(Al Isyraqah Fi Su-aalaat Sawaqah)
Oleh: Abu Muhammad ‘AshimAl Maqdisiy
Alih Bahasa: Abu Sulaiman
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, wa ba’du:
Ini adalah pertanyaan-pertanyaan beraneka ragam yang ditujukan kepada saya di penjara Sawaqah dari sebagian ikhwan narapidana yang baru mengenal dan komitmen dengan dakwah ini, maka saya menjawabnya dengan apa yang Allah ta’ala mudahkan bagi saya dengan jawaban yang saya pandang sejalan dengan al haq dan dalil, sehingga jawaban yang haq maka ia berasal dari Allah, dan yang tidak seperti itu maka ia berasal dari saya serta saya memohon ampunan kepada Allah dari kekeliruan. Dan insya Allah saya sangat amat mudah dan ringan dari rujuk dari kekeliruan itu bila saya diingatkan kemudian nampak di hadapan saya al haq dan dalil.
Dan jawaban ini merangkum pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
- Apakah wajib atas orang-orang awam mengetahui makna “laa ilaaha illallaah” dengan rincian-rinciannya, syarat-syaratnya, konsekuensi-konsekuensinya serta hal-hal serupa itu, dan kalau tidak mengetahuinya maka mereka itu kafir?
- Hukum ikut serta dan pemilu parlemen?
- Pertanyaan perihal hukum wajib militer?
- Pertanyaan sekitar ‘illah (alasan hukum) pengkafiran aparat keamanan (polisi atau tentara) thaghut?
- Pertanyaan seputar hukum berjabat tangan dengan aparat keamanan thaghut atau mengucapkan salam kepada mereka, dan apakah wajib atas setiap orang menampakkan permusuhan terhadap orang-orang kafir?
- Pertanyaan seputar pemberian jera dengan hajr (pemboikotan sikap)?
Saya memohon kepada Allah ta’ala agar memberikan manfaat dengan hal itu dan menjadikannya tulus karena wajah-Nya yang mulia. Dan segala puji hanya bagi Allah di awal dan di akhir.
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Penjara Sawaqah
Pertanyaan Pertama
Apakah orang-orang awam seperti orang pedalaman, kakek tua dan lanjut usia wajib mengetahui makna “laa ilaaha illallaah” dengan rincian-rinciannya yang anda kaji berikut pembatal-pembatalnya, syarat-syaratnya serta konsekuensi-konsekuensinya, sehingga bila dia tidak mengatahui hal itu dengan seperti ini maka dia kafir??
Jawaban:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah… wa ba’du…
Kami tidak mengharuskan seorangpun dari manusia baik itu orang pedalaman, kakek tua, wanita lanjut usia maupun yang lainnya untuk mengetahui pembatal-pembatal “laa ilaaha illallaah”, syarat-syaratnya, dan konsekuensi-konsekuensinya, ataupun (untuk) mengetahui maknanya dengan gambaran yang terperinci yang kami jabarkan dan kami jelaskan serta yang dijabarkan para ulama dalam kitab-kitab mereka, dan kami tidak menjadikan hal itu sebagai syarat untuk keIslaman, yang barangsiapa tidak memenuhinya maka dia kafir.
Namun yang wajib atas mereka dari hal itu hanyalah merealisasikan tauhid dan menjauhi syirik dan tandid, yang mana ini adalah syarat sah keIslaman. Allah ta’ala berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus” Al Baqarah: 256.
Sedangkan kufur (ingkar) kepada thaghut itu memiliki banyak tingkatan:
- Yang paling tinggi dan yang paling agung: adalah puncak menara Islam, yaitu jihad untuk menghancurkan thaghut dan merubahnya dalam rangka mengeluarkan manusia dari peribadatan terhadapnya kepada peribadatan kepada Allah saja. Dan tingkatan ini adalah jalan para mujahidin dari para pengusung kelompok yang nampak yang menegakkan perintah Allah, mereka tidak terusik oleh orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula oleh orang yang menggembosi mereka sampai datang ketentuan Allah. Ini adalah jalan orang-orang khusus dan kami mengharuskan setiap orang dengan hal itu, namun orang-orang yang meniti jalan ini adalah orang-orang pilihan, semoga Allah menjadikan kita bagian dari mereka.
- Adapun tingkatan paling minimal: atau dengan makna lain, batasan paling minimal yang mana seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengannya maka ia adalah apa yang Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul, (mereka berkata kepada kaumnya): “Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” An Nahl: 36.
Sedangkan menjauhi thaghut itu adalah dengan cara menjauhi beribadah kepadanya dengan seluruh macam ibadah-ibadah itu, serta menjauhi tawalliy kepadanya dan tawalliy kepada para penganutnya. Sehingga dengan hal itu seseorang selamat dari syirik akbar dan ia menjadi orang yang bertauhid yang jauh dari syirik. Bila seseorang menjauhi syirik, dan menjauhi pembelaan kepadanya dan pembelaan para pelakunya, serta dia beribadah kepada Allah saja, maka dia telah mendatangkan tauhid yang mana seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengannya, dan kami tidak mensyaratkan terhadapnya agar dia menjadi muslim, dia itu menjihadi para thaghut dan bala tentara mereka untuk menghancurkan syirik dan membela tauhid dan para penganutnya. Allah tidak membebani jiwa kecuali apa yang dia mampu, sebagaimana kami tidak mensyaratkan terhadapnya juga, terutama bila dia itu orang awam atau kakek tua atau wanita lanjut usia (bahwa dia itu harus) memahami rincian-rincian tauhid seperti yang dijabarkan para ulama dalam kitab-kitab mereka dan tidak pula harus mengetahui pembatal-pembatalnya atau menghapalnya dan menyebutkannya dari luar kepala, akan tetapi yang penting yang kami syaratkan adalah dia merealisasikan tauhid itu dan tidak terjerumus kedalam satupun dari pembatal-pembatal keIslaman itu. Jadi barang siapa di antara manusia itu memiliki ashlul Islam dan tauhid seraya menjauhi kemusyrikan lagi menegakkan rukun-rukun Islam maka orang ini adalah muslim bagi kami selagi dia tidak melakukan salah satu pembatal keIslaman, sedangkan mayoritas kaum lanjut usia pada hari ini adalah di atas keadaan ini, dan andai kata saja banyak manusia itu di atas agama mereka (tentulah itu lebih baik), karena sesungguhnya keadaan ini lebih baik daripada keadaan banyak manusia hari ini yang mengaku berilmu, juru dakwah dan berpengetahuan. Dan dahulu ada ungkapan yang dikatakan berkenaan dengan suatu yang serupa dengan hal ini: (barangsiapa mati di atas agama, para wanita lanjut usia maka dialah yang bahagia), dan ungkapan ini dilontarkan perihal orang yang tenggelam jauh dalam filsafat, ilmu kalam dan takwil sifat Allah “Azza wa jalla”. Andai kata orang-orang semacam mereka itu diam dan beriman kepada apa yang ada dalam Al Kitab dan As Sunnah secara global tanpa jauh tenggelam atau memerankan akal dan takwil mereka yang rusak, tentulah mereka akan tetap di atas fitrah dan di atas jalan para wanita lanjut usia, dan itu lebih selamat daripada menggunakan pikiran dan akal dalam masalah-masalah yang mana keduanya tidak boleh dimasukkan di dalamnya.
Dan begitu juga atau dekat darinya masalah tauhid dan syirik, sesungguhnya ia adalah agama para wanita lanjut usia yang berisi iman yang global terhadap “laa ilaaha illallaah” dan itu dengan cara ibadah kepada Allah saja serta tidak melakukan satupun dari pembatal-pembatal keIslaman dan tauhid, seperti nushrah dan tawalliy kepada musuh-musuh Allah atau sabb (penghinaan) kepa Allah dan Rasul-Nya atau perolok-olokan terhadap ajaran Allah dan pembatal-pembatal keIslaman lainnya. Karena sesungguhnya hal itu meskipun pemegangnya tergolong kalangan awam adalah lebih selamat dari ajaran banyak orang-orang yang merasa paham yang mengedepankan istihsan-istihsan dan istishlah-istishlah mereka terhadap tauhid.
Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menerima dari orang-orang awam seperti orang arab badui dan yang lainnya keimanan yang global ini yang berisi keberlepasan dari syirik dan pengesaan Allah dengan seluruh ibadah, dan tidak pernah ada dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau meminta rincian dari mereka perihal penghapalan pembatal-pembatal keIslaman itu, atau pengetahuan akan rincian-rincian hal itu sebagaimana yang diketahui oleh kalangan khusus dari sahabatnya atau sebagaimana yang dihapal secara berurutan lagi terperinci oleh pencari ilmu hari ini. Dan sebagai hujjah dalam bab ini adalah hadits seorang laki-laki dari Nejed yang berkata setelah mengetahui rukun-rukun dan bangunan-bangunan Islam: (“Demi Allah saya tidak akan melebihi atas hal itu dan tidak pula mengurangi”) maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (“Dia pasti beruntung bila dia jujur”), dan begitu juga hadits budak wanita Mu’awiyah yang akan dibebaskan oleh tuannya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: (“Dimana Allah?”) maka dia menjawab: “Di atas”.. terus beliau bertanya: “Siapa saya?” Dia menjawab: “Engkau adalah Rasulullah”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Merdekakanlah dia karena sesungguhnya dia wanita yang beriman”. Hadits ini dan yang semisal dengannya menunjukkan bahwa orang yang mendatangkan batas keimanan yang paling minimal yaitu dia membawa iman yang global dimana dia beribadah hanya kepada Allah dan menjauhi syirik dan pembatal-pembatal keIslaman, maka sesungguhnya dia itu mukmin, dan tidak boleh menetapkan syarat untuk keimanannya apa yang tidak diisyaratkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau lebih perhatian terhadap dien ini, lebih paham, lebih mengetahui, lebih bertakwa dan lebih hati-hati terhadapnya daripada kita, sedangkan setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah adalah batil.
Dan iman yang global ini tanpa ragu lagi adalah lebih baik daripada keimanan banyak masyayikh yang mengklaim ilmu dan dakwah terus mereka bergelimang kemusyrikan, atau mereka ikut serta dalam pembuatan hukum kafir, atau menampakkan pembelaan terhadap thaghut dimana mereka menjadi bala tentara yang setia kepadanya, atau membela-bela UUD dan UU mereka, atau mereka bersumpah untuk menghormati undang-undang itu dan menjaganya, atau mereka merujuk hukum kepadanya, semua itu mereka lakukan dengan atas nama dakwah dan dengan dalih maslahat, anggapan-anggapan baik dan siasat-siasat yang rusak.
Maka tidak diragukan bahwa mereka itu seandainya meninggalkan klaim-klaim ilmu dan dakwah, dan mereka memegang agama para wanita tua dan mereka berpegang pada iman yang global serta mereka tidak menceburkan diri pada kebatilan yang lebar ini, tentulah itu lebih baik bagi mereka, dan lebih menyelamatkan serta lebih diudzur di sisi Allah ta’ala.
Namun ini semua tidak berarti meremehkan pentingnya mempelajari tauhid dan konsekuensi-konsekuensinya serta mengetahui syarat-syaratnya dan pembatal-pembatalnya, Karena sungguh Allah ta’ala telah berfirman:
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada illah (yang haq) kecuali Allah” Muhammad: 19,
dan dalam hadits shahih “Barang siapa mati sedang dia mengetahui bahwa tidak ada illah (yang haq) kecuali Allah maka dia masuk surga” diriwayatkan Muslim dari Usman radliallahu ‘anhu secara marfu’. Dan tidak disyaratkan mengetahui rincian-rincian tauhid atau menghapal pembatal-pembatal keIslaman serta mengenalnya secara terperinci untuk menghukumi keIslaman seseorang, tidaklah berarti berpaling dari mempelajari hal itu atau menyepelekannya atau meremehkannya, terutama bila sebagian para lanjut usia itu telah menghabiskan umurnya dalam mempelajari urusan-urusan dunia dan kondisi-kondisinya serta mereka melakukan penelantaran yang besar dalam mempelajari tauhid dan urusan Islam yang paling penting, maka tidak ragu lagi bahwa mereka itu berdosa dengan sebab penelantaran dan keteledoran ini, akan penetapan sangsi dan dosa adalah sesuatu di luar takfir yang tidak kami katakan dalam keadaan-keadaan ini, kecuali bila seorang terjatuh dalam sesuatu dari pembatal-pembatal keIslaman yang nyata atau bahwa kejahilannya itu sampai pada tahap dimana dia mengucapkan kalimat tauhid sebagai kalimat yang kosong yang tidak dia ketahui maknanya dan dia tidak melaksanakan isinya yang mengandung peribadatan kepada Allah saja serta keberlepasan diri dari syirik dan para pelakunya.
Akan tetapi wajib diketahui bahwa Islam menghukumi yang menjaga darah dan harta orangnya di dunia dan yang memberikan status muslim bagi orang yang menampakkan sesuatu dari ciri-ciri khusus Islam dan tidak menampakkan sesuatupun dari pembatal-pembatalnya adalah berbeda dengan Islam hakiki yang menyelamatkan orang di akhirat dan yang mengharuskan keterpenuhan syarat-syarat yang berkaitan dengan hati yang tidak nampak yang tidak diketahui kecuali Allah. Jadi hukum (vonis) kita ini hanyalah berkaitan dengan zahir saja sedangkan Allah-lah yang menangani masalah batin.
Dan sebagian ikhwan telah memprotes pendapat ini, dengan pernyataan bahwa orang-orang itu dan yang seperti mereka dari kalangan yang memiliki iman yang global dan melaksanakan rukun-rukun Islam serta menjauhi peribadatan kepada para thaghut dan nushrah mereka, adalah mayoritas mereka itu tidak mengkafirkan para thaghut hukum, sedangkan orang yang tidak mengkafirkan thaghut adalah tidak kafir terhadapnya!! Bahkan di antara para lansia itu tidak ada orang yang menampakkan sikap kecintaan kepada sebagian mereka, dan di antara lansia itu ada orang yang mendoakan kebaikan bagi mereka bila si thaghut itu memberikan kebaikan kepadanya atau kepada anaknya atau kepada desanya, atau menghilangkan kezaliman dari mereka, umpamanya seperti dia membebaskan orang yang ditahan atau membangun rumah sakit atau hal lainnya yang dengannya para thaghut itu mebuat pengkaburan terhadap manusia dan membeli loyalitas mereka dengannya, padahal sesungguhnya harta ini bukan dari hasil usaha keras mereka dan bukan pula hasil usaha bapak-bapak mereka, akan tetapi ia adalah harta umat yang mereka rampas. Dan kezaliman yang sesekali mereka angkat dari sebagian perang itu adalah tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan sikap terus menerus mereka dan kebersikukuhan mereka di atas kezaliman mereka terhadap diri mereka dan manusia dengan sebab syirik dan hukum yang mereka anut.
Maka kami katakan: Adapun sikap tidak mengkafirkan para thaghut yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan dan yang membuat hukum yang tidak Allah izinkan, maka ia adalah kebodohan dan sikap ngawur yang sangat besar, yang sumber pemicunya adalah aqidah jahmiyyah, dan ia adalah diantara pengaruh fenomena irja’ yang membanjiri kaum muslimin pada hari ini, sebagaimana yang telah kami jelaskan di tempat lain.
Dan orang yang terjatuh dalam kebodohan ini berdalih untuk keIslaman para thaghut itu dengan shalat mereka, pengucapan mereka akan “laa ilaaha illallaah” serta syubhat-syubhat lainnya yang dipromosikan oleh kaum murji’ah. Dan syubhat-syubhat ini bukan terbatas menimpa orang-orang awam dan para lanjut usia, akan tetapi ia telah dibawa dan telah dilariskan serta digulirkan oleh banyak orang-orang yang mengaku berdakwah dan dianggap berilmu di zaman ini. Dan pernyataan kami perihal mereka adalah bahwa mereka itu adalah orang-orang sesat lagi bodoh, dan mayoritas mereka adalah membawa banyak hal dari aqidah murji’ah, bahkan aqidah jahmiyyah sedang mereka tidak menyadari.
Namun demikian kami tidak mengkafirkan mereka selagi penyelisihan mereka terhadap ahli tauhid itu terjadi hanya pada masalah asma (nama) yaitu pada penerapan nama iman dan kufur terhadap para thaghut, namun bila perselisihan mereka dengan kita ini berpindah kepada penyelisihan dalam tauhid dan syirik, dimana sikap mereka tidak mengkafirkan para thaghut itu menjadikan sikap mereka menjadi tawalliy kepada para thaghut itu atau membantu mereka atau mengibadati mereka atau mentaati mereka dalam hukumnya, atau ikut serta dalam ajaran (hukum/sistim/falsafah/ideologi) mereka yang batil, maka mereka itu kejahilannya dan bid’ahnya telah menyampaikan dan menghantarkan mereka kepada kekafiran. Kita mohon keselamatan dan ‘afiyah kepada Allah.
Akan tetapi di antara bentuk kekontradiksian zaman yang penuh keanehan ini adalah bahwa tidak setiap orang yang tidak mengkafirkan para thaghut karena sebab syubhat-syubhat itu dia mesti menjadi bagian dari anshar mereka atau mengibadati mereka atau mentaati mereka dalam hukumnya, namun ada di antara orang yang tidak mengkafirkan para thaghut itu orang yang berlepas diri dari diri para thaghut itu dan membenci mereka serta tidak membantu mereka, bahkan kami melihat di antara mereka itu orang yang memerangi mereka, sebagaimana yang dilakukan Juhaiman dan kelompoknya, dimana mayoritas mereka ini tidaklah mengkafirkan pemerintah Saudi dan para pemimpinnya – dan ini adalah kejahilan dan kedangkalan dari mereka – namun demikian mereka membenci pemerintah Saudi dan menganggap bai’atnya tidak sah, mereka melawan pemerintah dan mengingkari kemunkaran-kemunkarannya, serta pada akhirnya mereka memeranginya.
Dan orang-orang semacam mereka itu banyak dari kalangan yang tidak mengkafirkan para thaghut akan tetapi mereka tidak membantunya bahkan mereka membencinya serta berlepas diri dari diri para thaghut itu dan dari undang-undangnya…Dan ini tidak ragu adalah tergolong tanaaqud! (kontradiksi), karena sesungguhnya sikap tidak takfir itu mengharuskan adanya sebagian dari sikap muwaalah (loyalitas)!! Dimana selagi thaghut itu tidak kafir menurut mereka, maka mesti dia itu tetap ada di dalam lingkaran muwaalah imaniyyah (loyalitas atas dasar keimanan), dan tidak menyelisihi dalam hal ini kecuali orang bodoh, atau orang yang memiliki pendapat manzilah bainal manzilatain!! Akan tetapi ada perbedaan besar antara kamu mengatakan bahwa si fulan mutanaqidl (bersikap kontradiksi) lagi jahil dalam al wala dan al bara lagi ngawur yang tidak memahami tauhidnya secara benar atau dia itu tidak memiliki kejelasan perihal jalan orang-orang kafir, dengan ucapan kamu bahwa si fulan ini kafir, sebagai pengkafiran terhadapnya dengan lawazim (kemestian-kemestian) pendapatnya, karena pendapat yang shahih adalah kemestian suatu madzhab (pendapat) itu bukanlah madzhab (baginya) sampai diketahui dan dikomitmeni oleh pemegang madzhab itu.
Dan dari itu maka sesungguhnya ucapan seseorang: (Barangsiapa tidak mengkafirkan thaghut maka dia tidak kafir terhadapnya) adalah tidak jami’ (mengumpulkan) dan tidak mani’ (menghalangi), sehingga ucapan ini tidak tepat karena kufur kepada thaghut artinya adalah berlepas diri dari ketuhanannya dan menjauhi peribadatan (kepada)nya, dan yang di antaranya adalah menjauhi ketaatan kepadanya dalam hukumnya dan meninggalkan tawalliy kepadanya atau tawalliy kepada kemusyrikannya.
Jadi bila orang yang tidak mengkafirkannya karena suatu syubhat itu merealisasikan ini semuanya, maka sesungguhnya dia itu kafir kepada thaghut meskipun dia adalah orang murji’ah yang bodoh lagi kontradiksi, berbeda halnya dengan orang yang melakukan sesuatu dari hal itu maka sesungguhnya dia itu tidak kafir kepada thaghut walaupun dia mengkafirkannya.
Dan atas dasar ini, bila yang ditanyakan itu – baik wanita lanjut usia atau kakek tua atau yang lainnya – membangun di atas sikap mereka tidak mengkafirkan para thaghut itu sikap tawalliy atau nushrah (bantuan) atau pemufakatan dan ketaatan dalam hukum dan sikap mengikuti kepada orang-orang kafir, atau sikap ridla terhadap undang-undang kafir dan aturan-aturannya yang syirik, maka mereka itu adalah orang-orang kafir dan vonis ini tidak bisa dirubah dengan keberadaan mereka sebagai orang-orang yang bodoh, karena orang kafir itu bisa jadi dia adalah orang yang sesat lagi bodoh, dan bisa jadi dia adalah orang yang membangkang di atas dasar ilmu dan pengetahuan. Dan Allah ta’ala telah menggabungkan dua macam orang ini dalam firman-Nya:
“bukan (jalan) orang-orang yang dimurkai dan bukan pula (jalan) orang-orang yang sesat” Al Fatihah: 7.
Orang-orang yang sesat adalah orang yang kafir karena kebodohan dan kesesatan seperti orang-orang nashrani dan orang-orang yang menyerupai mereka dari umat ini, sedangkan orang-orang yang dimurkai adalah orang-orang yahudi yang Allah telah kabarkan bahwa mereka itu mengetahui kebenaran seperti mereka mengetahui anak-anak mereka, sehingga mereka kafir di atas dasar pengetahuan, dan begitu juga (sama dengan mereka) setiap orang yang menyerupai mereka dari kalangan ulama kesesatan dan corong para thaghut.
Adapun orang yang tidak mengkafirkan para thaghut dan dia tidak membangun di atas hal itu sikap tawalliy dan nushrah mereka dan dia tidak pula masuk dalam sistim mereka atau ikut serta dalam pembuatan hukum kafir mereka, dan dia itu memiliki ashlul iman (inti keimanan) yang mana seseorang tidak menjadi muslim kecuali dengannya, maka kami tidak mengkafirkan orang itu meskipun muncul darinya hal yang tadi disebutkan yaitu doa buat para thaghut karena kebaikan yang mereka berikan kepadanya atau yang lainnya.
Masalah pujian kepada orang kafir atau sanjungan kepadanya karena amalan baik atau karena sebab dia mengangkat kezaliman, atau doa baginya karena sebab itu, semua itu adalah termasuk masalah-masalah cabang yang butuh kepada penjelasan dan penegakkan hujjah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah berniat untuk mendoakan dan memintakan ampunan bagi pamannya yang kafir yang pernah melindunginya dan membelanya dan beliau berkata: “Saya akan memintakan ampunan baginya selagi saya tidak dilarang” maka Allah ta’ala menurunkan:
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam” At Taubah: 113.
Maka hal seperti ini tergolong furu’ yang tidak diketahui kecuali dengan hujjah risaliyyah dan kadang samar atas sebagian orang atau sulit mereka pahami bersama keberadaan sebagian nushush (dalil-dalil) yang umum, seperti hadits (Barangsiapa tidak bersyukur kepada manusia maka ia tidak bersyukur kepada Allah) dan yang lainnya.
Maka dalam masalah ini harus ada penegakkan hujjah dan tidak boleh tergesa-gesa dalam mengkafirkan dan harus membedakan antara orang yang mengetahui dengan orang yang jahil, dan membedakan antara doa bagi mereka untuk mendapatkan hidayah atau kebaikan secara umum, dengan doa bagi mereka untuk mendapatkan kemenangan secara khusus, serta membedakan antara orang yang menyertai hal ini dengan nushrah dan tawalliy kepada mereka, dengan orang yang berhenti di batas kejahilan itu saja. Dan begitu juga antara orang yang secara tegas memuji kekafiran, kemusyrikan dan undang-undang mereka yang menggugurkan dien (al Islam) ini, dengan orang yang memuji sebagian akhlak atau perbuatan atau sikap mereka.
Adapun penampakkan kecintaan dan kasih sayang terhadap para thaghut maka tidak diragukan lagi bahwa ia meniadakan dan membatalkan keimanan, sebagaiman firman-Nya ta’ala:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka” Al Mujadilah: 22.
Akan tetapi masalah kecintaan dan kasih sayang bila ia itu bersifat qalbiyyah bathiniyyah (hati lagi batin) maka ia tergolong sebab-sebab takfir di akhirat yang mana hukum-hukum takfir di dunia hanya dikaitkan dengan sebab-sebab takfir yang nampak dan baku, yang terbatas pada ucapan-ucapan atau amalan-amalan yang nampak (dhahir). Adapun amalan-amalan hati maka tidak boleh takfir dengan sebab di dunia selama tidak nampak lewat ucapan yang jelas atau perbuatan yang nampak, dan di antara hal itu adalah kasih sayang dan cinta, maka tidak boleh mengaitkan hukum-hukum takfir dengan hal-hal ghaib yang tidak baku sampai ia nampak lewat lisan atau anggota badan.
Kemudian termasuk hal yang diketahui bahwa masalah kasih sayang dan cinta adalah masalah yang relatif, dimana kadang seseorang mencintai orang kafir atau orang non kafir dari hal-hal duniawi yang dicintai sampai dia menyetarakannya dengan kecintaan kepada Allah dan dia menjadikannya sebagai tandingan bagi-Nya, maka ini tidak ragu lagi akan kekafirannya dan mereka itulah yang telah Allah sebutkan dalam firman-Nya ta’ala:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah…” Al Baqarah: 165,
dan firman-Nya ta’ala:
“Mereka berkata sedang mereka bertengkar di dalam neraka; “Demi Allah, sungguh kita dulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam” Asy Syu’ara: 96-98,
maka bagaimana dengan orang yang mencintai mereka melebihi kecintaannya kepada Allah. Kita memohon keselamatan dan ‘afiyah kepada Allah…?!
Adapun berkasih sayang dengan sebagian orang-orang kafir karena ikatan keluarga atau garis ayah atau garis anak, maka ini meskipun Allah ta’ala telah melarangnya dan dia nafikan iman dari pelakunya sebagaimana yang telah lalu dalam ayat tadi dan dalam hadits (Sesungguhnya ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah), akan tetapi masalah ini pelakunya tidak dikafirkan kecuali setelah penegakkan hujjah, karena ia tergolong urusan yang tidak diketahui kecuali dengan hujjah risaliyyah. Dan ia termasuk ikatan yang manusia sudah terbiasa dengannya, dan syariat datang untuk merubahnya, membenahinya dan meluruskannya. Dan kadang ia sulit dipahami oleh sebagian manusia serta ia membutuhkan kepada penjelasan dan penyelarasan antara sebagian nash-nash (yang ada).
Contohnya: mayoritas manusia mengetahui bahwa syariat membolehkan (laki-laki muslim) menikah dengan wanita kafir ahli kitab, padahal Allah ta’ala telah mengatakan:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang…” Ar Rum: 21.
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kasih sayang di antara suami isteri, dan dia membolehkan menikahi wanita musyrikah ahli kitab padahal sesungguhnya Dia telah mengharamkan menjalin kasih sayang dengan kaum musyrikin secara umum.
Maka ini kadang dianggap sulit dipahami oleh sebagian manusia, kemudian mereka mengkiaskan terhadapnya dan mereka tidak membedakan antara kasih sayang dan kecintaan yang bersifat syahwat dengan kasih sayang yang berlandaskan keagamaan yang tergolong muwaalah (loyalitas), sebagaimana kadang banyak manusia mencampuradukkan antara sikap sayang yang disebutkan dalam ayat tadi dan dalam firman-Nya ta’ala:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat (bentuk sikap sayang) bagi semesta alam” Al Anbiya: 107,
bersama keantusiasan para Nabi terhadap kaum-kaum mereka dan kecintaan terhadap penghidayahan mereka, seperti hadits: (Ya Allah, berilah kaumku hidayah, karena sesungguhnya mereka itu tidak mengetahui) maka mereka tidak mampu membedakan dan memilah antara hal itu dengan mencintai dan menyayangi orang-orang kafir itu sendiri, padahal sesungguhnya mencintai kebaikan bagi mereka dan mencintai hidayah bagi mereka serta bersungguh-sungguh untuk menyayangi mereka dengan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya; adalah sesuatu yang berbeda dengan kecintaan dan kasih sayang kepada mereka itu sendiri yang telah dilarang oleh Allah, akan tetapi dikarenakan masalah ini di dalamnya terdapat nash-nash yang dirasa sulit dipahami oleh orang awam atau oleh orang yang baru masuk Islam, maka ia membutuhkan kepada penjelasan, perincian dan penegakkan hujjah serta tidak tergesa-gesa dalam takfir.
Saya memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan tulisan ini manfaat bagi saya dan bagi ikhwan saya, dan Dia mengajarkan kepada kita apa yang bermanfaat bagi kita dan memberikan kepada kita bashirah dalam agama kita, serta menjadikan kita bagian dari anshar ajaran-Nya dan tauhid-Nya. Semoga shalawat Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan kepada sahabatnya semua.
Pertanyaan Ke Dua
Apa hukum ikut memberikan suara dalam Pemilihan anggota parlemen…?
Apakah anda mengkafirkan setiap orang yang ikut serta dalam pemilu itu…? Ataukah anda memiliki rincian perihal mereka…?
Dan apa nasehat anda buat manusia dalam hal ini…? Dan apa dalilnya…?
Jawaban
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang mengikutinya … wa ba’du:
Para ulama telah menegaskan dalam qawaa’id fiqhiyyah mereka bahwa penetapan hukum terhadap sesuatu itu adalah cabang dari pengetahuan akan gambarannya, maka pertama-tama harus mengetahui hakikat intikhab (pemilu) ini dan tugas parlemennya, supaya setelah itu mudah untuk mengetahui status hukum keikutsertaan di dalamnya. Kemudian bila hukum Allah telah jelas, maka tidak boleh bagi seorangpun setelah itu melampauinya atau melanggarnya atau berpaling darinya kepada pendapat-pendapat, anggapan baik-anggapan baik dan hawa nafsu manusia bagaimanapun mereka menghiasinya.
Sungguh Allah ta’ala telah berfirman:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” Al An’am: 57,
dan ini adalah mencakup umum, sehingga tidak benar bila sebagian du’at menujukannya kepada pihak para penguasa terus mereka menggugurkannya pada diri dan dakwah mereka.
Sungguh Allah ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” Al Ahzab: 36.
Parlemen sebagaimana yang mereka namakan adalah Dewan-Dewan Legislatif bagi umat atau rakyat – sebagaimana yang mereka klaim – meskipun sebenarnya di dunia arab yang sengsara ini pada hari ini ia adalah dewan legislatif bagi thaghut dan kaki tangannya atau kroni-kroninya, yang ikut serta bersama mereka di dalamnya beberapa orang anggota yang mewakili sebagian rakyat!! Dan bagaimanapun keadaan parlemen-parlemen itu, baik ia dalam bentuknya yang ideal – menurut para pembuatnya dan para budaknya – yang diterapkan di barat atau dalam bentuknya yang ketimur-timuran yang coreng moreng di negeri kita, maka tidak ada perselisihan bahwa tugas yang pokok dan yang inti dalam dewan-dewan ini seluruhnya adalah tasyri’ (pembuatan hukum dan undang-undang)…!!
Oleh sebab itu telah masyhur penamaannya dengan pembentukan namanya dari tugasnya yang paling nampak, dimana ia dinamakan Majelis Tasyri’iy (Dewan legislati atau lembaga pembuatan hukum dan undang-undang)[1]. Ada dalam kitab “Ahkam Ad Dustur wal Ijraa-at Al Barlamaniyyah Fit Tathbiq”[2] saat ia berbicara khusus tentang paarlemen Yordania dan Mesir, ia berkata: Di pasal kedua di bawah judul (tugas-tugas parlemen): (Tasyri’ (pembuatan undang-undang hukum) adalah tugas utama parlemen) selesai hal: 149.
Dan Undang-Undang Dasar (UUD) sendiri telah menegaskan secara gamblang terhadap tugas pokok ini di antara sekian tugas-tugas cabang yang lain, terus UUD itu menentukan rambu-rambunya, landasan-landasan yang ia berdiri di atasnya dan garis-garis pokok yang ia menjalankan tugas lewat panduannya dan bertolak di atasnya. Dan teks-teks UUD ini saya hadirkan dengan kalimat-kalimatnya kepada pencari kebenaran agar ia menghapalnya dengan nomor-nomornya dan ia bisa menghancurkan dengannya kebatilan para pendebat yang membela-bela kekafiran yang nyata ini lagi melegalkan kemusyrikan yang terang ini.
Adapun hakikat tugas pokok Majelis (dewan/lembaga) ini maka sungguh pasal (25) UUD Yordania telah menegaskan terhadapnya: (Kekuasaan legislatif berada di tangan Majelis rakyat dan raja, dan Majelis rakyat ini terdiri dari Dewan Kehormatan dan Dewan Perwakilan Rakyat)}.
Adapun sumber hukum ini dan cara yang dengannya majelis ini menjalankan kewenangannya, sebagai tugas pokok, maka ia telah ditentukan oleh pasal (24) UUD:
Ayat (1): (Rakyat adalah sumber segala kekuasaan)[3].
Ayat (2): (Rakyat menjalankan kekuasaannya berdasarkan ketentuan yang telah dijelaskan oleh Undang-Undang Dasar).
Pasal (80): Setiap orang dari anggota Dewan Kehormatan (DK) dan DPR sebelum memulai dalam tugasnya wajib menyatakan sumpah di hadapan majelisnya dengan sumpah yang berbunyi: (Saya bersumpah dengan nama Allah yang Maha Agung untuk selalu setia kepada raja dan tanah air serta patuh kepada Undang-Undang Dasar).
Dan pasal (84) ayat (2): (Segala keputusan dewan dari dua dewan tersebut diputuskan berdasarkan mayoritas suara para anggota yang hadir selain ketua kecuali bila UUD ini menegaskan terhadap sesuatu yang menyelisihi hal itu).
Pasal (91): (Perdana menteri menyodorkan setiap rancangan undang-undang kepada DPR yang memiliki hak menerima atau merevisi atau menolak rancangan itu, dan dalam semua keadaan rancangan tersebut dilimpahkan kepada DK, dan undang-undang apapun tidak diputuskan kecuali bila telah diakui oleh dua dewan itu serta disahkan oleh raja).
Pasal (95) ayat (1): (Boleh bagi sepuluh orang atau lebih dari anggota dewan, baik DK maupun DPR, untuk mengajukan undang-undang, dan setiap usulan dilimpahkan kepada panitia khusus di dewan untuk pengutaraan pendapat di dalamnya, kemudian bila dewan menerima usulan itu maka ia melimpahkannya kepada pemerintah untuk menuangkannya dalam teks rancangan undang-undang dan menyodorkannya kepada dewan).
Pasal (34) ayat (2): (Raja mengundang Majelis Rakyat untuk berkumpul, ia membukanya, menangguhkannya dan membubarkannya sesuai ketentuan UUD). Ayat (3): (Raja berhak membubarkan DPR).
Ini adalah undang-undang mereka, dan teks-teks ucapan mereka dari UUD-nya yang mana mereka menjadikannya sebagai pegangan, mereka mensucikannya dan mengagungkannya, menegaskan secara gamblang terhadap tugas pokok para anggota majelis ini, yaitu bahwa tugas tersebut adalah pembuatan hukum /UU dalam bingkai UUD dan sesuai dengan peraturan perundang-undangannya, serta berdasarkan rambu-rambu dan pokok-pokok dasarnya yang kafir lagi jahiliyyah.
Maka setelah ini tidak seorangpun berhak mempelintir hakikat parlemen ini, atau mensifati dengan hawa nafsu dan pikirannya dasar-dasar dan pokok-pokok yang mana para anggota parlemen itu menjalankan tugas pokok kelegislatifan mereka menurut rambu-rambunya. Dan bagaimana upaya sebagian para pengklaim dakwah untuk mempelintir hal itu, mentakwilnya dan menamainya dengan nama yang lain, maka tetap saja mereka dengan hal itu tidak akan bisa mengeluarkannya dari hakikat yang sebenarnya, karena yang dianggap acuan adalah hakikat dan isi bukan istilah dan nama. Dan yang pertama kali mempermainkan nama untuk mengkaburkan hakikat suatu hal adalah iblis, tatkala dia menamakan pohon keterpurukan dengan nama pohon kekekalan, sehingga setiap orang yang mengkaburkan al haq dengan al bathil dengan cara mempermainkan nama, maka panutan dia dalam hal itu adalah iblis yang dilaknat. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa sejumlah orang dari umatnya akan meminum khamr seraya menamakannya dengan nama yang lain, maka apakah tindakan itu merubah hal tersebut dari hakikat sebenarnya, dan dari hukumnya yang syar’iy??
Bila hal ini telah dipahami, maka inilah hukum Allah ta’ala perihal masalah tadi berikut dalil-dalilnya yang syar’iy lagi mu’tabar dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kami tidak berhakim saat ada pertentangan kecuali kepada Allah dan Rasul-Nya… Allah ta’ala berfirman:
“Kemudian bila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” An Nisa: 59.
Dan selama ucapan kami ini dikuatkan dengan dalil-dalil syar’iy, maka wajib atas kamu, bila kamu beriman, untuk menerimanya dan tunduk kepadanya bukan sebagai pengagungan dan ketundukkan kepada ucapan kami akan tetapi kepada firman Allah yang kami berdalil dengannya dan kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan apa yang kamu dapatkan dalam ucapan kami ini atau yang lainnya bersandarkan kepada selain Kitabullah atau As Sunnah, maka tolaklah dan kamu jangan peduli.
[1] Adapun hakikat tugas pokok yang telah dijelaskan oleh pasal (25) dari UUD mereka dimana ia menyandarkan kekuasaan legislatif (pembuatan hukum) yang mutlak – tanpa batasan apapun – kepada MPR dan rajanya, maka inilah kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas yang mana Allah ta’ala telah mengutus seluruh Rasul-Nya untuk mengingkarinya, menghancurkannya dan menghati-hatikan darinya, serta untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapannya dan dari kotoran-kotorannya kepada cahaya tauhid dan syari’atnya yang suci. Allah ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” Az Zumar: 65,
sedangkan ia adalah kerusakan terbesar dalam kehidupan ini dan dosa terbesar yang dengannya Allah didurhakai, oleh sebab itu Dia ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehedaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” An Nisa: 48.
Dan Dia ta’ala berfirman:
“Barang siap mempersekutukan sesuatu dengan (Allah), maka sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya” An Nisa: 116.
Dan Firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun” Al Maidah: 72.
Dan Firman-Nya:
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” Al Hajj: 30-31.
Dan diantara yang seyogyanya diketahui oleh orang muslim adalah bahwa mayoritas kaum musyrikin sepanjang zaman tidaklah menyekutukan Allah dalam Rububiyah-Nya, dalam arti mereka itu tidaklah mengklaim bahwa di sana ada yang menciptakan, yang memberi rizki, yang mengatur alam ini selain Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi kemusyrikan mereka yang karena sebabnya mereka membunuhi para Rasul, menyakitinya, dan memusuhinya adalah karena mereka menjadikan bagi Allah tandingan-tandingan dan sekutu-sekutu yang mereka persamakan dengan Allah subhanahu wa ta’ala bukan dalam penciptaan, pemberian rizki dan pengaturan alam, akan tetapi dalam ibadah, ketaatan, pembuatan hukum, serta penghalalan dan pengharaman.
Oleh sebab itu Allah ta’ala berfirman seraya mengingkari terhadap orang-orang semacam mereka:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” At Taubah: 31,
padahal sudah maklum bahwa mereka tidaklah mengklaim bahwa orang-orang alim dan rahib-rahib itu telah menciptakan mereka atau bahwa mereka itu memberikan rizki kepada mereka, akan tetapi bentuk penjadian mereka sebagai tuhan itu adalah dengan mengibadati mereka, sebagaimana firman-Nya ta’ala setelah itu dalam ayat itu sendiri:
“Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” At Taubah: 31,
dan sudah maklum bahwa mereka itu tidaklah mengibadati para rahib dan alim ulama, dengan makna bahwa mereka itu shalat atau shaum kepada mereka, dan andaikata para rahib dan alim ulama meminta hal itu dari mereka dengan keterusterangan ini tentulah mereka tidak akan melakukannya, akan tetapi peribadatan kepada mereka itu adalah dengan bentuk ketaatan mereka dalam hal hukum serta tahlil dan tahrim. Dan inilah kemusyrikan mereka yang Allah tuturkan dalam ayat tadi.
Oleh sebab itu syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab berdalil dengan ayat ini dalam kitab (At Tauhid Al ladzi Hawa Haqullah’Alal ‘Abid) dalam bab (Barangsiapa mentaati ulama dan umara dalam menghalalkan apa yang telah Allah haramkan atau mengharamkan apa yang Allah telah halalkan, maka dia telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah), dan beliau menuturkan dalam tafsir ayat itu hadits ‘Adiy ibnu Hatim Ath Tha’iy, bahwa ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beliau membaca ayat ini, maka ‘Adiy berkata: “Mereka itu tidak mengibadatinya wahai Rasulullah…”(sebagai dugaan darinya bahwa ibadah itu hanya shalat, sujud, shaum dan yang serupa dengan itu), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Bukankah mereka itu menghalalkan bagi mereka suatu yang haram dan mengharamkan terhadap mereka suatu yang halal[4]?” Maka ‘Adiy berkata: “Ya” Beliau berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka…”)}[5] dan telah sah penafsiran semacam ini terhadap ayat itu dari Huzaifah radliallahu ‘anhu dan yang lainnya. Maka ini adalah dalil yang tegas terhadap kekafiran orang yang menyandarkan kepada dirinya atau kepada orang lain kekuasaan (kewenangan) mutlak untuk membuat hukum dan perundang-undangan. Dan setiap orang yang menerima dien muhdats (sistim yang dibuat-buat) ini, dan orang yang bermufakat bersama para pembuat hukum itu serta bersepakat bersama mereka di atasnya, maka status dia adalah sama dengan status hukum mereka.
Dan dalil yang lain yang menunjukkan terhadap hal itu secara gamblang adalah firman Allah ta’ala:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawanya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya tentulah kamu menjadi orang-orang yang musyrik” Al An’am: 121.
Maka perhatikan bagaimana Allah ta’ala memvonis terhadap ketaatan dalam hukum (buatan) bahwa ia adalah kerusakan terbesar dalam kehidupan, dimana Dia mencapnya sebagai kemusyrikan serta Dia vonis orang-orangnya sebagai kaum musyrikin meskipun mereka itu tidak menyembah patung atau shalat kepadanya.
Al Hakim dan yang lainnya meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari ibnu ‘Abbas[6] bahwa ayat ini turun perihal sejumlah orang dari kaum muslimin yang mana kaum musyrikin mendebat mereka dalam suatu masalah dari sekian masalah-masalah hukum, kaum musyrikin berkata: “Seekor kambing mati, siapa yang membunuhnya? Maka kaum muslimin menjawab: Allah-lah yang membunuhnya. Maka kaum musyrikin berkata: Apa yang Allah bunuh atau apa yang Allah sembelih dengan pisau emas adalah haram, sedangkan yang kalian sembelih dengan pisau besi adalah halal?”.
Maka Allah ta’ala menurunkan ayat-ayat sampai firman-Nya ta’ala:
“dan jika kamu menuruti mereka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” Al An’am: 121.
Ini adalah vonis ilahiy yang tidak didatangi kebatilan baik dari depan maupun belakang, dan ia itu bukan ijtihad seorang alim yang ada kemungkinan salah dan benar, akan tetapi ia adalah nash samawiy yang tegas lagi muhkam bahwa orang yang mengikuti dan mentaati selain Allah ta’ala dalam hukum, walau dalam satu masalah saja, adalah dia itu musyrik kepada Allah ta’ala lagi telah menjadikan yang ditaati itu sebagai rab (tuhan) meskipun tidak sujud atau shalat atau shaum kepadanya, maka bagaimana dengan orang yang mentaati atau melimpahkan kepada dirinya atau kepada orang lain kekuasaan pembuatan hukum dan perundang-undangan seluruhnya secara mutlak??
Dan seperti itu juga firman Allah ta’ala:
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan yang menetapkan bagi mereka dari ajaran ini apa yang Allah tidak izinkan” Asy Syura: 21.
Dan firman-Nya ta’ala
“Dan dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya” Al Kahfi: 26,
dan dalam qira-ah ibnu ‘Amir yang tergolong qira-ah sab’ah: (Dan jangan kamu sertakan (sekutukan) seorangpun dalam hukum-Nya) dengan bentuk larangan.
Nash-nash syar’iy dalam masalah ini adalah banyak dan qath’iy yang tidak memberikan peluang bagi orang yang menyelisihi untuk berputar-putar dan berbelit-belit. Dan seandainya tidak khawatir terlalu memperpanjang yang tidak sesuai dengan lembaran ini, tentulah kami akan menuturkan kepada anda dalil yang lebih banyak, namun dalam apa yang telah kami uraikan disini ada hujjah dan kadar cukup bagi orang yang menginginkan hidayah, karena yang penting adalah bukanlah banyaknya dalil, akan tetapi keshahihannya dan keshahihan berdalil dengannya, sedangkan pencari al haq cukup baginya dari Allah satu perintah atau satu ayat saja, adapun orang yang Allah ingin kesesatannya, maka andai kamu mendatangkan kepada dia dalil-dalil dan bukti-bukti sepenuh bumi ini maka tetap saja dia tidak akan beranjak.
[2] Adapun sumber pembuatan hukum yang dilakukan oleh MPR dan thaghutnya, serta tata cara yang lewat panduannya mereka menjalankan tugasnya sebagai pembuat hukum/UU/UUD atau yang lainnya, maka sesungguhnya kaum musyrikin (penyembah) UUD tidaklah membiarkannya begitu saja tanpa batasan, namun justeru mereka telah mengaitkannya dengan UUD dan butir-butirnya sebagaimana yang telah lalu di pasal (24) yang menjelaskan bahwa semua kekuasaan yang tiga yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif hanyalah melaksanakan kekuasaannya menurut ketentuan yang digariskan UUD. Jadi pasal ini menjelaskan dengan tegas bahwa anggota legislatif di parlemen-parlemen ini hanyalah menjalankan pekerjaan dan tugasnya yang kafir itu menurut panduan poin-poin UUD tidak selain itu.
Pembuatan hukum/UU dilakukan oleh kaum musyrikin itu sesuai Dustur (UUD) meskipun ia adalah hukum Islam!! Sebagaimana yang diklaim atau dinamakan oleh sebagian orang-orang yang sesat[7]. Dan seandainya pencari al haq merujuk resume pertemuan-pertemuan parlemen[8], tentu ia akan mendapatkan di dalamnya dalil-dalil terhadap ucapan kami ini secara tegas lagi gamblang. Umpamanya bila sebagian anggota dewan yang berjenggot[9] mengajukan usulan undang-undang pelarangan atau pengharaman khamr – atau katakan – pelarangan meminumnya di tempat-tempat tertentu, maka ia sebelum mengutarakan usulan (rancangan) itu harus menyebutkan dalil-dalil dan teks-teks (butir-butir) undang-undang – yang dianggap dikalangan mereka – yang mana peraturan yang diusulkan ini berdiri dan berpijak di atasnya.
Dan engkau sudah mengetahui bahwa teks-teks yang mana dewan legislatif dan yang lainnya menjalankan tugas-tugas lewat panduannya adalah butiran UUD, oleh sebab itu andai kata pengusulan UU pelarangan khamr itu umpamanya didalili oleh orang yang mengajukannya dengan puluhan atau bahkan ratusan ayat qur’an dan hadits Nabi, tentu mereka tidak akan menghiraukan hal itu, dan tentulah rancangan ini tidak sah secara UUD dan hukum sampai disebutkan sebelum itu dalam rancangan butir-butir undang-undang yang berlaku di kalangan mereka yang menjadi pijakan ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut dalam proyek hukum yang diusulkan ini, yaitu landasan UUD nya!!!
Atau sebagaimana yang biasa mereka sebut “keabsahannya”!![10] karena ayat-ayat dan hadits tersebut – bagi mereka – tidak memiliki nilai hukum selagi tidak ditopang oleh teks butiran UUD. Dimana teks-teks butiran UUD itulah yang mengendalikan dan bukan nash-nash Al qur’an, bahkan justeru nash-nash Al qur’an adalah yang dikendalikan selalu ditengah mereka oleh UUD. Maka enyahlah dan enyahlah (mereka itu).
Dan syarat ini adalah tahapan paling awal dan paling bawah dari tahapan-tahapan pembuatan hukum/UU bagi mereka kemudian bila usulan yang menyertakan ayat-ayat dan hadits-hadits ini bisa menembus tahapan ini, maka di sana masih banyak tahapan-tahapan yang lain, dimana ia di dalamnya bisa dirubah atau dipalingkan atau dilembekkan atau ditambali atau digugurkan atau ditolak. Itu dikarenakan di sana ada syarat-syarat kekafiran yang mengendalikan tugas anggota legislatif, di antaranya:
- Yang mengajukan usulan itu minimal sepuluh anggota wakil rakyat.
- Usulan rancangan UU yang diminta untuk dibuat itu harus sejalan dengan ketentuan UUD lagi tidak bertentangan dengan butir-butirnya.
- Tidak bertentangan dengan HAM yang dijamin oleh UUD…!!
- Dan dalam pembuatan UU yang diusulkan harus mengacu pada hukum-hukum yang berlaku di negeri itu.
Serta syarat-syarat lainnya yang telah ditentukan oleh poin-poin UUD dan UU mereka lainnya[11]. Kemudian bila syarat-syarat kekafiran ini sudah terpenuhi maka boleh menurut mereka memasuki tahapan pertama proses pembuatan hukum, dimana DPR melimpahkannya kepada panitia khusus untuknya agar dikaji dan diberikan pendapat di dalamnya!! Antara anggota yang setuju dan yang menentang atau yang merevisi!/yang menambali… kemudian bila DPR memandang menerima usulan tersebut maka ia melimpahkannya kepada pemerintah sebagaimana dalam pasal (95) UUD untuk dibuatkan dalam bentuk RUU dan menyerahkannya kepada dewan yang akan mendiskusikannya pasal demi pasal, dan mempelajarinya serta memberikan suara terhadapnya baik itu penerimaan atau penolakan atau penambalan. Kemudian bila RUU ini disetujui oleh hawa nafsu mayoritas wakil rakyat yang hadir dan memperoleh suara mayoritas mereka - sebagaimana dalam pasal (84) – maka ia tidak menjadi UU sampai dilimpahkan kepada Dewan Kehormatan atau Majelais Syuyukh sebagaimana namanya di negara lain. Kemudian ia menerapkan terhadapnya kaidah-kaidah yang tadi, dimana ia dilimpahkan kepada Pansus untuk diberikan pendapat di dalamnya, dan setelah itu bila Pansus menyetujuinya setelah diskusi ada argumen, maka ia disodorkan kepada dewan kehormatan yang tanpa kecuali mereka itu adalah orang-orang dekat raja dan kroni-kroninya…
Karena pasal (36) UUD Yordania telah menegaskan bahwa (Raja menunjuk anggota-anggota Dewan Kehormatan dan menunjuk Ketua Dewan Kehormatan di antara mereka) sebagaimana pasal (4) UUD Yordania juga menegaskan bahwa (Dalam keanggotaan Dewan Kehormatan disyaratkan berasal dari salah satu jabatan-jabatan berikut:
Para perdana menteri dan para menteri yang masih aktif dan yang sudah berhenti dan orang yang pernah menjabat sebagai Dubes, menteri, pejabat sementara, ketua DPR, ketua dan hakim MA dan Pengadilan Tinggi biasa dan agama, serta para Purnawirawan setingkat Kepala staff ke atas) bila RUU itu disetujui hawa nafsu mayoritas mereka itu maka ia tidak menjadi undang-undang yang harus diterapkan sampaikan disahkan oleh Thaghut (raja), dan ini semuanya nampak dalam pasal (91) UUD yang menegaskan bahwa (Perdana Menteri menyodorkan setiap proyek RUU kepada DPR yang memilki hak menerima atau merevisi atau menolak rancangan itu, dan dalam semua keadaan proyek rancangan itu disodorkan kepada Dewan Kehormatan dan UU apapun tidak digulirkan kecuali bila disetujui oleh kedua Dewan itu dan disahkan oleh raja).
Dan tentunya si raja memiliki hak menolak UU itu dan tidak mengesahkannya sebagaimana ditegaskan oleh pasal (93) UUD, bahkan dia berhak membubarkan DPR seluruhnya dari akarnya sebagaimana telah lalu dalam pasal (34).
Maka kekafiran dan kemusyrikan yang nyata macam apa yang lebih tinggi dari ini…??? Bukankah ini adalah pengedapanan hawa nafsu dan UU serta hukum manusia terhadap hukum Allah penguasa langit dan bumi…???…
Bukankah ini pengedapanan aturan para pembuat hukum yang hina lagi kafir terhadap aturan Sang pembuat hukum yang Esa yang telah mensyariatkan untuk kita dari ajaran ini apa yang telah dia wasiatkan kepada Nuh dan para Nabi sesudahnya??
Dan penentangan terhadap Allah serta pembangkangan terhadap syariatnya macam apa yang lebih tinggi dari ini??
Dan pelecehan serta perolok-olokan terhadap ayat-ayat Allah macam apa yang lebih tinggi dari ini…??
Kemudian bersama kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang tegas ini, sebagian kaum Jahmiyyah dan Murji’ah malah mengklaim bahwa mereka tadi tidaklah mengutamakan hukum thaghut terhadap hukum Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. Dan sebagian pendeta mereka malah tidak merasa malu dari mangkiyaskan kaum musyrikin legislatif itu dan ajaran kafirnya ini dengan hakim yang bertauhid lagi memutuskan dengan ajaran Allah dalam payung Negara Islam bila dia maksiat terus dia aniaya dalam kasus tertentu karena hawa nafsu atau suap, maka kaum Jahmiyyah dan Murji’ah itu mengklaim bahwa para legislatif (pembuat hukum) yang hina itu!! adalah sama seperti hakim ini lagi tidak ada bedanya, mereka tidak kafir kecuali bila mereka mengedapankan aturan-aturan mereka terhadap aturan Allah dan mengklaim bahwa ia adalah lebih utama dan lebih layak untuk diberlakukan…!! Atau mereka mengingkari hukum Allah dan ajarannya dengan pengingkaran hati..!!!
Kita di sini berpaling dulu dari qiyas yang rusak ini yang mana dia mengqiyaskan para anggota legislatif yang kafir itu terhadap para pemimpin (muslim) yang zalim atau para hakim (muslim) yang maksiat, karena kami telah membantahnya dan membongkar kerusakannya di tempat lain.
Dan di sini kami bertanya-tanya: Bila apa yang lalu yaitu pengguguran nash-nash syariat serta ketidakgunaan ayat-ayat Al kitab dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali lewat jalur butiran UUD, terus setelah itu penyerahannya dihadapan mahluk-mahluk yang hina untuk didiskusikan…baik penerimaan ataupun perubahan ataupun penggantian ataupun pemalingan atau pencorengan[12] atau penolakkan, bila ini semua bukan pengedepanan UU dan hawa nafsu mereka terhadap nash-nash syariat, dan bila hal itu tidak dianggap pengendalian yang nyata dan penguasaan yang terbuka bagi UU dan hawa nafsu mereka terhadap ayat-ayat Qur’aniyyah dan hadits-hadits Nabawiyyah maka bagaimana sebenarnya bentuk pengedepanan dan pengutamaan itu..?? dan kapan terjadi ..??
Sesungguhnya Allah ta’ala telah mengingkari terhadap para pembuat hukum terdahulu sikap mereka menyetarakan tandingan-tandingan mereka, sekutu-sekutu mereka dan sembahan-sembahan mereka dengan Allah Rabbul ‘Alamin, dimana Dia mengabarkan tentang kaum musyrikin bahwa mereka mengatakan di saat penyesalan:
“Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena itu kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam” Asy Syu’ara: 97-98,
dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah…” Al Baqarah: 165.
Dan Dia ta’ala berfirman:
“Maka janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah” An Nahl: 74.
Ini perihal orang yang menyetarakan arbab dan sekutu-sekutunya, atau ia menyerupakan dan menyamakan mereka dengan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa! Maka bagaimana dengan orang yang menjadikan dari dirinya atau dari arbabnya yang beraneka ragam dan sekutu-sekutunya yang membuat hukum sebagai tuhan-tuhan yang mengendalikan dan yang berbuat sesuka hati terhadap syariat Allah lagi menguji kelayakan perintah-perintah-Nya, hudud-Nya, ajaran-Nya dan ayat-ayat-Nya???
Seandainya saja mereka tidak menjadikan syariat Allah mengikuti UU mereka lagi tidak berlaku dan tidak menjadi hukum kecuali dengan UU itu dan lewat pengakuan teks-teksnya…dan mereka menjadikan pengembalian dalam proyek UU mereka dan istidlal dalam rancangannya kepada syariat Allah secara langsung…!! Tentulah hal itu cukup sebagai pengendalian dan permainan terhadap syariat Allah, dan cukup itu sebagai kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang terang, maka bagaimana sedangkan masalahnya lebih keji dan lebih mengerikan dari itu, sebagaimana yang telah engkau lihat? Dimana mereka menyerahkan syariat Allah untuk dimintakan suara dan diperdebatkan[13], dan mereka memasukkannya dalam tahapan-tahapan pembuatan hukum mereka dengan cara yang telah engkau ketahui. Maka laknat Allah terhadap orang-orang zalim.
Kemudian sebagian orang-orang yang tergila-gila oleh majelis-majelis ini berpura-pura buta dari kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas yang telah lalu, dan mereka berupaya keras untuk melegalkannya dengan pemfokusan dan penekanan selalu terhadap tugas lain yang secara dungu mereka merasa bangga denganya, untuk memalingkan pandangan dari tugas kekafiran mereka yang paling utama.
Dimana mereka mengklaim bahwa tugas mereka adalah mengawasi pemerintah, dan sebagian mereka tidak merasa malu dari menyebut tugas yang diklaim ini sebagai hisbah sebagai peniruan dan penyerupaannya dengan al ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar yang merupakan perintah Allah ta’ala kepada para hamba-Nya di dalam kitab-Nya…!!
Dan kami selalu bertanya kepada mereka… dan sebelum segala sesuatu… bagaimana kalian menjalankan tugas yang diklaim ini???
Apakah kalian menjalankannya di atas manhaj para Nabi, cara mereka, tuntunan mereka dan sunnah mereka serta sebagaimana firman Allah ta’ala :
“Katakanlah: Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” Yusuf: 108,
sehingga sah dan pas penamaan kalian terhadapnya dengan hisbah dan al amru bil ma’ruf, ataukah kalian menjalankan tugas itu menurut cara kaum musyrikin dan sesuai metode orang-orang kafir serta mengikuti panduan UUD dan tata tertib majelis syirik ini??
Dan sudah barang tentu sesungguhnya metode kafir yang akhir inilah yang merupakan cara yang mereka komitmeni. Dimana UUD-lah yang menjamin bagi mereka hak qununiy ini!! Dan UUD pulalah yang menjadikan tugas ini sebagai bagian dari tugas-tugas mereka, dan ialah yang telah membatasi bagi mereka caranya, dan oleh sebab itu mereka menjalankan tugas ini di dalam bingkainya serta mereka berdalih dengan poin-poinnya yang menjamin hak ini bagi mereka saat mereka mengajukan interpelasi kepada sebagian pejabat atau menteri, sebagaimana pasal (96) UUD Yordania yang menegaskan:
(Bahwa setiap anggota dari para anggota DK dan DPR memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan dan interpelasi kepada menteri-menteri seputar permasalahan apa saja sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan dalam ketentuan intern dewan yang mana si anggota itu berasal darinya, dan interpelasi apa saja tidak didiskusikan sebelum berlalunya delapan hari sejak sampainya kepada menteri…)
Oleh sebab itu engkau melihat para anggota dewan itu baik mereka berjenggot ataupun tidak, biasanya tidak mengingkari terhadap pemerintah atau melakukan apa yang mereka namakan sebagai muhasabah terhadap pemerintah itu, kecuali melalui bingkai teks-teks UUD, dan mereka tidak merujuk saat melakukan pengingkaran terhadap pemerintah kecuali kepada UUD, dan bila kadang mereka menuturkan firman Allah atau sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya mereka itu – sebagaimana yang sudah lalu – menjadikannya di belakang mengikuti teks-teks UUD, karena UUD-lah yang memberikan kepada ayat-ayat dan hadits-hadits itu sifat keabsahan hukum, atau pengharusan atau nilai undang-undang di kalangan kaum musyrikin itu.
Dan contoh-contoh terhadap hal ini adalah sangat banyak…cukup bagi orang yang ingin yakin darinya dia mendengarkan diskusi-diskusi para anggota dewan di pertemuan-pertemuan mereka atau merujuk kepada notulen-notulen berbagai pertemuan parlemen, agar ia mendengar dengan kedua telinganya dan melihat dengan kedua matanya langsung contoh-contoh yang gamblang terhadap kekafiran mereka ini…nyata lagi jelas.
Sering kali kami mendengar ucapan banyak wakil rakyat yang berjenggot…(Sesungguhnya tindakan ini atau itu yang dilakukan pemerintah adalah menyalahi ketentuan UUD yang mana pemerintah telah bersumpah untuk menghormati dan komit terhadapnya… dan kami mengingatkan pemerintah dengan sumpahnya ini…!!).[14]
Dan begitu juga ucapan mereka: (Sesungguhnya UU atau perjanjian itu atau proyek fulan ini tidak memiliki landasan UUD dan menyelisihi ketentuan UUD…) dan hal semacam ini banyak sekali dalam ucapan mereka…dan hampir sering berulang dalam setiap pertemuan.
Mereka itu tidak memerintahkan sesuatu yang ma’ruf atau mengingkari suatu yang mungkar, atau memerintahkan yang munkar dan mengingkari yang haq kecuali lewat jalur UUD, karena UUD itu adalah dien mereka yang mereka anut dan kitab mereka yang mereka agungkan serta mereka bersumpah untuk menghormatinya sebelum memangku jabatan mereka sebagaimana dalam pasal (80) dari UUD itu sendiri. Dan bila beberapa nash syariat diutarakan oleh lisan-lisan sebagian orang-orang yang berjenggot atau anggota dewan lainnya maka sesungguhnya ia itu – sebagaimana yang telah kamu ketahui – adalah datang mengikuti UUD bukan yang diikuti!! Dan dikendalikan bukan mengendalikan!! Maka enyahlah bagi kehinaan ini dan enyahlah bagi para pengusungnya yang nista.
Dan keagungan itu milik Allah dan Rasul-Nya serta kaum mukminin yang bila mereka memerintahkan suatu yang ma’ruf atau melarang suatu yang munkar atau mengajak kepada (ajaran) Allah, maka mereka berada di atas tuntunan Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berdalil dengan dalil-dalil syar’iy yang darinya mereka mendapatkan kekuasaan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar, dan mereka komitmen dengan batasan-batasannya dan ketentuan-ketentuannya yang melimpahkan tugas hisbah kepada umat
“Yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seseorangpun selain kepada Allah” Al Ahzab: 39,
dan mereka tidak mensyaratkan kekebalan UUD atau perlindungan thaghut dalam rangka melaksanakan tugas ini, sebagaimana halnya para anggota legislatif yang musyrik itu…! Namun kaum mukminin itu justeru kafir terhadap hal itu dan berlepas diri darinya serta mereka menegakkan dakwah dan al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar seraya mengharapkan balasan dan penindasan yang menimpa mereka di sisi Allah saja, tidak pada thaghut atau UUD yang memberikan kepada orang-orangnya kekebalan palsu yang hina yang saat darurat dilanggar dan dirobek oleh polisi yang berpangkat rendah, dimana dia menampar anggota dewan sampai tersungkur sebagaimana yang terjadi di banyak negeri, agar si anggota dewan itu berlindung dengan UUDnya dan berhakim kepada undang-undangnya seraya menuntut haknya yang telah dijaminkan baginya oleh UUD.
Adapun da’iyyah yang bertauhid maka dia tidak berlindung kecuali kepada pelindungnya dan penolongnya yang telah mewajibkan dia dan memberikannya kemuliaan untuk memikul dakwah ini, dan dia tidak berlindung kepada selain-Nya saat mendapat ujian seraya mentauladani orang yang telah mendahuluinya di atas jalan ini dari kalangan para Nabi, syuhada dan shalihin seraya dia mengingat bagaimana mereka digergaji dan disalib di atas kayu sampai mereka meninggal demi tingginya dien ini dan mereka tidak bergeming sama sekali dan dia tidak melupakan firman-Nya ta’ala:
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan BERSABARLAH terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah” Luqman: 17,
dan ayat-ayat yang agung lainnya. Maka dia mengorbankan jiwa dan umurnya untuk nushrah dien dan syariatnya seraya tidak mengharapkan dengan hal itu kecuali Wajah Sang Pelindungnya. Oleh sebab itu engkau melihatnya kokoh dengan dakwah ini walaupun dia dalam kondisi tertindas[15]…Allah tinggikan penyebutan namanya dengan dakwah ini dan memuliakannya di dunia dan di akhirat, karena sesungguhnya urusannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh salaf “Tidak seorangpun bela dakwah (tauhid) ini melainkan ia mendapatkan bagian dari firman Allah ta’ala:
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” Al Insyirah: 4,
Maka inilah jalan kaum muwahhidin dan (parlemen) itu adalah jalan kaum musyrikin, dan alangkah jauhnya perbedaan antara dua kelompok, dua barisan dan dua jalan itu…
Walaupun perbedaan yang sangat jauh ini (masih saja) sebagian kalangan yang buta mata hatinya dari gerombolan kelelawar kemusyrikan berupaya membaurkan ini dengan itu, dengan cara mengkaburkan al haq dengan al bathil dan tauhid dengan kemusyrikan, dimana mereka menyebut pekerjaan mereka yang telah engkau ketahui keadaannya di parlemen-parlemen ini dan mereka menamakannya secara dusta sebagai hisbah dalam rangka penyerupaan dan peniruan dari mereka bagi pekerjaan kekafiran mereka yang lalu terhadap al amru bil ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar yang syar’iy.
Dan telah nampak dan jelas bagimu dalam uraian yang lalu bahwa ini tergolong bentuk penqiyasan syirik terhadap Islam, dan ini sejenis dengan penamaan mereka terhadap demokrasi sebagai syura dalam rangka melegalkannya, sehingga mereka dengan sikapnya itu adalah lebih buruk dari orang-orang yang meminum khamr dan menamakannya dengan nama lain sebagai bentuk penipuan dan pengkaburan.
Dan tidak ragu bahwa perbedaan antara demokrasi dengan syura adalah sangat jelas, dan perselisihan antara keduanya sangat jauh seperti antara bumi dengan langit, dan antara kufur dengan Islam serta antara syirik dengan tauhid. Dan dengan kecampuradukan yang di buat-buat oleh mereka itu bukanlah tergolong kejahilan yang bisa diudzur pelakunya, karena para pencari ilmu yang junior saja mengetahui perbedaan antara demokrasi dengan syura[16] dan antara syirik dengan tauhid, akan tetapi pura-pura bodoh dan mempermainkan agama Allah, juga tadlis (manipulasi) dan talbis (pengkaburan yang di sengaja), serta pencampur adukan al haq dengan al bathil, dan sebelum ini semuanya (adalah hilang rasa malu)..sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di antara yang di dapatkan manusia dari ucapan kenabian pertama adalah: (Bila kamu tidak malu maka lakukanlah apa yang kamu sukai) !! ya, demi Allah sesungguhnya ia adalah hilangnya rasa malu, sebelum kebodohan, kesesatan, talbis dan tadlis. Karena orang yang menyelam dalam lautan kemusyrikan yang nyata dan kekafiran yang jelas yang tadi, terus dia berani menyandarkannya dan menuduhkannya kepada Nabiyyullah Yusuf saat dia menqiyaskan keikutsertaannya dalam kebatilan yang nyata ini terhadap jabatan logistik negeri (Mesir) yang di pegang oleh Nabi yang mulia putera orang yang mulia, maka orang yang berani terhadap qiyas yang rusak semacam ini demi menambali kebatilannya dan demi melegalkan kemusyrikan yang dia lakukan adalah telah menanggalkan rasa malu dari dirinya sebelum dia menelanjangi diri dari tauhid, Islam dan iman[17].
Dan sebelum saya beranjak kepada bagian lain dari pertanyaan, saya katakan: mesti saudara muwahhid telah mengetahui dari uraian yang lalu perihal tugas pembuatan undang-undang yang dilakukan parlemen bahwa tugas ini disamping keberadaannya sebagai tugas yang kafir lagi musyrik, ia (juga) dilaksanakan lewat panduan UUD dan butir-butirnya dan dikendalikan oleh jumlah mayoritas yang telah Allah ta’ala firmankan tentangnya:
“Dan tidaklah mayoritas manusia itu beriman walaupun kamu menginginkannya” Yusuf: 103
dan firman-Nya:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” Al An’am: 116.
Saya katakan, mesti saudara muwahhid telah mengetahui bahwa perealisasian sesuatu yang tidak diinginkan si thaghut lewat jalur parlemen-parlemen ini – baik yang diinginkan itu Islam atau kekafiran – pada hakikatnya itu adalah tidak mungkin dan tidak bisa direalisasikan karena jalan ini disamping ia itu adalah bathil secara syariat maka ia juga bathil dan tertutup secara akal…karena engkau sudah mengetahui bahwa pembuatan hukum di kalangan mereka tidak terlaksana kecuali lewat jalur UUD.
Dan usulan hukum apa saja tidak boleh menyelisihi ketentuan yang mereka tetapkan dan mereka bukukan dalam dasar-dasar mereka, undang-undang mereka dan tata tertib mereka.
Dan juga ia tahu harus disetujui oleh suara mayoritas, kemudian bila proyek rancangan itu berhasil menembus dewan kehormatan, dan meraih suara mayoritas mereka – dan ini jarang sekali bila tidak diridlai thaghut – maka mustahil ia melewati dewan kehormatan, karena sungguh engkau sudah mengetahui bahwa para anggota dewan kehormatan itu adalah orang-orang yang ditunjuk dan dipilih thaghut itu sendiri, dan bahwa mereka itu termasuk kroni-kroninya dan budak-budaknya yang setia.
Kemudian setelah ini semuanya, undang-undang itu tidak tuntas kecuali dengan pengesahan raja, dan suatu yang tidak disahkan dia maka mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebagaimana yang telah engkau ketahui bahwa parlemen itu dari awal sampai akhir seluruhnya berada di tangan thaghut, dialah yang membukanya, membubarkannya, dan menggugurkannya dengan satu goresan pena. Semua itu telah jelas dan nampak di hadapanmu dari UU mereka sendiri. Jadi jalan ini di samping ia itu jalan yang syirik lagi kafir, ia – sebagai jalan untuk merubah – adalah jalan yang tidak menyampaikan kepada tujuan bahkan ia adalah jalan yang buntu yang tertutup lagi terkunci. Ini berkaitan dengan perubahan dari akar yang diimpikan oleh sebagian orang-orang dungu lewat jalan parlemen-parlemen ini.
Dan ia juga tepat sekali terhadap perubahan parsial, dimana tidak mungkin merealisasikan apa saja kecuali bila thaghut menyukai dan meridlainya…!!
Dan begitu juga keadaannya perihal apa yang mereka sebut sebagai muhasabah (hisbah), sungguh engkau telah mengetahui bahwa ia tidak dijalankan kecuali menurut panduan UUD.
Dan bila kamu ingin menambah kejelasan di dalamnya, maka silahkan rujuk kitab “Ahkam Ad Dustur Wal Ijraa-at Al Barlamaniyyah Fit Tathbiq” dalam bahasan “Istijwaabaat”, dan lihat syarat-syarat yang ada dalam UU yang mengendalikan dan membatasi hal itu, yang diantaranya:
- Interpelasi itu tidak menyalahi ketentuan UUD
- Dewan berhak menjauhkan interpelasi yang tidak sejalan dengan kepentingan umum
Dan syarat-syarat lainnya yang disebutkan oleh penulis kitab itu dan ia menuturkan contoh-contoh terhadapnya dalil-dalil dari UU mereka dan tata tertib intern dewan-dewan mereka, serta yang lainnya, dan ia adalah syarat-syarat yang menjadikan interpelasi-interpelasi itu tidak berarti bahkan sia-sia.
Pada uraian yang lalu saya telah panjang lebar untuk memperkenalkan dan membuka pandangan orang yang mencari al haq terhadap keadaan jalan yang syirik yang hina lagi tertutup ini. Agar di atasnya ia mudah membantah dan membongkar syubhat-syubhat para pendebat yang membela-belanya lagi melegalkan masuk di dalamnya.
Bila telah jelas apa yang diuraikan tadi, dan engkau telah mengetahui hakikat parlemen-parlemen kafir ini dan hakikat tugasnya serta tata cara para arbab itu dalam menjalankannya, dan engkau telah mengetahui hukum Allah tentang tugas ini, yaitu bahwa ia adalah kemusyrikan yang nyata dan kekafiran yang jelas yang menggugurkan tauhid, karena ia dibangun di atas sikap berhakim kepada thaghut yang padahal Allah telah memerintahkan kita untuk kafir kepadanya dan menjauhinya sebelum ada perintah yang lain, dan dikarenakan penyandaran hukum itu adalah ibadah yang mana wajib mentauhidkan Allah dengannya, dan barang siapa menyandarkannya kepada selain hukum Allah ta’ala atau memalingkan kepada selain-Nya subhanahu wa ta’ala maka ia itu telah menjadikan selain-Nya itu sebagai rabb (tuhan pengatur) yang ia sekutukan bersama Allah subhanahu wa ta’ala dalam pembuatan hukum.
Bila engkau telah mengetahui ini semuanya, maka mudah atasmu setelah ini semuanya mengetahui hukum ikut serta di dalamnya, baik itu pencalonan diri, maupun pemberian suara.
Hakikat orang yang mencalonkan diri di dalamnya adalah ia itu thaghut yang berupaya mensyarikati Allah ta’ala dalam pembuatan hukum. Dan inilah tugas utama dan pokok yang mana ia berupaya keras untuk mendapatkannya dalam pemilu: yaitu pembuatan hukum yang mutlak lewat panduan UUD. Jadi ia dengan makna lain adalah meminta dari rakyat agar mereka menyerahkan kepadanya sulthah tasyri’ (kekuasaan pembuatan hukum/UU) dan memalingkan kepadanya ibadah ini, terus mereka memilihnya agar ia membuatkan hukum bagi mereka menurut ketentuan UUD.
Dan inilah yang dilakukan setiap thaghut bersama kaumnya, dan ini juga yang biasa dilakukan para dukun, ulama (suu), dan para rahib, dan apakah Fir’aun saat mengatakan
“Akulah tuhan kalian yang tertinggi” An Nazi’at: 24
menginginkan lebih dari ini?…Sesungguhnya dia tidak mengaku dialah sang pencipta. Karena di sana banyak yang dilahirkan sebelum dia, dan mereka itu ada lagi diciptakan sebelum Fir’aun dilahirkan. Dan ini adalah kebenaran yang tidak diragukan oleh Fir’aun dan orang selain dia, akan tetapi yang diinginkannya hanyalah ketaatan dan penerimaan yang total serta disandarkan kepadanya hukum dan kewenangan pembuatannya secara total, dimana dia memerintahkan dan melarang serta mengharamkan dan menghalalkan menurut hawa nafsunya dan ajarannya yang bathil, oleh sebab itu para ulama mendefinisikan thaghut dengan ucapan mereka: (Ia adalah setiap yang dilampaui batasnya oleh si hamba baik itu yang diibadati maupun yang diikuti ataupun yang ditaati, sehingga thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka berhakim kepadanya selain Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Sedangkan sudah diketahui bahwa vonis bagi thaghut dalam ajaran Allah adalah kafir seperti kekafiran Fir’aun, ‘Amr ibnu Luhay Al Khuza’iy[18][19], Ka’ab ibnu Asyraf, ulama yahudi dan nasrani serta para pendeta mereka juga dukun-dukun yang manusia di zaman jahiliyah berhukum kepada mereka, serta para pembuat hukum lainnya.
Dan barangsiapa di antara manusia bersepakat bersama mereka, dimana dia memilih mereka dalam rangka pembuatan hukum ini, maka status dia adalah sama dengan orang yang bersepakat bersama para alim ulama dan para pendeta terhadap hukum buatan mereka yang telah Allah ta’ala firmankan:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih Putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” At Taubah: 31.
Dan telah lalu tafsir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap peribadatan mereka kepada alim ulama dan para rahib itu, yaitu bahwa ia adalah ketaatan mereka dalam hukum/UU, dan darinya engkau mengetahui bahwa urusannya sangatlah berbahaya.
Berapa banyak orang yang telah binasa dan telah terjatuh dalam kemusyrikan yang nyata ini…! Sebagai kebenaran pembuktian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (Dan di antara suatu yang saya khawatirkan terhadap umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan, dan kabilah-kabilah dari umatku akan menyembah berhala, dan kabilah-kabilah dari umatku akan bergabung dengan kaum musyrikin).[20] Barang siapa memilih dan mengikuti pemimpin dari para pemimpin yang menyesatkan lagi membuat hukum itu seraya melimpahkan hak pembuatan hukum kepadanya, maka sesungguhnya dia itu pada hakikatnya memilih (mengangkat) rabb (tuhan) agar dia membuatkan hukum/UU baginya sesuai ketentuan UUD, yang mana ia menserikatkan tuhan pilihanya itu bersama Allah ta’ala dalam ibadah, sedangkan Allah ta’ala telah berfirman seraya mengingkari terhadap kaum musyrikin:
“Apakah tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu lebih baik, ataukah Tuhan Yang Esa lagi Maha Perkasa” Yusuf: 40.
dan Dia ‘Azza wa jalla berfirman:
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang mensyariatkan bagi mereka dari ajaran ini apa yang tidak Allah izinkan” Asy Syura: 21.
Inilah hakikat ibadah yang dipalingkan mayoritas manusia kepada selain Allah di zaman ini, dan inilah syirik masa kini yang telah merata dan menyebar, serta tidak selamat darinya kecuali orang yang telah Allah lindungi.
Sesungguhnya ia adalah agama kafir model baru yang disebut oleh sebagian du’at masa kini sebagai: Hakimiyah al jamahir (kekuasaan mayoritas) atau tasyri’ Asy syu’ub (hukum rakyat), dan memang pantas dinamakan seperti itu. Dan kalangan musyrikin dari kaum abdi hukum ini telah menegaskan dalam UUD mereka bahwa (rakyat adalah sumber kekuasaan seluruhnya) dan yang diantaranya sulthah tasyri’iyyah (kekuasaan pembuatan hukum). Mereka telah mengambil dan memilih demokrasi (yaitu hukum rakyat) sebagai dien (ajaran/sistem) atau manhaj (pegangan) bagi kehidupan mereka. Dan tatkala susah terhadap mereka penerapan hal itu secara langsung lewat praktik apa yang disebut dengan demokrasi langsung, maka mereka bermufakat dan bersepakat terhadap demokrasi non langsung, sebagai ganti dari pelaksanaan pembuatan hukum oleh rakyat secara langsung karena keberadaan mereka yang berpencar-pencar dan berjumlah banyak, sehingga mereka menggantinya dengan demokrasi perwakilan (non langsung) dengan cara rakyat memilih orang yang mewakili mereka dalam pembuatan hukum.
Dan inilah makna pasal (25) yang melimpahkan sulthah tasyri’iyyah kepada MPR dan raja, karena MPR ini tidak lain adalah wakil-wakil rakyat dan utusan-utusannya yang dipilih rakyat agar mewakili mereka dalam menjalankan sulthah tasyri’iyyah, dan inilah hakikat pemilu yang mana pemerintah menyesatkan manusia dengannya, sehingga mereka bersaing kepadanya secara berbondong-bondong.
Barangsiapa melakukan hal itu dan dia masuk dalam dien (agama/ajaran/sistem) baru pemerintah. Pemerintah ini, dia bermufakat dan berkumpul bersama mereka serta bersepakat[21] untuk menjadikan hak pembuatan hukum itu di tangan rakyat bukan di tangan Allah!! Atau di tangan rakyat bersama Allah..!! maka dia itu telah masuk di dalam kemusyrikan masa kini dan telah mencari agama selain Allah.
Ini dari sisi pensifatan syar’iy bagi perbuatan ini atau hukum yang umum terhadap perbuatan ini, akan tetapi saat ta’yin (takfir mu’ayyan) atau penerapan hukum (vonis) terhadap orang-orang tertentu maka disini ada banyak pertanyaan yang sering muncul berulang-ulang, yaitu:
Apakah dikafirkan setiap orang yang ikut serta dalam pemilu-pemilu ini, baik yang mencalonkan diri (untuk menjadi anggota legislatif) ataupun orang yang memberikan suara, serta dia tidak diudzur dengan sebab kejahilan atau mawani’ takfir lainnya, ataukah di sana ada rincian? Maka kami katakan:
Adapun orang yang menjadi Caleg (Calon legislatif), yang mewakili langsung rakyat dalam pembuatan hukum, maka telah lalu bahwa dialah thaghut dan rabb (tuhan) yang dipilih oleh orang yang memilihnya dari kalangan manusia agar mereka memalingkan ibadah tasyri’ (ibadah penyandaran hak hukum) kepadanya, supaya dia membuatkan bagi mereka dari ajaran ini apa yang tidak diizinkan Allah.
Maka dia itu bagi kami adalah musyrik lagi kafir walaupun dia tidak berhasil terpilih dan walaupun dia tidak terjun langsung membuat hukum, selagi dia telah rela dengan tugas kekafiran ini, dia berupaya mendapatkanya, dia menganut sistim syirik ini yang mangaitkan hak pembuatan hukum kepada selain Allah, dia mengajak kepadanya serta dia mengerahkan manusia dan kemampuan seraya berupaya keras untuk mendapatkan kursi di dewan[22] kemudian dia saat tidak mendapatkan kursi itu dan gagal dalam pemilunya maka sesungguhnya dia itu tidak meninggalkannya sebagai bentuk kafir terhadap sistim ini dan tidak juga sebagai bentuk keberlepasan diri dari UUD serta tidak pula sebagai bentuk sikap menjauhi thaghut atau bentuk perealisasian tauhid, akan tetapi dia telah menyesatkan orang-orang yang mengikutinya dan mendukungnya serta membantunya, dan dia telah menyemangati mereka utnuk melakukan syirik serta mengajak mereka untuk memilihmya sebagai tuhan dan pembuat hukum dan juga dia bersemangat terhadap hal itu, kemudian dia gagal dan rugi di dunia dan di akhirat, kecuali bila dia bersegera taubat dan memurnikan tauhid dengan berlepas diri dari syirik dan tandid (pengangkatan tandingan), dan tidak mengeluarkan dia dari kekafiran kecuali hal itu. Adapun panjangnya jenggot dan tidak isbal maka sesungguhnya hal ini sama sekali bukan termasuk mawani’ takfir, karena ia (panjangnya jenggot dan tidak isbal) serta segala amalan di hari kiamat akan menjadi debu yang berhamburan bila pelakunya tidak taubat dari syirik ini, karena Allah ta’ala berfirman:
“Dan seandainya mereka (para Nabi) itu melakukan syirik, tentu lenyaplah dari mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan” Al An’am: 88.
Karena mafsadat (kerusakan) syirik itu merusak dan menghancurkan setiap amalan, oleh sebab itu ia adalah mafsadat terbesar dalam kehidupan ini.
Dan oleh sebab itu kami tidak melihat satupun dari mawani’ takfir mu’tabarah (penghalang-penghalang yang dianggap dalam takfir) yang menghalangi dari pengkafiran para thaghut legislatif itu.
Karena Allah ta’ala telah menegakkan hujjah-hujjah-Nya yang kuat terhadap mahluk dalam ashlut tauhid (inti tauhid) dan dalam penghati-hatian dari syirik dan tandid, yang mana itu tidak membiarkan satu hujjahpun bagi orang musyrik.
Dimana dia menebarkan di alam ini dalil-dalil yang nyata terhadap rububiyyah dan wahdaniyyah-Nya. Dan yang menciptakan alam ini adalah Allah subhanahu wa ta’ala saja yang berhak akan semua ibadah, baik itu sujud atau shalat atau penyandaran hak hukum atau yang lainnya
“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam” Al ‘Araf: 54.
Dan tidak boleh dan tidak sah seorangpun menyertai Dia dalam pembuatan hukum, kecuali bila dia itu telah meyertainya dalam penciptaan…!! Dan bila ini adalah hal yang mustahil, maka berarti hal itu tidak boleh sama sekali.
Kemudian dia memfitrahkan manusia di atas tauhidnya sebagai mana dalam hadits (tidak seorangpun terlahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah – dan dalam satu riwayat (di atas millah ini) – maka kedua orang tuanya menjadikan dia yahudi atau nashrani atau majusi) dan dalam satu riwayat Muslim dan yang lainnya (atau menjadikan dia musyrik).[23] dan Dia menciptakan mereka sebagai orang-orang hanif yaitu berpaling dari syirik lagi syirik itu ditolak oleh fitrah mereka, sebagaimana dalam hadits qudsiy: (Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku sebagai orang-orang hanif seluruhnya…).
Dan dia telah mengambil atas mereka sebelum itu perjanjian (mitsaq) tatkala mengeluarkan mereka dari sulbi bapak mereka Adam as, dimana Dia ta’ala berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan tuhan)”, atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”. Dan demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada kebenaran” Al ‘Araf: 172-174.
Kemudian Allah ta’ala tidak mencukupkan dengan hal ini, akan tetapi Dia subhanahu wa ta’ala mengutus para Rasul untuk membawa kabar gembira, memberikan peringatan, mengingatkan terhadap mitsaq itu, mengajak kepada tauhid lagi menghati-hatikan dari syirik
“Agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu” An Nisa: 165.
Seluruh mereka diutus dengan hal pokok yang mendasar ini, sehingga ia tidak samar kecuali atas orang yang berpaling.
Dan Dia menurunkan seluruh kitab-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam rangka hal itu, dan dia menjadikan kitab-Nya yang terakhir Al qur’an, Dia subhanahu wa ta’ala melindunginya dari perubahan dan menjadikannya sebagai hujjah atas semua hamba. Barangsiapa telah sampai kepadanya Al qur’an itu maka berarti peringatan telah sampai kepadanya dan hujjah telah tegak terhadapnya. Allah ta’ala berfirman:
“Dan Al qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al qur’an (kepadanya” Al An’am: 19.
Ini mencakup umum, maka bagaimana dengan ajaran dien ini yang paling penting dan paling khusus serta pokok ajarannya yang paling agung, yaitu tauhid dan keberlepasan dari syirik dan tandid. Al qur’an ini sebagaimana yang dikatakan para ulama dari awal sampai akhir adalah bisa berupa ajakan kepada tauhid atau penghati-hatian dari yang membatalkannya yaitu syirik, dan bisa juga berupa kabar gembira bagi muwahhidin atau penghati-hatian dan ancaman bagi kaum musyrikin.
Akan tetapi mayoritas manusia berpaling dari kitab yang agung ini yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang di dalamnya terdapat keberuntungan dan keselamatan mereka.
Mereka berpaling darinya dan mereka malah berjatuhan dalam hal yang paling berbahaya yang mereka telah di hati-hatikan darinya, saat mereka berguguran dalam kemusyrikan yang merupakan kerusakan terbesar dalam kehidupan ini, terus mereka berhamburan mengerumuni sampah-sampah, rongsokan-rongsokan dan hawa nafsu orang-orang kafir yang bejat… dan mereka memilih sampah pikiran para anggota legislatif yang musyrik dengan meninggalkan ajaran yang paling suci, paling agung, paling sempurna dan paling adil dalam kehidupan ini!! Maka sikap aniaya macam apa dan pengingkaran model apa serta kezaliman macam apa terhadap manusia dan jiwa yang lebih dahsyat dari ini…?? Oleh sebab itu para ulama muhaqqiqin menetapkan bahwa orang yang bodoh tidak diudzur dalam pengguguran inti tauhid dan pelanggaran syirik akbar dengan cara menjadikan tuhan-tuhan dan para pembuat hukum disamping Allah rabbul ‘alamin.
Maka bagaimana dengan orang yang mengaku bagi dirinya sesuatu dari sifat-sifat ketuhanan, dimana dia memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum/UU yang menggulirkan kepada masyrakat dari hukum ini apa yang tidak Allah izinkan??
Maka kejahilan macam apa yang boleh disebutkan disini padahal hujjah-hujjah sudah jelas dan peringatan sudah sampai, kecuali jahlul iradl (kebodohan karena keberpalingan) yang mana Allah telah mencap kaum musyrikin dengan cap itu???
Dia ta’ala berfirman:
“Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang bodoh?” dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mepersekutukan (tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” Az Zumar: 64-65.
Dan kami telah mengupas masalah ini secara panjang lebar di tempat lain.
Dan begitu juga permasalahannya dengan takwil…maka takwil macam apa yang boleh dalam pengklaiman uluhiyyah atau sebagian sifat-sifat-Nya…? Atau dalam menjadikan tuhan pengatur atau pembuat hukum selain Allah…? Atau dalam pencarian ajaran (hukum) dan pegangan selain syariat Allah…? Dan sungguh para ulamapun telah menegaskan bahwa klaim takwil tidak diterima dalam kekafiran yang nyata.[24] dan apakah kemusyrikan kaum musyrikin sepanjang masa kosong dari takwil yang rusak?? Dan apakah kantong Fir’aun kosong dari takwil seperti takwil-takwil yang rusak orang-orang itu…? Bila orang-orang masa kini diudzur dengan sebab takwil…!!maka kenapa orang-orang terdahulu tidak diudzur??
“Apakah orang-orang kafirmu (hai kaum musyrikin) lebih baik dari mereka itu, atau apakah kamu telah mempunyai jaminan kebebasan (dari azab) dalam kitab-kitab yang dahulu” Al Qamar: 43.
Dan ringkasnya disini: Bahwa kami tidak melihat satupun penghalang (yang menghalangi) dari pengkafiran orang mengklaim uluhiyyah atau salah satu sifatnya atau menampakkan syirik akbar, kecuali bila sesuatu dari hal itu muncul oleh sebab intifaaul qashdi (tidak adanya maksud) atau dipaksa (ikrah)…
Adapun intifaaul qashdi: Maka ia adalah ia memaksudkan kebenaran atau hal ma”ruf atau kebaikan atau hal yang mubah dengan ucapan atau perbuatannya itu, akan tetapi dia keliru (mengucapan atau melakukan) tanpa ada maksud darinya atau kesengajaan, sebagaimana dalam hadits laki-laki yang kehilangan unta tunggangannya yang di atasnya ada bekalnya dan air minumnya, terus ia putus asa dari bisa selamat dan ia yakin akan mati… kemudian tatkala Allah mengembalikan unta itu kepadanya, ia berkata: “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu”. Ia salah berucap karena saking bahagia.
Dan sangat jauh perbedaan antara orang ini yang ingin memuji Allah, bersyukur kepada-Nya serta menyanjung-Nya terus lidahnya keliru berucap sehingga keluar darinya apa yang tidak dia inginkan atau tidak dia maksudkan karena saking bahagia, dengan apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh kaum musyrikin, mereka sengaja, mereka bersungguh-sungguh di dalamnya dan mereka berlomba-lomba, atas dasar maksud dan keinginan yang kuat, berupa pembuatan hukum, kemusyrikan yang nyata lagi jelas dan pencarian ajaran dan hukum selain ajaran dan hukum Allah…!!
Orang yang keliru yang diudzur adalah orang yang mencabut diri dari kekeliruannya langsung saat dia teringat, dia istighfar dan menarik diri. Adapun kaum musyrikin itu maka mereka itu bersengaja lagi bermaksud untuk membuat hukum menurut ketentuan UUD, lagi bersikukuh terhadap kemusyrikan yang nyata yang lalu, lagi menetap di atas penyimpangan mereka siang-malam, lagi mereka bangga dengannya dan tidak menyesal atau menganggap keliru diri mereka selamanya, sehingga mereka itu berenang di dalam kesesatannya.
Begitu juga ikrah (paksaan), maka sesungguhnya penuturannya disini adalah termasuk hal yang menggelikan, jadi ia secara meyakinkan adalah tidak ada pada para anggota legislatif itu. Dan siapa yang memaksa mereka untuk mewakili rakyat dalam tugas kekafiran ini, bahkan realita yang bisa disaksikan yang diketahui oleh anak kecil, orang dewasa, orang jahil dan orang alim adalah bahwa mereka berlomba-lomba dan bersaing terhadap jabatan syirik ini, dan mereka mati-matian dalam rangka meraih dan mendapatkannya dimana mereka mengerahkan potensi-potensi dan harta-harta mereka, dan mereka mengerahkan segala kemampuannya, mereka menggerakkan anshar mereka, partai-partai mereka dan syaitan-syaitan manusia dan jin mereka. Mereka membagi-bagikan makanan, menyembelih banyak hewan, mengorbankan tauhid dan memuliakan tandid (syririk)… Semua itu dalam rangka bisa meraih satu kursi dari kursi-kursi syirik legislatife itu…maka ikrah macam apa ini…??!
Adapun orang yang memilih (pemberi suara), maka sungguh engkau telah mengetahui, bahwa hakikat apa yang dia lakukan saat dia mengikuti ajaran syirik (demokrasi) ini adalah bahwa dia memilih musyarri/pembuat hukum (rabb/tuhan) dari kalangan arbab yang beraneka ragam itu!! Supaya mengaitkan kewenangan pembuatan hukum kepadanya serta mewakili dia dalam tugas syirik ini.
Kemudian bisa jadi dia itu menginginkan tugas ini dan menganutnya serta memandangnya sebagai hak dia yang dijamin oleh UUD saat dia menyandarkan kekuasaan legislatif kepada rakyat yang terjelma lewat wakil-wakilnya, maka orang ini tidak ada perbedaan antara dia dengan anggota dewan legislatif, kecuali bahwa si anggota dewan itu langsung terjun membuat hukum kafir, sedangkan orang ini telah mewakilkannya kepada orang tadi, dan sedangkan status hukum penopang yang di belakang dan yang mewakilkan itu adalah sama dengan orang yang terjun langsung. Sehingga hakikatnya adalah bahwa dia itu pembuat hukum yang ikut serta dalam pembuatan hukum dengan jalan mewakilkan.
Atau bisa jadi dia tidak seperti itu, dia tidak menginginkan kewenangan pembuatan hukum ini dan dia memandang bahwa dirinya tidak level untuk itu, sehingga menyerahkannya kepada orang-orang yang dia percayai dari kalangan para Doktor, ulama dan para ahli yang paham – menurut dia – dan orang-orang yang dia anggap pantas untuk itu, serta dia memandang dirinya mengikuti mereka saja tidak menyertainya dalam pembuatan hukum, maka dia itu menjadikan mereka dan memilih mereka sebagai arbab yang membuat hukum seraya dia menyandarkan kepada mereka hak mutlak pembuatan hukum dan dia bermufakat bersama mereka terhadapnya serta menganutnya, sehingga dia itu musyrik dalam ibadah… sebagaimana telah lalu[25] bahwa status hukum orang ini adalah sama seperti status hukum orang-orang yang mentaati dan mengikuti kaum musyrikin dalam penyamaan antara bangkai dengan sembelihan… Allah ta’ala berfirman:
“Dan bila kamu menuruti mereka maka kamu sesungguhnya benar-benar sebagai orang-orang musyrik” Al An’am: 121,
sedangkan ini sebagaimana yang telah lalu adalah dalam masalah pembuatan satu hukum saja, maka bagaimana dengan orang yang menyandarkan kepada mereka kekuasaan pembuatan hukum secara mutlak…? Atau mewakilkan kepada mereka dalam hal pembuatan hukum seluruhnya dan menyerahkan kepada mereka secara sepenuhnya??. Dan dia itu seperti orang-orang yang mentaati para ulama atau para rahib dalam pembuatan hukum, yang telah Allah firmankan berkenaan dengan mereka
“mereka menjadikan alim ulama mereka dan para rahibnya sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan juga mereka mempertuhankan Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” At Taubah: 31
maka Allah ta’ala telah memvonis mereka sebagai musyrikin, dan takwil apapun tidak manfaat bersama syirik akbar, karena takwil macam apa yang membolehkan pengangkatan tuhan selain Allah…? Sebagaimana pelaku hal itu tidak diudzur dengan sebab kejahilan. Dan sungguh telah lau bahwa Allah telah menegakkan hujjah-hujjah-Nya yang kuat atas semua hamba-Nya dalam masalah (tauhid) ini dimana Dia fitrahkan mereka di atas hanifiyyah (tauhid yang murni) yaitu cenderung dan jauh dari syirik, dan Dia utus kepada mereka para Rasul seluruhnya yang mengingatkan mereka dengan hal itu dan mengajak mereka kepada tauhid serta menghati-hatikan mereka dari syirik dan tandid, akan tetapi mayoritas manusia tetap enggan kecuali berjatuhan di dalamnya…
Dan dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dari Allah ta’ala bahwa Dia berfirman: “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku sebagai hunafa seluruhnya, dan sesungguhnya mereka didatangi oleh syaitan-syaitan, terus syaitan-syaitan itu menarik mereka dari agamanya dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka, dan syaitan-syaitan itu memerintahkan untuk menyekutukan dengan-Ku suatu yang Aku tidak turunkan dalilpun tentangnya” dan inilah realita mayoritas manusia hari ini… Allah ta’ala fitrahkan mereka dalam keadaan hanif dan Dia bimbing mereka kepada tauhid, terus Dia utus seluruh Rasul-rasul-Nya untuk mengajak manusia kepada tauhid. Dan Dia turunkan seluruh kitab-kitab-Nya untuk memerintahkan mereka agar memegang tauhid dan menghati-hatikan mereka dari apa yang membatalkannya berupa syirik dan tandid, terus datanglah kepada mereka syaitan-syaitan jin dan manusia dari kalangan para pendeta, dukun, wakil-wakil rakyat (anggota legislatif) dan para thaghut dimana mereka menghiasi dan memperindah kemusyrikan itu dihadapan manusia serta menamainya dengan nama-nama yang modern seperti demokrasi atau kebebasan atau undang-undang modern!! Dimana mereka menggulirkan hukum yang Allah tidak izinkan dan mereka memerintahkan manusia agar menyekutukan Allah, kemudian manusiapun mengikuti mereka di atas hal itu dan mentaatinya…sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits ‘Adiy ibnu Hatim yang lalu bahwa kebodohan orang-orang yang mengikuti lagi bersepakat bersama para alim ulama dan para rahib atau para (wakil rakyat) itu, terhadap keberadaan bahwa taat dalam hukum buatan adalah ibadah, adalah bukan udzur bagi mereka. Dan ini sangat nampak dari ucapan ‘Adiy (mereka tidak mengibadatinya…!!!) dan itu tatkala ia mendengar ayat-ayat surat At Taubah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepadanya bahwa sekedar ketaatan mereka kepada para pembuat hukum dalam hukum buatannya adalah ibadah dan syirik, dan ia adalah hakikat rububiyyah mereka terhadapnya walaupun mereka tidak shalat dan sujud kepadanya…
Oleh sebab itu kami katakan bahwa orang yang bermufakat dan bersepakat serta berkompromi dengan para anggota dewan itu atau dengan pemerintah-pemerintah ini terhadap agama baru yang kafir ini (demokrasi) yang menyandarkan kewenangan pembuatan hukum/UU kepada selain Allah dan menjadikannya menurut panduan UUD dan ketentuan perundang-undangan mereka, maka dia itu telah menjadikan mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan dia telah mencari agama selain Islam.
Dan inilah hakikat apa yang mereka lakukan dalam pemilu, karena sesungguhnya mereka di dalamnya menganut dien (sistim) demokrasi yang menjadikan kewenangan pembuatan hukum dan kekuasaan di tangan rakyat bukan di tangan Allah… dimana mereka memilih rabb (tuhan) yang akan menjadi wakil mereka atau yang akan mereka limpahkan kepadanya kekuasaan mutlak pembuatan hukum menurut ketentuan UUD. Maka barangsiapa yang melakukan hal itu maka dia telah berlepas diri dari millah dan tauhid walau dia shalat, shaum, dan mengklaim bahwa dia muslim… dan setiap orang adalah bertanggung jawab atas dirinya sendiri…
Barangsiapa mengamati keadaan manusia hari ini, dan bagaimana mereka berhamburan menuju kemusyrikan yang nyata ini secara sendiri-sendiri dan berbondong-bondong, maka dia akan mengetahui sebab keterpurukan umat dan lenyapnya kejayaan mereka serta penguasaan musuh-musuh terhadapnya, karena sesungguhnya dosa syirik adalah dosa terbesar yang dengannya Allah dimaksiati, sebagaimana dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Dosa apa yang terbesar? Maka beliau menjawab: “Kamu menjadikan bagi Allah suatu tandingan sedangkan Dialah yang menciptakanmu”.
Dan darinya maka saudara muwahhid mengetahui karunia Allah ta’ala terhadapnya dimana Dia telah membimbingnya kepada tauhid dan memberikan karunia terhadapnya dimana Dia telah menyelamatkannya dari syirik dan tandid…
Maka hati-hatilah dari tafrith (teledor) terhadap tauhid yang agung ini, karena ini adalah modal utama sedangkan tafrith terhadapnya adalah kerugian yang nyata. Maka keheranan itu bukanlah dari orang yang binasa bagaimana dia binasa namun keheranan itu adalah dari orang yang selamat bagaimana dia bisa selamat…!!
Dan setelah itu hendaklah saudara muwahhid segera memberi peringatan setiap orang yang dia ketahui dan menghati-hatikan mereka dari syirik ini untuk menyelamatkan mereka dari kerugian yang nyata yang telah menimpa mereka dengan sebab mereka mengikuti pemerintah-pemerintah ini di atas dien (sistim/hukum/ideologi)nya yang kafir itu, baik mereka merasa ataupun tidak…
Akan tetapi wajib diperhatikan disini bahwa kami meskipun telah menghati-hatikan dari kemusyrikan yang besar yang telah melanda dan merata itu dan juga telah menjelaskan kekafiran orang yang bermufakat dan bersepakat bersama pemerintah-pemerintah ini terhadapnya, namun sesungguhnya kami tidaklah mengkafirkan orang yang tidak memiliki keinginan atau orang yang dipaksa untuk ikut serta dalam pemberian suara ini bila memang ada…
Dan begitu juga kami tidak mengkafirkan orang yang terkecoh dengannya terus dia ikut serta dalam pemberian suara dengan dugaan darinya bahwa ia adalah lembaga-lembaga yang tugasnya adalah memberikan pelayanan bagi manusia, sebagaimana ia ada dalam dugaan banyak orang awam yang memilih karib kerabat mereka atau orang-orang yang mereka kenal dalam rangka hal itu…
Dan di sini kami tidak mengudzur dengan sebab kejahilan dalam syirik akbar namun karena sebab kejahilan terhadap hakikat majelis ini. Oleh sebab itu maka masalah ini bagi kami adalah tergolong bab (khatha/keliru) atau intifaaul qashdi (tidak adanya maksud) sebagaimana dalam firman-Nya:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” Al Baqarah: 286
terus Allah berfirman dalam hadits qudsiy “Ya” atau “telah aku lakukan”. Dan gambarannya adalah bahwa orang awam atau orang jahil bila mengetahui hakikat majelis-majelis ini sesuai keterangan yang lalu yaitu bahwa ia adalah lembaga-lembaga pembuatan hukum, dan ia bersepakat bersama para pengusungnya terhadap sistim kafirnya diamana dia mengakui bahwa mereka itu memiliki hak mutlak dalam pembuatan hukum atau dia memmilih mereka sebagai para pembuat hukum sesuai panduan UUD, maka dia itu adalah musyrik bagi kami, walaupun tidak mengetahui bahwa taat dalam pembuatan hukum itu adalah kekafiran, karena kami tidak mengudzur dia dengan sebab kejahilan dalam masalah ini. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengudzur orang-orang yang disebutkan dalam ayat 31 surat At Taubah, sebagaimana dalam hadits ‘Adiy tatkala samar terhadap mereka bahwa taat dalam pembuatan hukum adalah ibadah, akan tetapi banyak orang awam, baik mereka itu kakek-kakek tua ataupun nenek-nenek jompo maupun yang lainnya, tidaklah mengetahui hakikat dewan-dewan legislatif yang kafir ini dan mereka tidak memilih atau ikut serta dalam pemilu di dalamnya sebagai bentuk memilih para tuhan pembuat hukum, akan tetapi mereka melakukan hal itu dalam rangka memilih orang yang mewakili mereka dalam menyelesaikan kesulitan mereka dan dalam melayani mereka atau melayani daerah mereka.
Ini adalah maksud dan tujuan banyak orang di antara mereka dan begitulah mereka membayangkan permainan itu dan mempraktekannya, sehingga barangsiapa memiliki inti tauhid diantara mereka dan dia itu kafir kepada thaghut dan ajarannya terus dia ikut memberikan suara dalam pemilu atas dugaan dan maksud ini, maka kami katakan: Bahwa zahir amalannya adalah kekafiran karena kami tidak mengetahui apa yang ia maksud kecuali bila ia menyatakannya, sebagaimana orang yang mengatakan: {(Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu)} zahir ucapannya bagi kami adalah kekafiran selagi kita tidak mengetahui bahwa ia keliru mengucap lagi tidak memaksudkan hal itu…dan kami katakan bahwa mereka itu telah melakukan perbuatan dari perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan dengan sebab keikutsertaan mereka secara zahir dalam permainan demokrasi yang menjadikan kekuasaan hukum di tangan mayoritas rakyat bukan di tangan Allah, akan tetapi karena keadaan-keadaan manusia terdapat kesamaran tersebut maka kami tidak langsung mengkafirkan individu-individu orang awam itu secara ta’yin sampai kami mengetahui bahwa orang muayyan dari mereka itu memaksudkan memilih para pembuat hukum dan bahwa ia mengetahui hakikat apa yang ia pilih, dan bila tidak demikian maka ia tidak dikafirkan sampai dijelaskan kepadanya hakikat lembaga-lembaga legislatif itu, kemudian bila dia bersikukuh setelah itu maka kami tidak merasa segan dari mengkafirkan dia secara ta’yin. Dan begitu juga orang yang mengatakan {(Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu)}, kami katakan kepadanya: kamu sudah mengucapkan kalimat kekafiran…, kemudian bila dia rujuk dan istighfar dan berkata: Saya salah ucap dan saya bermaksud memuji dan menyanjung Allah serta saya tidak memaksudkan apa yang lidah saya terpeleset kepada-Nya”, maka kami tidak mengkafirkannya. Namun bila dia bersikukuh dan tidak mencabut diri serta tidak istighfar maka kami kafirkan dia, dan ucapannya ini sama dengan ucapan Fir’aun {(Akulah tuhan kalian yang paling tinggi)}. Berbeda halnya dengan orang yang memaksudkan penyandaran kekuasaan pembuatan hukum kepada dirinya atau kepada orang lain, dia menyengaja hal itu serta berupaya kepadanya maka sesungguhnya dia langsung dikafirkan, karena dia menyengaja kepada perbuatan kekafiran lagi bermaksud memilihnya serta tidak keliru.
Dan intifaaul qashdi ini bisa terjadi pada banyak orang-orang yang bodoh lagi awam yang ditipu oleh sebagian dewan anggota legislatif yang berjenggot!! Saat mereka mengkaburkan al haq dengan al bathil dimana mereka menyerukan penegakkan syariat Allah dan bahwa ini adalah tujuan mereka dari masuk parlemen, dan mereka menulis dalam spanduk-spanduk kampanye mereka slogan-slogan yang penuh kamuflase dan ungkapan-ungkapan yang indah lagi menipu seperti (Islam adalah solusi) dan ungkapan lainnya yang menipu banyak orang awam. Sehingga orang yang sudah lanjut usia atau awam yang dibawa ke (TPS) dan ditipu serta diberi bayangan atau pemahaman bahwa sikap memilih atau mencoblos orang-orang yang berjenggot itu akan menegakkan syariat Allah sedang dia tidak mengetahui hakikat tugas legislatif mereka yang kafir dan tidak (mengetahui pula) hakikat parlemen yang merupakan dewan pembuatan hukum serta dia tidak hadir untuk ikut serta memilih atas dasar bahwa kekuasaan dan kewenangan hukum itu di tangan rakyat sebagaimana yang telah ditegaskan oleh UUD, akan tetapi yang ada dalam bayangannya hanyalah bahwa ia adalah pemilihan orang yang akan memerintah dengan hukum Islam sesuai cara yang diridlai Allah, maka orang-orang awam semacam ini adalah orang-orang bodoh yang sesat yang telah dijerumuskan atau terjerumus dalam perbuatan kekafiran, akan tetapi kita tidak langsung mengkafirkan person-person mereka sampai kita memberitahu mereka perihal hakikat dewan-dewan legislatif ini dan hakikat tugas yang dilakukan oleh wakil-wakil mereka serta hakikat permainan yang mereka digiring kepadanya. Kemudian bila mereka telah mengetahuinya dan tetap bersikukuh untuk ikut sertadalam sistem kafir ini dan sepakat diatasnya serta memilih para pembuat hukum itu, maka kami tidak merasa berat dari mengkafirkan mereka.
Jadi harus mengetahui rincian ini dan bahwa udzur yang dengannya kami mengudzur (orang) disini atau (bahwa) penghalang yang menghalangi dari penerapan vonis kafir terhadap orang mu’ayyan ini adalah intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud), yaitu seseorang menginginkan atau memaksudkan suatu yang mubah atau sekalipun suatu yang diharamkan, terus dia terjatuh pada kekafiran atau kemusyrikan tanpa ia maksud atau ia inginkan atau ia pilih. Jadi kekeliruan yang asalnya kejahilan akan hakikat dewan-dewan ini adalah penghalang (takfir) itu bagi kami, bukan kejahilan bahwa taat dalam hukum adalah kekafiran dan syirik akbar, yang disertai maksud memilih pembuat hukum atau taat kepadanya dalam hukum buatannya atau menyandarkan hak pembuatan hukum kepadanya, karena sungguh telah lalu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengudzur dalam hal ini.
Dan begitu juga wajib diperhatikan bahwa mentaati para pembuat hukum itu merupakan kekafiran walaupun dalam satu masalah bila ketaatan itu terjadi dalam penyandaran kewenangan dalam pembuatan hukum dan kekafiran. Adapun orang yang mentaati para pembuatan hukum itu dalam hal mubah atau maksiat maka sesungguhnya ia tidak kafir.
Dan penjelasan hal itu adalah: Bila seseorang disuruh oleh anggota legislatif atau wakil rakyat atau hakim atau thaghut untuk meminum khamr umpamanya atau untuk memakan bangkai atau riba atau untuk melakukan zina, maka bila ia dipaksa terhadap sesuatu dari hal itu maka tidak ada dosa atasnya dengan kesepakatan para ulama, akan tetapi bila tidak dipaksa namun ia melakukan sesuatu dari hal itu karena takut atau mudahanah (basa-basi) maka dia itu berdosa lagi maksiat.
Akan tetapi bila si hakim atau anggota legislatif atau yang lainnya itu membuat hukum atau undang-undang yang didalamnya ia melegalkan jual beli khamr atau meminumnya atau memekan bangkai atau riba atau dia menyatakan dalam hukumnya bahwa bangkai itu seperti sembelihan atau (sesungguhnya jual beli itu sama seperti riba), maka mengikuti dan mentaati serta bersepakat diatas hal seperti ini adalah telah Allah voniskan di dalamnya dengan firman-Nya
“dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” Al An’am:21.
Dan tha’at (menuruti) disini adalah tidak mesti darinya ada sikap terjun langsung makan atau minum atau melaksanakan hal itu atau melakukannya, namun sekadar sepakat dan bermufakat dengan para pembuat hukum itu terhadap hukum ini serta bersekongkol, menyutujuinya dan menerimanya, adalah kekafiran dan kemusyrikan yang nyata walaupun tidak menerapkan hal itu atau melakukannya. Dan ini seperti apa yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya perihal sebab turun fiman Allah ta’ala
“Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” Al Maidah:44
dari hadits Al Bara Ibnu Azib, dan didalamnya bahwa orang-orang yahudi berkata: (Adalah dahulu kami bila orang bangsawan di antara kami berzina maka kami memberikannya, dan bila orang lemah diantara kami berzina maka kami menegakkan had terhadapnya, kemudian kami berkata: Mari kita menetapkan sesuatu (sangsi) yang kita tegakkan terhadap orang bangsawan dan orang lemah; maka kami menyepakati sangsi poles wajah dan dera) yaitu pengganti rajam.
Saya berkata: Barangsiapa bersepakat bersama mereka terhadap hukum ini maka dia telah kafir walaupun tidak berzina … sebagaimana ia jelas.
Bahkan sekedar orang mengakui atau mengkomitmeni[26] bahwa para anggota dewan atau para penguasa itu memiliki kewenangan pembuatan hukum, sebagaimana yang ditegakkan oleh UUD mereka maka ini adalah kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas.
Dan bagaimanapun keadaannya, sesungguhnya anggota legislatif atau thaghut itu tidak mengharuskan seorangpun untuk meminum khamr atau memakan riba, karena melakukan hal itu baginya adalah kebebasan individu!! meskipun dia itu melindungi pabrik-pabrik khamr dan gedung-gedung riba, memberikan kepadanya ijin serta membuatkan undang-undang untuk pembuatannya, produksinya serta penjualannya, karena sesungguhnya hal terpenting yang dia inginkan dan ia maksudkan dari manusia adalah mereka mengormati hukumnya, undang-undangnya serta UUDnya, dan mereka mengaku bahwa dia dan sekutu-sekutunya memiliki kewenangan pembuatan hukum. Dan cukuplah itu sebagai kekafiran dan kemusyrikan yang nyata.
Dan dari uraian yang lalu juga engkau mengetahui kekeliruan orang yang tergesa-gesa mengkafirkan orang yang meminta bantuan dengan bantuan-bantuan para anggota dewan atau para pembuat hukum lainnya atau para thaghut atau kaki tangn mereka, atau meminta perantaraan mereka dalam urusan-urusan dunia seperti membebaskan tawanan, membebaskan tahanan atau menghindarkan kezaliman atau upaya mengambil hak, maka kami meskipun tidak menyukai sikap berlindung kepada kaum musyrikin itu dan kami menyukai dan mengajak selalu untuk memutuskan segala hubungan dengan mereka, menampakan keberlepasan diri yang total dari mereka dan dari jabatan-jabatan kekafiran mereka dan jabatan legislatif mereka, dan kami melarang dari meminta bantuan mereka kecuali karena darurat, karena darurat itu membolehkan apa-apa yang dilarang, akan tetapi kami tidak mengkafirkan orang yang meminta bantuan mereka atau berlindung kepada mereka dalam sesuatu dari urusan-urusan dunia dengan tanpa mengakui mereka terhadap kebatilan mereka atau menjadikan mereka sebagai wakil dan bersepakat bersama mereka terhadap kemusyrikannya, atau tanpa terjatuh pada sesuatu dari kekafiran mereka.
Ini adalah yang mesti dingatkan dalam masalah-masalah ini yang telah menjadi bencana umum lagi merata. Dan saya mengetahui bahwa saya telah berbicara panjang lebar dalam sebagiannya, padahal sesungguhnya saudara penanya telah meminta kami jawaban yang ringkas untuk memudahkan penyebarannya, dan kami tidak melakukan itu kecuali karena sangat pentingnya masalah-masalah ini, dan sebagai keseriusan dari kami dalam menghati-hatikan umat dari bahaya-bahaya besar yang telah menimpa mereka ini.
Kemudian bila setelah ini semuanya seseorang mendebatmu, dan terus dia berkata kepadamu: jadi solusi gantinya apa? Maka katakan kepadanya: Solusi ganti bagi orang yang merealisasikan tauhid dan menjauhi syirik yang menghapuskan amalan lagi mengekalkan dalam neraka, adalah surga yang luasnya langit dan bumi, yang telah disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.
“Barangsiapa yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sesungguhnya ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang mempedayakan” Al Imran:185,
apakah kamu ingin solusi ganti yang lebih besar dari ini ??
Adapun dakwah dan jalan untuk mengembalikan kejayaan umat dan menegakkan syariat Allah, maka tidak bisa dengan cara-cara yang syirik lagi haram, karena apa yang ada di sisi Allah tidak bisa dicapai dengan maksiat, dan pertolongan Allah tidak bisa diraih dengan menyekutukannya. Sedangkan maslahat dan darurat terbesar dalam agama kita, dakwah kita dan dalam hukum Allah adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan-kegelapan syirik kepada cahaya tauhid……maka apakah boleh atau masuk akal kita berupaya untuk merealisasikan maslahat yang sangat penting ini dengan cara yang syirik yang menghancurkan maslahat itu dari akarnya ?? dan apakah syirik dirubah atau diingkari atau dihadang dengan syirik, atau apakah najis disucikan dengan najis lagi ??
Sesungguhnya tujuan terbesar dien ini adalah perealisasian tauhid dan ajakan untuk menegakkannya serta pengokohannya dimuka bumi, karena dengan tauhid-lah, para Rasul seluruhnya diutus dan untuk merealisasikannya semua Kitab-kitab Allah diturunkan…
Maka jalan satu-satunya untuk merealisasikannya hanyalah jalan para Rasul. Dan merekalah panutan di jalan ini, serta tauladan hanya ada pada diri mereka saja, Allah ta’ala berfirman:
“Itulah petunjuk Allah, yang denganya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara para hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka Kitab, Hikmah (pemahaman agama) dan Kenabian. Jika orang-orang (Quraisy) itu mengingkarinya (yang tiga macam itu), maka sesungguhnya kami akan menyerahkannya kepada kaum yang sekali-kali tidak mengingkarinya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutlah petunjuk mereka” Al An’am: 88-90.
Dan Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka; “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” Al Mumtahanah: 4.
Maka jalan dan cara satu-satunya hanyalah dengan komitmen pada Millah yang agung ini, dakwah kepada tauhid yang agung ini, membina para pemuda di atasnya serta mempersiapkan mereka untuk jihad dalam rangka merealisasikannya dan menegakannnya di muka bumi di atas manhaj Nubuwah.
Bukan dakwah!!dan muhasabah di atas dasar UUD dan hukum buatan…!!! Dan bukan jihad parlemen…dan perjuangan lewat UUD…!!serta perlawanan UU…!!!sebagaimana nama yang disandangkan oleh para penganutnya dan mereka bangga dengannya …namun dakwah rabbaniyyah yang telah Allah firmankan tentangnya…
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” Yusuf: 108,
dan jihad syar’iy yang telah disifati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia adalah puncak menara Islam… dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Akan senantiasa dari umatku akan selalu berperang di atas al haq, dan Allah menundukkan bagi mereka hati banyak kaum dan Dia karuniakan mereka rizki dari mereka sampai datang kiamat dan sampai datangnya janji Allah, dan kuda itu diikatkan kebaikan pada ubun-ubunnya sampai hari Kiamat…) sampai sabdanya: (dan pusat darul mu’minin adalah di Syam) HR: An Nasa’i.
Dan sungguh mati di dalam ketaatan kepada Allah adalah lebih baik daripada hidup di dalam maksiat kepada-Nya.
Saya memohon kepada Allah ta’ala agar Dia meneguhkan saya dan ikhwan saya di atas tauhid, dan menjadikan kami bagian dari tentara dan anshar-Nya, serta menutup kehidupan kami dengan kesyahidan di jalan-Nya. Dan segala puji bagi Allah di awal dan di akhir…
Ditulis oleh Abu Muhammad Al Maqdisiy di penjara Sawaqah
Awal Julhijjah 1417 H
Pertanyaan Ke Tiga
Apa nasehat engkau bagi para pemuda perihal apa yang disebut dengan Khidmatul ‘alam (pelayanan bendera) atau masalah tajnid ijbari (wajib militer) dan apakah engkau mengkafirkan orang yang ikut serta di dalamnya?
Dan apa pendapat engkau berkenaan dengan orang yang membolehkan hal itu dengan dalih I’dad dan pelatihan menggunakan senjata?
Dan apa ‘Illat (alasan baku) pengkafiran engkau terhadap angkatan bersenjata dan tentara pemerintah, dan apakah ‘Illat itu sekedar bekerja di bawah payung pemerintah sebagaimana yang di klaim oleh sebagian orang?
Dan apakah engkau mengkafirkan setiap orang yang mengenakan seragam tentara atau memakai lambang mereka?
Jawaban
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wa ba’du:
Kami dalam masalah takfir membedakan antara tentara thaghut yang resmi atau yang sukarela, dengan orang yang ikut serta dalam wamil (wajib militer) ini dalam rangka menghindari penyulitan, pemojokan dan penjara yang dikenakan terhadap orang yang berupaya manghindar, lari atau absen atau kabur dari wamil ini, karena sesungguhnya musuh-musuh Allah dan syariat telah mempersempit terhadap manusia dengan hal itu dalam usaha mereka dan penghidupan mereka dan dalam kondisi mukim, perjalanan dan perpindahan mereka, dan musuh-musuh Allah memperlakukan mereka dan mengharuskan mereka dengan kertas-kertas itu yang membuktikan bahwa seseorang itu telah menunaikan wajib pengabdian itu, agar mereka menggerakannya terhadap apa yang mereka inginkan serta menyeretnya untuk tunduk kepada mereka dan kepada kebatilan mereka. Oleh sebab itu sebagian orang kadang berdalih dengan ikrah (paksaan) dalam hal ini, padahal sesungguhnya syarat-syarat ikrah hakiki (paksaan yang sebenarnya) yang telah diisyaratkan para ulama untuk mengucapkan kalimat kekafiran atau menampakkannya biasanya tidak terpenuhi pada dalih yang mereka utarakan ini.
Dan sudah maklum bahwa mereka telah mensyaratkan dalam ikrah (paksaan) terhadap penampakkan kekafiran atau pembunuhan jiwa yang haram dibunuh apa yang tidak mereka syaratkan dalam maksiat-maksiat lainnya, di antaranya:
- Orang yang memaksa itu mampu merealisasikan apa yang dia ancamkan, dan orang yang dipaksanya tidak kuasa menghindar walau dengan lari.
- Kuat dugaannya bahwa bila dia menolak maka tindakan yang diancamkannya itu dijatuhkan kepadanya.
- Apa yang diancamkan kepadanya itu dilakukan saat itu juga, adapun bila dikatakan kepadanya: kalau kamu tidak melakukan hal ini maka saya akan memukul kamu besok. Maka ia tidak dianggap dipaksa kecuali bila ia berada sebagai tawanan atau tahanan dalam genggaman mereka dan ia meresa yakin bahwa mereka itu memang akan manimpakan hal itu kepadanya
- Tidak muncul darinya apa yang menunjukan kepada sikap keterusan dia, umpamanya dia melakukan hal lebih dari suatu yang dengannya bahaya bisa terhindar darinya
- Dan mereka mensyaratkan dalam ikrah terhadap pengucapan atau perlakuan kekafiran dia itu disiksa dengan siksaan yang dia tidak kuat menanggungnya, dimana mereka menuturkan ancaman dengan pembunuhan, pembakaran dengan api, pemotongan anggota badan, pemenjaraan yang selamanya serta hal-hal yang serupa itu dan ini semuanya tidak lain adalah dikarenakan amal yang menjadi sebab turun ayat ikrah tidak mengatakan apa yang ia katakan kecuali setelah melihat langsung pembunuhan ibu dan ayahnya, dan ia merasakan berbagai penyiksaan serta tulang-tulang rusuknya patah maka ini semuanya bila dibandingkan dengan orang yang ikut serta dalam wamil ini secara sukarela, dimana dia pergi dengan waktu-waktu yang telah dijadwal dan pulang ke rumahnya dengan waktu-waktu yang teratur, sehingga kesempatan unutk kabur itu sangat mudah kapan saja karena dia bukan sebagai tawanan atau tahanan, bahkan dia itu lebih dekat kepada status orang yang diupah…dan saya tidak mengetahui persis keadaan wamil-wamil ini di negeri ini secara terperinci, akan tetapi saya mengetahui bahwa keadaan negara-negara dalam masalah ini sangatlah serupa[27], dan saya telah melihat mereka di sebagian negara menikamti saran-sarana istirahat dan rekreasi, dan sangsi bagi absen atau melarikan diri sama sekali tidak sampai kepada pemenjaraan yang lama, apalagi kalau sampai kepada sangsi pembunuhan.
Bila keadaannya disini seperti itu maka tidak halal bagi siapapun menghindarkan sangsi-sangsi yang sepele ini dengan suatu yang paling berharga padanya, yaitu dengan agama dan tauhid, dan di samping ini sesungguhnya para ulama menuturkan bahwa adanya pilihan itu meniadakan ikrah, terutama bila pilihan itu antara dien dan tauhid dengan harta atau pekerjaan atau tanah air dan yang lainnya, dan itu seperti keadaan Syu’aib as bersama kaumnya saat mereka memberinya pilihan antara kembali kepada kekafiran atau keluar dari negeri mereka, maka tidak boleh memenuhi ajakan dan menampakkan kekafiran dalam keadaan ini. Allah ta’ala berfirman:
“Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu kembali kepada agama kami”, berkata Syu’aib: “Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun tidak menyukainya?” Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki(nya)” Al ‘Araf: 88-89.
dan firman-Nya
“Dan diantara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah” Al Ankabut: 10.
Dan bagaimanapun keadaannya, maka hakikat ikrah dan derajat istidlaf (ketertindasan) tetap perhitungannya antara seseorang dengan tuhannya dan setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan dia lebih mengetahui akan kondisi-kondisinya dan kebenaran ikrah atau istidlafnya, persis sebagaimana dia lebih mengetahui akan kenajisan dan kesucian dirinya, karena sesungguhnya keadaan itu bisa berbeda-beda pada realitanya antara satu Negara dengan Negara lain, antara individu yang memilki kekuatan, kelompok dan suku yang melindunginya dengan individu yang tidak seperti itu, dan begitulah seterusnya.
Dan Allah ta’ala berfirman:
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” At Taghabun: 16.
Maka wajib atas orang muslim untuk tidak pergi secara sukarela ke wamil ini dan untuk tidak menyerahkan dirinya untuk pelayanan bendera mereka dengan kerelaannya, namun yang wajib atas mereka adalah melarikan diri dari mereka dan berupaya untuk kabur membawa agamanya sebisa mungkin…Allah ta’ala berfirman:
“Maka segeralah melarikan diri kepada Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu” Az Zariyat: 50
dan dalam Shahih Al Bukhari pada Kitabul Iman (bab: Termasuk dien ini adalah melarikan diri dari fitnah), dari Abu Sa’id Al Khudriy bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (Hampir saja terjadi harta terbaik orang muslim adalah kambing-kambing yang ia giring di lereng-lereng gunung dan tempat-tempat hujan turun seraya lari dengan agamanya dari fitnah).
Maka yang paling wajib adalah dia tidak masuk ke dalam wamil mereka ini kecuali seperti tawanan bukan seperti pelayan upahan, sehingga ia benar-benar memang dipaksa terhadap pelayanan itu. Dan pekerjaan dia ini adalah paksaan dari mereka yang sejenis dengan apa yang mereka ambil dari manusia, seperti bea cukai dan pajak, serta apa yang mereka kenakan terhadap manusia berupa denda dan sangsi materi serta kezaliman lainnya yang mereka rampas secara paksa dari hak dari harta manusia.
Dan selagi dia masih mampu menghindarkan dirinya dari pelayanan ini dengan harta atau bantuan orang lain atau perantara atau yang serupa itu, maka wajib hal itu atasnya, dan dia tidak usah menoleh kepada penyebutan sebagian penganut sikap wara’ yang dusta terhadap hal ini bahwa ia adalah risywah (suap), karena suap itu adalah kamu menyerahkan harta untuk mengambil suatu yang bukan hakmu, atau untuk mengambil hak orang lain, atau untuk kabur dari had syar’iy atau dari suatu kewajiban dari kewajiban-kewajiban yang telah diwajibkan oleh syariat Allah bukan syariat (hukum) thaghut. Adapun yang kamu bayarkan untuk melindungi agamamu atau jiwamu atau hartamu, atau untuk menghindarkan kezaliman atau untuk mengangkat sikap aniaya, maka ini sama sekali bukan termasuk suap… yang memang ia harta tidak sah dan bathil lagi haram atas orang memakannya. Adapun orang yang membayarkannya, maka sesungguhnya ia menghindarkan mafsadat terbesar dari dua mafsadah yang ada dari agamanya atau dirinya atau hartanya dengan menanggung yang paling rendah yang mana ia adalah suatu dari hartanya… dan Allah ta’ala berfirman:
“Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridlaaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” Al Baqarah: 207.
Kemudian bila orang muslim mendapatkan ujian dan ia digusur paksa ke wamil ini, maka hendaklah ia menhindar dari mencicipi sukarela kebatilan mereka secara keseluruhan, akan tetapi ia berupaya sekuat mungkin menghindarkan dirinya dari hal itu, karena sudah maklum ucapan ulama perihal orang yang dipaksa terhadap sesuatu tertentu, bahwa tidak halal baginya keterusan (dalam hal itu) dengan melakukan hal yang lebih dari apa yang sebenarnya ia bisa dibiarkan. Dan para ulama memberi contoh dengan zina, mereka mengatakan: “Bila ia dilepaskan dan dibiarkan dengan sekali atau dua kali tusukan, maka tidak halal baginya keterusan sampai keluar mani’ dan ini disaksikan dengan firman Allah ta’ala:
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan darurat (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” Al Baqarah: 173
dan sebab kami mengatakan ini semuanya adalah karena kami memandang haramnya memperbanyak jumlah pihak orang-orang kafir dan kami mengkafirkan aparat keamanan (tentara/polisi) para thaghut… Allah ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang kafir mereka berperang di jalan thaghut” An Nisa: 76.
Dan kami meyakini bahwa penampakan sikap pembelaan terhadap para thaghut adalah salah satu pembatal tauhid yang mana (tauhid ini) terdiri dari dua rukun: yang pertama: kufur kepada thaghut… yang kedua: iman kepada Allah.
Oleh sebab itu kami tidak membolehkan sama sekali bagi orang muslim untuk menjadi bagian dari tentara/polisi thaghut atau menampakkan sikap tawalliy dan nushrah kepadanya tanpa ikrah hakiki, sedangkan realita wamil ini – biasanya – tidak memenuhi syarat-syarat ikrah itu, akan tetapi tatkala orang yang ikut serta dalam wamil ini biasanya tidak ikut serta sebagaimana tentara resmi yang mendaftar untuk menjadi tentara, maka ia telah berbeda dengan keadaan bala tentara dan anshar para thaghut itu.
Oleh karenanya maka kami tidak mengkafirkan orang yang masih memiliki ashlul Islam dan tauhid serta bara’ah dari para thaghut bila dia ikut serta dalam wamil ini seraya dia membencinya dan dia tidak melakukan satupun dari sebab-sebab kekafiran yang dengan sebabnya kami mengkafirkan tentara-tentara (thaghut) ini, terutama sesungguhnya mayoritas manusia tidak mengetahui batasan-batasan ikrah yang syar’iy, dan mereka tidak mengetahui perbedaan antara syarat-syarat ikrah terhadap ucapan kekafiran dengan ikrah terhadap selainnya dan mereka membaurkan antara ikrah dengan istidlaf.
Dan perselisihan dalam hal batasan ikrah, sifatnya, keabsahannya, dan syarat-syaratnya adalah tergolong furuu’ fiqhiyyah yang tidak diketahui secara pasti dari dien ini dan ia membutuhkan kepada penjelasan dan penegakkan hujjah terhadap orang yang menyelisihi…
Sebagaimana istidlaf juga berbeda-beda antara seseorang dengan orang yang lain, dan darurat juga berbeda-beda antara anak kecil dengan orang dewasa, antara orang yang lemah dengan orang yang kuat dan antara orang tua dengan pemuda…sebagaimana ia diketahui dalam kitab-kitab fiqih…
Dan atas dasar ini, maka orang yang memilki ashlul Islam dan dia ikut serta dalam wamil ini seraya ia membencinya lagi beralasan dengan ikrah atau istidlaf atau darurat, tanpa membantu kaum musyrikin atas kemusyrikannya atau (tanpa) membantu mereka terhadap muwahhidin, maka kami tidak mengkafirkannya meskipun kami menganggap dia sesat dalam memahami batasan-batasan ikrah, darurat dan istidlaf…
Akan tetapi bila ada negeri solusi pengganti dari negeri ini atau ada kesempatan mudah untuk keluar atau melepaskan diri dari wamil ini namun demikian dia bersikap taqshir dan tidak mau kecuali ikut serta di dalamnya dan memperbanyak barisan kaum musyrikin, maka orang semacam ini dikhawatirkan serupa dengan orang turun berkenaan dengan mereka firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan mengaiaya diri sendiri (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” An Nisa: 97.
Adapun klaim orang yang membolehkan wamil ini bahwa di dalamnya ada maslahat latihan senjata, maka ia adalah klaim yang lemah, karena maslahat ini – andaikata memang ada – maka ia adalah maslahat yang tidak dianggap, karena ia tidak didapatkan dari tempat ini kecuali dengan melakukan suatu sebab dari sebab-sebab kekafiran, atau minimal dengan memperbanyak barisan kezaliman dan kekafiran dan karena ia tidak terbatas ada pada tempat ini saja akan tetapi ia bisa didapatkan dari tempat lain. Jadi solusi ganti sangat banyak, dan ia lebih sempurna dan lebih halal, kemudian kami sama sekali tidak menerima perihal keberadaan maslahat tadi pada wamil ini, dimana di dalamnya – sebagaimana ia sudah dikenal – tidak ada kecuali macam tadrib yang paling hina, dimana si peserta menyia-nyiakan di dalamnya umur dan tenaganya dalam mempelajari kehinaan, perbedaan, kerendahan dan ketundukan dan mereka memanfaatkannya dalam melayani tuan-tuannya dari kalangan komandan dan para pengurus , sebagai pelayan yang taat dan budak yang hina yang tidak memilki harga diri, bahkan dikatakan kepadanya sejak awal masuk sebagaimana di banyak negara: (Gantungkan harga dirimu di pintu kamp wahai bung)!! Dan dia hidup di tengah kaum banci, gay, orang-orang bejat dan orang-orang fasiq, maka kamp apa ini? Tadrib macam apa ini? Dan kehinaan dan perbudakan macam apa ini?
Alasan Pengkafiran Tentara Thaghut
Adapun ‘illah (alasan hukum) pengkafiran tentara atau polisi pemerintah bagi kami adalah bukanlah apa yang sering dilontarkan oleh sebagian orang-orang yang tergesa-gesa yang tidak mengetahui ucapan kami dan tidak membaca tulisan-tulisan kami: (sekedar bekerja di bawah payung pemerintah), maka (kalau begini) masuk di dalamnya setiap pegawai dan orang-orang yang bekerja di pemerintahan, bahkan bisa masuk dalam pensifatan yang mutlak ini setiap orang yang hidup di negeri ini, sedangkan kami tidak menggunakan pelontaran semacam ini dan kami tidak menjadikannya sebagai acuan, bahkan kami menganggap bodoh penganut pendapat ini, karena ia adalah lontaran-lontaran yang bersifat semangat dangkal lagi tidak baku dan tidak ilmiah dan tidak syar’iy lagi tidak tertentu dan baku.
Akan tetapi ‘illah yang memiliki pengaruh lagi baku bagi kami dalam takfir anshar (kaki tangan) pemerintah adalah’illah yang Allah telah tegaskan dalam kitab-Nya:
“Barang siapa diantara kamu tawalliy kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” Al Maidah: 51,
yaitu (tawalliy dan nushrah) atau (qital) perang di jalan thaghut sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Dan orang-orang yang kafir mereka berperang di jalan thaghut” An Nisa: 76,
sehingga pekerjaan (dinas) apa saja dalam pemerintah ini terdapat di dalamnya ‘illah ini maka ia bagi kami adalah pekerjaan yang mengkafirkan, oleh sebab itu kami tidak mengharamkan dan tidak mengkafirkan seluruh pekerjaan di pemerintahan kafir, akan tetapi kami di dalamnya memiliki rincian yang sudah ma’ruf sesuai masing-masing pekerjaan dan hakikatnya, dan kami telah menuturkannya dalam banyak tempat…
Dan begitu juga kami memiliki rincian perihal tentara dan polisi thaghut, dimana kami mengecualikan orang yang dipaksa di antara mereka dengan paksaan yang sebenarnya dan begitu juga muta-awwil (orang yang mentakwil) yang masuk Islam dan mendapat petunjuk sedang dia berada dalam barisan tentara ini, dan ia tetap di dalamnya untuk membela dien ini, seperti yang dipandang boleh oleh sebagian jama’ah-jama’ah jihad. Kami meskipun menyelisihi mereka itu dalam kebolehan memperluas dalam metode-metode semacam ini, dan kami mensyaratkan si pelakunya tidak terjatuh ke dalam hal yang diharamkan, akan tetapi kami tidak mengkafirkan pelaku jalan ini bila kami mengetahui mereka, dan dalam waktu yang sama kami mengudzur orang yang mengkafirkan individu-individu mereka terhadap dia serta karena mereka tidak membedakan diri mereka dari tentara thaghut itu.
Dan kami katakan: Barangsiapa mengkafirkan mereka itu atau memeranginya maka dia itu diudzur bahkan dia mendapat pahala, karena perlakuan terhadap mereka itu adalah sesuai dengan apa yang mereka tampakkan, dan Allah tidak memerintahkan kita dan tidak membebani kita untuk mengorek isi hati mereka, karena ini adalah termasuk apa yang tidak kita mampu, dan sedangkan Allah tidak membebani kita kecuali dengan hal yang mampu direalisasikan
Dan kami katakan bahwa hukum asal pada status tentara thaghut menurut kami adalah kafir. Dan hukum asal seperti ini tidak berlakukan pada dinas dan pekerjaan lainnya, itu dikarenakan sesungguhnya tentara/polisi ini sangat berbeda dengan pekerjaan lainnya, dengan keberadaan hakikatnya adalah tawalliy, nushrah dan qital di jalan thaghut, oleh sebab itu maka para thaghut itu mempercayakan rahasia mereka kepadanya, menyerahkan senjata mereka kepadanya dan menguasakannya terhadap musuh-musuh mereka, serta tentara itu adalah benteng mereka yang mereka berlindung dengannya saat kondisi gawat dan ia adalah kekuatan mereka yang dengannya mereka mengokohkan diri, dimana ia melindungi tahta mereka,dan mengokohkan serta menjalankan undang-undang dan keputusan-keputusan mereka.
Adapun dinas dan pekerjaan yang lain maka beraneka ragam dan berbeda-beda dalam hal nushrah dan tawalliy, sehingga kekafiran berputar di dalamnya bersama ’illah ini, baik ada ataupun tidak ada. ‘Illah ini meskipun nampak lagi masyhur pada angkatan bersenjata, akan tetapi kadang ditemukan juga pada yang lainnya, sehingga ‘illah ini ada menempel pada orang tertentu walaupun hakikat dinasnya tidak seperti itu, dimana bisa jadi ia itu imam masjid yang tawalliy lagi membela thaghut, lebih setia kepada mereka dari sebagian tentara/polisinya, sehingga barangsiapa keadaannya seperti itu maka dia itu termasuk tentara dan anshar mereka, sedangkan jubah, jenggot, dan misbahah (tasbih) itu bukanlah termasuk bagian mawani’ takfir.
Dan kesimpulannya kami mengatakan:
Walaupun kami mengatakan bahwa hukum asal pada angkatan bersenjata para thagut adalah kafir akan tetapi kami membagi individu-individu mereka menjadi dua kelompok:
Pertama: orang yang berada dalam jaiysy (angkatan bersenjata) ini sebagai pembela mereka atau terjun membela kemusyrikan mereka, maka status dia adalah sama dengan status para thgahut itu dalam hal kekafirannya di dalam hukum dunia dan akhirat bila dia mati di atas hal itu.
Kedua: orang yang memperbanyak barisan mereka, akan tetapi ia tidak membantu mereka di atas kemusyrikannya dan tidak membantu mereka terhadap muwahhidin, maka status orang ini adalah sama dengan status mereka dalam hukum-hukum dunia, dimana dia diperlakukan sesuai dengan apa yang dia tampakkan sebagai bagian dari tentara, anshar dan golongan mereka dan di barisan serta di parit mereka, kemudian dia dibangkitkan di hari kiamat di atas niatnya, sedangkan yang penting bagi kita dari hal ini adalah status mereka didunia, karena kebutuhan kita kepada hal itu dalam mu’amalah, jihad dan yang lainnya.
Adapun dalam hukum-hukum akhirat, maka status mereka tidak penting bagi kita dan hal itu tidak diserahkan kepada kita akan tetapi ia itu diserahkan kepada Allah. Dan rincian ini ditujukan oleh hadits Ummul Mu’minin yang Muttafaq’alaih perihal pasukan yang menyerang ka’bah terus Allah benamkan dari barisan awal sampai barisan akhir padahal di tengah mereka ada orang yang ikut melintas jalan dan ada orang-orang yang dipaksa maka Allah binasakan mereka semuanya di dunia dan Dia bangkitkan mereka di atas niat mereka di hari kiamat. Dan dalam hal ini Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah berkata: (Allah ta’ala telah membinasakan pasukan yang ingin mengotori tempat suci-Nya – orang yang dipaksa di antara mereka dan orang yang tidak dipaksa – padahal Dia mampu memilah di antara mereka dan padahal Dia membangkitkan mereka di atas niat mereka, maka bagaimana wajib atas mujahidin memilah antara orang yang dipaksa dan yang lainnya sedangkan mereka tidak mengetahui hal itu) selesai 28/537 dari Al Fatawa.
Dan ini adalah makna ucapan Umar ibnul khaththab radliallahu ‘anhu sebagaimana dalam shahih Al Bukhari: (sesungguhnya orang-orang dahulu dinilai dengan wahyu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (dan sekarang) barang siapa menampakkan kebaikan dihadapan kami maka kami mempercayainya dan mendekatinya, dan kami tidak memilki urusan sedikitpun terhadap batinnya, Allahlah yang akan memperhitungkan batinnya. Dan barangsiapa menampakkan keburukan di hadapan kami maka kami tidak mempercayainya dan tidak membenarkannya meskipun dia mengatakan bahwa batinnya baik).
Jadi yang benar adalah bahwa memilah antara mereka ini dan mereka itu selagi sulit maka kita tidak dibebani dengannya, bahkan justeru orang yang mengaku bertauhid dan Islam di antara mereka maka dialah yang wajib memisahkan diri dari mereka dan menjauhi mereka, karena kufur kepada thaghut dan menjauhinya adalah wajib terlaksana secara lahir dan batin, sebagaimana halnya iman menurut ahluss sunnah wal jama’ah adalah: ucapan, amalan dan keyakinan. Dan bila mereka itu tidak menampakkan sikap menjauhi thaghut dan menjauhi nushrahnya, justeru sebaliknya mereka malah memperbanyak barisannya dan menampakkan nushrahnya serta menjadi tentara baginya maka dari mana kita bisa mengetahui apa yang ada di hati mereka, sedangkan Allah hanya membebani kita dengan hal yang dhahir, karena yang kita berinteraksi dengannya adalah hukum dunia bukan hukum akhirat.
Oleh karena itu kami memperlakukan jaisy thaghut seluruhnya sebagai orang-orang kafir dalam status hukum dunia, kecuali orang yang telah kita ketahui bahwa ia bagian dari kelompok ke dua dan kita bisa menjauhinya. Sedangkan orang yang susah bagi kita untuk membedakannya, maka kita dimaafkan dalam memperlakukan dia berdasarkan apa yang dia tampakkan, bahkan kita mendapat pahala insya Allah.
Dan darinya engkau mengetahui bahwa ‘illah pengkafiran kita terhadap jaisy thaghut tentunya ia bukan karena individu-individunya bekerja di bawah payung pemerintah, karena ini adalah kalimat yang luas yang tidak baku dan tidak syar’iy, dan masuk di dalamnya banyak manusia bahkan bisa jadi tidak selamat darinya kecuali orang yang hidup di tengah padang pasir, goa-goa dan lereng-lereng gunung, namun ‘illah yang berpengaruh menurut kami yang mana takfir berkisar di atasnya, baik ada maupun tidak ada, adalah tawalliy dan nushrah sebagaimana yang telah lalu. Jadi barangsiapa yang hakikat pekerjaannya adalah nushrah thaghut atau hukumnya, maka orang ini tidak merealisasikan tauhid dan belum memegang al ‘urwah al wutsqa yang mana keselamatan diikatkan terhadapnya. Allah ta’ala berfirman:
“Barang siapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah memegang buhul tali yang amat kokoh” Al Baqarah: 256
dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepadanya” An Nisa: 60.
Dan dalam hadits yang diriwyatkan Imam Muslim: (Barangsiapa mengucapkan ‘laa ilaha illallah’ dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya serta perhitungannya terhadap Allah (Azza wa jalla)).
Barangsiapa menampakkan sikap melindungi thaghut dan hukumnya serta dia berada di barisan dan pihaknya dan menjadi bagian dari tentaranya maka dia itu tidak dikatakan telah kafir kepada thaghut atau kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah… dan selagi dia seperti itu maka dia belum merealisasikan tauhid yang merupakan syarat keIslaman dan keimanan, sedangkan orang yang keadaannya seperti itu maka dia itu bagi kami adalah kafir, baik dia itu tentara maupun bukan dan baik dia itu memakai seragam mereka maupun tidak, karena ‘illah yang dianggap menurut kami adalah sikap tidak menjauhi thaghut yaitu nushrah dan tawalliy terhadapnya atau nushrah dan tawalliy kepada kemusyrikannya dan undang-undangnya…
Dan darinya engkau mengetahui juga bahwa sekedar mengenakan seragam tentara/polisi atau mengenakan lambang mereka bukanlah ‘illah (alasan hukum) yang cukup atau baku – secara sendirinya – untuk pengkafiran, sebagaimana yang dilontarkan oleh sebagian orang dimana dia mengatakan: bahwa setiap orang yang mengenakan seragam atau lambang mereka maka dia telah kafir!! Begitu secara mutlak tanpa rincian…
Dan yang benar menurut kami adalah barangsiapa menyerupai mereka dalam seragam mereka tanpa menjadi bagian dari tentara dan pasukannya, dan tanpa kebutuhan menyembunyikan diri atau pengecohan untuk peperangan atau yang serupa itu, maka dia telah melakukan hal yang haram, yaitu menyerupai mereka.
Dan sungguh telah banyak nash-nash Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan pengharaman tasyabbuh dengan orang-orang kafir.
Dan syaikhul Islam dalam hal itu telah menjelaskannya dengan rincian yang bagus dalam kitabnya yang sangat berharga “Iqtidla Ash Shirathil Mustaqim Mukhalafah Ash Habil Jahim” dan di antaranya adalah yang beliau katakan pada firman Allah ta’ala:
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” Al Jatsiyah: 18,
beliau berkata: (Dan telah masuk dalam (orang-orang yang tidak mengetahui) setiap orang yang menyelisihi syari’at-Nya, dan (hawa nafsu mereka) adalah apa yang mereka inginkan dan apa yang mereka pegang berupa tuntunan mereka yang dhahir yang mana ia tergolong kemestian ajaran mereka yang bathil serta hal-hal yang mengikuti hal itu, maka mereka itu menginginkannya sedangkan menyelarasi mereka di dalamnya adalah sikap mengikuti apa yang mereka inginkan) selesai.
Dan atas dasar ini maka masuk dalam firman-Nya (orang-orang yang tidak mengetahui) setiap orang yang menolak syariat Allah, jadi ini tidak khusus bagi kaum yahudi dan nashrani, namun ia itu umum yang masuk di dalamnya setiap orang yang keluar dari syariat Allah, seperti para thaghut dan anshar mereka tanpa diragukan lagi, sehingga haram tasyabbuh dengan mereka.
Dan di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia itu tergolong bagian mereka), bila tasyabbuh dengan mereka dalam ajaran mereka dan kekafirannya (maka dia itu tergolong bagian mereka) yaitu kafir seperti mereka. Dan bila menyerupai mereka dalam kezaliman atau maksiat dan kebiasaan-kebiasaannya yang batil maka dia telah melakukan hal yang haram. Dan masuk dalam rincian ini adalah: mengenakan pakaian khusus mereka, barangsiapa menyerupai mereka dalam pakaian khusus keagamaan mereka yang syirik – atas dasar pengetahuan – maka ia kafir, oleh sebab itu banyak ulama memfatwakan bahwa barangsiapa memakai pakaian pendeta atau memakai zanaar (ikat pinggang model khusus) orang-orang nashrani atau mengenakan salib mereka maka dia telah kafir…dan ini masyhur dalam kitab-kitab fiqih, berbeda halnya dengan orang yang menyerupai keumuman seragam mereka maka sesungguhnya maka ia tidak sampai kepada kekafiran meskipun ia itu haram, sehingga hadits itu ditakwil dan dipahami sesuai metode ahluss sunnah dalam hal nash-nash semacam ini, dengan cara mengembalikannya kepada ummul kitab yaitu nash-nash dan pokok-pokok dasar yang menjelaskannya, dan tidak ada penghalang dari membiarkannya di atas dhahirnya secara umum, agar lebih membuat jera, namun tidak boleh dipahami takfir darinya, kecuali sesuai dengan apa yang telah kami jelaskan…
Syaikhul Islam telah menuturkan dalam Kitabul Iman bahwa lontaran-lontaran semacam ini tidak dikatakan kecuali pada diri orang yang melakukan sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dia itu telah meninggalkan sebagian iman yang wajib atasnya yang menghantarkan dia masuk dalm lontaran-lontaran semacam ini, makanya dia tidak tergolong mukmin yang berhak mendapatkan janji yang mutlak lagi selamat dari ancaman atau dengan ungkapan lain: dia termasuk orang-orang yang masuk dalam ancaman lagi tidak tergolong orang-orang yang berhak mendapatkan janji yang mutlak.
Dan kesimpulannya: bahwa sekedar menyerupai orang-orang kafir dalam hal seragam mereka adalah tidak cukup dengan sendirinya bagi kami untuk menjadi ‘illah bagi pengkafiran, selagi orangnya memang bukan bagian dari mereka, yaitu (bukan) di atas ajaran syirik mereka atau pembela dan pendukung mereka… ya memang ia itu haram sebagaimana yang telah lalu, bahkan ia adalah jalan yang bisa menghantarkan kepada kekafiran bila hal itu menghantarkan kepada sikap mencintai mereka, jalinan kasih sayang dengan mereka, serta mencintai adat-adat mereka yang buruk dan ajaran (hukum/sistim/ideologi/falsafah) kafir mereka, karena {(Penyerupaan secara dhahir bisa mewariskan macam kasih sayang, kecintaan dan loyalitas di batin)} sebagaimana yang dituturkan Syaikhul Islam dalam Al Iqtidla.
Dan terakhir… sesungguhnya orang yang tidak membedakan diri dari mereka dalam hal seragam – dan secara khusus seragam aparat militer mereka, anshar mereka dan tentara mereka, yang mana mereka tidak membolehkan orang selain mereka untuk memakainya secara lengkap – maka sesungguhnya orang seperti ini telah memperbanyak barisan mereka dan telah menampakkan suatu yang mana orang muslim yang tidak mengetahuinya diudzur dengan sebabnya dalam hal pemberlakuan hukum-hukum dhahir terhadapnya, karena kita hanya dibebani di dunia ini dengan hukum-hukum dhahir dan kita tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati manusia. Jadi darinya engkau mengetahui begitu bahayanya tasyabbuh dalam hal-hal ini dan suatu yang bisa menghantarkan kepadanya meskipun penyerupaan itu pada hakikatnya bukanlah kekafiran.
Dan begitu juga pendapat kami perihal bendera-bendera dan lambang-lambang yang digunakan semua negara dan angkatan bersenjatanya, maka sesungguhnya pemakaian hal-hal itu tidak cukup dengan sendirinya sebagai ‘illah pengkafiran, meskipun lambang-lambang dan bendera-bendera itu adalah tanda terhadapnya, karena ia itu mengisyaratkan kepada pemerintahan yang kafir atau bahwa ia adalah lambangnya. Jadi bendera adalah tanda dan lambang adalah pelambangan dan isyarat yang menunjukkan bahwa orang yang mengenakannya atau yang membawanya atau yang mngibarkannya adalah menggabungkan diri kepada negara itu atau angkatan militer itu atau barisan yang ditunjukkannya olehnya dan diisyaratkan secara dhahir bahwa ia tergolong pengikut atau kawan-kawan mereka… dan ini adalah secara umum, adapun saat berbicara tentang individu-individu pelakunya, maka harus memperhatikan mawani’ dan syarat-syarat takfir, sehingga wajib meminta rincian dan penegakkan hujjah, karena disana ada perbedaan antara ‘illah mu-atstsirah (alasan hukum yang memiliki pengaruh) yang mana ada dan tidak adanya hukum berputar di atasnya, dengan ‘alamah (tanda) atau isyarat yang kadang tidak menunjukkan kepadanya dan disamping itu kadang memiliki makna-makna dan indikasi-indikasi lain bagi manusia, serta kadang ia ada tanpa keinginan dari orang juga…
Jadi lambang-lambang ini tidaklah jelas dalam penunjukannya terhadap hal tersebut, bahkan mayoritas manusia berinteraksi dengan bendera-bendera dan lambang-lambang ini atas dasar anggapan bahwa ia mengisyaratkan kepada negeri dan tanah air mereka, dan jarang orang yang berinteraksi dengannya atas dasar anggapan bahwa ia adalah simbol bagi hukum dan pemerintahan, dimana engaku mendapatkan banyak orang mengibarkan bendera-bendera negeri mereka yang diduduki (musuh), serta mereka membawa lambang-lambangnya padahal ia itu tidak memiliki pemerintahan yang menjadi jelmaannya atau hukum kafir atau bukan kafir yang ditunjukannya. Dan tidak ragu bahwa ini adalah adapt jahiliyyah walaupun sebagian orang-orang bodoh memolesnya dengan pakaian agama.
Namun pembicaraan kita disini bukan perihal keberadaannya sebagai kejahiliyyahan dan kebangsaan atau bukan, akan tetapi perihal kekafiran atau tidaknya orang yang membawanya dan mengibarkannya atau memakainya. Dan sudah maklum bahwa banyak musuh-musuh Allah telah membuat kamuflase dihadapan manusia dimana mereka mencampurkan bersama bendera-bendera dan lambang-lambang yang bersifat kebangsaan atau jahiliyyah ini slogan-slogan dan lambang-lambang yang mengisyaratkan kepada agama dan Islam, baik di antaranya hal yang bid’ah yang diada-adakan seperti bulan sabit atau pohon kurma atau pedang, atau yang memang ia berasal dari Islam seperti kalimat tauhid atau takbir dan yang lainnya. Dan ini tidak diragukan adalah termasuk masalah yang masih terkabur urusannya di hadapan manusia, dan sangat sulit di dalamnya untuk mengetahui tujuan-tujuan mereka dalam mengaggungkan dan mengibarkannya, sedangkan takfir itu patokannya bagi kami adalah harus di atas keyakinan bukan di atas keraguan, perkiraan dan kemungkinan, sehingga dalam hal seperti ini wajib meminta rincian dan bayan.
Dan di antara bendera-bendera dan lambang-lambang itu ada yang menjadi simbol keberanian dan ketegaran dan di antaranya ada yang melambangkan kemakmuran negeri dan kemajuan industri rakyat serta arti-arti lainnya yang dengannya mereka menyibukan manusia dan memenuhi kekosongan hati mereka yang kosong dari agama.
Dan yang jelas, secara umum ia itu tidak jelas dan tidak tegas dalam penunjukkannya terhadap kekafiran, sebagaimana salib, akan tetapi ia membutuhkan kepada bayan (penjelasan) disamping mengetahui tujuan orang yang membawa atau, mengenakannya maka hal seperti itu wajib dilakukan saat adanya kesamaran keadaan dan keterkaburan banyak tujuan.
Sedangkan ulama sudah ijma bahwa intifaa-ul qashdi (ketidakadaan maksud) adalah termasuk mawani’ takfir, dengan dalil firman Allah ta’ala:
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu” Al Ahzab: 5.
Salib dengan bentuknya yang terkenal, diketahui oleh semua kalangan khusus maupun umum bahwa ia adalah lambang nashara, bahkan lambang mereka yang paling khusus, dan bahwa ia melambangkan kepada akidah mereka yang bathil perihal pembunuhan dan penyaliban Al Masih, dan dari sana, dikarenakan apa yang mencabang dari hal itu menurut mereka berupa akidah penebusan, keyakinan Al Masih sebagai anak Tuhan, dan keyakinan bahwa ia Tuhan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan, maka salib itu adalah watsan (berhala) yang jelas, yang wajib dirubah dan diingkari sesuai kemampuan dan orang yang menggunakannya adalah kafir, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menamakannya watsan dalam hadits ‘Adiy ibnu Hatim Ath Tha’iy, padahal keumuman (tashlib) palang yaitu lukisan atau ukiran yang mana garis-garis saling melintang tanpa memaksudkan salib nashara dari pembuatannya, maka ini tidak menyamai salib dalam hal takfir dan dalam sikap keras dalam pengingkarannya, dimana tidak wajib merubahnya akan tetapi dianjurkan saja demi menutup sarang tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan lambang-lambang mereka, dan tidak wajib menyikapinya dengan keras akan tetapi dianjurkan saja sebagaimana dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (Tidak membiarkan di rumahnya tashlib melainkan beliau merubahnya).
Akan tetapi tidak boleh menyamakan tashlib dalam hal takfir sebagaimana yang telah kami katakan, dengan salib yang tegas lagi jelas dalam indikasinya.
Dan seperti itu juga orang yang mengenakan pakaian atau memakai peci atau sorban di kepalanya yang ada tertulis padanya ungkapan-ungkapan kekafiran dengan bahasa yang tidak dia pahami, maka dia tidak dikafirkan kecuali setelah bayan dan penegakkan hujjah, kemudian bila dia bersikukuh membiarkannya atau mengaggungkannya atau memakainya setelah dia mengetahui kekafiran yang dikandungnya maka dia telah kafir.
Dan begitu juga keadaannya bagi kami perihal bendera-bendera dan lambang-lambang negara maka urusannya sebagaimana yang telah lalu adalah tersamar dan tidak tegas lagi jelas dalam indikasinya terhadap kekafiran, dan ia bukan tergolong sesuatu yang diketahui secara pasti dari dien ini.
Oleh sebab itu kami tidak tergesa-gesa mengkafirkan orang yang kekeliruannya hanya memasang bendera-bendera itu atau memakai lambang-lambang itu selagi orang itu tidak menjadi penolong atau pembela bagi para pengusungnya atau bagi kekafirannya, akan tetapi bagi kami dalam hal seperti ini harus ada penegakkan hujjah dan pengetahuan akan maksud karena kami membedakan antara amalan kekafiran dengan pengkafiran individu pelakunya yang mana ia memiliki syarat-syarat dan mawani’.
Dan juga, sesungguhnya bencana dengan sebab lambang dan bendera ini telah merata dan menyebar luas, dimana ia diletakkan di setiap tempat bukan atas dasar keinginan manusia. Ia umpamanya diletakkan bersama gambar para thaghut di dalam uang yang menjadi alat transaksi manusia di banyak negara, sebagaimana mereka meletakkannya di setiap lembaran atau kertas surat penting yang mana mereka memaksakan manusia untuk bertransaksi dengannya di saat mereka menetap dan dalam perjalanan mereka. Dan manusia sendiri tidak meletakkan atau mencetak lambang-lambang ini atau menyimpannya dengan keinginan mutlak mereka, baik itu dalam uang maupun yang lainnya… karena mereka harus bertransaksi dengannya dan keberadaan orang yang sangat sedikit lagi jarang yang mampu untuk tidak menggunakannya adalah tidak memiliki pengaruh dalam hukum, sehingga mereka itu dianggap tidak ada bila dibandingkan keumuman manusia yang mana para thaghut telah mempersempit kehidupan mereka, menindas mereka dan memaksa mereka untuk bertransaksi dengan hal itu.
Maka tidak halal bagi orang yang mengetahui keadaan ini dia tergesa-gesa mengkafirkan karena sekedar melihat bendera-bendera dan lambang-lambang ini. Bukankah uang yang digunakan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di generasi terbaik tidak kosong dari gambar kaisar-kaisar (penguasa Romawi) dan Kisra (penguasa Persia) dan para thaghut lainnya? Terutama sesungguhnya kaum muslimin belum bisa memilki mata uang sendiri dan yang khusus bagi mereka kecuali setelah berlalunya masa Al Khulafa Ar Rasyidin, yaitu diawal Daulah Muawiyyah jadi sebelum itu mereka bertransaksi dengan mata uang Persia dan Romawi sehingga bagi pencari al haq wajib untuk tidak tergesa-gesa dalam takfir dalam masalah-masalah seperti ini, dan dia (wajib) untuk tidak mengkafirkan kecuali dengan sebab sesuatu (kekafiran) yang nyata jelas gamblang lagi pasti karena keIslaman itu bila telah terbukti bagi penganutnya secara meyakinkan maka tidak boleh keyakinan itu dilenyapkan dengan keraguan atau perkiraan atau kemungkinan, akan tetapi keyakinan itu tidak hilang kecuali dengan keyakinan yang serupa…
Allah-lah yang membimbing kepada jalan yang lurus dan semoga shalawat dan salam Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabat seluruhnya…
Abu Muhammad Al Maqdisy
Sawaqah Ramadhan 1417 H
Pertanyaan Ke Empat
Bila alasan dalam pengkafiran angkatan bersenjata thaghut adalah pembelaan kaum musyrikin terhadap kaum muwahhidin maka hal ini tidak terbukti dan tidak nampak kecuali saat terjadi bentrokan barisan (kontak senjata)… sedangkan banyak dari tentara mengatakan bahwa mereka dalam keadaan seperti ini akan membelot kepada barisan muwahhidin atau mereka akan menjauhi peperangan dengan muwahhidin… dan bahwa hakikat tugas mereka sekarang adalah mempertahankan tanah air dari serangan musuh dari luar, yaitu memerangi yahudi dan yang serupa dengannya, dan sedangkan ini bukan tergolong mudaharatul musyrikin ‘alal muwahhidin (membantu kaum musyrikin terhadap muwahhidin).
Adapun kepolisian dan dinas keamanan umum, maka tugas mereka itu adalah membantu orang yang dizalimi dan mencegah kejahatan seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan dan yang serupa itu… sedangkan ini bukan kekafiran. Dan bila hal itu dibiarkan tentulah masyarakat menjadi kacau lagi tidak ada yang mengendalikan dan tidak ada yang membuatnya jera… maka bagaimana pendapat anda dalam hal ini?
Jawaban
Pertama-tama ketahuilah bahwa ‘illah (alasan) pengkafiran kami terhadap angkatan bersenjata para thgahut itu bukan hanya nushratul musyrikin ‘alal muwahiddin (pembelaan kaum musyrikin terhadap muwahhidin) dan andaikata keadaannya seperti itu saja tentulah orang yang ikut serta dalam pasukan thaghut tanpa memerangi muwahhidin berarti dia hanya sebagai orang yang memperbanyak barisan orang-orang kafir dan anshar mereka.
Dan keadaan mereka itu telah kami tuturkan dalam banyak tempat, dan mereka itu adalah orang-orang yang Allah namakan dalam Kitab-Nya sebagai orang-orang yang zalim kepada diri mereka sendiri, seperti orang yang masuk Islam di Mekkah dan mereka teledor dalam hijrah darinya ke Madinah.
Kemudian kaum musyrikin memaksa mereka keluar dari barisannya pada perang Badar, sehingga bila orang muslim menembakkan panahnya maka ia mengenai pada salah seorang dari mereka itu, maka itu menurunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “ Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para malaikat berkata: “ Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat hijrah di bumi itu”. Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam. Dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” An Nisa: 97.
Dan mereka itu diperlakukan sebagaimana barisan yang mana mereka berada di dalamnya, karena biasanya orang muslim itu tidak mampu memilah, terutama di tengah kecamuk peperangan antara orang yang keluar sebagai muqatil (yang berperang) dengan orang yang keluar sebagai orang yang memperbanyak barisan mereka saja, bahkan hukum asal pada status jaisy ini adalah ia itu jaisy yang keluar memerangi kaum muslimin, sedangkan ia adalah barisan yang dhahirnya memerangi, menentang dan menantang agama Allah… maka orang muslim diudzur bahkan diberi pahala dengan sebab memberlakukan hukum kafir – di dunia – terhadap individu-individunya selagi belum nampak baginya suatu yang menyelisihi hal itu dari salah seorang mereka, maka dia menjauhinya.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah menuturkan dalam Al Fatawa hadits Jaisy (pasukan) yang menyerang Ka’bah, dan ditengah mereka itu ada orang yang berpapasan lewat dan dipaksa serta orang yang bukan bagian dari mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Allah membenamkan mereka dari awal sampai akhir, kemudian mereka dibangkitkan di akhirat di atas niat mereka. Dan dalam hal ini ada pengingatan bagi kita bahwa kita memperlakukan orang-orang yang seperti mereka di dunia dengan dhahir dan Allah-lah yang menangani batin, oleh sebab itu Syaikh rh berkata (Allah ta’ala telah membinasakan pasukan yang ingin mengotori kehormatan-Nya – orang yang dipaksa di tengah mereka dengan orang yang tidak dipaksa – padahal Dia mampu untuk memilah di antara mereka, dan padahal Dia membangkitkan mereka di atas niatnya, maka bagaimana wajib atas mukminin mujahidin memilah antara orang yang dipaksa dengan yang lainnya, sedangkan mereka tidak mengetahui hal itu?! Bahwa seandainya seseorang mengklaim bahwa ia keluar dalam keadaan dipaksa, maka hal itu tidak manfaat baginya dengan sekedar klaimnya) selesai 28/537.
Kemudian beliau menuturkan kisah penawanan Al ‘Abbas dalam perang Badar dan pengklaimannya bahwa ia dipaksa, serta sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak menerima klaimnya itu. Jadi pemilihan itu tidak wajib atas kita selagi hal itu sulit dilakukan, namun yang benar adalah dikatakan: bahwa pemilihan diri itu wajib atas orang yang memperbanyak barisan pasukan ini dan dia mengklaim bahwa ia bukan bagian dari mereka dan bukan bagian dari anshar mereka, maka yang wajib atas dia adalah menjauhi mereka dan keluar dari barisan mereka bila ia ingin selamat…
Dan hukum semacam ini hanyalah diberlakukan, dikarenakan pasukan ini diarahkan untuk memerangi dien ini, nampak tujuannya yaitu memerangi Ka’bah. Jadi orang yang berada di dalamnya adalah orang yang memerangi agama Alllah atau orang yang memperbanyak barisan orang-orang yang memerangi agama Allah…
Syaikh Muhammad ibnu Abdullatif Alu Asy Syaikh: (Barangsiapa tidak mampu keluar dari tengah kaum musryikin dan mereka memaksanya keluar bersama mereka, maka statusnya adalah sama dengan status mereka dalam hal (kebolehan) dibunuh dan diambil hartanya bukan dalam status kafir. Dan adapun bila ia keluar bersama mereka dengan keinginan sendiri dan tidak dipaksa untuk memerangi kaum muslimin, dan dia membantu mereka dengan badan hartanya maka tidak diragukan bahwa status dia sama dengan status mereka dalam status kafir) selesai dari Majmu’ah Ar Rasa-il Wal Masa-il 2/135.
Jadi ucapan beliau perihal orang-orang yang memperbanyak jumlah barisan mereka saja adalah: bahwa status mereka sama dengan status kaum musyrikin itu dalam hal (kebolehan) dibunuh dan diambil hartanya bukan dalam status kafir…yaitu: bahwa kita di dunia ini memberlakukan terhadap mereka hukum orang-orang kafir, dalam hal penghalalan darah mereka dan perampasan harta mereka sebagai ghanimah. Dan ini, karena kita diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan dhahir, adapun hakikat urusan mereka dan keimanan yang mereka klaim di dada mereka, maka ini dikembalikan kepada Allah, Dia swt akan membangkitkan mereka dan menghisab mereka di atasnya di hari kiamat. Jadi pasukan mana saja yang alasan pengkafirannya hanya membantu kaum musyrikin atas kaum muwahhidin, maka sesungguhnya kita memperlakukan orang yang memperbanyak barisan mereka di dunia ini sebagaimana perlakuan terhadap orang-orang kafir selagi tidak nampak di hadapan kita hakikat orang mu’ayyan (tertentu) di antara mereka, dan bahwa dia itu tidak memerangi kaum muwahhidin, maka kita menjauhinya bila kita mampu atas hal itu, dan bila tidak maka kita diudzur dan maka kita mendapat pahala dalam hal memberlakukan hukum-hukum dhahir terhadapnya. Sedangkan pemisahan diri dan pemilahan itu adalah dituntut dari dia dan bukan dari kita karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghati-hatikan dari sikap memperbanyak jumlah barisan orang-orang kafir dan Beliau berlepas diri dari orang yang tidak memisahkan diri dari mereka, dimana Beliau besabda: (Saya berlepas diri dari orang yang menetap di tengah orang-orang musyrik) padahal ucapan ini berkenaan dengan orang yang sekedar menetap di Darul Kufri maka bagaimana dengan orang yang keluar bersama pasukan mereka yang kafir lagi memerangi agama Allah seraya memperbanyak jumlah barisan mereka?
Dan wajib diketahui bahwa memerangi muwahhidin sebagai bentuk nushrah bagi kaum musyrikin itu tidak hanya terjadi dengan pedang atau meriam dan senapan… akan tetapi lebih luas dari itu dimana ia bisa jadi dengan pengintaian, memata-matai, tipu muslihat, pemberian laporan, pengusiran, penangkapan, penahanan dan yang lainnya, karena semua itu pada hakikatnya adalah pengokohan bagi kekuasaan orang-orang kafir dan pembelaan bagi syirik dan kaum musyrikin serta penghalang-halangan dari jalan kaum muwahhidin yang beupaya untuk membela diennullah yang menegakkan syariatnya. Maka barangsiapa mengklaim bahwa ia akan membelot saat memerangi kaum muwahhidin kepada mereka dan bahwa ia tidak akan memerangi mereka, maka hendaklah dia sejak awal menjauhi hal ini semuanya dan hendaklah dia berlepas diri darinya dan bila tidak, maka dia pada hakikatnya adalah orang yang memerangi mereka dan agama mereka lagi membela dan membantu kaum musyrikin dari kalangan hamba hukum dan anshar UUD, terhadap mereka.
Bila ini sudah jelas, maka ketahuilah bahwa kami saat mengatakan: bahwa alasan takfir kami kepada anshar thaghut dan ‘asakirul qanun (aparat penegak hukum/UU) adalah “tawalliy dan nushrah” maka kapan saja alasan ini didapatkan maka hukum itu ada pula, dan bila alasan itu tidak ada maka hukum itu tidak ada pula, maka seseungguhnya kami memaksudkan dua hal dengan hal itu:
Pertama: tawalliy pada kaum musyrikin dan nushrah mereka.
Ke dua: tawalliy kepada syirik, kekafiran dan thaghut mereka.
Adapun hal pertama, yaitu tawalliy kepada kaum musyrikin dan nushrah mereka, maka ini hanya menjadi kekafiran yang jelas lagi nampak bila ia adalah tawalliy dan nushrah kepada mereka terhadap muwahhidin, dan telah lalu rincian dalam hal ini. Adapun bila hakikat nushrah mereka itu adalah dalam memerangi yahudi atau komunis atau kaum kafir lainnya, maka ini termasuk jenis bab yang dibuatkan oleh para fuqaha dalam (membantu kaum musyrikin dalam memerangi kaum musyrikin)[28] dan ini bukan termasuk bahasan kita disini, dan siapa yang ingin rincian di dalamnya maka hendaklah ia merujuk pada tempat-tempatnya dari kitab-kitab fiqih. Akan tetapi kami mengingatkan dia agar tidak membahas masalah ini sebagai sekedar masalah fiqih yang dijauhkan dari bendera jahiliyyah yang buta.
Dan kebenaran yang wajib diperhatikan disini adalah bahwa jaisy (polisi atau tentara) di payung pemerintahan-pemerintahan kafir hari ini, meskipun mereka mengklaim bahwa ia didirikan dan berdiri untuk tujuan menghadang musuh dari luar – seperti yang mereka katakan – maka ia pada kakikatnya tidak melakukan hal itu kecuali demi melindungi kekuasaan thaghut dan demi mengokohkan sistim kafir, oleh sebab itu ia tidak membedakan antara musuh dengan musuh (yang lain), dimana setiap orang yang memusuhi pemerintahan maka ia itu musuhnya walaupun ia tergolong muwahhidin pilihan…
Jadi yang menjadi acuan bukanlah klaim dan istilah serta apa yang diklaim dan ditulis di peraturan-peraturan angkatan bersenjata ini berupa latar belakang pendirinya dan tujuan-tujuannya, namun yang dianggap adalah hakikat hal itu dan keberadaannya sebagai penjaga yang sebenarnya bagi sistim yang berkuasa, baik itu berasal dari musuh dari luar ataupun dari dalam, tidak ada perbedaan – bagi mereka – itu dikarenakan kendalinya ada di tangan thaghut, kroni-kroninya dan kaki tangannya. Si thaghutlah yang mengarahkannya sesuka dia, karena dia itu di negeri kami yang tertindas mereka namakan sebagai “panglima tertinggi angkatan bersenjata”[29].
Sebagaimana wajib diketahui bahwa sekedar adanya ‘azzam (niat) atau janji dan ‘ahd (bai’at) atau akad dan sumpah mutlak yang dikomitmeni oleh individu-individu tentara/polisi dan selain mereka, atau kesepakatan umum yang mereka tampakan untuk membela kaum musyrikin hamba UU terhadap setiap orang yang memusuhi mereka, meskipun musuh itu dari kalangan muwahhidin maka ini saja cukup untuk memvonis kafir terhadap dhahir pelakunya. Karena Allah ta’ala sendri telah memvonis dengan vonis seperti ini terhadap sebagian orang yang menampakkan Islam dan mengklaim iman dengan sebab sekedar mereka menjanjikan kepada orang-orang yahudi dan bersepakat bersama mereka untuk membantunya menghadapi kaum muslimin, pada saat kaum muslimin memerangi kaum yahudi itu, dimana Allah berfirman:
“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya bila kamu diusir, niscaya kamipun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tiada akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tiada akan menolongnya, sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari kebelakang, kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan” Al Hasyr: 11-12
Perhatikanlah bagaimana Allah ta’ala mengikatkan persaudaraan antara orang-orang yang menampakkan Islam itu dengan orang-orang yahudi, (yaitu mengkafirkan mereka) dengan sebab sekedar penjalinan kesepakatan dan akad, walaupun mereka itu tidak jujur dalam akadnya itu…sungguh Allah ta’ala telah mengabarkan bahwa mereka itu tidak jujur dalam kesepakatan ini dan bahwa mereka itu tidak akan membantu kaum yahudi saat peperangan terjadi. Dan ini seperti apa yang diklaim oleh banyak orang-orang yang sesat yang menyia-nyiakan umur mereka dalam melindungi thaghut dan hukumnya dan dalam memperbanyak jumlah kaum musyrikin, padahal sesungguhnya mereka itu tidak akan membantu budak UU terhadap muwahhidin bila peperangan terjadi…!! Bahkan mereka akan mejauhi muwahhidin di saat pertempuran… akan tetapi mereka tidak bisa lulus dari diklat-diklatnya dan tidak menerima tugasnya sehingga mereka berjanji terlebih dahulu untuk membela kaum musyrikin UU dan melindungi sistim kafir, serta meraka bersumpah untuk loyal (setia) penuh kepada thaghut…
Maka hendaklah mereka mengetahui bahwa mereka itu telah keluar dari Islam dengan sebab kesepakatan mereka ini dan dengan sebab janji dan sumpah mereka untuk tawalliy dan nushrah yang penuh kepada orang-orang kafir dalam memerangi setiap orang walaupun ia itu tergolong muwahhidin, serta untuk menyerahkan kendali mereka kepada orang-orang kafir itu, sebagai tentara, militer, dan anshar dengan syarat mereka tidak menolak untuk mentaati dan membela mereka di tempat mana saja mereka ditempatkan. Dan setiap orang adalah bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan dia lebih mengetahui perihal kekotoran dirinya dari kesuciannya. Maka hendaklah ia segera lari kepada Tuhan dan Pelindungnya, agar ia menjadi bagian dari barisan tentara tauhid bukan bagian dari barisan ahli syirik dan tandid.
Bagaimanapun keadaannya kami kembali mengatakan: seandainya benar klaim si penanya bahwa sisi ini dari (alasan tawalliy dan nushrah) yaitu (membela kaum musyrikin untuk memerangi muwahhidin) adalah tidak ada pada tentara atau polisi atau dinas-dinas serupa, karena hal itu tergolong tugas khusus dinas intelijen atau yang serupa dengan mereka yang spesial melakukan tipu daya terhadap muwahhidin dan memerangi mereka, dan bahwa hal ini tidak ada pada ketentaraan dan kepolisian serta yang lainnya kecuali saat terjun langsung memerangi muwahhidin, umpamanya tentara turun ke jalan untuk memerangi anshar syariah, sebagaimana yang terjadi sekarang di Al jazair.
Kami katakan: seandainya benar klaim ini, maka masih ada bagian ke dua dari alasan yang kami utarakan, yaitu nushrah kemusyrikan, kekafiran, thaghut dan UU itu sendiri. Karena sesungguhnya Allah tatkala menjadikan tauhid sebagai tuntunan dan hak bagi-Nya atas hamba-hamba-Nya, maka dia memerintahkan mereka untuk mentauladani Millah Ibrahim dalam hal itu, sebagaiman telah yang kami rinci dalam tempat lain, sedangkan hal itu tidak terealisasi kecuali dengan keberlepasan diri dari syirik dan para pelakunya…
Yaitu dari kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Allah… dan dari kemusyrikan-kemusyrikan mereka serta tuhan-tuhan mereka yang bathil itu sendiri…
Dimana Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada bagi kamu suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Saat mereka berkata pada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan diri apa yang kamu ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu, dan telah nampak di antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian selamanya sehifgga kamu beriman kepada Allah saja” Al Mumtahanah: 4
Dan Allah ta’ala berfirman tentang Ibrahim:
“Dan aku akan menjauhkan diri dari padamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah” Maryam: 48
dan berfirman
“Maka ketika Ibrahim telah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang kamu sembah selain Allah” Maryam: 49,
dan Dia subhanahu wa ta’ala berkata tentang para pemuda Ashabul Kahfi
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah” Al Kahfi: 16,
jadi bagi orang yang ingin merealisasikan tauhid yang merupakan hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan yang merupakan pusat poros keselamatan, maka ia harus menggabungkan antara sikap menjauhi ibadah dan nushrah thaghut dan kemusyrikan dengan sikap menjauhi tawalliy dan nushrah aparat penegak dan budak hukum.
Bila seseorang mengklaim bahwa tentara atau polisi atau yang serupa dengan mereka itu tidak memerangi muwahhidin atau bahwa di antara mereka ada orang yang menjauhi sikap membantu kaum musyrikin terhadap muwahhidin atau bahwa ia itu taubat dan mendapat petunjuk dan terus ia ingkar terhadap kesepakatannya bersama mereka untuk membantu dalam menghadapi muwahhidin atau yang lainnya, atau bahwa ia itu tidak akan melakukan hal itu bila peperangan terjadi atau tragedi datang…
Namun mana mereka itu dari sikap menjauhi nushrah dari kemusyrikan itu sendiri dan dari sikap tawaliy terhadap undang-undang buatan, serta dari sikap melindungi dari ajaran agama baru (demokrasi) dan hukum yang kafir…?
Bukankah mereka itu sebagaimana yang mereka banggakan dan mereka sematkan nama kepada diri mereka sendiri, adalah mata yang selalu terjaga melindungi undang-undang…?! Mereka menghabiskan umur mereka dan mereka mengorbankan jiwa raga mereka dalam melindungi, menjaga, melaksanakan dan megokohkan undang-undang itu??bukankah mereka pelindung dan penjaga UUD, yang memaksakan manusia untuk merujuk kepada undang-undang dan lembaga-lembaga hukumnya?!
Maka dimana sikap menjauhi syirik itu bila mereka memang seperti apa yang mereka klaim akan menjauhi kaum musyrikin?!?
Kemudian bila ada yang bertanya: Bagaimana solusi gantinya?! Dan bagaimana kita mencegah kejahatan dan bagaimana kita melindungi harta, jiwa dan kehormatan? Sebagaimana yang diisyaratkan dalam pertanyaan si penanya, dan sebagaiman seperti yang didengung-dengungkan selalu oleh aparat thaghut dan barisan penegak undang-undang saat kami mengajak mereka untuk berlepas diri dari syirik dan kebatilan mereka…
Maka kami katakan: Sungguh bahaya adalah lebih besar dan lebih dahsyat dari itu. Dan meskipun hal ini tidak tercapai dalam kondisi seperti ini kecuali dengan nushrah ajaran (hukum) thaghut dan tawalliy kepada syirik dan para pelakunya maka tetap saja tidak boleh seseorang menjadikan dirinya sebagai domba tebusan yang jatuh ke dalam neraka jahannam seraya kekal di dalamnya, dengan dalih melindungi kehormatan manusia atau jiwa mereka atau harta mereka. Hal-hal pokok tersebut meskipun ia adalah maslahat-maslahat yang mu’tabarah (dianggap), akan tetapi lebih besar dari itu semuanya adalah maslahat tauhid yang wajib atas setiap orang memurnikannya bagi Allah ta’ala, dan Allah ta’ala akan menanyakan kepada dia tentangnya sebelum Dia bertanya kepada dia tentang sesuatu dari maslahat-maslahat itu karena untuk hal itu Dia menciptakannya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali mereka beribadah kepada-Ku” Adz Dzariyat: 56,
para ahli tafsir: yaitu supaya mereka beribadah kepada-Ku saja…
Dan untuk perealisasian hal itu maka Dia mengatur para Rasul semuanya, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Dan kami tidak mengutus sebelum engkau seorang Rasulpun melainkan kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Illah (yang berhak diibadati) kecuali Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku” Al Anbiya: 25.
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus pada setiap umat seorang Rasul (para Rasul itu mengatakan) kepada umatnya: “Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” An Nahl: 36
dan ia adalah hak Allah yang paling khusus atas hamba-hamba-Nya, oleh sebab itu ia disebutkan secara khusus dalam hadits Mu’adz, yaitu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (Hak Allah atas para hamba adalah mereka mengibadatinya dan tidak menyekutukan sesuatupun dengan-Nya…).
Dan tidak halal menelantarkan hak ini atau menghancurkannya dan menggugurkannya serta menyia-nyiakannya, dengan dalih untuk mendapatkan hak-hak atau maslahat-maslahat dunia, dan tidak ragu bahwa dalam pengguguran maslahat-maslahat yang mereka jadikan sebagai dalih adalah terdapat mafsadah-mafsadah yang besar, akan tetapi lebih besar dari itu semuanya adalah mafsadah syirik yang membatalkan tauhid lagi mengekalkan orang dengan sebabnya dalam neraka jahannam, menghapuskan amalan seleuruhnya dan mengharamkan surga atasnya.
Sedangkan kami telah menjabarkan kepadamu dalam tempat lain bahwa dien (falsafah/hukum/sisitm) pemerintah-pemerintah ini dan UUnya adalah berdiri di atas ajaran kafir dan penetapan sekutu-sekutu pembuat hukum di samping Allah ‘Azza wa jalla, maka silahkan rujuk hal itu di tempatnya supaya kamu mengetahui bahwa syirik adalah mafsadah (kerusakan) terbesar dalam kehidupan ini secara mutlak, karen ia adalah dosa yang tidak Allah ampuni selamanya, bila pelakunya mati di atasnya, sebagai mana firman-Nya ta’ala:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) penyekutuan terhadap-Nya dan Dia akan mengampuni selainnya bagi orang yang dikehendaki-Nya” An Nisa: 48.
Oleh sebab itu kami katakan pertama-tama kepada orang yang bertanya tentang solusi ganti…!!
Solusi ganti bila kamu menjauhi syirik yang mengekalkan dalam neraka adalah; surga yang lusanya langit dan bumi yang disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa…Allah ta’ala berfirman:
“Barang siapa dijauhkan dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” Ali Imran: 115.
Bila dikatakan: Ini benar, tapi apa solusi untuk menjaga maslahat-maslahat itu?
Maka kami katakan: solusi itu tidak bisa dengan cara membela dien (sistim) syirik dan undang-undang buatan dan tidak pula dengan mengokohkan pilar-pilranya, karena sesungguhnya orang berakal yang jeli lagi mengamati undang-undang mereka, ia akan mendapatkan bahwa ia pada hakikatnya tidaklah melindungi maslahat-maslahati itu, bahkan justeru total sebaliknya, ia malah menggugurkan, menghancurkan dan berperan andil siang-malam dalam merobohkan maslahat-maslahat itu. Kami telah merinci hal itu dan menjabarkannya dengan dalil-dalil yang shahih dan contoh-contoh yang jelas dari undang-undang mereka dalam hal-hal terpenting (dlaruriyyat) seluruhnya yang mana syariat datang untuk melindunginya, yaitu dien, nasab (keturunan), kehormatan, akal dan harta, dan kami telah menjabarkannya dalam kitab kami (Kasyfun Niqab ‘An Syari’atil Ghaab)… barang siapa menghendakinya maka silahkan dia merujuk hal itu agar ia mengetahui secara meyakinkan bahwa undang-undang yang mereka klaim bahwa ia mencegah kejahatan dan melindungii harta jiwa, darah, dan kehormatan, ia pada hakikatnya adalah sebab utama dalam kejahatan dan faktor pertama dalam penumpahan darah muwahhidin dan keterjagaan darah orang-orang kafir dan musyrikin, dan ialah sebab utama dalam pembukaan pintu-pintu diyaatsah (sikap tidak cemburu terhadap zina dan yang semacamnya yang dilakukan keluarga) dan memudahkan pelacuran, kerusakan dan perzinahan dengan cara menelantarkan hudullah dan dengan melindungi, menjaga dan melegalkan rumah-rumah bordil, bar-bar dan diskotik, dan ia juga sebab utama dalam menjaga dan melindungi harta yang haram, dan menjaga riba, suap, pajak, denda, dan yang lainnya,dalam waktu yang bersamaan ia membuka pintu lebar-lebar bagi para aparat hukumnya untuk memakan harta manusia dengan bathil dan menjarah usaha mereka dalam bingkai perlindungan undang-undang ini dan pengguguran had pencurian dan menggantinya dengan sangsi-sangsi yang rendah yang menyemangati dan mempermudah pencurian…dan bahwa ia adalah sebab utama dalam pengguguran nikmat akal dengan cara pelegalan khamr dan pengizinan serta pelegalan jual-belinya, serta menjaga dan melindungi hal itu disertai pengguguran hududullah yang bisa membuatnya jera, serta hal-hal dlaruriyyat dan maslahat-maslahat lainnya yang mana undang-undang ini pada hakikatnya berperan dalam penghancuran dan penggugurannya, bukan menjaga dan melindunginya sebagaimana yang di klaim secara dusta dan bohong oleh para pelindung dan para arbabnya. Dan semua itu telah kami jelaskan dan kami rinci dalam kitab kami tersebut dengan dalil-dalil dari undang-undang mereka yang beraneka ragam, sebagaimana telah kami jelaskan bahwa perlindungan dan perealisasian maslahat-maslahat itu tidaklah terjadi dengan melindungi, menjaga, membela dan menerapkan dien (sistim/hukum/falsafah) thaghut dan undang-undangnya, akan tetapi hal itu hanya akan terealisasi dalam payung hukum Allah dan syariat-Nya dan dengan menerapkan hudud-Nya yang tinggi lagi suci. Dan sampai hal itu terwujud dan terealisasi dalam dunia realita, maka tidak boleh bagi siapa saja menjadi tentara untuk membela musuh-musuh syariat dan menjadi aparat pelindung hukum yang menggugurkan dan melawannya, namun yang wajib atasnya adalah dia menggerakkan para pemudanya dalam upaya merobohkan para thaghut itu dan undang-undang kafir yang membatalkan dienul Islam dan menghabiskan umurnya dalam membela syariat Allah, sehingga dia menjadi tentara dari tentara-tentara tauhid dan syariat, yang berupaya keras dalam rangka memberlakukannya, mengokohkannya, meninggikannya dan mengembalikan kekuasaannya pada dunia realita seraya memulai oleh dirinya sendiri dan orang-orang yang dibawah pengandaliannya. Allah ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” At Tahrim: 6.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya perihal kepemimpinannya…) maka orang yang jujur lagi peduli hendaklah bersegera dlaruriyat dan maslahat-maslahat itu pada dirinya dan keluarganya terlebih dahulu, dan hendaklah dia memulai dengan dien dan tauhidnya terlebih dahulu, dia menjaganya dari kerusakan-kerusakan dien thaghut yang syirik dan undang-undang yang kafir.
Maka hati-hatilah dari penelantaran hal itu dengan dalih syubhat-syubhat dan hujjah-hujjah iblis yang kosong melompong itu, karena sesungguhnya Allah ta’ala akan menanyakannya sebelum dia menanyakannya tentang kejahatan yang ada di masyarakat atau yang lainnya, Dia akan menanyakannya pertama-tama tentang dirinya sendiri dan apa yang dia telantarkan perihal pentauhidan Sang Pencipta yang merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala yang paling khusus, kemudian tentang orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya dan sikap aniaya terhadap mereka.
Jadi kesimpulannya: kami katakan: bahwa hal yang wajib atas setiap orang yang masih berada dalam barisan tentara, polisi dan aparat penegak undang-undang buatan (ansharul qanun) adalah dia bersegera dan cepat-cepat melarikan diri dari dien (hukum/sistim/falsafah) syirik ini kepada Allah ta’ala, dia mengEsakan-Nya ta’ala dan mentauhidkan-Nya dengan ibadah, hukum, ketaatan, dan penyandaran kewenangan hukum, serta dia bersungguh-sungguh dalam nushrah hukumnya, supaya ia menjadi bagian dari anshar dien dan tentara-Nya, yang telah Dia ta’ala firmankan perihal mereka:
“Dan sesungguhnya tentara kami itulah yang pasti menang” Ash Shafat: 173,
Dan hati-hati jangan sampai dia masih tetap berada dalam barisan tentara iblis yang telah Allah firmankan perihal mereka:
“Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama orang-orang yang sesat, dan bala tentara iblis semuanya” Asy Syu’ara: 94-95
Kemudian bila dia tetap berada di tengah mereka seraya memperbanyak jumlah barisan mereka lagi mengklaim bahwa dia tidak akan membantu atau tawalliy kepada hukum mereka yang syirik dan bahwa ia tidak akan membantu mereka terhadap muwahhidin yaitu bahwa alasan yang karena sebabnya kami mengkafirkan mereka itu tidak ada pada diri dia, maka kami katakan kepadanya: bahwa iman menurut ahluss sunnah adalah ucapan, amalan dan keyakinan, sehingga wajib atas dirimu bila kamu memang benar jujur dalam klaimmu ini, (wajib) amalanmu ini membenarkan keyakinanmu, dengan cara kamu menjauhi thaghut, supaya dengan hal itu kamu menampakkan dan merealisasikan tauhid yang mana semua Rasul diutus dengannya dalam bentuk ucapan, amalan dan keyakinan. Dan selagi kamu memperbanyak barisan syirik dan para pelakunya lagi tampil nampak dengan penampilan ansharnya, para aparatnya, tentaranya, dan para pelindungnya lagi bergabung kepada mereka juga berlindung dengan kekuatan senjata dan undang-undang mereka, maka kamu ini belum menjauhi nushrah thaghut sesuai apa yang nampak di hadapan kami, sehingga kami diudzur bahkan mendapatkan pahala insayAllah atas pemberlakuan hukum-hukum dhahir ini yang kamu tampakkan kepada kami. Dan Rabb kami tidak membebani kami untuk mengorek hati kamu supaya kami mengetahui apa yang kamu sembunyikan di hati kamu dan apa yang kamu klaim di dalamnya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkata (Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk mengorek hati manusia).
Al Bukhari telah meriwayatkan dari Umar ibnul Khaththab radliallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: (…barangsiapa menampakkan kebaikan di hadapan kami maka kami mempercayainya dan medekatkannya, dan sedikitpun dari rahasianya tidak diserahkan kepada kami, Allahlah yang akan memperhitungkan rahasia hatinya. Dan barangsiapa yang menampakkan keburukan dihadapan kami, maka kami tidak mempercayainya dan tidak membenarkannya, meskipun dia berkata bahwa batinnya baik).
Sebagaimana kita tidak dibebani apa yang tidak kita mampu yaitu berupa pemilahan – sebagaimana apa yang telah lalu – namun justeru orang yang memperbanyak barisan syirik dan musyrikin itulah yang dibebani untuk memisahkan diri dari mereka dan menjauhi mereka, dia diperintahkan untuk memilah antara kekafiran dengan iman dan antara tauhid dengan tandid (syirik) dan bila tidak maka sesungguhnya perlakuan terhadap dia bagi kami adalah tetap, berdasarkan dhahir yang mana dia tidak lepas darinya, dan batinnya bila memang dia jujur adalah diserahkan kepada Allah ta’ala di hari kiamat, Dia membangkitkannya di atasnya dan menghisab dia berdasarkan hal itu, kemudian bila Allah mengetahui bahwa dia itu memang benar tidak menjadi pembela kemusyrikan dan undang-undang dan bahwa dia tidak membantu kaum musyrikin atas muwahhidin, maka Allahlah yang akan memperhitungkan dia dan Dialah yang akan menanganinya sedang Dia itu tidak akan menzalimi sedikitpun. Akan tetapi pertanyaan yang kami ingingkan jawaban dari dia terhadapnya sekarang adalah:
Bagaimana kami mengetahui darinya hal seperti itu di dunia tanpa dia sendiri memisahkan diri dari syirik dan ansharnya, selagi dia menjadi penjaga mereka dan tentara bagi undang-undang dan kemusyrikan mereka serta memperbanyak jumlah barisan mereka?!
Dan pertanyaan yang paling berbahaya dan paling menakutkan yang dilontarkan malaikat kepadanya di hari saat dia meninggalkan dunia ini di awal fase kehidupan akhirat, dimana mereka langsung menyambutnya dengan pertanyaan
“Dibarisan mana kalian ini”?! An Nisa: 97,
Yaitu dipihak mana dan dibarisan mana serta dijajaran mana…?!
Apakah di barisan tauhid, tentaranya dan ansharnya?!
Ataukah di barisan syirik, tentaranya dan ansharnya?!
Maka lekaslah kamu menjauhi syirik dan para pelakunya…
Lekaslah… dan lekaslah…
Dan bila tidak maka neraka …dan neraka…
Bahasan Singkat Perihal Hukum Berjabat Tangan atau Mengucapkan Salam kepada Orang-orang Kafir
Pertanyaan Ke Lima
Apa hukum mengucapkan salam dan berjabat tangan dengan tentara thaghut dan kaum kafir serta musyrikin lainnya?
Dan apakah anda mengharuskan setiap orang muslim untuk menampakkan sikap permusuhan terhadap orang-orang kafir…?
Dan apakah anda mengkafirkan orang yang mudahanah (berbasa-basi) kepada mereka atau berjabat tangan dengan mereka…?
Apakah boleh mengucapkan salam kepada mereka atau menjabat tangan mereka demi melunakkan hati mereka untuk mendakwahi mereka?
Jawaban
Segala puji hanya bagi Allah semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ta’ala berfirman
“Sesungguhnya kami telah mengutus ada setiap umat itu seorang Rasul (mereka berkata kepada kaumnya): “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut” An Nahl: 36.
Ini adalah inti dakwah para Nabi dan pusat putaran rodanya, dan ia itu terdiri dari dua rukun: ibadah kepada Allah saja dan menjauhi thaghut. Dan tidak ragu lagi bahwa Allah memiliki hikmah yang agung dalam penyebutan kata “menjauhi” bagi thaghut dan tidak membatasinya hanya dengan menjauhi ibadah saja, akan tetapi dia memutlakkan kata tersebut agar masuk di dalam hal itu juga kewajiban menjauhi nushrah dan tawalliy kepadanya, dan (kewajiban) menjauhi rasa cinta, kasih sayang dan pengagungannya, dan begitu juga (kewajiban) menjauhi rasa takut, dan berharap atau cenderung kepadanya, mudahanah terhadapnya dan berdebat dalam rangka membela-belanya.
Dan seperti itu pula: menjauhi tindakan-tindakan yang bisa menghantarkan kepada pintu-pintu seperti ini seperti menjauhi sikap mencintai dan berkasih sayang dengan aparat-aparat thaghut, menjauhi kecenderungan kepada abdi-abdi thaghut dan ansharnya, serta menjauhi sikap mengakui kebatilan mereka, kemungkaran mereka, kemusyrikan mereka dan pembelaan mereka kepada thaghut.
Dan tidak diragukan bahwa hal-hal ini semuanya tidak berada pada tingkatan status yang sama dan tidak semuanya hukumnya sama, dimana peribadatan kepada thaghut baik berupa sujud atau doa permohonan atau sembelihan atau ketaatan pada hukum buatan, dan begitu juga nushrah thaghut dan tawalliy kepadanya, semuanya adalah kekafiran yang tidak bisa disamakan dengan sikap mudahanah kepada thaghut, atau sedikit cenderung kepada aparat-aparatnya atau bersikap lemah lembut kepada mereka, maka wajib membedakan antara hal-hal yang menyebabkan pelakunya kafir dengan dosa-dosa yang di bawah itu, dan tidak boleh mencampur adukkan antara ini dan itu, karena tauhid itu memiliki ushul (inti-inti) dan rukun-rukun yang wajib direalisasikan, dan barangsiapa merobohkan sesuatu darinya maka dia telah merobohkan agamanya.
Dan juga tauhid memiliki pelengkap-pelengkap dan penyempurna-penyempurna yang barang siapa merealisasikannya murni karena Allah maka ia tergolong kalangan khusus kaum mukminin, akan tetapi barangsiapa melakukan keteledoran pada sesutau dari hal-hal penyempurna atau cabang-cabang itu, maka tidak boleh tegesa-gesa mengkafirkannya, namun di antara hal-hal itu ada suatu yang tergolong kewajiban-kewajiban tauhid yang mana orang yang teledor di dalamnya mendapatkan dosa dan tidak di kafirkan, dan di antara hal-hal itu ada suatu yang tergolong mustahabbat (hal-hal yang di anjurkan) yang tidak berdosa dan tidak di kafirkan orang yang teledor di dalamnya. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala tatkala menuturkan kata “menjauhi” disini adalah Dia menginginkan kesempurnaan tauhid bagi hamba-hamba-Nya, dengan bentuk mereka memutus seluruh hubungan, ikatan dan kaitan dengan thaghut, ansharnya dan aparat-aparatnya, kecuali sesuatu yang dilakukan dalam rangka dakwah atau transaksi duniawi yang dibolehkan.
Oleh sebab itu maka kesempurnaan penerapan tauhid ini adalah dengan cara mencontoh dan mentauladani Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya dan di atas jalannya serta millahnya dari kalangan para Nabi dan shalihin.
Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya telah ada bagi kamu suri tauladan yang baik pada diri Ibarahim dan orang-orang yang bersamanya saat mereka berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu ibadati selain Allah, kami ingakari (kekafiran)mu, dan telah nampak antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” Al Mumtahanah: 4
Perhatikanlah bagaimana Allah ‘Azza wa jalla mengedepankan penyebutan bara-ah (keberlepasan diri) dari kaum-kaum yang musyrik yang menyembah selain-Nya terhadap keberlepasan diri dari para thaghut mereka dan sembahan-sembahan mereka yang bathil, dimana Dia berfirman:
“Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu” Al Mumtahanah: 4
Dan begitu juga firman-Nya ta’ala:
“Dan aku akan menjauhkan diri daripadamu dan dari apayang kamu seru selain Allah” Maryam: 48
dan firman-Nya ta’ala:
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah” Maryam: 49
dan begitu juga dalam firman-Nya tentang pemuda Ashabul Kahfi:
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah” Al Kahfi: 16.
Allah mengedepankan sikap meninggalkan kaum musyrikin, menjauhi mereka dan bara’ah dari mereka dalam itu semuanya terhadap sikap menjauhi sembahan-sembahan mereka yang bathil, kemudian Dia menguatkan hal itu dimana Dia berfirman sesudahnya: “Kami ingkari (kekafiran) kamu” terus berfirman “Dan telah nampak”: yaitu jelas, nyata, gambalang dan terang-terangan, dan tidak disembunyikan atau dirahasiakan dan disamarkan, karena dien ini tidak nampak dan dakwah itu tidak terang dan tidak terkenal kecuali dengan kejelasan dan penampakkan semacam ini. Oleh sebab itu datang hadits tentang sifat kelompok yang menegakkan diennullah di setiap zaman “Akan senantiasa sekelompok dari umatku nampak di atas perintah Allah…” karena sesungguhnya para pemegang kelompok ini adalah kalangan khusus para pengikut para Rasul yang mengikuti Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya dalam ucapan mereka “Dan telah nampak antara kami dengan kamu permusuhan dan kebencian”, maka asal pada dakwah yang benar yang Allah menginginkan kita agar mentauladani para Nabi di dalamnya adalah keberadaan para penganutnya dan para musuh dakwah ini sebagai barisan yang berlawanan “Antara kami dengan kamu” dan dua kelompok yang berselisih serta dua golongan yang bermusuhan, yang nampak jelas permusuhannya di jalan Allah, Alah ta’ala berfirman
“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai tuhan mereka” Al Hajj: 19,
dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Saleh (yang berseru): “Sembahlah Allah”. Tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang bermusuhan” An Naml: 45
Dan Allah ta’ala:
“Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidaklah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?” Hud: 24
Jadi bagi orang yang ingin menegakkan dien ini menampakkan millah ini mestilah keberadaan permusuhan dan kebencian antara dia dengan musuh-musuh Allah itu nampak jelas lagi terang. Dan perhatikan bagaimana Allah ta’ala mengedepankan sikap permusuhan terhadap kebencian dalam ayat Al Mumtahanah, dan itu tidak lain adalah karena permusuhan itu lebih penting dalam penampakan keberlepasan diri dari mereka dan dari kemusyrikan mereka, dan lebih jelas dari kebencian, karena kebencian itu biasanya tempatnya adalah hati, adapun permusuhan adalah ia nampak pada anggota badan dan lisan serta dijalankan secara praktik dengan jihad dan senjata.
Ini secara ringkas adalah rambu-rambu terpenting dari rambu-rambu dakwah para Nabi dan Rasul dan ikatan iman yang paling kokoh serta pilar terpenting Millah Ibrahim[30], dimana dien dan tauhid ini tidak nampak, tidak menyebar dan tidak menang kecuali dengan metode ini yang telah Allah firmankan tentangnya:
“Dan tidak ada yang benci kepada Millah Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri” Al Baqarah: 130.
Di dalamnya terdapat maslahat dakwah yang sebenarnya dan ia adalah ucapan yang paling baik yang mana Allah telah memuji orang-orangnya, dan di dalamnya terdapat hikmah, dan pelajaran yang baik yang mana Allah telah memerintahkan untuk berdakwah dan membantah dengannya, serta di atas jalan inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan cara baik berada. Kemudian sesungguhnya datang setelah itu orang-orang yang menelantarkan millah yang agung ini, dimana orang-orang yang zalim itu mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka, dan mereka menyimpang dari jalan yang lurus ini dan tuntunan yang nampak jelas ini, sehingga mereka malah menjadi anshar, kaki tangan dan tentara bagi thaghut itu, mereka tawalliy kepadanya, membantunya, mencintainya dan membela-bela kebatilannya.
Kemudian bila engkau memperhatikan keadaan manusia bersama mereka, maka engkau mendapatkan orang yang paling baik jalannya di antara mereka adalah orang yang tergolong tersohor –di tengah mereka– dengan keilmuan dan penjelasan, dan dia merasa dengan kepahaman dalam dakwah dan pengetahuan terhadap realita, dan dia mengklaim bahwa dia tidak membantu para thaghut, tidak mencintai mereka dan tidak tawalliy kepada mereka, bahkan dia mengkafirkan mereka dan berlepas diri dari mereka, akan tetapi engkau melihat dia pada hakikat realita yang sebenarnya menjadi kekasih dan kawan dekat bagi anshar dan aparat para thaghut itu, dia tidak mengingkari kebathilan mereka dan tidak berlepas diri dari kekafiran mereka padahal sesungguhnya mereka itu adalah tentara bagi orang yang memerangi Allah dan agama-Nya dan anshar (aparat) bagi orang yang memusuhi syari’at-Nya dan wali-wali-Nya, kemudian engkau melihat mreka itu membela-bela kebathilan mereka, melegalkan sikap pembelaan mereka kepada syirik dan orang-orangnya, menambali (kebathilan) mereka dengan syubhat-syubhat mereka yang rendah, dan mengada-adakan bagi mereka udzur-udzur (alasan-alasan) yang mayoritasnya sama sekali tidak pernah terbesit di benak pikiran para thaghut dan kaki tangannya itu.
Padahal sesungguhnya perseturuan dan permusuhan yang Allah menginginkan kita agar mentauladani dan mencontoh para Nabi di dalamnya adalah menuntut – sebagaimana yang telah lalu – agar orang muslim itu berada di suatu barisan, kelompok, batas, dan lembah sedangkan syirik dan ansharnya berada di barisan lain, serta kelompok,batas dan lembah yang berlainan, dimana dia memutus terhadap mereka segala jalinan muwalah (loyalitas), kecintaan dan kasih sayang, dan dia menampakkan keberlepasan dirinya dari mereka, serta dari kekafiran dan kebatilan mereka, serta dia menyatakan permusuhan dan kebencian terhadap orang-orang yang membangkang lagi memerangi di antara mereka.
Gambaran ini adalah gambaran yang bersinar dan yang disyariatkan antara orang-orang muslim dengan musuh-musuh agamanya. Orang yang bertauhid tinggal memilih, apa ia menampakkannya dan sabar menanggung segala resikonya serta ia menjadi tergolong bagian dari kelompok yang nampak lagi menegakkan diennullah, atau ia beralasan dengan ketertindasan terus ia menjauhi mereka, karena Allah tidak membebani satu jiwa pun melainkan apa yang dia mampu.
Maka hendaklah ini terbukti nampak lagi jelas, dan kami tidak mengatakan wajibnya menampakkan permusuhan terhadap musuh-musuh Allah atas setiap muslim… sama sekali tidak[31] karena sungguh di antara para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah ada orang yang menampakkan tauhidnya di tengah kaum musyrikin secara terang-terangan dan diantara mreka ada yang bersembunyi-sembunyi dengan agamanya, dan menyembunyikan keIslamannya, akan tetapi seluruh mereka adalah tergolong ansharuddin baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.
Oleh sebab itu kami mengatakan, sesungguhnya orang yang tidak mampu dari menampakkan permusuhan terhadap musuh-musuh Allah di suatu waktu, maka tidak halal baginya menampakkan kebalikannya, seperti kasih sayang dan segala saran-sarananya, serta sikap setuju dan fenomena-fenomenanya, tanpa ada paksaan yang sebenarnya, apalagi kalau menampakkan kebencian kepada anshar dakwah ini, keberlepasan diri dari mereka serta celaan terhadap mereka dan terhadap dakwah mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda (Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau hendaklah ia diam) Muttafaq ‘alaih.
Ia tinggal memilih: yaitu ia mengatakan al haq dan menampakkan dien dan millah ini sesuai metode para Nabi dan tuntunan mereka, sehingga ia tergolong kalangan Ath Thaifah Adh Dhahirah atau ia menjauhi segala kebathilan dan diam, maka ini lebih bisa menjadi udzur baginya di sisi Allah dari pada dia mengganti gambaran yang bersinar itu dengan dalih ketertindasan dengan gambaran yang coreng-moreng, dimana dia menampakkan kasih sayang dan kecintaan atau ridla terhadap orang yang mengumumkan perang terhadap agama Allah dan wali-wali-Nya, atau dia melakukan suatu yang bisa menghantarkan kepada kasih sayang dan kecintaan, karena Allah ta’ala berfirman:
“Kamu tidak mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mereka menjalin kasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka itu bapak-bapak…” Al Mujadilah: 22
Dan dalam hadits shahih (Ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah).
Dan ada ungkapan:
Apa kamu mencintai musuh Allah dan kamu juga mengklaim kecintaan kepada-Nya, sungguh itu tidaklah mungkin.
Sebagaimana bahwa Allah menginginkan dari kita untuk mencintai dan tawalliy kepada orang yang mencintai dan tawalliy kepada-Nya, maka begitu juga Dia menginginkan dari kita agar membenci orang yang membenci Dia, dan memusuhi orang yang memusuhi-Nya dan memerangi ajaran-Nya, atau sesuai kadar iman yang paling rendah kita membenci mereka di hati kita dan menjauhi mereka dimana lisan-lisan dan anggota-anggota badan kita tidak menampakkan sikap setuju atau kasih sayang atau ridla.
Bila ini sudah jelas maka tidak ragu bahwa “pengucapan salam” itu termasuk jalan-jalan yang menghantarkan kepada kasih sayang dan kecintaan sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Ash Shadiqul Mashduq (Nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya: “Demi dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya. Kalian tidak masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai, maka apa kalian mau saya tunjukkan kepada sesuatu yang bila kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah secara marfu’)
Kaum muslimin diperintahkan untuk memperkokoh ikatan-ikatan kecintaan dan ukhuwah serta menyuburkannya di antara mereka, dan oleh sebab itu mereka telah diperintahkan untuk menyebarkan salam di antara mereka satu sama lain, akan tetapi mereka sebagaimana yang lalu telah dilarang dari menjalin kasih sayang dan kecintaan dengan kaum musyrikin dan oleh sebab itu maka telah dilarang dari sarana-sarana yang bisa menghantarkan kepada hal yang dilarang ini. Kemudian bila pengucapan salam terhadap musuh-musuh Allah itu adalah sarana dan jalan yang menghantarkan kepada kasih sayang, maka wajiblah memutus jalan dan sarana yang menghantarkan kepada hal yang dilarang itu.
Dari ‘Uqbah ibnu ‘Amir berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya besok saya akan berkendaraan mendatangi orang-orang yahudi maka janganlah kalian mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka dan bila mereka mengucapkan salam kepada kalian maka jawablah: wa ‘alaikum”. HR Ahmad.
Muslim dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Janganlah kalian mengucapkan salam terlebih dahulu kepada yahudi dan nashrani” dan dalam riwayat Muslim juga: “Bila kalian bertamu dengan kaum musyrikin maka janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada mereka”. Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam musnadnya dan Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrid, dan dalam riwayat lain Ahmad (2/263) Zubair berkata: Saya berkata kepada Suhail: Kaum yahudi dan nashrani? Maka beliau berkata: Kaum musyrikin”. Dan lafadz ini lebih luas dari dua hadits sebelumnya, sehingga masuk di dalamnya setiap orang musyrik dan di antaranya adalah para abdi UUD dan kaum musyrikin undang-undang[32].
Bila hal ini sudah jelas maka hukum asal adalah tidak boleh memulai mengucapkan salam kepada mereka dan bahwa hal itu adalah haram lagi tidak halal kecuali saat darurat, sedangkan darurat itu dibatasi sekedarnya saja, dan disertakan dengan pengucapan salam adalah berjabat tangan, karena ia (jabatan tangan) itu termasuk penghormatan, maka termasuk kesempurnaan sikap pemboikotan, penjauhan diri, penghindaran diri, pengingkaran dan permusuhan terhadap musuh-musuh Allah dan musuh-musuh ajaran-Nya, serta terhadap anshar para thaghut adalah sama. Da’i yang menampakkan diennya tidak meletakkan tangannya pada tangan mereka, dan dia menjadikan hal itu sebagai bagian dari pengingkaran dia terhadap kebathilan mereka, kemusyrikan mereka dan realita mereka serta sebagai penampakkan sikap permusuhan terhadap mereka.
Dan kami menggunakan hal ini terhadap tentara thaghut dan ansharnya, dimana kami meninggalkan berjabat tangan dengan mereka dan kami memeberitahukan kepada mereka serta menyatakan di hadapan mereka akan alasan hal itu, dan bahwa kami tidak meletakkan tangan kami pada tangan mereka, karena mereka telah menelantarkan ajaran Allah dan memeranginya serta mereka telah berada di barisan thaghut sebagai anshar bagi undang-undang buatan dan sistim/falsafah yang syirik.
Dan kami nyatakan terang-terangan di hadapan mereka bahwa kami meninggalkan berjabat tangan dengan mereka sebagaimana kami meninggalkan pengucapan salam terhadap mereka sebagai bentuk pengingkaran terhadap kemunkaran mereka yang besar serta sebagai bentuk keberlepasan diri dari kemusyrikan dan kebathilan mereka. Dan kami menyatakan terang-terangan kepada mereka bahwa kami tidak meletakkan tangan kami pada tangan mereka yang terkontaminasi nushrah syirik dan para ahlinya, sampai mereka mensucikan diri dari hal itu dengan memurnikan tauhid dan melepaskan diri dari tandid (syirik). Dan kami sengaja menampakan dan menjaharkan keberlepasan itu dalam rangka menampakkan dakwah kami, dien kami dan millah kami, supaya manusia semuanya mengetahui bahwa dikarenakan kami adalah anshar bagi syari’at Allah sedangkan para aparat dan tentara itu adalah anshar bagi syari’at thaghut, maka kami berada di suatu barisan dan parit sedangkan mereka berada di barisan dan parit yang lain, dan bahwa kami telah memutus ikatan-ikatan kecintaan dan kasih sayang antara kami dengan mereka, dan kami telah memutus jalan-jalan yang menyampaikan kepada hal itu, berupa salam, jabatan tangan dan yang lainnya, sampai mereka melepaskan diri dari kebathilan mereka, bara’ dari kemusyrikan merka, kafir kepada thaghut, meninggalkan nushrahnya dan menjauhi penjagaan undang-undangnya yang kafir, kemudian mereka beralih menjadi bagian tentara syari’at dan barisan pembela tauhid. Dan di saat itu saja mereka menjadi ikhwan dan kawan kami, mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kami, dan ini adalah makna firman-Nya ta’ala dalam ayat-ayat yang lalu:
“Dan telah nampak antatra kami dan kamu permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” Al Mumtahanah: 4
Dan metode ini dikuatkan dan dimaknakan kepadanya segala yang ada pada sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa hadits-hadits yang memutus sarana-sarana dan jalan-jalan yang menghantarkan kepada sikap kecintaan dan kasih sayang, seperti meninggalkan sikap meminta pertolongan atau bantuan kepada kaum musyrikin[33], meninggalkan tasyabbuh dengan mereka[34], menolak hadiah mereka[35] dan hal-hal serupa itu. Sungguh Imam Ahmad Ibnu Hanbal telah di tanya tentang menjabat tangan orang-orang kafir dzimmiy maka beliau membencinya[36], maka bagaimana dengan musuh-musuh Allah yang memerangi lagi terang-terangan memusuhi Islam dan pemeluknya…?
Akan tetapi dikarenakan jabatan tangan di dalamnya tidak ada nash-nash yang sharih lagi shahih, sebagaimana nash-nash yang telah lalu sebagiannya perihal memulai pengucapan salam, maka kami tidak menyikapi keras di dalamnya sebagaimana sikap keras kami perihal pengucapan salam, yang memang telah ada dalam hal ini beberapa hadits marfu’ seandainya ia shahih tentu kami dalam hal ini memiliki pendapat lain.
Di antara hal itu adalah apa yang diriwayatkan At Tirmidziy dan Al Hakim dari Asy Sya’biy dalam kisah pengaduan Ali radliallahu ‘anhu kepada Al Qadli Syuraih perihal orang nashrani yang beliau jumpai menjual beberapa baju besi di pasar yang di antaranya ada baju besi yang dikenali Ali, dan bukti dalil dalam kisah ini adalah ucapan Ali: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (Jangan kalian menjabat tangan mereka dan janganlah kalian mengucapkan salam kepada mereka serta janganlah kalian menjenguk mereka yang sakit….)[37]
Asy Syaukani berkata dalam Nailul Authar: (Dan dalam Isnadnya ‘Amr Ibnu Samurah dari Jabir Al Ju’fiy, dan keduanya adalah lemah).
Dan hadits (Termasuk kesempurnaan tahiyyah (salam) adalah jabatan tangan) diriwayatkan oleh At Tirmidziy dari Abdullah Ibnu Mas’ud secara marfu’dan berkata :Hadits gharib.[38]
Mundziriy berkata dalam At Targhib Wat Tarbib: (diriwayatkan oleh At Tirmidziy dari seorang laki-laki yang tidak ia sebutkan namanya darinya).
Dan hadits (Termasuk kesempurnaan ucapan salam kalian di antara kalian adalah berjabatan tangan)
Al Hafidh ibnu Hajjar berkata dalam Fathul Bari (Kitabul Isti-dzan) bab Al Mushafahah: dikeluarkan oleh At Tirmidziy dengan sanad yang lemah dari hadits Abu Umamah, yang beliau marfu’kan.
Dan hadits ‘Atha Al Khurasaniy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Saling berjabat tanganlah tentu lenyap kedengkian dari kamu, serta saling memberi hadiahlah kalian tentu kalian saling mencintai dan lenyaplah permusuhan”.
Al Hafidh ibnu Hajar berkata dalam tempat yang lalu: ia ada dalam Al Muwaththa dari Mursal ‘Atha Al Khurasaniy dan kami tidak mendapatkannya maushul.
Al Mundziriy berkata dalam At Targhib dan At Tarhib: diriwayatkan oleh Malik secara mu’dlal seperti ini, dan telah dimusnadkan dari jalan yang ada perbincangan di dalamnya.
Dan diriwayatkan dalam beberapa kitab hadits: “Jabatan tangan itu menambah kecintaan dan membersihkan kaum mukminin”, namun saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab sunnah dan fiqih yang ada di saya akan tetapi saya mendapatkannya dalam sebagian kitab-kitab Al ‘Adab (Diwanul Ma’aniy) secara maqhtu’ dari ucapan Al Hasan Al Bashriy.
Dan dalam atsar yang mauquf apa yang diriwayatkan oleh M’mar dari Az Zuhriy dari ‘Amr ibni Abi Sufyan Ats Tsaqafiy dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus pasukan untuk memata-matai dan beliau menunjuk ‘Ashim ibnu Tsabit sebagai amir… dan beliau menuturkan kisah mereka yang ada dalam shahih Al Bukhari di perang Raji’ dan keterbunuhan ‘Ashim… sampai ucapannya: (Dan adapun ‘Ashim maka Quraisy mengirim orang-orang untuk mendatangkannya dimana dahulu ‘Ashim itu pernah membunuh ‘Uqbah ibnu Abi Mu’aith al Umawiy di perang Badar dan juga membunuh Musafi’ ibnu Thalhah dan Kilab saudaranya, dan keduanya menandainya, terus mendatangi ibunya ‘Sulafah’ dan berkata: Saya mendengar seorang laki-laki saat menembak saya berkata: Ambillah, dan aku adalah Ibnul Aqlah, maka ibunya bernadzar bahwa bila Allah ta’ala memberikan kesempatan menguasai kepala ‘Ashim, maka dia akan minum khamr dengan memakai kepalanya. Kemudian tatkala ‘Ashim terbunuh di perang Raji’, maka mereka hendak mengambil kepalanya untuk dijual kepada Sulafah, namun Allah mengirim kepadanya rombongan lebah seperti awan sehingga melindunginya dari utusan Quraisy, dan mereka tidak mampu mendekatinya, kemudian tatkala mereka tidak mampu mereka berkata: Sesungguhnya lebah itu akan pergi bila malam datang, maka Allah mengirim hujan dan terus datang banjir sehingga membawanya hanyut dan tidak bisa ditemukan, dan ia sebelumnya telah berjanji kepada Allah untuk tidak menyentuh orang musyrik dan disentuh orang musyrik, maka Allah ta’ala melindunginya dengan lebah liar setelah ia meninggal, kemudian ia dinamakan (penjagaan lebah…) selesai secara ringkas dari Asadul Ghabah karya Ibnul Atsir.
Dan akhir kisah adalah bukti yang dijadikan dalil. Dan Al Bukhari telah menuturkan kisah ‘Ashim dan penjagaan lebah itu tanpa ada tambahan yang di akhir yang menjadi bukti dalil…di (Bab Ghazwatur Raji’, Ri’l, Dzakwan dan sumur ma’unah) dan Al Hafidh ibnu Hajar berkata padanya dalam Fathul Bari: (Dan dalam riwayat Ibnu Ishaq dari ‘Ashim dari ‘Ashim ibnu Umar dari Qatadah, berkata: adalah ‘Ashim ibnu Tsabit telah berjanji kepada Allah untuk tidak disentuh orang musyrik dan tidak menyentuh orang musyrik selamanya maka ’Umar berkata tatkala sampai kepadanya beritanya: (Allah mencegah hamba yang mukmin setelah kematiannya sebagaimana ia menjaga-Nya saat dia hidup)
Dan ini andaikata shahih, maka dibawa kepada sikap sangat serius ‘Ashim radliallahu ‘anhu untuk memutus dan berkonfrontasi dengan kaum musyrikin yang memerangi, bukan atas keyakinannya bahwa hal itu haram, dan tidak apa-apa mencontohnya. Dan telah lalu sikap kami yang senang memutus hubungan dengan musuh-musuh Allah dengan hal itu dan sikap kami menggunakan cara itu, sebagai bentuk penampakkan dan pernyataan keberlepasan diri kami dari mereka dan dari kemusyrikan mereka, sedangkan ini adalah termasuk jenisnya dan bisa menjadikan pegangan yang mendekatkan akan tetapi wajib diketahui bahwa ini – bila memang shahih – maka ia adalah sekedar perbuatan seorang sahabat dan bukan dalil syar’iy sehingga orang yang menyelisihinya tidak boleh diingkari atau dikecam, apalagi divonis bid’ah atau dikafirkan!!!
Terutama sesungguhnya ucapannya (Dan tidak disentuh orang musyrik), sungguh telah bersikap ringan di dalamnya orang yang lebih bertakwa, lebih berilmu dan lebih wara’ (hati-hati) daripada “Ashim ibnu Tsabit dan dari manusia seluruhnya, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam kisah perjanjian Hudaibiyah yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya (Fi Kitab Asy Syuruth) (Bab Asy Syurut Fil Jihad Wal Mushalahah Ma’a Ahlil Harbi Wa Kitabatisy Syurut), dan bukti dalil darinya adalah ucapannya tentang ‘Urwah ibnu Mas’ud: (Maka ia mulai mengajak bicara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan setiap kali ia mengajaknya bicara, ia memegang jenggot beliau sedangkan Al Mughirah ibnu Syu’bah berdiri di dekat kepala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia memegang pedang dan mengenakan topi besi. Dan setiap kali ‘Urwah hendak mengulurkan tangannya kepada jenggot Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia memukul tangannya dengan sarung pedangnya, dan berkata kepadanya: (Jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dan Ibnu Ishaq menambahkan: (Jangan sampai ia menyentuhmu) dan ‘Urwah ibnu Az Zubair menambahkan dalam Maghazi’nya riwayat Abul Aswad darinya: (Karena sesungguhnya tidak layak bagi orang musyrik menyentuhnya). Al Hafidh ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari: (Dan kebiasaan orang-orang arab ialah seorang laki-laki memegang jenggot orang yang sedang ia ajak bicara apalagi saat bercengkrama, dan biasanya hal itu dilakukan oleh orang yang sepadan dengan yang sepadan, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan ‘Urwah dari melakukan itu dalam rangka menarik dan melembutkan (hati)nya, sedangkan Al Mughirah menghalanginya demi memuliakan dan mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Saya berkata: Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal itu terhadap Al Mughirah.
Maka yang benar adalah orang yang mengambil kemudahan dalam hal ini tidak boleh mengingkari terhadap orang yang melarangnya dan begitu juga sebaliknya, kecuali bila perbuatan orang musyrik itu dalam rangka penyepelean, pelecehan, penghinaan dan pencemoohan, maka tidak layak bagi orang muslim mengambil kemudahan dalam hal semacam itu, selagi dia mampu untuk mengingkari dan menampakkan ‘izzah orang muslim, karena sesungguhnya ‘izzah itu milik Allah, milik Rasul-Nya, dan milik kaum mukminin.
Dan penggabungan dalam bab ini adalah dibedakan antara sentuhan yang disebutkan tadi dalam rangka pelunakan hati, maslahat dan penarikan simpati, dengan yang dilakukan dalam rangka penghinaan, pelecehan dan penyepelean, dan antara kondisi saat memilki kekuatan atau kemampuan dan keleluasaan untuk mengingkari, dengan saat kondisi-kondisi taqqiyyah dan ketertindasan.
Dan dari yang telah lalu maka engkau mengetahui bahwa masalahnya dalam hal jabatan tangan dan yang serupa dengannya seperti menyentuh orang kafir atau berbaur dengannya tanpa mengakuinya atau membantunya terhadap kemunkaran, adalah rujuknya kepada siyasah syar’iyyah, maslahat dan mafsadah, karena tidak ada satu nash yang sarih pun yang memastikan keharamannya.
Dan darinya engkau mengetahui juga bahwa hal itu kembalinya bukanlah seperti apa yang dikira oleh sebagian orang kepada najasa hissiyyah (najisnya badan) orang musyrik. Sedangkan apa yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ibnu Waqi’, berkata: (Telah mengabari kami Ibnu Faudlail dari Asy‘Ats dari Al Hasan Al Bashri: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis” beliau berkata: (Janganlah kalian menyalami mereka, dan barang siapa menyalami mereka maka hendaklah ia berwudlu) maka ini tidak lebih dari sekedar ijtihad seorang tabi’in, dan ia itu bukan dalil syar’iy saat ada perselisihan. Dan jumhur ulama memandang bahwa badan orang kafir bukanlah najis hissiy (konkrit), karena Allah ta’ala telah menghalalkan sembelihan ahli kitab dan kaum muslimin tidak diperintahkan baik dalam kitabullah maupun sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersuci setelah menyentuh orang-orang kafir atau saat menggunakan bejana-bejana mereka atau saat makan makanan mereka atau mencium, bersentuhan dan menggauli isteri yang berasal dari ahli kitab, dan andaikata itu wajib tentulah Allah tidak akan membiarkannya:
“Dan Tuhanmu tidaklah lupa” Maryam: 64.
Kesimpulannya: engkau mengetahui bahwa masalahnya disini adalah tergantung kepentingan dakwah sehingga kami keberatan dari menyatakan keharaman jabatan tangan, karena tidak adanya dalil yang shahih lagi sharih tentang hal itu, kecuali bila hal itu menghantarkan kepada sikap mencintai dan jalinan kasih sayang terhadap kaum musyrikin, maka ini dilarang demi menutup jalan kepada hal yang terlarang.
Dan begitu juga halnya berkenaan dengan apa yang sudah lalu berupa sikap meminta bantuan orang-orang kafir dalam beberapa pintu masalah atau tasyabbuh dengan mereka atau memberi mereka hadiah dan menerima hadiah-hadiah mereka, maka ini semua dilarang sebagaimana yang telah lalu bila ini menjadi jalan kepada sikap kasih sayang dan kecintaan terhadap mereka.
Adapun bila jalan penghantar ini tidak ada dan aman, dan sedangkan dalam sesuatu dari hal itu terdapat maslahat[39] atau pelunakkan hati untuk dakwah[40] maka pintu ini telah dibuka lebar oleh Allah yang menetapkan syariat sedangkan apa yang dibuka lebar oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka kami pun membukanya lebar dan apa yang telah Dia tetapkan batasan-batasan baginya maka kita tidak halal melampauinya… dan oleh sebab itu maka rujukannya sebagaimana yang telah kami katakan adalah kepada syiasyah syar’iyyah dan pertimbangan mafsadah dan maslahat selagi tidak menghantarkan kepada jalan penghantar yang dilarang, maka kalau keadaannya seperti ini maka tidak halal mengecam terhadap orang yang menyelisihi dalam masalah ini.
Kami walaupun menginginkan bagi saudara muwahhid bila dia mampu menampakkan dien dan tauhidnya untuk tidak meletakkan tangannya di tangan mereka, dan untuk terang-terangan menyatakan bahwa sebab hal itu adalah karena keberadaan mereka sebagai anshar undang-undang kafir dan aparat kemusyrikan, serta mengajak mereka untuk meninggalkan perbuatan mereka membela syirik dan para pelakunya, dan taubat dari hal itu serta lari kepada Allah, kemudian bila mereka telah melakukan hal itu maka mereka menjadi ikhwan dan kekasih kami, dan bila tidak maka di antara kami dengan mereka tidak ada salam. Tidak ada kasih sayang dan tidak ada kecintaan sampai mereka mentauhidkan Allah saja dan kafir terhadap segala yang mereka persekutukan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam hal hukum, mereka tidak membelanya dan mereka tidak tawalliy kepadanya atau menjadi tentara dan aparat baginya, karena sesungguhnya ini adalah tergolong sarana terbesar penampakan tauhid, penyuaraannya serta penjelasan Millah Ibrahim dan penampakkannya[41] akan tetapi penampakkan dan penyuaraan terang-terangan ini, meskipun kami menjadikannya sebagai manhaj dan mengajak kepadanya serta kami mencintainya bagi ikhwan kami dalam metode dakwah illallah, akan tetapi kami tidak mengharuskan setiap muslim dengannya, terutama dalam kondisi istidlaf (ketertindasan) yang kita hidup di dalamnya. Allah ta’ala berfirman:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka” Ali Imran: 28.
Ulama berkata tetang firman-Nya ta’ala “Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka” ialah orang muslim yang tertindas dalam kekuasaan orang-orang kafir, maka boleh baginya menyembunyikan keIslamannya atau menutupi diri dengan keyakinan dan diennya dimana ia tidak terang-terangan dengan sikap permusuhanya terhadap mereka, akan tetapi dia boleh bersikap lembut dan ramah kepada mereka demi menghindari kejahatan mereka, tanpa ia jatuh dalam kekafiran atau membantu terhadap kekafiran itu atau membantu mereka atas orang muslim.
Bila hal ini boleh dalam kondisi taqiyyah (siasat melindungi diri) dan ketertindasan, maka seperti hal itu adalah jabatan tangan, sehingga kami tidak mengingkari jabatan tangan yang dilakukan orang muslim dalam keadaan-keadaan seperti ini, kami tidak mengecam dia dengan sebabnya atau kami memboikotnya atau mencapnya sebagai ahli bid’ah apalagi kami mengkafirkannya, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh dan orang-orang yang berlebihan…
Maka bagaimana dengan realita penjara yang berdasarkan kesepakatan ia itu adalah tempat taqiyyah dan ketertindasan biasanya[42]. Dan bila saja kami tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan salam kepada mereka, padahal telah lalu nash-nash yang shahih lagi sharih (tegas) perihal pelarangannya[43], sedangkan penetapan dosa dan pengharaman itu adalah sesuatu di luar pengkafiran, maka bagaimana halnya dengan jabatan tangan yang mana engkau telah mengetahui pendapat kami di dalamnya.
Taqiyyah, kondisi terjepit, ketertindasan dan saat ditawan adalah memiliki hukum-hukum yang tidak untuk kondisi lapang, memiliki kekuasaan, kekuatan, dan tamkin, akan tetapi kami mengarahkan orang muslim bila dia memang harus mengucapkan salam kepada mereka agar dia menjauhi mengucapkan salam kepada mereka dengan salam yang disyariatkan dan dalam hal itu para ulama memilki banyak pendapat yang terkenal.
Al Hafidh ibnu Hajar berkata: (Adapun bila dia mengucapkan salam kepada mereka dengan lafaz yang menuntut keluarnya mereka darinya, umpamanya seperti dia mengatakan: as salamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahish shalihin, maka ia boleh, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat kepada Heraclius dan yang lainnya: “salamun ‘ala manittaba’al huda”. Dan Abdurrazzaq mengeluarkan dari Ma’mar dari Qatadah, ia berkata: As salamu ‘ala ahlil kitab bila saya masuk ke rumah mereka: as salamu ‘ala man ittaba’al huda. Dan Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan dari Muhammad ibnu Sirin hal serupa, dan dari jalur Abu Malik: Bila kamu mengucapkan salam kepada kaum musyrikin maka katakanlah: as salamu ’alaina wa’ala ‘ibadillahish shalihin, sehingga mereka mengira bahwa kamu mengucapkan salam kepada mereka, padahal kamu telah memalingkan salam dari mereka) selesai[44].
Dan yang lain berkata: mengucapkan salam keberpalingan dan perpisahan dimana ia mengatakan “salamun ‘alaik” tanpa bentuk ma’rifat, sebagaimana firman-Nya:
“salamun ‘laikum (selamat tinggal, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil” Al Qashash: 55.
Dan di antara manusia ada orang yang merukshahkan mengatakan kepada mereka (selamat pagi) atau (selamat datang)… atau ucapan-ucapan yang lainnya yang biasa digunakan oleh orang-orang awam atau orang-orang ‘ajam dan ia bukan tergolong salam syar’iy yang dilarang mengucapkannya kepada mereka, akan tetapi tanpa berlebihan atau tambahan dalam menampakkan pertanyaan tentang mereka dan tentang keadaan mereka, karena ini hanya dilakukan dengan penuh antusias dan perhatian lebih terhadap kaum muslimin dalam rangka menambah jalinan kasih sayang.
Adapun terhadap kaum musyrikin, maka sesungguhnya menghindari sikap memperluas di dalamnya, Abu Dawud berkata, saya berkata kepada Abu Abdillah (Al Imam Ahmad) apa engkau membenci kepada orang yang mengatakan kepada kafir dzimmiy: bagaimana kondisimu pagi ini? Atau bagaimana keadaanmu? Atau hal serupa ini? Beliau berkata: Ya, ini bagi saya lebih dari sekedar salam”. Selesai dari Al Mughniy 8/536
Dan sebagian salaf adalah mengutarakan salam kepada mereka secara isyarat, sebagaimana Al Bukhari meriwayatkan dalam Al Adab Al Mufrad (1104) dengan sanad shahih dari Abdullah ibnu Mas’ud bahwa beliau mengucapkan salam secara isyarat terhadap para pendeta.
Adapun bila di tempat atau di majelis itu ada campuran dari muslimin dan musyrikin serta anshar mereka, maka tidak apa-apa dalam keadaan seperti ini dari mengucapkan salam…
Dari Usamah radliallahu ‘anhu: (Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati suatu mejelis yang di dalamnya ada campuran dari kalangan muslimin dan musyrikin para penyembah berhala dan kaum yahudi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam) Muttafaq ‘alaih.
Oleh sebab itu Ya’qub ibnu Bukhtiyan berkata: Saya bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad ibnu Hanbal), dimana saya berkata: Kami interaksi dengan kaum yahudi dan nashrani, kami mendatangi mereka di rumah-rumah mereka, sedang disamping mereka ada kaum muslimin, apakah saya mengucapkan salam kepada mereka? Beliau berkata: Ya, kamu meniati salam kepada kaum muslimin”. Selesai dari Al Mughniy 8/536. Ini tentang pengucapan salam kepada mereka.
Adapun jawaban terhadap salam mereka, maka sungguh sebagian sahabat telah mempermudah di dalamnya, dan sebagian ulamapun mengatakannya, berdasarkan firman-Nya ta’ala:
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu” An Nisa: 86.
Ia adalah nash yang umum, akan tetapi di tafsirkan lagi dikhususkan dengan sunnah, dimana telah ada dalam Ash Shahihhain dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (bila orang-orang yahudi mengucapkan salam kepada kalian sesungguhnya orang diantara mereka mengatakan”as saamu’laikum (semoga kalian mati) maka katakanlah wa’alaika (dan kamu juga). Ath Thabari telah menuturkan dalam ayat yang lalu pendapat-pendapat salaf seperti Ibnu Abbas, Qatadah dan yang lainnya bahwa makna (maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik) adalah pemeluk Islam (atau balaslah dengan yang serupa) terhadap orang-orang kafir.
Dari Abu Utsman An Nahdiy berkata: (Abu Musa menulis surat kepada seorang pendeta seraya mengucapkan salam terhadapnya di dalam suratnya maka dikatakan kepada beliau: apa engkau mengucapkan salam terhadapnya sedangkan dia itu kafir? Beliau berkata: sesungguhnya dia telah menulis surat kepada saya seraya mengucapkan salam terhadap saya, maka saya membalasnya) dikeluarkan Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrid (1101).
Sebagian ulama telah berdalil dengan keumuman ayat itu terhadap kebolehan[45] menjawab salam orang-orang kafir dengan ucapan kita (wa’alaikumus salam) saat mereka secara jelas mengucapkan salam syar’iy[46] dengan alasan bahwa pencukupan dengan ucapan kita (wa’alaikum) adalah karena alasan yang diutarakan dalam hadits yang lalu yaitu saat meeka mengucapkan (as salamu’alaikum), sedangkan hukum itu ada dan tidak adanya berputar bersama alasannya. Bila alasan ini tidak ada dan mereka terang mengucapkan salam, maka ini adalah penghormatan dari mereka dan mereka masuk dalam keumuman firman-Nya ta’ala “atau balaslah (dengan yang serupa”, akan tetapi ini diangap isykal dengan sebab apa yang diriwayatkan Al Imam Ahmad dari ‘Uqbah ibnu’Amir berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (Sesungguhnya besok saya akan mendatangi orang-orang yahudi, maka jangan kalian ucapkan salam kepada mereka, dan bila mereka mengucapkan salam kepada kalian maka katakanlah: wa’alaikum).
Dan begitu juga hadits Muttafaq ‘alaih dari Anas radliallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (Bila ahli kitab mengucapkan salam terhadap kalian maka katakanlah: wa’laikum) dan ini adalah mutlak lagi tidak dibatasi dengan alasan itu yang ada dalam hadits-hadits yang lain, kecuali bila dikatakan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan alasan itu adalah mentafsirkan, menjelaskan, lagi membatasi hadits-hadits ini. Dan bagaimanapun keadaannya, barangsiapa menjawab salam dengan ucapan (wa’alaikum) maka ia telah memenuhi panggilan perintah Allah dan firman-Nya ta’ala: “atau balaslah (dengan yang lebih baik”. An Nawawiy berkata dalam Syarh Muslim (bab larangan mengucapkan salam terhadap ahli kitab dan bagaimana menjawab salam mereka) 14/145:
(Ulama berselisih tentang membalas salam dan mengucapkan salam terhadap orang-orang kafir, maka madzhab kami adalah haramnya mengucapkan salam terhadap mereka dan wajibnya membalas salam mereka dengan mengucapkan (wa’alaikum) atau (‘alaikum saja). Sedangkan dalil kami tentang pengharaman pengucapan salam terhadap mereka adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Janganlah kalian mengucapkan salam terhadap yahudi dan nashrani) dan tentang kewajiban membalas salam mereka adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Maka katakanlah: “wa’alaikum”). Dan apa yang kami utarakan tentang madzhab kami adalah dikatakan juga oleh mayoritas ulama dan keumuman salaf). Selesai.
Al Hafidh berkata dalam Fathul Bari dalam (Kitabul Isti-dzan) 11/45: (Jama’ah dari salaf berpendapat bahwa saat membalas salam mereka boleh dikatakan “’alaikumus salam” sebagaimana menjawab salam orang muslim. Dan sebagian mereka berhujjah dengan firman Allah ta’ala:
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: salam (selamat tinggal” Az Zukhruf: 89,
dan Al Mawardiy, menghikayatkan suatu pendapat dari sebagian syafi’iyyah, akan tetapi tidak boleh mengatakan (wa rahmatullah), dan ada yang mengatakan boleh secara mutlak, dan dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Alqamah: boleh hal itu saat darurat…sampai ucapannya: (Dan dari sebagian mereka ada perbedaan antara kafir dzimmiy dengan kafir harbiy) selesai.. dan dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah milik Syaikhul Islam: (ucapan Abul ‘Abbas ibnu Taimiyyah berbeda-beda perihal membalas salam kafir dzimmiy, apakah dibalas dengan yang serupa atau cukup “wa ‘alaikum” saja, dan boleh dikatakan “ahlan wa sahlan” (selamat datang). Selesai dari (bab ‘Aqdl Adz Dzimmah Wa Akhdzil Jizyah).
Bila hal yang lalu ini telah jelas, maka mungkinlah menjawab pertanyaan si penanya (dan bolehkah mengucapkan salam kepada orang-orang kafir atau menjabat tangan mereka dalam rangka meluluhkan hati mereka dan dalam rangka mendakwahi mereka?) maka kami katakan: bila hubungan dengan orang-orang kafir itu adalah hubungan dakwah dan bayan. Maka adapun pengucapan salam terhadapnya maka sungguh engkau telah mengetahui bahwa larangan darinya telah datang dengan tegas, sehingga kami meskipun madzhab kami adalah melupakan di dalamnya pada kondisi taqiyyah dan ketertindasan karena (darurat itu membolehkan suatu yang dilarang) dan (bila urusan itu sempit maka ia menjadi lapang) sebagaimana ia dalam kaidah fiqih, akan tetapi sesungguhnya kami memperketat dan mempersempit di dalamnya dalam moment istishlah (penganggapan maslahat) dan istihsan aqliy (penilaian baik menurut akal) atau apa yang disebut oleh orang-orang sekarang sebagai (maslahat dakwah) karena ia adalah urusan yang tidak pernah dilakukan oleh orang yang lebih antusias daripada kita terhadap dakwah dan maslahatnya yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh tuntunannya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini adalah beliau mengucapkan salam kepada orang-orang yang beliau dakwahi dengan ucapannya (as salamu ‘ala manit taba’al huda) sebagaimana yang diriwyatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya dalam surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Heraclius: (Bismillahirrahmanirrahim dari Muhammad hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Heraclius Pembesar Romawi[47] salamun ‘ala manit taba’al huda, amma ba’du, sesungguhnya saya mengajak kamu kepada Islam…) Al Hafidh ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (sabdanya (salamun ‘ala manit taba’al huda) dalam riwayat penulis dalam Al Isti-dzan (as salam) dengan bentuk ma’rifat, dan ia telah disebutkan[48] dalam kisah Musa dan Harun bersama Fir’aun, sedangkan dhahir konteksnya menunjukan bahwa ucapan itu tergolong apa yang diperintahkan untuk diucapkan oleh keduanya) selesai.
Adapun balasan salam, maka engkau telah mengetahui dalam uraian yang lalu ucapan-ucapan ulama tentangnya dan bahwa pengketatan di dalamnya tidaklah seperti pengucapan salam, di antara manusia ada yang membolehkan pengucapan kepada mereka “selamat datang” atau “marhaban” atau “selamat pagi” atau isyarat dengan tangan atau yang lainnya, yang bisa digunakan dalam rangka menarik hati si mad’u (orang yang didakwahi) bahkan diantara ulama ada yang membolehkan jawaban salam dan yang serupa bila ucapan salam orang kafir itu jelas, berdasarkan firman-Nya ta’ala: “Atau balaslah (dengan balasan yang serupa”. Dan bahwa balasan dengan ucapan kita “wa’alaikum” adalah boleh berdasarkan kesepakatan, bahkan wajib menurut sebagian ulama.
Dan adapun jabatan tangan maka tidak apa-apa melakukan kemudahan dengannya untuk kepentingangan dakwah, karena tidak adanya nash yang shahih lagi sharih tentang pelarangan darinya sejauh pengetahuan kami.
Dan ketahuilah bahwa berinteraksi dengan orang yang membangkang dakwah dan menyingsingkan lengan permusuhan, peperangan, tipu daya dan perolok-perolokan terhadap dakwah dan penyerunya, tidaklah selayaknya seperti berinteraksi dengan orang yang datang mencari al haq, atau orang yang mendengar firman Allah dan tidak memperokok-oloknya atau memperolok-olokan para pemeluknya. Dan termasuk kekeliruan dan kezaliman adalah menyamakan mereka ini dengan orang-orang itu dalam hal perlakuan, sungguh Allah ta’ala telah berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil” Al Mumtahanah: 8. dan firman-Nya ta’ala: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik” An Nahl: 125
Dan firman-Nya ta’ala
“Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang peling baik, kecuali dengan orang-orang, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka” Al Ankabut: 46.
Dan firman-Nya ta’ala
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” At Taubah: 6
Dan masalah ini, tidak ada dosa di dalamnya dalam rangka pelunakan hati orang yang datang untuk mendengar firman Allah ini tidak apa-apa dari menyambutnya sebagai tamu, menjamunya, memberinya pakaian, berbuat baik kepadanya, bersikap ramah dan baik kepadanya.
Dan dalam shahih muslim dari abu hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamu seorang tamu yang kafir, beliau memerintahkan agar memerahkan susu seekor kambing baginya, maka kambing itu diperah dan orang itu meminum air susunya, kemudian kambing lain, sampai dia meminum perah tujuh kambing, kemudian pagi harinya dia masuk Islam, terus beliau menyuruh agar diperahkan seekor kambing baginya, maka ia meminumnya terus kambing lain namun ia tidak sanggup menghabiskannya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: (sesungguhnya orang mukmin makan dalam satu lambung sedangkan orang kafir makan dalam tujuh lambung) (inti hadits ini ada dalam Shahih Al Bukhari secara ringkas tanpa kisah itu).
Dan begitu juga hadiah, tidak apa-apa diberikan dalam rangka melunakan hati sebagian mereka. Dan telah kami utarakan kepada anda bahwa menerima hadiah orang-orang kafir adalah tidak apa-apa bila hal itu tidak menjadi jalan yang menghantarkan kepada sikap mencintai meeka yang terlarang yang dengan dalil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerima sebagian hadiah orang-orang kafir.
Adapun bila hadiah dari orang muslim kepada orang kafir itu menjadi sarana kecintaan orang kafir kepada orang muslim atau kasih sayangnya kepadanya dan rasa simpatinya terhadap akhlaknya sehingga akhirnya ia terpengaruh dengan agamanya, maka apa salahnya orang muslim dalam hal ini…? Dan apa penghalangnya dari syari’at yang menghalanginya?
Dan dalam shahih Al Bukhari (bab Al Hadiyyah Lil Musyrikin) dan firman-Nya ta’ala:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu…”Al Mumtahanah: 8.
Di dalamnya ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim kain sutera kepada Umar ibnul Khaththab terus beliau mengingkarinya saat ia memakainya, maka Umar mengirimkannya kepada saudaranya yang berada di Mekkah sebelum masuk Islam. Dan ia meuturkan juga dalam bab itu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Asma: “Berbuat baiklah kepada ibumu” tatkala ibunya datang kepadanya sedangkan dia itu wanita musyrik di masa perjanjian damai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Quraisy.]
Al Hafid ibnu Hajar berkata dalam komentarnya terhadap ayat yang digunakan Al Bukhari sebagai pembuka bab ini: (Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari As Suddiy bahwa ia turun berkenaan dengan sejumlah kaum musyrikin yang mana mereka sangat lembut sikapnya terhadap kaum mukminin dan sangat baik akhlaknya) selesai. Dan berkata: (Berbuat baik, sopan dan lembut tidak memastikan adanya saling mencintai dan saling menyayangi yang terlarang dalam firman-Nya ta’ala: “Kamu tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…” Al Mujadilah: 22, karena sesungguhnya ia itu umum berkaitan dengan orang yang memerangi dan orang yang tidak memerangi, wallahu ‘alam), selesai.
Dan seandainya kita memanggil mereka dengan kunyah (sebutan) mereka untuk pelunakan hati atu kebutuhan terhadap hal itu, maka tentunya tidak apa-apa juga dalam hal itu, karena panutan kita dalam dakwah dan dalam al wala, al bara serta dalam dien ini secara keseluruhan adalah telah melakukannya.
Al Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya (Kitabul Adab) (bab Kunyatil Musyrik) hadits Usamah ibnu Zaid bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (melewati suatu majelis yang di dalamnya terdapat campuran dari kaum muslimin dan musyrikin, para penyembah berhala, dan yahudi…). Dan yang menjadi dalil darinya adalah ucapannya setelah itu …(Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: wahai Sa’ad apa engkau tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Khabbab, maksudnya Abdullah ibnu Ubay…), Al Hafidh ibnu Hajar berkata: (dan dia saat itu belum menampakkan keIslaman, sebagaimana ia jelas dari konteks hadits dan nampak di akhirnya…),selesai.
Dan Al Bukhari berhujjah dalam bab ini juga dengan kunyah Abu Thalib dan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengingkari Al ‘Abbas dan yang lainnya saat menggunakannya, dan telah berulang-ulang penuturannya dalam banyak hadits, sedangkan namanya adalah (Abdu Manaf). Dan An Nawawiy dalam Al Adzkar berupaya membatasi hal itu dengan keadaan andaikata orang kafir itu tidak dikenal kecuali dengan kunyahnya atau khawatir fitnah bila disebutkan namanya.
Al Hafidh ibnu Hajar berkata (Dan ucapan beliau ini telah dikoreksi bahwa masalahnya tidak hanya yang beliau sebutkan saja, akan tetapi kisah Abdullah ibnu ubay dalam penyebutannya dengan kunyahnya tidak dengan namanya yang masyhur bukan karena khawatir fitnah, karena orang yang menyebutkannya dengan hal itu adalah sangat kuat dalam Islam, sehingga tidak ada kekhawatiran timbul fitnah andaikata menyebutkan Abdullah dengan namanya, namun ia itu dilakukan dalam rangka pelembutan hati, sebagaimana yang dipastikan Ibnu Baththal, beliau berkata: (Didalamnya ada kebolehan memberikan kunyah terhadap kaum musyrikin dalam rangka melunakkan hati baik diharapkan keIslamannya ataupun untuk meraih manfaat dari mereka), selesai.
Dan begitu juga Abu Lahab, dia telah disebutkan dalam Al qur’an dengan laqabnya yang terkenal dengannya, padahal kunyahnya adalah Abu ‘Utbah, sedangkan Abu Lahab diberi laqab dengannya karena wajahnya berseri-seri dan mnenyala tampan, dan penyebutan dengan laqabnya ini sejalan dengan konteks ancaman baginya dengan ancaman neraka yang menyala-nyala. Dan seperti itu juga apa yang telah kami utarakan pada anda, yaitu surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Heraclius dengan laqab (gelar) pembesar Romawi.
Al Hafidh ibnu Hajar berkata: (Gelar bagi non arab sama seperti kunyah (sebutan) bagi orang arab) selesai.
Dan dalam Al Mughniy karya Ibnu Qudamah: (Al Imam Ahmad berkata; kepada thabib nashrani hai Abu Ishaq, dan beliau berkata: bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala masuk menemui Sa’ad ibnu Ubadah telah berkata: apa pendapatmu tentang apa yang dikatakan Abul Hubab, dan beliau berkata kepada Uskup Najran: (Masuk Islamlah wahai Abdul Harits, dan umar berkata kepada orang nashrani: (wahai Abu Ihsan “masuk Islamlah” tentu kamu selamat), selesai. 8/533. Dan masalah-masalah ini dan yang lainnya telah dibicarakan oleh para ulama, dan mereka melakukan rincian didalmnya.
Dan barang siapa yang menginginkan tambahan maka silahkan merujuk ke tempat-tempatnya. Karena ilmu itu melenyapkan kebutaan dari hati orangnya sebagimana bulan melenyapkan kegelapan malam.
Dan jangan sekali-kali orang mengira bahwa saya menuturkan apa yang saya tulis ini agar saya mendorong untuk mudahanah atau rukun (cenderung) kepada musuh-musuh Allah, sama sekali tidak, dan saya berlindung kepada Allah.
Saya mengetahui bahwa sisi tasahul (mengentang-enteng) dan tafrith (teledor) di tengah umat pada hari ini, dan barangsiapa menyepelekan agamanya, menelantarkan ikatannya yang paling kokoh, serta teledor dalam al wala’ dan al bara’ adalah sama sekali tidak peduli dengan dalil dan dia tidak mencarinya atau perhatian terhadapnya. Kemudian bila dia melakukan hal itu dan dia mengais-ngais lembaran-lwmbaran kami untuk menambal kebatilannya, maka dai tidak akan mendapatkan apa yang dia cari dalam apa yang saya tulis, kecuali bila dia memenggal-menggal tulisan itu dan mengambilnya seraya memalingkan maknanya. Dan cara ini telah dilakukan oleh orang-orang sesat dalam menyikapi firman Allah Rabbul ‘Alamin, namun demikian perbuatan mereka ini tidaklah membahayakan Al qur’an akan tetapi terhadap dirinyalah mereka telah berbuat zalim.
Dan terakhir, sesungguhnya disana ada perbedaan yang jauh lagi jelas antara mudahanah dengan mudarah[49], dan antara sikap santun untuk melembutkan hati, bijaksana dan pelajaran yang baik dalam dakwah dengan pengkaburan al haq dengan al bathil atau penyembunyian al haq dan pencorengannya, sebagaimana di sana ada perbedaan yang nyata lagi jelas antara kecintan kepada kebaikan dan hidayah bagi manusia, ihsan kepada mereka serta pendekatan kepada mereka dalam rangka meluluhkan hati mereka dan mendakwahinya, denga kecintaan dan kasih sayang kepada mereka sedangkan mereka ada di atas kekafirannya.
Dan bagaimanapun keadaannya, maka saya tidak menulis apa yang saya tulis di sini bagi orang-orang yang mengenteng-enteng itu, karena sungguh saya telah membantah terhadap orang-orang semacam mereka itu di dalam banyak tempat yang lain, akan tetapi saya menulisnya dan panjang lebar berbicara di dalamnya hanyalah dalam rangka nasehat dan pengingat bagi golongan lain dari para pemuda yang kadang cenderung ghuluw dan berlebihan, dimana sebagian mereka tergesa mencap kafir atau sesat dan bid’ah orang yang mencari keringanan dan menyelisihi dia dalam sebagian kewajiban dan bisa saja dia berhujjah untuk hal itu dengan sikap keberlepasan total kami dari aparat-aparat syirik dan anshar para thaghut, terus dia ingin mengharuskan umat seluruhnya agar mengumumkan sikap itu.
Dan saya menulisnya juga untuk melenyapkan sebagian kesamaran yang menimpa sebagian orang tatkala dia melihat sebagian tulisan-tulisan kami yang bersifat dakwah lagi global yang dengannya kami mengkhithabi anshar syirik dan aparat undang-undang. Dan ucapan yang global yang ada disana, maka disini ada sebagian penjelasan dan rinciannya.
Saya memohon Allah ta’ala agar memberikan manfaat bagi saya dan ikhwan saya dengan apa yang ia tulis dan agar memberikan karunia ikhlas, kelurusan dan hidayah bagi kami dalam ucapan, amalan dan niat…sesungguhnya dia adalah pengatur hal itu dan yang kuasa atasnya.
Segala puji hanya bagi Allah di awal dan di akhir.
Pertanyaan Ke Enam
Apa pendapat antum berkenaan dengan orang yang menghajr (memboikot) saudaranya yang muslim karen sekedar ia itu terkena was-was dalam masalah thaharah, mandi dan wudlu…dan apa yang menghajrnya karena ia tidak shalat fajar kecuali setelah terbit matahari?!
Jawaban
Segala pujia hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, wa ba’du:
Hukum asal pada sikap memboikot orang muslim adalah haram dalam ajaran Allah, dan telah banyak nash-nash yang menghati-hatikan dari hal itu, karena hal itu menimbulkan kebencian diantara kaum muslimin, memecah belah persatuan mereka. Dan melemahkan barisan mereka, diantara hal itu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: (janganlah saling memutus hubungan, janganlah saling membelakangi, dan janganlah saling mendengki serta jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak halal bagi orang muslim menghajar saudaranya lebih dari tiga hari) HR Al Bukhari dan Muslim dari Anas secara marfu’).
Dan keduanya meriwayatkan juga dari abu ayub bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (tidak halal bagi muslim menghajr saudaranya di atas tiga malam, keduanya saling bertemu, maka ini berpaling dan ini berpaling, sedangkan yang paling baik diantara keduanya adalah yang paling dahulu mengucapkan salam) Muttafaq ‘alaih. Ini berkaitan dengan penghajr-an karena suatu hal atau perseteruan duniawi.
Adapun hal yang ditanyakan oleh si penanya yaitu macam dari penghajr-an yang bersifat dieniy bukan duniawiy maka ia beraneka ragam dan meiliki fiqih dan etika-etika.
Diantara hal itu ada yang tergolong pengingkaran yang munkar, keberlepasan diri dari kebatilan, dan pelepasan tanggung jawab karena akibat diam terhadapnya atau tuduhan mengakui dan meridlai. Dan ini seperti menginggalkan orang-orang kafir saat mereka sedang melakukan kekafirannya, maka ini adalah wajib lagi harus dan tidak boleh duduk bersama mereka, karena dalam hal itu terdapat pengakuan terhadap kekafiran dan perolok-olokan mereka.
Allah ta’ala berfirman:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokan maka janganlah kamu duduk-duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir dalam jahannam” An Nisa: 140
Maka Allah ta’ala tidak membolehkan menetap dan duduk bersama mereka kecuali saat ada kemampuan dari merubah kemunkaran itu: “sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain”, dan kalau tidak demikian maka orang yang duduk itu berstatus sama dengan mereka dan mendapatkan konskeuensi apa yang mereka dapatkan. Dan di dalam hadits: (perumpamaan orang yang menjaga batasan-batasan Allah dan orang yang melanggarnya adalah seperti suatu kaum yang berada diatas bahtera, dimana sebagian mereka berada di bagian atas dan yang lain berada di bagian bawah. Dan adalah orang-orang yang dibawah bila mereka mengambil air minum mereka melewati orang-orang yang di atasnya, maka mereka itu berkata: “seandainya kita melobangi saja sedikit di tempat bagian kita dan kita tidak menyakiti orang-orang yang ada di atas kita”. Bila mereka membiarkan mereka melakukan apa yang mereka inginkan maka mereka binasa semua, dan bila mereka menahan tangan orang-orang itu maka mereka selamat dan mereka selamat seluruhnya) HR Al Bukhari.
Dan di antara bentuk hajr ada yang berbentuk lari dengan membawa agama dan karena takut dari terpengaruh oleh kebathilan dan penutupan terhadap hati. Dan dalam Shahih Al Bukhari (bab Minad Dien Al Firar Minal Fitan).
Bila seseorang khawatir terhadap agamanya dari duduk bergaul dengan orang-orang bejat dan dari terpengaruh oleh perilaku dan kebejatan mereka atau dari duduk bergaul dengan ahli bid’ah serta khawatir bid’ahnya itu menempel walau sedikit di hatinya meka dia wajib meng hajr mereka selagi tidak mampu merubah realita mereka. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan di dalam hadits bahwa: (seseorang itu diatas agama kawan dekatnya, maka hendaklah seseorang melihat siapa yang dia temani) HR Abu Dawud dan At Tirmidziy.
Oleh sebab itu ulama mengatakan (sahabat karib itu menarik) dan mereka mengatakan dalam syair:
Jangan kau ikat hewan yang kudisan didekat yang sehat, karena aku khawatir kudisnya menular kepada yang sehat.
Dan diantara hal itu adalah apa yang ditanyakan saudara penanya yaitu menggunakan hajr sebagai sarana untuk perbaikan dan membuat kapok. Dan macam hajr ini memilki etika-etika dan syarat-syarat yang telah dituturkan ulama di tempatnya. Dan sebagian mereka telah menulis risalah-risalah khusus, umpamanya Asy syuyuthiy, memiliki risalah yang indah yang dinamainya (Az zajr bil hajr) dan ulama muta-akhirin lainnya telah menulis risalah-risalah yang serupa, yang didalamnya mereka mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang berkaitan dengan materi ini.
Di antara hal itu apa yang shahih dari Aisyah radliallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah (bila beliau mendapatkan kedustaan pada salah seorang anggota keluarganya maka beliau senantiasa berpaling darinya sampai ia taubat kepada Allah) dan dalam riwayat pada musnad Ahmad (tidak ada perilaku yang lebih dibenci oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada dusta, dan beliau mendapatkan sesuatu darinya pada salah seorang sahabatnya maka bila beliau memalingkan diri darinya sampai beliau mengetahui bahwa dia sudah taubat).
Dan diantaranya kisah peng hajr-an Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap tiga orang yang absen dari perang Tabuk dan perintahnya kaepada kaum muslimin untuk meng hajr mereka sampai turun ayat-ayat tentang penerimaan taubat mereka, sebagaimana dalam surat At Taubah, dan kabar itu ada dalam shahih Al bukhari dan yang lainnya.
Dan di antaranya hadits Abu thalhah al asadiy bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar kemudian beliau melihat kubah yang ditinggikan maka belaiau berkata: apa ini? Maka ini dikatakan milik si fulan, seorang laki-laki dari anshar maka beliau diam dan memendamnya di hatinya sehingga tatkala pemiliknya datang, mak beliau berpaling darinya, beliau lakukan itu berkali-kali, sampai akhirnya laki-laki itu mengetahui kemarahan beliau dan keberpalingan darinya…sampai akhir hadis, maka laki-laki itu merobohkan kubahnya (lihat Musykilul Autsar 1/416).
Dan begitu juga hadits Abdullah ibnu Mughaffal bahwa ia melarang seseorang dari Khadzaf[50] dan ia menuturkan kepadanya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal itu dan berkata: (sesungguhnya ia tidak membunuh buruan dan tidak mematikan musuh, namun ia hanya melukai mata dan memecahkan gigi) terus ia melihat orang tadi setelah itu melakukan khadzaf, maka ia berkata kepadanya: aku memberi tahu kamu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari khadzaf kemudian kamu malah tetap melakukan khadzaf, demi Allah aku tidak akan mengajak kamu bicara selamanya”
Dan hadits-hadits serta atsar-atsar lainnya yang dijabarkan ulama dalam kitab-kitab mereka akan tetapi harus memperhatikan etika-etika tertentu dalam masalah ini yang diantaranya:
- Orang yang meng hajr mengetahui bahwa orang yang di hajr itu akan jera dan kapok dengan peng hajr-annya, umpamanya orang yang meng hajr itu sangat ia hormati atau gurunya atau orang yang disegani atau lebih tinggi kedudukannya, atau umurnya atau posisinya daripada dia.
Adapun bila yang hajr ini lebih rendah kedudukannya dari pada yang di hajr, dan dia mengetahui bahwa orang itu tidak akan jera dengan peng hajr-annya itu atau dia mengtahui bahwa peng hajr-annya itu justeru akan menambahnya lari dari al haq dan berpaling kepada al bathil, maka berarti tidak butuh dilakukan peng hajr-annya, bahkan justeru bisa jadi sikap tetap bermujalasah, menasehati dan mengingatkannya –sedangkan keadaannya seperti– adalah lebih utama dan lebih bermanfaat.
Dan ini telah disimpulkan oleh para ulama dari tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karen sesungguhnya beliau – sebagimana yang dikatakan Al Hafidh ibnu Hajar – telah meng hajr tiga sahabatnya yang mulia yang mencintai beliau dan yang terpengaruh dengan peng hajr-annya, sehingga hal itu menjadi pendorong mereka untuk bertaubat, dan beliau tidak meng hajr kaum munafiqin yang datang meminta maaf kepada beliau padahal sesungguhnya mereka itu juga tergolong orang-orang yang absent. Dan begitu juga Allah ta’ala menuturkan peng hajr-an dalm kitab-Nya dan menjadikannya bagi suami tidak bagi isteri seperti metode untuk meluruskan nusyuz dan penyimpangan, dan itu karena suami itulah yang ada diats dengan kepemimpinannyasebagaimana firman-Nya ta’ala:
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki ats sebahagian yang lain (wanita), dank arena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Oleh sebab itu maka wanita yang soleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka…” An Nisa: 34
Sedangkan tidak halal bagi wanita menjadikan peng hajr-an suaminya sebagi metode, kebiasaan dan cara untuk membuat jera suaminya terutama peng hajr-an tempat tidurnya, kecuali bila si suami menjadi kafir maka dia harus meniggalkannya dan melepaskan diri darinya, karen pembuatan jera dengan cara hajr dari pihak si isteri biasanya tidak membuahkan hasil karena si isteri itu dibawah kedudukan suami, terus juga si wanita itu dilarang darinya sebagaimana dalm hadis (bahwa wanita bila tidur meninggalkan tempat tidur suaminya maka dia dilaknat oleh malaikat sampai pagi) hadis ini asalnya Al Musnad dan Ash shahihain.
Oleh sebab itu Al Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (sesungguhnya aku mengetahui bila kamu ridla dan bila kamu marah. Ia berkata: maka saya berkata: dari mana engkau mengetahui itu? Maka beliau berkata: adapun bila kamu ridla maka sesungguhnya kamu mengatakan: tidak, demi Tuhan Muhammad, dan bila kamu marah maka kamu mengatakan: tidak, demi Tuhan Ibrahim…ia berkata: saya berkata: ya, demi Allah wahai Rasulullah saya tidak meng hajr kecuali namamu)
Maka diketahui dari ini bahwa pembuatan jera dengan hajr agar membuahkan hasilnya adalah mesti terjadi dengan peng hajr-an orang yang lebih tinggi terhadap yang lebih rendah. Adapun bila murid meng hajr gurunya dan pembimbingnya, maka justeru dialah yang rugi lagi kesulitan dengan hal ini, biasanya bukan si syaikh. Ya kadang peng hajr-an yang dilakukan oleh orang yang lebih rendah bila itu digabungkan dengan peng hajr-an kelompok masyarakat, seperti yang terjadi pada tiga orang sahabat yang absent, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meng hajr mereka dan telah memerintahkan manusia seluruhnya termasuk isteri-isteri mereka agar mag hajr meraka. Dan gambaran ini bila terealisasi maka telah diragukan bahwa ia lebih mengena dan lebih dahsyat dalam membuat jera. Akan tetapi sebagaimana yang telah kami katakan wajib memperhatikan tabiat orang yang di hajr dan apakah ia jera dan terpengaruh dengan hal itu ataukah hal itu tidak menambah kecuali makin menjauh.
- Dan begitu juga di antara etika hajr untuk membuat jera adalah adanya terlebih dahulu tabayyun (pencarian kejelasan) tentang maksiat yang akan dibuatnya jera darinya, karena Allah ta’ala telah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu” Al Hujurat: 6
Dan kemudian nasehat, menakut-nakuti dan peringatan… Allah ta’ala berfirman:
“oleh sebab itu berilah peringatan karena peringatan itu bermanfaat” Al a’la: 9
dan selagi peringatan itu bermanfat maka tidak boleh meninggalkanya dan taqshir di dalamnya serta tergesa-gesa mengambil sikap hajr. Dan begitu juga dalam ayat yang lalu perihal peng hajr-an wanita di tempat tidur, sebelum itu Allah menyebutkan
“maka nasehatilah mereka” An Nisa: 34,
jadi nasehat dan pemberian peringatan adalah wajib, dan begitu juga jidal (debat) dengan cara yang paling baik terutama bila yang di hajr itu memiliki takwail atau syubhat atau dalil, maka tidak halal memaksanya untuk merubah madzhabnya dan meninggalkan dalil yang ia ikuti dengan kekuatan hajr, akan tetapi mesti mendebatnya dengan dalilnya dan melawan hujjah dengan hujjah serta melenyapkan syubhatnya.
Adapun yang dilakukan sebagian orang berupa tergesa-gesa melakukan hajr untuk membuat jera tanpa memperhatikan etika-etika ini, maka ini adalah cara orang-orang yang malas yang menganggap berat beban dakwah dan sabar terhadap konsekuensi-konsekuensinya serta mereka menganggap pengambilan alasan dengan hajr untuk membuat jera adalah lebih mudah, sebagai jalan alasan utnuk meninggalkan dakwah di tengah manusia, padahal sesungguhnya banyak diantara manusia itu mungkin tergolong muslimin yang baik yang menerima al haq dan tidak menolaknya, maka pertama-tama wajib berupaya menasehati dan mengingatkan mereka kemudian bila seseorang melihat dari mereka sikap kebersikukuhan di atas al bathil setelah membantah syubhat mereka dan menegakkan hujjah atas mereka maka boleh berpindah pada metode penjeraan dengan cara hajr bila itu bermanfaat. Adapun sebagian orang meng hajr seseorang berpekan-pekan atau berbulan-bulan tanpa mereka melakukan sebelum hajr itu nasehat, atau peringatan atau penjelasan, bahkan tanpa mereka memberitahunya sebab peng hajr-an mereka dan faktor pendorongnya amaka bagaimana orang tersebut akan mengetahui hal itu dan dari apa ia akan jera, bahkan bisa saja ia menganggap bahwa hal itu adalah keburukan tabiat, atau keburukan pargaulan atau sombong dan keburukan akhlak…!
Karena mereka tidak memberitahu kepadanya bahwa meng hajr untuk supaya jera, dan mereka tidk mengingkari kemunkarannya atau menjelaskannya kepada dia. Jadi harus memperhatikan ini semuanya.
- Dan begitu juga termasuk etika-etikanya adalah memperhatikan akhlak Islamiyyah dan tidak aniaya terhadap orang yang di hajr atau mendzaliminya atau durjana atau memusuhi atau aniaya terhadap hak-haknya, dan menganggap halal penghibahannya atau memfitnahnya atau berdusta atas namanya atau membongkar rahasianya dan mengkhianatinya, karena tujuan dari hajr ini bukanlah perseteruan, permusuhan, pemutusan hubungan dan pengrusakan akan tetapi tujuan darinya adalah perbaikan, menghentikan orang zalim dari kezalimannya dan orang yang maksiat dari maksiatnya, jadi ia adalah obat dan bukan aniaya dan permusuhan.
- Dan begitu juga wajib memperhatikan realita ketertindasan yang dialami kaum muslimin di payung Negara-negara ini, dan realita penjara serta ketertawanan di hadapan musuh-musuh Allah dan ditengah kcampur adukan yang rusak, karen orang-orang yang lemah imannya bila di hajr dalam kondisi-kondisi ini maka bisa saja hal itu menjadi penyebab keterpurukan mereka, kebergabungan mereka dengan kawan-kawan yang buruk atau kecenderungan mereka dan ketundukan mereka kepada musuh-musuh Allah, sehingga orang tersebut dengan peng hajr-an ini telah membantu syaitan dan musuh-musuh Allah terhadap saudaranya, menelantarkannya dan menyerahkannya kepada mereka, baik dia itu menyadarinya ataupun tidak. Dan dalam hadis Muttafaq ‘alaih: (orang muslim itu adalah saudara-saudara orang muslim, jangan ia mendzaliminya dan jangan ia membiarkannya) dan dalam hadis yang dikeluarkan oleh Al Bukhari dari Abu Hurairah secara marfu’: (janganlah kalian menjadi kawan-kawan bagi syaitan terhadap saudara kalian…)
Bila hal ini sudah jelas, maka diketahuilah bahwa apa yang dipertanyakan oleh si penanya berupa peng har-an saudaranya karena sekedar was-was yang menimpanya saat bersuci adalah suatu yang berlebihan, dan tidak selayaknya dilakukan oleh orang muslim yang memahami ajarannya, terutama dalam realita penjara dan keterjepitan dan di hadapan musuh-musuh Allah serta ditengah kawan-kawan yang buruk dimana dia menjauhi saudaranya karena sekedar bencana yang denannya syaitan-syaitan telah menguasai saudaranya, yang manaia pada hakikatnya adalah penyakit dan cobaan yang menimpa saudaranya itu dengan sebaba penguasaan syaitan. Maka wajib ia diberitahu dan diingatkan pada metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal wudlu, mandi dan bersuci, dan bahwa beliau datang dengan tauhid yang murni dan syariat yang mudah, seraya memberi kabar gembira dan mempermudah lagi tidak mempersulit, dimana beliau berwudlu dengan sedikit air yaitu cukup dengan satu meud dan mandi dengan satu sha’ air dan ia adalah air yang sedikit bila dibandingkan dengan air mandi yang digunakan manusia hari ini, dan bahwa bila kesucian telah terbukti jelas maka ia tidak lenyap kecuali dengan suatu yang meyakinkan, dan bahwa sekedar ragu dan was-was tidaklah menghilangkan keyakinan, serta bahwa Allah tidak membebani suatu jiwa pun melainkan apa yang dia mampu…serta nash-nash dalil dan ucapan ulama lainnya yang menghilangkan sikap mengada-ada dan mempersulit diri, serta mendorong terhadap kemudahan dan permudahan, sehingga lenyap darinya penyakit itu yang mana ia bukan tergolong maksiat, perbuatan-perbuatan keji dan kemunkaran yang mungkin butuh kepada penjera, hajr, pembuat kapok dan sikap keras pada sebagian kondisi, namun ia adalah penyakit dan ujian yang butuh pengobatannya pada sikap santun ilmu kasih sayang dan penjelasan, karena ia adalah penguasaan musuh terhadap saudara kita ini dan bukan sikap kebersikukuhan dari saudara kita terhadap dosa atau maksiat atau perbuatan keji.
Dan hal itu lebih ditekankan sekali di dalam penjara dan ketertekanan sebagaimana yang kami utarakan, dimana kebaersamaan dan persatuan kaum muslimin serta perapatan barisan mereka harus lebih kuat dan lebih kokoh, dan jangan sampai mereka memberikan kesempatan bagi musuh untuk mengetahui sesuatupun dari aurat mereka atau celah yang mana mereka bisa masuk darinya kepada saudara muslim yang kemudian mereka memancing dan menyesatkannya.
Oleh sebab itu diantara kepahaman sebagian ulama dan sebagian komandan tentara adalah mereka itu tidak menegakkan hudud terhadap barisan tenera muslim yang sedang berperang di negeri orang-orang kafir, karena kekhawatiran syaitan menguasai orang muslim yang terkena bencana itu dan dia terus terpuruk dan lari membelot orang-orang kafir, sehingga ini menjadi sebab kemurtadannya. Ini adalah fiqih sebagian mereka, dan saya mengetahui bahwa ia bukan hal yang disepakati[51] akan tetapi hal yang ingin saya tetapkan adalah bahwa memperhatikan kondisi, keadaan dan realita yang kita berada di dalamnya adalah harus dianggap, penting dan dlaruriy, karena menolak kerusakan adalah didahulukan dan lebih utamadari meraih maslahat, dan bila dua keruskan berbenturan maka dipikullah yang paling ringan untuk menghindarkan yang paling besar. Ini adalah kaidah-kaidah yang diketahui lagi dikenal dikalangan ulama.
Dan bukti dari ini semuanya adalah bahwa penjara dan istidlaf secara umum di payung pemerintahan thaghut dan ketidakadaan kekuasaan muslim yang mengayomi pemeluk Islam, adalah membutuhkan dari kaum muslimin untuk berpegang teguh pada tali Allah dan mereka tidak berpecah belah, dan agar menjadikan jalan satu-satunya diantara meraka adalah saling menasehati, mencari kejelasan, kasih sayang dan kepedulian yang sangat terhadap perbaikan, dimana satu sama lain saling tenggang rasa, menerima nasihat dan tidak menolak dan memicingkan kebenaran diantera mereka. Serta jangan sampai sikap saling menasehati ini menjadi sebab bagi perpecahan, cerai berai, saling jauh dan saling membelakangi akan tetapi hal yang wajib adalah orang yang dinasehati menerima nasehat saudaranya dan tidak menolaknya walaupun itu pahit, karena yang dimaksud adalah perbaikan dan kebaikan. Dan keberadaan hal itu adalah sama seperti obat yang mana si pasien mesti menahan rasa pahitnya, karena ras pahit itu diiringi kesembuhan dengan izin Allah.
Dan begitu juga nasihat meskipun kadang tersa pahit dan pedas, namun tidak seyogyanya orang yang dinasehati angkuh terhadapnya dan terus dia menolak al haq dan bersikukuh diatas kekeliruannya, akan tetapi keadaannya seperti apa yang dikatakan syaikhul Islam ibnu taimiyyah bahwa orang muslim bagi orang mulsim itu bagaikan dua tangan yang salah satunya mencuci yang satu lagi, maka kadang penghilang kotoran itu pada suatu waktu membutuhkan pada gosokan keras, ya gosokan keras yang tujuan darinya adalah pembersihan tangan dan penghilangan kotoran darinya bukan memotong atau menyakitinya, dan oleh sebab itu dipujilah akibat gosokan keras ini.
Akan tetapi wajib diketahui bahwa hukum asal pada interaksi diantara kaum muslimin adalah bersikap lembut satu sma lain dan saling menyayangi satu sama lain. Dan selagi masih meungkin membenahinya dan mencapainya dengan lemah lembut, sikap mempermudah dan sikap memberi kabar gembira maka tidak selayaknya tergesa-gesa menggunakan sikap kasar, keras dan penyulitan, sebagaimana dalam hadis Mihjan ibnu al adra’ secara marfu’: (sesungguhnya Allah meridlai kemudahan bagi umat ini dan membenci kesulitan bagi mereka) (beliau katakan tiga kali). Dan hal inii sangat ditekankan sekali pada realita seperti ini yang kita hidup didalamnya, maka seseorang tidak boleh menggunakan sikap saling meng hajr kecuali di akhir perjalanan, setelah pengerahan segenap kemampuan dalam nasehat, pengajaran dan bimbingan.
Dan kadang bermudarah dengan sebagian manusia, dan meninggalkan peng hajr-an mereka bukan saja karena khawatir keterpurukan mereka akan tetapi kadang ditinggalkan peng hajr-an dan penjeraan mereka dalam sebagian urusan yang masih bisa tahan dan sabar terhadapnya, demi menghindari keburukan lidah mereka dan demi menjauhi sikap aniaya dan kejahatanmereka bila mereka tergolong orang-orang yang berlidah tajam yang tidak taku kepada Allah dalam perseteruan, sebagaimana dalam suatu hadits dari Aisyah: (seorang laki-laki meminta izin untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata: (dia seburuk-buruk orang), kemudian tatkala dia masuk maka beliau bersikap ramah kepadanya dan berbicara lembut terhadapnya. Kemudian tatkala dia keluar, maka saya berkata: (wahai Rasulullah, tatkala engkau mendengar laki-laki itu engkau berkata begini dan begitu, kemudian engkau ramah dihadapannya dan santun, maka beliau berkata: wahai Aisyah, kapan engaku mengetahui saya keji? Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan manusia karena menjauhi kekejiannya)[52]
Akan tetapi mudarah itu berbeda dengan mudahanah, karena mudahanah adalah mengorbankan dien demi dunia atau ridla manusia, dan ia adalah hal tercela. Adapun mudarah, maka ia adalah seseorang mengorbankan sesuatu dari dunia demi agama, atau ramah dan santun kepada sebagian manusia tanpa mengakui mereka terhadap kebatilan atau membenarkan kemunkaran mereka, dan itu demi menghindari kekjian, ganguan, sikap aniaya dan kedurjanaan mereka dalam perseteruan. Dan ini termasuk siyasah syar’iyyah.
Adapun perihal shalat fajar dan kebiasaan pelaksanaannya setelah terbit matahari, maka ia adalah hal yang berbahaya yang tidak boleh bagi orang muslim menyepelekannya atau mengakuinya, terutama bila penyebab hal ini adalah begadang dengan kawan-kawan yang buruk atau menonton TV, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang tidur sebelum Isya dan ngobrol sesudahnya.
Ulama berkata bahwa hikmah dalam hal itu adalah agar tidak tertinggal qiyamul lail dan menelantarkan shalat fajar. Bila ini adalah perihal obrolan mubah, dan ia menjadi haram bila menyebabkan penelantaran shalat fajar, maka bagaimana gerangan bila begadang itu bersama teman-teman yang buruk atau nonton acara bejat dan munkar yang disiarkan musuh-musuh Allah lewat TV mereka untuk memalingkan manusia dari agamanya??
Akan tetapi saya tegaskan bahwa kewajiban pertama-tama adalah nasehat, peringatan, dan pengingatan dengan cara yang lebih baik dan penampakan kepedulian terhadap kawan itu serta kekhawatiran terhadapnya dari adzab Allah. Dan menjelaskan kepadanya pentingnya shalat fajar dan bahwa ia shalat yang paling berat terhadap munafiqin, sehingga selayaknya ia menyayangi dirinya dan hati-hati dari menjadi bgian mereka, serta bahwa masalahnya sangat berbahaya. Barang siap menyia-nyiakan shalat maka ia terhadap yang lainnya lebih menyia-nyiakan, karen ia adalah tiang agama dan yang paling dahulu dihisab atas hamba di hari kiamat, dan ia diingatkan dengan ayat-ayat dan hadis-hadis yang masyhur dalam bab ini. Dan jangan tergesa-gesa men hajr-nya tanpa lebih dahulu menasehati dan mengingatkannya, terutama – sebagaimana yang telah kami katakan – di dalam realita ini yang sedikit di dalamnya orang-orang yang memperbaiki dan justeru banyak para perusak di dalamnya, karena bisa saja saat dia di hajr oleh orang-orang saleh dia malah bergabung dengan teman-teman yang buruk terus total meninggalkan shalat, sehingga dengan hal ini dia telah membantu setan, kawan-kawan yang buruk dan orang-orang batil terhadap saudaranya. Dan akhirnya ia telah ikut andil dalam membinasakan dan menghancurkannya, baik ia sadar ataupun tidak.
Dan saya memohon kepada Allah ta’ala agar menjadikan yang saya tulis ini bermanfaat bagi saya dan ikhwan saya, dan menjadikan kita paham akan ajaran kita dan memberikan kepada kita bashirah akan tuntunan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjadikan kita bagian dari orang-orang yang mendengarkan ucapan terus mereka mengikuti yang paling bagus darinya.
Segala puji hanya bagi Allah di awal dan di akhir
Ditulis oleh
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Penjara Sawaqah Ramadlan 1417 H
Penterjemah: selesai di sijn Sukamiskin Bandung UB 30
Siang senin 14 Rabi’ul awwal 1428 H.
[1] Dan ia tidak terkenal dengan nama “dewan pemantau atau pengawasan” umpamanya… dan ia adalah tugas yang mana sebagian orang-orang sesat berupaya menambali keikutsertaan mereka dalam dewan-dewan legislatif ini dengannya.
[2] Doktor Hani Khair.
[3] Yaitu tiga: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif.
[4] Yaitu bahwa mereka menyerahkan kekuasaan legislatif kepada mereka, sebagaimana realita yang ada pada kaum musyrikin UUD hari ini.
[5] HR Al Imam Ahmad, dan Tirmidziy, dan ia shahih dengan gabungan riwayat-riwayatnya.
[6] Perhatikan bahwa ini adalah sebab turun ayat itu, dan bukan ucapan seorang sahabat, yaitu bukan termasuk ijtihad sahabat dalam penafsiran.
[7] Di sini orang-orang sesat menamakannya Perpu syari’at atau Perda syari’at. (pent)
[8] Dan ia mudah didapatkan dan saya sudah sering merujuknya di banyak perpustakaan umum.
[9] Ini sebagai bentuk penghindaran dari menisbatkan mereka kepada Islam, dalam ucapan orang yang menyebut mereka sebagai wakil rakyat kalangan Islam. Dan telah lalu bahwa pasal (95) telah mensyaratkan bahwa jumlah orang yang mengajukan rancangan itu adalah minimal sepuluh orang.
[10] Lihat contoh-contoh penerapan hal ini dalam realita parlemen-parlemen mereka di dalam kitab kami (Imtaa’un Nadhr Fi Kasyfii Syubuhat Murji’atil ‘Ashr) hal: 71, dan dalam (Mukhtasar Kasyfin Niqab ‘An Syari’atil Ghaab) dan lihat pula (Ahkaam Ad Dustur wa Al Ijraa-aat Al Barlamaniyyah Fit Tathbiiq) karya Hani Khair, bab (Wadhaaif Al Barlamaan) lihat di dalamnya tempat-tempat berikut ini (At Tasyri’ Laa Yakuunu Illa Bi Qaanuun) dan (Syaklu Masyruu’il Qaanuun) dan (Sulthatul Barlamaan Fiimaa Yata’llaqu Bill Iqtiraahaat Bil Qawaaniin Al Muqadamah Minal A’ dlaa) dan ( At Tasyrii’aat Al Muqtarahah Yajibu Ar Rujuu’u Fiihaa lil Ahkaam Al Mutawaadla ‘Alaiha) dan yang lainnya.
[11] Dan ini telah dijelaskan dan dirinci oleh penulis kitab (Ahkaamud Dustuur Wal Ijraa-at Al Barlamaniyyah Fit Tathbiiq) dan ia telah menuturkan contoh-contoh terapan terhadapnya dari resume pertemuan-pertemuan parlemen Yordania dan Mesir, maka silahkan rujuk kepadanya orang yang ingin bahasan luas dalam bab (Tugas-tugas parlemen) pasal (Tugas pembuatan hukum).
[12] Sebagai penghindaran dari kata “revisi” yang mereka gunakan dalam UU mereka, karena revisi adalah puncak keadilan dan kelurusan, sedangkan keadilan itu hanya ada dalam ajaran Allah, dan ajaran yang Agung lagi Suci ini tidak butuh kepada revisi atau koreksi setelah Allah sempurnakan atas kita nikmatnya dan ajarannya. Sedangkan apa yang dilakukan oleh manusia dengan hawa nafsu mereka saat mereka mengendalikan dan campur tangan di dalamnya adalah murni penggantian, pencorengan dan perubahan.
[13] Faidah: ketahuilah bahwa asal kata “Parlemen” adalah diambil dari main-main atau debat kusir dan berbicara serta diskusi. Asalnya adalah kata ‘Parle’ dengan bahasa Perancis dan ‘Parley’ dengan bahasa Inggris, dan ia artinya: berbicara atau main-main, jadi dalam majelis-majelis kafir ini segala sesuatu harus didiskusikan meskipun ia adalah firman Allah dan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam – sebagaimana yang telah engkau ketahui – Maha Suci Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang zalim.
[14] Hal seperti ini telah saya dengar dengan telinga saya berkali-kali dari Abu Zanath dan yang lainnya!! Dan saya membacanya dalam banyak Koran.
[15] Saya nasehati ikhwan yang ada di penjara-penjara thaghut agar mengambil salah satu dari dua jalan selamat: (1). Bila antum tampil dakwah di forum maka realisasikanlah Millah Ibrahim yaitu penampakkan tauhid dengan sabar atas semua resiko yang bisa terjadi. Ini yang paling utama. (2). Bila tidak siap dengan resiko bila mengambil cara pertama maka janganlah tampil namun selamatkan tauhid dengan sembunyi-sembunyi dalam berdakwah tanpa tawalliy dan tanpa muwalah kepada sipir penjara sampai Allah memberikan pertolongan…
Selain dua hal ini adalah penyimpangan dari dakwah para Nabi: tampil di forum tapi tidak sampaikan masalah-masalah tauhid yang nyata dihadapi atau dakwah di bawah naungan dan perwalian thaghut dengan mengikuti pesan-pesan musuh Allah dalam materi penyampaian dan model-model lainnya.
Ketahuilah bahwa pembinaan di sijn yang diprogramkan thaghut adalah diarahkan untuk loyal kepada UUD, Pancasila dan aturan Negara kafir Republik Indonesia, bukankah dalam janji Catur Darma Narapidana poin pertama ada ungkapan “menjadi manusia susila yang Berpancasila?!” dan bukankah dalam tata tertib dan larangan di sijn ada terteradi poin pertama larangan mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan UUD dan Pancasila?!!
Apakah bisa diharapkan dakwah tauhid ini di bawah pembinaan mereka?
Bukankah program pesantren dan pendidikan di sijn itu di bawah perwalian BIMPAS?
Minimal orang-orang yang mengerti tauhid terus dakwah dibawah program BIMPAS, minimal mereka itu jatuh dalam sikap penyembunyian Al haq dan talbis…
Dari itu hendaklah mereka kembali sadar. Sungguh saya telah melihat orang semacam itu pada akhirnya jatuh dalam perangkap thaghut di sijn Bandung, dia selalu di barisan depan di acara-acara kekafiran tanpa ada pemaksaan namun karena kecintaan kepada dunia. Kita mohon ‘afiyah dan keistiqamahan kepada-Nya. (Pent)
[16] Dan saya telah menyebutkan sejumlah dari perbedaan-perbedaan ini, dan saya telah membantah terhadap orang-orang yang melakukan talbis dalam hal ini dalam kitab saya Ad Dimuqrathiyyah Din. Dan diantara hal yang lucu: adalah salah seorang wanita anggota dewan yang sekuler melakukan interupsi terhadap anggota dewan yang berjenggot itu dalam beberapa pertemuan parlemen untuk mengingkari terhadap mereka penamaan demokrasi dengan syura dan dia menjelaskan perbedaannya kepada mereka. Dan begitulah syirik menghinakan orang-orang itu.
[17] Dan kami telah membantah terhadap syubhat jabatan yang dipegang Yusuf as itu serta sikap orang-orang bodoh yang berhujjah dengannya dalam rangka melegalkan kemusyrikan mereka, serta syubhat-syubhat mereka lainnya dalam kitab kami tadi.
[18] Dialah yang membawa berhala ke Mekkah di sekitar Ka’bah dan dia menetapkan peribadatannya serta dialah orang pertama yang mensyariatkan larangan memotong hewan tertentu di Quraisy. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa beliau melihat dia menyeret isi perutnya di neraka.
[19] Lihat Shahih Muslim “Kitabul Jihad Was Siyar 12/160 bab (Pembunuhan Ka’ab ibnul Asyraf thaghut kaum yahudi)”.
[20] HR Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Tsauban secara marfu’ dengan sanad shahih.
[21] Kata-kata ini (kami berkumpul, kami bersepakat, dan kami bermufakat…) adalah kata-kata yang datang dalam hadits-hadits yang shahih, dan dikaitkan kepadanya pengkafiran dalam sebab turun firman Allah ta’ala:
{(Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir)} Al Maidah: 44.
dimana hadits-hadits itu telah menuturkan bahwa orang-orang yahudi telah bermufakat, bersepakat dan berkumpul terhadap had zina bukan had yang Allah turunkan, atau terhadap diyat selain apa yang Allah syariatkan. Dan dalam hal itu tidak ada bahwa mereka itu menghalalkan atau mengingkari hudud Allah atau bahwa mereka itu mengatakan bahwa hukum mereka itu lebih utama atau lebih sempurna.
[22] Dan para ulama telah menegaskan bahwa orang yang ber’azzam terhadap kekafiran di masa mendatang maka dia telah kafir saat ia ber’azzam.
[23] Dan ini seperti yang dilakukan oleh banyak orang tua hari ini saat mereka meyerahkan anak-anak mereka ke pangkuan (sekolah-sekolah) para thaghut supaya mereka menyesatkan anak-anak itu dari millahnya dan memalingkan mereka dari diennya serta menjerumuskan mereka ke dalam syirik masa kini!! (menjadikan dia musyrik)!!!
Penterjemah: Apakah orang tua yang berakal, dia yang memasukkan anak-anaknya ke sekolah thaghut, dia memberikannya biaya SPP, ongkos, bangunan, seragam, jajan dan yang lainnya, kemudian sekolah itu membunuh fitrah anak-anaknya?. (pent)
[24] Sebagai contoh silahkan lihat: “Asy Syifa” karya Al Qadli Iyyadl 2/217 dan Ash Sharimul Maslul karya Ibnu Taimiyyah hal 527.
[25] Dan hal ini juga masuk dalam syirik al asma wa ash shifat, dan itu tidak dikarenakan orang-orang tersebut menyebut arbab mereka, wakil-wakil mereka di parlemen serta thaghut-thaghut mereka sebagai musyarri (pembuat hukum), padahal pembuatan hukum yang mutlak itu adalah satu sifat dari sifat-sifat Allah, sedangkan termasuk ilhad dalam asma Allah dan sifat-Nya adalah mensifati selain Allah ta’ala dengannya, sebagaimana dahulu kafir-kafir quraisy melakukan ilhad dalam asma Allah dan sifat-Nya, dimana mereka membuat darinya nama-nama bagi tuhan-tuhan mereka (seperti Uzza) dari Al Aziz…(hati mereka serupa)!!! Al Baqarah: 118
[26] Yaitu mengkomitmeni hal itu dan menjadikannya sebagai pedoman (manhaj), dan tidak mesti darinya bagi kami adanya keyakinan disini.
[27] Di Indonesia wajib militer ini tidak ada. (pent)
[28] Sebagai contoh silahkan lihat Sunan Al Baihaqi (Kitab As Siyar) 9/142 (bab tawanan yang digunakan oleh kaum musyrikin untuk memerangi kaum musyrikin).
[29] Oleh sebab itu bila genggaman dan pengendalian thaghut dan kroni-kroninya sangat kokoh terhadap militer – dan biasanya – memang seperti itu di negeri-negeri kita yang terjajah – maka sesungguhnya engkau melihat tentara pada saat genting turun ke jalanan, dan mengarahkan senjatanya kepada rakyat sendiri, sebagaimana hal itu terjadi di Afghanistan, dan sebagaimana hal itu sedang terjadi pada hari ini di Al jazair, bahkan kadang ia mengarahkannya kepada pemerintah itu sendiri bila berupaya keluar dari politik kafir si thaghut sebagaimana hal itu terjadi di beberapa negara.
[30] Bila engkau ingin tambahan dan rincian seputar hal itu maka silahkan lihat kitab kami (Millah Ibrahim)
[31] Ingat, bahwa pembicaran adalah perihal penampakkan, pernyataan dan pengumuman… tidak perihal mutlak keberadaannya.
[32] Bahkan salaf melarang dari mengucapkan salam kepada orang-orang yang lebih ringan keburukannya daripada kaum musyrikin, yaitu orang-orang fasiq dan orang-orang jahat yang terang-terangan dengan perbuatan maksiat dari kalangan pemeluk Islam, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Al Bukhari secara ta’liq dari Abdullah ibnu ‘Amr radliallahu ‘anhu, berkata: “Jangan kalian ucapkan salam kepada para pemimpin khamr” dan diriwayatkan oleh Said ibnu Manshur secara marfu’ dengan tambahan, ia berkata: “Jangan kalian ucapkan salam kepada orang yang minum khamr dan jangan menjenguk mereka bila mereka sakit serta jangan kalian menshalatkan mereka bila mereka mati”, dan itu semuanya sebagai pengingkaran terhadap kemunkaran dan supaya membuatnya jera darinya.
[33] Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dan yang lainnya(Kembalilah, kami tidak akan meminta bantuan orang musyrik)
[34] Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan yang lainnya dari Abdullah Ibnu Umar secara marfu’ “….barang siapa tasyabbuh dengan suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka” dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menuturkan dalam kitabnya “Iqtidla Ash Shirathil Mustaqim Mukhalafah Ashhabil Jahim”: bahwa penyerupaan pada dhahir mewariskan macam kasih sayang, kecintaan dan loyalitas dalam batin”.
[35] Sebagaimana dalam hadits “Sesungguhnya aku dilarang dari keju kaum musyrikin” diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidziy dan beliau menshahihkannya. Dan di antara yang bisa dijadikan dalil bahwa hadiah itu bisa menghantarkan kepada jalan tersebut adalah apa yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrid, Al Baihaqi dan yang lainnya dari Abu Hurairah secara marfu’: (Saling memberi hadiahlah tentu kalian saling mencintai)} dan Al Hafidh Ibnu Hajar telah menghasankan isnadnya dalam Fathul Bari (Kitabul Hibah Wa Fadlluha)
[36] Lihat Al Mughniy 8/536.
[37] Dan ini berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dan Abu Dawud (Bahwa seorang anak kecil yahudi selalu melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia sakit, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menjenguknya, terus beliau duduk dekat kepalanya kemudian berkata kepadanya: “Masuk Islamlah!”, maka anak itu menengok kepada ayahnya, maka ayahnya berkata kepadanya: Taatilah Abul Qasim! Maka ia pun masuk Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkata: “Segala puji hanya bagi Allah yang telah menyelamatkan dia dari neraka”. Dan Al Bukhari telah memberi baginya judul dalam (Kitabul Mardla) dengan ucapannya (bab menjenguk orang musyrik) dan beliau menuturkan juga bersamanya ucapan Sa’id ibnul Mussayyab dari ayahnya: (Tatkala kematian akan menjemput Abu thalib maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya) ibnul Bathar berkata: (Membesuknya hanyalah diisyaratkan bila diharapkan dia memenuhi ajakan masuk Islam, dan adapun bila tidak diharapkan akan hal itu maka tidak). selesai. Namun ucapan ini dikoreksi oleh Al Hafidh, dimana ia berkata: (Dan yang nampak adalah bahwa hal itu berbeda-beda… tergantung ragamnya maksud, dimana bisa saja terjadi maslahat lain dengan sebab penjengukannya). Selesai.
[38] Dan telah didapatkan dengan kesimpulan penelitian bahwa apa yang dikatakan At Tirmidziy tentangnya ”gharib” begitu saja, maka ia itu dha’if.
[39] Oleh sebab itu ada dalam sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau meminta bantuan orang-orang kafir dalam beberapa kondisi pada masalah-masalah tertentu, seperti sikap beliau meminta bantuan Abdullah ibnu Ura’iqith sebagai pemandu jalan dalam hijrahnya, dan beliau meminta pinjaman dari Sufyan ibnu Umayyah saat ia masih musyrik. Dan para ulama mengkhususkan dengan hal itu keumuman larangan yang lalu, jadi hukum asal adalah haramnya meminta bantuan yang menjadikan jalan bagi orang-orang untuk menguasai kaum mukminin, sedangkan ini adalah gambaran-gambaran parsial yang dikhususkan dari hukum asal itu dengan syarat tidak menghantarkan kepada hal-hal yang dilarang itu. Dan para ulama telah menuturkan syarat-syarat lain dalam bab ini yang bisa diketahui di tempat-tempatnya. Dan begitu juga halnya dengan tasyabbuh dengan mereka, maka hukum asalnya adalah keharaman terus menerus di atasnya. Dan Syaikhul Islam telah menuturkan dalam kitabnya “Iqtidla Ash Shirathil Mustaqim Mukhalafah Ashhabil Jahim” kebolehan hal itu pada kondisi-kondisi tertentu di darul kufri.
[40] Oleh sebab itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah-hadiah orang kafir, dimana al Bukhari telah menuturkan kisah Sarah isteri Ibrahim dan ia (Sarah) menerima Hajar sebagi hadiah dari raja yang kafir di (Kitab Al Hibah) (bab menerima hadiah dari kaum musyrikin) kemudian ia menuturkan hadiah raja ialah berupa keledai putih bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits Anas ibnu Malik tentang wanita yahudi yang memberi hadiah bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa kambing yang dibubuhi racun kemudian beliau makan darinya, juga hadits Abdurrahman ibni Abu Bakar bahwa seorang laki-laki musyrik melintasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kambing-kambing yang dia giring, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Apakah penjualan atau pemberian, atau beliau berkata: hibah? Orang itu berkata: Tidak, akan tetapi penjualan.”. Maka beliau membeli darinya seekor kambing… Al Hafidh ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (dalam hadits ini ada penerimaan hadiah orang musyrik, karena beliau bertanya kepadanya apakah ia penjualan atau menghadiahkan, dan dalam hadits ini ada penjelasan kerusakan pendapat orang yang melarang menerima hadiah orang paganisme (watsaniy) tidak orang kitabiy, karena orang arab badui ini adalah watsaniy). Dan Al Hafidh telah menuturkan pendapat-pendapat ulama tentang penggabungan antara hadits-hadits perihal penerimaan hadiah-hadiah orang-orang kafir dan hadits-hadits lain tentang penolakannya, kemudian beliau menguatkan pendapat orang yang mengatakan: (Bahwa penolakkan itu bagi orang yang dengan hadiahnya itu menginginkan pendekatan kasih sayang dan muwalah, sedangkan penerimaan itu adalah berkaitan dengan orang yang dengan hal itu diharapakan kecenderungannya dan pelembutan (hatinya) untuk menerima Islam).
[41] Bila orang tidak menampakkan dakwah dan akidahnya atau dia pada kondisi tertentu tidak memiliki kesempatan dari menjelaskan sebab yang mendorong dia untuk menolak tangan orang yang mengulurkan tangannya kepadanya, dan dia tidak memiliki peluang dari mengutarakan dakwahnya sesuai cara tersebut karena alasan tertentu dan kekhawatiran mafsadah yang mungkin mucul karena penyamaran hal itu, seperti tuduhan tidak beradab, atau sombong dan menyepelekan orang lain, terutama bila orang yang menyalami adalah tergolong lanjut usia atau yang semacam itu, maka penolakkan mafsadah adalah lebih utama terutama dalam kondisi semacam ini, apalagi setelah kamu mengetahui bahwa masalah dalam hal jabatan tangan adalah tidak ada nash, dan bahwa kami meninggalkannya terhadap orang-orang kafir dalam rangka dakwah murni yang diperhitungkan berdasarkan maslahat dan siasat syar’iyyah… maka ingat selalu hal ini dan hendaklah tujuanmu itu penampakkan dakwah yang mahal ini dan menjaganya dengan wajahnya yang bercahaya. Dan yang dimaksud dengan meninggalkan jabatan tangan disini menurut kami bukanlah penghinaan dan penyepelean manusia… sama sekali tidak… ini bukan akhlak dakwah kami, akan tetapi yang dimaksud sebagaimana yang kamu ketahui adalah mengingkari realita kemusyrikan mereka dan sikap antusias untuk mengeluarkan mereka darinya serta mengajak mereka untuk menjadi barisan tentara tauhid dan tidak tetap menjadi sebagian aparat syirik.
[42] Akan tetapi kami mengingkari sikap mudahanah terhadap mereka dan sikap berlebihan dalam ramah terhadap mereka, dari orang yang tidak mengingkari kebathilan mereka tanpa darurat, dan sudah maklum bahwa darurat digunakan sekadarnya saja, dan pengingkaran ini sangat ditekankan bila hal itu muncul dari orang yang melakukannya yang pada sisi balik jarang sekali kamu melihat dia ramah atau murah senyum di hadapan kaum muwahhidin, bahkan bisa saja dia malah menampakkan di hadapan muwahhidin sikap permusuhan, kebencian, pemboikotan dan sikap berpaling, sehingga ia sangat menyerupai ucapan orang: (singa terhadap saya dan burung unta di dalam peperangan…)
[43] Bagaimana sedangkan madzhab sebagian sahabat dan sekelompok ulama adalah bolehnya mengucapkan salam terhadap kafir dzimmiy: Sungguh An Nawawiy telah berkata dalam Syarh Muslim 14/145: Sekelompok ulama berpendapat bahwa boleh kita mengucapkan salam terhadap mereka. Hal itu diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Abu Umamah, Ibnu Muhairiz serta ia adalah pendapat sebagian sahabat kami, ini dihikayatkan oleh al Mawardiy akan tetapi ia berkata: dia mengatakan, as salamu ‘alaik, dan tidak mengatakan ‘alaikum dengan bentuk jamak…dan sebagian sahabat kami mengatakan makruh mengucapkan salam kepada mereka, dan tidak haram… dan yang benar adalah haramnya mengucapkan salam kepada mereka, dan Al Qadli menghikayatkan dari jama’ah, bahwa boleh mengucapkan salam kepada mereka karena darurat dan karena kebutuhan atau karena suatu sebab, dan ia adalah pendapat al qamah dan an nakha’i, dan dari Al Auza’i bahwa ia berkata: Bila saya mengucapkan salam maka orang-orang salih juga telah mengucapkan salam dan bila saya meninggalkan maka orang-orang salih juga telah meninggalkan. Dan sebagian sahabat kami mengatakan: boleh mengatakan ‘wa’alaikumuss salam’ dalam menjawab salam mereka, tapi tidak boleh mengatakan ‘warah matullahi’, ini dihikayatkan oleh Al Mawardiy, sedangkan pendapat ini adalah lemah lagi menyelisihi banyak hadits, wallahu ‘alam) selesai secara ikhtishar. Dan apa yang beliau utarakan dari Abu Umamah adalah dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Sunannya darinya bahwa ia pernah mengucapkan salam kepada orang yang beliau jumpai, terus ia ditanya tentang hal itu, maka ia berkata: Sesungguhnya Allah telah menjadikan salam sebagai penghormatan bagi umat kita dan sebagai keamanan bagi ahli dzimmah kita, kemudian Al Baihaqi berkata: (Ini adalah pendapat Abu Umamah, sedangkan hadits Abu Hurairah tentang pelarangan mengucapkan salam terhadap mereka adalah lebih utama). Selesai. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan bahwa ‘Aun ibnu Abdillah bertanya kepada Muhammad ibnu Ka’ab tentang salam terhadap ahli dzimmah, maka ia menjawab: tidak apa-apa mengucapkan salam kepada meraka. Saya berkata: Kenapa? Ia berkata: Karena firman-Nya ta’ala:
“Maka berpalinglah (Hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: “Salam”” Az Zukhruf: 89
At Thabari mengeluarkan dalam tafsirnya dan dinukil oleh Al Qurthubiy dalam tafsir surat Maryam pada firman Allah ta’ala tentang Ibrahim:
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku” Maryam: 47
dari Sufyan ibnu Uyainah bahwa dikatakan kepadanya: Bolehkah mengucapkan salam kepada orang kafir? Maka ia berkata: ya, Allah ta’ala berfirman:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” Al Mumtahanah: 8
dan berfirman:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim…” Al Mumtahanah: 4
dan Ibrahim berkata kepada ayahnya:
{(Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu)} Maryam: 47.
Selesai. Dan ketahuilah bahwa saya tidak menuturkan ini semuanya sebagai pembelaan kepadanya, karena sungguh telah lau pendapat kami tentang pengucapan salam kepada orang-orang kafir secara umum, akan tetapi saya hanya menuturkannya agar pencari kebenaran mengetahui bahwa hanya orang yang tergesa-gesa lagi bodohlah yang mengkafirkan orang yang menyelisihi dalam masalah ini!!!
[44] Fathul Bari Kitabul Isti-dzan (bab pengucapan salam terhadap majelais yang di dalamnya ada campuran dari muslimin dan musyrikin).
[45] Bahkan saya mendengar sebagian mereka mewajibkan hal itu dalam keadaan ini, karena konteks ayat adalah perintah, sedangkan hukum asal pada perintah adalah wajib selagi tidak ada dalil yang memalingkan hal itu.
[46] Lihat Ahkam Ahlidz Dzimmah karya Ibnul Qayim 1/199-200.
[47] Al Hafidl berkata dalam Al Fath (Bad-ul Wahyi): (sabdanya” Pembesar Romawi”di dalamnya terkandung sikap keberpalingan dari penyebutannya dengan raja atau pemimpin, karena ia terlengserkan dengan hukum Islam, akan tetapi beliau tidak mengosongkannya dari penghormatan untuk maslahat penarikan hati), selesai.
[48] Yaitu dengan bentuk ma’rifat, yaitu firman-Nya ta’ala:
{(maka datanglah kamu berdua kepadanya (fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah kamu menyiksa mereka, sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu, dan as salamu (keselamatan itu) dilimpahkan kepada orang-orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami bahwa siksa itu (dilimpahkan) atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling)} Thaha: 47-48.
[49] Al Bukhari berkata dalam (bab mudarah bersama manusia): dan disebutkan dari Abu Ad Darda: (Sesungguhnya kami tersenyum di hadapan orang-orang padahal sesungguhnya hati kami melaknat mereka) Al Hafidh ibnu Hajar berkata: al kasyru adalah nampaknya gigi, dan biasanya digunakan saat tertawa. Ibnu Baththal berkata: mudharah adalah termasuk akhlak kaum mukminin, yaitu sopan terhadap manusia dan lembut tutur kata serta tidak kasar kepada mereka saat berbicara, dan hal itu tergolong sebab terkuat untuk melinakan hati. Dan sebagian orang mengira bahwa mudharah itu adalah mudahanah maka ia sudah keliru, karena mudharah itu dianjurkan sedangkan mudahanah adalah diharamkan dan perbedaannya adalah bahwa mudahanah itu diambil dari kata diha-an yaitu sesuatu yang nampak di atas sesuatu dan menutupi dalamnya, dan para ulama menafsirkannya bahwa ia adalah berinteraksi dengan orang fasik dan menampakan ridla terhadap apa yang ia lakukan tanpa mengingakarinya, sedangakn mudharah adalah lemah lembut terhadap orang bodoh dalam mengajarinya, dan terhadap orang fasik dalam melarangnya dari perbuatannya, tidak kasar terhadapnya saat tidak nampak apa yang ia lakukan serta mengingkarinya drngan ucapan dan perbuatan yang lembut apalagi kalau dibutuhkan kepada pelunakan hatinya, serta hal-hal serupa itu. Dan Al Bukhari menuturkan dalam bab ini hadis Aisyah: seorang laki-laki memintta izin masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau berkata: (Izinkan dia masuk, sungguh dia seburuk-buruknya anak suku atau seburuk-buruknya saudara sukunya). kemudian tatkala dia masuk maka beliau berbicara lembut kepadanya (dan dalam suatu riwayat: beliau ramah kepadanya) maka saya bertanya: wahai Rasulullah tadi engkau berbicara seperti itu terus engkau berbicara lembut kepadanya. Maka beliau berkata: hai Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya disisi Allah adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena menghindari kekejiannya.
[50] Khadzaf adalah melempar batu kecil dengan jemari.
[51] Yaitu tidak menegakkan hudud di darul harbi, dan ia adalah masalah yang diperselisihkan.
[52] HR Al Bukhari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar