuk memvonisnya dengan kekafiran atau untuk membebaskannya. Tempat pembahasan masalah ini adalah bab-bab qadla (peradilan), dakwaan dan bukti-bukti dalam kitab fiqh.
Sedangkan maksud di sini adalah mengingatkan bahwa tidak boleh memfatwakan dalam masalah takfier mu’ayyan dengan hanya melihat pada kitab-kitab ‘aqidah tanpa melihat pada proses peradilan yang berkaitan dengan hal itu. Dan akan datang sesuatu dari rincian dalam hal itu saat berbicara tentang kaidah takfier.
Sub Bahasan Ke dua
Definisi Riddah
Riddah adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran atau pemutusan keIslaman dengan kekafiran. Allah Ta’ala berfirman:
“… barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Al Baqarah: 217)
Sedang murtad adalah orang yang kafir setelah keIslamannya dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan.
Definisi-definisi madzhab yang empat dan selain yang empat tentang riddah dan murtad semuanya berkisar seputar makna ini. Itu dikarenakan kekafiran itu bisa terjadi dengan amalan lisan (yaitu ucapan) atau dengan amalan anggota badaan (yaitu perbuatan) atau dengan amalan hati (yaitu dengan keyakinan atau keraguan). (Lihat Kasysyaful Qina’ karya Syaikh Manshur Al Bahutiy juz 6 hal. 167-168)
Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafii’y berkata dalam Kifayatul Ahkyar: “Riddah menurut syari’at adalah kembali dari Islam kepada kekafiran dan memutus keIslaman sedang ia bisa terjadi kadang dengan ucapan dan kadang dengan perbuatan dan kadang dengan keyakinan. Dan masing-masing dari ketiga macam ini di dalamnya banyak masalah yang tidak terhitung.” (Kifayatul Ahkyar 2/123)
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq An Najdiy rahimahullah (wafat 1301) berkata: “Sesunggguhnya ulama sunnah dan hadits berkata “Sesungguhnya orang yang murtad adalah orang yang kafir setelah keIslamannya baik berupa ucapan, perbuatan maupun keyakinan.. Mereka menetapkan bahwa orang yang mengucapkan kekafiran adalah kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak mengamalkannya bila dipaksa. Begitu juga bila ia melakukan kekafiran, maka ia kafir walaupun tidak meyakininya dan tidak mengucapkannya. Begitu juga bila ia melapangkan dadaanya dengan kekafiran yaitu dia membukanya dan meluaskanya (maka ia kafir), walaupun ia tidak mengucapkan hal itu dan tidak mengamalkannya. Ini adalah sesuatu yang maklum secara pasti dari kitab-kitab mereka dan orang ynag memiliki kesibukan dalam ilmu, maka mesti telah mencapai sebagaian dari hal itu“ (Ad Difa’ An Ahlis Sunnah Wal I’ttiba’ karya Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq terbitan Darul Qur-anil Karim 1400 H hal: 30)
Sebagaian ulama membatasi dengan tiga sebab kekafiran (ucapan, perbuatan atau keyakinan) dan sebagian dari mereka menambahkan: [atau keraguan] dan itu demi membedakan keraguan dari keyakinan, padahal sesungguhnya keduanya termasuk amalan hati, akan tetapi keyakinan adalah suatu yang terikat lagi menetap, adapun keraguan maka ia adalah sesuatu yang tidak terikat dan tidak menetap dikarenakan ia dan kebalikannya adalah seimbang. Barangsiapa yang bersarang dalam hatinya kedustaan Rasul maka ini kufur i’tiqod (keyakinan) dan barangsiapa yang ragu akan kebenaran Rasul dan bagi dia Rasul itu bisa jadi berdusta, maka ini adalah kufur keraguan (syak) Allah Ta’ala berfirman:
ó”Dan di hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya” (At Taubah: 45)
Di sini ada peringatan penting: yaitu yang telah lalu itu adalah definisi riddah secara hakikat sebenarnya. Adapun dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai zhahir, maka tidak divonis murtad, kecuali dengan sebab ucapan mukaffir (yang mengkafirkan) atau perbuatan mukaffir, karena perbuatan dan perkatan keduanya adalah apa yang nampak dari manusia, adapun keyakinan dan keraguan yang mana tempatnya adalah hati maka tidak ada sanksi dengan sebab keduanya di dunia selagi keduanya tidak nampak pada ucapan atau perbuatan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata dalam hadits shahih “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk mengorek hati manusia” dan di dalam Ash Shahih juga bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Usamah: ”Apakah kamu membelah hatinya“
Barang siapa kafir dengan hatinya (dengan keyakinan atau keraguan) dan dia tidak menampakkannya dalam ucapan atau perbuatan maka ia muslim dalam hukum dunia akan tetapi ia kafir pada hakikat sebenarnya di sisi Allah dan dia adalah orang munafiq dengan nifaq akbar yang menutupi dirinya dengan kekafirannya.
Ibnul Qoyyim berkata: ”Dan beliau tidak memberlakukan hukum-hukum itu terhadap sekedar apa yang ada di dalam jiwa tanpa ada indikasi perbuatan atau ucapan” (I’lamul Muwaqqiin, 3/117)
Dalam hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir dan dalam hal ini, berkata Al Imam Ath Thahawiy rahimahullah dalam I’tiqadnya –tentang ahli kiblat- “Dan kami tidak memvonis mereka kafir, musyrik dan munafiq selama tidak nampak dari mereka sesuatu dari hal itu dan kami serahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah Ta’ala“ Pensyarah berkata: “Karena kita telah diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan zhahir dan kita dilarang dari praduga dan dari mengikuti apa yang tidak diketahui ilmunya“ (Syarhul ‘Aqidah At Thahawiyyah hal 427 terbitan Al Maktabah Al Islamiy 1403)
Kesimpulan: bahwa vonis murtad di dunia tidak terjadi kecuali dengan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Orang yang murtad adalah setiap orang yang mendatangkan setelah keIslamannya sesuatu yang menggugurkan keIslamannya berupa ucapan dan perkatan, dimana ia tidak bisa bersatu kumpul bersama” (Ash Sharimul Maslul: 459)
Dan berkata juga: ”Dan secara umum barang siapa yang mengucapkan atau melakukan yang merupakan kekafiran maka ia kafir dengan hal itu meskipun ia tidak bermaksud untuk kafir, kerena tidak seorangpun bermaksud kafir, kecuali apa yang telah Allah kehendaki” (Ash Sharimul Maslul 177-178)
Perhatian akan kemungkinan riddah dan cepatnya itu terjadi:
Sekarang banyak orang-orang berlebihan dalam menghati-hatikan dalam pengkafiran manusia, meskipun mereka telah melakukan apa yang mereka lakukan dan mereka mengatakan bahwa ini adalah madzhab Khawarij bahkan mereka berpendapat akan peniadaan kemungkinan terjadinya riddah dan bahwa orang muslim yang mengikrarkan dua kalimat syahadat tidak mungkin kafir selamanya dan sebagian mereka berdalil dengan ungkapan “Kami tidak mengkafirkan seorang muslimpun dengan sebab dosa”.
Ini termasuk dalam kebodohan terhadap agama Islam. Sesungguhnya Khawarij, mereka itu mengkafirkan dengan sebab dosa yang tidak mukaffirah sedangkan Ahlus Sunnah maka sesungguhnya mereka mengkafirkan dengan sebab dosa-dosa mukaffirah. Adapun ungkapan “Kami tidak mengkafirkan seorang muslimpun dengan sebab dosa“ maka telah lalu penjelasan maknanya dalam komentar saya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah.
Sungguh telah murtad sejumlah manusia pada masa hidup Nabi sw dan setelah beliau wafat murtadlah mayoritas orang yang telah masuk Islam dari kalangan bangsa Arab kecuali penduduk Makkah, Madinah dan Bahrain dan mereka pun diperangi akibat kemurtadannya oleh Abu Bakar dan para sahabat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Tak usah kamu meminta maf, krena kamu kafir sesudah beriman…“ (At Taubah: 66)
Dan firman-Nya:
“…Sesunguhnya mereka telah mengucapkan perkatan kekafiran dan telah menjadi sesudah Islam… “ (At Taubah: 74)
Orang-orang yang mana ayat-ayat tadi turun berkenaan dengan mereka adalah telah kafir dengan sebab-sebab ucapan-ucapan yang mereka ucapkan pada masa Nabi saw.
Nabi saw bersabda: “Bersegeralah kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti potongan malam yang gelap, orang di pagi hari mu’min dan di sore hari ia kafir, atau disore hari dia mu’min dan di pagi dia kafir, dia menjual agamanya dengan materi dunia.“ (HR Muslim).
Seseorang bisa kafir dengan satu kalimat yang ia lontarkan walaupun ia bersenda gurau (bercanda main-main) oleh sebab itu pensyarah Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah berkata: ”Dienul Islam adalah apa yang disyariatkan Allah ta’ala untuk hamba-hambaNya lewat lisan para Rasul-Nya. Inti dan cabang-cabang dien ini, periwayatannya adalah dari para rasul dan ia sangat jelas sekali, mungkin bagi setiap mumayyiz ~baik kecil maupun besar, orang fashih maupun non arab, pandai maupun bodoh~ untuk masuk di dalamnya dengan waktu yang sesingkat mungkin dan sesungguhnya keluar darinya juga bisa lebih cepat dari itu“ (Syarhul Aqidah Ath Thahawiyyah, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1403 H hal: 585)
Perhatikan ucapannya “Dan sesungguhnya keluar darinya (juga) bisa lebih cepat dari itu“. Oleh sebab itu para ulama menuturkan riddah dalam pembatal–pembatal wudhu, adzan, shalat, shaum dan yang lainnya, yaitu bahwa orang bisa jadi wudhu untuk shalat terus ia melakukan sesuatau yang mengkafirkan –baik ucapan atau perbuatan atau keyakinan atau keraguan– sehingga murtad, kemudian bila ia taubat maka wajib atasnya memperbaharui wudhu yang telah rusak dengan riddah maka perhatikanlah cepatnya riddah, tentu engkau mengetahui kerusakan pendapat orang-orang yang menganggap riddah sebagai bagian hal-hal yang sangat jauh terjadi atau mustahil.
Di antara hal ini adalah ucapan Ibnu Qudamah rahimahullah “Sesunguhnya riddah adalah membatalkan wudhu dan membatalkan tayammum dan ini adalah pendapat Al Auza’iy dan Abu Tsaur. Dan ia (riddah) adalah mendatangkan sesuatu yang dengan sebabnya ia keluar dari Islam, baik itu ucapan ataupun keyakinan atau pun keraguan yang memindahkan dari Islam, kemudian kapan saja ia kembali kepada keIslamannya dengan rujuk kepada dienul haq maka ia tidak boleh shalat sampai ia berwudhu, meskipun ia telah berwudhu sebelum ia murtad”. (Al Mughniy Ma’asy Syarhil Khabir juz 1/168)
Ibnu Qudamah juga berkata: “(riddah)itu membatalkan adzan bila ia ada di tengah adzan“. (ibidem 1/438)
Dan berkata juga: “Kami tidak mengetahui perbedaan di antara ahli ilmu bahwa orang yang murtad dari Islam di tengah shaum sesungguhnya shaumnya rusak dan ia wajib mengqadha’ hari itu bila ia kembali Islam di tengah hari itu ataupun hari itu sudah habis“. (ibid. 3/52)
Ibnu Qudamah juga berkata: “Bila isterinya berkata: “Cerailah saya dengan satu dinar, maka ia mencerainya terus si wanita murtad, maka ia wajib membayar satu dinar itu maka cerainya menjadi ba’in dan kemurtadannya tidak berpengaruh, karena riddah ada setelah ba’inunah. Dan bila ia mencerainya setelah kemurtadaan si wanita dan sebelum dukhul (berhubungan badaan) si suami dengannya, maka dia menjadi ba’in (tidak ada rujuk) dengan sebab riddah dan cerai pun tidak terjadi, karena ia mengenai si wanita yang sudah ba’in“ (ibid. 8/186).
Abul Qoshim Al Khorqiy berkata: “Andai ia menikahinya dalam keadaan keduanya muslim terus si wanita murtad sebelum dukhul, maka pernikahan lepas begitu saja dan dia tidak berhak atas mahar. Dan bila yang murtad adalah si laki-laki sebelumnya dan sesudah dukhul maka begitu juga, akan tetapi si laki-laki wajib bayar separuh mahar“ dan berkata juga: “Bila riddah wanita setelah dukhul, maka ia tidak berhak mendapat nafkah dan bila ia tidak masuk Islam sampai ‘iddahnya habis maka pernikahannya lepas begitu saja. Andai si laki-laki murtad terus ia tidak kembali kepada Islam sampai ‘iddahnya maka nikahnya lepas semenjak dua agama berlainan“ (ibid. 9/584-565).
Ini adalah sedikit dari hal yang banyak dan ia menjelaskan kemungkinan terjadinya riddah dan bahkan sangat cepatnya ia terjadi, berbeda dengan apa yang diklaim sebagian orang. Sampai-sampai orang yang berwudhu bisa murtad antara wudhu dengan shalatnya dan orang yang adzan bisa murtad saat ia menyerukan shalat dengan lafazh mukaffir yang ia ucapkan atau dengan keyakinan mukaffir yang diyakini hatinya atau mukaffirat lainnya. Perhatikanlah hal ini, tentu engkau mengetahui kejahilan yang memalukan yang ada pada banyak orang-orang masa sekarang.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy berkata: “Sampai–sampai sesungguhnya banyak ulama di abad-abad ini sangat mengingkari terhadap orang yang mengingkari syirik akbar sehingga jadilah mereka itu dan para sahabat radliallahu’anhum berada di atas dua tepi yang bertentangan, dimana para sahabat sangat mengingkari suatu hal yang sedikit dari kemusyrikan, sedangkan para ulama itu justeru malah mengingkari terhadap orang yang mengingkari syirik akbar dan mereka menjadikan pelarangan dari syirik ini adalah bi’ah dan kesesatan.
Dan begitulah keadaan umat-umat bersama para rasul dan nabi seluruhnya dalam apa yang dengannya mereka diutus, berupa tauhidullah Ta’ala, ikhlash beribadah kepada-Nya saja dan larangan dari penyekutuan denganNya” .
Beliau juga berkata: ”Banyak para pengklaim (dirinya) berilmu tidak mengetahui “Laa ilaaha illallaah“ sehingga mereka menghukumi setiap orang yang mengucapkannya sebagai seorang muslim walaupun dia itu terang-terangan dengan kekafiran yang nyata, seperti peribadatan kepada kuburan, mayit dan berhala, pengahalalan hal yang haram yang diketahui pengharamannya secara pasti oleh agama ini, pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan serta mejadikan alim ulama dan para ahli ibadah sebagai arbab selain Allah“ (Dari catatan kaki hal 128 dan 221 dari kitab Fathul Majid Syarhi Kitab At Tauhid terbitan Darul Fikr 1399H).
Sub Bahasan Ke Tiga
Kaidah Takfier
Yang dimaksud di sini adalah takfir mu’ayyan dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan istilah “kaidah takfier“ dalam banyak tempat di Majmu Al Fatawa. Saya telah berupaya sejak lama untuk mendapatkan suatu teks bagi kaidah ini di dalam karya-karya Syaikhul Islam yang beraneka ragam, namun sampai sekarang saya tidak mendapatkannya padahal sangat banyak dilakukan penelusuran. Dan saya mengiranya memaksudkan dengan hal itu apa yang telah baku di kalangan para ulama berupa memperhatikan dlawabit takfier (batasan-batasan takfier) dari sisi proses peradilan yang sudah dikenal dan bisa jadi -karena sebab itu– tidak ada kebutuhan untuk membukukannya pada masa mereka karena mereka menjalankan peradilan syar’iy saat itu.
Paling tidak yang disebutkan oleh Syaikhul Islam –dan beliau ulang-ulang dalam banyak tempat– adalah takfier mu’ayyan itu tergantung pada keterpenuhan syarat-syarat dan ketiakadaan penghalang-penghalang (takfier) pada si mu’ayyan itu. Sebagai contoh silahkan lihat (Majmu’ Al Fatawa 12/484, 487, 489, dan 498)
Adapun hari ini beserta terputusnya peradilan syar’iy dan lenyapnya hal itu dari mayoritas negeri beserta berkurangnya ilmu serta munculnya kebodohan maka sesungguhnya kebutuhan sangat menuntut untuk pembukuan kaidah semacam ini. Oleh sebab itu, maka saya telah menetapkan teks bagi kaidah takfier mu’ayyan seraya saya berharap ia memenuhi apa yang dimaksud dan ia adalah sebagai berikut:
Dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir, orang tertentu dihukumi kafir dengan sebab ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir, yang telah terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’iy. Bila syarat-syarat hukum terpenuhi dan penghalang-penghalang tidak ada pada dirinya, dan memvonis terhadapnya orang yang layak untuk menghukumi, kemudian dilihat; Bila orang itu adalah maqdur ‘alaih di Darul Islam, maka ia disuruh bertaubat secara wajib sebelum dikenakan hukuman terhadapnya oleh pihak penguasa. Dan bila dia itu mumtani’ dengan kekuatan atau dengan darul harbi, maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa proses istitabah, dan dalam hal ini melihat kepada mashlahat dan mafsadat yang ditimbulkan oleh hal itu. Bila berbenturan mashlahat dan mafsadat, maka didahulukan yang paling kuat dari keduanya. Selesai.
Saya paparkan kaidah di atas dengan penjelasan yang ringkas, saya katakan dengan memohon taufiq Allah ta’ala:
1. Ucapan saya: “Dalam hukum-hukum dunia yang berjalan sesuai dhahir” adalah pembuka dan pendahuluan bagi ucapan saya: “dengan sebab ucapan atau perbuatan”, karena sesungguhnya keduanya adalah sesuatu yang nampak dari manusia dan dengannya ia diberi sanksi di dunia. Adapun kekafiran yang ada berdiri di hati (berupa keyakinan mukaffir atau keraguan pada rukun-rukun iman dan cabang-cabangnya), maka hal ini si pelakunya tidak dikenakan sanksi dengan sebabnya di dunia, namun urusannya diserahkan kepada Allah (di hari saat segala rahasia ditampakkan), sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin mengampuni orang yang mati dalam kondisi kafir. Saya telah menjelaskan hal itu dalam peringatan penting yang dituturkan setelah definisi riddah.
2. Ucapan saya: “Dengan sebab ucapan atau perbuatan“ dan inilah sebab vonis kafir ~dalam hukum-hukum dunia~ hanyalah ucapan atau perbuatan. Adapun ucapan maka (contohnya) seperti menghinakan Allah Ta’ala atau menghina Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam atau menghina agama ini. Adapun perbuatan (contohnya) seperti melempar mushhaf ke dalam kotoran dan masuk (pula) dalam perbuatan adalah meninggalkan dan menolak dari melakukan apa yang diperintahkan seperti meninggalkan shalat dan meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan, karena sesungguhnya meninggalkan apa yang diperintahkan dinamakan sebagai perbuatan sesuai pengkajian berdasarkan firman Allah ta’ala:
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka perbuat itu.” (Al Maidah: 79).
Allah menamakan sikap mereka tidak saling melarang dari hal munkar sebagai perbuatan. Dan di dalamnya ada dalil-dalil lain yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqhitiy dalam Mudzakkirah Ushulil Fiqh, terbitan maktabah Ibnu Taimiyyah 1409 H hal: 46 dan begitu juga Ibnu Hajar berkata: “Meninggalkan itu adalah perbuatan sesuai dengan pendapat yang shahih” (Fathul Bariy 12/315)
3. Ucapan saya: “Mukaffir” adalah sifat bagi ucapan dan perbuatan”. Sifat kekafiran ini terrealisasi dengan dua syarat:
A. Syarat pertama: Terbuktinya dengan dalil syar’iy kekafiran orang yang mendatangkan ucapan atau perbuatan ini, dan ini adalah yang dinamakan takfier muthlaq tanpa menerapkan hukum kafir terhadap orang tertentu. Jadi takfier muthlaq adalah menerapkan vonis kafir terhadap sebab bukan terhadap orang si pelaku sebab itu.
Disyaratkan pada dalil syar’iy itu adalah qath’iy dilalahnya (pasti indikasinya) terhadap kufur akbar. Karena di sana ada bentuk-bentuk ungkapan yang penunjukan terhadap kekafirannya masih muhtamal (ada kemungkinan lain) bisa berarti kufur akbar dan bisa berarti berupa kufur asghar dan kefasikan. Sedangkan penentuan apa yang dimaksud dari nash yang muhtamal dilalah-nya adalah terjadi dengan qarinah-qarinah dari dalam nash itu atau dari nash-nash lainnya . Contoh hal itu: Apa yang diriwayatkan Al Bukhoriy dalam kitab Iman dari Shahihnya pada Bab Kufranul ‘Asyir dan Kufrun Duna Kufrin dan di dalamnya diriyawatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
“Saya diperlihatkan neraka, ternyata mayoritas penghuninya wanita, mereka kafir (ingkar), dikatakan: “Apa mereka ingkar kepada Allah?” Beliau berkata “Mereka ingkar kepada suami dan ingkar kepada kebaikan“ (Hadits no: 29)
Beliau meriwayatkan dalam Kitabul Haidli dari Abu Sa’id bahwa Nabi melewati para wanita, beliau berkata: “Wahai sekalian wanita bershadaqahlah, karena saya diperlihatkan kalian adalah mayoritas penghuni neraka. “Maka bertanyalah mereka: ”Apa sebabnya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: ”Kalian banyak melaknat dan ingkar kepada suami“ (Hadits no. 304)
Di dalam hadits ini beliau shalallahu ’alaihi wa salam mensifati sikap wanita tidak menunaikan hak suaminya (‘asyir) dan sikapnya yang tidak berterima kasih kepada kebaikan suaminya sebagai kekafiran. Sedangkan qarinah-qarinah telah menunjukkan bahwa yang dimaksud denganya adalah kufur ashghar bukan kufur akbar yang mengeluarkan dari agama, dan qarinah-qarinahnya adalah bahwa beliau shalallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan mereka bersedekah untuk menebus maksiat-maksiat ini, sedang sedekah itu hanyalah bermanfaat bagi orang mu’min berdasarkan sabdanya saw: “Shadaqah itu menghapuskan kesalahan sebagaimana air mematikan api“ (HR At Tirmidzi dan berkata: hadits hasan shahih). Shadaqah tidak diterima dari orang yang kafir dan tidak bisa menutupi kesalahan-kesalahannya berdasarkan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya Alloh Tidak akan mengampuni dosa penyekutuan terhadapNya“, maka ini menunjukkan bahwa mereka itu wanita-wanita mu’minah bersama pensifatan maksiat mereka dengan kekafiran dan ini adalah sifat kufur asghar.
Contoh hal itu juga adalah sabda beliau saw: ”Menghina orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran“ Dan sabdanya saw: “Janganlah kalian kembali kafir setelahku, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain” (Kedua hadist itu diriwayatkan Al-Bukhari).
Beliau menamakan pembunuhan muslim terhadap muslim sebagai kekafiran, dan begitu juga sikap saling memeranginya, sedang nah-nash telah menunjukkan bahwa pembunuhan sengaja itu tidak kafir berdasarkan firman-Nya Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (Al-Baqoroh: 178)
Dimana Allah menetapkan ukhuwwah imaniyyah (persaudaraan keimanan) antara si pembunuh dengan wali orang yang terbunuh, dan begitu juga dalam hal saling berperang sebagaimana firman-Nya Ta’ala:
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9)
Allah menamakan mereka mu’min bersama sikap saling berperang, dan ini menunjukkan bahwa kufur di dalam hadits-hadits yang lalu tidak lenyap bersama keimanan, sehingga ia adalah kufur ashghar atau kufrun duna kufrin.
Yang yang dimaksud disini adalah pengisyaratan bukan perincian, karena saya sudah merinci semua masalah-masalah ini dalam kitab saya (Al-Hujjah Fie Ahkamil Millah Al Islamiyyah).
Di antara bentuk-bentuk ungkapan yang dilalah-nya muhtamal yang ada kemungkinan kufur akbar dan yang dibawahnya adalah:
· Kufur dengan bentuk fi’il madli (فقد كفر) atau fi’il mudlari (يكفر)
· Kufur dengan bentuk isim nakiroh, baik mufrod (كافر) maupun jamak (كفار)
· Bentuk penafian iman (لايؤمن/tidak beriman)
· Bentuk (ليس منا/bukan tergolong dari kami)
· Bentuk “maka ia di neraka”
· Bentuk “Allah haramkan terhadapnya surga”
· Bentuk “telah lepas darinya jaminan, atau telah berlepas darinya Allah dan Rasul-Nya shalallahu ’alaihi wa sallam “
Dan yang lainnya.
Contoh-contoh untuk ini semuanya beserta penjelasan dilalah-nya disebutkan dalam kitab saya (Al-Hujjah Fie Ahkamil Millah Al Islamiyyah), dan Al Imam Abu Ubaid Al Khosim ibnu Salam telah menuturkan sejumlah dari bentuk-bentuk ungkapan yang ihtimal dilalah-nya ini dalam kitabnya (Al Iman).
Adapun dalil-dalil syar’i yang qath’iy dilalahnya terhadap kufur akbar maka contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: sesungguhnya kami hanylah bersendagurau dan bermain-main saja, katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir setelah beriman” (At-Taubah: 65-66)
Allah menegaskan terhadap kekafiran mereka setelah beriman, sedangkan ini adalah kufur akbar.
Dan contoh firman Allah Ta’ala:
“Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri: Ia berkata: aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu. Kawannya (yang mu’min) berkata kepadaanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: Apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna.” (Al-Kahfi: 35-37).
Allah menegaskan bahwa ia kafir kepada Allah, dan ia adalah kufur akbar.
Dan contohnya adalah firman-Nya tentang orang yang menyeru selain Allah dalam apa yang tidak mampu terhadapnya selain Allah:
“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa, walaupun setipis kulit ari.Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar suaramu, dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu” (Fathir: 13-14).
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Hanya bagi Allahlah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadah) orang-orang kafir, hanyalah sia-sia belaka” (Ar Ro’du: 14).
Dan sebagai kaidah umum:
Sesungguhnya setiap كفر yang datang dengan bentuk isim ma’rifat dengan alif dan lam (ال) dalam Al Kitab dan As Sunnah maka ia adalah kufur akbar, seperti lafadz (الكوافر- الكافرن- الكفار- الكافر- الكفر), karena alif dan lam menunjukkan pencakupan isim pada kesempurnaan makna. Dan ini tidak ada perselisihan makna terhadapnya diantara ahli ilmu dan ahli bahasa.
· Dan setiap كفر yang ada dalam Al-Qur’an, maka ia adalah kufur akbar, baik itu datang dengan bentuk isim atau fi’il (kata kerja) atau masdar (kata dasar), karena lafazh-lafazh Al-Qur’an adalah paten (baku), sedangkan telah terbukti hal ini dengan istiqra (penelusuran) satuan-satuan lafazh Al-Qur’an termasuk kufur yang ada dalam konteks kufur nikmat, ia adalah kufur akbar sebagaimana dalam Surat Ibrahim: 28 dan An-Nahl: 112. Dan termasuk apa yang nampak bahwa dimaksud dengan kufur lughowi (secara bahasa) nama yang dimaksud dengan tafsirnya adalah kufur akbar syar’i sebagaimana dalam Surat Al-Hadid: 20.
· Setelah itu tinggallah lafazh-lafazh kufur yang ada dalam As unnah, dimana apa yang datang darinya dengan bentuk isim ma’rifat dengan (ال) maka ia adalah kufur akbar sebagaimana dalam hadist: “antara seorang dengan al kufur adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim).
Adapun bila ia dengan selain bentuk ini, maka hukum asal di dalamnya adalah membawanya kepada kufur akbar sampai tegak qorinah yang memalingkannya kepada kufur asghor. Dan dalilnya adalah hadist kufranul ‘asyir (ingkar kepada suami) yang lalu. Coba perhatikan tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam -tentang para wanita- (mereka kafir) maka para sahabat berkata: Apakah mereka kafir (ingkar) kepada Allah? Maka ini menunjukkan bahwa kufur bila diutarakan begitu saja maka maknanya langsung mengarah kepada kufur akbar sampai ada qarinah yang memalingkannya kepada asghor sebagaimana dalam contoh-contoh yang lalu.
Syaikh Abdullatif ibnu Abdurrahman ibnu Hasan ibnu Syaikhul Islam Muhammad ibnu Abdul Wahhab berkata: “Dan lafadzh الفوجور-المعصية-الظلم الشرك-الركون-العاداة-الوالاة-الفوو- dan lafadz-lafadz lainnya yang ada di dalam Al-Kitab dan Assunnah kadang dimaksudkan dengannya maknanya yang mutlak dan hakikatnya yang mutlak, dan kadaang dimaksudkan dengannya muthlaqul haqiqoh (sekedar memiliki makna), sedangkan yang pertama adalah hukum asal menurut para ahli usul, dan yang kedua tidaklah digunakan kecuali dengan qorinah lafdhiyyah atau maknawiyyah, namun itu bisa diketahi dengan penjelasan yang berasal dari nabi dan penafsiran sunnah. Allah ta’ala berfirman: “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul-pun melainkan dengan bahasa kaumnya untuk memberikan penjelasan kepada mereka” (Ibrahim: 4). Selesai (Ar Rosa-il Al Mufidah, Syaikh Abdullatif, kumpulan (Syaikh) Sulaiman ibnu Sahman, hal: 21-22)
Disini ada peringatan penting: Sesungguhnya tidak disyaratkan untuk menghukumi terhadap sesuatu bahwa ia adalah mukaffir (mengkafirkan) datangnya nash tertentu yang menunjukkan bahwa sesuatu itu mukaffir (hal yang mengkafirkan).
Syaikh Hamd ibnu Nashir ibnu Ma’mar rahimahullah 1225 H, sedang baliau adalah tergolong imam dakwah Najdiyyah dan termasuk murid Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab rahimahullah, berkata: “Dan juga sesungguhnya banyak dari masalah-masalah yang dituturkan para ulama dalam masalah-masalah kufur dan riddah serta terjalin ijma’ terhadapnya adalah tidak datang berkenaan dengannya nash-nash yang tegas yang menamakannya sebagai kekafiran, akan tetapi para ulama menyimpulkan dari keumumman kandungan nash-nash, seperti bila orang muslim menyembelih sembelihan sebagai taqorub (mendekatkan diri) dengannya kepada selain Allah maka sesungguhnya itu adalah kekafiran berdasarkan ijma, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh An Nawawi dan yang lainnya, dan begitu juga seandainya ia bersujud selain kepada Allah” (Ad Duror As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah 9/9).
Saya berkata: “Dan diantara dalil yang paling jelas terhadap apa yang dikatakan Syaikh Hamd ibnu Ma’mar adalah kafirnya orang yang mengatakan: ”Al Qur’an makhluk”, dan ini tergolong hal yang paling terkenal dalam kitab-kitab salaf dimana mereka mengatakan: “Al-Qur’an adalah Kalamullah bukan makhluk dan barangsiapa mengatakan bahwa ia adalah makhluk maka dia kafir.”
Lihat kitab As Sunnah, karya Abdullah ibnu Ahmad, As Sunnah karya Al Khallal, kitab Al Lalikaiy, kitab Al ‘Uluw karya Adz Dzahabiy dan kitab lainnya yang sangat banyak.
Padahal tidak ada satu nash pun dalam Al Kitab atau As Sunnah yang menegaskan bahwa barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk maka ia kafir, seperti didapatkannya nash yang menyatakan bahwa barangsiapa meninggalkan shalat maka ia kafir. Sebagaimana tidak didapatkan atsar dari sahabat tentang masalah kholqul Qur’an, akan tetapi para ulama menyimpulkan vonis kekafirannya dari sisi bahwa nushush telah menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah dan ilmu-Nya, sedangkan kalam (firman) dan ilmu-Nya adalah termasuk sifat Allah Jalla sya-nuh, dan sifat-Nya bukanlah makhkluk, dan barangsiapa mengingkari hal itu serta malah mengatakan bahwa ini adalah makhluk maka ia telah kafir. Sampai akhirnya hukum masalah ini adalah tempat yang diijmakan Ahlus Sunnah.
Diantara yang membuktikan di hadapanmu kesamaran tentang hukum masalah ini adalah apa yang diriwayatkan Adz Dzahabiy dari Al Qodli Abu Yusuf, ia berkata: “Saya mengajak diskusi Abu Hanifah selama enam bulan, maka sepakatlah pendapat kami bahwa orang yang mengatakan –“Al Qur’an makhluk”- adalah kafir” selesai. (Mukhtasor Al ‘Uluw Lil A’liyyil Ghoffaar, Adz Dzahabiy, terbitan Al Maktab al Islamiy 1401 H, hal 155).
Keduanya berdiskusi selama itu dikarenakan dalam masalah ini tidak ada satu nash sharih (tegas) pun dari Al Kitab dan As Sunnah serta tidak penukilan dari sahabat di dalamnya dan ini semua termasuk yang menjelaskan bahwa tidak disyaratkan dalam dalil syar’i yang mengkafirkan itu ia berbentuk nash yang tegas dalam masalah ini secara langsung, akan tetapi boleh saja hukumnya itu diistinbath dari nash-nash yang ada.
Dalam masalah ini –yaitu terbuktinya sifat kufur bagi ucapan dan perbuatan dengan dalil yang qath’iy– masuklah perselisihan berbagai firqoh:
Khawarij mengkafirkan dengan sebab sesuatu yang bukan kekafiran, seperti dosa-dosa besar yang tidak mengkafirkan, sedangkan Murji’ah, mereka tidak mengkafirkan dengan sebab apapun dari amanat (ucapan dan perbuatan) akan tetapi mereka sejalan dengan Ahlus Sunnah dalam memvonis kafir orang yang mendatangkan amal mukafir, bukan dengan sebab amal itu sendiri tapi dikarenakan sesungguhnya amal yang ditegaskan dalil terhadap kekafiran pelakunya adalah ciri (tanda) yang menunjukkan bahwa ia itu kafir dengan hatinya, sehinga mereka sepakat dengan Ahlus Sunnah dalam hal vonis dan mereka berbeda dengan Ahlus Sunnah dalam tafsirnya. Murji’ah yang saya maksudkan dalam ucapan saya yang lalu adalah Asya’irah dan Murji’ah Fuqaha.
Adapun Ghulatul Murji’ah yang jauh tersesat, maka mereka tidak mengkafirkan dengan dalil yang syar’i yang qath’iy dilalah-nya terhadap kufur akbar dan mereka mensyaratkan untuk takfir orang yang melakukan amal mukaffir sikap terang-terangan dengan takdzib dan juhud atau istihlal. Inilah yang terkenal luas pada banyak du’at masa kini. Saya sudah menuturkan kepada anda bahwa salaf telah mengkafirkan orang yang berpendapat seperti ini.
Ini adalah yang berkaitan dengan syarat pertama yaitu keberadaan dalil syar’i itu tegas dilalahnya terhadap kufur akbar.
B. Syarat ke dua: Keberadaan ucapan atau perbuatan itu tegas (sharih) dilalah-nya terhadap kekafiran yaitu bahwa ia berisi manath (alasan) yang mengkafirkan yang ada dalam nash syar’i yang dijadikan dalil terhadap takfir.
Contohnya orang yang mengatakan: “Wahai tuanku Al Badawiy, tolonglah saya atau penuhilah kebutuhan saya atau lapangkanlah rizki saya atau selamatkan saya dari musuh saya”. Maka ini adalah ucapan-ucapan mukaffirah, karena ia jelas dilalahnya terhadap penyeruan selain Allah dan karena dalil syar’i telah menunjukkan bahwa orang yang menyeru selain Allah adalah kafir.
Di antara perbuatan–perbuatan yang jelas dilalahnya terhadap kekafiran diantaranya adalah orang yang melempar mushhaf pada kotoran, maka ini tidak mengandung kemungkinan kecuali bahwa ia telah melecehkan mushhaf sedang telah tsabit dengan dalil syar’i qath’iy kekafiran yang memperolok-olok ayat-ayat Allah.
Adapun bila ia melemparkan mushhaf kedalam api, maka ini adalah perbuatan yang tidak tegas dilalah-nya terhadp kekafiran. Sebagaimana akan datang penjelasan dalam hal-hal yang dilalahnya muhtamal (memiliki kemungkinan)
Dan berseberangan dengan sharihuddilalah (yang tegas dilalahnya) adalah amalan yang dilalahnya muhtamal yaitu amalan (ucapan atau perbuatan) yang tidak menunjukan terhadap kekafiran dan yang lainnya. Ini dinamakan takfir bilmuhtamalat (takfir dengan hal-hal yang masih memiliki kemungkinan) dan termasuk darinya ucapan yang bukan merupakan kekafiran dengan sendirinya tetapi menghantarkan kepada kekafiran dan ini yang dinamakan takfir bil ma’al atau takfir bilazamil qaul.
Amalan yang muhtamal dilalah-nya ini mesti memperhatikan beberapa hal yang menentukan dilalahnya dan apakah dibawa terhadap kekafiran yang jelas ataukah digugurkan. Dalam hal ini berkatalah Al Qodliy Syihabuddien Al Qarafiy: “Setiap yang memiliki dhahir, maka maknanya terpaling langsung kepada dhahirnya kecuali saat adanya hal yang merintanginya atau yang mengalahkan dhahir itu. Sedangkan suatu tak bisa diunggulkan kecuali dengan murajjih (yang mengunggulkan) yang syar’i“ (Al Faruq Al Qarafiy 2/195 terbitan Darul Ma’rifah)
Sedangkan murajjih syar’i untuk menentukan apa yang dimaksud dari amalan yang muhtamal dilalahnya adalah melihat pada tiga hal atau sebagianya yaitu:
· Mencari kejelasan maksud si pelaku
· Memperhatikan qarinah-qarinah keadaan yang menyertai amalan itu
· Dan mengetahui ‘urf (adat kebiasaan)orang yang berbicara itu dan penduduk negerinya.
Adapun mencari kejelasan maksud si pelaku yaitu niatnya, maka adalah dengan menanyakan kepadanya tentang apa yang ia maksudkan dengan ucapan dan perbuatannya. Seperti orang yang berdo’a di pinggir suatu kuburan sedang tidak bisa didengar suaranya dan siapa yang diminta dan dengan apa ia berdo’a, maka ia mesti ditanya bila dia berkata: “Saya berdo’a kepada Allah agar mengampuni si mayit ini”, maka ia berbuat baik. Bila ia berkata: ”Saya berdoa kepada Allah di sisi kuburan ini dengan harapan diijabah“ maka amalannya ini adalah bid’ah ghair mukaffirah. Bila ia berkata: “Sesungguhnya saya menyeru penghuni kubur agar memenuhi kebutuhan-kebutuhan saya”, maka amalannya ini adalah mukaffir. Jadi mencari kejelasan maksud di sini adalah menentukan apa yang dimaksud dari suatu yang muhtamal dilalahnya. Dalam hal ini berkatalah An Nawawiy dalam apa yang ia nukil dari Asy Syaimary dan Al Khatib: “Dan bila ditanya –yaitu si mufti– tentang orang yag mengatakan ini dan itu, berupa hal-hal yang memiliki kemungkinan banyak hal yang sebagaianya bukan kekafran, maka seyogyanya bagi si mufti untuk mengatakan: “Orang ini mesti ditanya tentang apa yang ia maksudkan dari apa yang ia katakan, bila ia memaksudkan begini maka jawabanya begini, dan bila memaksudkan begini maka jawabannya begini“ (Al Majmu’, An Nawawiy 1/49)
Dalam hal ini juga berkatalah Al Imam As Syafi’i rahimahullah: “Dan ucapan (yang dipegang) adalah ucapanya dalam suatu yang memiliki kemungkinan selain dhahir“ (Al-Umm, Asy Syafi’i 7/297)
Di sini ada peringatan penting yang akan datang penjelasannya dalam kekeliruan-kekeliruan takfir:
Yaitu bahwa maksud yang dituntut pencarian kejelasannya dan yang bepengaruh dalam hukum, adalah penentuan apa yang dimaksud dari perbuatan si pelaku bukan pencarian kejelasan maksud dia untuk kafir dengan hal itu, maka di dalam contoh yang lalu, bila ia berkata: “Sesungguhnya saya menyeru mayit agar menyelamatkan saya dari bencana”, maka maksud inilah yang dituntut pencarian kejelasannya dan inilah yang berpengaruh dalam hukum, dan tidak mesti menanyakan kepada dia: Apa kamu bermaksud kafir dengan hal itu…? bahkan andai kata ia berkata: “Sesungguhnya saya tidak bermaksud kufur dengan hal hal itu“ tentulah peniadaan (maksud kafir) ini tidak berpengaruh dalam hukum. Dan akan datang jabaran ini insya Allah.
Adapun memperhatikan qarinah-qarinah keadaan yang menyertai amalan itu, maka seperti orang yang mengucapkan ucapan yang memiliki kemungkinan kekafiran dan ia mengingkari maksud kekafiran dan ternyata setelah diteliti terbukti pertemuan dia dengan kaum zindiq atau ia tertuduh sebagai zindiq, maka ini adalah qarinah-qarinah keadaan yang menguatkan maksud kekafiran.
Contoh: seandainya seorang melemparkan mushhaf ke dalam api, maka ini ada kemungkinan bahwa ia itu melecehkan mushhaf, maka ia kafir seperti halnya orang yang melemparkannya ke dalam kotoran dan ada kemungkinan ia memusnahkan mushhaf yang lama yang ada padanya dengan dibakar sebagaimana Utsman radliallahu’anhu telah membakar mushhaf-mushhaf (selain mushhaf Utsmani), maka ini adalah sunnah khalifah rasyid, maka ia tidak kafir. Bila kita telah mencari kejelasan maksud dia dan ia berkata bahwa ia ingin memusnahkannya, kemudian dengan mencari kejelasan indikasi keadaannya terbukti bahwa mushhaf itu baru atau bahwa dia itu tertuduh zindiq, maka indikasi-indikasi ini membuktikan bahwa ia itu dusta dalam ucapannya bahwa ia ingin memusnahkan mushhaf itu ; akan tetapi ia itu justeru melecehkannya.
Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahulloh berkata: “Indikasi-indikasi keadaan membuat berbeda dengannya indikasi berbagai ucapan dalam penerimaan klaim apa yang menyelarasinya dan penolakan apa yang menyelisihinya dan terbangun di atasnya berbagai hukum dengan sekedarnya“ (Al Qowaid , Ibnu Rajab, kaidah 151 hal: 322)
Adapun melihat pada ‘urf maka sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qoyyim dalam Ahkamul Mufti: “Ia tidak boleh memberikan fatwa dalam kasus iqrar/pengakuan, sumpah, wasiat dan yang lannya yang berkaitan dengan lafazh dengan berdasarkan apa yang biasa ia pahami dari lafadh-lafadh itu tanpa mengetahui ‘urf pemilik bahasa itu dan orang-orang yang berkomunikasi dengannya sehinggga ia membawanya kepada makna yang mereka terbiasa dengannya dan mereka kenal meskipun bertentangan dengan hakikat asalnya, dan bila dia tidak melakukannya maka (dia) sesat lagi menyesatkan“ (I’lamul Muwaqqiin 4/228)
Inilah tiga murajjihat syar’iyyah yang dengannya kita tentukan apa yang dimaksud dari suatu yang muhtamal dilalahnya, namun lengkap dalilnya terhadap kekafiran: Al Qodhli I’yadl rahimahullah berkata: “Saya telah menyaksikan Syaikh kami Al Qodhli Abu Abdullah Muhammad Ibnu Isa dihari-hari tugasnya telah dihadirkan seorang laki-laki lain, terus laki-laki itu mendekati seekor anjing kemudian ia memukul dengan kakinya seraya berkata kepadaanya “Bangkitlah hai Muhammad, terus si laki-laki itu mengingkari bahwa ia telah mengatakan itu, dan sejumlah orang telah menjadi saksi terhadapnya, maka ia diperintahkan untuk dipenjara. Beliau meneliti keadaannya dan apakah ia bertemu dengan orang yang agamanya mencurigakan? Kemudian tatkala beliau tidak mendapatkan kecurigaan apa yang menguatkan akan ‘aqidahnya maka beliau mencambuknya dan melepasnya“ selesai.
Pensyarah berkata: “Sesungguhnya lawan orang itu namanya Muhammad“.
Al Qodli ‘Iyadl rahimahullah berkata juga: “Dan muncul juga suatu masalah yang mana sebagian qodli di Andalus meminta fatwa di dalamnya kepada guru kami Al Qodli Abu Muhammad Mansyur rahimahullah tentang orang yang dihina dengan sesuatu maka beliau berkata kepadaanya “Kamu ingin kami memutuskan berdasarkan ucapanmu, sedangkan saya adalah orang biasa dan semua manusia memiliki kekurangan termasuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam”, maka beliau menfatwakan agar dia dipenjara dalam waktu yang lama dan diberi pelajaran yang menyakitkan, karena ia tidak memaksudkan celaan (terhadap nabi) Sedangkan sebagian fuqaha Andalus menfatwakan hukuman mati“ (Asy Syifa, Al Qodli ‘Iyadl terbitan Isa Al Harabiy 2/984, 996)
Syaikhul Islam ditanya tentang orang yang menghina Syarif dari ahli bait dimana orang itu berkata: “Semoga Allah melaknat orang yang memuliakannya”, maka Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Ucapan ini dengan sendirinya tidak tergolong hinaan (terhadap Nabi) yang mana dibunuh pelakunya, akan tetapi dia diminta keterangan mengenai ucapannya tentang “orang yang memuliakannya“, kemudian bila terbukti dengan keterangan dia atau dengan qarinah-qarinah yang bersiafat keadaan atau lafazh bahwa ia melaknat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maka ia wajb dibunuh. Dan bila ucapannya itu tidak terbukti, maka hal itu tidak menyebabkan membunuhnya“ (Majmu’ Fatawa 35/197-198 Dan hal serupa 34/ 135-136)
Itulah tentang ucapan yang dilalahnya muhtamal
Di antara perbuatan-perbuatan yang muhtamal adalah orang yang shalat menghadap kiblat sedang di depannya ada api atau kuburan, ini ada kemungkinan ia shalat kepada kuburan, api atau kepada Allah, maka mesti mencari kejelasan maksud tentang qorinah-qorinah keadaan: Apakah ia terkenal baik atau adakah kecurigaan pada agamanya seperti Majusi dari kalangan penyembah api yang menampakkkan Islam secara taqiyyah, dan yang lainnya? Al Bukhori telah membuatkan bab untuk masalah ini dalam Kitabus Shalat dari Shahihnya pada bab “Orang yang shalat sedang di depannya ada api atau perapian atau sesuatu yang diibadahi namun ia memaksudkan Allah dengannya” (Fathul Baari 1/527)
Maka ini yang wajib diikuti untuk menentukan dilalah (penunjukkan) amalan yang muhtamal dan statusnya dalam hal itu adalah seperti sindiran dalam thalaq, tuduhan zina (qadzaf), pembebasan budak dan yang lainnya yang tidak bisa dibedakan, kecuali dengan mengetahui niat si pembicara dan melihat pada qorinah keadaan serta ‘urf si pembicara.
Adapun yang sharih (jelas) dalam hal ini semua, maka tidak butuh melihat pada niat dan tujuan, kecuali dari sisi kesengajaan sebagaimana yang akan kami jelaskan dalam kekeliruan takfir.
Sedangkan acuan dalam menentukan apa yang dimaksud dari sesuatu yang dilalahnya muhtamal ~dalam hukum-hukum dunia~ adalah kepada ijtihad qodli yang mengkaji berbgai pengaduan sebgaimana yang ada dalam contoh-contoh yang dinukil dari Al Qodli ‘Iyadl tadi, dan boleh bagi Al Qodli untuk memberi sanksi (ta’zir) si tersangka dengan sanksi yang berat bila tidak mungkin membawa amalan yang muhtamal itu kepada yang yang shorih bila tuduhan sangat kuat.
Di sini ada perselisihan tentang hukum zindiq yang sering muncul darinya amalan-amalah yang dilalahnya terhadap kekafiran muhtamal, dan ini adalah keadaan banyak dari kaum munafiqin sebagaimana firmanNya ta’ala:
”Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar–benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan“ (Muhammad: 30)
Dan diantara munafiq ada orang yang mengucapkan kekafiran yang jelas, namun tidak terbukti terhadapnya dengan keterbuktian yang syar’i karena tidak terpenuhinya bayyinah (bukti/kejelasan), seperti orang-orang yang Allah firmankan tentang mereka:
“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan meng’adzab mereka dengan ‘adzab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (At Taubah: 74)
Adapun zindiq, yaitu orang yang berulang kali kemurtadannya dalam istitabah-nya atau orang yang sering muncul darinya hal-hal muhtamal dan sindiran, maka madzhab Malik rahimahullah tidak menerima taubatnya sedangkan madzhab Asy Syafi’i menerima selamanya. Dan acuan dalam hal ini juga adalah ijtihad Qodli, dan sangat berpengaruh padanya pertambahan keburukan dan pelecehan agama di tengah manusia. Bila hal ini ada, maka wajiib dihadang kerusakannya dan diunggulkan mengamalkan madzhab Malik. Lihat bahasan tentang zindiq (Al Mughni Ma’asy Syarhil Kabir 10/78-80, Al Furu’ karya Ibnu Muflih Al Hanbaliy 6/170-171, Fathul Bari 12/269-273, Al Umm As Syafi’i 6/156-167, I’lamul Muwaqqi’in 3/112-115, dan 140-145)
Adapun dalam hukum-hukum akhirat, maka kapan didapatkan darinya amalan yang mengandung kemungkinan kekafiran, maka urusannya pada Allah sesuai niatnya. Allah lebih tahu terhadapnya dan membalasnya, meskipun tidak terbukti sedikitpun padanya pada hukum-hukum dunia. Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Amalan itu hanya tergantung niatnya, dan bagi setiap orang itu hanyalah yang ia niatkan…“ (Muttafaqun ‘Alaihi)
Dan firman Allah ta’ala:
“Pada hari dinampakkan segala rahasia maka sekali-sekali tidak ada bagi manusia itu sesuatu kekuatanpun dan tidak pula seorang penolong“. (At Thariq: 9-10)
Untuk tambahan penjelasan ini silahkan rujuk:
· Shahih Al Bukhori Kitab Istitabatil Murtaddin Bab “Bila orang Dzimmiy Atau Yang Lainnya Menghina Nabi dengan Sindiran dan Tidak Terangan-terangan” (Fathul Bari 12/280)
· Asy Syifa’ karya Al Qodli ‘Iyadl Pasal Ucapan-ucapan Yang Muhtamal Untuk Menghina Nabi 2/979-999 dan pasal Tahqiqul Qoul Fii Ikfaril Muta-awwilin dan pasal sesudahnya 2/1056-1086 terbitan Isa Al Halabiy
· Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah masalah Lazimul Madzhab Hal Huwa Madzhab juz 20/217-219 dan juz 5/306-307
· Ucapan Ibnul Qoyyim dalam masalah Lazimul Madzhab Hal Huwa Madzhab dalam Qashidah Nuniyyahnya dan Syarah Syaikh Muhammad Khalil Harras juz 2/252-258, Maktabah Ibnu Taimiyyah 1407 H
· Al Asybah Wan Nadhair fi Qowaid wa Furu’ Fiqh As Ayafiiyyah karya As Suyuthi bab Al Qoul Fish Sharih Wal Kinayah Wal Ta’ridl halaman 488 dst, terbitan Darul Kitab Al Arabiy 1407 H
· I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qoyyim 2/5 (Atsar Dilalatul Hal Fi Tahwilil Kinayah Ilash Sharih)
Kesimpulan:
Bahwa amal (yaitu ucapan dan perbuatan) menjadi mukaffir (mengkafirkan) ~yaitu menjadi sebab untuk memvonis kafir~ dengan dua syarat:
Syarat dalam dalil syar’i: yaitu si dalil jelas menunjukkan bahwa pelaku amalan ini adalah kafir dengan kufur akbar.
Syarat perbuatan mukallaf yaitu amal yang muncul dari orang tertentu, yaitu amal tersebut jelas penunjukkan terhadap kekafiran, artinya ia itu mengandung alasan yang mengkafirkan yang ada dalam dalil syar’i. Dan amal itu jelas dilalahnya baik semenjak awal mencari kejelasan atau setelah mencari kejelasan maksud pelakunya atau melihat qorinah qorinah keadaan dan ‘urf si pembicara bila amal itu muhtamal dilalahnya.
Dua syarat ini telah ditunjukkan oleh sabda Nabi saw: “…kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti (dalil) dari Allah di dalamnya“ (Muttafaqun ‘alaih)
Sabdanya: “Kekafiran yang nyata” yaitu jelas dilalahnya terhadap kekafiran, dan ini adalah syarat amal yang mengkafirkan (amal mukkafir) dan sabdanya “Kalian memiliki bukti atau dalil dari Allah didalamnya“ yaitu dalil syar’i yang jelas dan ini syarat dalil mukaffir. Asy Syaukani berkata: “Sabdanya “…kalian memiliki bukti (dalil) dari Allah didalamnya…“ Yaitu nash ayat atau kabar yang sharih yang tidak mengandung kemungkinan takwil dan konsekuensinya adalah tidak boleh memberontak mereka selagi perbuatan mereka mungkin ditakwil . (Nailul Author 7/361)
Inilah, dan mayoritas perselisihan ulama tentang suatu yang dengannya orang dikafirkan dan tidak dikafirkan adalah kembali pada syarat ke dua yang lalu, yaitu apakah amal itu jelas dilalahnya terhadap kekafiran ataukah mengandung ihtimal (kemungkinan) dan adapun amal yang jelas, maka mereka tidak berselisih di dalamnya sedangkan yang muhtamal, maka masuklah perselisihan di dalamnya karena itu adalah tempat ijtihad.
Dan termasuk hal ini adalah apa yang diutarakan Abu Bakar Al Hishniy Asy Syafi’i dalam contoh-contoh riddah dengan ucapan, ia berkata: Maka (contohnya) seperti bila seseorang berkata tentang musuhnya: “Seandainya ia adalah tuhan saya, tentu saya tidak akan mengibadatinya”, maka sesungguhnya ia itu kafir. Dan andai juga ia berkata: “Seandainya ia adalah nabi, tentulah saya tidak akan beriman kepadanya”. Atau berkata tentang anaknya, atau istrinya: “Ia lebih saya cintai daripada Allah dan RasulNya”. Begitu juga andai orang sakit berkata setelah ia sembuh: “Saya mendapatkan dalam sakit saya ini sesuatu yang seandainya saya membunuh Abu Bakar dan Umar tentu saya tidak berhaq mendapatkannya”, maka sesungguhnya ia kafir.
Sebagian ulama berpendapat bahwa wajib membunuhnya karena ucapannya mengandung tuduhan bahwa Allah ta’ala aniaya. Dan masalah pemberian alasan ini masuk dalam gambarannya apa yang semakna dengannya karena adaanya kandungan penyandaran (aniaya), semoaga Allah ta’ala melindungi kita darinya.
Begitu juga andaikata ia mengklaim bahwa ia mendapatkan wahyu, walaupun ia tidak mengaku sebagai nabi, atau ia mengaku bahwa ia masuk surga dan makan dari buah-buahannya serta ia memeluk bidadari maka ia kafir dengan ijma’. Dan sama dengan ini dan hal-hal serupa dengannya adalah yang dikatakan kaum zindiq sufi, ~semoga Allah membinasakan mereka~, alangkah bodohnya mereka dan alangkah kafirnya mereka serta alangkah sesatnya orang-orang yang meyakini mereka, seandainya mencela salah seorang nabi atau melecehkannya, maka ia kafir berdasarkan ijma’ . Di antara gambaran-gambaran perolok-olokan adalah apa yang muncul dari orang-orang yang zhalim saat menyiksa orang, terus orang yang disiksa itu meminta tolong kepada penghulu manusia terdahulu dan kemudian shalallahu ‘alaihi wa sallam[1], maka si zhalim itu berkata: “Biarkan Rasululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam menyelamatkanmu dan yang lainnya”
Seandainya seseorang mengatakan “Saya nabi“ dan orang lain berkata “Ia benar “, maka keduanya kafir dan seandainya ia berkata “Hai kafir“ tanpa takwil, maka ia kafir, karena ia telah menamakan Islam sebagai kekafiran dan ucapan ini sering muncul, maka hendaklah orang waspada terhadapnya.
Seandainya ia berkata, “Bila anak saya mati, maka saya akan masuk Yahudi atau Nashrani”, maka ia kafir saat itu pula. Dan seandainya orang kafir yang ingin masuk Islam meminta dia untuk mentalqinkan kalimat tauhid, kemudian ia malah mengisyaratkan kepadanya agar tetap (di atas agamanya), maka ia kafir, begitu juga bila ia tidak mentalqinkan kalimat tauhid maka ia kafir.
Dan andai kata ia mengisyaratkan kepada orang muslim untuk kafir, maka ia kafir begitu juga seandainya dikatakan kepadanya “Potonglah kukumu atau kumismu karena ia sunnah”, kemudian ia malah berkata: “Saya tidak akan melakukan meskipun ia sunnah”, maka ia kafir, hal ini dikatakan Ar Rafi’iy dari para sahabat Abu Hanifah dan ia mengikuti mereka. An Nawawiy berkata: “Pendapat yang terpilih adalah ia tidak kafir, kecuali ia memaksudkan perolok-olokan, Wallahu A’lam”. Bila dua orang berbantah-bantahan, terus salah satunya mengatakan: “Laa haula wala quwwata illaa billah”, maka yang satu mengatakan: ”Laa haula walaa quwwati tidak bermanfat dari lapar”, maka dia kafir. Dan seandainya ia mendengar adzan muadzin, terus ia berkata: “Sesungguhnya ia itu dusta”, maka ia telah kafir. Dan jika ia berkata: “Saya tidak takut kiamat“ maka ia kafir.
Seandainya ia tertimpa musibah terus berkata: ”Dia (Allah) telah mengambil harta saya, anak saya ini dan itu, dan apa yang Dia lakukan juga, serta tidak tersisa apa yang Dia lakukan” maka dia kafir. Dan seandainya ia memukul budak dan anaknya terus seseorang berkata kepadaanya: “Bukankah kamu muslim” dan dia menjawab “bukan “ secara sengaja maka dia kafir.
Seandainya seseorang berkata kepadanya: “Hai Yahudi dan Nashrani” kemudian ia menjawab “Ya, ada apa?”, maka ia kafir. Begitulah Ar Rafi’iy menukilnya dan ia mendiamkannya dan An Nawawiy berkata: “Dalam hal ini perlu ditinjau bila ia tidak meniatkan apapun, Wallohu A’lam. Seandainya pengajar anak-anak berkata: “Sesungguhnya orang-orang Yahudi lebih baik daripada kaum muslimin karena mereka memenuhi kebutuhan para pengajar anak-anak mereka” maka ia kafir. Begtulah Ar Rafi’iy menukilnya dari para sahabat Abu Hanifah radliallahu’anhu dan ia mendiamkannya dan diikuti oleh An Nawawiy. Saya berkata: “Dan kata-kata ini sering terjadi muncul dari tukang kuli dan para mencari upah. Dan dalam takfir dengan sebab itu perlu ditinjau karena pengeluaran muslim dari agama nya dengan lafadz yang mengandung kemungkinan benar apalagi adanya qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah bahwa perlakuan orang ini lebih baik dari perlakuan ini, apalagi bila ia menegaskan bahwa ia adalah maksudnya atau terjatuh dalam kata yang jelas seperti masalah yang dinukilkan wallahu ‘alam”. Selesai.
Ini adalah contoh riddah dengan ucapan dan seperti apa yang engkau lihat bahwa apa yang dimasuki banyak kemungkinan dari contoh-contoh itu pendapat-pendat ulama berselish di dalamnya takfir dengannya. Dan ini juga terjadi pada perbuatan-perbuatan yang dilalahnya muhtamal dan diantara apa yang dituturkan Abu Bakar Al Hishniy setelah ucapannya berlalu.
Beliau berkata: “Dan adapun kekafiran dengan perbuatan, maka seperti sujud kepada berhala, matahari dan bulan, melemparkan mushhaf, begitu juga sembelihan (tumbal/sesajen) untuk berhala, memperolok-olok salah satu nama dari nama-nama Allah Ta’ala atau terhadap perintah-Nya atau ancaman-Nya atau membaca Al Quran dengan tabuhan rebana, dan begitu juga andai ia meminum khamr dan melakukan zina dan ia menyebut nama Allah (bismillah) sebagai bentuk pelecehan maka sesungguhnya ia adalah kafir”.
Ar Rafi’iy telah menukil dari para sahabat (pengikut) Abu Hanifah bahwa andai ia mengenakan zanar (ikat pinggang khusus untuk orang kafir) di pinggangnya maka ia kafir. Ia berkata: “Mereka berselisih tentang orang yang mengenakan peci Majusi di atas kepalanya dan pendapat yang shahih adalah bahwa ia kafir”. Seandainya ia mengikatkan seutas tali dipinggangnya terus ia ditanya tentangnya kemudian dia berkata “ini zanar”, maka mayoritas mereka mengatakan bahwa ia kafir dan Ar Rafi’iy diam terhadap hal itu dan An Nawawiy berkata: ”Yang tepat adalah ia itu tidak kafir bila ia tidak memiliki niat. Apa yang dituturkan An Nawawiy dituturkan juga oleh Ar Rafi’iy di dalam Ausal Al Jinayat di bagian ke empat yang intinya sejalan dengan An Nawawiy dan bahwa mengenakan pakaian orang-orang kafir (seragam) dengan sekedar itu saja tidak merupakan kemurtadan”.
Ar Rafi’iy telah menukil dari para pengikut Abu Hanifah bahwa orang fasiq bila memberi minum khamr kepada anaknya terus karib kerabatnya menaburkan uang dirham, maka sesungguhnya mereka itu kafir dan Ar Rafi’iy mendiamkannya. An Nawawiy berkata: “Yang tepat adalah mereka tidak kafir“. Dan seandainya ia melakukan perbuatan yang kaum muslimin bahwa itu tidak muncul kecuali dari orang-orag kafir maka ia kafir walaupun terang-terangan mengaku Islam sedang ia melakukannya seperti sujud kepada salib, atau berjalan ke gereja bersama jemat gereja dengan seragam mereka seperti zanar dan yang lainnya“. Selesai. (Kifayatul Akhyar 2/123-124)
Bila engkau mengamati mukaffirat (hal-hal yang mangkafirkan) yang bersifat ucapan dan perbuatan sedang ia adalah sekedar contoh dari banyak contoh yang ada di dalam bab-bab riddah di dalam kitab-kitab fiqh, maka jelaslah di hadapanmu pelecehan banyak manusia terhadap urusan-urusan yang mana ia adalah termasuk pembatal-pembatal keIslaman. Dan ini tidak lain adalah dengan merebaknya kebodohan dan tipisnya agama. Anas Ibnu Malik berkata: “Sesungguhnya kalian melakukan amalan-amalan yang lebih lembut bagi kalian dari pada rambut, padahal kami menganggapnya pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam termasuk hal-hal yang membinasakan“ (HR. Bukhori)
Ini adalah yang berkaitan dengan penjelasan ucapan saya -dalam kaidah Takfir- dengan sebab ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir, dan bagaimana ucapan atau perbuatan itu memenuhi syarat-syarat sifatnya bahwa ia mukaffir?
Faidah
Seseorang tidak masuk dalam iman, kecuali dengan sejumlah amalan akan tetapi ia keluar darinya ~yaitu kafir~ dengan satu amalan saja. Dan yang dimaksud di sini adalah iman haqiqiy yang bermanfaat bagi pemiliknya di akhirat, bukan Iman hukmiy yang semakna dengan Islam hukmiy yang berlaku terhadapnya hukum-hukum dunia, karena iman hukmiy ini orang masuk ke dalamnya dengan dua kalimat syahadat.
Adapun iman haqiqiy maka seseorang hamba tidak masuk ke dalamnya sampai ia mendatangkan ashlul iman, sedangkan telah lalu penjelasan bahwa ashlul iman, sedangkan telah lalu penjelasan bahwa ashlul iman terdiri dari sejumlah amalan-amalan hati, lisan dan anggota badan. Dimana wajib atas hati untuk Ma’rifah (mengetahui), Tasdhiq (pembenaran) dan sebagian amalan-amalan hati seperti inqiyad (ketundukan), kecintaan, ridha, dan penyerahan diri (taslim) kepada Allah ta’ala. Sedang atas lisan wajib ikrar dua kalimah syahadat dan wajib atas anggota badan hal-hal yang orang dikafirkan dengan sebab meninggalkannya berupa amalan-amalan seperti shalat dan ke dalamnya banyak para ulama memasukkan rukun-rukun Islam yang lainnya.
Akan tetapi orang keluar dari iman yaitu ia kafir dengan sebab satu amalan saja –bukan dengan sejumlah amalan–. Bila dia mendatangkan ucapan dan perbuatan atau keyakinan mukaffir, maka ia kafir dengan sebab hal itu sebagaimana telah lalu penjelasannya. Dan tidak disyaratkan untuk kekafirannya lenyapnya seluruh cabang-cabang keimanan dhahir yang ada padanya ~meskipun ia lenyap secara hakikat~ dan ini menunjukkan bahwa sebagian orang yang dihukumi kafir bisa saja memiliki amalan-amalan shalih secara dhahir, sedang itu tidak menghalangi untuk mengkafirkan mereka bila ada hal yang menuntut hal itu.
Faidah ini memiliki contoh-contoh bandingan dalam fiqh: shalat tidak sah dan tidak terpenuhi kecuali dengan kumpulan dari syarat-syarat, rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban seperti wudhu, menutupi aurat, menghadap kiblat, niat, berdiri, ruku’, sujud, dan yang lainnya, akan tetapi ia batal dengan satu amalan saja, barang siapa berhadats di tengah-tengah shalat maka batallah shalatnya.
Haji tidak sah kecuali dengan kumpulan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban, tetapi ia (dapat) rusak dengan satu amalan saja seperti jima’.
Bila seorang hamba melakukan amalan shalih seumur hidupnya lalu ia kafir dengan suatu ucapan atau perbuatan atau keyakinan dan dia mati di atasnya, maka lenyaplah seluruh amalan shalihnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barang siapa diantara kamu murtad dari agamanya, terus dia mati dalam keadaan kafir, maka lenyaplah amalan-amalan mereka di dunia dan akhirat dan mereka itu para penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (Al Baqarah: 217)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang beramal dalam waktu yang panjang dengan amalan ahli surga, kemudian diakhiri baginya amalannya dengan amalan ahli neraka dan sesugguhnya seseorang beramal dalam waktu yang panjang dengan amalan ahli neraka kemudian diakhiri baginya amalannya dengan amalan ahli surga.“ (HR Muslim dari Abu Hurairah Radliallahu’anhu, sedang asal hadits dalam Ash Shahihain dari hadits Ibnu Mas’ud Radliallahu’anhu.)
Faidah Lain
Perbedan antara takfir muthlaq (kufur nau’) dengan takfir mu’ayyan (kufur ‘ain)
Takfir muthlaq adalah penerapan vonis kafir terhadap sebab saja (yaitu mendatangkan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir) maka dikatakan: “Siapa yang mengatakan ini, maka ia kafir dan barangsiapa melakukan ini maka ia kafir”, yaitu mengetahui hukum secara muthlaq tanpa menerapkan hukum kafir itu terhadap orang tertentu meskipun ia telah mendatangkan sebab ini. Takfir muthlaq ini adalah apa yang telah kami bicarakan pada point-point yang lalu dalam kaidah takfir.
Adapun takfir mu’ayyan maka ia adalah memvonis kafir orang tertentu yang telah melakukan sebab (ucapan atau perbuatan mukaffir). Dan ini di samping apa yang telah lalu penjelasannya ~yaitu memastikan keterbuktian sifat kufur pada ucapan atau perbuatannya~ memastikan untuk memperhatikan keterbuktian sebab ini terhadap pelakunya dan kekosongannya dari penghalang-penghalang hukum.
Dengan ucapan yang lain bisa dikatakan bahwa perbedan antara kedua macam ini adalah:
· Bahwa takfir muthlaq adalah penentuan kejahatan suatu perbuatan dan di dalamnya hanya melihat satu hal saja. Yaitu sebab yang mengkafirkan saja dari sisi keterpenuhanannya akan syarat-syarat ia untuk bisa dikatakan mukaffir dari sisi dalil syar’i dan dari sisi kepastian indikasi perbuatan itu sendiri.
· Adapun takfir mu’ayyan maka ia adalah penentuan kejahatan si pelaku dan ini di dalamnya melihat pada dua hal: penentuan kejahatan suatu perbuatan sebagaimana yang telah lalu dan memamandang pada keadaan pelakunya dari sisi keterbuktian perbuatan terhadapnya dan ketidakadaan penghalang-penghalang hukum padanya.
Dan memandang pada keterbuktian dan penghalang-penghalang takfir adalah materi berikut ini:
4. Ucapan saya ~pada kaidah takfir~: “Yang telah terbukti terhadapnya secara keterbuktian syar’i“
Yaitu ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan yang mana ia adalah sebab kekafiran. Dan penjelasan itu adalah bahwa hal itu termasuk dalam cakupan kaidah “pemberlakuan hukum-hukum dunia berdasarkan atas dhahir“, yaitu bahwa si mukallaf tidak dikenakan sanksi dengan sebab sesuatu dari ucapan-ucapan atau perbuatan-perbuatannya dalam hukum-hukum dunia, kecuali bila terbukti hal itu terhadapnya dengan cara-cara yang telah dijelaskan syari’ah (yaitu,ed.) dengan cara-cara pembuktian syar’i yang di antaranya adalah iqrar (pengakuan) dan kesaksian para saksi dan jumlah saksi itu berbeda-beda tergantung masalahnya. Bila ucapan atau perbuatan itu tidak terbukti terhadap si mukallaf dengan keterbuktian syar’i yang shahih, maka ucapan atau perbuatan yang mengkafirkan itu secara hukum dianggap tidak ada, walaupun pada hakikat sebenarnya ada. Barangsiapa berzina tetapi zinanya tidak terbukti dengan cara pembuktian yang benar, maka ia dianggap tidak berzina pada hukum syar’i akan tetapi ia itu berzina pada hakikat sebenarnya dan Allah akan memberikan hukuman kepadaanya atas perbuatannya, kecuali bila ia diampuni dengan taubat orang itu atau dengan perbandingan (kebaikan dan keburukan) atau dengan syafa’at.
Adapun riddah –yaitu mendatangkan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir– maka itu bisa terbukti dengan salah satu dari dua hal: dengan iqrar (pengakuan) yaitu pengakuan (si pelaku) atau dengan kesaksian dua laki-laki muslim yang adil. Ini adalah bentuk madzhab jumhur ulama, tidak ada yang menyelisihi di dalamnya kecuali Al Hasan dimana ia mensyaratkan empat saksi untuk membuktikan riddah, karena hukumannya adalah bunuh, diqiyaskan dengan zina dan Ibnu Qudamah membantahnya bahwa alasan pada saksi perzinaan adalah zina bukan hukum bunuh yang dibangun di atasnya, karena jumlah nishab (4) saksi itu sendiri disyaratkan dalam membuktikan zina ghair muhshan sedangkan tidak ada hukum bunuh di dalamnya maka jelaslah perbedaannya. (Lihat Al-Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir 10/99)
Dalam penunaian kesaksian riddah ini mesti ada rincian sebagaimana yang dikatakan oleh Al Qodliy Burhanuddin Ibnu Farhun Al Maliki: “Dan tidak diterima kesaksian terhadap riddah yang global (mujmal), maka ucapan para saksi: “Si fulan telah kafir atau murtad“ mesti ada rincian apa yang mereka dengar dan apa yang mereka lihat darinya karena perselisian manusia dalam hal takfir. Bisa jadi mereka meyakini kekafiran suatu yang bukan kekafiran.” (Tabshiratul Hukkam 2/277).
Apakah riddah terbukti dengan istifadlah yaitu kesaksian sejumlah orang tanpa mendengar atau melihat secara langsung dari si tertuduh? Di dalamnya ada perselisihan, Ibnul Qoyyim berkata: “Vonis hukum dengan istifadlah adalah tingkatan mutawatir dengan ahad. Istifadlah adalah keterkenalan yang menjadi bahan pembicaraan manusia dan menyebar diantara mereka. –sampai beliau berkata– sedang dia (istifadlah) itu lebih kuat dari kesaksian dua orang yang diterima“ (Ath Thuruq Al Hukmiyah, Ibnul Qoyyim hal 212 terbitan Al Madaaniy) dan juga bisa dirujuk di Fathul Bariy 5/254 dan Majmu Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah 35/412-414
Di antara contoh kesaksian atas riddah dengan istifadlah adalah kejadian yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam tarikhnya pada tragidi-tragedi tahun 741 H, beliau berkata: “Kemudian tatkala hari Selasa tanggal 21 Dzulqo’dah dihadirkan Utsman Ad Dakakiy itu ke Dar As Sa’adah dan ia dihadapkan di depan para umara’ dan para qodli dan ia ditanya tentang cacat-cacat pada saksi-saksi, maka ia tidak mampu dan tidak kuasa mendatangkan hal itu, maka vonispun diarahkan kepadaanya. Kemudian Al Qodliy Al Malikiy ditanya tentang vonis terhadapnya, maka beliau memuji dan menyanjung Allah serta bershalawat terhadap RasulNya, kemudian beliau memvonis agar ia dibunuh meskipun ia telah taubat. Maka orang itu dibawa dan dipenggal lehernya di Damaskus di Pasar Kuda dan diumumkan tentangnya. Inilah balasan orang yang manganut paham Ittihadiyah dan hari itu adalah hari yang disaksikan (banyak orang) di Dar As Sa’adah yang dihadiri banyak tokoh dari kalangan pemerintah dan para syaikh dan hadir juga guru kami Jamaluddin Al Miziy Al Hafizh, Al Hafizh Syamsuddin Adz Dzahabiy dan keduanya berbicara dan sangat memberi semangat dalam hal ini dan keduanya bersaksi akan kezindikan orang itu dengan istifadlah. Dan begitu juaga Syaikh Zainuddin saudara Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dan keluarlah tiga Qodliy Al Maliky, Al Hanafiy dan Al Hanbaliy serta mereka melaksanakan vonisnya di majelis terus mereka menghadiri pemancungan orang itu, sedang saya menyaksikan secara langsung dari awal sampai akhir“ (Al Bidayah Wan Nihayah 14/190)
Ini adalah cara pembuktian riddah dalam hukum-hukum dunia dan kadang seseorang tertentu (mu’ayyan) kafir secara hakikat sebenarnya namun kekafiran itu tidak terbukti atasnya dalam hukum-hukum dunia, maka ini perhitungannya kepada Allah (pada hari dinampakkan semua rahasia, maka sekali-kali tidak ada bagi manusia suatu kekuatan pun dan tidak pula seorang penolong) kemudian bila ia mati di atas kekafirannya tanpa taubat, maka ia masuk neraka secara pasti lagi kekal selamanya di dalamnya karena Allah tidak mengampuni (dosa) penyekutuan terhadapnya. Dan tidak setiap orang yang kafir secara hukum sebenarnya dapat dibuktikan kekafirannya dalam hukum-hukum peradilan duniawi. Hal ini dijelaskan dalam empat gambaran berikut ini:
A. Bila seseorang merahasiakan keyakinan mukaffir yang tidak dia tampakkan dalam perbuatan dan ucapan yaitu kekafiran dengan keyakinan saja seperti mendustakan hari berbangkit, maka ia muslim secara zhahir, namun ia kafir pada hakikat sebenarnya. Ia tergolong munafiqin dengan nifaq akbar. Dan tentang macam ini Ibnu Taimiyyah berkata: “Andaikata mereka menyembunyikan nifaq dan tidak mengatakannya maka mereka adalah munafiqin Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersimpan dalam hati mereka, katakan terhadap mereka: Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan RasulNya) Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu” (At Taubah: 64) (dari Majmu Al Fatawa 13/57)
Ayat ini menunjukan bahwa nifaq itu ada di hati mereka dan sama sekali belum keluar dari ucapan dan perbuatan zhahir.
B. Bila seseorang menampakkan perbuatan atau ucapan mukaffir akan tetapi tidak seseorangpun melihatnya, maka ia muslim dalam hukum zhahir namun kafir secara hakikat sebenarnya. Dan ini tergolong kaum munafiqin dengan nifaq akbar. Dan ini dan sebelumnya masuk dalam firman Allah Subhanahu Wa ta’ala:
“Dan diantara orang-orang Arab Badui yang disekililingmu itu ada orang-orang munafiq dan (juga) diantara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang berat” (At Taubah: 101)
C. Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan diketahui oleh sebagian manusia, akan tetapi tidak bersaksi terhadapnya dari mereka kecuali seorang laki-laki saja atau anak kecil atau seorang wanita, maka perbuatan mukaffir ini tidak terbukti terhadapnya, karena tidak terpenuhinya nishab kesaksian atas riddah pada diri orang itu, sehingga ia itu muslim pada hukum zhahir namun kafir secara hakikat sebenarnya. Namun demikian boleh bagi si qodli untuk memberi sanksi si tertuduh (menghukumnya dengan hukuman di bawah had seperti dipenjara atau didera atau yang lainnya) tergantung kekuatan kesaksian , umpamanya bila saksi itu termasuk ulama yang adil lagi shalih, namun hanya sendirian. (lihat Tabshiratul Hukkam, Ibnu Farhun 2/281)
Dan gambaran yang ke tiga ini adalah mayoritas kaum munafiq pada masa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dimana sesungguhnya mereka itu mengucapkan kekafiran di antara mereka namun satu sama lain tidak menjadi saksi atas yang lainnya dengan hal itu, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah: “Terus dia bersikap nifaq dalam hatinya dan tidak kuasa menampakkan riddah itu, namun ia mengucapkan kemunafikan bersama orang-orang khususnya.“ (Majmu Al Fatawa 13/54)
Kadang mereka didengar oleh seorang laki-laki muslim terus ia bersaksi dengan apa yang ia dengar, akan tetapi ini tidak cukup untuk pembuktian. Sebagaimana Zaid Ibnu Arqam bersaksi atas Abdullah Ibnu Ubay bahwa dialah yang mengatakan: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang-orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya“, sebagaimana itu telah tsabit dalam Ash Shahih. Padahal sesungguhnya wahyu telah membenarkan Zaid namun Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menghukumi mereka berdasarkan wahyu akan tetapi dengan cara-cara pembuktian syar’i dan dikarenakan banyak dari ucapan kaum munafiqin itu muhtamal dilalahnya dan tidak sharih (jelas) sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kamu akan benar-benar mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkatan mereka“ (Muhammad: 30) sedang kiasan-kiasan perkatan itu adalah apa yang diketahui dengan maknanya dan ia tidak tegas terhadapnya, ini dituturkan Al Qurthubiy. Dan dengan ini para ulama menjawab tentang kenapa nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin? Maka Ibnu Taimiyyah menjawab: ”Bahwa mayoritas mereka tidak mengucapkan kekafiran yang bisa dibuktikan atas mereka dengan bukti, akan tetapi mereka itu menampakkan keIslaman, sedang kemunafikan mereka bisa diketahui kadang dari ucapan yang didengar oleh seorang laki-laki mukmin terus ia menyampaikannya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka malah bersumpah dengan Allah bahwa mereka tidak mengatakan atau mereka tidak bersumpah, dan kadaang diketahui dari apa yang nampak dari sikap absen mereka dari shalat (berjama’ah) dan jihad, serta mereka keberatan dengan zakat dan menampakkan ketidaksukaan dari mereka terhadap hukum-hukum Allah, sedangkan mayoritas mereka bisa diketahui dari kiasan-kiasan perkatan –sampai beliau berkata— kemudian orang munafiq itu selalu menampakkan Islam dan bersumpah bahwa mereka muslimin, dan mereka telah menjadikan sumpah mereka itu sabagai perisai. Dan bila ini adalah keadaan mereka, maka Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menerapkan hudud berdasarkan pengetahuannya, tidak pula dengan berita (dari) seseorang, tidak juga dengan sekedar wahyu serta tidak pula dengan dalil-dalil dan syawahid sampai yang mengharuskan had itu terbukti dengan bayyinah (saksi-saksi) atau pengakuan –sampai beliau berkata– jadi beliau tidak membunuh mereka itu ~padahal mereka kafir~ adalah karena tidak nampaknya kekafiran dari mereka dengan hujjah syar’iyah. Dan ini dibuktikan dengan realita bahwa beliau tidak pernah meng-istitabah mereka secara ta’yin, padahal sudah maklum bahwa keadaan terbaik bagi orang-orang yang telah terbukti kemunafikan dan kezindikannya adalah mereka di-istitabah (disuruh taubat)seperti halnya orang yang murtad, kemudian bila ia taubat (maka diterima) dan bila tidak, maka ia dibunuh sedangkan tidak sampai kepada kita bahwa beliau meng-istitabah seorang mu’ayyan dari mereka, diketahuilah bahwa kekafiran dan riddah itu tidak terbukti terhadap seorang secara ta’yin dengan keterbuktian yang mengharuskan dibunuh seperti orang murtad, oleh sebab itu diterima hal dhahir mereka dan kita serahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah. Bila ini adalah keadaan orang yang nampak nifaq mereka dengan tanpa bukti syar’i maka bagaimana keadaan orang yang tidak nampak nifaqnya?” (Ash Sharimul Maslul: 355-357)
Al Qodli ‘Iyadl rahimahullah berkata: ”Dan hal-hal batin kaum munafiqin itu tersembunyi sedang putusannya shalallahu ‘alaihi wasallam adalah berdasarkan zhahir dan mayoritas ucapan-ucapan itu hanyalah diucapkan orang diantara mereka secara sembunyi-sembunyi bersama kawan-kawannya dan mereka itu bersumpah terhadapnya bila dilaporkan ucapannya itu dan mereka mengingkarinya serta bersumpah bahwa mereka tidak mengatakan, padahal mereka sudah mengucapkan perkatan kekafiran -sampai ucapanya– dan dengan inilah para imam kita rahimahullah menjawab pertanyaan ini”. Dan berkata: “Mungkin tidak terbukti di sisi beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dari ucapan-ucapan mereka apa yang telah dilaporkan dan hanya dinukil dari seorang dan tidak sampai pada tingkat kesaksian dalam hal ini, berupa anak kecil atau budak atau wanita, sedangkan darah itu tidak ditumpahkan kecuali dengan kesaksian 2 saksi laki-laki adil -sampai beliau berkata– dan begitu juga berkata para sahabat kami (semadzhab) di Baghdad: “Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh kaum munafiqin berdasarkan pengetahuan beliau tentang mereka dan tidak datang (satu nash pun yang menunjukkan) bahwa telah ada bukti terhadap kemunafiqan mereka, maka oleh sebab itu beliau membiarkan mereka”. (As Syifa’, Al Qadli ‘Iyadl 2/961-963, terbitan Al Halabiy)
Dan dengan ini juga Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjawab tentang sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam “Biarkan (dia,) agar orang-orang tidak berbicara bahwa Muhammad membunuh sahabatnya”, tatkala Ibnul Khaththab radliallahu’anhu hendak membunuh Abdullah Ibnu Ubay dengan sebab apa yang dipersaksikan oleh Ibnu Zaid Ibnu Arqam (HR Bukhari no. 4905), maka Ibnu Tamiyyah berkata: ”Dan yang menyebabkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari membunuhnya adalah apa yang beliau sebutkan yaitu pembicaran manusia bahwa beliau membunuh para sahabatnya, kerena kemunafiqannya tidak terbukti terhadapnya dengan bayyinah (bukti syar’i) dan dia juga telah bersumpah bahwa ia tidak mengucapkannya, namun hanya diketahui dengan wahyu dan berita Zaid Ibnu Arqam” (Ash Sharim Al Maslul 354)
Al Qodli ‘Iyadl berkata: “Andaikata Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membunuh mereka kerena kemunafiqan mereka dan apa yang nampak dari mereka serta karena pengetahuan beliau tentang apa yang mereka sembunyikan di dalam mereka tentulah para pencari kesempatan mendapatkan bahan pembicaraan dan tentulah menjadi ragu orang yang bimbang dan tentu pembangkang menebarkan isu dan tentu banyak yang merasa takut dari menyertai Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dari masuk Islam serta tentu pengklaim mengklaim dan musuh yang zholim menduga pembunuh itu hanya kerena permusuhan -sampai beliau berkata– dan ini berbeda dengan pemberlakuan hukum-hukum zhahir terhadap mereka seperti had zina, pembunuhan dan yang serupa karena hal itu nampak dan manusia sama dalam hal mengetahuinya“ (As Syifa’ 2/964, cet. Al Halabiy)
D. Bila seseorang menampakkan ucapan atau perbuatan mukaffir dan ia mengakuinya atas dirinya atau bersaksi terhadapnya dua laki-laki yang adil atau lebih atau masalahnya terkenal di tengah manusia, maka amalan mukaffir ini telah terbukti terhadapnya dengan keterbuktian yang syar’i lagi shahih, akan tetapi ini tidak cukup untuk memvonis dia kafir sampai meninjau pada penghalang-penghalang hukum.
Ini adalah empat keadaan bagi orang yang kafir secara hakikat sebenarnya, namun tidak terbukti amalan mukaffir itu terhadapnya dalam hukum-hukum dunia, kecuali pada satu keadaan saja darinya.
Ini adalah yang berkaitan dengan keterbuktian syar’i dan di sini ada faidah yaitu:
Apakah bagi orang yang mengetahui kekafiran dari seseorang, boleh menganggapnya kafir –sebagaimana dalam gambaran (C) yang lalu– meskipun tidak bisa menetapkan kekafiran terhadapnya dengan cara penetapan syar’i?
Jawabanya: Ya, bahkan wajib bagi dia untuk memvonis orang itu kafir akan tetapi dengan dua syarat:
Pertama: Orang tersebut memiliki kelayakan untuk memvonis dengan dirinya sendiri atau dengan meminta fatwa orang lain agar bisa membedakan kekafiran dan dengan yang bukan kekafiran dan agar melihat penghalan-penghalang hukum.
Ke dua: Dia tidak memberi sanksi dengan sanksi-sanksi yang mana ia adalah hak Allah Ta’aalaa seperti penghalalan darah dan hartanya agar tidak dikenakan hukum dengan sebab ini karena tidak adanya keterbuktian yang syar’i lagi sempurna. Dan andaikata hal ini boleh, tentu akan menimbulkan kekacauan dalam penghalalan darah dan harta dengan sekedar tuduhan. Akan tetapi dia menghukumi dengan hukuman-hukuman di bawah itu, seperti menghajr-nya (menjauhinya), tidak menikahinya, tidak menikahkannya, tidak menshalatkannya bila ia mati dan yang lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telam menuturkan hal ini dalam Majmu Al Fatawa 24/285-287. Dan Ibnu Taimiyyah berkata –tentang munafiqin–: “Awalnya Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkan mereka dan memintakan ampunan bagi mereka sampai Allah melarang beliau dalam hal itu, Dia berfirman:
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (At Taubah: 84)
Dan firmanNya Ta’ala:
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasiq”. (At Taubah: 80).
Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian tidak menshalatkan mereka dan tidak pula memintakan ampun bagi mereka akan tetapi darah dan harta mereka terjaga (ma’shum), tidak menghalalkan dari mereka apa yang yang beliau halalkan dari orang-orang kafir yang tidak menampakkan bahwa mereka itu mu’minun akan tetapi menampakkan kekafiran bukan keimanan“ (Majmu’ Al Fatawa 7/212-213)
Sedangkan dalil vonis kafir seorang individu terhadap orang lain bila ia mengetahui kakafiran darinya adalah firmanNya Ta’ala:
“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu kami buatkan ladang.
Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,
Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”
Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zhalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya,
Dan Aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya Aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari pada kebun-kebun itu”.
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadaanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, Kemudian dari setetes air mani, lalu dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (Al Kahfi 32-37)
Orang yang pertama kafir dengan sebab ragu terhadap hari kebangkitan (dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang), sedangkan orang yang satunya lagi mengkafirkan dengan sebab itu padahal mereka hanya berdua sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan. Dan contoh hal ini dikalangan salaf adalah banyak dan di antaranya adalah pengkafiran As Syafi’i terhadap Hafsh Al Fard di majelis diskusi (debat), silakan lihat Asy Syari’ah karya Al Ajiriy: 81 dan Syarah I’tiqad Ahlis Sunnah karya Abul Qosim Al Lalikaiy 1/252-253. Dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa Asy Syafi’i tidaklah mengkafirkan Hafsh ini, namun hanya memuthlaqan kekafiran terhadap ucapannya akan tetapi yang terbukti benar dari berita mereka berdua adalah berbeda dengan apa yang dikatakan Syaikhul Islam. Silahkan lihat ucapannya di Majmu’Al Fatawa 23/349
Orang yang mengkafirkan orang lain ini tidak boleh memaksa orang-orang muslim lainnya dengan vonis dia itu selagi tidak terbukti di sisi mereka apa yang telah terbukti di sisinya dan selagi tidak terbukti kekafiran orang kafir ini dengan keterbuktian syar’i yang shahih.
Akan tetapi orang yang mengkafirkan orang lain ini boleh bagi muslim lainnya untuk mengikuti dia bila dia itu orang yang paham lagi tsiqoh (terpercaya). Dan contohnya adalah taqlid Umar Ibnul Khaththab kepada Hudzhaifah Ibnul Yaman dalam hal tidak menshalatkan orang yang mana Hudzhaifah telah mengetahui kemunafiqan mereka dengan pemberitahuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya. (Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyyah 7/213 dan Al Umm karya Asy Syafii 6/166)
Dan apakah boleh bagi orang yang mengetahui kekafiran dari seseorang (lalu,ed) dia menyebarkannya di tengah manusia bila orang kafir itu menyembunyikan kekafirannya?
Jawbannya: Ya, bahkan wajib karena dikhawatirkan bahayanya, terutama bila orang kafir ini penyeru bid’ah atau tergolong orang yang diambil ilmunya atau ia ingin menikahi muslimah dan yang lainnya karena agama itu adalah nasehat. Dan dalam hal ini berkatalah Al Qodli ‘Iyadl rahimahullah: ”Bila orang yang melontarkan hal itu tergolong orang yang tampil untuk diambil darinya ilmu atau periwayatan hadits atau untuk diputuskan dengan vonisnya atau kesaksiannya atau fatwanya dalam berbagai hal, maka wajib atas orang yang mendengarnya untuk menyebarkan apa yang ia dengar darinya dan menghati-hatikan manusia darinya serta bersaksi terhadapnya tentang apa yang ia ucapkan dan wajib pula bagi orang yang mendapatkan berita itu dari kalangan imam kaum muslimin untuk mengingkarinya, menjelaskan kekafirannya dan kerusakan ucapannya demi memutus bahaya dari kaum muslimin serta sebagai bentuk penunaian akan hak penghulu para rasul. Dan begitu juga bila orang itu tergolong orang yang suka memberikan ceramah kepada masyarakat atau mendidik anak-anak. Karena orang yang ini adalah sifatnya, besar kemungkinan ia menyampaikan hal itu ke dalam hati mereka, maka kewajiban makin sangat kuat dalam hal mereka itu, karena hak nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan hak syariatnya“ (As Syifa’ 2/997-998)
Ini adalah apa yang berkaitan dengan keterbuktian syar’i yaitu: pembuktian terjadinya kekafiran dari pelaku dengan pembuktian yang shahih.
5. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Bila syarat-syarat hukum terpenuhi”
Maka meninjau syarat-syarat itu harus dilakukan sebelum menghukumi, karena sesungguhnya kaidah hukum dalam syari’at secara hukum adalah putusan/hukum itu terbangun di atas sebab telah terpenuhi syarat-syaratnya dan penghalang-penghalangnya tidak ada.
Putusan/hukum/vonis adalah menetapkan sesuatu bagi yang lain atau menafikannya darinya, sedang disini ia adalah menetapkan vonis hukum kafir/murtad bagi orang tertentu.
Sedangkan sebab hukum adalah sesuatu yang mana Sang Pembuat Syari’at menjadikan keberadaannya (sebab hukum) sebagai tanda terhadap keberadaan hukum dan ketidakadaannya (sebab hukum) sebagai tanda terhadap ketidakadaannya hukum. Dan di sini adalah pendatangan orang ini akan ucapan atau perbuatan mukaffir.
Sedangkan syarat hukum adalah suatu yang mana keberadaan hukum adalah tergantung pada keberadaanya (syarat hukum) dan tidak mesti dari keberadaannya (syarat hukum) keberadaan hukum, namun mesti ketidakadaannya (syarat hukum) ketidakadaan hukum.
Syarat-syarat vonis untuk takfir ini terbagi menjadi tiga bagian:
a. Syarat dalam pelaku: yaitu dia mukallaf (yaitu baligh dan berakal), mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir[2], sengaja dan bermaksud melakukannya, serta mukhtar (tidak dipaksa) terhadapnya atau dengan kemauannnya.
b. Syarat-syarat dalam perbuatan (yang mana ia adalah sebab hukum) yaitu perbuatannya itu mukaffir tanpa ada kesamaran. Dan telah lalu penjelasan apa yang disyaratkan untuk itu: yaitu perbuatan mukallaf itu jelas indikasinya dan dalil syar’i yang mengkafirkan juga jelas indikasinya.
c. Syarat-syarat dalam pembuktian perbuatan mukallaf: yaitu hal itu terbukti dengan cara syar’i yang shahih.
6. Dan ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Dan penghalang-penghalangnya tidak ada pada dirinya” yaitu penghalang-penghalang hukum.
Penghalang (maani’): Adalah sesuatu yang mesti dari keberadaannya (penghalang) tidak adanya hukum dan tidak mesti dari ketidakadaannya (penghalang) ada atau tidak adaanya hukum.
Ketahuilah, bahwa boleh mencukupkan dalam kaidah takfir dengan menuturkan syarat-syarat saja atau penghalang-penghalang saja, karena sesungguhnya keduanya adalah saling berlawanan sehingga penuturan salah satunya mencakup dari yang lain sebagaimana yang dikatakan Ibnul Qoyyim: “Dan di antara yang menjelaskan masalahnya di hadapanmu adalah kesepakatan manusia bahwa syarat itu terbagi pada wujudiy (yang bersifat ada) dan ‘adamiy (yang bersifat tidak ada) dengan makna bahwa keberadaan ini adalah syarat dalam suatu hukum dan tidak adaanya ini adalah syarat di dalamnya. Dan ini disepakati diantara fuqaha, ahli ushul, ahli kalam dan kelompok lainnya. Suatu ketidakadaannya adalah syarat maka keberadaannya adalah penghalang, sebagaimana sesuatu yang keberadaannya adalah syarat, maka ketidakadaannya adalah penghalang, jadi ketidakadaan suatu syarat adalah satu penghalang dari penghalang-penghalang hukum dan tidak adanya penghalang adalah syarat dari syarat-syaratnya, wabillahi taufiq.” (Badaaiul Fawaid 4/12 terbitan Darul Kitab Al ‘Arabiy)
Penghalang-penghalang (mawani’) –sebagaimana syarat-syarat– terbagi menjadi tiga macam:
1. Penghalang-penghalang pada pelaku: yaitu apa yang merintangi dia sehingga menjadikannya tidak dikenakan sanksi dengan sebab ucapan-ucapannya dan perbuatannya secara syar’i. Dan mawani’ ini dinamakan ‘Awaaridl Al Ahliyyah (faktor-faktor yang merintangi kelayakan) dan kami akan menuturkannya setelah ini Insya Allah.
2. Penghalang-penghalang pada perbuatan (yaitu pada sebab kekafiran) seperti keberadaan perbuatan itu tidak pantas kepada kekafiran atau dalil syar’i-nya tidak qath’iy dilalahnya terhadap kekafiran.
3. Penghalang-penghalang pada pembuktian; seperti keadaan salah seorang saksinya tidak diterima kesaksiannya, baik itu anak kecil atau tidak adil umpamanya.
[1] Tentu ini adalah syirik akbar (pent.)
[2] Ucapan Syaikh tentang syarat takfir bahwa si pelaku harus mengetahui bahwa perbuatan mukaffir, telah dikomentari oleh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisy dalam An Nukat:
“Syarat ini perlu ditinjau karena sesungguhnya orang-orang yang disebutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy Ibnu Hatim Ath Tha-iy radliallahu’anhu tidaklah mengetahui –sebagaimana yang ditegaskan ‘Adiy sendiri– bahwa mentati para ulama dan para pendeta dalam perbuatan hukum itu adalah ibadah akan tetapi ketidaktahuan mereka bahwa ketatan itu ibadah yang tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah tidaklah menghalangi dari pencapan mereka sebagai musyrikin dan bahwa mereka itu telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah. Dan Allah telah memilah mereka dalam surat Al Fatihah sebagai orang-orang yang dimurkai yang telah kafir atas dasar ilmu, dengan sifat bahwa mereka itu orang-orang yang sesat yang telah kafir atas dasar taklid, kebodohan dan kesesatan.
Dan di antara yang menunjukkan juga secara jelas bahwa orang bisa menjadi kafir tanpa disadari yaitu ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya adalah kekafiran adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak terhapus (pahala) amalanmu sedang kamu tidak menyadari“. (Al Hujurat: 2)
Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa meninggikan dan mengeraskan suara ini bisa menyebabkan terhapusnya amalan sedang si pelakunya tidak menyadari dan tidak mengetahui, sedangkan terhapusnya amalan ini hanya terjadi dengan kekafiran, sebagaimana firmanNya Ta’ala: ”Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran maka mereka itulah yang terapus amalannya” (Al Baqarah: 217)
Dan firman Ta’ala: “Barangsiapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya“ (Al Maidah: 5)
Dan firman Ta’ala: “Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya hapuslah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan“ (Al An’am: 88)
Serta ayat yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: ”Sesungguhnya meninggikan suara di atas suara Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mengeraskan suara kepadanya adalah dikhawatirkan darinya si pelaku menjadi kafir tanpa ia sadari dan amalnya terhapus dengan sebab itu dan bahwa ia adalah penghantar kepada hal itu dan sebab di dalamnya “ Selesai. (Ash Sharim Al Maslul hal; 55)
Maka tidak harus atau selalu disyaratkan bahwa orang bisa menjadi kafir, (bila) dia itu mengetahui bahwa perbuatannya mukaffir sebagaimana yang dituturkan mushannif (penulis Al Jami’, yaitu Syaikh Abd.Qadir,ed.) namun para ulama hanya mensyaratkan hal itu dalam takfier orang yang memiliki ashlul Islam (tauhid) dan ia keliru dalam sebagian permasalahan yang samar atau yang pelik yang butuh terhadapnya penjelasan dan tidak diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah, karena kalau tidak demikian sesungguhnya Allah Ta’ala telah menuturkan dalam kitabNya tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu kafir sedang mereka mengira bahwa mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk dan mereka berkata: ”Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. “
Dan Allah Ta’ala menuturkan bahwa mayoritas mereka adalah tidak mengetahui dan bahwa mereka itu orang-orang bodoh.
Dan Allah Ta’ala berfirman: ”Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?, yaitu orang-orang yang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya“ (Al Kahfi: 104)
Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menuturkan tentang orang-orang yang memperolok-olok para penghafal Al Quran di perang Tabuk bahwa Dia telah mengkafirkan mereka tatkala mereka lontarkan ucapan-ucapan kafir itu, padahal mereka secara tegas menyatakan tidak bermaksud kafir dan murtad dengan hal itu dan mereka tidak mengetahui sama sekali bahwa ucapannya iu adalah kekafiran. Bahkan ia adalah seperti apa yang mereka katakan dalam sebab turun ayat: ”Obrolan para pengendara, dengannya kami memotong jarak perjalanan “.
Dan dalil-dali atas hal ini sangat banyak dan ia menunjukkan bahwa orang untuk dikafirkan tidaklah selalu disyaratkan ia mengetahui bahwa apa yang ia kerjakan adalah kekafiran kecuali dengan dimaksudkan dengan mengetahui ini ia bermaksud pada amal atau ucapan yang mengkafirkan dan sengaja kepadanya saat ia melakukan atau mengucapkannya, maka ini syarat dengan kesepakatan, namun ia bukan yang dimaksud mushannif disini.
Dan lihatlah apa yang dikatakan Al ‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Pada thabaqah ke 17 dari tingkatan-tingkatan kaum mukallafin dan thabaqat mereka dan ia sebagaimana yang beliau katakan: ”Thabaqah orang-orang yang taqlid dan orang-orang kafir yang bodoh dan para pengikut-pengikut mereka serta keledai-keledai mereka yang menjadi pengikut mereka sembari mengatakan: “Sesungguhnya kami mendapatkan para pendahulu kami di atas suatu ajaran dan sesungguhnya kami mencontoh mereka –sampai ucapannya– dan umat telah sepakat bahwa thabaqah ini adalah kafir walaupun mereka itu bodoh… sampai akhir ucapannya“. Selesai komentar Al Maqdisiy (pent.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar