Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan berdalih dengan kisah Dzatu Anwaath. At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsiy, berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menuju Hunain sedangkan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Dan orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon Sidr yang mana mereka duduk i’tikaf di sana dan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang dinamakan Dzatu Anwath. Maka kami melewati sebuah pohon Sidr, dan kami berkata: “Wahai Rasulullah jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka itu memiliki Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Allahu Akbar, sesungguhnya ia adalah tuntunan-tuntunan itu, kalian telah mengatakan –demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya– seperti apa yang dikatakan Banu Israil kepada Musa: ”Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” Sungguh kalian akan meniti jalan-jalan orang sebelum kalian.” (HR At Tirmidzi Dan Beliau Menilainya Shahih).Mereka mengatakan: “Ini sebagian sahabat yang baru masuk Islam karena ketidaktahuannya, meminta tuhan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, namun beliau tidak mengkafirkannya, dan beliau menyamakan permintaan mereka seperti permintaan Banu Israil kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Berarti pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidaklah dikafirkan, namun mereka itu diudzur.”
Jawabannya: Perlu diluruskan bahwa yang diminta oleh para sahabat yang baru masuk islam itu bukanlah meminta tuhan untuk diibadati, akan tetapi meminta suatu pohon yang memiliki barakah yang mana mereka bisa bertabarruk dengannya dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, di mana mereka mengira bahwa kalau Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka bertabarruk dengan pohon tersebut maka pohon itu menjadi memiliki barakah. Sedangkan bertabarruk dengan sesuatu itu bukanlah artinya mengibadati sesuatu itu. Tabarruk adalah mencari barakah (kebaikan) dari sesuatu yang memiliki barakah sesuai penjelasan syari’at dengan cara yang ditentukan atau dibolehkan oleh syari’at, dan ini adalah tabarruk yang syar’iy. Sedangkan tabarruk yang tidak syar’iy adalah dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya bahwa hal itu memiliki barakah, atau dengan cara yang tidak ada tuntunannya.
Para sahabat sering bertabarruk dengan anggota badan Rasululllah shallallaahu ‘alaihi wasallam atau dengan suatu yang pernah beliau gunakan. Al Miswar Ibnu Makhramah dan Marwan Ibnul Hakam berkata: ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak berdahak melainkan dahaknya itu jatuh di telapak tangan seseorang, kemudian dia mengusapkannya ke wajah dan kulitnya. Dan bila beliau berwudlu, maka para sahabat hampir berebutan mengambil air bekas wudlunya.” (HR Ahmad dan Al Bukhari).
Abu Juhaifah radliyallaahu ‘anhu berkata: ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar siang-siang kepada kami, maka beliau diambilkan air wudlunya kemudian beliaupun berwudlu, kemudian orang-orang mengambil dari sisa air wudlunya dan terus mereka mengusapkannya ke badan mereka.” (HR Al Bukhari).
Di dalam hadits Asma Bintu Abi Bakar radliyallaahu ‘anha, beliau menyimpan pakaian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mencucinya bila ada orang yang sakit untuk mengobatinya, sebagaimana di dalam Shahih Muslim.
Ini semuanya menjelaskan tentang tabarruk yang syar’iy, dan bahwa tabarruk dengan sesuatu itu bukanlah berarti beribadah kepada sesuatu tersebut. Sebagaimana tabarruk dengan jasad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bukanlah beribadah kepada beliau.
Sedangkan kisah Dzatu Anwath, adalah bahwa para sahabat yang baru masuk islam itu meminta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam agar menjadikan suatu pohon memiliki barakah sehingga mereka bisa bertabarruk dengannya dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, sedangkan ini adalah tergolong syirik ashghar atau bid’ah bukan syirik akbar, karena sesungguhnya mereka itu orang arab asli yang murni yang memahami bahasa dan makna dan mengetahui apa yang diinginkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari mereka, di mana beliau telah mendakwahi mereka sebelum itu dan mereka mengetahui bahwa meminta tuhan (ilaah) itu adalah dien mereka terdahulu yang pernah mereka anut dan telah mereka tinggalkan atas dasar ilmu, maka bagaimana bisa mereka meminta tuhan (ilaah) sedangkan Latta dan ‘Uzza telah mereka tinggalkan, dan permintaan seperti itu sangatlah tidak mungkin dari mereka karena keislaman mereka. (Lihat Kitab At Taudlih Wat Tatimmat ‘Alaa Kasyfi Asy Sybuhaat, Ali Al Khudlair: 123).
Jadi kisah Dzatu Anwath ini adalah tentang syirik ashghar bukan syirik akbar. Dan ini adalah yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Iqtidlaa Ash Shiraathil Mustaqiim: “Dan tatkala kaum musyrikin memiliki sebuah pohon yang mana mereka menggantungkan senjata–senjata mereka diatas pohon itu, dan mereka menamakannya Dzatu Anwath, maka sebagian orang berkata: “Wahai Rasulullah buatkan bagi kami Dzatu Anwath…!” maka beliau berkata: “Allahu Akbar, sesunguhnya ia adalah jalan–jalan umat sebelum kalian”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengingkari sekedar penyerupaan mereka terhadap orang–orang kafir dalam hal menjadikan sebuah pohon yang mereka gunakan untuk duduk–duduk di sekelilingnya seraya menggantungkan senjata mereka di atasnya, maka bagaimana dengan suatu yang lebih dasyat dari hal itu berupa syirik itu sendiri…?” (Lihat Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed: 364).
Jadi Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa itu bukan syirik akbar, karena penyerupaan terhadap orang-orang kafir itu tidak memestikan kafirnya orang yang menyerupai mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila menyerupai mereka di dalam kekafiran atau syirik akbar.
Al Imam Asy Syathibi berkata di dalam Al Muwafaqat: “Namun sesungguhnya tidak mesti dalam mengikuti mereka (orang-orang kafir) itu selalu di dalam ajaran bid’ah mereka, tapi bisa jadi mengikuti mereka di dalam ajaran bid’ahnya dan bisa jadi mengikuti mereka di dalam hal-hal yang menyerupainya. Adapun yang menunjukan terhadap hal yang pertama, maka adalah sabdanya: “Sungguh kalian akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian,” di mana beliau mengatakan di dalamnya: ”sampai seandainya mereka memasuki lubang hewan dlabb tentu kalian akan ikut masuk juga.” Sedangkan yang menunjukan terhadap macam yang kedua maka adalah hadits: ”Maka kami berkata: Wahai Rasulullah, jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath.” Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: “Ini adalah seperti apa yang dikatakan oleh Banu Israil…” di mana sesungguhnya menjadikan Dzatu Anwath itu adalah menyerupai penjadian tuhan-tuhan selain Allah, bukan pentuhanan itu sendiri”. (Al Jawabul Mufid, Aqidatul Muwahhidien: 363). Lihat beliau di sini menjadikan kisah Dzatu Anwath itu hanya sekedar musyaabahah (penyerupaan) terhadap kemusyrikan bukan kemusyrikan itu sendiri.
Dan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah pun menjadikan kisah ini sebagai syirik ashghar, di mana beliau menukil ucapan Ibnu Taimiyyah tadi di dalam Kitabnya Mufidul Mustafid seraya mengakuinya.
Dan beliau juga mengatakan di dalam Kitabut Tauhid saat menuturkan masalah-masalah yang diambil dari kisah Dzatu Anwath ini: “…masalah kesebelas: bahwa syirik itu ada yang akbar dan ada yang ashghar, karena sesungguhnya mereka tidak menjadi murtad dengan sebab hal itu. …..kelima belas: Larangan dari Tasyabbuh (menyerupai) dengan ahli jahiliyyah”. (Majmu’ah At Tauhid: 127) di mana beliau menggolongkan permintaan mereka itu dalam jajaran syirik ashghar.
Beliau juga berkata setelah menuturkan kisah Dzatu Anwath di dalam risalah Makna Tauhid: “Bila ini adalah sikap keras Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap para sahabat itu tatkala mereka meminta darinya sekedar musyaabahah (penyerupaan) terhadap kaum musyrikin di dalam menjadikan sebatang pohon untuk menggantungkan senjata (mereka) dan bertabarruk dengannya serta duduk-duduk di bawahnya, maka bagaimana dengan sesuatu yang lebih dasyat dari hal itu, yaitu syirik akbar yang dilakukan oleh mayoritas manusia pada hari ini”. (Tarikh Nejed: 48).
Beliau rahimahullah berkata juga tentang kisah ini: “Adapun syirik yang muncul dari orang mu’min sedangkan dia tidak mengetahuinya padahal dia itu bersungguh-sungguh di dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, maka saya berharap hal ini tidak mengeluarkan dia dari janji tersebut, karena hal-hal semacam ini telah pernah muncul para sahabat: seperti mereka bersumpah dengan nama nenek moyang mereka, mereka bersumpah dengan nama Ka’bah, ucapan mereka: “Apa yang dikehendaki Allah dan Muhammad”, dan ucapan mereka: “Jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath….” Namun mereka itu saat telah nampak al haq di hadapan mereka maka mereka mengikutinya dan tidak mendebat di dalamnya dengan fanatisme jahiliyyah terhadap nenek moyang dan adat istiadat. Dan adapun orang yang mengaku Islam sedangkan dia itu melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan itu, kemudian bila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh darinya, maka dia itu bukan orang muslim…” (Tarikh Nejed: 428-429). Lihat beliau menjadikan permintaan sebagian sahabat itu sebagai syirik ashghar, karena ucapan beliau di awal kalimat “Adapun syirik” adalah syirik ashghar, dan ini berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
1. Beliau mengatakan sesudahnya : ”yang muncul dari orang mu’min” sedangkan syirik akbar itu hanya muncul dari orang musyrik bukan orang mu’min, di mana beliau berkata: “Bila amalan kamu seluruhnya kepada Allah, maka kamu ini adalah muwahhid. Dan bila di dalamnya ada penyekutuan kepada makhluk, maka kamu adalah orang musyrik”. (Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah).
2. Karena beliau menyertakannya dengan sumpah dengan nama nenek moyang sedangkan ia adalah termasuk syirik ashghar.
3. Beliau mengatakan sesudahnya “Dan adapun orang yang mengaku Islam sedangkan dia itu melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan itu, kemudian bila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh darinya, maka dia itu bukan orang muslim”, maka ini menunjukan bahwa yang sebelumnya adalah syirik ashghar.
Dan penyataan beliau bahwa kisah Dzatu Anwath itu adalah tentang syirik ashghar ada juga di dalam Tarikh Nejed 253 di dalam surat beliau kepada Abdullah Ibnu Suhaim qadli wilayah Majma’ah.
Dan juga ditegaskan oleh Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid di dalam Kitab Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid seraya mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah dan Asy Syathibiy, silahkan rujuk Kitab ‘Aqidatul Muwahhidin hal 363-364.
Bila ini adalah pernyataan para ulama yang bermanhaj salaf tentang makna hadits itu, maka kenapa sebagian kita malah mencari pemahaman yang menyimpang dari kebenaran demi mengudzur kaum musyrikin dan para thaghut murtad…???!!!
Tinggal satu masalah lagi: Yaitu kenapa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyerupakan permintaan para sahabat yang baru masuk Islam itu dengan permintaan Banu Israil kepada Musa yang merupakan syirik akbar, seraya berdalil dengan ayat “Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.”…?
Maka jawabnya adalah bahwa hal itu tergolong istidlal (berdalil) dengan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan syirik akbar digunakan terhadap syirik ashghar atau ayat-ayat yang berkenaan dengan kufur akbar digunakan terhadap kufur ashghar sebagai bentuk pentahdziran dan penjeraan darinya. Dan cara ini adalah cara yang syar’iy yang sering digunakan oleh salaf.
Contohnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menggunakan ayat yang berkenaan dengan orang-orang kafir terhadap Ali radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana di dalam hadits bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangi Ali dan Fathimah Bintu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di suatu malam, terus beliau bertanya: “Apa kalian berdua tidak melaksanakan shalat (malam)? Maka saya berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya jiwa kami ini hanyalah di Tangan Allah, bila Dia menghendaki untuk membangunkan kami tentu Dia membangunkan kami,” maka beliau pergi saat saya mengatakan hal itu dan tidak menjawab sepatah katapun kepada saya, kemudian saya mendengar beliau saat pergi seraya memukul pahanya dan mengatakan: ”Dan manusia adalah makhluk yang banyak membantah.” (Al Kahfi: 54) (HR Al Bukhari dan Muslim). Ayat ini berkaitan dengan orang kafir yang banyak mendebat dalam menolak Al Islam, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam gunakan kepada Ali radliyallaahu ‘anhu karena ada keserupaan dari sisi mendebat, walaupun beda muatan debatnya.
Contoh lain: Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain).” (Yusuf:106). Ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang beriman kepada rubuubiyyah Allah namun mereka menyekutukan Allah di dalam Uluuhiyyah-Nya. Namun Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu menggunakan ayat ini juga, di mana beliau menjenguk orang yang sakit kemudian melihat di lengannya azimat, maka beliau memutuskannya terus membaca ayat “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/601).
Begitu juga Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu menggunakan firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa: “Maka janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah sedang kalian mengetahui.” (Al Baqarah: 22) yang berhubungan dengan orang-orang musyrik, beliau jadikan dalil untuk syirik ashghar seperti mengatakan “atas kehendak Allah dan kehendakmu”. (Tafsir Ibnu Katsir 1/76-77).
Juga salaf menggunakan ayat “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itulah adalah orang-orang kafir.” (Al Maidah: 44) yang berkenaan dengan orang-orang kafir, mereka menggunakannya pada para hakim muslim yang zalim. Dan masih banyak contoh untuk hal ini, namun orang yang berakal adalah cukup dengan sedikit contoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar