Pages

Bantahan Atas Syaikh Al-Bani (Bagian Dua)

6 February 2007 • 17:19
Syaikh Al Albani telah menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini. Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pendapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada kekufuran akbar tanpa merincinya.
- Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab, ”Harta haram.” Keduanya bertanya, ”Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab, ”Itulah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini:
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah. [Tahdzibu Tahdzib VI/240,VI/41-42,III/497-498,II/380].
- Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq, ”Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya, ”Apakah harta haram itu? ”Beliau menjawab, ”Uang suap.” Laki-laki tersebut bertanya lagi, ” agaimana kalau dalam masalah hukum.” Beliau menjawab, ” Itu adalah kekufuran.” kemudian beliau membaca ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
- Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah, ”Diriwayatkan oleh Al Musaddad, Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…”
PASAL II:
PERSOALAN KUFUR TASYRI’
Syaikh dalam kaset yang disebutkan di atas telah ditanya mengenai pendapat Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ 

”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44].  Si penanya, semoga Allah memberinya petunjuk, mengatakan: ”Mereka mentakwil (yang dia maksudkan adalah mujahidin yang ia sebut sebagai Khawarij Gaya Baru) tafsir dari pendapat Ibnu Abbas dalam firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir” , secara sopan bahwasanya Ibnu Abbas tidak memaksudkan dengan pendapatnya ini orang-orang yang (demikian dalam kaset) menandingi hukum-hukum Allah dan syariatnya dengan membuat hukum-hukum sendiri, menetapkan perundang-undangan yang menandingi syariat Allah. Akan tetapi maksud dari Ibnu Abbas adalah penguasa yang mengganti system pemerintahan seperti dari syura dan khilafah menjadi kerajaan dan seterusnya…”  Syaikh menjawab: ”Takwil yang lucu ini sama sekali tidak memberi mereka faedah, karena takwil mereka ini tak lebih dari sekedar takwil-takwil mereka yang lainnya. Kami katakan kepada mereka,” Apa dalil kalian dalam menakwilkan dengan takwilan ini ? Mereka pasti tak bisa menjawab. Ini masalah pertama.
Kedua. Ayat yang ditafsiri oleh Abdullah Ibnu Abbas dengan pendapatnya yang terkenal ini “ Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir” , dengan apa para ulama tafsir menafsirkannya, perdebatan ini akan kembali ke masalah pertama. Para ulama tafsir telah bersepakat bahwa kufur itu ada dua ; kufur I’tiqad (keyakinan) dan kufur amal.
Tentang ayat ini mereka mengatakan barang siapa tidak mengamalkan hukum yang diturunkan Allah maka ia berada dalam salah satu dari dua kondisi ; boleh jadi ia tidak mengamalkan hukum Allah karena mengkafirinya, maka ia termasuk penduduk neraka yang kekal di dalamnya. Atau boleh jadi ia mengikuti hawa nafsunya, bukan karena keyakinannya (kufur dengan hukum Allah), namun sekedar mempraktekan hukum manusia seperti orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Islam, maka dalam hal ini tidak termasuk kufur I’tiqadi.
Sebagaimana juga orang-orang muslim yang di dalamnya ada orang yang berinteraksi dengan riba, orang yang berzina, penjudi dan seterusnya. Mereka itu tidak bisa dikatakan kafir dalam artian murtad, jika mereka masih mengimani pengharaman hal-hal tersebut. Dalam kondisi seperti ini, para ulama tafsir dalam ayat ini telah menjelaskan dengan penjelasan yang berlawanan dengan takwil mereka (mujahidin yang disebut khawarij gaya baru) . Mereka mengatakan hukum Allah, jika tidak dipraktekkan dengan dasar aqidahnya, maka ia telah kafir dan jika tidak dipraktekkan, namun ia masih mengimaninya hanya saja meremehkan pelaksanaanya maka ini kufur ‘amali.
Dengan demikian, mereka ini menyelisihi kaum salaf terdahulu, bahkan menyelisihi para pengikut mereka dari kalangan ulama tafsir, fiqih dan hadits. Dengan demikian, mereka telah menyelisihi firqah najiyah.”
Selesai pembicaraan syaikh Albani dengan teks lengkap. Dalam penjelasannya ini, syaikh telah menghukumi —sebagaimana anda lihat— orang yang tidak sependapat dengan beliau dalam masalah ini dengan vonis mereka menyelisihi firqah najiyah, artinya menyelisihi ahlu sunah wal jama’ah.
Saya katakan sesungguhnya kebenaran yang kami yakini, bahwasanya pendapat Ibnu Abbas dalam persoalan ini tidak mungkin dimaksudkan terhadap para penguasa hari ini yang menyingkirkan syariat Islam untuk menjadi hukum yang berlaku atas hamba-hamba Allah dan mereka menggantinya dengan hukum-hukum buatan manusia, mereka mewajibkan rakyat untuk tunduk dan berhukum dengannya. Sesungguhnya maksud dari perkataan beliau “kufrun duna kufrin” adalah seorang qadhi dan amir yang didorong oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk menetapkan hukum di antara manusia dalam satu atau lebih kasus dengan selain hukum Allah, namun dalam hatinya ia masih mengakui bahwa dengan hal itu ia telah berbuat maksiat.
Ketika kami mengatakan hal ini, kami sama sekali tidak mendatangkan pendapat yang baru. Kami meyakini bahwa pendapat ini adalah pendapat yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’i yang lurus dan merupakan pendapat para ulama salaf dan ulama sesudah mereka. Hanya saja sebelum menjawab pertanyaan yang dilontarkan syaikh Albani yang kata beliau kita tak akan bisa menjawabnya, yaitu, ”Apa dalil kalian dalam mentakwil seperti ini?” , Saya katakan sebelum menjawab pertanyaan beliau ini, saya melihat sebaiknya saya beri tiga pengantar:
PENGANTAR PERTAMA
Dalam pembicaraannya, Syaikh telah berpedoman dengan riwayat Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44].
Ibnu Abbas mengatakan, ”Kufrun duna kufrin” atau, ”Bukan kufur yang kalian maksudkan.”
Saya katakan ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian. Karena itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada penjelasan rinci yang sudah terkenal.  1- Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah I/41, ” menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,” Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah, ”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.“
Beliau menjawab, ”Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.”
Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi hatim mengatakan perihal dirinya,” Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.” Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat. [lihat Tahdzibu Tahdzib I/515], dalam At Taqrib I/505 Al Hafidz mengomentarinya, ”Shaduq.”
Dengan sanad imam Waki’ pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun dengan lafal, ”Dengan hal itu ia telah kafir.” Ibnu Thawus berkata, ”Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya.” Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan “Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya” bukanlah pendapat Ibnu Abbas, melainkan pendapat Ibnu Thawus.
2-. Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’ ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas,
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Ibnu Abbas berkata, ”Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.”
Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah As Sariy al Hafidz al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari. [Tadzkiratul Hufadz II/507]. Adapun Ibnu Waki’ adalah Sufyan bin Waki’ bin Jarrah, Al Hafidz berkata dalam At Taqrib I/312, ”Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.” Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.
Kesimpulannya, tambahan ini dinisbatkan kepada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.  3- Al Hakim [II/313] telah meriwayatkan dari Hisyam bin Hujair dari Thawus ia berkata, ” Ibnu Abbas berkata, ”Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari milah.
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Maksudnya adalah Kufur duna kufrin.”
Al Hakim mengatakan, ”Ini adalah hadits yang sanadnya shahih”. Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim sebagaimana disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir [II/62] dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah, “Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir.”
Beliau berkata, ”Bukan kekufuran yang mereka maksudkan.”
Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in dan lain-lain. [Tahdzibu Tahdzib VI/25]. Ibnu ‘Ady menyebutkannya dalam Al Kamil fi Dhu’afai Rijal [VII/2569]. Demikian juga oleh Al ‘Uqaily dalam Al Dhu’afa al Kabir [IV/238].
Tidak ada yang mentsiqahkannya selain ulama yang terlalu mudah mentsiqahkan seperti Al ‘Ijli dan Ibnu Sa’ad. Imam Bukhari dan muslim meriwayatkan darinya secara mutaba’ah, buan secara berdiri sendiri. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan perkataannya,“ Saya akan mendatangi 90 istriku pada malam hari ini…” Beliau telah meriwayatkannya dengan nomor (5224) dengan mutaba’ah Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara mutaba’ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tempat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas,” Mu’awiyah berkata kepadaku,” Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…” Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba’ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus. Abu Hatim berkata,” Haditsnya ditulis.” [Tahdzibu Thadzib VI/25]. Maksudnya dilihat terlebih dulu apakah ada mutaba’ahnya sehingga haditsnya bisa diterima, atau tidak ada mutaba’ah sehingga ditolak?
Saya katakan, ”Hadits ini di antara hadits-hadits yang setahu kami tidak ada mutaba’ahya. Dalam diri saya ada keraguan tentang keshahihannya meskipun dishahihkan oleh Al Hakim, karena ia terkenal terlalu memudahkan dalam menshahihkan hadits, semoga Allah merahmati beliau.  4- Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia bekata,” jika ia juhud (ingkar) terhadap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka ia adalah dholim dan fasiq.”
Sanad ini munqathi’ (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan. [Tahdzibu Tahdzib IV/213-2141. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun sebagian besar ulama melemahkannya.
Saya katakan, dengan demikian apa yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ditinjau dari segi sanadnya ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Sanad yang shahih; sebagian mengandung pengkafiran secara mutlaq terhadap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara sebagian lain mengandung tambahan ”dan bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya”, meskipun tambahan ini juga merupakan perkataan Ibnu Thawus sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dengan demikian, pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tak kosong dari kritikan, diterima dan ditolak. Dengan demikian, kalau ada seorang muslim yang berpegangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang telah pasti tentang kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlaq maka dengan alasannya tersebut ia tidak melakukan suatu kesalahan. Demikian kami katakan, meskipun kami cenderung menetapkan tambahan tadi dari Ibnu Abbas sebagaimana telah kami sebutkan. 
PENGANTAR KEDUA
Atsar Ibnu Abbas bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini
Syaikh Al Albani telah menganggap atsar Ibnu Abbas sebagai satu-satunya pendapat salaf dan para ulama tafsir, bahkan pendapat seluruh firqah najiyah dalam masalah ini. Namun realita berkata lain, karena telah nyata adanya perbedaan pendapat di antara ulama salaf dalam masalah ini. Sebagian di antara mereka membawanya kepada kekufuran akbar tanpa merincinya.
- Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab, ”Harta haram.” Keduanya bertanya, ”Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab, ”Itulah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini:
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah. [Tahdzibu Tahdzib VI/240,VI/41-42,III/497-498,II/380].
- Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq, ”Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya, ”Apakah harta haram itu? ”Beliau menjawab, ”Uang suap.” Laki-laki tersebut bertanya lagi, ” agaimana kalau dalam masalah hukum.” Beliau menjawab, ” Itu adalah kekufuran.” kemudian beliau membaca ayat:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
”Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”
- Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi (X/139), Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah, ”Diriwayatkan oleh Al Musaddad, Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al hakim dan Baihaqi dari sanad ini…”
Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IV/199. Beliau berkata, ”Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sementara guru Abu Ya’la; Muhammad bin Utsman tidak saya ketahui.” Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami dalam komentarnya atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah II/250 berkata sebagai jawaban atas pernyataan imam Al Haitsami, ”Jika ia tidak mengetahui Muhammad bin Utsman maka tidak berbahaya, karena Fitha gurunya memiliki mutaba’ah dari Syu’bah dalam riwayat Al Hakim dan Al Baihaqi, sementara Muhammad bin Utsman mempunyai mutaba’ah dari Maki bin Ibrahim dalam riwayat Al Baihaqi…”
Saya katakan, ”Ini kalau dianggap shahih riwayat Abu Ya’la dari perkataan Abu Ya’la, ”Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ustman dari Umar, ”kalau tidak maka syaikh Al A’dzami telah menyebutkan dalam tempat yang sama bahwa riwayat yang bersambung adalah telah menceritakan kepadaku Muhammad telah menceritakan kepadaku Utsman bin Umar. ”Muhaqiq Musnad Abu Ya’la telah tegas menyatakan bahwa yang benar adalah Muhammad dari Utsman bin Umar. Adapun yang ada dalam musnad adalah penyimpangan, kemudian beliau berkata, ”Utsman bin Umar adalah Al Abdi.” [lihat Musnad Abu Ya’la dengan tahqiq :Husain Sualim Asad IX/173-174]. Saya katakan, ”Utsman bin Umar Al Abdi seorang perawi tsiqah, termasuk perawi kutubus sittah.” [Tahdzibu Tahdzib IV/92-93].
Ath Thabrani dalam Al Mu’jamu Al Kabir [IX/229 no. 9100] meriwayatkan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud ia berkata, ”Uang suap dalam masalah hukum adalah kekufuran dan ia uang haram di antara manusia.” Al Haitsami dalam Majma’ [IV/199] berkata, ”Para perawinya perawi kitab ash shahih.”
Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52 meriwayatkannya dengan lafal, ”Hadiah atas vonis (yang menguntungkan) adalah kekufuran, ia uang haram di antara kalian.”
Saya katakan, ”Atsar dari Ibnu Mas’ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang pertama sekedar uang haram, sementara yang kedua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan:
Satu. Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan secara mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.
Dua. Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah kafir asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar. Al Jashash dalam Ahkamul Qur’an II/433 berkata, ”Ibnu Mas’ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya. Beliau mengatakan, ”Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran.”
Perbedaan pendapat yang kami jelaskan ini juga dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim dalam Madariju As Salikin I/336-337, di mana beliau mengatakan, ”Ibnu Abbas berkata, ”Bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari milah, tapi jika ia mengerjakannya berarti telah kafir namun bukan seperti orang yang kafir kepada Allah dan hari akhir.”
Demikian juga pendapat Thawus… Ada yang mentakwil ayat ini kepada makna para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah karena juhud (mengingkari). Ini adalah pendapat Ikrimah, dan pendapat ini lemah karena mengingkari itu sendiri merupakan kekafiran baik ia sudah berhukum maupun belum. Ada juga yang mentakwilnya dengan makna meninggalkan berhukum dengan seluruh kandungan kitabullah…ada juga yang mentakwilnya dengan berhukum dengan hukum yang bertentangan dengan nash-nash secara sengaja, bukan karena salah dalam mentakwil. Ini disebutkan oleh Imam al Baghawi dari para ulama secara umum. Ada juga yang mentakwilnya bahwa ayat ini untuk ahlul kitab… sebagian lainnya membawa makna ayat ini kepada kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”
Pendapat yang dinukil oleh Ibnu Qayyim ini secara tegas menerangkan bahwa pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan patokan oleh pendapat syaikh Al Albani bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini. Sebagian salaf ada yang membawa kekafiran dalam ayat ini kepada makna kafir yang mengeluarkan dari milah, sementara sebagian lainnya tidak demikian.
Dengan ini semua, kalau ada yang berpendapat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah, maka ia telah mempunyai ulama salaf yang lebih dulu mengatakan hal itu. Wallahu A’lam.
Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sendiri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata “kafir” tersebut mengandung dua macam kekafiran; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui perbuatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim, sebagaimana akan disebutkan nanti dengan izin Allah. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu Abbas di atas.
Namun kami tetap mengatakan atsar ini adalah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syariat Islam menjadi satu-satunya syariat yang berkuasa, jadi yang terjadi adalah “penyimpangan” dari syariat Alloh. Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang ketetapan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari milah, dikarenakan mereka telah memasuki wilayah kekuasaan khusus bagi Alloh yaitu tasyri’ (pembuatan syariat), dan hal ini tidak termasuk dalam pembagian di atas. Ini akan kita bicarakan sebentar lagi secara rinci, dengan izin Allah.
PENGANTAR KETIGA
Yang kami katakan bukanlah ta’wil
Kami katakan, ”Ketika kami membedakan antara penguasa yang berhukum dalam satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang selain Allah, dan kami membawa pendapat Ibnu Abbas untuk makna al qadha’ (memutuskan suatu perkara), bukan untuk masalah tasyri’ (membuat atau menetapkan undang-undang), pendapat yang kami pegangi ini bukanlah takwil sebagaimana dituduhkan oleh syaikh —semoga Allah mengampuni kita dan beliau— namun justru hal ini berarti membawa lafadz kepada makna asalnya dalam pengertian secara bahasa.
Karena makna Al hukmu (berhukum, memutuskan perkara) secara bahasa adalah al qadha’, sebagaimana disebutkan dalam Al Qamus IV/98. Secara istilah Al Qur’an, terkadang bermakna al qadha’ sebagaimana firman Allah:
وأن احكم بينهم بما أنزل الله
”Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum Allah.” [QS. Al Maidah :49].
Dan firman-Nya:
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام
”Dan janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil dan kalian membawanya kepada para hakim.” [QS. Al Baqarah :188].
Terkadang dalam Al Qur’an bermakna qadar (taqdir), itulah uyang disebut para ulama dengan istilah hokum kauni syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فلن أبرح الأرض حتى يأذن لي أبي أو يحكم الله لي وهو خير الحاكمين
”Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir sampai ayah mengizinkanku untuk kembali atau Allah memberi keputusan kepadaku. Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang sebaik-baiknya…“ [QS. Yusuf :108].
Terkadang bermakna tasyri’, itulah yang disebut oleh para ulama dengan istilah hukum syar’I, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إن الله يحكم ما يريد
“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Ia kehendaki.” [QS. Al Maidah:1]. [Mengenai masalah hukum kauni dan hukum syar’i, silakan lihat Syifaul ‘Alil Ibnu Qayim hal. 270-283 dan Syarhu Aqidati Ath Thahawiyah II/658].
Perkataan Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah:
Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir…” [QS. Al Maidah: 44].
Ketika kami mengatakan bahwa “al hukmu” yang dimaksud dalam atsar Ibnu Abbas adalah al qadha’ dan bukan makna tasyri’, maka kami sama sekali tidak menakwil. Karena takwil yang dimaksud di sini adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya. Apakah kami memalingkan lafal ini dari dhahirnya…? Ataukah kami kembalikan kepada makna asalnya yaitu al qadha…?
Bahkan saya mendapati perkataan Ibnu Abbas sendiri yang menunjukkan beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Yaitu dalam riwayat ath Thabrani dalam Al Mu’jamu Al Kabir X/226 no. 10621, dari Ibnu Buraidah Al Aslami ia berkata,” Seorang laki-laki mencela Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas menjawab, ”Anda mencela saya padahal saya mempunyai tiga sifat; Saya membaca satu ayat Al Qur’an lalu saya ingin agar manusia bisa memahami maknanya sebagaimana saya memahaminya, saya mendengar ada seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin yang adil dalam hukumnya maka saya senang karenanya padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya, dan aku mendengar hujan jatuh di salah satu negeri kaum muslimin maka aku senang karenanya padahal aku tidak mempunyai hewan ternak di negeri tersebut.”
Al Haitsami dalam Majmauz Zawaid IX/284 berkata, ”Para perawinya adalah perawi kitab ash shahih.” Saya katakan, ”Bukti (kebenaran yang saya sampaikan ini) adalah perkataan beliau “seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin” serta perkataan beliau “padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Bagaimanapun keadaannya, sebuah lafal jika mempunyai beberapa makna, maka memilih salah satu maknanya sama sekali tidak dianggap sebuah takwil. Wallahu A’lam.
JAWABAN ATAS PERTANYAAN BELIAU:
Kami akan memulai menjawab pertanyaan yang diajukan oleh syaikh Al Albani —dengan taufiq Allah— yang beliau katakan kami tak akan menemukan jawabannya, yaitu pertanyaan beliau, ”Apa dalil kalian atas takwilan seperti ini ? ”

Pertama:

Dalil-dalil yang membenarkan masalah ini :
Kami jawab: ”Sekalipun kami tidak setuju dengan bentuk soal beliau –karena telah kami jelaskan dalam pengantar di atas bahwa pendapat kami ini sama sekali bukan takwi –, kami tetap menjawab pertanyaan beliau sebagai berikut:
Sesungguhnya yang membawa kami untuk membedakan antara seorang penguasa yang membuat serta menetapkan undang-undang selain syariat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mewajibkan mereka berhukum dengannya, dengan seorang penguasa yang memutuskan suatu perkara di antara rakyatnya dengan selain hukum Allah, padahal mereka telah menetapkan syariat Alloh sebagai hukum. Kami nyatakan penguasa pertama telah kafir keluar dari milah sementara penguasa kedua berada di antara dua kemungkinan kafir asghar atau kafir akbar. Kami membawa perkataan Ibnu Abbas kepada penguasa yang kedua. Kami katakan ada banyak dalil yang menjelaskan dalam permasalahan ini, di antaranya :
(1). Dalil-dalil yang menegaskan bahwa tasyri’ selain dari Allah adalah kafir akbar.
Sesungguhnya nash-nash syariat telah menunjukkan bahwa siapa yang menetapkan undang-undang untuk manusia selain hukum Allah dan mewajibkan mereka untuk berhukum dengannya, ia telah melakukan kafir akbar yang mengeluarkannya dari milah, berdasar beberapa dalil berikut ini :
(a). Di antaranya firman Allah :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
”Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An Nisa’ :59].
Ayat yang mulia ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mengembalikan urusan mereka saat terjadi perselisihan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini menerangkan bahwa mereka tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya jika tidak melakukan perintah ini. Sebabnya adalah karena ayat ini menjadikan pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayyim, ”Sebagai tuntutan dan kewajiban dari iman. Jika pengembalian urusan kepada Allah dan rasul-Nya ini hilang maka hilang pulalah iman, sebagai bentuk hilangnya malzum (akibat) karena lazimnya (sebabnya) telah hilang. Apalagi antara dua hal ini merupakan sebuah kaitan yang erat, karena terjadi dari kedua belah pihak. Masing-masing hal akan hilang dengan hilangnya hal lainnya…” [A’lamul Muwaqi’in I/84].
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, ”Maksudnya kembalikanlah perselisihan dan hal yang kalian tidak ketahui kepada kitabullah dan sunah rasulullah. Berhukumlah kepada
keduanya atas persoalan yang kalian perselisihkan “Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”. Hal ini menunjukkan bahwa siapa tidak berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah serta tidak kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan maka ia tidak beriman kepada Allah dan tidak juga beriman kepada hari akhir.” [Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim I/519].
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Syaikh dalam Tahkimul Qawanin mengatakan, ”Perhatikanlah ayat ini…bagaimana Allah menyebutkan kata nakirah yaitu “suatu perkara” dalam konteks syarat yaitu firman Allah “Jika kalian berselisih” yang menunjukkan keumuman…lalu perhatikanlah bagaimana Allah menjadikan hal ,ini sebagai syarat adanya iman kepada Allah dan hari akhir dengan firmannya ”Jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” [Risalatu Tahkimi Al Qawanin hal. 6-7].
Saya bertanya, ”Apa yang dilakukan oleh para penetap undang-undang positif? Bukankah mereka mengembalikan seluruh perselisihan dan perbedaan pendapat di antara mereka kepada selain kitabullah dan sunah Rasulullah?”  2- Di antaranya juga adalah firman Allah:
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ َيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا
”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” [QS. An Nisa’ :60].
Ayat ini mendustakan orang yang mengaku beriman namun pada saat yang sama mau berhukum dengan selain syariat Allah. Ibnu Qayyim dalam A’lamul Muwaqi’in I/85 berkata, ”Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan bahwa siapa saja yang berhukum atau memutuskan hukum dengan selain apa yang dibawa Rasulullah, berarti telah berhukum atau memutuskan hukum dengan hukum thagut. Thaghut adalah segala hal yang melewati batas hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati. Thaghut setiap kaum adalah sesuatu yang mereka berhukum kepadanya selain Allah dan rasul-Nya, atau sesuatu yang mereka sembah atau sesuatu yang mereka ikuti tanpa landasan dari Allah atau mereka mentaatinya dalam hal yang mereka tidak mengetahui bahwa hal tersebut adalah ketaatan yang menjadi hak Allah.”
Ibnu Katsir saat menafsirkan ayat ini mengatakan dalam tafsirnya I/520, ”Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang mengaku beriman kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasulullah dan para nabi terdahulu, namun pada saat yang sama dalam menyelesaikan perselisihan ia mau berhukum kepada selain kitabullah dan sunah rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam sebab turunnya ayat ini; seorang shahabat anshor berselisih dengan seorang yahudi. Si Yahudi berkata, ”Pemutus perselisihanku denganmu adalah Muhammad.” Si shahabat Anshar berkata,” Pemutus perselisihanku denganmu adalah Ka’ab bin Al Asyraf.” Ada juga yang mengatakan ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang munafiq yang menampakkan keislaman mereka namun mau berhukum kepada para pemutus hukum dengan hukum jahiliyah. Ada yang mengatakan selain ini. Yang jelas, ayat ini lebih umum dari sekedar alasan-alasan ini. Ayat ini mencela orang yang berpaling dari Al Qur’an dan As Sunah dan malahan berhukum kepada selain keduanya. Inilah yang dimaksud dengan thaghut dalam ayat ini.”
Syaikh Sulaiman bin Abdullah An Najdi dalam Taisirul ‘Azizil Hamid hal 554 mengatakan, ”Maka barang siapa bersaksi laa ilaaha illa Allah kemudian berpaling kepada berhukum kepada selain Rasul shallallahu ‘alaihi wa salam dalam persoalan-persoalan yang diperselisihkan, maka ia telah berdusta dalam kesaksiannya.”
3- Di antaranya juga adalah firman Allah:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَيُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An Nisa’: 65].
Dalam ayat ini Allah telah meniadakan iman, sebagaimana dikatakan syaikh Muhammad bin Ibrahim bahwa orang yang tidak menjadikan Rasulullah sebagai pihak yang memutuskan perkara yang mereka perselisihkan tidaklah beriman, dengan mendasarkan hal ini pada pengulangan adatu nafyi dan dengan sumpah. [Tahkimul Qawanin hal. 5].
Imam Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya I/521, “Allah Ta’ala bersumpah dengan Dzat-Nya yang Mulia dan Suci bahwasanya seseorang tidak beriman sampai ia menjadikan Rasul sebagai hakim dalam seluruh urusan. Apa yang diputuskan Rasul itulah kebenaran yang wajib dikuti secara lahir dan batin.”
Imam Ibnu Qayim juga berkata mengenai ayat ini: “Allah bersumpah dengan Dzat-Nya atas tidak adanya iman pada diri hamba-hamba-Nya sehingga mereka menjadikan Rasul sebagai hakim/pemutus segala persoalan di antara mereka, baik masalah besar maupun perkara yang remeh. Allah tidak menyatakan berhukum kepada Rasulullah ini cukup sebagai tanda adanya iman, namun lebih dari itu Allah menyatakan tidak adanya iman sehingga dalam dada mereka tidak ada lagi perasaan berat dengan keputusan hukum beliau. Allah tetap tidak menyatakan hal ini cukup untuk menandakan adanya iman, sehingga mereka menerimanya dengan sepenuh penerimaan dan ketundukan.” [A’lamul Muwaqi’in I/86].  4- Firman Allah Ta’ala:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
”Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari. Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah bagi kaum yang yakin ?” [QS. Al Maidah :50].
Allah Azza Wa Jalla menyebutkan hukum jahiliyah yaitu perundang-undangan dan system jahiliyah sebagai lawan dari hukum Allah, yaitu syariat dan system Allah. Jika syariat Allah adalah apa yang dibawa oleh Al Qur’an dan As Sunah, maka apalagi hukum jahiliyah itu kalau bukan perundang-undangan yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah?.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, ”Perhatikanlah ayat yang mulia ini, bagaimana ia menunjukkan bahwa hukum itu hanya ada dua saja. Selain hukum Allah, yang ada hanyalah hukum Jahiliyah. Dengan demikian jelas, para penetap undang-undang merupakan kelompok orang-orang jahiliyah; baik mereka mau (mengakuinya) ataupun tidak. Bahkan mereka lebih jelek dan lebih berdusta dari pengikut jahillliyah. Orang-orang jahiliyah tidak melakukan kontradiksi dalam ucapan mereka, sementara para penetap undang-undang ini menyatakan beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah namun mereka mau mencari celah. Allah telah berfirman mengenai orang-orang seperti mereka: ”Mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya dan Kami siapkan bagi orang-orang kafir adzab yang menghinakan.” [Risalatu tahkimil Qawanin hal. 11-12].
Dalam tafsirnya II/68, Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini:
”Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam yang memuat segala kebaikan dan melarang segala kerusakan, kemudian malah berpaling kepada hukum lain yang berupa pendapat-pemdapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh penguasa tanpa bersandar kepada syariah Allah. Sebagaimana orang-orang pengikut jahiliyah bangsa Tartar memberlakukan hukum ini yang berasal dari system perundang-undangan raja mereka, Jengish Khan. Jengish Khan membuat undang-undang yang ia sebut Ilyasiq, yaitu sekumpulan peraturan perundang-undangan yang diambil dari banyak sumber, seperti sumber-sumber Yahudi, Nasrani, Islam dan lain sebagainya. Di dalamnya juga banyak terdapat hukum-hukum yang murni berasal dari pikiran dan hawa nafsunya semata. Hukum ini menjadi undang-undang yang diikuti oleh keturunan Jengis Khan, mereka mendahulukan undang-undang ini atas berhukum kepada Al Qur’an dan As Sunah. Barang siapa berbuat demikian maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai ia kembali berhukum kepada hukum Allah dan rasul-nya, sehingga tidak berhukum dengan selainnya baik dalam masalah yang banyak maupun sedikit.”

Saya mengajak syaikh Al Albani —beliau menuduh kami menyelisihi para salaf terdahulu dan pengikut sesudah mereka dari kalangan ulama tafsir, hadits dan fiqih —, saya mengajak beliau untuk memperhatikan apa yang disebutkan oleh Al Hafidz Ibnu Katsir tentang hukum Tartar dan bagaimana beliau mensifati Alyasiq yang menjadi undang-undang mereka. Bila syaikh sudah melakukan hal ini, syaikh Albani akan bisa mengatakan kepada kami perbedaan apa yang beliau temukan antara kaum Tartar yang dikafirkan oleh Ibnu Katsir ini dan beliau nyatakan wajib diperangi, dengan para penguasa kita hari ini? Bukankah para penguaa kita hari ini menetapkan undang-undang dengan mengambil dari berbagai perundang-undangan Barat yang kafir ? Mereka mewajibkan rakyat untuk taat dan tunduk kepada undang-undang mereka, tanpa terkecuali kecuali apa yang mereka namakan hukum ahwal syakhsiyah (nikah, cerai, rujuk—pent), itupun tak lepas dari kejahatan mereka, mereka memasukkan di dalamnya hukum-hukum mereka yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunah.
Kami katakan tidak ada perbedaan antara Tartar dengan para penguasa kita hari ini, justru para penguasa kita hari ini lebih parah dari bangsa Tartar, sebagaimana akan kami sebutkan melalui komentar Al ‘Alamah Syaikh Ahmad Syakir atas perkataan Al Hafidz Ibnu Katsir di atas.
Sebelum melanjutkan penjelasan lebih lanjut, saya ingin mengingatkan di sini bahwa ketika berhukum dengan Alyasiq bangsa Tatar sudah masuk Islam. Tetapi ketika mereka berhukum dengan Alyasiq ini dan mendahulukannya atas kitabullah dan sunah rasul-Nya, para ulama mengkafirkan mereka dan mewajibkan memerangi mereka. Dalam Al Bidayah wa Nihayah XIII/360, Ibnu Katsir berkata tentang peristiwa tahun 694 H,” Pada tahun itu kaisar Tartar Qazan bin Arghun bin Abgha Khan Tuli bin Jengis Khan masuk Islam dan menampakkan keislamannya melalui tangan amir Tuzon rahimahullah. Bangsa Tartar atau mayoritas rakyatnya masuk Islam, kaisar Qazan menaburkan emas, perak dan permata pada hari ia menyatakan masuk Islam. Ia berganti nama Mahmud…”
Beliau juga mengatakan dalam Bidayah wa Nihayah, ”Terjadi perdebatan tentang mekanisme memerangi bangsa Tartar, karena mereka menampakkan keislaman dan tidak termasuk pemberontak. Mereka bukanlah orang-orang yang menyatakan tunduk kepada imam sebelum itu lalu berkhianat. Maka syaikh taqiyudin Ibnu Taimiyah berkata, ”Mereka termasuk jenis Khawarij yang keluar dari Ali dan Mu’awiyah dan melihat diri mereka lebih berhak memimpin. Mereka mengira lebih berhak menegakkan dien dari kaum muslimin lainnya dan mereka mencela kaum muslimin yang terjatuh dalam kemaksiatan dan kedzaliman, padahal mereka sendiri melakukan suatu hal yang dosanya lebih besar berlipat kali dari kemaksiatan umat Islam lainnya.”
Maka para ulama dan masyarakat memahami sebab harus memerangi bangsa Tartar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan kepada masyarakat, ”Jika kalian melihatku bersama mereka sementara di atas kepalaku ada mushaf, maka bunuhlah aku.” [Al Bidayah wan Nihayah XIV/25, lihat juga Majmu’ Fatawa XXVIII/501-502, XXVIII/509 dst].
Maksud dari disebutkannya peringatan ini adalah menerangkan tidak benarnya alasan orang yang mengatakan para penguasa hari ini menampakkan Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat sehingga tidak boleh memerangi mereka. Bangsa Tartar juga demikian halnya, namun hal itu tidak menghalangi seluruh ulama untuk menyatakan kekafiran mereka dan wajibnya memerangi mereka, disebabkan karena mereka berhukum dengan Alyasiq yang merupakan undang-undang yang paling mirip dengan undang-undang positif yang hari ini menguasai mayoritas negeri-negeri umat Islam. Karena itu, syaikh Ahmad Syakir menyebut undang-undang ini dengan istilah Alyasiq kontemporer, sebagaimana beliau sebutkan dalam [Umdatu tafsir IV/173-174].  (5). Saya kembali ke pembahasan dalil-dalil kafirnya menetapkan undang-undang positif. Di antara dalil yang menyatakan hal ini adalah firman Allah:
  أم لهم شركاء شرعوا لهم من الدين ما لم يأذن به الله
”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan (menatpkan undang-undang) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” [QS. Asy Syura :21].
Barang siapa menetapkan undang-undang tanpa izin dari Allah berarti telah mengangkat dirinya menjadi sekutu bagi Allah. Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya IV/112 ketika menafsirkan ayat ini, ”Maksudnya mereka tidak mengikuti dien yang lurus yang disyariatkan Allah. Namun mereka mengikuti undang-undang yang ditetapkan oleh setan jin dan manusia mereka, berupa pengharaman bahirah, saibah, wasilah dan ham, serta penghalalan memakan bangkai, darah, judi dan kesesatan serta kebodohan lainnya yang mereka ada-adakan pada masa jahiliyah, berupa penghalalan, pengharaman, ibadah-ibadah yang batil dan harta-harta yang rusak.”  (6). Dalil lainnya adalah firman Allah tentang kaum Yahudi dan Nasrani:
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menpertuhankan) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” [QS. At Taubah : 31].
Sudah sama diketahui bahwa ibadah kaum Yahudi dan Nasrani kepada para pendeta dan ahli ibadah mereka berbentuk ketaatan kepada mereka dalam penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Hal ini telah diterangkan dalam hadits Adi bin Hatim yang diriwayatkan oleh Tirmidzi (3095), Ibnu Jarir (16632,16631,16633], Al Baihaqi (X/116), Ath Thabrani dalam Al Kabir (XVII/92) dan lainnya. Dalam hadits tersebut disebutkan, ”Mereka tidaklah menyembah mereka, namun jika para pendeta menghalalkan sesuatu yang haram mereka ikut menghalalkannya, dan jika para pendeta mengharamkan sesuatu yang halal mereka ikut mengharamkannya.” Imam Tirmidzi berkata, ”Hadits ini hasan gharib, tak kami ketahui kecuali dari hadits Abdus Salam bin Harb dan Ghathif bin A’yun, ia tidak dikenal dalam dunia hadits.”
Hadits ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa VII/67, sementara sebagian ulama lain melemahkannya. Apapun keadaannya, maknanya benar dan kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Pengarang Fathul Majid (hal. 79) mengatakan tentang ayat ini, ”Dengan ini jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan siapa yang mentaati selain Allah dan rasul-Nya serta berpaling dari mengambil Al Kitab dan As Sunah dalam menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan mentaatinya dalam bermaksiat kepada Allah dan mengikutinya dalam hal yang tidak dizinkan Allah, maka ia telah mengangkat orang tersebut sebagai rabb, sesembahan dan menjadikannya sebagai sekutu Allah…”  (7). Di antara dalil lainnya adalah firman Allah:
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
”Sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik.” [QS. Al An'am :121].
Sebab turunnya ayat ini adalah kaum musyrikin berkata kepada kaum muslimin, ”Bagaimana kalian mengatakan mencari ridha Allah dan kalian memakan sembelihan kalian namun kalian tidak memakan apa yang dibunuh Allah. Maka Allah menurunkan ayat ini. [lihat Tafsir Ibnu Katsir II/172].
Keumuman ayat ini menerangkan bahwa mengikuti selain undang-undang Allah merupakan sebuah kesyirikan. Dalam tafsirnya II/172, Ibnu Katsir berkata, ”Karena kalian berpaling dari perintah Allah dan syariatnya kepada kalian, kepada perkataan selain Allah dan kalian dahulukan undang-undang selain-Nya atas syariat-Nya, maka ini adalah syirik. Sebagaimana firman Allah,” Mereka menjadikan para pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah…”
Tidak diragukan lagi mengikuti undang-undang positif yang menihilkan syariat Allah merupakan sikap berpaling dari syariat dan ketaatan kepada Alalh, kepada para penetap undang-undang positif tersebut yaitu setan-setan jin dan manusia.
Syaikh Asy-Syanqithi dalam tafsir Adhwaul Bayan IV/91 saat menafsirkan firman Allah:
ولا يشرك في حكمه أحدا
“Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan” [QS. Al Kahfi :26].
Beliau berkata: ”Dipahami dari ayat ini “Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan” bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat undang-undang selain apa yang disyariatkan Allah, mereka itu musyrik kepada Allah. Pemahaman ini diterangkan oleh ayat-ayat yang lain seperti firman Allah tentang orang yang mengikuti tasyri’ (aturan-aturan) setan yang menghalalkan bangkai dengan alasan sebagai sembelihan Allah:
وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebutkan nama Allah saat menyembelihnya karena hal itu termasuk kefasiqan. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Jika kamu mentaati mereka tentulah kamu termasuk orang-orang musyrik.” [QS. Al An'am :121].
Allah menegaskan mereka itu musyrik karena mentaati para pembuat keputusan yang menyelisihi hukum Allah ini. Kesyirikan dalam masalah ketaatan dan mengikuti tasyri’ (peraturan-peraturan) yang menyelisihi syariat Allah inilah yang dimaksud dengan beribadah kepada setan dalam ayat, “Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian wahai Bani Adam supaya kalian tidak menyembah (beribadah kepada) setan ? Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian. Dan beribadahlah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus.” [QS. Yasin :60-61].”  (8) Telah menjadi ijma’ ulama bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada undang-undang tersebut merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah.
Ibnu Katsir berkata dalam Al Bidayah wan Nihayah XIII/128 setelah menukil perkataan imam Al Juwaini tentang Alyasiq yang menjadi undang-undang bangsa Tatar:
“Barang siapa meninggalkan syariat yang telah muhkam yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup seluruh nabi dan berhukum kepada syariat-syariat lainnya yang telah mansukh (dihapus oleh Islam), maka ia telah kafir. Lantas bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasiq dan mendahulukannya atas syariat Allah ? Siapa melakukan hal itu berarti telah kafir menurut ijma’ kaum muslimin.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Sudah menjadi pengetahuan bersama dari dien kaum muslimin dan menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa orang yang memperbolehkan mengikuti selain dineul Islam atau mengikuti syariat (perundang-undangan) selain syariat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam maka ia telah kafir seperti kafirnya orang yang beriman dengan sebagian Al kitab dan mengkafiri sebagian lainnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Allah dan para rasul-Nya dan bermaskud membeda-bedakan antara (keimanan) kepada Allah dan para rasul-Nya …” {QS. An Nisa’ :150}. [Majmu’ Fatawa XXVIII/524].
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa XXVIII/267, ”Manusia kapan saja menghalalkan hal yang telah disepakati keharamannya atau mengharamkan hal yang telah disepakati kehalalannya atau merubah syariat Allah yang telah disepakati maka ia kafir murtad berdasar kesepakatan ulama.”
Saya bertanya, ”Berapa banyak para penguasa kita menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati…? Berapa banyak mereka mengharamkan hal yang kehalalannya telah disepakati ? Orang yang melihat kondisi mereka akan mengerti betul akan hal ini, sebagaimana akan kami jelaskan nanti. Insya Allah.
Syaikh Asy-Syanqithi dalam Adhwaul Bayan III/400 dalam menafsirkan firman Allah, ”Jika kalian mentaati mereka maka kalian telah berbuat syirik.” Ini adalah sumpah Allah Ta’ala, Ia bersumpah bahwa setiap orang yang mengikuti setan dalam menghalalkan bangkai, dirinya telah musyrik dengan kesyirirkan yang mengeluarkan dirinya dari milah menurut ijma’ kaum muslimin.”
Abdul Qadir Audah mengatakan, ”Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mujtahidin, baik secara perkataan maupun keyakinan, bahwa tidak ada ketaatan atas makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Pencipta dan bahwasanya menghalalkan hal yang keharamannya telah disepakati seperti zina, minuman keras, membolehkan meniadakan hukum hudud, meniadakan hukum-hukum Islam dan menetapkan undang-undang yang tidak diizinkan Allah berarti telah kafir dan murtad, dan hukum keluar dari penguasa muslim yang murtad adalah wajib atas diri kaum muslimin.” [Al Islam wa Audha’una Al Qanuniyah hal. 60].
Demikianlah… nash-nash Al Qur’an yang tegas ini disertai ijma’ yang telah disebutkan menjelaskan dengan penjelasan yang paling gamblang bahwa menetapkan undang-undang selain hukum Allah dan berhukum kepada selain syariat Allah adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Kapan hal itu terjadi maka uraian Ibnu Abbas tidak berlaku atas masalah ini. Penjelasan Ibnu Abbas berlaku untuk masalah al qadha’ (memutuskan vonis atas suatu permasalahan), jadi kafir asghar terjadi pada menyelewengnya sebagian penguasa dan hakim dan sikap mereka mengikuti hawa nafsu dalam keputusan hukum yang mereka jatuhkan dengan tetap mengakui kesalahan mereka tersebut dan tidak mengutamakan selain hukum Allah atas syariat Allah dan tidak ada hukum yang berlaku atas mereka selain syariat Islam.
Kedua:
Dalil-dalil Yang Menunjukkan Bahwa Hukum-Hukum Positif Adalah kekafiran Yang Nyata   Penjelasan di atas berkisar seputar hukum menetapkan undang-undang selain Allah secara umum. Kali ini secara khusus kita akan mengetengahkan pembahasan undang-undang positif yang diwajibkan oleh para penguasa kita kepada rakyat, untuk menjelaskan kepada orang yang tidak tahu bahwa hal itu berarti menghalalkan hal yang haram, mengharamkan yang halal dan merubah syariat Allah, yang dihukumi kafir dan murtad menurut ijma’ seluruh ulama sebagaimana telah disebutkan oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Saya akan mencukupkan diri dengan menyebutkan beberapa contoh yang menjelaskan hal ini:
1- Bentuk penghalalan yang haram. Undang-undang hukum pidana Mesir kosong dari penyebutan pasal yang mengharamkan zina jika terjadi pada diri seorang laki-laki atau perempuan yang belum menikah. Maknanya zina orang yang masih bujangan adalah boleh karena kita memahami bahwa kaedah yang berlaku pada para pakar hukum adalah “tidak ada kejahatan dan hukuman kecuali menurut undang-undang”. Juga, seorang suami boleh berzina di luar rumah, karena undang-undang pidana Mesir pasal 277 menyatakan, ”Setiap suami yang berzina dalam rumah istrinya kemudian diadukan dengan tuduhan dari pihak istri, maka suami ditahan dalam masa yang tidak lebih dari enam bulan.”
Seorang istri yang berzina dengan keridhaan suaminya tidak dianggap melakukan sebuah kejahatan, karena pasal 273 undang-undang hukum pidana Mesir menyatakan, ”Tidak boleh mengadili seorang istri yang berzina kecuali dengan adanya tuduhan suami.”
Undang-undang Mesir sama sekali tidak menyebutkan hukuman murtad. Maknanya, menurut mereka murtadnya seorang muslim boleh-boleh saja karena kaedah yang berlaku di kalangan pakar hukum menyatakan “tidak ada kejahatan dan hukuman kecuali dengan undang-undang”. Bandingkan hal ini dengan banyak hal yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya namun didiamkan saja oleh undang-undang dan hukum sehingga di kalangan mereka menjadi hal yang boleh. (Ini adalah Undang-undang negara Mesir bagaimana dengan Indonesia… hakikatnya kekafirannya sama saja -editor)
Bahkan di antara pasal-pasal dalam undang-undang Mesir ada yang secara tegas membolehkan menghalakan hal yang diharamkan Allah. Contohnya adalah pasal 226 undang-undang hukum perdata Mesir yang memberi kesempatan bahkan mewajibkan membayar bunga hutang (riba) diakhir untuk menutup hutang. Pasal tersebut menyatakan, ”Jika kewajiban yang harus dibayar berupa uang dalam jumlah yang telah ditentukan pada masa meminjam, kemudian pihak peminjam tidak bisa memenuhinya pada waktu yang telah ditentukan maka peminjam harus membayar bunga 4 % dalam perkara perdata dan 5 % dalam perkara perdagangan. Bunga dihitung sejak masa berakhirnya pembayaran hutang.”
Pasal 228 undang-undang hukum perdata menyatakan, ”Terjadinya kesusahan pada diri pemberi hutang bukan menjadi syarat pembayaran bunga hutang sebagai akibat dari keterlambatan pengembalian hutang.”  B- Pengharaman hal yang dihalalkan Allah. Contohnya adalah pasal 201 undang-undang hukum pidana Mesir yang menegaskan, ”Setiap individu, meskipun seorang tokoh agama, yang menyampaikan khutbah yang mengandung celaan kepada pemerintah, undang-undang, ketetapan pemerintah, pekerjaan salah satu lembaga pemerintah, atau menyebarkan nasehat atau pengajaran agama yang mengandung hal-hal di atas akan ditahan dan membayar denda minimal 100 junaih dan maksimal 500 junaih, atau dengan salah satu dari kedua hukuman ini.”
Pasal ini menganggap nasehat keagamaan yang merupakan sebuah kewajiban menurut syariat Islam sebagai hal yang terlarang dan pantas dihukum. Ini jelas-jelas mengharamkan hal yang dihalalkan dan bahkan diwajibkan Allah Ta’ala.  C- Mengganti Syariat Allah. Contohnya banyak sekali, antara lain:
1}. Pasal 274 undang-undang hukum pidana Mesir menyatakan, ”Seorang istri yang telah jelas berzina akan ditahan dalam masa maksimal dua tahun, namun suaminya berhak menghentikan pelaksanaan hukuman ini jika ia meridhai istrinya sebagaimana sebelum terjadi perzinaan.”
Mengenai suami yang berzina telah disebutkan di muka bahwa pasal 277 menyatakan jika ia berzina di luar rumah istrinya maka ia ditahan dalam masa maksimal enam bulan. Ini semua jelas merubah had rajam, sebagaimana memberi suami hak untuk menggugurkan hukuman atas kasus berzinanya istri juga merubah syariat Allah. Contoh lainnya masih banyak.
D- Cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa hak menetapkan undang-undang telah diberikan kepada selain Allah. Pasal 86 telah menyatakan bahwa, ”Majelis Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan menetapkan undang-undang.”
Hak menetapkan undang-undang sebagaimana telah kami sebutkan hanyalah hak Allah semata, tak seorangpun boleh merampas hak ini dari-Nya. Pasal ini tidak membatasi kekuasaan Majelis Perwakilan Rakyat dalam menetapkan undang-undang dengan ikatan apapun. Pasal ini tidak mengatakan, misalnya,”Selama tidak menyelisihi syariah Islam.” Maknanya mereka menetapkan apapun yang mereka inginkan atau yang diinginkan oleh kepala pemerintahan Mesir.
Karena itulah kami mengatakan bahwa hukum positif ini jelas-jelas menyelisihi syariat dan menentangnya dengan sejelas-jelas penentangan. Orang yang menetapkannya jelas telah kafir, orang yang ridha dengannya dan menggiring manusia untuk berhukum kepadanya juga telah kafir. Apa yang kami jelaskan ini telah disadari oleh para ulama kontemporer . Mereka menerangkan bahaya hukum-hukum positif ini. Mereka menerangkan bahwa hukum-hukum positif adalah kekafiran nyata yang mengeluarkan dari millah. Saya menyebutkan di bawah ini sebagian dari perkataan para ulama tersebut, semoga meyakinkan syaikh Albani bahwa yang kami katakan bukanlah pendapat Khawarij dan tidak menyelisihi firqah najiyah. Kami senantiasa berdoa kepada Allah semoga tetap meneguhkan kami di atas aqidah firqah najiyah sampai kami menghadap-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah dan Maha Berbuat Kebajikan.  Di antara para ulama tersebut diantaranya:
1- Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalah beliau Tahkimul Qawanin, “Sesungguhnya termasuk kafir akbar yang sudah nyata adalah memposisikan undang-undang positif yang terlaknat kepada posisi apa yang dibawa oleh ruhul amien (Jibril) kepada hati Muhammad supaya menjadi peringatan dengan bahasa arab yang jelas dalam menutuskan perkara di antara manusia dan mengembalikan perselisihan kepadanya, karena telah menentang firman Allah :

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
” …Maka jika kalian berselisih dalam suatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir…” [Risalatu Tahkimil Qawanin hal. 5].
Beliau juga mengatakan dalam risalah yang sama, ”Pengadilan-pengadilan tandingan ini sekarang ini banyak sekali terdapat di negara-negara Islam, terbuka dan bebas untuk siapa saja. Masyarakat bergantian saling berhukum kepadanya. Para hakim memutuskan perkara mereka dengan hukum yang menyelisihi hukum Al Qur’an dan As Sunah, dengan berpegangan kepada undang-undang positif tersebut. Bahkan para hakim ini mewajibkan dan mengharuskan masyarakat (untuk menyelesaikan segala kasus dengan undang-undang tersebut) serta mereka mengakui keabsahan undang-undang tersebut. Adakah kekufuran yang lebih besar dari hal ini ? Penentangan mana lagi terhadap Al Qura’an dan As Sunah yang lebih berat dari penentangan mereka seperti ini dan pembatal syahadat “ Muhammad adalah utusan Allah” mana lagi yang lebih besar dari hal ini ?” [Tahkimul Qawanien hal. 20-21].
2- Syaikh Ahmad Syakir mengomentari perkataan Ibnu Katsir tentang Al Yasiq yang menjadi hukum bangsa Tartar sebagaimana telah dinukil di depan, ”Apakah kalian tidak melihat pensifatan yang kuat dari al hafidz Ibnu Katsir pada abad kedelapan hijriyah terhadap undang-undang postif yang ditetapkan oleh musuh Islam Jengish Khan? Bukankah kalian melihatnya mensifati kondisi umat Islam pada abad empat belas hijriyah? Kecuali satu perbedaan saja yang kami nyatakan tadi ; hukum Alyasiq hanya terjadi pada sebuah generasi penguasa yang menyelusup dalam umat Islam dan segera hilang pengaruhnya. Namun kondisi kaum muslimin saat ini lebih buruk dan lebih dzalim dari mereka karena kebanyakan umat Islam hari ini telah masuk dalam hukum yang menyelisihi syariah Islam ini, sebuah hukum yang paling menyerupai Alyasiq yang ditetapkan oleh seorang laki-laki kafir yang telah jelas kekafirannya… Sesungguhnya urusan hukum positif ini telah jelas layaknya matahari di siang bolong, yaitu kufur yang nyata tak ada yang tersembunyi di dalamnya dan tak ada yang membingungkan. Tidak ada udzur bagi siapa pun yang mengaku dirinya muslim dalam berbuat dengannya, atau tunduk kepadanya atau mengakuinya. Maka berhati-hatilah, setiap individu menjadi pengawas atas dirinya sendiri.” [Umdatu Tafsir IV/173-174].
3- Syaikh Muhammad Amien Asy Syinqithi dalam Adhwaul Bayan IV/92 ketika menafsirkan firman Allah, “Dan tidak mengambil seorangpun sebagai sekutu Allah dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al Kahfi :26] dan setelah menyebutkan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa menetapkan undang-undang bagi selain Allah adalah kekafiran, beliau berkata, ”Dengan nash-nash samawi yang kami sebutkan ini sangat jelas bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum positif yang ditetapkan oleh setan melalui lisan wali-wali-Nya, menyelisihi apa yang Allah syariatkan melalui lisan rasul-Nya. Tak ada seorangpun yang meragukan kekafiran dan kesyirikannya, kecuali orang-orang yang telah Allah hapuskan bashirahnya dan Allah padamkan cahaya wahyu atas diri mereka.”
4- Syaikh Shalih bin Ibrahim Al Bulaihi dalam hasyiyah beliau atas Zadul Mustaqni’, yang terkenal dengan nama Al Salsabil fi Ma’rifati Dalil, mengatakan, ” …Berhukum dengan hukum-hukum positif yang menyelisihi syariat Islam adalah sebuah penyelewengan, kekafiran, kerusakan dan kedzaliman bagi para hamba. Tak akan ada keamanan dan hak-hak yang terlindungi, kecuali dengan dipraktekkanmya syariah Islam secara keseluruhannya; aqidahnya, ibadahnya, hukum-hukumnya, akhlaknya dan aturan-aturannya. Berhukum dengan selain hukum Allah berarti berhukum dengan hukum buatan manusia untuk manusia sepertinya, berarti berhukum dengan hukum-hukum thaghut…tak ada bedanya antara ahwal sakhsiah (masalah nikah,cerai, ruju’–pent) dengan hukum-hukum bagi individu dan bersama… barang siapa membeda-bedakan hukum antara ketiga hal ini, berarti ia seorang atheis, zindiq dan kafir kepada Allah Yang Maha Agung.” [As Salsabil II/384].
5- Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam risalah beliau “Naqdu Al Qaumiyah Al ‘Arabiyah“ (Kritik atas nasionalisme Arab) mengatakan, ”Alasan keempat yang menegaskan batilnya seruan nasionalisme arab: seruan kepada nasionalisme arab dan bergabung di sekitar bendera nasionalisme arab pasti akan mengakibatkan masyarakat menolak hukum Al Qur’an. Sebabnya karena orang-orang nasionalis non muslim tidak akan pernah ridha bila Al Qur’an dijadikan undang-undang. Hal ini memaksa para pemimpin nasionalisme untuk menetapkan hukum-hukum positif yang menyelisihi hukum Al Qur’an. Hukum positif tersebut menyamakan kedudukan seluruh anggota masyarakat nasionalis di hadapan hukum. Hal ini telah sering ditegaskan oleh mereka. Ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata dan jelas-jelas murtad.” [Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawi’ah lisyaikh Ibni Baz I/309].
6- Syaikh Abdullah bin Humaid mengatakan, ”Siapa menetapkan undang-undang umum yang diwajibkan atas rakyat, yang bertentangan dengan hukum Allah; berarti telah keluar dari milah dan kafir.” [lihat Ahamiyatul Jihad Fi Nasyri Ad Da’wah hal. 196, D. ‘Ali Nufai’ Al ‘Ulyani].
7- Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi dalam komentar beliau atas Fathul Majid (hal. 275-276) mengatakan, ”Kesimpulan yang diambil dari perkataan ulama salaf bahwa thaghut adalah setiap hal yang memalingkan hamba dan menghalanginya dari beribadah kepada Allah, memurnikan dien dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya…Tidak diragukan lagi, termasuk dalam kategori thaghut adalah berhukum dengan hukum-hukum asing di luar syariat Islam, dan hukum-hukum positif lainnya yang dtetapkan oleh manusia untuk mengatur masalah darah, kemaluan dan harta, untuk menihilkan syariat Allah berupa penegakan hudud, pengharaman riba, zina, minuman keras dan lain sebagainya. Hukum-hukum positif ini menghalalkannya dan mempergunakan kekuatannya untuk mempraktekkannya. Hukum dan undang-undang positif ini sendiri adalah thaghut, sebagaimana orang-orang yang menetapkan dan melariskannya juga merupakan thaghut…”
Beliau juga menyatakan dalam Fathul Majid hal. 387 saat mengomentari perkataan Ibnu katsir tentang Alyasiq, ”Yang seperti ini dan bahkan lebih buruk lagi adalah orang yang menjadikan hukum Perancis sebagai hukum yang mengatur darah, kemaluan dan harta manusia, mendahulukannya atas kitabullah dan sunah Rasulullah. Tak diragukan lagi, orang ini telah kafir dan murtad jika terus berbuat seperti itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan Allah. Nama apapun yang ia sandang dan amalan lahir apapun yang ia kerjakan baik itu sholat, shiyam dan sebagainya, sama sekali tak bermanfaat baginya…”  8- Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, ”Barang siapa tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah karena menganggap hukum Allah itu sepele, atau meremehkannya, atau meyakini bahwa selain hukum Allah lebih baik dan bermanfaat bagi manusia, maka ia telah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari milah. Termasuk dalam golongan ini adalah mereka yang menetapkan untuk rakyatnya perundang-undangan yang menyelisihi syariat Islam, supaya menjadi sistem perundang-undangan negara. Mereka tidak menetapkan perundang-undangan yang menyelisihi syariat Islam kecuali karena mereka meyakini bahwa perundang-undangan tersebut lebih baik dan bermanfaat bagi rakyat. Sudah menjadi askioma akal dan pembawaan fitrah, manusia tak akan berpaling dari sebuah sistem kepada sistem lain kecuali karena ia meyakini kelebihan sistem yang ia anut dan kelemahan sistem yang ia tinggalkan.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin II/143].
Mengomentari kaset syaikh Albani, di mana dalam kaset tersebut syaikh Albani menyatakan penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah tidak dihukumi kafir kecuali kalau ia meyakini kebolehan berhukum dengan selain hukum Allah, Syaikh Muhammad Sholih Ibnu Utsaimin mengatakan, “…Tapi kami menyelisihi pendapatnya dalam masalah penguasa tidak dihukumi kafir kecuali kalau ia meyakini kebolehannya”. Pendapat beliau ini perlu ditinjau kembali karena kami mengatakan siapa yang meyakini bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah —meskipun ia tetap berhukum dengan hukum Allah namun ia meyakini selain hukum Allah lebih baik dari hukum Allah— maka ia telah kafir kufur aqidah. Pendapat kami ini atas perbuatan (bukan atas niat—pent). Menurut keyakinan saya, tak mungkin seorang menerapkan hukum yang bertentangan dengan syariat Islam di antara rakyatnya kecuali kalau ia membolehkan hal itu dan meyakini hukum tersebut lebih baik dari hukum syariat. Inilah yang realita yang ada. Kalau tidak demikian, apa yang menyebabkannya berbuat demikian? Boleh jadi yang menyebabkannya berbuat demikian karena ia takut kepada manusia lain yang lebih kuat darinya. Kalau demikian halnya, maka ia telah berkompromi dengan mereka. Dalam kondisi seperti ini, kami katakan ia telah kafir sebagaimana orang yang berkompromi dalam kemaksiatan yang lain…” [Fitnatu Takfir lil Allamah Al Albani ma’a Ta’liqat lisyaikh Ibni Baz wa Syaikh Ibni Utsaimin, catatan kaki hal. 28].
9- Syaikh Sholih bin Fauzan dalam bukunya Al Isryad ila Shahihil I’tiqad I/72 mengatakan, ”Barang siapa berhukum kepada perundang-undangan dan hukum positif selain syariat Allah, berarti ia telah menjadikan penetap perundang-undangan tersebut dan orang-orang yang menghukumi dengan perundang-undangan tersebut sebagai sekutu-sekutu Allah dalam menetapkan undag-undang. Allah berfirman, ”Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan (menetapkan) untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah.” Allah berfirman, ”Jika kalian mentaati merka maka kalian telah musyrik.”
Dalam buku yang sama (I/74), setelah menukil perkataan Ibnu Katsir tentang Alyasiq, beliau mengatakan, ”Yang semisal dengan hukum Tartar yang beliau sebutkan dan dihukumi kafir orang yang menjadikannya sebagai pengganti hukum syariah, yang semisal dengan ini adalah hukum-hukum positif yang hari ini dibanyak negara dijadikan sumber perundang-undangan sehingga keberadaannya membuang syariah Islam kecuali beberapa masalah yang mereka sebut al ahwal ash syakhsiyah…”
10- Kalau kita menyebutkan secara detail perkataan para ulama dalam masalah ini tentulah akan menjadi panjang lebar. Namun kami merasa nukilan-nukilan ini sudah mewakili. Hanya saja untuk menutup permasalahan ini saya akan menyebutkan perkataan syaikh Albani sendiri yang membantah pendapat beliau. Yaitu yang tersebut dalam buku “Fatawa Syaikh Al Albani wa Muqaranatuha bi Fatawa Ulama’ “. Dalam halaman 263, dinukil dari kaset nomor 171, melalui pembicaraan syaikh Al Albani yang mengisahkan dialog antara beliau dengan seorang cendekiawan, ”Saya terangkan kepadanya bahwa kaum muslimin tidak mengkafirkan Ataturk dikarenakan ia seorang muslim, tidak, namun kaum muslimin mengkafirkan Ataturk dikarenakan ia telah berlepas diri dari Islam ketika ia mewajibkan kepada kaum muslimin sebuah hukum selain hukum Islam. Di antaranya adalah ia menyamakan warisan antara seorang anak laki-laki dengan anak perempuan sedangkan Allah telah berfirman,” Bagi anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan”, lalu ia mewajibkan topi atas rakyat muslim Turki…”
Kita perhatikan di sini syaikh Al Albani telah membenarkan pengkafiran Ataturk, dengan alasan Ataturk mewajibkan hukum selain hukum Islam atas kaum muslimin. Saya katakan, ”Kalau begitu, apa bedanya antara Ataturk dengan para penguasa lain yang juga mengganti dan mewajibkan selain hukum Islam atas kaum muslimin. Sebuah hukum yang isinya antara lain; membatalkan hukuman bagi orang murtad, hukuman bagi peminum khamr, hukuman bagi pelaku perzinaan, hukuman bagi pencuri dan lainnya. Bahkan ada yang lebih kejam dari sekedar mewajibkan topi, yaitu mewajibkan mencukur jenggot bagi tentara dan polisi. Seorang tentara atau polisi akan dihukum kalau membiarkan jenggotnya. Sebagian pemerintah negara-negara arab juga melarang kaum wanita untuk memakai hijab syar’i. Di Mesir, menteri pendidikan sejak dahulu menetapkan peraturan yang melarang pelajar putri menutup kepalanya dengan khimar (cadar) syar’i kecuali jika ia mampu mendatangkan tanda persetujuan walinya. Adapun menutup wajah, menteri pendidikan telah melarang total tanpa perkecualian dengan alasan bukan pakaian yang bermoral.
Sebenarnya kita tidak menemukan perbedaaan antara Ataturk dengan penguasa–penguasa yang kami sebutkan ini. Kami katakan demikian, sampai syaikh Albani bisa memberikan bukti yang menolak apa yang kami sebutkan ini. Wallahu Al Musta’an.  Ketiga:
Pendapat para ulama kontemporer yang menyatakan bahwa atsar ibnu Abbas tidak tepat untuk diterapkan pada kondisi para pnguasa saat ini
Pembicaraan kita pada dua pembahasan terdahulu berkisar pada masalah menetapkan hukum selain dengan hukum Allah adalah kafir akbar dan hukum-hukum positif adalah jelas-jelas kekafiran.
Kini kami akan membicarakan sebuah permasalahan yang lebih spesifik, yaitu penjelasan tentang tidak benarnya menggenakan atsar Ibnu Abbas untuk menghukumi para penguasa hari ini dan hukum-hukum positif batil ketetapan mereka. Dalam kesempatan ini kami mencukupkan diri dengan mengetengahkan pendapat para ulama kontemporer yang mengerti persoalan hukum-hukum positif tersebut dan bahaya destruktifnya. Maksud kami adalah menerangkan kepada syaikh Al Albani bahwa ketika kami menyatakan atsar Ibnu Abbas tidak bisa dipakai untuk menghukumi para penguasa yang menetapkan undang-undang tanpa izin Allah, kami sama sekali tidak mengada-adakan pendapat baru. Kami katakan, Wabillahi at Taufiq:
1- Syaikh ‘Allamah Ahmad Muhammad Syakir dalam Umdatu Tafsir IV/156-158 mengomentari atsar Ibnu Abbas dengan perkataan beliau, ”Atsar-atsar dari Ibnu Abbas dan lainnya ini dipermainkan oleh orang-orang yang membuat kesesatan pada masa kita ini, dari kalangan ulama dan orang-orang yang berani memperalat agama. Mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai udzur atau pembolehan bagi hukum-hukum positif yang diterapkan di negeri-negeri Islam. Ada juga atsar Ibnu Mijlaz tentang perdebatan beliau dengan kaum Khawarij Ibadhiyah tentang perbuatan para penguasa dzalim yang menetapkan vonis dalam beberapa kasus dengan vonis yang bertentangan dengan syariah, dikarenakan hawa nafsu atau tidak mengetahui hukum kasus tersebut. Kaum Khawarij berpendapat orang yang melakukan dosa besar telah kafir, mereka mendebat Abu Mijlaz dengan tujuan beliau menyetujui pendapat mereka yang mengkafirkan para penguasa tersebut, sehingga dengan demikian mereka mempunyai alasan untuk memerangi para penguasa tersebut. Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ath Thabari (12025 dan 12026). Saudara saya, Mahmud Muhammad Syakir telah mengomentarinya dengan sebuah komentar yang kuat, bagus dan bermutu…” Syaikh Ahmad Syakir kemudian menyebutkan teks riwayat atsar yang pertama, kemudian mengatakan:
“Saudara saya, Mahmud Ahmad Syakir telah menulis berkenaan dengan dua atsar ini,” Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan. Wa Ba’du. Sesungguhnya orang-orang yang ragu dan ahlu fitnah di kalangan ulama pada masa sekarang ini telah mencari-cari alasan untuk membela para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah dan memutuskan perkara dalam masalah darah, kehormatan dan harta dengan selain syariah Allah yang diturunkan dalam kitab-Nya. Mereka membela penguasa yang menjadikan undang-undang kafir sebagai undang-undang di negeri-negeri Islam. Ketika mereka menemukan dua riwayat ini, mereka mengambilnya sebagai pembenar sikap penguasa yang memutuskan perkara dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan selain hukum Allah. Mereka menyatakan bahwa menetapkan perundang-undangan: baik orang yang meridhai maupun pelakunya, sama-sama tidak kafir.
Padahal sudah jelas bahwa kaum Ibadhiyah yang menanyai Abu Mijlaz bermaksud memaksakan dalil ini kepada beliau, agar beliau mengkafirkan para penguasa dikarenakan para penguasa berada di bawah bendera sultan (khalifah). Dan juga karena barangkali para penguasa berbuat maksiat atau melanggar beberapa larangan Allah.
Karena itu dalam menanggapi atsar yang pertama (12025), Abu Mijlaz menjawab, ”Jika mereka meninggalkan suatu hal (memutuskan kasus dengan hukum Allah), mereka mengetahui bahwa dengan hal itu mereka telah melakukan suatu dosa. ”Mengenai atsar kedua (12026), Abu Mijlaz berkata kepada kaum Ibadhiyah, ”Mereka mengerti apa yang mereka kerjakan dan mereka menyadari kalau perbuatan tersebut adalah sebuah dosa.”
Dengan demikian, pertanyaan kaum Ibadhiyah bukanlah apa yang dijadikan alasan oleh para pengikut bid’ah zaman sekarang ini yaitu memutuskan hukum dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi syariah orang Islam, dan bukan pula dalam masalah menetapkan undang-undang yang diwajibkan atas kaum muslimin dengan berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan atas lisan nabi-Nya. Menetapkan undang-undang selain hukum Allah ini adalah berpaling dari hukum Allah, membenci dien-Nya dan mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum Allah Ta’ala. Ini jelas sebuah kekafiran yang tak diragukan oleh seorang muslim manapun, meskipun mereka masih berbeda pendapat mengenai kafirnya orang yang mengatakan dan juru kampanyenya…”
Barang siapa beralasan dengan kedua atsar ini bukan pada tempatnya dan memalingkan maknanya kepada selain makna sebenarnya karena ingin menolong sultan atau sebagai rekayasa untuk memperbolehkan berhukum dengan selain hukum Allah dan memperbolehkan penguasa mewajibkan kaum muslimin untuk berhukum kepada hukum tersebut. Hukum orang yang seperti ini dalam tinjauan syariah adalah orang yang mengingkari hukum Allah. Ia diminta untuk bertaubat, jika tetap pada pendiriannya, terus menerus seperti itu, mengingkari hukum Allah dan ridha dengan digantinya hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya hukum yang berkenaan dengan orang kafir yang tetap bertahan di atas kekafirannya telah sama-sama diketahui oleh orang yang memahami dien ini.”
Perkataan Syaikh Ahmad Syakir dan pengakuan beliau terhadap perkataan saudara beliau, Syaikh Mahmud Ahmad Syakir sudah jelas sejelas matahari di siang bolong dalam membedakan antara maksud perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz dengan kondisi kita hari ini. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz berkenaan tentang penguasa dzalim yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, namun undang-undang yang berlaku dalam negara adalah syariah Islam. Perkataan Ibnu Abbas dan Abu Mijlaz tidak berkenaan dengan penguasa yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi syariat Allah dan mewajibkan rakyat untuk berhukum kepada undang-undang tersebut. 3
2- Syaikh Muhammad bin Ibrahim mengatakan, ”Riwayat dari Ibnu Abbas, Thawus dan lain-lain menunjukkan bahwa penguasa yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir, baik kafir I’tiqad yang mengeluarkan dari Islam maupun kafir amal yang tidak mengeluarkan dari Islam.
Kafir yang pertama; Kafir I’tiqad. Ada beberapa macam… Yang kelima. Adalah yang paling besar, paling luas dan paling nyata penentangannya terhadap syariah, penentangannya terhadap hukum-hukum syariah dan permusuhannya terhadap Allah dan rasul-Nya, dan paling nyata dalam menyaingi pengadilan-pengadilan Islam. Pengadilan hukum positif ini telah ditegakkan dengan segala persiapan, dukungan, pengawasan, sosialisasi yang gencar dan pembuatan hukum baik pokok maupun cabang serta pemaksaan dan membuat referensi dan sumber-sumber hukum, yang semuanya untuk menandingi mahkamah Islam. Sebagaimana pengadilan-pengadilan Islam mempunyai referensi dan pokok landasan yaitu seluruhnya berdasar Al Qur’an dan As sunah, demikian juga undang-undang dalam pengadilan-pengadilan hukum positif ini juga mempunyai sumber, yaitu dari perundang-undangan dan berbagai ajaran dari banyak sumber, seperti undang-undang Perancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris dan lain sebagainya, juga dari berbagai sekte sesat pembawa bid’ah.
Kekafiran apalagi yang lebih besar dari kekafiran ini, dan pembatal syahadat “Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah“ manalagi yang lebih besar dari perbuatan ini ?
Sampai pada perkataan beliau :
“Adapun jenis kedua dari dua jenis kekufuran karena meninggalkan berhukum dengan hukum Allah adalah kufur yang tidak mengeluarkan dari milah…yaitu jika syahwat dan hawa nafsunya membawanya untuk memutuskan suatu kasus dengan selain hukum Allah dengan masih meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itulah yang benar dan ia masih mengakui perbuatannya itu salah dan menjauhi petunjuk.” [Tahkimul Qawanin hal. 15-24].
Sudah kami sebutkan di muka bahwa syaikh Muhammad bin Ibrahim menyebutkan bahwa termasuk kafir akbar yang sudah jelas adalah menempatkan undang-undang terlaknat sebagai pengganti dari wahyu yang diturunkan ruhul amien (kepada Muhammad) sebagai hukum di antara makhluk. Syaikh Muhammad menjelaskan bahwa menetapkan undang-undang yang menyelisihi syariat Allah dan tunduk kepadanya merupakan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. Adapun kafir asghar yang disebutkan dalam atsar Ibnu Abbas berkenaan dengan orang yang didorong oleh hawa nafsunya untuk memutuskan satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, sementara ia masih mengakui bahwa perbuatannya tersebut berarti kelemahan dalam menjalankan hukum Allah dan ia tidak menetapkan undang-undang yang menyelisihi hukum Allah.
3- Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin ditanya tentang perbedaan antara satu kasus yang diputuskan oleh seorang hakim dengan selain hukum Allah Ta’ala dengan menetapkan undang-undang ? Beliau menjawab, ”Ya, ada perbedaan di antara keduanya. Masalah menetapkan undang-undang tidak masuk dalam pembagian yang telah lewat (atsar Ibnu Abbas-pent), namun ia masuk dalam bagian yang pertama saja (kafir akbar) karena orang yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi Islam, ia menetapkan undang-undang tersebut karena ia meyakini hal itu lebih baik dan bermanfaat bagi hamba, sebagaimana telah diisyaratkan di awal.” [Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibni Utsaimin II/144].
Perkataan syaikh Utsaimin, ”namun ia masuk dalam bagian yang pertama saja” maksudnya termasuk bagian yang Allah menafikan iman darinya, yaitu kafir akbar yang mengeluarkan dari milah. [lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Ibnu Utsaimin II/141].
Dengan demikian jelas sudah bahwa yang dikatakan oleh syaikh Albani sebagai sebuah takwilan lucu, bukanlah sekedar pendapat yang kosong dari dalil dan diutarakan tanpa ilmu oleh sebagian orang-orang bodoh yang dijuluki syaikh Albani dan pengikutnya sebagai Khawarij kontemporer, namun justru adalah pendapat para ahli tahqiq dari ulama ahlu sunah wal jama’ah kontemporer yang mengerti betul undang-undang positif tersebut dan penentangannya terhadap kitabullah dan sunah rasul-Nya.
Saya mengajak syaikh Albani untuk memperhatikan kembali ungkapan imam Ibnul Qayyim ketika menerangkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan firman Allah;
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [QS. Al Maidah :44].
Dalam Madariju Salikin I/337 beliau mengatakan, ”Pendapat yang benar bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua kafir sekaligus ; kafir asghar dan akbar sesuai kondisi penguasa tersebut. Jika ia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dalam kasus tersebut tapi kemudian ia berpaling kepada hukum lain dngan tetap mengakuiperbuatannya tersebut sebuah maksiat dan ia berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Adapun jika ia meyakini ia tidak wajib berhukum dengan hukum Allah dan ia bebas memilih antara berhukum dengan hukum Allah atau hukum lainnya meskipun ia menyakini hukum Allah, maka ini kafir akbar. Sedangkan jika ia tidak mengetahui hukum Allah (dalam kasus tersebut) dan ia memutuskan dengan keputusan yang salah, maka ia seorang yang bersalah (keliru) dan hukum yang berlaku atas dirinya adalah hukum orang yang keliru.”
Yang dimaksudkan di sini adalah memperhatikan kembali kata beliau “dalam kasus tersebu“. Ungkapan ini berbicara tentang sebuah kasus yang diputuskan oleh seorang penguasa dengan selain hukum Allah. Artinya, yang dimaksud dari penjelasan rinci ini adalah menjatuhkan vonis dalam sebuah kasus tertentu, bukan menetapkan sebuah undang-undang secara umum karena jika beliau memaksudkan menetapkan undang-undang maka ungkapan beliau “dalam kasus tersebut“ tidak akan ada maknanya. Sebabnya, seorang yang menetapkan undang-undang tidak menetapkannya untuk sebuah kasus saja, namun ia menetapkan sebuah hukum umum yang ia wajibkan kepada rakyatnya dalam kehidupan mereka. Ini menguatkan pendapat kami bahwa atsar Ibnu Abbas mengenai menetapkan vonis dalam kasus tertentu, bukan mengenai menetapkan undang-undang. Wallahu A’lam.  Kempat:
Penjelasan tentang kafirnya para penguasa saat ini
Meski dengan menerapkan pendapat Ibnu Abbas atas diri mereka
Telah jelas bagi kita dari perkataan-perkataan ulama`yang kami nukil diatas bahwa perkataan Ibnu Abbas menunjuk pada pengertian orang yang memutuskan satu kasus atau beberapa kasus dengan selain syariat Allah berada pada dua keadaan : kafir asghar atau akbar, jika yang mendorongnya berbuat seperti itu adalah syahwat dan hawa nafsunya dengan masih mengakui ia berbuat dosa, dan ia mengakui hukum Allah itulah hukum yang benar: maka kufurnya adalah kufur ashghar. Adapun jika ia melakukannya karena mengingkari hukum Allah atau meyakini selain hukum Allah lebih baik dari hukum Allah, atau sebanding atau ia boleh memilih untuk berhukum dengan hukum Allah atau hukum lain atau ia mengganggap remeh syariat Allah, maka kekafirannya adalah kafir akbar yang mengeluarkan dari millah.
Telah kami jelaskan bahwa penguasa yang menetapkan undang-undang yang diterapkan atas rakyat dengan selain hukum Allah, atau ia memaksa rakyat untuk mau dihukumi dengan selain hukum Allah, tidak masuk dalam perincian keterangan diatas. Meskipun demikian kami katakan kalaulah kita katakan pendapat penguasa yang menetapkan undang-undang selain hukum Allah termasuk dalam atsar ini, tentunya setiap orang yang jujur tentu akan mengikuti bahwa para penguasa hari ini terjatuh pada beberapa bentuk kekafiran yang mengeluarkan dari millah. Sikap mereka tidak menunjukkan kalau mereka orang-orang yang dikuasai syahwat atau hawa mafsunya sehingga berhukum dengan selain hukum Allah namun masih meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan perbuatannya tersebut sebuah maksiat yang pantas mendapat ancaman Allah:
• Ketika presiden Mesir terdahulu menghina hijab syar`i dengan menyebutnya sebagai tenda, mungkinkah dikatakan ia mengakui tuduhannya itu sebuah kesalahan dan ia didorong oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk tidak berhukum dengan syariat Allah ? Ataukah penghinaan ini sebenarnya adalah bukti penolakan terhadap syariat Allah dan mengutamakan hukum manusia atas hukum Allah ?
• Ketika pemerintah Mesir sekarang melarang meski hanya sekedar dialog penerapan syareat di Majelis Perwakilan Rakyat, apakah ada makna lain selain mereka tidak senang atau tidak meginginkan meski hanya sekedar berfikir tentang penerapan syareat Allah?
• Ketika persiden Mesir sekarang mengirim surat berisi ancaman agar tidak menerapkan syareat Islam kepada persiden Sudan terdahulu, Ja`far Numeri yang mengumumkan penerapan syareat Islam di Sudan. Ketika persiden Mesir membanggakan diri karena telah menasehati pemerintah Tunisia agar memberangus aktifis-aktifis islam yang menuntut penerapan syareat dan bersikap keras kepada mereka dengan menunjukkan tidak adanya problem ketika nasehatnya dipenuhi sebagaimana problem yang dihadapi presiden Aljazair terdahulu Syadzali bin Jaded yang tidak menuruti nasehat ini. Saya tanyakan ketika semua ini terjadi apakah bisa dikatakan presiden Mesir termasuk mereka yang didorong oleh syahwat dan hawa nafsunya untuk tidak berhukum dengan hukum Allah sementara ia mengakui itu perbuatan dosa ? Jika syahwatnya telah mendorongnya untuk tidak berhukum dengan hukum Allah di negaranya, maka bagaimana dengan para penguasa lainnya?
• Kenapa ia menasehati mereka untuk tidak berhukum dengan syariat Islam ? Kenapa ia menasehati mereka untuk memberangus orang-orang yang menuntut penegakan syariat ? Kenapa ia memberi ia pengalaman dan bantuan dalam berinteraksi dengan para da`i dan cara memberantas mereka? saya tidak memahami dari ini semua selain kenyataan bahwa ia secara asal memang menolak syareat Allah dan mengutamakan hawa nafsu manusia atas syareat Allah.
• Bahkan saya katakana kondisi para penguasa sekarang ini yang paling baik adalah orang yang berpaham demokrasi, yaitu penguasa yang menyatakan saya mengikuti kemauan rakyat, jika mereka mengingkari syareat Islam saya tidak akan menghalanginya. Meskipun ini penguasa yang paling baik kondisinya, ia tetap kafir keluar dari milah, sebagaiman penjelasan Ibnu Qoyyim, “Jika ia menyakini ia tidak wajib berhukum dengan hukum Allah dan ia boleh memilih, meskipun ia menyakini hukum Allah, maka ini adalah kufur akbar.“ [Madarijus salikin 1/337]. Penguasa yang mengembalikan urusan kepada rakyat ini, ia telah menyakini bolehnya memilih dalam hal berhukum dengan hukum Allah ini. Ia telah meyakini tidak wajibnya berhukum dengan hukum Allah. Ucapan dan perbuatan menunjukkan kenyataan ini. Dengan meminta pendapat manusia dalam masalah menerapkan syareat Allah, ia telah keluar dari barisan orang beriman karena Allah telah berfirman:
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم
“Dan tidaklah patut bagi orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sebuah keputusan, mereka mempunyai pilihan lain tentang urusan mereka.” [QS Al Ahzab : 36].
• Singgasana para penguasa kita tegak diatas paham sekulerisme yang memisahkan dien dengan negara. Presiden Mesir terdahulu selalu mengulang-ulang pernyataannya yang terkenal, “Tidak ada agama dalam politik dan tidak ada politik dalam agama”. Para penguasa kita tetap bersikap seperti ini, membuat dikotomi kehidupan manusia antara hak Allah dan hak hawa nafsu, dengan selalu mengumandangkan slogan “Berikan hak Allah kepada Allah dan hak raja kepada raja.”
Mereka memberi ruang bagi Allah dalam masalah ritual peribadatan semata, sementara aspek kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi, social dan yang lainnya mereka serahkan kepada hawa nafsu orang-orang yang tidak paham. Mereka ini seperti firman Allah:
أفتؤمنون ببعض الكتاب و تكفرون ببعض فما جزاء من يفعل ذلك منكم إلا خزي في الحياة الدنيا ويوم القيامة يردون إلى أشد العذاب
“Apakah kalian beriman dengan sebagian Al Kitab dan kafir dengan sebagian yang lainnya. Tak ada balasan atas perbuatan kalian ini selain kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada adzab yang pedih.” [ Q S Al Baqarah :85 ].
• Mereka selalu menyatakan tidak adanya perbedaan antara seorang muslim dengan selain muslim dalam negara sekuler mereka. Mereka selalu mengumandangkan slogan, “Agama milik tuhan, tanah air milik kita bersama.” Mereka menganggap hukum-hukum tentang ahlu dzimmah sebagai hukum primitive yang telah kadaluarsa. Posisinya diganti dengan konsep nasionalisme yang menyamakan seluruh warga negara di hadapan hukum. Tak diragukan lagi hal ini berarti telah menolak hukum-hukum Allah dan menentang penerapannya. Ini jelas-jelas sebuah kekafiran sebagaimana Fatwa Lajnah Ad Da`imah lil Buhuts al Ilmiyah wal Ifta` 1/541, ”Adapun orang yang tidak membedakan antara Yahudi, Nasrani dan seluruh orang kafir lainnya dengan kaum muslimin kecuali dengan tanah air, dan menyamakan kedudukan mereka di hadapan hukum, maka orang ini telah kafir.”
• Para penguasa kita hari ini, perhatian serius mereka adalah memberangus gerakan-gerakan Islam yang menuntut penegakan syariat Islam. Inilah dia pemerintah Mesir yang menangkap, menyiksa dan membunuh para da`i di jalan-jalan dan pelataran masjid. Kehormatan masjid-masjid diinjak-injak oleh tentara pemerintah di hadapan penglihatan dan pendengaran rakyat. Mahkamah militer terus-menerus menjebloskan pemuda-pemuda pilihan ke tempat-tempat penyiksaan, tak lain karena mereka mengajak diterapkannya syariat Islam dan ingin menegakkan kitabullah dan sunnah rosul-Nya. Apakah pemerintah seperti ini bisa dikatakan penguasa yang mengakui bahwa perbuatannya tersebut adalah sebuah dosa dan maksiat, berhak untuk dihukum atas perbuatannya ini? Padahal pemerintah ini lewat persidennya pada tahun 1986 M telah mengumumkan bahwa Jama`ah Islamiyah adalah penyakit yang harus diberantas, mereka mencoba segala cara untuk menghancurkan jama`ah tersebut. Pada awal kepemimpinannya yang ketiga tahun 1993 M, ia mengumumkan bahwa tugas pertama yang akan menjadi focus progamnya adalah memberangus kaum fundamentalis. Semua orang mengetahui bahwa yang dimaksud dengan kaum fundamentalis tak lain adalah para da`i yang menyerukan penerapan Al Qur`an dan As sunnah.
• Para penguasa kita loyal kepada Yahudi dan Nasrani, membantu mereka dalam memusuhi kaum muslimin yang bertauhid. Mu`tamar Syarm Syekh tidak jauh dari kita, diadakan pada tahun 1996 M untuk membantu pemerintah Yahudi yang dipimpin Shimon Peres. Mu`tamar Syarm Syekh diadakan setelah berlansungnya operasi-operasi jihad yang sukses oleh Hamas dan Jihad Islamy di Palestina yang terampas. Mu`tamar ini diadakan di Mesir atas perintah Bill Clinton, gembong dari semua penguasa kita, tujuannya demi membantu Yahudi menghancurkan mujahidin di Palestina.
• Para penguasa kita telah meninggalkan jihad baik defensive maupun ofensif, sementara Syekh Al Albani mengatakan: ”Penguasa manapun di dunia jika dikatakan kepadanya, “Kenapa engkau tidak berjihad fi sabilillah ? Jika ia menjawab, “Sekarang ini sudah tidak ada lagi jihad, sekarang ini era kebebasan, siapa ingin beriman silahkan beriman, siapa ingin kafir silahkan kafir. Dan ta`wil-ta`wil lain yang tidak diizinkan Allah. Penguasa yang mengingkari jihad seperti ini telah kafir. Adapun penguasa yang meyakini ia wajib berjihad, ia mengatakan Allah menolong kita tapi kita tidak mempunyai kekuatan, kita tidak mempunyai persiapan yang layak, dan perkataan-perkataan lain sementara ia mampu melaksanakan persiapan, maka penguasa seperti ini berdosa.” [Fatawa Syaikh Al Abani hal : 303-304].
Para penguasa kita ketika meninggalkan jihad dengan kedua bentuknya, mereka tidak mengatakan, ”Allah menolong kita” atau “kami mengetahui jihad itu wajib namun kami tidak mempunyai kekuatan. “Mereka termasuk dalam bentuk pertama yang dihukumi syekh Al Albani: telah kafir. Penyebabnya mereka tidak mengakui konsep jihad untuk menyebarkan Islam. Mereka mengejek orang-orang yang menyerukan jihad. Sebagai gantinya mereka mengakui ketetapan PBB yang menyatakan tidak boleh menggunakan kekuatan kecuali untuk defensive. Meski demikian sampai jihad defensive melawan Yahudi pun telah mereka tutup pintunya. Presiden Mesir terdahulu telah mengumumkan bahwa perang Oktober adalah perang terakhir melawan Yahudi. Para penguasa kita senantiasa mengumumkan bahwa perundingan damai dengan Yahudi adalah satu-satunya pilihan mereka. Kalau mereka termasuk penguasa yang mengakui jihad namun mengatakan, “Allah menolong kita” seperti ungkapan syekh Al Albani, tentulah mereka membiarkan pihak selain mereka untuk berjihad. Tapi kenyataannya mereka justru terus menerus memusuhi umat Islam yang menyerukan jihad untuk membebaskan Palestina. Mereka tolong menolong dengan pemerintah Yahudi untuk memberangus para mujahidin.
Dengan data-data ini yang bisa dikatakan tentang para penguasa kita hari ini: tidak mungkin mengatakan mereka tidak berhukum dengan hukum Allah karena dorongan syahwat dan nafsunya belaka. Tapi kenyataan yang sebenarnya adalah mereka mengutamakan hawa nafsu penduduk dunia atas syari’at Rabb bumi dan langit. Kekafiran penguasa seperti mereka menurut ahlul haq (pengikut kebenara) tidak mungkin disifati sebagai kafir asghar. Yang benar adalah kafir akbar dan jelas murtad. Wallahu A`lam.
Terakhir barang kali pembaca mendapati kami memfokuskan diri pada penguasa Mesir hari ini. Ini karena merekalah yang kami ketahui keadaannya. Kami tidak mengira mayoritas para penguasa kaum muslimin hari ini kecuali seperti para penguasa Mesir juga. Meskipun demikian, penguasa lain yang kami dapati tidak melakukan kekafiran yang disebutkan diatas, maka ia tidak termasuk penguasa kafir yang kami maksudkan. Kita juga mengetahui bersama bahwa diantara para penguasa kaum muslimin hari ini ada yang dasar pemikiran atau ideologinya telah jelas-jelas kafir dan bertentangan dengan syari`at, tanpa melihat kepada masalah hukum. Contohnya seperti penguasa yang berideologi Nusairiyah, mengingkari As Sunnah atau meyakini ideologi partai Ba`ats. Wallahu A`lam.
(Bersambung ke Bagian Tiga… Insya Allah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar