Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin, Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.
Pada pagi ini kita akan bersama-sama mengkaji tauhid dan materi sekarang yang pertama berkenaan dengan muqaddimah yang sangat penting, yang mana dari muqadimah ini kita akan mengetahui betapa besar kedudukan tauhid dibandingkan dengan amal-amal yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan dalam surat Adz Dzariyat: 56
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi kepadaKu”Jadi tujuan kita diciptakan hidup didunia oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah dalam rangka mengabdi kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala bukan mengabdi kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kita sebagai hamba Allah, kita adalah abdi bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan kita hanya menghambakan diri dan mengabdikan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Saya ulangi… tujuan kita didunia ini bukan apa-apa tapi untuk mengabdi “liya’ buduun” kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Adapun bumi dan isinya beserta pernik-perniknya semua Allah ciptakan buat kita, Allah ta’ala berfirman:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah [2]: 29)
Jadi, bumi dan segala isinya baik yang ada diperut bumi ini dan di atas bumi ini semuanya Allah ciptakan buat kita, sedangkan kita diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengabdi kepada-Nya…. makanya sangat keliru sekali bila orang sibuk mengorbankan agama, mengorbankan pengabdiannya kepada Allah dalam rangka mencapai kehidupan dunia yang sesaat yang padahal itu adalah bekal dalam hidup mengabdi mencapai ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Banyak sekali manusia mengorbankan tauhidnya, mengorbankan diennya untuk mendapatkan materi, mendapatkan uang, makanan, harta benda dari dunia ini padahal Allah ta’ala sangat menghati-hatikannya:
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”. (QS. Fathir [35]: 5)
Jadi, kalau orang lupa kepada tujuan hidup yaitu pengabdian kepada Allah dan ia malahan menjadi hamba atau abdi bagi selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala berarti dia telah terpedaya dengan kehidupan dunia, dia terpedaya oleh syaitan dan dia lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya.
Saya ulangi, kita diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, untuk beribadah kepada Allah, akan tetapi dikarenakan kita ~manusia~ ini terbatas kemampuan akalnya, Allah menciptakan manusia ini sebagai makhluq yang bodoh lagi zalim. Manusia tidak bisa mengabdi secara sebenarnya kepada Allah dengan sendirinya tanpa ada bimbingan, maka dari itu Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan Rasul-rasul-Nya sebagai pembimbingnya. Allah juga mengetahui bahwa Rasul-rasul itu tidak akan hidup selamanya ditengah umatnya… pasti meninggal dunia. Maka Allah menurunkan Kitab-Nya sebagai pedoman yang harus dipegang oleh orang-orang yang mengikuti para Rasul tersebut.
Jadi Rasul adalah pembimbing, Kitab adalah pedoman hidup tersebut, kita ingin mencapai kepada Allah harus mengikuti apa yang dituntunkan oleh Rasul dan mengikuti pedoman yang telah Allah turunkan, yang mana pedoman ini adalah tali Allah yang Dia ulurkan ke dunia, barangsiapa memegang tali Allah ini (tali Allah adalah pedoman, Al Kitab, Al-Qur’an) maka akan sampai pada ridha Allah, tapi kalau memegang kitab-kitab yang lainnya yang tidak ada dasar dari Allah, sedangkan kitab selain yang Allah turunkan adalah kitab yang diulurkan oleh syaitan dari neraka. Ketika yang dijadikan acuan hidup atau pedoman atau bimbingan selain Kitabullah atau selain ajaran Rasul, maka kitab tersebut akan menghantarkan ke dasar api neraka. Berbeda jika orang memegang Al-Qur’an ~tali yang diturunkan ke dunia~ maka akan sampai kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi disini, Rasul diutus sebagai pembimbing.
Dan sekarang apa inti dakwah para Rasul? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An Nahl [16]: 36)
Ayat ini secara tegas dan jelas menjelaskan bahwa samua Rasul diutus oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan yang pertama kali mereka ucapkan pada kaumnya dan ini diucapkan oleh para Rasul terhadap umatnya termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam adalah “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku”.(QS. Al-Anbiyaa [21]:25)
Jadi semua Rasul, Allah wahyukan kepada mereka yang pertama adalah “Laa ilaaha illallaah” dan Laa ilaaha illallaah ini yang disampai oleh para Rasul dalam ayat An-Nahl di atas tadi (“Ibadahlah kalian kepada Allah dan Jauhilah thaghut”) Jika kedua ayat tersebut digabungkan maka maknanya adalah: Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. Laa ilaaha maknanya: Jauhilah thaghut dan illallaah maknanya ibadah kalian kepada Allah.
Ajaran Tauhid (Laa ilaaha illallaah ) ini adalah disepakati oleh semua Rasul, dari rasul pertama sampai rasul terakhir, dalam masalah tauhid adalah sama, perintah untuk hanya beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.
Apa thaghut itu…? Sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut. Apakah kita tahu apa thaghut itu? Bagaimana kita menjauhi thaghut?. Karena keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa orang menjauhi thaghut, karena Laa ilaaha illallaah itu mempunyai dua rukun: yang pertama: Laa ilaha yang berarti jauhi thaghut, sedangkan yang kedua illallaah (kecuali Allah) maksudnya ibadahlah kalian hanya kepada Allah. Salah satunya tidak bisa berdiri tanpa yang lainnya.
Orang yang menjauhi thaghut tapi tidak iman kepada Allah maka tidak manfaat, begitu juga orang yang iman kepada Allah tapi tidak menjauhi thaghut maka keimanan kepada Allah tersebut tidak akan bermanfaat, akan tetapi harus digabungkan: “Ibadah kepada Allah dan menjauhi thaghut”.
Jadi semua dakwah para Rasul adalah sama dalam masalah Laa ilaaha illallaah yaitu ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut. Allah ta’ala berfirman:
“Barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya dia berpegang (teguh) pada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus” (QS. Al-baqarah [2]:256)
Buhul tali yang sangat kokoh ini adalah Laa ilaha illallaah, tadi telah saya utarakan: Itulah tali yang Allah ulurkan ke dunia ini, barangsiapa yang kafir terhadap thaghut atau bahasa lain dalam surat An-Nahl: 36 “menjauhi thaghut dan beriman kepada Allah (beribadahlah kepada Allah)” maka orang tersebut telah memegang buhul tali yang amat kokoh yaitu Laa ilaha illallaah yang dijelaskan dalam Surat Al-Anbiya’: 25. Jadi maknanya: Siapa yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka orang tersebut telah memegang Laa ilaha illallaah, artinya: Kalau orang tidak kafir terhadap thaghut walaupun ia beriman kepada Allah, maka dia itu belum memegang Laa ilaha illallaah walaupun ia mengucapkannya dan walaupun ia mengakuinya.
Jadi orang yang kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah disebut orang yang telah memegang “Al-‘Urwah Al Wutsqa”, Al-Urwah adalah ikatan dan Al-Wutsqa adalah yang amat kokoh dan ikatan yang amat kokoh ini adalah tauhid (Laa ilaha illallaah) karena ikatan tersebut tidak akan putus.
Disini Allah mensyaratkan bagi orang agar dikatakan memegang Laa ilaha illallaah adalah dengan dua hal: Iman kepada Allah dan kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah. Sedangkan kita mengetahui bahwa rukun Islam yang paling pertama adalah Laa ilaha illallaah. Dalam hadits Bukhariy dan Muslim yang diriwayatkan Ibnu Umar radliyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mengatakan: “Islam dibangun atas lima hal, yang pertama adalah syahadatain Laa ilaha illallaah wa ana Muhammad Rasulullah. . .” Dan kita juga mengetahui bahwa orang dikatakan telah masuk Islam apabila komitmen dengan Laa ilaha illallaah.
Kunci masuk Islam adalah Laa ilaha illallaah sebagaimana kunci masuk surga adalah Laa ilaha illallaah. Maksudnya di sini bukan sekedar mengucapkan, akan tetapi komitmen dengan makna kandungannya yaitu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan iman atau ibadah kepada Allah artinya: Apabila orang tidak merealisasikan Laa ilaha illallaah maka orang tersebut belum memiliki kunci keIslaman yaitu pengamalan akan Laa ilaha illallaah.
Oleh karena itu para Ulama seperti: Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam kitab beliau Taisir Al ’Aziz Al Hamid: “Sekedar mengucapkan Laa ilaha illallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan segala bentuk syirik akbar dan kafir terhadap thaghut maka pengucapan Laa ilaha illallaah tersebut tidak bermanfaat berdasarkan ijma para Ulama”.
Jadi hal itu tidak bermanfaat walaupun mengucapkannya beratus-ratus kali atau beribu-ribu kali dalam setiap hari, apabila tidak memahami maknanya dan tanpa komitmen dengan kandungannya maka itu tidaklah bermanfaat berdasarkan ijma’ para ulama.
Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sebelumnya telah menjelaskan dalam hadits Muslim yang disebutkan dalam shahihnya yaitu Dari Abu Malik Al-Asyja’i, Beliau mengatakan: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illallaah dan ia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah ~maksudnya kafir terhadap Thaghut~ maka haram darah dan hartanya”. Di sini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan keharaman darah dan harta, maksudnya orang dikatakan berstatus muslim yang haram harta dan darahnya jika ia mengucapkan Laa ilaha illallaah dan kafir terhadap thaghut. Jadi sekedar mengucapkannya adalah tidak manfaat dan orangnya belum masuk ke dalam Al-Islam bila tidak kafir kepada thaghut.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain: “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini maka ia bukan Muslim”. Karena ia belum memegang Laa ilaha illallaah.
Jadi Laa ilaha illallaah itu memiliki makna dan memiliki kandungan serta memiliki konsekuensi yang di antaranya kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut.
Jadi, apa itu thaghut? Apa sajakah thaghut itu? Allah memerintahkan kita untuk menjauhi thaghut. Tidak mungkin Allah tidak memberikan penjelasan tentang thaghut… itu mustahil, shalat saja yang Allah fardhukan 10 tahun setelah kerasulan dijelaskan dalam sunnahnya secara terperinci oleh Rasul-Nya, apalagi thaghut yang mana Allah perintahkan semenjak awal Rasul diutus untuk mengatakan: “jauhi thaghut…!” tentulah Allah menjelaskan secara terperinci dalam Al-Qur’an dan Allah pasti menjabarkan bagaimana tata cara kafir terhadap thaghut? Kita tanya diri kita, apakah saya sudah tahu apa itu thaghut? atau apakah justru saya mendekati thaghut? atau malah saya iman kepada thaghut? atau malah saya loyal kepada thaghut? Semua jawaban ada pada diri kita sendiri, maka dari itu hal ini mengharuskan kita untuk mengetahuinya.
Apabila kita paham bahwa keIslaman seseorang atau orang tidak dikatakan muslim, tidak dikatakan mukmin kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah, maka selanjutnya… sebelum kita mengupas lebih banyak apa maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat bahwa segala amal ibadah; baik itu shalat, zakat, shaum, haji, i’tikaf, shalat tarawih dan yang lainnya tidak akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau orangnya belum muslim, belum mukmin. Maksudnya di sini adalah muslim… mukmin yang sebenarnya ~bukan pengakuan saja~, yaitu muslim yang merealisasikan Laa ilaha illallaah karena para ulama menjelaskan dari uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: “Para ulama sepakat, bahwa orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah maka dia itu orang musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku muslim dan mengucapkan Laa ilaha illallaah” [Lihat Ibthal At Tandid]. Dan di sini Allah hanya akan menerima amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut merealisasikan Laa ilaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah) karena orang tidak dikatakan muslim dan tidak dikatakan mukmin kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa ilaha illallaah.
Mari kita ambil beberapa ayat yang menerangkan bahwa amal shalih tidak akan Allah balas kalau orangnya (pelakunya) tidak kafir terhadap thaghut.
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukimin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun” (QS. An-Nisa [4]: 124)
Ayat “sedang dia itu mukmin”, sedangkan orang tidak dikatakan mukmin kecuali orang tersebut kafir terhadap thaghut, karena ~seperti yang sudah dijelaskan~ pintu masuk Islam adalah Laa ilaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan surga dan tidak sekitpun mengurangi amal shalih yang dilakukan seseorang baik itu laki-laki ataupun perempuan dengan syarat dia mukmin, sedangkan orang yang melakukan shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya namun dia ternyata tawalliy kepada thaghut atau masih melakukan kemusyirikan atau yang lainnya yang melanggar Laa ilaha illallaah, maka balasan tadi tidak akan diberikan karena Allah mengatakan “sedang dia itu mukmin” sebagai syaratnya.
2. Allah ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(QS. An-Nahl [16]: 97)
Amal shalih yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan ada balasannya dari Allah, akan tetapi ada syaratnya yaitu: “sedang dia itu mukmin”. Orang mukmin yaitu yang merealisasikan keimanan yang intinya ada dalam makna kandungan Laa ilaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah)
Dua ayat di atas sama… semuanya tentang amal shalih, ada balasan diujungnya, sedang ditengahnya ada syarat: “sedang dia itu mukmin”.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin maka dia tidak khawatir akan perlakuan zalim terhadapnya dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya”. (QS. Thaha [20]: 112)
Orang yang melakukan amal shalih tidak akan didhalimi oleh Allah, dan tidak akan dikurangi pahalanya tapi syaratnya: “sedang dia itu mukmin” orangnya mukmin, orangnya (pelakunya) itu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebaliknya jika orang melakukan amal shalih tapi tidak menjauhi thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin maka usahanya tidak akan diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat untuknya” (QS. Al-Anbiyaa [21]: 94)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan tidak akan diingkari-Nya dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”. Berarti kalau orang melakukan amal shalih akan tetapi belum merealisasikan ”kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah” (Laa ilaha illallaah) maka tidak akan dicatat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
5. Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rizqi di dalamnya tanpa batas.(QS. An Nisa[4]: 124)
Ada balasan surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang dilakukan oleh setiap individu insan degan syarat: “Sedang ia itu mukmin”
6. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia itu mukmin, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (QS. Al Isra [17]: 19)
Amal shalih yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh Allh Subhanahu Wa Ta’ala dengan syarat: “sedang dia itu mukmin” orang mukmin
7. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman
“Barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi” (QS. Thaha [20]: 75)
Allah janjukan surga atas amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syaray dia itu mukmin. Dia iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut.
Semua ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa sekedar orang asal shalat, zakat, haji dan yang lainnya belum tentu dia itu muslim kalau dia belum merealisasikan Laa ilaha illallaah.
Dan yang harus diperhatikan adalah bahwa ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan paling nikmat bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaha illallaah.
Ketika Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mendakwahkan Laa ilaha illallaah, sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa ilaha illallaah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang Sihir lagi Pendusta” (QS. Shaad: 4) “Penyair Gila” (QS. Ash Shafaat: 36) dan dalam ayat yang lain dikatakan “sesat”. Dan perubahan ini semua karena Laa ilaha illallaah.
Tidak mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaha illallaah langsung dikatakan: gila, pendusta, penyair gila … melainkan ketika mengamalkan konsekuensi daripada Laa ilaha illallaah. Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan shahabat lain karena diintimidasi maka mereka diizinkan hijrah ke Habasyah (Ethophia), meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang pasir yang luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua Afrika, karena apa? … Karena mempertahankan Laa ilaha illallaah.
Andaikata Laa ilaha illallaah itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin terjadi apa yang menimpa mereka.
Sekarang misalnya kita mengucapkan Laa ilaha illallaah di hadapan thaghut maka kita tidak akan diapa-apakan. Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan daripada Laa ilaha illallaah maka akan terjadi apa yang terjadi berupa: orang-orang menggunjing, orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut mengejar dan memenjarakannya itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.
Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika mendakwahkan Laa ilaha illallaah memakan waktu yang sangat lama, karena beratnya sehingga kaumnya menolak: “Dan sungguh kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun” (QS.Al-Ankabut: 14) Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam waktu sekian lama hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang -sebagaimana yang dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya kandungan Laa ilaha illallaah.
Shalat tidak dilarang dimanapun, baik orang kafir ashliy atau orang kafir murtad atau thaghut tidak melarang shalat bahkan dianjurkan, shaum bagi mereka menambah penghematan, haji bagi mereka menambah devisa negara, akan tetapi… ketika mengamalkan kandungan Laa ilaha illallaah maka yang ada adalah: penyiksaan, intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya. Itu semua adalah ketika Laa ilaha illallaah dipegang.
Kita sering mendengar bahwa nikmat yang paling agung adalah nikmat iman dan islam, hal itu adalah Laa ilaha illallaah bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui maknanya. Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaha illallaah dan tidak mengamalkannya maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini apabila orang memahaminya, mengamalkannya walaupun harus meninggalkan harta dunia atau materi atau apa saja harta dunia yang ia miliki, apabila dia sudah merasakan akan nikmat Laa ilaha illallaah maka ia akan berani meninggalkan semua demi meraih ridha Allah… meraih surga dan selamat dari api neraka.
Sebaliknya, orang yang melakukan amal shalih sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa ilaha illallaah, masih berlumuran dengan kemusyirikan, kekafiran, kethaghutan dan yang lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana apa yang Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal shalih sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaha illallaah yaitu:
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Dan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Jadi tidak ada artinya, hilang: shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya lenyap karena kemusyrikan, karena amal shalih hanya akan diterima dengan syarat “sedang dia itu mukmin” , komitmen dengan Laa ilaha illallaah, orangnya muwahhid (bertauhid).
2. Dan firman-Nya yang menggambarkan tentang realita umat yang merasa telah melakukan amal baik berupa amal-amal shalih padahal sebenarnya dirinya itu masih musyrik dan masih kafir tanpa ia menyadari, namun ia merasa bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang muslim padahal ia masih berbau kemusyrikan… Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya” (QS. An-Nur [24]:39)
Ayat “dan orang-orang kafir” adalah siapa saja yang belum merealisasikan Laa ilaha illallaah, baik itu mengaku muslim atau nonmuslim, mau shalat, mau zakat ataupun haji akan tetapi belum merealisasikan Laa ilaha illallaah maka pada hakikatnya dia masih kafir.
Allah perumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaha illallaah seperti fatamorgana, maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya sudah muslim (ia melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada sesama, lalu ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap memetiknya hingga dia mengira akan masuk surga dan ketika didatangi (maksudnya: mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah menumpuk… ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa??? Karena Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat kecewa sekali, padahal dahulu ketika di dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni surga dan aman dari api neraka, ternyata yang ada adalah nestapa yang dia dapatkan dalam realita yang seperti itu…Bagaimana sekiranya kalau hal itu menimpa diri kita? Ini adalah gambaran dalam ayat tersebut.
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Perumpamaan orang yang kafir kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti debu yang ditiup oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa (mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (didunia)” (QS. Ibrahim [18]: 18)
Jika menyimpan debu di depan rumah kita, lalu tiba-tiba debu tersebut ditiup badai… maka apa yang terjadi? Maka kita akan lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga amal shalih, ia seperti tumpukan debu, sedangkan noda-noda kekafiran, kemusyrikan, kethaghutan adalah badai yang meniup dan menghempaskan amal shalih yang menumpuk, maka amal shalih itu hilang diterpa badai kemusyrikan tersebut.
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu: Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Allah ta’ala mengingatkan Rasulullah Shalallahu’alaihi wa Sallam, sedangkan kedudukan beliau adalah Rasul. Beliau adalah orang muslim, muwahhid, bertauhid dan mukmin. Akan tetapi jika Rasulullah melakukan kemusyrikan, beliau diberikan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan kita..???
Rugi, karena sudah capek beramal, banyak mengeluarkan biaya apalagi kalau pergi Haji makan biayanya besar, akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa … bukankah ini suatu kerugian…!?
3. Bahkan bukan hanya Rasulullah Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam saja, akan tetapi semua rasul diperingatkan dengan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kitabNya:
“Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Andai kamu hai orang-orang muslim… hai siapa saja, bila melakukan kemusyrikan maka lenyaplah amal kamu seperti tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga ketika mengaku sebagai seorang muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan shalat, zakat, haji, jihad, bakti kepada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, memberi kepada sesama dan yang lainnya, tetapi realita sebenarnya dia itu belum merealisasikan Laa ilaha illallaah dan belum kufur terhadap thaghut lalu merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati bisa memetik hasil amal shalih yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata ketika dia datang ke akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang Allah gambarkan dalam firman-Nya:
“Apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al-kahfi [18]: 103-104)
Mereka mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia itu calon penghuni surga, mengira bahwa amalannya diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mengira dirinya aman dari api neraka. Tapi ternyata… tidak seperti yang dia perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya akan tetapi malah siksa api neraka, karena apa? Karena belum merealisasikan inti dari pada ajaran Islam ~Laa ilaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur terhadap thaghut)~ sehingga nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa yang Allah gambarkan dalam firmanNya ta’ala:
“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka memasuki api yang sangat panas“ (QS. Al Ghasyiah [88]: 2-4)
Bukan surga yang didapat, akan tetapi dia masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah ruginya, alangkah sedihnya ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi kesempatan untuk kembali lagi ke dunia. Mungkin, ketika orang melakukan kegagalan didunia ini, dia bisa mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena masih ada kesempatan tapi di akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.
Orang yang dahulunya menentang Allah dan mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti yang Allah gambarkan dalam firmanNya:
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara mereka terputus sama sekali”. (QS. Al-Baqarah [2]:166)
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]:167)
Jadi, Tauhid (Laa ilaha illallaah) adalah inti kehidupan kita, inti daripada dien kita. Realisasikan tauhid ini, jauhi thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala menutup akhir hayat kita sedang kita belum berlepas diri daripada kethaghutan, karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat. Allah menciptakan kita didunia untuk mengabdi kepada Allah… untuk menjauhi thaghut.
Apa thaghut itu? Apa kita sudah tahu apa thaghut, yang mana Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhinya? Dimana keimanan kepada Allah tidak akan bermanfaat tanpa kafir kepada thaghut dan bagaimana cara kita menjauhi thaghut? Dan apa saja yang membatalkan Laa ilaha illallaah? Apa saja yang menggugurkan Laa ilaha illallaah? Jika kita mengetahui apa yang membatalkan wudhu padahal seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui apa yang membatalkan Laa ilaha illallaah… yakni yang membatalkan tauhid kita.
Semua ini memahamkan kita ketika mendengar ayat-ayat yang tadi saya sampaikan tentang begitu pentingnya Laa ilaha illallaah dan begitu besarnya kandungan daripada Laa ilaha illallaah ini sehingga amalan tidak bisa diterima tanpa adanya pengamalan terhadap Laa ilaha illallaah. Ini semua mendorong kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang dikandung oleh Laa ilaha illallaah dan bagaimana hukumnya loyalitas terhadap thaghut. Semua ini harus diketahui.
Dan Insya Allah kita lanjutkan pada materi berikutnya dipertemuan yang akan datang.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarganya dan para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat…
Alhamdulillahirrabbil’alamiin.
Sijn Bandung, Ahad 23 Ramadhan 1427
Disadur dari Materi Kajian Tauhid Ust. Abu Sulaiman di LP Sukamiskin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar