Pages

Pembelaan Terhadap Hathib Ibnu Abi Balta’ah Dan Abu Lubabah Yang Difitnah Oleh Para Pembela Thaghut

Oleh: Syaikh Al Mujahid Abu Muhammad Al Maqdisiy hafidzahullaah
Bantahan Terhadap Orang yang Mengada-ada Terhadap Sahabat Hathib
Ketahuilah mudah-mudahan Allah ta’ala merahmatimu bahwa telah sampai kepada kami pengambilan hujjah sebagian orang-orang yang membela-bela aparatur undang-undang dengan syubhat yang telah kuno yang saling diwariskan oleh kalangan murjiah, sebagian mereka dari sebagain yang lainnya, dalam rangka melegalkan kebatilan Asaakirusy Syirki (aparatur kemusyrikan),[1] dan dalam rangka membuatkan tambalan bagi mereka serta dalam rangka menolak pengkafiran mereka dan pencapan mereka sebagai kaum musyrikin…. Dan sybhat itu adalah kisah seorang sahabat yang agung yang mengikuti perang Badar Hathib Ibnu Abi Balta’ah radliallahu’anhu tatkala mengirim surat kepada Quraisy ditahun penaklukan Mekkah sembari memberitahu mereka tentang niat Rosulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam untuk berangkat menyerang mereka.

Mereka berkata: “Barangsiapa memata-matai kaum muslimin untuk kepentingan kaum musyrikin atau menampakkan kepada kaum musyrikin sikap kasih sayang dan membantu mereka terhadap kaum muwahhidin maka dia tidak kafir, karena Hathib –berdasarkan klaim mereka– telah melakukan hal itu namun demikian Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam tidak mengkafirkannya, dan dari itu maka muwalah (loyalitas kepada) orang-orang kafir itu bukanlah kekafiran kecuali bila seseorang meyakini penghalalannya, dan seandainya tidak seperti itu tentulah ia bukan dosa yang bisa ditutupi oleh amal  shalih seperti ikut serta dalam perang Badar, dimana Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam telah mengabarkan dari Rabb-Nya ‘azza wa jalla bahwa Dia berkata kepada ahli Badar: “Lakukanlah apa yang kalian suka, sungguh Aku telah mengampuni bagi kalian”.
Terus mereka mengqiyaskan asaakirusy syirki wal qawanin (aparat kemusyrikan dan undang-undang buatan) yang menghabiskan umur mereka dalam melindungi al qanun al wadli’iy (undang-undang buatan) dan mereka selalu siaga untuk menjaga singgasana para thaghut terhadap Hathib radliallahu’anhu. Maka enyalah qiyas seperti itu, alangkah serupanya dengan pengqiyasan kentut terhadap salam, yang dianut sebagian madzhab untuk keluar dari shalat…
Dan dia memandang keluar dari shalat dengan kentut
Dimana posisi kentut dari Assalamu’alaikum
Dan ketahuilah bahwa kami dahulu telah mendengar syubhat murahan ini dari banyak orang yang mengaku dakwah salafiyyah, dan inilah sekarang kami mendengarnya dari selain mereka. Dan kami telah membantahnya sejak 12 tahun yang lalu dalam kitab kami “Millah Ibrahim” dengan ringkas, dan tidaklah aneh di zaman yang penuh keanehan ini kita mendengar ucapan-ucapan yang ngawur semacam ini yang isinya –baik orang yang melontarkannya itu mau ataupun tidak– adalah celaan dan mengada-ada terhadap sahabat yang agung itu, karena pengqiyasan perbuatannya dengan realita keadaan aparatur kemusyrikan itu memberikan image bahwa ia itu termasuk wali-wali kafir quraisy dan termasuk anshar kaum musyrikin. Sungguh sebelumnya kami telah mendengar dari sebagian Murjiah modern suatu yang lebih busuk dan lebih buruk dari ini saat mereka mengqiyaskan keikutsertaan mereka dalam parlemen syirik dan majlis-majlis kafir legislatif; terhadap penerimaan Nabiyallah Yusuf untuk menjabat dinas logistik negeri Mesir, kemudian mereka membolehkan dengan hal itu bersumpah untuk menghormati UUD syirik, loyalitas kepada pengusungnya yang musyrik serta ikut serta dalam pembuatan hukum/UU sesuai dengan rambu-rambu UUD… Maka enyahlah… dan enyahlah.
Dan ketahuilah bahwa pembelaan terhadap pendapat dan istihsan (anggapan baik) adalah yang telah menjerumuskan mereka ke dalam lobang-lobang semacam ini yang pada akhirnya bisa menenggelamkan ke dalam kebinasaan, karena di dalamnya terdapat tuduhan terhadap nabi-nabi Allah yang ma’shum dan sahabat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam yang telah diridhai Allah dan mereka ridha dengan-Nya; dengan (tuduhan) loyalitas terhadap orang-orang kafir dan melindungi kemusyrikan atau ikut serta dalam pembuatan hukum/UU dan bersumpah untuk menghormati undang-undang. Sungguh sangat jauh nabi-nabi Allah yang dipilih dan sahabat Rasulullah yang diseleksi dari sesuatu dari hal-hal itu. Justru demi Allah tidak menuduh mereka dengan sesuatu dari hal-hal yang mengkafirkan ini KECUALI orang sesat atau orang kafir yang telah lepas diri dari millatul Islam… maka hati-hatilah kamu….
Pertama-pertama…
Allah ta’ala berfirman: “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Diantara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat” (Ali Imron: 7)
Allah ta’ala menjelaskan bahwa dalam Al Qur’an ada yang muhkam dan ada yang mutasyabih.[2]
Dan Dia ta’ala menjelaskan bahwa yang muhkam adalah pokok-pokok isi Al Kitab dan intinya yang wajib dijadikan rujukan saat terjadi perselisihan dan atas rambu-rambunya dipahami suatu yang mutasyabih.
Kemudian Dia ta’ala menjelaskan bahwa manusia dihadapan suatu yang muhkam dan yang mutasyabih ada dua kelompok. Ahli kesesatan dan ahli ilmu.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbukan fitnah dan untuk mencari-cari ta’aulnya, maka mereka itu mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk merobohkan dengannya ayat-ayat yang muhkamat dan untuk mengkaburkan terhadap manusia agama mereka.
Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami” dan ini adalah keadaan ahli ilmu dan para pencari kebenaran, semoga Allah menjadikan kami dan engkau bagian dari mereka, mereka beriman kepada yang muhkam dan mutasyabih, karena semuanya berasal dari Allah, dan mereka mengembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam supaya bisa dipahami sesuai rambu-rambunya dan selamanya mereka tidak membenturkan muhkam dengannya.
Dan bila kita melihat kepada masalah tawalliy kepada musuh-musuh Allah, nushrah mereka, melindungi undang-undang mereka, menjaga UUD mereka yang kafir dan bersumpah untuk menghormatinya, dan kita mengembalikan masalah-masalah ini kepada ayat-ayat yang muhkam dari Kitabullah, ternyata kita mendapatkannya sebagai kekafiran kepada Allah yang Maha Agung, tidak mendebat tentang hal ini kecuali orang yang bodoh atau orang kafir….
Karena sesungguhnya melindungi undang-undang buatan dan menjaga UUD syirik ini tidak mendebat perihal keberadaannya sebagai kekafiran –dari kalangan yang mengetahui keadaannya– kecuali orang yang membangkang yang melegalkan penjagaan berhala-berhala dan patung-patung serta menghormatinya. Dan orang semacam ini kami tidak mempedulikannya.
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan bahwa tawalliy kepada musuh-musuh Allah dan nushrah mereka dalah kekafiran dan kemurtaddan, maka ia adalah dalil-dalil yang muhkam dan banyak, dan inilah kami hadirkan kepada anda sebagian darinya:
1.         Allah tabaroka wa ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan orang-orang yahudi dan nasrani sebagai penolong, karena sebahagian mereka adalah penolong bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian tawalliy kepada mereka, maka sesungguhnya dia adalah termasuk golongan mereka” (Al Maidah: 51)
Allah tabaraka wa ta’ala mengabarkan dengan nash wahyu qur’aniy bahwa orang mu’min yang tawalliy kepada orang-orang kafir adalah keluar dari lingkaran Islam dan lepas dari jajaran orang-orang yang beriman serta menjadi bagian dari orang-orang kafir yang dia tawalliy kepada mereka.
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam kitabnya “Hukmu Mawalati Ahlil Isyrak” tentang ayat ini: “Allah ta’ala tidak membedakan antara orang yang takut[3] dengan yang lain, bahkan justru Dia mengabarkan bahwa orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat penyakit melakukan hal itu karena takut dari bencana”, dan beliau memaksudkan firman-Nya ta’ala setelah itu: “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (yahudi dan nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana “Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam hati mereka” (Al Maidah: 52)
Dan ini adalah dalil bahwa mereka tidak menganggap halal hal itu!! Namun tidak mendorong mereka untuk melakukan hal itu kecuali rasa takut terhadap dunia (gaji, pekerjaan, pension dan yang lainnya…)

Syubhat

Sebagaimana orang yang menjadikan firman-Nya ta’ala “Maka sesungguhnya dia adalah termasuk golongan mereka”, sebagai “dzhanniy dilalah” (dalil yang penunjukannya tidak pasti) terus dia menjadikan sebagaimana sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam: “Barangsiapa yang menipu maka dia bukan termasuk kami”
Sedangkan yang benar adalah bahwa hal ini berbeda dengan hal itu, karena sabdanya “bukan termasuk kami” memiliki kemungkinan banyak makna, dan sesungghnya orang yang berbicara ini adalah Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam, sedangkan beliau adalah tergolong kalangan khusus kaum mu’minin, yang paling sempurna keimanannya, yang paling bertaqwa agamanya dan yang paling suci amalannya, sehingga beliau telah merealisasikan iman yang kamil (sempurna) semoga sholawat dan salam dilimpahkan kepada beliau, dan kaum mu’minin lainnya derajat keimanannya beragam, diantara mereka ada orang yang telah mendatangkan ashlul iman (inti keimanan), dan diantara mereka ada yang disamping ashlul iman dia juga mendatangkan al iman al wajib, dan diantara mereka ada yang datang dengan kamalul iman. Maka bila beliau shalallaahu ‘alaihi wassallam berkata, “bukan termasuk kami”, maka ada kemungkinan bahwa ia bukan termasuk kaum mu’minin secara muthlaq yaitu: ashlul iman-nya telah batal, dan ada kemungkinan bahwa ia bukan termasuk orang-orang yang mendatangkan al iman al wajib, sedangkan iman itu tidak dinafikan kecuali karena salah satu dari dua sebab ini. Dan dikarenakan hukum itu adalah hanya milik Allah dan penamaan itu hanyalah hak Dia saja, maka kita kembalikan suatu yang dhanniy lagi mutasyabih ini kepada yang muhkam dari firman Allah dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam agar kita mengetahui kebenaran yang dimaksud dari hal itu, dan ternyata kita mendapatkan bahwa penipuan itu adalah dosa yang di bawah syirik yang telah Allah ta’ala firmankan tentangnya: “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa pemersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang di bawah syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (An Nisa: 116) dan kita melihat pada sunnah Rasul pilihan shalallaahu ‘alaihi wassallam maka ternyata beliau tidak mengkafirkan orang yang menipu dalam gandum dan tidak menghalalkan darah dan hartanya. Maka kita berhenti pada batas-batas apa yang telah Allah syari’atkan bagi kita dan kita menafsirkan “maka dia bukan termasuk kami”, bahwa amalan dia bukan termasuk jalan dan tuntunan kami, dan dia bukan termasuk kami yaitu bukan termasuk mu’minin yang mendatangkan kamalul iman al wajib (kesempurnaan iman yang wajib), namun dia termasuk mu’minin yang maksiat dan yang kurang imannya. Kita membawa penafian ini terhadap suatu tingkatan dari tingkatan-tingkatan al iman; yaitu tingkatan iman yang wajib atau bagian darinya tanpa hal itu menggugurkan ashlul iman, kemudian kita kembali kepada firman-Nya ta’ala: “Maka sesungguhnya dia adalah termasuk golongan mereka”, tidak mungkin dibawa kepada selain kekafiran, karena kaum musyrikin dan kuffar seluruhnya berada di luar lingkaran Islam dan semua mereka bukan dari millah Islam meskipun tingkatan permusuhan mereka terhadap dien ini beraneka ragam. Dan kita melihat pada sunnah Rasul pilihan shalallaahu ‘alaihi wassallam, maka ternyata kita mendapatkan beliau telah menghalalkan darah orang-orang yang keluar di barisan kuffar diperang Badar dan memperbanyak jumlah mereka atau membantu mereka –walau secara dhahir– terhadap muwahhidin, dan bahwa beliau memperlakukan orang yang ditawan dari mereka sebagaimana halnya perlakuan terhadap orang-orang kafir –padahal mereka itu mengaku Islam– seperti paman beliau Al Abbas, dimana beliau berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi kami adalah dhahir kamu”, dan berkata “Tebuslah diri kamu dan uqail”, maka kita mengetahui bahwa firman-Nya ta’ala, “Barangsiapa diantara kalian tawalli kepada mereka maka sesungguhnya dia itu adalah termasuk golongan mereka”, adalah sesuai dhahir dan hakikatnya, karena kita tidak mendapatkan baginya satu dalil pun yang memalingkannya dari hal itu kepada makna lain yang lebih khusus seperti nash yang pertama, oleh sebab itu tidak sedikit dari ulama dan diantaranya Al Imam Ibnu Hazm menyebutkan ijma terhadap pemberlakuan ayat ini sesuai makna dhahirnya. Dan atas dasar ini maka tidak sah sama sekali mengqiyaskan hal ini kepada yang ini atau menyertakan ini kepada yang itu….

2.         Dan Dia ta’ala berfirman: “Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesunggunnya Allah amat keras siksaan-Nya” (Al Anfal: 12-13)
Dalam ayat-ayat ini Allah ta’ala menuturkan sifat yang nampak dan baku yang dijadikan oleh Allah ta’ala sebagai ‘illah (alasan) dan sebab untuk penbolehan pemenggalan leher orang-orang yang memiliki sifat itu, dan Dia menjelaskan bahwa mereka itu termasuk orang-orang yang kafir serta Dia menghukum mereka dengan cara Dia menjatuhkan rasa takut dalam hati mereka dan Dia menghalalkan darah mereka…, (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan musyaaqqah (penentangan) adalah: Keberadaan orang yang menentang di pihak yang melawan pihah Allah dan Rasul-Nya.
Dan begitu juga muhaaddah (pembangkangan) adalah keberadaan orang yang membangkang dibatas yang menyaingi dan menghadapi batas Allah dan Rasul-Nya, dan oleh sebab itu Dia ta’ala: “Tidaklah mereka (orang-orang munafiq) itu mengetahui bahwasannya barangsiapa membangkang kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaaan yang besar” (At Taubah: 63)
Sedangkan ancaman dengan kekekalan di neraka jahannam itu biasanya tidak disebutkan kecuali bagi orang-orang kafir.
Dan sama seperti itu mu’aadaah (permusuhan), yaitu keberadaan seseorang di lembah yang melawan lembah musuh….
Maka dalam ini semuanya terdapat dilalah (indikasi) yang jelas dan tegas bahwa orang yang memblok ke barisan orang-orang kafir atau ke batas orang-orang yang memusuhi ajaran-Nya sehingga ia menajdi anshar mereka; maka sesungguhnya dia itu termasuk golongan orang-orang yang kafir dan termasuk orang-orang yang Allah bolehkan bagi kaum mu’minin untuk memenggal leher mereka dan Dia mengancam mereka dengan kehinaan yang besar, yaitu kekekalan di neraka jahannam bila mereka mati di atas hal itu.

3.         Allah ta’ala berfirman: “Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka di akhirat, dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang yang fasik” (Al Maidah: 80-81)
Ini adalah nash muhkam lagi qath’iy dilalahnya bahwa tawalliy kepada orang-orang kafir dan nushrah mereka itu mengharuskan datangnya kemurkaan Allah dan kekekalan di dalam siksaan, sedangkan kekekalan di dalam siska itu tidak terbukti kecuali bagi orang-orang kafir –dan Allah tidak membatasi itu dengan istihlal dan I’tiqad– akan tetapi justru Dia ta’ala mengambil bukti dengan apa yang mereka tampakkan berupa sikap tawalliy kepada orang-orang kafir terhadap kelenyapan iman dari hati mereka. Maka Dia berfirman “Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi, dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong”, jadi sikap tawalliy mereka kepada orang-orang kafir itu adalah kekafiran mereka, dan ini adalah dalil atas kelenyapan iman dari hati mereka, “Lalu orang-orang yang zalim mengganti ucapan dengan ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka” (Al Baqarah: 59) dimana mereka membelikan dan menjadikan kelenyapan iman dari hati (dengan istihlal atau pengingkaran hati) sebagai syarat dan batasan untuk takfier auliya (aparatur) thaghut. Padahal sudah ma’lum bahwa hal itu adalah syarat yang tidak bisa diindera dan tidak bisa diraba sehingga bisa dijadikan acuan dalam hukum-hukum dunia yang mana takfier di dalamnya terbatas pada amalan dan ucapan yang nampak dan baku. Adapun amalan hati dan keyakinannya maka tidak ada jalan untuk mengikat dan mengetahuinya kecuali bila diungkapkan dengan ucapan atau amalan; jadi yang menjadi acuan di awal dan di akhir dalam hukum-hukum dunia adalah terhadap apa yang nampak berupa amalan dan ucapan tidak terhadap apa yang tersembunyi berupa niat dan keyakinan-keyakinan yang tidak diketahui kecuali oleh Allah dan yang mana Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam tidak diperintahkan untuk mengorek tentangnya dan mencari-cari apa yang dibaliknya, maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam berkata: “Sesungguhnya aku tidak diperintahkan untuk merubah apa yang ada di hati manusia”. Ini padahal beliau didukung dengan wahyu, maka bagaimana dengan selain beliau…???

4.         Dan Dia ta’ala berfirman: “Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang yang munafiq yang berkata kepada SUADARA-SAUDARA mereka yang kafir diantara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya munafiq itu tiada akan keluar bersama mereka; dan sesungguhnya jika mereka diperangi; niscaya mereka tiada akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya niscaya mereka akan berpaling lari kebelakang; kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan” (Al Hasyr: 11-12)
Maka perhatikanlah bagaimana Allah menjalinkan persaudaraan antara orang-orang (munafik) yang menampakkan keislaman dengan orang-orang kafir, dimana menjadikan mereka (orang munafik) sebagai saudara mereka dari kalangan ahli kitab (yaitu mengkafirkan mereka) dengan sekedar muncul dari mereka itu janji untuk membantu orang-orang kafir bila terjadi peperangan antara mereka dengan Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam. Dan Allah ta’ala telah mengabarkan kepada kita tentang apa yang ada di hati mereka, dimana Dia bersaksi atas mereka bahwa mereka adalah dusta dengan janji ini lagi tidak jujur dan tidak meyakini untuk nushrah ini…!!!, akan tetapi ia sekedar ucapan yang dusta yang mereka lontarkan dengan mulut mereka, namun demikian Allah ta’ala telah mengkafirkan mereka dengan sebab hal ini (lontaran/ucapan); yaitu dengan cara Dia mencap mereka sebagai ikhwan bagi orang-orang yang kafir, maka bagaimana halnya dengan orang yang tergolong jasus (intel) mereka atau aparat militer mereka dan ia menghabiskan umurnya dan berjaga-jaga dimalam harinya dalam membantu mereka secara langsung praktek, bahkan dia menambahkan atas hal itu penjagaan undang-undang mereka dan perlindungan kemusyrikan mereka serta dia bersumpah untuk menghormati UUD mereka dan loyalitas kepadanya dan kepada arbabnya…? Tidak ragu bahwa dia sangat masuk dalam indikasi ayat ini…

5.         Dan Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yaitu demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafiq) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi): Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan,” sedang Allah mengetahui rahasia mereka” (Muhammad: 25-26)
 Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa orang-orang itu murtad setelah petunjuk jelas bagi mereka, dan (yang demikian itu karena sesungguhnya mereka berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan
Bila saja orang yang berjanji kepada kaum musyrikin yang membenci apa yang telah Allah ta’ala turunkan untuk mentaati mereka dalam sebagian urusan serta bersepakat dengan mereka terhadap hal itu adalah kafir walaupun tidak melakukan apa yang ia janjikan kepada mereka, maka bagaimana dengan orang yang menyetujui kaum musyrikin yang membenci apa yang telah Allah ta’ala turunkan terhadap sikap permusuhan mereka kepada ahlut tauhid dan dia menjadi bagian dari bala tentara mereka yang selalu siap siaga yang mengorbankan umur dan nyawa mereka dalam rangka mengokohkan singgasana mereka, maka mereka itu lebih murtad daripada mereka yang menjanjikan kepada kaum musyrikin untuk mentaati mereka dalam sebagian urusan….
Maka bagimana dengan orang yang menambahkan terhadap itu sikap menadzarkan hidupnya seluruhnya untuk thaghut, dimana tabiat pekerjaan dan dinasnya adalah bahwa ia itu termasuk anshar mereka atau intel mereka, dia dipagi hari dalam kemarahan Allah seraya melindungi undang-undang mereka dan disore hari dalam kemurkaan Allah, begadang menjaga tahta dan kekafiran mereka…??? Tidak ragu bahwa dia termasuk orang yang mengikuti apa yang mendatangkan murka Allah dan bahwa ia termasuk orang yang telah murtad ke belakang.

6.         Dan Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: “Orang-orang yang beriman adalah berperang dijalan Allah dan orang-orang yang kafir adalah berperang dijalan thaghut, maka perangilah teman-teman syaitan itu, sesungguhnya tipu daya syaitan itu sangatlah lemah” (An Nisa: 76)
Ini adalah nash dari Allah ta’ala yang menegaskan bahwa hukum asal pada setiap orang yang berperang di jalan thaghut atau membelanya adalah bahwa dia itu tergolong orang-orang kafir dan bahwa dia termasuk teman-teman syaitan.
Dan sudah maklum bahwa thaghut itu bisa berupa pembuat hukum selain Allah atau bisa juga orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan, sebagaimana ia bisa berupa qanun (undang-undang) atau hukum selain hukum Allah atau aturan selain aturan Allah.
Dalil-dalil yang muhkam ini dan yang lainnya yang tidak kami sebutkan menegaskan bahwa orang yang tawalliy kepada orang-orang kafir dengan arti bahwa dia membantu mereka terhadap muwahhidin; adalah dia itu termasuk jajaran mereka dan dia itu kafir seperti mereka, maka bagaimana bila hal itu ditambah pembelaan terhadap undang-undang mereka, penjagaan kemusyrikan mereka, perlindungan kekafiran mereka dan pengokohannya…???
Dan ia menunjukkan bahwa diantara ushul dinul Islam dan ikatan-ikatannya yang kokoh adalah bahwa muslimin itu wajib berada disatu lembah dan arah, sedangkan musuh mereka di lembah dan arah yang lain, dan bahwa orang yang membela barisan orang-orang kafir dan menciutkan barisan muwahhidin, serta dia membantu terhadap penghapusan dakwah mereka dan pengangkatan panji syirik dan musyrikin, maka sesungguhnya dia bukan bagian muslimin akan tetapi dia termasuk jajaran musyrikin.
Dan kejadian apa saja dalam sirah atau kisah atau kasus yang datang pada gambaran dhahirnya menyelisihi pokok yang inti ini dan kaidah yang agung lagi muhkam ini, maka tidak sah menurut orang yang mengetahui benar dienullah ini lagi kokoh dalam ilmu hal pokok ini dibantah atau digugurkan dengan kasus itu, namun kasus dan kejadian yang dianggap isykal (menyulitkan) oleh sebagian orang (mesti) dipahami dalam bingkai hal pokok yang sangat mendasar ini, dan tidak selayaknya nash-nash syar’iy dibenturkan atau ditentangkan satu sama lain.
Setelah muqaddimah ini mari kita melihat pada keadaan Hathib dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini:
Apakah beliau radliallahu’anhu berada di pihak orang-orang yang menentang Allah dan ajaran-Nya…???
Apakah beliau berkata disisi orang-orang yang membangkan terhadap dienullah…???
Ataukah belau berada dilembah orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya…???
Ataukah beliau salah seorang dari tentara kemusyrikan…???
Ataukah beliau jasus (intel) dan mata-mata bagi mereka…?? Seperti mereka para aparatur tentara/polisi dan dinas intelejen atau reserse atau dinas keamanan dan ketertiban yang mereka itu dibela-bela oleh Ahlut Tajahhum Wal Irja, dan mereka menghalangi dan menakut-nakuti dari mengkafirkan mereka, bahkan mereka mencap orang yang mengkafirkan mereka dengan sebutan Khawarij dan bahwa dia itu mengkafirkan kaum muslimin dengan sebab maksiat…???!!!
Mana mungking Hathib seperti, dan amat sangat jauh para sahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam dari hal itu…
Dan bila beliau tidak berada di pihak atau sisi atau lembah ahlisy syirki, dan bukan pula tentara dan jasus mereka, akan tetapi ia berada di pihak, sisi, lembah dan barisan auliyaurrahman dan hizburrahman, maka bagaimana halal pengqiyasan orang-orang murtad dari kalangan tentara syirik dan aparat kekafiran serta wali-wali thaghut; dengan kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan Hathib secara takwil kemudian ia taubat, apapun status hukum kekeliruan ini.
Bukankah disana ada perbedaan yang besar antara orang yang jenis pekerjaannya, tabi’atnya dan hakikatnya; adalah tajassus (memata-matai) kaum muslimin dan mudhaharah (membantu) kaum musyrikin, sehingga mereka itu adalah tentara yang selalu siaga bagi mereka atau sebagaimana ucapan lisan meraka “hamba yang hanya menjalankan perintah…”
Dengan orang yang keliru sekali saja seraya mentakwil, dimana ia membuka rahasia kaum muslimin dalam suatu kasus? dan bukan termasuk kebiasaannya, karena ia pada dasarnya termasuk jundul Islam dan ‘asakirut tauhid serta berada di pihak, sisi dan lembah Al Qur’an, Al Islam dan Al Iman, sedangkan diantara takwilnya saat ia tergelincir dalam kekeliruan itu adalah bahwa ia merasa optimis lagi yakin benar bahwa perbuatannya itu tidak akan membahayakan Rasulullah dan kaum muslimin, karena dia merasa yakin dengan pertolongan Allah bagi Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wassallam.
Demi Allah keduanya tidak sama dan tidak akan ada keserupaan sampai kepala gagak memiliki uban.
Tidak menyamakan antara dua gambaran ini kecuali orang yang tidak memiliki furqan (pembeda) antara auliyaurrahman dengan auliyausy syaithan.
Maka perbedaan yang besar yang jelas lagi nampak antara keberadaan seseorang termasuk ansharuth thawaghit (aparat thaghut) dan jawasis (intel-intel) mereka yang mana mereka adalah mata, telinga dan kekuatan merka, dimana dia bekerja siang malam untuk mengokohkan tahta dan kemusyrikan mereka, serta dia membantu merka terhadap musuh-musuh mereka walaupun musuh mereka itu dari kalangan muwahhidin pilihan, dengan orang yang merupakan salah seorang tentara Islam dan termasuk Ansharul Muslimin pilihan; akan tetapi ia lemah dan tergelincir seraya mentakwil bahwa tidak ada bahaya terhadap kaum muslimin dalam kekeliruan ini terus ia membuka rahasia mereka. Maka (kelompok) yang pertama inilah yang layak disebut bahwa ia tajassus (memata-matai) bagi kepentingan orang-orang kafir dan ia dinamakan jasus (intel) atau ‘ain (mata-mata) kaum musyrikin. Adapun yang kedua maka tidak halal disifati dengan sifat itu sama sekali, oleh sebab itu sungguh telah bagus sekali Al Baihaqiy dalam sunan-nya dan sangat tepat saat menetapkan bab bagi kisah Hathib dengan ucapannya: (Bab: orang muslim memberitahu kaum musyrikin akan tahasia kaum muslimin) 9/146, dan setelah itu langsung menetapkan bab dengan ucapannya: (Bab jasus dari ahlul haarbi) 9/147, akan tetapi beliau utarakan dalam bab ini hadits mata-mata kaum musyrikin yang dibunuh oleh Salamah Ibnu Akwa’ dengan perintah Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam dan beliau menjadikan hartanya sebagai salb (bonus) bagi si pembunuh, dan begitu juga hadits Furat Ibnu Hayyan maka perhatikan pemilahan antara orang yang ia memang adalah jasus dan ain bagi kaum musyrikin serta dia memata-matai dalam rangka membela mereka dan mendatangkan bahaya bagi kaum muslimin, dan perhatikan vonis Rasul baginya, dengan orang yang tidak seperti itu, akan tetapi ia tergolong barisan muslimin dan ansharuddin pilihan, namun ia membuka rahasia mereka seraya mentakwil bahwa tidak ada bahaya dalam hal itu.
Bersama ini semuanya, sekarang mari kita melihat kepada dhahir kekeliruan yang dilakukan Hathib ini, dan bagaimana sahabat memandang kepadanya, dan apa vonisnya menurut mereka padahal ia adalah kasus pribadi dan satu kesalahan bagi Shahabiy ini, sedang ia bukanlah jenis pekerjaannya dan manhajnya, sebagaimana ia keadaan aparat kemusyrikan dan penyekutuan….
Hathib sendiri mengetahui bahwa dhahir perbuatan semacam ini, hukum asal di dalamnya adalah kekafiran dan kemurtaddan dari dien ini dan barang siapa melakukannya maka sesungguhnya hukum dhahir baginya adalah dia itu kafir murtad, bahkan dhahir ini adalah dalil terhadap kerusakan bathin sebagaimana yang telah lalu dalam firman-Nya tabaraka wa ta’ala “Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan menjadikan orang-orang musyrikin itu sebagai penolong-penolong” (Al Maidah: 81) dan tidak dikhususkan atau dikecualikan dari hukum dhahir ini kecuali orang yang dikecualikan oleh Allah ta’ala yang mengetahui apa-apa yang dibathin atau Nabi yang diberi wahyu, oleh sebab itu ucapan pertama yang dengannya Hathib mengutarakan udzur kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam adalah ucapannya sebagaimana yang diriwayatkan Al Bukhari (Saya tidak melakukan hal itu sebagai kekafiran dan kemurtaddan serta keridlaan dengan kekafiraan setelah Islam)
Dan kesegeraan dari Hathib kepada ucapan ini adalah diantara dalil yang paling nampak bahwa telah terpatri dalam benak sahabat bahwa hukum asal pada dhahir perbuatan ini adalah kemurtaddan dan kekafiran dan bahwa perbuatan ini adalah bukti yang menunjukkan kerusakan bathin sebagaimana dalam ayat tadi, oleh sebab itu Umar Ibnul Khaththab radliallahu’anhu berkata: “Biarkan saya penggal lehernya…” dan tidak boleh dikatakan bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam mengingkari terhadap Umar pemahamannya bahwa perkataan itu hukum asal pada orang yang menampakkannya adalah kekafiran…, sama sekali (Rasul tidak mengingkarinya), dan dalam ucapan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam tidak ada sesuatu pun dari hal itu. Dan barangsiapa mengatakan itu maka dia telah menyandarkan kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam apa yang tidak beliau ucapkan, dan yang beliau katakan hanyalah bahwa beliau telah mengecualikan Hathib dari status telah kafir dalam kejadian ini bahwa dia tidak melakukannya sebagai bentuk bantuan bagi musyrikin serta dukungan bagi mereka terhadap kaum muwahhidin, dan itu setelah ucapan Hathib (Saya tidak melalukan hal itu sebagai kekafiran dan kemurtaddan) maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam berkata; “Dia telah jujur kepada kalian” dan berkata; “Dan tahukah kamu, boleh jadi Allah telah menyaksikan Ahli Badar terus berfirman: Lakukanlah apa yang kalian suka sungguh Aku telah mengampuni kalian”. Shahabiy yang ikut perang Badar ini (Hathib) telah dikecualikan Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam, beliau mentazkiyahnya dan bersaksi akan kejujuran rahasia dan batinnya dan bahwa dia itu tidak melakukan hal itu sebagai kekafiran atau kemurtaddan yaitu perbuatannya itu bukanlah sebagai nushrah dan dukungan bagi kaum musyrikin terhadap muslimin, namun pembocorannya akan rahasia Rasulullah disertai takwilnya bahwa Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam akan diberikan kemenangan dan dukungan secara pasti dari Allah; adalah salah satu dari dosa besar yang diampuni karena keberadaannya sebagai seorang ahlul badriy.
Maka apakah pada orang-orang yang menganggap enteng dari sikap loyalitas terhadap orang-orang kafir dan musyrikin, dan sikap pembelaan terhadap hamba-hamba hukum buatan dan UUD, yang bersikeras mencocokannya dengan kisah Hathib, apakah pada mereka itu atau pada orang-orang yang mereka bela-bela pada hari ini di muka bumi ada seorang yang ikut perang Badar yang telah Allah ketahui hatinya dan Dia kabarkan bahwa ia tidak akan kafir atau murtad, serta Dia memberitahu kita bahwa pemblokan dia kepada pihak kaum kafir dan lembar kaum musyrikin serta barisan kaum murtaddin bukanlah sebagai nushrah bagi mereka dan bukan penentangan terhadap kaum muslimin serta bukan pembangkangan terhadap agama mereka…??? Sehingga bisa dikatakan kepada mereka: lakukanlah apa yang kalian inginkan karena setiap apa yang akan kalian kerjakan adalah diampuni bagi kalian; karena sama sekali perbuatan itu tidak akan sampai kepada kekafiran; supaya mereka menganggap remeh dalam hal seperti ini…? Dan mereka berguguran di dalamnya…?
Ini atas dasar pengandaian samanya perbuatan orang-orang yang mereka bela-bela dengan perbuatan Hathib, sedangkan kami tidak menerimanya.
Dan kami tidak mencecar mereka dengan pertanyaan seperti ini kecuali setelah terbukti mereka itu tergolong orang-orang yang mengetahui rahasia hati dan mampu mengorek isi hati manusia dan batin mereka, sehingga mereka bisa memilah antara orang yang melakukannya sebagai kemurtaddan dan kekafiran (tipu daya dan penipuan bahaya bagi kaum muslimin)… dengan orang yang dihatinya ada penghalang takfier seperti penghalang Hathib radliallahu’anhu (yaitu kejujuran iman dan yakin dengan kemenangan muslimin, yang menjadi faktor pendorong takwilnya bahwa prbuatan dia itu tidak akan membahayakan Islam dan muslimin sama sekali); dan tanpa itu maka sangat sulit sekali; maka darimana mereka mengetahui setelah terputusnya wahyu akan kejujuran rahasia hati dan hal-hal batin dari kedustaannya, dan siapa yang mentazkiyah hati bagi kita dan menjadi saksi baginya setelah Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam, maka ini adalah penghalang dari penghalang-penghalang takfier yang sebenarnya yang tidak diketahui kecuali oleh Allah azza wa jalla, dan oleh sebab itu ia tidak dijadikan sebagai manath (alasan) untuk menghukumi terhadap manusia di dunia.
Oleh sebab itu hukum asal pada orang yang menampakkan sikap tawalliy kepada orang-orang kafir, nushrah mereka serta inhiyaz (memblok) kepada pihak mereka yang menentang Allah, barisan mereka yang membangkang kepada agama-Nya serta lembah mereka yang memusuhi ajaran-Nya; adalah kita memvonis terhadapnya setelah terputusnya wahyu dengan dhahirnya, dan Allah-lah yang menangani urusan batin, bahkan kita berdalil dengan kekafiran yang dia tampakkan terhadap kerusakan batinnya, dan kita tidak berhak mengecualikan orang-orang tertentu dengan klaim adanya mawani kekafiran yang bersifat ghaib lagi batin atau yang bersifat hati yang tidak nampak, karena hal itu bila mungkin bagi Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam, maka ia tidak mungkin bagi kita dan kita tidak dibebani tugas dengannya, karena wahyu telah putus setelah Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam, oleh sebab itu Umar Ibnul Khaththab radliallahu’anhu berkata setelah wafat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam: “Sesungguhnya orang-orang dahulu diambil dengan wahyu di zaman Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam, maka (sekarang) barangsiapa menampakkan kebaikan kepada kami maka kami percaya kepada dia dan kami mendekatkannya, dan kami tidak memiliki urusan sedikitpun perihal batinnya, Allah yang akan memperhitungkan batinnya. Dan barangsiapa menampilkan keburukannya, meskipun ia berkata bahwa batinnya baik” (HR Al Bukhari dalam shahihnya).
Barangsiapa tawalliy kepada orang-orang kafir dan menampakkan sikap nushrah mereka atau nushrah syirik mereka serta dia bergabung pada pihak mereka, barisan mereka dan lembah mereka; maka kita memperlakukan mereka dengan apa yang dia tampakkan, dan kita mendapatkan pahala dalam pemberlakuan hukum-hukum kuffar terhadapnya, sedangkan batinnya bukan urusan kita setelah terputusnya wahyu, dan kita tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati manusia serta kita tidak memiliki jalan kepada hal itu. Oleh sebab itu pengecualian Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam terhadap Hathib dalam kejadian ini adalah termasuk kekhususan beliau yang Allah berikan khusus kepada beliau dengan sebab wahyu yang Dia berikan kepadanya dan tidak ada tempat untuk qiyas terhadapnya, maka tidak boleh seorangpun setelah Rasulullah melakukan pengecualian. Dan seandainya kita membiarkan kejadian pribadi ini pada diri Hathib yang merupakan bagian tentara tauhid dan tidak sah sama sekali mengqiyaskan kekeliruannya dengan kekafiran tentara thaghut, dan kita melihat kepada hal yang inti lagi muhkam pada sirah Rasul dalam cara perlakuan beliau terhadap orang yang menampakkan sikap tawalliy kepada orang-orang kafir dan ia berada di barisan mereka dan bagian dari tentara mereka dan bersama itu dia mengaku menyembunyikan Islam dan iman dan ini adalah pensifatan yang sebenarnya bagi realita tentara thaghut yang selalu dibela-bela oleh orang-orang yang membela, maka kita akan mendapatkan beliau shalallaahu ‘alaihi wassallam telah memperlakukan orang yang mengkalim bahwa dia menyembunyikan Islam dari kalangan tawanan Badr dengan perlakuan terhadap barisan yang mana mereka berada di dalamnya dan pihak yang mereka keluar di dalamnya, serta beliau tidak menoleh kepada klaim mereka itu dan tidak mempedulikannya, karena mereka itu berada di barisan kuffar, pihak yang menentang Allah dan lembah syirik dan ahlinya, dan diantara mereka itu adalah paman beliau Al Abbas sebagaimana yang sudah lalu, oleh sebab itu Allah ta’ala berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu; “Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan kepadamu yang lebih baik dari apa yang telah diambil daripadamu dan Dia akan mengampuni kamu” (Al Anfal: 70). Yaitu mengetahui hal itu dari kalian secara ilmu realita dengan penampakkan kalian akan Islam dan pernyataan kalian berlepas diri dari syirik dan peninggalan kalian akan barisan syirik serta kebergabungan kalian dengan barisan tauhid, oleh sebab itu Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam memberikan ganti tebusan pamannya Al Abbas setelah ia menampakkan Islam dan bergabung dengan kaum muslimin. Dan setelah itu ia berkata “…ayat ini turun berkenaan dengan saya…” Jadi masalahnya bukan dengan klaim belaka tanpa hal itu dibuktikan dengan amal.
Ini adalah kaidah dan inilah hukum asal berkenaan dan orang yang berada di barisan kuffar, lembah mereka dan pihak mereka atau yang menampakkan tawallily dan nushrah mereka…. Dan kamu sudah mengetahui bahwa Hathib radliallahu’anhu tidak berada di barisan musyrikin dan tidak menjadi bagian tentara mereka, akan tetapi ia berada di barisan mawahhidin dan salah seorang tentara mereka, serta ia merasa yakin dengan pertolongan Allah bagi Nabi-Nya, oleh sebab itu ia berkata sebagaimana dalam riwayat Ahmad dan Abu Ya’la: “Sesungguhnya saya tidak melakukannya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam dan tidak pula sebagai kemunafikan; dan sesungguhnya saya telah mengetahui bahwa Allah ta’ala akan memenangkan Rasul-Nya dan menyempurnakan cahaya-Nya”.
Oleh sebab itu Al Hafidh berkata dalam Al Fath 8/634: “Udzur Hathib adalah apa yang ia utarakan, sesungguhnya dia melakukan hal itu seraya mentakwil bahwa tidak ada bahaya di dalamnya”
Dia saat membocorkan rahasia itu mengetahui bahwa ia dengannya tidak akan membahayakan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam dan muslimin, karena ia merasa yakin benar dengan pertolongan Allah bagi Rasul-Nya sebagaimana yang dia katakan, dan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam pun membenarkan dia dan membenarkan batinnya dengan ucapannya; “Dia telah jujur kepada kalian” maka diketahuilah bahwa dia dengan perbuatannya itu tidaklah menjadi penolong bagi musyrikin lagi mendukung mereka terhadap kaum muslimin, karena sungguh telah terpancang dalam keyakinannya bahwa Rasulullah akan diberikan kemenangan secara pasti dari Rabnya dan bahwa perbuatannya itu tidak akan membahayakan beliau dan tidak akan membantu kaum musyrikin.
Al Hafidh Ibnu Hajar telah menuturkan dalam Fathul Bari 7/521 dari sebagian Ahlul Maghuzy, berkata: “Dan ia dalam (tafsir Yahya Ibnu Salam) bahwa teks surat Hathib kepada kuffar quraisy: Amma Ba’du, wahai sekalian quraisy, sesungguhnya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam telah datang kepada kalian dengan pasukan bagaikan malam, yang berjalan bagaikan banjir, demi Allah SEANDAINYA BELIAU DATANG SENDIRIAN KEPADA KALIAN TENTU ALLAH AKAN MEMENANGKANNYA DAN MENUNAIKAN JANJINYA, maka perhatikanlah diri kalian, wassalam…” dan begitu pula AS Suhailiy menghikayatkan…. Jadi ia adalah peringatan yang mirip ancaman dan ajakan untuk taubat…. Perhatikanlah hal ini dan yang sebelumnya dan perhatikanlah keyakinannya akan pertolongan Allah bagi Nabi-Nya shalallaahu ‘alaihi wassallam dan pengagungannya terhadap posisi beliau, namun demikian sungguh Allah tabaraka wa ta’ala telah menurunkan dengan sebab perbuatannya ini ayat-ayat yang agung membuat merinding karenanya kulit orang-orang yang beriman, Allah Azza Wa Jalla berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhamu, jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridlaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa diantara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus” (Al Mamtahanah: 1)
Dan sudah ma’lum bahwa Hathib tidak menjalin kasih sayang dengan musuh-musuh Allah, namun yang mendorong dia untuk melakukan perbuatan itu sebagaimana dalam hadits Al Bukhariy hanyalah rasa kekhawatirannya terhadap keluarganya yang lemah yang berada di Mekkah, akan tetapi ayat turun bersifat umum –seperti kebiasaan Al Qur’an dalam banyak kejadian– yang memutus jalan yang menghantarkan kepada apa yang dilarang, dan menutup peluang-peluang yang bisa menimbulkan rasa kasih sayang dan tawalliy kepada musuh-musuh Allah.
Dan terakhir, seandainya orang yang berakal memperhatikan pada perbuatan Hathib ini dan bagaimana ia dikecam keras di dalamnya, dan bagaimana Allah menurunkan dengan sebabnya ayat-ayat yang agung ini bersama keadaan-keadaan yang telah lalu di dalamnya, kemudian ia melihat setelah itu pada keadaan-keadaan bala tentara kemurtaddan dan kekafiran, pembelaan pada undang-undang dan pengokohan kekuasaan thaghut yang padahal mereka sudah diperintahkan untuk kafir terhadapnya, tentulah dia mengetahui –tentunya bila dia memiliki hati yang hidup– bahwa bencana ini sangat besar dan bahwa urusannya amat sangat berbahaya, dan ia itu tidak seperti apa yang diupayakan untuk digambarkan dan dienteng-entengkan oleh kalangan jahmiyyah dan murjiah dengan berbagai macam alur pemikiran mereka.
Karena tauhid adalah al urwah al wutsqa (ikatan yang kokoh) yang di atasnya terdapat sebab keselamatan, dan barangsiapa menelantarkannya yang memusuhinya, maka dia telah menjual akhiratnya dengan dunianya dan jadilah ia bagian dari tentara yang Allah firmankan perihal mereka “Suatu tentara yang besar yang berada disana dari golongan-golongan yang berserikat, pasti akan dikalahkan” (Shaad: 11) dan firman-Nya (Maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkirkan ke dalam neraka bersama-sama orang-orang yang sesat, dan bala tentara iblis semuanya) (Asy Syu’ara: 94-95).


Kebenaran Perihal Keterbebasan Sahabat Abu Lubabah

Dan sebelum mengakhiri risalah ini saya ingatkan bahwa kaum jahmiyyah dan murjiah tidak mengada-ada terhadap sahabat Hathib saja dengan cara mereka menyamakannya dengan tentara dan aparatur thaghut, akan tetapi saya telah mendengar dari sebagian mereka juga orang yang menghadang pengkafiran aparatur kemusyrikan dengan cara mencela seorang sahabat yang lain; yaitu Abu Lubabah Ibnul Mudzir Al Anshariy radliyallaahu’anhu; dimana mereka menuduhnya berkhianat dan membela kaum musyrikin terhadap kaum muwahhidin; seraya mereka memastikan bahwa firman-Nya ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (Al Anfal: 27) telah turun berkenaan dengannya, dimana ia diminta pendapatnya oleh koalisinya dari Banu Quraidhah perihal menerima kepada putusan Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam. Maka ia mengisyaratkan dengan tangannya ke lehernya (yaitu pemenggalan leher), supaya dengan alasan itu mereka sampai kepada kesimpulan bahwa aparatur kemusyrikan itu tidak kafir karena sesungguhnya tindakan Abu Lubabah –menurut kliam mereka– adalah sama persis dengan perbuatan aparat itu, namun demikian Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam tidak mengkafirkannya.
Maka perhatikanlah, bagaimana syaitan telah mempermainkan mereka sampai mereka berani menghujat pada sahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam dan menjadikan para sahabat itu sebagai anshar bagi kemusyrikan supaya dengan hal itu mereka menjadi bamper dan membela-bela aparatur thaghut. Dan pujilah Tuhamu karena Dia telah membimbingmu kepada kebenaran yang nyata dan melindungimu dari apa yang dengan sebabnya banyak dari manusia tersesat.
Dan jadikanlah dua kelopak mata bagi hatimu yang mana keduanya menangis karena sebab takut kepada Dzat yang Maha Pengasih. Andai Tuhanmu berkehendak, tentu kamu juga seperti mereka karena semua hati ada diantara jemari Dzat yang Maha Pengasih.
Kemudian dikatakan dalam hal ini bila itu shahih; apa yang telah kami katakan tentang perihal Hathib, bahwa itu adalah pembocoran rahasia kaum muslimin dan bukan tajassus terhadap mereka, dan bukan pula bantuan dan sokongan bagi kaum yahudi terhadap kaum muslimin. Dimana banu Quraidhah ini telah dijatuhkan oleh Allah dan kaum muslimin telah memegang mereka serta mengepungnya, dan keadaan yang terjadi adalah mereka itu menyerah dan tunduk kepada putusan apa saja, dan terhadapnya hal inilah atas yang ada berkisar, tidak selainnya, maka bagaimana sah mengqiyaskannya dengan realitas anshar para thaghut dan jasus-jasus mereka yang mengokohkan kekuasaan mereka, menegakkan pemerintahannya, membela negara-negaranya dan membantunya terhadap muwahhidin.
Saya katakan ini pada keadaan memastikan benarnya khabar itu, sedangkan sebenarnya sesungguhnya keadaannya adalah seperti apa yang dikatakan Ath Thabariy setelah menuturkan riwayat-riwayat perihal sebab-sebab turun ayat itu, maka beliau menuturkan ada yang diriwayatkan bahwa ia turun berkenaan dengan Abu Lubabah, dan ada yang diriwayatkan bahwa ia turun berkenaan dengan seorang laki-laki dari munafikin yang mengirim surat kepada Abu Sufyan dalam suatu peperangan Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam (Sesungguhnya Muhammad menginginkan kalian, maka hati-hatilah terhadap dia).
Terus beliau rahimahullah berkata: “Dan tidak satu khabarpun disini kami dengan sebab apa itu terjadi, yang wajib diterima keshahihannya”.
Sedangkan sudah ma’lum bahwa sirah itu ada yang shahih dan ada yang lemah, dan orang yang berhujjah dengan sesuatu darinya dituntut untuk membuktikan keabsahannya terlebih dahulu, maka dikatakan kepada mereka: Buktikan terlebih dahulu keabsahan dalil kemudian baru berdalil, dan kalau tidak maka bila kalian berdalil sebelum itu maka muncullah istidlal kalian itu dalam keadaan bengkok.
Al Hafidh Abu Umar Ibnu Abdul Barr berkata dalam Al Istiab dalam biografi Abu Lubabah: “Ibnu Wahb meriwayatkan dari Abdullah Ibnu Abi Bakar bahwa Abu Lubabah mengikat diri dengan rantai yang berat sekian belas hari sampai lenyap pendengarannya sehingga susah mendengar, dan penglihatannya hampir lenyap pula, dan adalah putriya melepasnya ikatannya bila datang waktu shalat atau ingin buang hajat, dan bila sudah selesai maka putrinya kembali mengikatnya lagi, maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam berkata: “Seandainya dia datang kepadaku tentu aku akan memintakan ampunan baginya”.
Abu Umar berkata: “Diperselisihkan perihal keadaan yang mendorong Abu Lababah untuk melakukan hal itu pada dirinya, dan pendapat yang paling baik dalam hal itu[4] adalah apa yang diriwayatkan oleh Ma’mar dari Az Zuhriy, berkata: “Abu Lubabah adalah diantara orang yang absen dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wassallam dalam perang Tabuk, maka ia mengikatkan dirinya pada tiang dan berkata: Demi Allah saya tidak akan melepaskan diri saya darinya dan saya tidak akan makan dan minum sampai Allah mengampuni saya atau saya mati, maka ia tinggal selama tujuh hari tidak mencicipi makanan dan minuman sampai ia pingsan kemudian Allah mengampuninya. Maka dikatakan kepadanya: “Allah telah mengampuni wahai Abu Lubabah”, maka ia berkata: “Demi Allah saya tidak akan melepaskan diri saya sampai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam-lah yang melepaskan saya”. Berkata: “Maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassallam datang dan terus melepaskannya dengan tangan beliau; kemudian Abu Lubabah berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya diantara bagian taubat saya adalah saya meninggalkan kampung kaum saya yang saya telah melakukan dosa di dalamnya serta saya melepaskan diri dari harta saya seluruhnya sebagai shadaqoh kepada Allah dan Rasul” Rasulullah bersabda: “Cukup sepertiganya saja wahai Abu Lubabah”
Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari banyak riwayat, perihal firman-Nya ta’ala: “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk” (At Taubah: 102) bahwa ia turun berkenaan dengan Abu Lubabah dan tujuh atau delapan atau sembilan orang yang absen dari perang Tabuk kemudian mereka menyesal dan taubat serta mengikat diri mereka di tiang-tiang, maka amal shalih mereka itu adalah taubat mereka tersebut, sedangkan pekerjaan buruk mereka adalah absen mereka dari Rasul shalallaahu ‘alaihi wassallam, dan Abu Umar berkata: “…dan katanya[5] bahwa dosa yang dilakukan Abu Lubabah adalah isyarat kepada koalisinya dari Banu Quraidhah bahwa (putusnya) adalah pemenggalan leher bila kalian menerima putusan Sa’ud Ibnu Muadz dan beliau mengisyaratkan kepada lehernya…”
Dan Ibnul Atsir telah mengutarakan perselisihan dalam hal itu dalam kitab Asadul Ghabah.
Maka perhatikanlah wahai saudara setauhid keadaan hujjah-hujjah mereka yang mereka cuplik dari sana dan sini, supaya dengannya mereka menghantam nash-nash yang muhkam dan dengannya mereka menghujam leher pondasi-pondasi Al Islam dan gunung-gunungnya yang kokoh, sesungguhnya ia adalah nash-nash yang diperselisihkan di dalamnya lagi banyak kemungkinan dilalahnya, tidak qath’iy dilalahnya terhadap pendapat yang mereka pegang, dan pertama-tama mereka butuh untuk menetapkannya sebelum berhujjah dengannya. Maka bagaimana bila disamping itu mereka dengan nash-nash ini –yang kondisinya seperti yang sudah kamu lihat– menghantam pokok dien ini (yaitu tauhid), dan dengan hal itu mereka melegalkan sikap melindungi dan nushrah kemusyrikan dan tandid (penyekutuan)…?
Ya Allah sesungguhnya aku berlepas diri dihadapan-Mu dari kesesatan dan dari orang yang mengkaburkan tauhid dengan syirik serta kebatilan dan tandid.
Ya Allah sesungguhnya aku mengharapkan apa yang ada disisi-Mu saat aku membela anshar agama-Mu dari kalangan yang telah Engkau pilih mereka untuk menjadi sahabat Nabi-Mu Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassallam.
Ya Allah aku berlepas diri dihadapan-Mu dari hujatan orang-orang yang menghujat mereka; dalam rangka membuatkan tambalan bagi bala tentara undang-undang dan membela-bela aparatur kemusyrikan dan tandid, serta melegalkan kebatilan emreka dan tawalliy mereka kepada para thaghut.
Ya Allah limpahkanlah salawat, keberkahan dan salam kepada Nabi-Mu Muhammad, keluarganya yang suci dan para sahabatnya yang berjihad lagi jujur.

Ditulis oleh Abu Muhammad Al Maqdisiy
2 Dzul Hijjah 1416 H
Selesai diterjemah: Sabtu Pagi 3 Dzul Hijjah 1427 H di Sijn Bandung

[1] Maksudnya adalah tentara dan polisi serta dinas intelejen mereka
[2] Dan begitu juga dalam As Sunnah sebagiamana yang dituturkan Asy Syathibi dalam Al I’tishan
[3] Perhatikan bahwa disana ada perbedaan yang besar antara orang yang takut yang terjatuh dalam kekafiran karena takut terhadap dunia dan gaji serta yang lainnya, dengan orang yang dipaksa untuk menampakkan hal itu dengan paksaan yang sebenarnya dengan syarat-syaratnya yang sudah dikenal. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman: “Diantara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada ditepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata”. (Al Hajj: 11) Maka Allah tidak mengudzur orang yang menampakkan kekafiran karena takut terhadap dunia atau takut dari gangguan kecuali orang yang dipaksa dengan paksaan yang sebenarnya. Dan begitu juga firman-Nya ta’ala: “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah: 217), Syaikh Sulaiman berkata dalam Hukmu Muwalati Ahlil Isyarak: “Allah ta’ala tidak mengrukhshahkan sikap menyetuji orang-orang kafir terhadap kekafiran (mereka) karena takut terhadap jiwa atau harta, justru Dia mengabarkan tentang orang yang menyetujui bahwa dia itu murtad, maka bagaimana dengan orang yang menyetujui mereka tanpa peperangan!?”
[4] Perhatikan ucapannya disini (dan pendapat yang paling baik dalam hal itu), sesungguhnya ia adalah tarjih (penguatan) darinya
[5] Dan perhatikan ucapannya disini (dan katanya), sesungguhnya ia adalah bentuk ungkapan pencacatan dan pelemahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar