Pages

Hakikat Islam dan Hakikat Syirik

SADURAN KAJIAN
KITAB AL HAQAA-IQ  MILIK SYAIKH ALI AL KHUDLAIR
Oleh Abu Sulaiman
Ikhwani fillah, materi kali adalah tentang hakikat Islam dan Hakikat syirik… dan kitab yang akan kita kaji kali ini berjudul Al Haqaiq Fit Tauhid yang ditulis oleh Asy Syaikh Ali Khudlair Al Khudlair.
Materi ini juga menjelaskan tentang banyak kekeliruan dalam memahami hakikat tauhid dan hakikat syirik yang diakibatkan pemahaman yang salah tentang keduanya, dan juga tidak bisa membedakan antara hakikat nama sebelum hujjah dan nama sesudah hujjah.
Oleh sebab itu Syakhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Allah telah membedakan antara nama-nama dan hukum-hukum sebelum dan sesudah risalah. Dan Allah juga menyatukan antara hal-hal itu dalam nama-nama dan hukum” (Majmu Al Fatawa : 20/37).

Dan beliau juga mengatakan: “Memahami atau mengetahui batasan-batasan nama dalam dien ini adalah wajib, terutama berkaitan dengan batasan apa yang telah Allah turunkan kepada para Rasul-Nya, terutama yang paling penting adalah memahami batasan antara hakikat tauhid dan hakikat syirik, karena di atas hal itu dibangun hukum-hukum yang banyak, oleh karena itu kekeliruan dalam masalah ini berbeda dengan kekeliruan dalam nama-nama yang lainnya”
Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah menjelaskan dalam tafsir firman Allah ta’ala :
“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk”. (Al A’raf : 30)
Beliau mengatakan : “Sebagian kelompok, Allah memberikan mereka hidayah dan kelompok lain telah tetap kesesatan atas mereka karena mereka menjadikan syaitan sebagai pelindung (sembahan) bagi mereka selain Allah, dan mereka menyangka bahwa mereka orang-orang yang mendapat petunjuk”
Ibnu Jarir rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini termasuk dalil yang paling jelas dalam menjelaskan tentang kekeliruan ucapan orang yang mengklaim bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengadzab seorang atas maksiat yang dilakukannya atau kesesatan yang diyakininya kecuali bila dia melakukannya setelah mengetahui kebenaran, terus dia melakukannya sebagai bentuk pembangkangan terhadap Tuhannya.
Jadi, pernyataan bahwa Allah tidak akan mengadzab seseorang atas maksiat yang dilakukannya atau kesesatan yang dia yakini kecuali kalau dia meyakini atau melakukan maksiat tersebut setelah dia mengetahui kebenaran terus dia melakukannya sebagai bentuk pembangkangan terhadap Allah,maka sesungguhnya pernyataan tersebut adalah bathil dan digugurkan oleh firman Allah tadi. Karena jika seandainya pernyataan itu benar, tentu tidak ada perbedaan antara kelompok yang sesat di mana dia mengira bahwa dia berada di atas kebenaran dengan kelompok yang memang berada di atas kebenaran, sedangkan Allah telah membedakan antara keduanya di dalam nama dan dalam hukum.
Kemudian Syaikh Abdullathif ibnu Abdurrahman ibnu Hasan ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan: “Banyak sekali umat ini binasa karena sebab mereka tidak mengetahui batasan-batasan dan hakikat-hakikat suatu hal dan suatu perbuatan. Dan banyak sekali kekeliruan, keraguan, penyimpangan yang terjadi dengan sebab orang tidak mengetahui hakikat suatu nama atau suatu hal” (Minhajut Ta-sis : 12)
Contohnya di sini beliau menjelaskan tentang nama Islam dan Syirik, yang mana banyak  orang tidak mengetahui hakikat Islam itu apa? dan hakikat syirik itu apa? Banyak orang yang tidak mengetahui hakikat keduanya mereka jatuh ke dalam kemusyrikan.
Ketika melihat realita orang yang tidak memahami apa itu hakiat Islam sedang dia mengira dirinya berada di atas keislaman, ternyata realita dalam perbuatan yang dia lakukan itu adalah kemusyrikan, dan dia tidak merasa bahwa dirinya syirik.
Karena tidak dapat memahami hakikat Islam dan hakikat syirik maka dengan hal inilah banyak orang yang terjatuh ke dalam kemusyrikan. Seperti realita zaman sekarang, ketika orang tidak mengetahui kedua hakikat itu, apalagi syirik hukum yang melanda pada zaman sekarang yaitu syirik demokrasi, banyak orang terjatuh ke dalam kemusyrikan ini tanpa mereka sadari, sedangkan Al Islam dan Asy Syirku itu adalah naqidlan (dua hal yang kontradiksi), seperti siang dan malam, tidak bisa keduanya bersatu dan tidak bisa kedua-duanya terpisahkan dari diri seseorang di dalam waktu yang bersamaan, jika tidak Islam berarti syirik atau kebalikannya pasti ada.
Seseorang tidak bisa dikatakan muslim sekaligus juga dikatakan musyrik di dalam waktu yang bersamaan, di mana jika bukan musyrik berarti dia muslim, dan jika dia bukan muslim maka berarti dia musyrik, jika ada syirik akbar maka tauhid pasti hilang. Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan berkata : “Jika syirik ada maka tauhid lenyap”.(Syarhu Ashli Dienil Islam). Ketika orang menganut sistem syirik demokrasi maka tauhidnya pasti hilang, ketika orang membuat tumbal dan sesajian maka tauhidnya sudah pasti hilang.
Syaikh Abdullathif berkata : “Kejahilan (kebodohan) terhadap dua hakikat ini (Islam dan Syirik) atau kebodohan terhadap salah satunya menjerumuskan banyak manusia ke dalam kemusyrikan, ke dalam peribadatan kepada orang-orang shalih”.
Jadi, yang menyebabkan orang meminta-minta kepada kuburan, karena dia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu syirik, padahal dia tahu bahwa syirik itu dosa yang paling besar, yang mana kalau dia mati di atasnya maka tidak akan diampuni, oleh karena tidak paham hakikat syirik maka dia tidak menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah kemusyrikan. Dia tidak paham terhadap hakikat kemusyrikan ini, tidak paham akan hakikat Islam, maka dia merasa bahwa dirinya sudah Islam dengan sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah, shalat, dan lain-lain, dia merasa dirinya Islam padahal perbuatan syirik sedang dia lakukan.
Ini adalah akibat kejahilan terhadap hakikat Islam dan hakikat Syirik. Bila salah satunya tidak diketahui maka hal itu menjerumuskan ke dalam kemusyrikan.
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan dalam Syarh Ashli Dienil Islam mengatakan: “Sesungguhnya orang yang melakukan kemusyrikan maka dia itu telah meninggalkan tauhid, karena tauhid dan syirik itu adalah dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu”.
Jadi, bila syirik dilakukan, seperti orang menyembelih untuk tumbal atau sesajian atau membuat tumbal, atau membuat undang-undang atau memutuskan dengan selain hukum Allah atau merestui hukum buatan manusia atau tunduk dan loyal kepadanya, atau mengikuti dan setuju dengannya, maka tauhidnya lenyap, dia bukan seorang muslim lagi, tapi dia orang musyrik.
Syaikh Abdullah Aba Bhutain rahimahullah mengatakan : “Di antara hal yang wajib untuk diperhatikan adalah mengetahui batasan-batasan apa yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencela orang yang tidak mengetahui batasan-batasan apa yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya :
“Orang-orang Arab Badwi itu, lebih sangat kekafiran dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya”. (At Taubah : 97).
Jadi, di sini orang yang tidak mengetahui batasan-batasan apa yang telah Allah turunkan kepada Rasul-nya adalah dicela oleh Allah, maka kita harus mengetahui batasan-batasan tersebut agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang kita tidak mengetahui bahwa itu bertentangan dengan apa yang Allah perhatikan.
  1. I. Hakikat Islam
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Bila mereka menghujjah kamu, maka katakanlah: “Saya serahkan wajah saya hanya kepada Allah dan begitu juga orang yang mengikutiku menyerahkan wajahnya kepada Allah saja”. (Ali Imran: 20)
Di sini disebutkan bahwa hakikat Al Islam adalah menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah, dalam arti menujukan seluruh peribadatan, ketundukan, keberserahdiri hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Andaikata orang beribadah kepada Allah dan menujukannya kepada Allah, akan tetapi menuju kepada yang lain juga, maka berarti dia tidak menghdapkan wajah sepenuhnya kepada Allah, berarti dia belum muslim…
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab menjelaskan : “Bila amalan kamu seluruhnya ditujukan kepada Allah maka kamu ini orang yang bertauhid, dan bila ada penyekutuan di dalamnya terhadap makhluk maka kamu ini adalah orang musyrik”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“(Tidak), barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada  rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”. (Al Baqarah: 112)
Ayat “menyerahkan diri sepenuhnnya” adalah sama dengan menyerahkan wajah sepenuhnya, dan ayat “berbuat baik (muhsin)” maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul. Di sini disebutkan bahwa Islam adalah menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala disertai dengan ihsan (ittiba = mengikuti) apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan Al Islam: “Islam itu adalah mentauhidkan Allah, ibadah hanya kepada Allah tidak ada sekutu bagi-Nya. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul. Bila hal-hal ini tidak dibawa oleh seorang hamba maka dia bukan seorang muslim”.(Thariqul Hujratain:452) Karena tidak memenuhi keberserahan diri kepada Allah dan tidak disertai dengan ihsan (ittiba) kepada tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
Dan siapakah yang lebih baik diennya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mukhlis (muhsin/ittiba) , dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ?” (An Nisa : 125)
PASAL
Pasal ini akan mengutarakan syarat-syarat Islam atau syarat-syarat Laa ilaaha illallaah…
  1. 1. Al Ilmu (ilmu)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Allah” (Muhammad: 19)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mati sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah, dia pasti masuk surga” (HR Muslim)
Kedua dalil di atas menjelaskan tentang syarat pertama diterimanya Laa ilaaha illallaah, yaitu al ilmu, mengetahui makna kandungan daripada Laa ilaaha illallaah. Seseorang harus mengetahui makna Laa ilaaha illallaah.
Banyak orang mengetahui terjemahannya tapi tidak mengetahui maknanya, jika orang yang pernah mengkaji tauhid mengartikannya: “tidak ada tuhan yang berhak diibadati selain Allah”, sedangkan orang yang mengetahui sebatas terjemahannya mengatakan: “tidak ada Tuhan selain Allah”. Sedangkan maknanya adalah harus mengetahu hakikat uluhiyyah dan ubudiyyah, hakikat ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah, sehingga ketika orang mengucapkan Laa ilaaha illallaah itu dia berada di atas ilmu, yaitu mengetahui apa yang harus dia tinggalkan dan apa yang harus dia lakukan.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa Laa ilaaha illallaah menuntut orang muslim dari menafikan 4 hal, yaitu: Arbab, Alihah, Andad dan Thaghut. Dan berikut ini adalah penjelasannya:
  1. Alihah
Alihah adalah kata jamak dari ilah yang artinya tuhan. Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan secara khusus tentang definisi ilah atau tuhan ini : “Sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat”.
Contoh : Batu besar… batu dituju oleh orang dengan suatu hal (yaitu sesajian atau yang sejenisnya), berarti batu itu dituju oleh orang dengan maksud meminta manfaat atau meminta dijauhkan dari bala (bencana). Maka di sini batu itu telah menjadi ilah selain Allah atau telah dipertuhankan selain Allah.
Contoh : Pohon besar… orang datang ke pohon itu dengan membawa sesajian atau berupa sembelihan atau yang semisalnya. Maka ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin orang membawa atau menyimpan sesaji-sesajian di pohon tersebut tanpa ada maksud, sedang ini tidak akan lepas dari dua hal : minta untuk penolakan bala atau minta manfaat. Ini berarti pohon tersebut telah diperlakukan sebagai ilah (tuhan) selain Allah oleh orang tersebut.
Contoh : Kuburan… ia di tuju oleh orang dengan suatu permintaan, dan ini tidak akan lepas dari dua hal, jika tidak meminta manfaat maka ia minta ditolakkan dari bala, ketika orang datang ke kuburan yang dikeramatkan itu maka berarti dia telah menjadikan kuburan tersebut sebagai ilah (tuhan) selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Contoh : Jin… ketika orang mau membangun sebuah rumah, kemudian ada yang mengatakan bahwa tanah atau daerah yang akan dipakai untuk membangun rumah tersebut ada “penuggunya”, lalu orang yang membangun rumah tersebut segera membawa sembelihan ayam atau ternak apa saja untuk dikuburkan di tanah tersebut. Berarti di sini, dia menuju ke yang menunggu tersebut (jin) dengan sesuatu hal (tumbal sembelihan) dengan maksud agar ketika menempati rumah tersebut dia tidak diganggu oleh jin si penunggu tersebut… dan contoh lain yang mana antum juga bisa mengetahuinya jika dihubungkan dengan realita.
Jika orang tidak mengetahui bahwa ketika dia membuat tumbal atau sesajian itu adalah bentuk penuhanan selain Allah, atau bentuk mempertuhankan selain Allah, maka berarti sebenarnya dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah, dan jika dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah maka dia itu belum muslim.
Oleh karena itu aneh sekali apabila ada orang yang mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan, karena justeru di antara syarat Laa ilaaha illallaah adalah memahami atau mengetahui makna Laa ilaaha illallaah. Sedangkan jika orang melakukan kemusyrikan karena ketidaktahuannya berarti dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain dia belum merealisasikan salah satu syarat Laa ilaaha illallaah, yaitu al ilmu, dan jika demikian maka Islamnya belum sah.
Ini adalah makna Alihah, kata jamak dari ilah yang artinya tuhan-tuhan selain Allah, yaitu orang dituntut untuk meninggalkan atau berlepas diri dari pada ilah-ilah atau tuhan-tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan ketika orang mengucapkan Laa ilaaha illallaah akan tetapi dia belum meninggalkan hal-hal tadi maka dia belum mengamalkan Laa ilaaha illallaah ini.
  1. Arbab
Arbab adalah kata jamak dari rab yang artinya pengatur, maka dari itu Allah disebut Rabbul ‘alamin yang artinya Tuhan Pengatur alam semesta.
Rab adalah pengatur. Ini berarti berhubungan dengan aturan atau undang-undang. Allah yang menciptakan alam semesta, maka Allah-lah yang berhak menentukan hukum, baik itu hukum kauni (hukum alam) maupun hukum syar’iy, karena Allah adalah Rabbul ‘alamin…
Sebagai konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah, maka kita harus menafikan rububiyyah (pengaturan) dari selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak ada yang berhak untuk mengatur, tidak ada yang berhak untuk menentukan hukum, aturan, undang-undang selain Allah, karena Allah adalah Rabbul ‘alamin…
Ketika sifat ini diberikan kepada selain Allah, maka ini berarti telah memberikan salah satu sifat Allah kepada makhluk-Nya. Jadi, orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak untuk membuat hukum atau undang-undang maka berarti dirinya itu telah memposisikan dirinya sebagai tuhan. Dan orang yang mengikuti aturan orang yang mengklaim berhak membuat hukum tersebut berarti telah beribadah kepada kepada si arbab (para pengaku tuhan selain Allah) tersebut.
Kita akan mengetahui makna rabb dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah: 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
  1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
  2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
  3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
  4. Mereka telah musyrik
  5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi rabb.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang sahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim ketika mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah beribadah kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang telah Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan  mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).
Jadi, orang-orang Nashrani merasa bahwa yang namanya ibadah itu adalah shalat, ruku,  sujud, mereka tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah sebagai bentuk kemusyrikan, mereka juga tidak menyadari bahwa sikap setuju dan mengikuti dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan dan penghalalan apa yang Allah haramkan itu adalah sebagai bentuk kemusyrikan.
Di antara faidah yang bisa diambil dari hadits di atas adalah bahwa vonis MUSYRIK di dalam ayat tersebut bukanlah dengan sebab mereka shalat atau sujud kepada alim ulama dan para rahib mereka, akan tapi dikarenakan ketika alim ulama membuat hukum atau mengaku berhak membuat hukum, terus hukumnya diikuti, ditaati dan di komitmeni oleh orang-orang yang ada di bawahnya, maka Allah memvonis hal itu sebagai bentuk peribadatan. Jadi yang namanya arbab itu adalah yang membuat hukum selain Allah atau yang mengaku berwenang membuat hukum selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Arbab adalah tuhan-tuhan pengatur yang membuat hukum selain Allah, dan dalam surat At Taubah : 31 ini alim ulama dan para rahib adalah mereka yang membuat hukum di samping Allah ta’ala, kemudian hukum buatannya itu diikuti oleh orang-orang Nashrani tersebut, maka perbuatannya ini (membuat hukum) artinya telah memposisikan dirinya sebagai arbab (tuhan-tuhan pengatur selain Allah). Sedangkan orang yang mengikuti hukum tersebut atau komitmen untuk mentaatinya dan merujuk kepada hukumnya itu maka Allah memvonisnya sebagai orang-orang yang telah beribadah kepada alim ulama (ahli ilmu) dan para rahib (para pendeta), atau dengan kata lain Allah memvonisnya sebagai orang musyrik.
Jadi, konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah ini adalah berlepas diri dari segala pembuat hukum selain Allah dan berlepas diri dari setiap hukum selain yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka jika orang tidak memahami bahwa penyandaran hukum kepada selain Allah itu adalah termasuk kemusyrikan dan termasuk pelanggaran terhadap Laa ilaaha illallaah berarti keislamannya belum sah.
  1. Andad
Andad adalah kata jamak daripada nidd yang artinya tandingan, maksudnya di sini adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari Islam (tauhid), dan ini bisa berbentuk harta, isteri, anak, suku/adat atau tanah air. Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman:
“Janganlah kamu menjadikan andad selain Allah sedangkan kamu mengetahui”(Al Baqarah : 22)
Contoh : Seorang ayah punya anak yang sakit, dia sudah berobat ke mana-mana, kemudian dia putus asa dan akhirnya karena ada yang menyarankan untuk pergi ke dukun akhirnya dia pergi ke dukun tersebut dan diapun mengikuti apa yang disarankan si dukun itu, maka si anak ini telah menjadi andad bagi si ayah yang menjerumuskannya ke dalam kekafiran, dan ketika dia mengikuti apa yang disarankan si dukun demi kesembuhan anaknya itu, maka berarti dia sudah keluar dari Islam karena sudah melanggar Laa ilaaha illallaah.
Contoh : Atau umpamanya orang tahu bahwa demokrasi itu syirik, sumpah untuk loyalitas kepada hukum thaghut itu syirik, akan tetapi karena gaji bulanan dan berbagai tunjangan yang menggiurkan, akhirnya dia mengikrarkan sumpah setia kepada hukum thaghut ini supaya mendapakannya. Ini berarti kecintaan kepada dunia telah memalingkan dia dari tauhid dan Islam, dunia telah menjadi andad bagi dia.
Sebagai konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah, maka orang harus menjauhi hal-hal seperti itu, jangan sampai hal tersebut memalingkan orang daripada tauhid…
  1. Thaghut
Laa ilaaha illallaah menuntut untuk menafikan dan berlepas diri dari thaghut. Thaghut diambil dari kata thughyan yang artinya melampaui batas.
Batas makhluk adalah beribadah, batas makhluk adalah mengikuti aturan Allah, batas makhluk adalah memutuskan dengan hukum Allah, batas makhluk adalah berposisi di batas makhluk, tidak mengklaim atau mengaku mengetahui hal yang ghaib apalagi memposisikan diri sebagai Tuhan atau mengklaim berwenang membuat hukum. Batas makhluk adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah.
Ketikan batas ini dilampaui; di mana orang yang seharusnya mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah tapi dia malah mengajak untuk membuat tumbal, sesajian, atau untuk melaksanakan hukum buatan manusia atau untuk mengikuti sistem selain syari’at Allah atau mengajak untuk menganut idiologi selain ajaran Islam, maka hal itu adalah thaghut.
Begitu juga orang yang seharusnya mengikuti aturan Allah, tapi dia malah membuat hukum selain hukum yang Allah turunkan, maka sipembuat hukum itu juga adalah thaghut.
Orang yang seharusnya memutuskan dengan apa yang Allah turunkan ─karena dia sebagai makhluk Allah─, akan tetapi dia malah memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan maka dia juga adalah thaghut.
Allah menetapkan bahwa pengetahuan terhadap yang ghaib itu hanya milik Allah, akan tetapi ketika orang mengklaim bahwa ia mengetahui hal yang ghaib, maka ia telah memposisikan dirinya sebagai tuhan dan dia telah melampaui batasannya sebagai makhluk, sedangkan konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah adalah kita harus menafikan hal-hal tersebut.
Jadi firman Allah:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Allah” (Muhammad: 19), adalah penegasan prihal kewajiban mengetahui kandungan makna kalimat tauhid ini, yang mana ini adalah syarat sah baginya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang mati sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah, dia pasti masuk surga” (HR Muslim)
Ini adalah syarat Laa ilaaha illallaah yang pertama…
  1. 2. Ikrar
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” (Al Baqarah: 136)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu)
Ini adalah syarat yang kedua. Setelah orang mengetahui maknanmya, maka selanjutnya dia harus ikrar (mengucapkannya), yaitu mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan “katakanlah”, maka berarti Allah memerintahkan untuk mengatakannya dan demikian juga dalam hadits yang telah lalu.
Para ulama sepakat bahwa; orang yang mampu mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah akan tetapi dia tidak mengucapkannya, maka dia belum muslim walaupun dia mengetahui makna Laa ilaaha illallaah.
Ini seperti Abu Thalib paman Rasulullah, di mana dia mengetahui makna Laa ilaaha illallaah dan dia juga meyakini kebenaran Laa ilaaha illallaah, akan tetapi dia tidak mau mengikrarkannya maka dia tidak memenuhi syarat ini.
Akan tetapi orang yang terlahir dari keluarga yang muslim, maka ketika sudah dewasa dia tidak diharuskan untuk mengucapkannya sebagai pertanda masuk islam sebagaimana yang disyaratkan oleh sebagian orang atau kelompok tertentu, karena dia terlahir di atas fithrah, kemudian kedua orang tuanya tidak menyelewengkan dia kepada Yahudi atau Nashrani atau yang lainnya. Sehingga tidak disyaratkan apabila dia sudah dewasa untuk mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah. Dan tidak pernah ada satu atsarpun yang mengharuskan hal ini, dan tidak pernah seorang sahabatpun melakukannya terhadap anak-anak mereka dalam rangka mengislamkan mereka.
  1. 3. Yakin
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu” (Al Hujurat: 15)
Tidak ragu artinya yakin, maka syarat yang ketiga daripada Laa ilaaha illallaah adalah yakin, yaitu meyakini makna dan kebenaran akan Laa ilaaha illallaah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu: “Tidaklah seorang hamba bertemu dengan Allah dengan membawa dua kalimah syahadah itu seraya dia tidak meragukan kandungan isinya melainkan dia masuk surga”.
Orang tidak akan meyakini sesuatu kecuali setelah dia mengetahuinya. Jadi yakin adalah hasil dari ilmu. Jika orang tidak mengetahui maka mana mungkin meyakininya.
  1. 4. Jujur
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah bersaksi, sesungguhnya orang-orang munafiq itu benar-benar pendusta” (Al Munafiqun: 1)
Orang munafiq ketika mengucapkan Laa ilaaha illallaah mereka berdusta, maka keimanan mereka itu tidak sah, sedangkan lawan dusta adalah jujur.
Laa ilaaha illallaah, ketika pengucapannya haruslah jujur dari lubuk hati yang paling dalam, bukan di lisan saja. Orang munafiq mengucapkan Laa ilaaha illallaah di lisannya akan tetapi berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya. Orang munafiq bukan orang muslim di hadapan Allah, akan tetapi dia dihukumi muslim di dunia selama dia tidak menampakkan pembatal keislaman.
Ini adalah syarat lahir bathin yang harus direalisasikan oleh kita semuanya. Dan kita juga harus menyampaikan kepada manusia Islam yang seperti ini, Islam lahir dan bathin.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Mu’adz radliyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang meninggal dunia, sedangkan dia bersaksi Laa ilaaha illallaah dengan penuh kejujuran dari hatinya, maka dia masuk surga”.
Jadi, pengucapan ini harus jujur, sedangakan kejujuran tidak akan terealisasi kecuali berasal dari pada suatu yang diyakini dan tidak mungkin dia yakin Laa ilaaha illallaah kecuali setelah dia mengilmui.
  1. 5. Mencintai
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan andad selain Allah, mereka mencintai andad-andad itu seperti mereka mencintai Allah. Dan orang-orang yang beriman adalah amat cinta kepada Allah” (Al Baqarah: 165)
Orang tidak mungkin mencintai Laa ilaaha illallaah jika tidak memahami terhadap makna kandungan Laa ilaaha illallaah. Dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan dari Annas radliyallahu’anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tiga hal yang mana bila ketiga hal itu ada pada diri seseorang maka dia akan mendapatkan manisnya keimanan, pertama Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya…”
Kecintaan kepada Allah tidak akan mungkin terjadi kecuali setelah mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
  1. 6. Qabul (Menerima terhadap konsekuensi) atau inqiyad (tunduk).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya mereka bila dikatakan kepada mereka Laa ilaaha illallaah, mereka menolak (menyombongkan diri)” (Ash Shafaat : 35)
Orang-orang kafir Quraisy Allah katakan bahwa mereka itu sombong, maka berarti mereka itu sebenarnya paham dan mengerti, mereka itu mengetahui dan mereka itu yakin juga tidak mendustakan. Di dalam hatinya mereka membenarkan akan tetapi mereka menolak untuk mengucapkannya karena mereka memiliki sifat sombong sehingga menolak tunduk kepada konsekuensinya…
Dalam hadits Muslim yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak mungkin masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sebesar dzarrah daripada kesombongan”
Karena kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menyepelekan orang lain. Jika seseorang menyepelekan atau meremehkan orang lain maka dia tidak akan menerima kebenaran yang datang dari orang tersebut.
  1. 7. Ikhlas
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya”. (Al Bayyinah: 5)
Syarat di sini adalah ikhlas dan maksudnya adalah tulus karena Allah sebagaimana dalam hadits Al Bukhariy dan Muslim dari Utbah radliyallahu’anhu, Rasulullah mengatakan: “Allah mengharamkan atas mereka orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah seraya menngharapkan Wajah Allah dengannya”.
  1. 8. Kafir kepada thaghut dan iman kepada Allah
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Syarat yang terakhir dari Laa ilaaha illallaah adalah sebagaimana yang Allah firmankan:
“Barangsiapa yang kafir kepada thaghut dan iman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah memegang al ‘urwah al wutsqa (buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus)”. (Al Baqarah: 256)
Laa ilaaha illallaah tidak akan sah jika orang tidak kafir kepada thaghut, sebagaimana dalam hadits Muslim dari Abu Malik Al Asyja’iy dari ayahnya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah maka haramlah darah dan hartanya”
Hadits “kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksudnya di sini adalah kafir kepada thaghut. Di dalam hadits ini, orang ketika mengucapkan Laa ilaaha illallaah maka dia haram darah dan hartanya, dalam arti dia itu muslim, tapi syaratnya kufur terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, yaitu kufur kepada thaghut.
Itu adalah delapan syarat Laa ilaaha illallaah yang mana di antara syaratnya ada yang bersifat bathin dan di antaranya ada yang bersifat dhahir, sedangkan kita harus merealisasikan syarat-syarat itu semuanya. Karena orang yang merealisasikan syarat-syarat ini maka dia itu adalah orang muslim haqiqatan (orang muslilm yang sebenarnya)
Bisa saja seseorang merealisasikan di antara syarat-syarat itu hanya sebagiannya saja, umpamanya dia tidak merealisasikan syarat ikhlas dalam pengucapan Laa ilaaha illallaah, dia tidak tulus dalam mengucapkannya, maka jika dia tidak menampakkan pembatal keislaman yang dhahir dia tetap hukumi muslim, tapi secara bathin dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah. Ini seperti layaknya orang munafiq, di mana dia adalah orang kafir di sisi Allah, akan tetapi selama dia tidak menampakkan pembatal keislaman maka dia dihukumi muslim di dunia.
Ketika kita merealisasikan dan ketika kita mendakwahkan kepada manusia haruslah Islam secara haqiqi (Islam lahir bathin). Adapan ketika kita bermu’amalah (berinteraksi) dengan orang lain, maka atas dasar Islam hukmi karena kita tidak bisa mengetahui apa yang ada di dalam hati orang lain, akan tetapi selama dia tidak menampakkan pembatal keislaman maka kita hukumi dia sebagai orang muslim secara hukum dunia. Adapun hakikat sebenarnya maka ia itu diserahkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini sebagaimana hadits “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah, mereka shalat dan zakat, bila merela melakukan itu maka mereka menjaga harta dan dirinya dariku kecuali dengan hak Islam dan penghisabannya adalah atas Allah”. (HR Al Bukhari Dan Muslim)
Sedangkan nestapa orang yang dihukumi muslim namun hakikatnya dia orang kafir, maka keadaannya adalah seperti apa yang Allah katakan :
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka” (An Nisa: 145)
Ini adalah pasal tentang syarat Laa ilaaha illallaah, yang mana Islam terealisasi apabila delapan syarat ini terpenuhi pada diri seseorang. Dan yang harus diingat bahwa yang diharuskan adalah merealisasikan hal-hal ini bukan sekedar menghapalnya saja, karena bisa saja orang menghapalnya akan tetapi dia tidak merealisasikannya dan orang yang seperti itu banyak, maka orang yang seperti itu tidak akan mendapatkan janji-janji yang ada dalam hadits-hadits tadi. Dan bisa jadi orang tidak hapal apabila disuruh untuk menyebutkan apa saja syarat Laa ilaaha illallaah itu, akan tetapi dia benar-benar merealisasikan Laa ilaaha illallaah dan itu juga banyak.
Jadi, yang diperintahkan adalah pengamalannya, jika bersifat teori saja dan tidak membuahkan amal maka itu adalah tidak manfaat.
Ijma-Ijma Ulama Tentang Hakikat Islam
Yang telah disebutkan tadi adalah dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka sekarang adalah ijma-ijma dari para ulama tentang Hakikat Islam…
Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Fashl jilid 4 hal 35 mengatakan: “Semua orang Islam sepakat bahwa setiap orang yang meyakini dengan hatinya dengan keyakinan yang tidak ada keraguan di dalamnya, kemudian mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah, dan dia meyakini bahwa semua yang dibawa Muhammad itu adalah haq (benar) dan dia berlepas diri dari setiap dien selain dien Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang itu muslim mukmin tidak ada nama lain”
Syaratnya menyakini dengan hati dengan keyakinan yang penuh, sedang hal itu tidak terjadi kecuali atas dasar  ilmu, tidak ada keraguan di dalamnya lalu mengucapkan (ikrar) dan meyakini bahwa semua yang dibawa Muhammad itu benar, ─dan tentunya ini akan membuahkan amal─ dan dia berlepas diri dari setiap dien (ajaran, hukum, undang-undang, idiologi, falsafah, sistem, agama), maka dia muslim mukmin.
Jika orang meyakini di dalam hatinya, lalu mengucapkan dengan lisannya dan meyakini bahwa yang dibawa Muhammad itu benar, akan tetapi dia tidak berlepas diri dari pada dien (system) demokrasi, falsafah Pancasila, undang-undang atau hukum-hukum selain apa yang Allah turunkan, Nasionalisme atau ajaran lainnya, maka dia bukam muslim meskipun dia mengaku sebagai seorang muslim dan dia melakukan shalat, zakat, haji dan ibadah lainnya. Meskipun dia mengaku muslim dan melakukan amal-amalan shalih, akan tetapi bila dia tidak berlepas diri dari dien atau ajaran syirik maka semua amalannya itu tidak bermanfaat bagi dirinya.
Dien itu bukan hanya diterjemahkan sebagai agama saja. Seperti orang kafir quraisy… mereka juga memiliki dien, tapi namanya bukan dien quraisy, mereka tidak menyebutkan “kami menganut dien Quraisy”, akan tetapi mereka punya ajaran seperti yang berlaku seperti yang ada pada adat-adat di kampung-kampung yang ada di Indonesia ini. Ajaran yang seperti itu dinamakan dien, makanya Rasulullah diperintahkan untuk mengucapkan “lakum dienukum waliya dien” kepada mereka. Jadi, kita harus berlepas diri dari setiap ajaran selain dien Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab At Taisir: “Mengucapkan dua kalimah syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya, yaitu berupa iltizam (komitmen) dengan tauhid, meninggalkan segala syirik akbar dan kafir terhadap thaghut, maka sesungguhnya pengucapan itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma”
Syaikh Abdullah Aba Buthain mengatakan: “Sungguh telah banyak sekali dalil-dalil dari Al Kitab, As Sunnah, dan ijma umat ini yang mensyaratkan ikhlas untuk segala amalan dan ucapan”
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam Ad Durar As Saniyyah : 11/545-546: “Ulama telah ijma dari kalangan salaf, khalaf, semenjak zaman shahabat, tabi’in, para imam, dan seluruh Ahlus Sunnah, bahwa seseorang tidak disebut muslim kecuali dengan mengosongkan diri daripada syirik akbar dan berlepas diri darinya…..”
Islam itu adalah berserah diri kepada Allah, memurnikan ketundukan hanya kepada Allah, menujukan seluruh ibadah hanya kepada Allah dengan ittiba (mengikuti) kepada tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
II. Hakikat Syirik
Sekarang adalah Hakikat Syirik, ini juga dalilnya dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma Ulama
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah” (Al Jin: 18)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa mesjid-mesjid itu adalah tempat milik Allah, maksudnya periabadatan yang dilakukan di dalam mesjid hanya ditujukan kepada Allah, maka janganlah kalian menyeru yang lain bersama Allah.
Di sini maksudnya adalah Ad Du’a ma’allah (menyeru yang lain bersama Allah), dengan arti bahwa di samping seseorang beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang lainnya. Allah menetapkan dan melarang manusia menyeru yang lain, baik itu malaikat, nabi, orang shalih atau siapa saja… yang jelas selain Allah. Jadi, yang namanya syirik di sini adalah Ad Du’a ma’allah (menyeru yang lain bersama Allah).
Orang ketika melakukan shalat, shaum, zakat, haji… semua itu adalah ibadah kepada Allah, akan tetapi jika di samping dia melakukan hal itu dia juga membuat sesajian atau menyandarkan hukum kepada selain Allah, atau tunduk kepada selain aturan Allah, ini berarti dia di samping ibadah kepada Allah juga dia ibadah kepada yang lain-Nya, maka dia masuk kedalam larang surat Al Jin tadi: “janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah”
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah berfirman: “Janganlah kalian menyembah dua Tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut”. (An Nahl: 51)
“Janganlah kalian menyembah dua tuhan”, yaitu menduakan Allah, atau di samping ibadah kepada Allah juga beribadah  kepada yang lain, maka itu adalah dilarang karena itu adalah kemusyrikan.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun”. (An Nur: 55)
Syirik adalah menyekutukan Allah, di samping beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang lainnya.
Jika alasan orang; bagaimana kamu mengatakan si fulan ini musyrik, padahal dia orang yang rajin shalat, zakat, zhaum, haji…”, maka kita katakana: yang namanya ibadah itu hanya kepada Allah saja, itu yang dituntut. Adapun jika dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya namun juga dia mengikuti hukum thaghut, maka itu telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahkan sebenarnya hakikat ibadah yang dilakukan orang musyrik kepada Allah jika disertai dengan kemusyrikan maka peribadatan kepada Allah yang dilakukannya itu adalah tidak dianggap.
Jadi, ketika orang melakukan shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya, namum di samping itu dia juga membuat tumbal dan sesajian, membuat hukum tandingan bagi hukum Allah, memutuskan dengan selain hukum Allah, maka dia itu adalah musyrik.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. (Al Kafirun: 1-2)
Ini adalah apa yang Allah perintahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, padahal kita mengetahui bahwa orang Quraisy itu beribadah kepada Allah, akan tetapi kenapa Rasul diperintahkan demikian? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah untuk mengatakan demikian karena sebenarnya peribadatan kepada Allah ketika disertai dengan peribadatan kepada selainnya, maka peribadatannya itu tidak dianggap apa-apa, seolah mereka tidak beribadah kepada Allah” (Badaaiul Fawaaid)
Seseorang yang melakukan shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya akan tetapi dia juga setia atau loyal kepada  hukum thaghut, maka pada hakikatnya dia itu tidak beribadah kepada Allah, tapi dia itu ibadah kepada thaghut.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) yang mensyari’atkan bagi mereka dari dien (ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan?” (Asy Syura : 21)
Orang yang memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum di samping Allah, maka Allah telah mencapnya sebagai syuraka (sekutu-sekutu), dan bentuk peribadatannya adalah ketaatan terhadap apa yang telah mereka syari’atkan di luar syari’at Allah tersebut.
Jadi, yang membuat hukum itu disebut sekutu-sekutu Allah yang diibadati, dan bentuk peribadatannya adalah dengan cara mengikuti hukum tersebut. Dan ayat tersebut juga menjelaskan bahwa penyekutuan itu tidak terbatas hanya kepada dua tuhan yang lain selain Allah, akan tetapi meskipun banyak tuhan yang diikuti maka itu adalah termasuk menyekutukan Allah, menserikatkan makhluk-makhluk  bersama Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
  1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
  2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
  3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
  4. Mereka telah musyrik
  5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak beribadah kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?. Maka Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan  mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).
Ketika hak kewenangan pembuatan hukum disandarkan kepada selain Allah seperti kepada alim ulama dan para pendeta, maka itu disebut sebagai bentuk penuhanan atau peribadatan kepada mereka, dan orang yang menyandarkannya atau orang yang mengikuti dan merujuk kepada hukum buatan disebut orang musyrik yang beribadah kepada hukum tersebut dan juga telah mempertuhankan si pembuat hukum tersebut yang mana si pembuat hukum itu disebut arbab (tuhan-tuhan pengatur). Dan dalam ayat yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya itu adalah perbuatan kefasikan. Sesungguhnya syaitan membisikkan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) agar mereka membantah kalian; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu : Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, ada kambing mati pagi hari, siapa yang membunuhnya ?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya Yang Mulia kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, Allah katakan bahwa ucapan itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika seandainya menyetujui dan mentaati mereka meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mencap bahwa orang yang membuat hukum selain Allah disebut sebagai wali syaitan, dan produk hukum yang buat itu pada hakikatnya adalah hukum syaitan.
  1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu”. (An Nisa : 60)
Orang yang tahakum (merujuk hukum) atau orang yang mengajukan perkaranya kepada thaghut disebut orang yang tidak beriman. Ini berarti orang tersebut telah menanggalkan ketauhidan, dengan kata lain bahwa berhakim kepada thaghut ini adalah bentuk penyekutuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika orang berhakim kepada Allah maka dia telah beribadah kepada Allah. Dan bila orang menjadikan hukum selain hukum Allah atau hukum thaghut sebagai acuan, maka dia telah beribadah kepada selain Allah atau telah beribadah kepada thaghut tersebut.
Perujukan hukum kepada selain hukum Allah itu bertentangan dengan tauhid, dan itu sebagai bentuk kemusyrikan. Karena ketika merujuk kepada hukum itu berarti dia mengikuti hukum tersebut dan dia masuk ke dalam syirik tha’ah (ketaatan), sebagaimana orang Nashrani melakukan syirik karena mereka mengikuti hukum yang dibuat para pendetanya.
Orang ketika bertahakum kepada hukum thaghut dikatakan bahwa keimanannya telah lepas dan hanya sekedar klaim saja. Penyekutuan itu bukan hanya terbatas pada do’a, nadzar, istighatsah, shalat dan lainnya, akan tetapi mencakup berbagai macam bentuk penyekutuan kepada Allah yang di antaranyaadalah mengikuti, tunduk, patuh kepada yang bukan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kemudian dalil-dalil dari As Sunnah:
  1. Hadits marfu’ dari Abdullah ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu :
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Dosa apa yang paling besar?”, Beliau menjawab: “Kamu menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dia yang telah menciptakan kamu” (HR. Bukhari Muslim)
Jadi, dosa yang paling besar adalah “kamu menjadikan tandingan bagi Allah” dalam arti di sampaing kamu beribadah kepada Allah, kamu juga beribadah kepada yang lainnya.
  1. Dari Abu Bakar radliyallahu’anhu:
Kami berkata: “Ya Rasulullah, dan apakah syirik itu adalah apa yang diibadati selain Allah, atau yang diseru bersama Allah?” (Hadits dari Abu Ya’ala, dan ada kelemahan dalam hadits ini)
Dalil-dalil di atas menyebutkan bahwa syirik itu ada dua macam: yaitu pertama, seperti orang yang tidak beribadah kepada Allah tapi dia hanya beribadah kepada selain Allah, ini seperti para penganut animisme, dinamisme dan yang serupa dengannya dimana mereka hanya menyembah berhala-berhala. Mereka disebut musyrik juga meskipun mereka hanya menyembah kepada selain Allah. Dan kedua adalah seperti orang yang beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia juga beribadah kepada selain-Nya.
Di dalam Al Qur’an, larangan syirik itu adalah untuk kedua-duanya dan vonis bagi orang musyik juag diperuntukan bagi kedua-duanya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyeru selain Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan madlarat buat kamu, jika kamu melakukannya berarti kamu tergolong orang-orang yang dzalim”. (Yunus : 106)
dan firman-Nya dalam surat yang lain :
“Dan barangsiapa menyeru tuhan yang lain bersama Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (Al Mukminun : 117)
Maka syirik itu bukan hanya ibadah kepada selain Allah saja, akan tetapi juga beribadah kepada Allah di samping beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan kemusyrikan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim adalah macam yang kedua, yaitu di samping dia beribadah kepada Allah dia juga beribadah kepada selain-Nya.
  1. 3. Hadits Al Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu secara mu’alaq:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman:
“Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar, dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka”. (Ar Ra’du : 14)
Ibnu ‘Abbas mengatakan : “Perumpamaan orang musyrik, di mana dia ibadah kepada Allah, juga dia beribadah kepada yang lainnya adalah seperti orang haus yang melihat air dikejauhan (dikhayalnya ada air), lalu dia membentangkan tangannya untuk mengambil air tersebut sedangkan dia tidak mampu untuk mendapatkannya”.
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan: “Jika amalan kamu seluruhnya untuk Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila di dalamnya ada penyekutuan terhadap makhluk maka kamu adalah orang musyrik”.
Jika seandinya 99% dari semua ibadah itu ditujukan kepada Allah akan tetapi walaupun hanya 1% atau sekian persen ditujukan untuk selain Allah maka hal itu disebut orang musyrik, karena menduakan  atau menyeru yang lain bersama Allah.
Kemudian dalil dari ijma para ulama:
Al Qadli ‘Iyadl, dalam kitab Asy Syifa pada pasal tentang keyakinan-keyakinan atau pernyataan-pernyataan yang merupakan kekafiran, beliau mengatakan bahwa: “Setiap ucapan yang menafikan ke Esaan Allah atau yang terang-terangan beribadah kepada selain Allah atau bersama Allah, maka ia adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin”.
Di sini disebutkan bahwa peribadatan kepada sesuatu di samping ibadah kepada Allah. Dan di sini juga disebutkan kedua macam syirik.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Tarikh Nejed hal 223 mengatakan: “Sesungguhnya syirik itu adalah peribadatan kepada selain Allah, penyembelihan, nadzar untuknya dan menyerunya”. Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui seorangpun dari kalangan ulama berselisih dalam hal itu”.
Di sini disebutkan bahwa peribadatan kepada selain Allah, membuat tumbal, nadzar, atau menyeru selain-Nya itu adalah kemusyrikan.
Syaikh Ishaq ibnu Abdurrahman rahimahullah dalam risalah Takfir Mu’ayyan mengatakan: “Menyeru ahli kubur, memohon kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah kaum muslimin tidak berselisih di dalamnya, bahkan sesungguhnya hal itu adalah termasuk syirik yang mengkafirkan”
Peribadatan kepada selain Allah, permohonan, meminta, istighatsah atau meminta tolong kepada selain Allah (kepada penghuni kubur) itu adalah termasuk kemusyrikan yang membuat pelakunya kafir, ini kesepakatan kaum muslimin.
Beliau juga menjelaskan bahwa menyeru ahli kubur, meminta kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah bukan termasuk masalah yang dipertentangan bahwa itu bukan termasuk dosa besar biasa yang pelakunya tidak dikafirkan, dan tidak ada pertentangan di antara kaum muslimin di dalamnya, akan tetapi memohon kepada penghuni kubur atau istighatsah kepada mereka itu termasuk kemusyrikan yang mengkafirkan, sebagaimana yang dihikayatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak diperselisihkan tentang pengkafiran dengannya.
Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh dalam kitab Taisir hal 117 mengatakan: “Para ulama mufasirin sepakat bahwa taat dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau taat dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan adalah bentuk ibadah kepada yang menghalalkan atau mengharamkan tersebut, dan itu merupakan syirik dalam ketaatan”
Mengikuti atau tunduk patuh kepada hukum selain hukum Allah itu termasuk syirik tha’ah yang Allah jelaskan dlam surat At Taubah: 31 yang telah lalu.          Dan beliau juga menukil ijma bahwa dalam sahnya tauhid ini harus ada kufur terhadap thaghut.
Dalam bab ini dijelaskan dalil dari  Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma yang menjelaskan bahwa syirik itu ada syirik yang sifatnya kuburan (menyeru, istighatsah, do’a, atau memohon kepada selain Allah), dan ada yang sifatnya merupakan syirik aturan, hukum, dan perundang-undangan, dan ini bentuknya adalah dengan mengikuti, tunduk dan setuju kepada hukum yang bukan berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan selain itu bentuk syirik juga ada yang murni peribadatan kepada selain Allah  dan yang kedua adalah bentuk ibadah kepada Allah namun di samping itu juga beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan relita orang musyrik yang mengaku Islam pada realita zaman sekarang, mereka terjatuh ke dalam kemusyrikan yang kedua. Mereka di samping ibadah kepada Allah juga beribadah kepada selain-Nya, dan itu adalah termasuk kemusyrikan dengan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan ijma dari para ulama.
III. Islam Dan Syirik
Adalah Dua Hal Yang Kontradiktif
- Tidak Bisa Bersatu-
Dliddan adalah dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama. Dan Naqidlan adalah dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Contoh dliddan : Seperti warna merah dengan warna putih… apabila ada tembok yang bercatkan putih lalu diberi dengan warna merah, maka putih akan hilang. Apabila dicampurkan maka warna putih tidak akan menjadi putih lagi dan warna merah tidak akan berwarna merah lagi, akan tetapi yang ada adalah warna selain warna merah dan putih, menjadi hitam umpamanya. Ini adalah dliddan.
Dan naqidlan adalah seperti siang dan malam, tidak ada siang dan malam berbarengan dalam satu waktu. Jika tidak disebut siang, maka berarti malam atau sebaliknya jika bukan malam berarti siang. Tidak bisa dalam satu waktu disebut siang juga disebut malam, akan tetapi harus ada salah satunya.
Bagitu juga Islam dan Syirik, seseorang tidak mungkin dikatakan muslim sekaligus musyrik juga, atau sebaliknya orang musyrik dikatakan juga muslim. Maksudnya, Islam dan syirik tidak bersatu dalam siri seseorang. Jika syirik ada maka Islamnya hilang, atau jika dia seorang muslim muwahhid maka syiriknya harus tidak ada. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan”. (Yunus : 3)
Jadi, tidak ada perantara di antara keduanya… dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menunjukan kepad dia jalan yang lurus; bisa jadi dia bersyukur dan bisa jadi dia kufur”. (Al Insan : 3)
Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir, baik itu bersyukur terhadap nikmat Allah, ataupun kufur terhadapnya. Orang muslim adalah orang yang bersyukur terhadap nikmat Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dia-lah yang menciptakan kalian, maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang mukmin”. (Ath Thagabun : 2)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Oleh sebab itu maka setiap orang yang tidak beribadah kepada Allah maka dia itu mesti  ibadah kepada selain Allah yang mana dia ibadah kepada selain-Nya, sehingga dia musyrik. Di tengah Bani Adam ini tidak ada macam yang ketiga, hanya ada muwahhid atau musyrik, atau yang mencampurkan ini dengan yang itu, seperti orang-orang yang merubah ajaran dari kalangan agama-agama yang ada, Nashara dan yang lainnya dari kalangan orang yang mengaku dirinya Islam” (Al Fatawa 14/282,284)
Bila seseorang, dia di samping mengaku Islam namun dia juga seorang demokrat misalnya, maka itu bertentangan, karena jika dia seorang demokrat berarti dia bukan muslim, atau jika dia seorang komunis tapi mengaku Islam maka dia itu bukan orang Islam. Tidak ada yang namanya seorang muslim yang demokrat atau muslim nasionalis atau muslim komunis !! karena itu seperti seorang muslim yang menganut  agama Budha atau Kristen atau agama lainnya.
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah di dalam Syarh Ashli Dienil Islam dan Syaikh Abdullathif di dalam Minhajut Ta-sis, keduanya menjelaskan: “Siapa yang melakukan syirik, maka dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya (tauhid dan syirik ini) adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu (pada satu waktu dalam satu objek) dan tidak bisa kedua-duanya hilang (dalam satu waktu dari objek itu)”.
Seseorang tidak bisa dikatakan dia itu muwahhid juga sekaligus musyrik… tapi yang ada adalah jika dia bukan musyrik maka dia seorang muslim muwahhid, dan sebaliknya jika dia bukan seorang muwahhid maka dia adalah orang musyrik. Tidak bisa kedua-duanya hilang dari orang tersebut dan tidak bisa kedua-duanya menyatu dalam diri orang tersebut pada waktu yang bersamaan.
Ini adalah hakikat tauhid dan hakikat syirik, di mana kedua-duanya adalah Dliddan, yaitu dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama. Dan Naqidlan, yaitu dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillaahirrabbil ’aalamiin…[1]

[1] Materi ini di sadur dari rangkaian kajian materi-materi tauhid milik Ustadz Abu Sulaiman di LP Sukamiskin Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar