Oleh: Syaikh Abdul Azis Ibnu Nashir Al Julayyil
Berdalih Atas Keabsahan undang-undang yang mengganti syari’at Allah dan atas penghalalan apa yang diharamkan Allah dengan atsar dari salaf ”kufrun duna kufrin”.
Ini Demi Allah adalah pentahrifan/pengkaburan dalil dari keadaan yang selayaknya, dan menempatkan hukum bukan pada tempatnya serta berdusta (mengada-ada) dan aniaya terhadap Habrul Ummah Turjumanul Qur’an (Ibnu Abbas) dan terhadap generasi terbaik umat ini. Mereka (salaf ini) tidak berbicara tentang masa kita ini dan mereka sama sekali tidak memaksudkan undang-undang pengganti syari’at Allah (sekarang ini). Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan dan hanya kepada-Nyalah tempat mengadu.
PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Rabul ‘alamin, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Sayyidul Mursalin Muhammad Ibnu Abdillah, keluarganya, dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap komitmen diatas ajarannya hingga hari kiamat.
Setelah mushannif menjelaskan tiga sebab pengkaburan hak dengan kebathilan yaitu fitnah syubhat, fitnah syahwat, serat fitnah syubhat yang bercampur syahwat sekaligus. Dan setelah beliau menjelaskan wasilah-wasilah yang digunakan dalam pengkaburan kebenaran dengan kebatilan, yaitu penta’wilan yang rusak dan mengikuti hal-hal yang samar (mutasyabih), penyembunyian ilmu dan menutupinya, serta mentahrif (memalingkan) dalil-dalil dari hal yang sebenarnya dan tidak menempatkan dalil itu pada posisi yang semestinya, setelah itu semua beliau (penulis Syaikh Abdul Azis Ibnu Nashir Al Julayyil) berkata:
FENOMENA PENGKABURAN YANG HAQ DENGAN KEBATIHILAN
Setelah menjelaskan sebab-sebab yang bisa menghantarkan pada pengkaburan kebenaran dengan kebathilan, yang di mana pada akhirnya menjerumuskan kepada kesesatan dan penyesatan setelah menjelaskan makna labs dan talbis yaitu memoles kebatilan dan syahwat dengan polesan syar’i dengan mentahrif dalil-dalil atau menyembunyikannya. Sekarang kami akan menyebutkan beberapa fenomena pengkaburan dan penyesatan itu dengan tujuan agar kita hati-hati supaya tidak jatuh kedalamnya, dan menghati-hatikan saudara-saudara kita kaum muslimin agar mereka tidak terjerat dan terpedaya dengannya. Saya tidak begitu mementingkan susunan materi-materinya, tapi susunannya sesuai apa yang ingin saya sampaikan. Saya meminta kepada Allah taufiq dan kelurusan dalam ucapan dan amalan. Di antara fenomena-fenomena adalah:
Berdalih Atas Keabsahan undang-undang yang mengganti syari’at Allah dan atas penghalalan apa yang diharamkan Allah dengan atsar dari salaf ”kufrun duna kufrin”.
Ini Demi Allah adalah pentahrifan/pengkaburan dalil dari keadaan yang selayaknya, dan menempatkan hukum bukan pada tempatnya serta berdusta (mengada-ada) dan aniaya terhadap Habrul Ummah Turjumanul Qur’an (Ibnu Abbas) dan terhadap generasi terbaik umat ini. Mereka (salaf ini) tidak berbicara tentang masa kita ini dan mereka sama sekali tidak memaksudkan undang-undang pengganti syari’at Allah (sekarang ini). Hanya kepada Allah-lah tempat meminta pertolongan dan hanya kepada-Nyalah tempat mengadu.
Di antara bantahan yang paling baik yang pernah saya lihat akan talbis ini adalah apa yang ditulis Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah ta’ala, saya akan nukilkan seluruhnya karena sangat penting sekali:
Syaikh Ahmad Syakir berkata dalam Umdatut Tafsir: “Dan atsar-atsar ini -dari Ibnu Abbas dan yang lainnya adalah di antara sekian atsar yang sering dipermainkan oleh mudlalliluun (orang-orang yang menyesatkan) pada zaman kita sekarang ini dari kalangan yang menisbatkan diri kepada ilmu dan dari kalangan yang lainnya yang sangat berani terhadap agama ini, mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai alasan atau pembolehan bagi qawaniin watsaniyyah maudluu’ah (undang-undang buatan yang syirik) yang telah merambah negeri-negeri Islam”.
Ada juga atsar dari Abu Mijlaz saat orang-orang Khawarij Ibadllyyah mendebatnya, tentang perlakuan dlalim yang dilakukan oleh sebagian para penguasa, mereka (para penguasa itu) dalam SEBAGIAN KEPUTUSANNYA menyalahi syari’’at karena mengikuti hawa nafsunya atau karena jahil akan hukum. Sedangkan dalam madzhab Khawarij bahwa pelaku dosa besar itu adalah kafir, maka mereka mendebat seraya menginginkan agar Abu Mijlaz itu merestui pendapat mereka akan kafirnya para penguasa tersebut, ini supaya menjadi alasan bagi mereka untuk memberontak para penguasa itu.
Dua atsar ini telah diriwayatkan oleh Ath Thabariy: 12025, 12026. Saudara saya As Sayyid Mahmud Muhammad Syakir telah memberikan atas kedua atsar itu ta’liq yang sangat berbobot sekali, kuat dan tegas. Dan saya merasa perlu untuk menyebutkan teks riwayat pertama Ath Thabariy ini berikut ta’liq saudara saya atas kedua riwayat itu.
Ath Thabary meriwayatkan (12025) dari Imran Ibnu Hudair, berkata: “Beberapa orang dari Bani Amr Ibnu Saduus mendatangi Abu Mijlaz, mereka berkata: Wahai Abu Mijlaz beritahu kami tentang firman Allah:
Apakah itu benar?
Abu Mijlaz berkata: Ya, benar.
Mereka berkata: Apakah itu benar?
Abu Mijlaz berkata Ya, benar.
Mereka berkata: Apakah itu benar?
Beliau berkata: Ya, benar”.
Berkata (perawi): “Mereka berkata Wahai Abu Mijlaz, apakah mereka (penguasa saat itu) memutuskan dengan apa yang Allah turunkan?”
Beliau berkata: “Dia (Islam) adalah agama yang mereka yakini, dan dengannya mereka memegang, dan kepada Islam-lah mereka itu mengajak, bila mereka meninggalkan sesuatu darinya mereka mengetahui bahwa mereka itu melakukan dosa”
Maka mereka berkata: Tidak, demi Allah, namun engkau merasa takut…!!!
Beliau berkata: Kalian lebih layak akan hal ini daripada saya…! Saya tidak melihatnya dan kalian melihat hal ini sedang kalian tidak merasa berdosa…! Namun ayat itu berkenaan dengan orang-orang Yahudi, Nashrani dan orang-orang musyrik, atau yang sejalan dengannya”
Kemudian Ath Thabari meriwayatkan (12026) hampir sama maknanya dengan yang tadi, dan kedua sanadnya adalah shahih.
Saudara saya As Sayyid Mahmud telah menulis hal yang berkenaan dengan dua atsar ini, dan ini teksnya:
“Ya, Allah saya berlepas diri kepada Engkau dari kesesatan. Waba’du, sesungguhnya para penebar keraguan dan fitnah dari kalangan yang berbicara dalam masalah ini pada masa sekarang ini telah mencarikan alasan (udzur) bagi para penguasa dalam meninggalkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, dan dalam memutuskan hukum yang berkenaan dengan darah, kehormatan dan harta dengan selain syari’at Allah yang telah Dia turunkan dalam kitab-Nya, serta (mencarikan alasan) dalam keberanian mereka mengambil undang-undang orang-orang kafir yang mereka terapkan di negeri-negeri Islam. Tatkala dia mendapatkan kedua atsar ini, langsung mereka jadikan sebagai pendapat (pegangan) yang dengannya dia menganggap benar memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan, dan darah dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dan bahwa menyalahi syari’at Allah dalam masalah qadlaa ‘aam (ketentuan/hukum umum atau tasyri ‘aam) tidak membuat kafir orang yang ridla dengannya dan yang melaksanakannya.
Orang yang mengamati dua khabar (atsar) ini pasti ingin mengetahui siapa orang yang bertanya dan siapa yang ditanya, Abu Mijlaz (Lahiq Ibnu Hurnald Asy Syaibaniy As Sadusiy) adalah tabi’in tsiqah, dan beliau itu sangat mencintai Ali sedangkan kaum Abu Miljaz yaitu Banu Syaiban dahulunya adalah pendukung Ali pada kasus perang Jamal dan Shiffin, dan tatkala terjadi tahkim pada perang Shiffin dan Khawarij memisahkan diri, maka termasuk yang menentang Ali adalah sekelompok orang dari Banu Syaiban dan dari Bani Saduus Ibnu Syaiban Ibnu Dzuhl.
Orang-orang yang bertanya kepada Abu Mijlaz adalah kelompok orang dari Bani Amr Ibnu Saduus (sebagaimana dalam AI Atsar 12025), dan mereka itu adalah golongan dari firqah Ibadliyyah (sebagaimana dalam atsar 12026), sedangkan lbadliyyah adalah bagian dari jama’ah Khawarij Haruriyyah pengikut Abdullah Ibnu lbadl At Tamimiy. Mereka itu sepaham dengan kelompok Khawarij lain dalam masalah tahkim, dalam pengkafiran Ali karena beliau melakukan tahkim kepada dua orang (sahabat), dan, bahwa Ali itu tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah dalam masalah tahkim.
Kemudian Abdullah Ibnu Ibadl ini berpendapat bahwa orang yang bersebrangan dengan Khawarij adalah kafir bukan musyrik, namun para pengikutnya tidak sependapat dengannya. Dan Khawarij menetapkan bahwa hukum-hukum (yang diberlakukan kepada) orang-orang musyrik berlaku pula bagi orang-orang yang bersebrangan dengan mereka.
Kemudian setelah sepeninggal Abdullah Ibnu Ibadl orang-orang Ibadliyyah ini pecah banyak (sekali), kami tidak mengetahui dari kelompok mana orang-orang yang ada dalam dua atsar ini, namun yang jelas bahwa orang-orang Ibadliyyah seluruhnya mengatakan: Sesungguhnya negeri orang-orang yang berseberangan dengan mereka adalah negeri Tauhid kecuali kelompok penguasa, sesungguhnya itu adalah darul kufur menurut mereka. Kemudian mereka mengatakan juga: Sesungguhnya semua yang Allah wajibkan atas makhluknya adalah iman dan sesungguhnya setiap dosa besar itu adalah kufur nikmat, bukan kufur syirik dan bahwa pelaku dosa besat itu adalah kekal di neraka selama-lamanya.
Jadi jelaslah bahwa orang-orang yang bertanya kepada Abu Mijlaz itu adalah orang-orang Ibadliyyah, mereka bertanya hanya karena ingin memaksakan hujjah mereka kepada beliau dalam masalah pengkafiran para pejabat pemerintah (saat itu), karena mereka berada dilingkungan penguasa (sutlhan), dikarenakan mereka itu mungkin saja maksiat dan melakukan apa yang telah diharamkan Allah. Dan oleh sebab itu beliau berkata kepada mereka dalam khabar yang pertama (no: 12025): Bila mereka meninggalkan sesuatu darinya mereka mengetahui bahwa mereka telah melakukan dosa dan berkata dalam khabar yang kedua: Sesungguhnya mereka itu mengamalkan apa yang mereka amalkan dan mereka mengetahui bahwa itu dosa.
Jadi, pertanyaan mereka itu bukan tentang apa yang dijadikan hujjah oleh para ahli bid’ah zaman kita ini, berupa memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan, dan darah dengan undang-undang yang bertentang dengan syariat Islam, dan bukan tentang menggulirkan undang-undang (peraturan-peraturan) yang mengharuskan umat Islam berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Nabi-Nya. Maka perbuatan ini adalah (bentuk) berpaling dari hukum Allah, enggan akan agamanya, dan lebih mengutamakan hukum-hukum orang-orang kafir daripada hukum-hukum Allah, ini merupakan kekafiran yang tidak diragukan oleh seorangpun, dari kalangan Ahli kiblat dengan berbagai macam golongannya akan pengkafiran orang yang menyatakannya dan orang yang mendakwahkannya.
Dan yang sedang kita hadapi sekarang adalah bentuk menjauhkan atau meninggalkan akan hukum-hukum Allah seluruhnya tanpa kecuali, mengutamakan hukum-hukum yang lain atas hukum-hukum-Nya yang terdapat dalam Kitab-Nya dan sunnah-sunnah Nabi-Nya, dan menelantarkan semua syari’at-syari’at Allah, bahkan masalahnya sudah melebihi itu semua sampai-sampai mereka itu lebih mengunggulkan hukum-hukum undang-undang buatan atas hukum-hukum yang diturunkan Allah, dan klaim orang yang berhujah akan hal itu bahwa hukum-hukum syari’at hanyalah turun untuk zaman yang bukan zaman kita ini, dan turun untuk alasan-alasan dan hikmah-hikmah tertentu yang telah tiada sehingga hukum-hukum itu pun otomatis gugur karena telah tiadanya hal itu. Apakah ini bisa dibandingkan dengan apa yang telah kami jelaskan dalam perbincangan Abu Mijlaz bersama segolongan orang-orang Ibadliyyah dari kaum Bani Amr Ibnu Suddus…???!!!
Seandainya masalah ini sesuai dengan apa yang mereka (para mubthilun) duga dalam khabar Abu Mijlaz bahwa mereka maksudkan penyimpangan penguasa pada hukum-hukum dari hukum syari’at maka sesungguhnya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam bahwa ada hakim yang membuat hukum dan menjadikannya sebagai ketentuan (undang-undang) yang harus dipatuhi dalam penentuan keputusan, ini satu. Dan yang lain lagi adalah bahwa si hakim yang memutuskan hukum dalam qodliyyah mu’ayyanah (kasus tertentu) dengan selain hukum Allah, maka sesungguhnyaa dia melakukan itu bisa karena ketidaktahuan, dan ini statusnya sama dengan orang yang jahil akan syari’at. Dan bisa juga dia memutuskan itu karena hawa nafsu dan maksiat, maka ini adalah dosa yang ditaubati dan mendapatkan ampunan karenanya. Bisa juga memutuskan hukum itu karena ta’wil yang menyalahi ulama lainnya, maka ini statusnya sama dengan status orang yang melakukan ta’wil yang menyadarkan ta’wilnya dari pengakuan dia akan nash Al Kitab dan Sunnah Rasullah.
Adapun pada zaman Abu Mijlaz atau sebelumnya atau sesudahnya ada hakim yang memutuskan hukum dalam sesuatu hal seraya mengingkari hukum dari hukum-hukum syari’at atau lebih mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum-hukum Islam, maka ini tidak pernah terjadi, sehingga tidak mungkin memalingkan perkataan Abu Mijlaz dan orang-orang Ibadliyyah kepadanya. Maka barangsiapa berhujjaah dengan dua atsar ini dan yang lainnya dalam bukan tempatnya, dan memalingkannya kepada selain maknanya dalam rangka membela penguasa atau sebagai hillaah (cari-cari alasan) untuk memperbolehkan memutuskan hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah dalam memaksanya kepada hamba-hambaNya, maka status dia dalam syari’at ini adalah sebagai orang yang mengikangkari hukum dari hukum-hukum Allah: Disuruh bertaubat, bila dia bersikeras, keras kepala dan mengingkari hukum Allah, serta rela dengan penggantian hukum-hukum itu, maka dia itu berstatus sebagai orang kafir yang bersikeras diatas kekufurannya (yang dimana) hukumannya sudah ma’ruf di kalangan para ulama agama ini”. Ini ditulis oleh Mahmud Muhammad Syakir.
Setelah penukilan ini yang tidak memerlukan tambahan lagi, apakah masih boleh orang mengatakan: “Sesungguhnya Ibnu Abbas atau Abu Mijlaz dengan perkataan mereka berdua, dimaksudkan kepada orang-orang pada masa kita ini yang mengganti syari’at Allah dan berpaling dari memutuskan dengannya dan dari berhukum kepadanya dengan alasan tidak selaras dengan zaman mereka ini -begitu mereka mengklaim-?!”
Ya Allah sesungguhnya kami berlepas diri dari pengkaburan ini, dan kami membebaskan sahabat-sahabat Rasulullah, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan dari talbis dan mughalathah ini, dan sesungguhnya tidak seorangpun yang menempatkan perkataan Ibnu Abbas atau perkataan Abu Mijlaz terhadap orang-orang yang membabat syari’at Allah pada masa sekarang ini kecuali orang yang bodoh akan kenyataan, sehingga dia tidak mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya, atau orang munafiq yang sengaja menyesatkan yang di mana dia itu tahu akan kenyataan disekelilingnya dan (tahu bahwa kenyataan itu) tidak sama dengan kenyataan yang dibicarakan oleh salaf radliyallahu‘anhum, namun dia sengaja mengkaburkan masalah dan mencampurkan yang haq dengan kebathilan dalam rangka mengikuti hawa nafsu atau karena dunia yang dia harapkan.
Diambil dari Kitab Waqafat Tarbawiyyah Fi Dlauil Qur’anil Karim
Penterjemah: Al Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar