Pages

Bantahan Atas Syaikh Al-Bani (Bagian Tiga)


Duhai alangkah besarnya pintu yang terbuka bagi orang-orang yang melalaikan perintah-perintah Allah. Dikatakan kepada mereka —menurut pendapat Syekh Al Albani ini—, ”Karena kalian pelaku maksiat dan melalaikan kewajiban-kewajiban syar`i, maka kami cukupkan kalian dengan menggugurkan kewajiban i`dad, terlebih lagi kewajiban jihad, kalian tak terkena kewajiban jihad. Karena selama seseorang tak terkena kewajiban i`dad ia tidak terkena kewajiban jihad”. Bahkan saya telah mendengar sebuah kaset Syaikh sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam kaset tersebut Syaikh juga menyatakan gugurnya kewajiban jihad. sayang sekali kaset tersebut saat ini tidak ada di sisiku, sehingga saya tidak bisa menuliskan ucapan beliau.Yang benar jihad dan i`dad untuk melaksanakan jihad merupakan dua kewajiban syar`i, untuk melakukannya seseorang tidak disyariatkan harus lepas dari dosa dan maksiat. Perintah untuk jihad dan i`dad merupakan perintah mutlaq tanpa syarat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani ini. Pada masa salafus sholeh, orang-orang berjihad padahal pada dirinya belum terkumpul dan terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani.

PASAL III :
DISKUSI DENGAN TEMA LAIN BERSAMA SYAIKH
AL ALBANI

Setelah kita selesai mendiskusikan dua permasalahan di atas, saya melihat akan sangat tepat bila saya sebutkan beberapa catatan singkat mengenai pendapat-pendapat syekh Al Albani lainnya yang masih berkaitan dengan perubahan yang telah lewat. Saya katakan billahi taufiq:
Pertama:
Pemahaman Yang Aneh Tentang Permasalahan I`dad.

Allah berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّااسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لاَتَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ
“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu mampu, dan dari kuda-kuda yang tertambat untuk berperang, dengannya kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian.” [QS. Al Anfal: 60]
Dalam ayat ini ada perintah ilahy yang ditujukan kepada kaum muslimin untuk mempersiapkan pembekalan untuk memerangi musuh-musuh. Namun syekh Al Albani menetapkan syarat yang aneh untuk melaksanakan perintah Allah ini, di mana sepengetahuan kami tidak ada seorangpun yang berpendapat demikian sebelum beliau.
Dalam fatawa syaikh Al Albani, beliau berkata: “Untuk siapa ayat ini ditujukan Wa a’idduu lahum… Siapkanlah wahai seluruh umat Islam…!!! Siapkanlah wahai semua orang yang beriman dengan sebenar-benar iman… Apakah keimanan kita sudah demikian? jika demikian, kita tidak dituju oleh ayat ini secara lansung karena kita belum mukmin dengan sebenarnya…”. [Fatawa Syekh Albani hal: 254, dari kaset no: 171].
Dalam buku yang sama, beliau mengulang pendapat beliau, “Untuk siapa ayat Wa a’idduu lahum… ditujukan? orang-orang Islam, orang-orang mukmin yang sebenarnya yang menjaga semua perintah Allah dan rosul-Nya, ataukah untuk orang-oramg muslim akhir zaman semisal kita ini? Siapa yang di maksud oleh ayat ini? mereka, tentu saja adalah orang-orang mukmin golongan yang pertama” [Fatawa Syekh Al bani hal: 448]
Kemudian beliau menjelaskan sifat-sifat orang-orang mukmin yang dituju oleh ayat ini, “Mereka tidak harus shoum selamanya dan sholat malam, tidak, ini hanya nafilah saja, namun orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah orang-orang yang mengerjakan semua perintah Allah dan meninggalkan semua yang diharamkan Allah.” [Fatawa Syekh Al Albani hal: 254, dari kaset no: 136].
Kami ingin bertanya kepada Syaikh: Dari mana beliau mendapatkan syarat yang aneh ini? Dalil mana yang menunjukkan bahwa ayat ini di tujukan kepada orang-orang yang mukmin dengan sebenar-benar iman saja? Atau orang-orang yang Syaikh sifati mengerjakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan Nya?
Allah telah berfirman kepada orang-orang beriman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum kalian supaya kalian bertaqwa.” [QS Al Baqarah: 183].
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, tepatilah janji kalian.” [QS Al Maidah: 1].
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوا
“Hai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak melaksanakan sholat maka basuhlah wajah kalian.” [QS Al Maidah: 6],
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. Al Ahzab: 56]
Dan ayat-ayat lain yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman, baik berupa perintah maupun larangan. Maka mungkinkah bagi seseorang untuk menyatakan ayat-ayat ini khusus ditujukan segolongan umat Islam tertentu, yaitu orang-orang beriman dengan sebenar-benar iman? Kalau apa yang dikatakan oleh Syaikh Al Albani benar, tentulah setiap orang boleh mengatakan, “Saya tak akan pernah shoum Ramadlon karena saya tidak termasuk orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar iman, yang melaksanakan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan Allah”, atau ia akan mengatakan, “Saya tak akan menetapi janji dan tak akan mengucapkan sholawat atas Nabi karena saya belum beriman dengan sebenar-benar iman.”
Jika Syaikh Al Albani menyangkal, “Saya tidak berpendapat demikian kecuali dalam hal jihad saja.”
Kami jawab, ”Apa bedanya perintah untuk melakukan i`dad dengan perintah-perintah larangan syar`i lainnya? bukankah semuanya ditujukan kepada orang-orang beriman?”.
Duhai alangkah besarnya pintu yang terbuka bagi orang-orang yang melalaikan perintah-perintah Allah. Dikatakan kepada mereka —menurut pendapat Syekh Al Albani ini—, ”Karena kalian pelaku maksiat dan melalaikan kewajiban-kewajiban syar`i, maka kami cukupkan kalian dengan menggugurkan kewajiban i`dad, terlebih lagi kewajiban jihad, kalian tak terkena kewajiban jihad. Karena selama seseorang tak terkena kewajiban i`dad ia tidak terkena kewajiban jihad”. Bahkan saya telah mendengar sebuah kaset Syaikh sejak beberapa tahun yang lalu. Dalam kaset tersebut Syaikh juga menyatakan gugurnya kewajiban jihad. sayang sekali kaset tersebut saat ini tidak ada di sisiku, sehingga saya tidak bisa menuliskan ucapan beliau.
Yang benar jihad dan i`dad untuk melaksanakan jihad merupakan dua kewajiban syar`i, untuk melakukannya seseorang tidak disyariatkan harus lepas dari dosa dan maksiat. Perintah untuk jihad dan i`dad merupakan perintah mutlaq tanpa syarat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani ini. Pada masa salafus sholeh, orang-orang berjihad padahal pada dirinya belum terkumpul dan terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani.
Diantaranya adalah hadits Bara`, “Seorang laki-laki dengan baju besi untuk perang datang kepada Nabi. Ia bertanya, Ya Rasulullah saya ikut perang dahulu atau masuk Islam dahulu? Beliau menjawab, Masuklah Islam terlebihh dahulu baru kemudian ikut berperang, Laki-laki itu masuk Islam lalu ia ikut berperang hingga terbunuh. Maka Rasulullah bersabda, Ia beramal sedikit namun diberi pahala yang banyak.” [HR Bukhori: 2808, Muslim: 1900, dengan lafadz Bukhori].
Laki-laki ini langsung ikut berperang setelah masuk Islam dan Nabi tidak memintanya untuk menunggu dulu sehingga menjadi seorang mukmin yang sebenar-benar iman, mukmin yang menjalankan semua perintah-perintah Allah dan meninggalkan semua larangan Nya.
Kisah yang semisal terjadi pada diri Ushoirim Bani Abdul Asyhal. Imam Ibnu Ishak meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “Mereka menceritakan kepadaku tentang seorang laki-laki yang masuk jannah padahal belum sholat sekalipun. mereka tidak mengetahui siapa laki-laki tersebut dan menanyakannya, maka Abu Hurairah menjawab, “Ushoirim bani Abdul Asyhal (Amru bin Tsabit bin Waqash)”. Al Husain (perawi) berkata, ”Saya bertanya kepada Mahmud bin Asad, Bagaimana sebenarnya ceriata tentang Ushoirim bani Abdul Asyhal?” Ia menjawab, ”Ia tidak mau masuk Islam. Ketika Rasulullah keluar pada perang Uhud, Ia terketuk untuk masuk Islam. Ia lalu masuk Islam dan mengambil pedangnya lalu masuk barisan kaum muslimin. Ia ikut berperang hingga akhirnya terjatuh karena luka-luka yang dialaminya. Ketika Bani Abdul Asyhal mencari korban-korban yang meninggal dari kaum mereka, mereka menemukannya tergeletak. Mereka bertanya-tanya, “Ini Ushoirim? Kenapa ia datang? Kita meninggalkannya dalam keadaan membenci perkataan ini ( syahadat)?” Mereka menanyai Amru, “Ya Amru, apa yang mendorongmu ikut berperang? Karena membela kaummu atau senang kepada islam? Ia menjawab, ”Karena senang kepada Islam. Aku telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku masuk Islam, lalu kuambil pedangku, aku ikut berperang bersama Rasulullah sampai aku terluka seperti ini“, Ia hanya bertahan sebentar dan tak lama kemudian ia meninggal di depan mereka. Mereka melaporkan kisah Ushoirim kepada Rasulullah, maka beliau bersabda, “Ia termasuk penghuni syurga.” [HR Ibnu Ishaq, sebagaimana disebutkan di dalam sirah Ibnu Hisyam III/95, di shohihkan oleh Al Hafidz di dalam Al Fath VI/25. Kisah ini juga diriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah oleh Abu Daud (2537) dan Al Hakim III/28].
Dalam hadits Abu Hurairah secara marfu`, “Sesungguhnya Allah akan menolong dien ini dengan laki-laki yang fajir (pendosa).” [HR. Bukhori 3062, Muslim 111].
Dalam hadits Abu Mihjan Ats Tsaqafy, bahwasanya ia terus dijilid karena minum khomr. Karena sudah terlalu sering dan tidak pernah jera, akhirnya mereka memenjarakan dan mengikatnya. Pada saat perang Qadisiyah berkecamuk, ia melihat pertempuran kaum muslimin. Seakan-akan ia telah melihat orang-orang musyrikin telah mengalahkan umat Islam. Ia segera mengutus seseorang untuk mengatakan kepada isteri Sa`ad, “Abu Mihjan berpesan kepada anda bila anda melepaskan ikatannya dan mengantarkan kuda dan pedang kepadanya, ia akan pulang pertama kali kecuali kalau terbunuh.”
Isteri Sa`ad melepaskan ikatan Abu Mihjan dan membawakan kuda yang ada di rumah lalu menyerahkan pedang kepadanya. Segera Abu Mihjan melesat ke medan pertempuran. Ia terus bertempur dengan gagah berani sehingga membunuh musuh-musuh yang ada di depannya dan membabat punggungnya. Sa`ad melihat kepadanya dengan penuh keheranan dan bertanya-tanya, “Siapa penunggang kuda ini?“ Kaum muslimin terus bertempur sampai Allah mengalahkan orang-orang musyrik.
Abu Mihjan segera kembali ke tempat penahanannya, mengembalikan senjata dan mengikat kedua kakinya seperti sedia kala. Ketika Sa`ad datang, isterinya segera bertanya, “Bagaimana jalannya pertempuran?” Sa`ad menceritakan jalannya pertempuran dengan urut“. Kita terdesak sampai Allah mengutus seorang penunggang kuda. Kalaulah tidak karena Abu Mihjan kutinggalkan dalam keadaan terikat, tentulah aku sudah mengira penunggang kuda tersebut adalah Abu Mihjan. ”Isterinya menjawab, “Demi Allah, itulah Abu Mihjan. Ia tadi begini dan begini…” Mendengar hal itu, Sa`ad segera memanggil Abu Mihjan dan melepaskan ikatannya. ”Demi Allah, kami tidak akan menjilidmu lagi karena kamu minum khomr.” Abu Mihjan menjawab, “Dan saya tidak akan minum khomr lagi.” [Diriwayatkan oleh Abdu Razaq no: 17077, dari Ma`mar dari Ayub dan Ibnu Sirrin, sanad ini shahih bersambung sampai Ibnu Sirrin. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (15593), Sa`id bin Manshur (2502) dan Abu Ahmad Al Hakim seperti dalam Al Ishobah (IV/173) dari Muhammad bin Sa`ad bin Abi Waqash].
Diantara Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama`ah adalah berjihad bersama umara`, baik yang shAlih maupun yang fajir. Makanya jihadnya penguasa yang fajir adalah disyariatkan, kita dituntut untuk berjihad bersamanya sekalipun ia fasiq dan fajir. Aqidah ini jelas menggugurkan syarat yang disebutkan oleh Syaikh Al Albani. Yang paling ganjil dari seruan Syaikh Albani ini adalah seruan ini menyelisihi sabda Rasulullah, “Akan senantiasa ada suatu kelompok umatku yang berperang diatas jalan kebenaran, mereka menang hingga hari kiamat.” [Muslim 156, 1923, Ahmad III/345, Abnu Hibban 6780, Ibnu Jarid dalam Al Muntaqa 1031, dari hadits Jabir bin Abdullah. Hadits yang semakna diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah dalam shohih Muslim 1922, hadits Uqbah bin Amer dalam shohih Muslim 1924, dan hadits Imron bin Husain dalam Sunan Abu Daud 2484 dan Musnad Ahmad IV/437].
Nabi telah memberitahukan akan senantiasa ada sekelompok umatnya yang berperang fi sabilillah dan hal itu tidak akan berhenti sampai terjadinya akhir zaman, Imam Al Khithobi berkata dalam Ma`alim Sunan, “Dalam hadits ini ada penjelasan bahwa jihad tidak akan pernah berhenti selamanya. Jika pernyataan tidak mungkin semua penguasa itu adil adalah sebuah pernyataan yang masuk akal, maka hadits ini menunjukkan jihad melawan orang-orang kafir bersama penguasa yang dholim adalah wajib sebagaimana jihad bersama penguasa yang adil. Kedzaliman mereka tidak menggugurkan kewajiban ta`at kepada mereka dalam jihad dan kebaikan lainnya.” [Ma`alim Sunan Hasyiyah Abi Daud III/11].
Dalam Syarh Muslim XIII/67, An Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat mu`jizat nyata, bahwa sifat ini senantiasa ada —Al Hamdulillah— sejak zaman Nabi hingga sekarang, ia akan tetap ada hingga datang ketetapan Allah yang disebutkan dalam hadits.”
Maksud dari perkataan Syaikh Albani, bahwa kaum muslimin semisal kita yang berada di akhir zaman ini: sekarang ini tidak di perintahkan untuk pergi berjihad dan beri`dad karena kita bukan orang-orang yang beriman dengan sebenar-benar iman, sementara hadits-hadits ini menjelaskan suatu masa tak akan pernah kosong dari suatu kelompok yang berperang fisabilillah apapun kondisi umat saat itu; kuat, lemah ataupun jauh dari syariat Allah.
Kemudian kami katakan, “Bukan menjadi hak seseorang untuk memvonis umat Islam lainnya. Boleh jadi ia tak mampu berjihad, bahkan untuk melakukan i`dad sekalipun, sementara orang lain boleh jadi mampu melakukannya. Orang yang mampu wajib melakukan apa yang tidak mampu dikerjakan oleh pihak yang tidak mampu. Pada saat itu orang yang tidak mampu tidak boleh mengingkari orang lain, yang mampu menegakkan perintah Allah”.
Al Qadhi Ibnu Abil `Izz dalam Muqaddimah Syarh Thahawiyah halaman 16 mengatakan, “Jika seorang hamba lemah untuk mengetahui sebagiannya atau untuk mengamalkannya, maka janganlah kelemahannya tersebut menghalangi dari apa yang dibawa Rasulullah. Cukuplah celaan itu gugur darinya karena kelemahannya. Namun hendaklah ia bergembira karena orang lain telah mengerjakan amal tersebut, hendaklah ia ridlo dengan hal itu dan berharap bisa melakukannya.”
Kedua:
Apa Faedah Mengkafirkan Para Penguasa Kalau Tidak Mampu Memerangi Mereka?

Syaikh Albani berkata, “Tarohlah kekafiran para penguasa adalah kafir karena murtad. Jika ada penguasa yang kedudukannya lebih tinggi dari mereka dan mengetahui kekafiran mereka, maka hukuman had bisa di tegakkan. Sekarang faedah apa yang bisa kalian ambil dari aspek amal, kalau kita mengakui kekafiran mereka adalah kafir murtad? Apa yang bisa kalian lakukan? Orang-orang kafir menguasai negara Islam, sementara kita disini diuji dengan pendudukan Yahudi atas Palestina. Apa yang kalian dan kita bisa lakukan terhadap orang-orang kafir yang menguasai negeri Islam, sehingga kalian bisa melawan para penguasa yang kalian yakini mereka telah kafir? Kenapa masalah ini tidak kalian tinggalkan saja, lalu kalian memulai membangun kekuatan inti yang menjadi pondasi pemerintahan islam dengan mengikuti sunah yang dengannya Rasulullah membina dan menggembleng para sahabat?” [Fatawa Syaikh Albani hal: 250,251, dari kaset 670].
Syaikh dalam hal ini berpendapat tidak boleh mengusik para penguasa kafir jika kita tidak mampu merobah mereka. Beliau berpendapat sewajarnya kita diam, tidak mengumumkan kekafiran mereka, tidak mengatakan kebenaran di hadapan mereka dan tidak melakukan i`dad untuk jihad melawan mereka. Sebagai gantinya kita harus menyibukkan diri dengan membangun kekuatan inti Islam melalui metode yang selalu Syaikh Albani sebut dengan istilah “Tashfiyah dan Tarbiyah”.
Saya katakan tidak diragukan lagi urgensi tarbiyah imaniyah yang diserukan oleh Syaikh, tapi kami berbeda pendapat dengan Syaikh dalam hal tashfiyah wa tarbiyah sebagi satu-satunya kewajiban dan kita tidak boleh melakukan sesuatupun dalam menyikapi para pengusa kafir selama kita tidak mampu menyingkirkan mereka, bahkan untuk melakukan i’dad.
Penyebabnya tak lain karena konsekuensi dari kafirnya para penguasa bukanlah sekedar perang dan keluar dari ketaatan kepada mereka saja, namun ada banyak konsekuensi lain yang harus dilakukan umat Islam terhadap orang yang di hukumi kafir, baik penguasa maupun rakyat, yaitu:
* Di antaranya berlepas diri dari orang kafir tersebut dan mengumumkan sikap berlepas diri dengan menampakkan kebencian dan permusuhan karena kekafirannya.
Allah berfirman :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَآؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang beriman yang bersamanya. Ketika mereka berkata kepada kaumnya,” Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kekafiran kalian dan telah nampak kebencian dan permusuhan selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja.” [QS Mumtahanah: 47 ].
Tidak diragukan lagi bahwa Ibrahim dan pengikut beliau ketika mengungkapkan ungkapan ini, berjumlah sedikit dan lemah, tidak mampu memerangi kaumnya. Meskipun demikian, mereka mengatakan berlepas diri dari kaum mereka dan mengumumkan permusuhan dan kebencian yang sangat. Demikian pula kondisi Rasulullah di makkah. Beliau bersama pengikutnya hanyalah kelompok lemah yang tidak mampu memerangi kaum musyrikin Quraisy. Namun beliau tetap lantang menyerukan kebenaran di hadapan mereka, membodoh-bodohkan penyembahan selain Allah dan mengancam mereka dengan adzab yang pedih di akhirat. Bahkan beliau mengancam mereka di dunia juga, seperti sabda Rasulullah yang berbunyi:
أتسمعون يا معشر قريش أما والذي نفسي بيده لقد جئتكم بالذبح
“Apakah kalian dengar wahai seluruh orang Quraisy?. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Aku benar-benar datang untuk menyembelih kalian.”
[HR Ahmad II/218, Ibnu Ishaq sebagaimana dalam sirah Ibnu Hisyam I/289-290, At Thobari dalam Tarikh II/332, Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwah II/275 dari Abdullah bin Amru. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Haitsami dalam Majma`uz Zawaid VI/15-16, dan ia mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ahmad. Ibnu Ishaq telah menegaskan ia mendengarnya, dan perawi lainnya adalah perawi Ash shohih.” Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh beliau terhadap Musnad Ahmad II/204 ].
Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwah II/275 berkata, “Dalam hadits ini disebutkan Rasulullah mengancam akan menyembelih mereka, yaitu membunuh mereka dalam kondisi seperti itu. Allah lalu menampakkan kebenaran ucapan beliau setelah lewat beberapa waktu, Allah menghancurkan mereka dan menjaga kaum muslimin dari kejahatan mereka.”
* Menasehati ummat dengan menerangkan kondisi penguasa-penguasa yang mengaku Islam padahal mereka bukan kaum muslimin. Membiarkan tanpa menjelaskan kondisi mereka adalah suatu penipuan terhadap ummat dan penyembunyian kebenaran yang diperintahkan untuk disuarakan dengan lantang.
* Orang-orang murtad tidak halal sembeliahan mereka, tidak boleh dinikahi perempuan-perempuan mereka. Maka wajib bagi orang yang mengetahui kondisi orang-orang yang murtad untuk tidak makan sembelihan mereka dan tidak menikahi wanita mereka. Ia juga wajib memberi tahu orang-orang yang belum tahu akan kondisi orang-orang murtad tersebut sehingga bisa memperlakukan orang-orang murtad dengan perlakuan yang benar.
* Wajib bagi umat islam untuk mengadakan I`dad, sehingga ketika mereka telah mampu, mereka bisa memerangi orang-orang kafir tersebut. Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu` Fatawa XXVIII/259 berkata, Wajib hukumnya mempersiapkan diri untuk jihad dengan menyiapkan kekuatan dan menambatkan kuda-kuda perang ketika tidak mampu melakukan jihad karena masih lemah. sesungguhnya hal yang suatu kewajiban tak akan sempurna tanpanya, maka hukum hal tersebut adalah wajib.”
* Dan kewajiban-kewajiban lain yang terhadap orang-orang murtad dan tidak berkaitan dengan kemampuan memerangi mereka. Jika seorang muslim tidak mampu melakukan sebagian kewajiban ini, kewajiban yang ia bisa lakukan tidaklah gugur. Dalam kaidah ushul telah diakui kaidah “hal yang mudah tidak gugur dengan adanya kesusahan.” Rasulullah bersabda: “Barang siapa melihat kemungkaran, jika ia sanggup hendaklah ia merubahnay dengan tangannya. Jika tidak sanggup, hendaklah ia merubah dengan lisannya. Jika tetap tidak sanggup, hendaklah ia merubah dengan hatinya. Dan itulah tingkatan iman yang paling lemah.”
Jika kita tidak bisa merubah kemungkaran penguasa yang kafir ini, yaitu kekafirannya, dengan tangan kita, maka kewajiban kita adalah merubahnya dengan lisan kita kalau mampu. Yaitu menerangkan kekafirannya, kewajiban menjatuhkannya dan bertaubat. Seorang mukmin wajib merubah kemungkaran sesuai dengan kemampuannya.
Bagi orang yang merubah kemungkaran tidak disyariatkan mengetahui kemungkaran akan hilang dengan usaha tersebut. Yang wajib adalah memerintahkan yang ma`ruf dan yang melarang yang mungkar, sekalipun ia tahu kemungkaran akan tetap seperti sedia kala.
Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim II/23, mengatakan, “Kewajiban amar ma`ruf nahi munkar tidak gugur dari seorang mukallaf dikerenakan ia yakin usahanya tidak akan bermanfaat. Bahkan ia wajib melakukannya karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin. Sudah kami terangkan didepan bahwa yang menjadi kewajibannya adalah memerintah dan melarang, bukan diterimanya (peringatan tersebut), sebagaiman firman Allah:
ما على الرسول إلا البلاغ…
“Kewajiban seorang rasul hanyalah menyampaikan.”
Syaikh Albani menyebutkan bahwa kaum muslimin tidak mampu melepaskan Palestina dari cengkeraman Yahudi. Kami katakan “ya” benar. Namun apakah karena tidak adanya kemampuan ini menghalangi kita untuk membicarakan bahaya Yahudi dan ajakan kepada umat Islam untuk berjihad melawan yahudi? Kami yakin Syaikh Albani tidak berpendapat wajibnya diam dari membicarakan Yahudi dan kewajiban berjihad melawan mereka dengan alasan tidak mampu.
Demikian juga kami katakan dalam masalah penguasa jika telah kafir. ketidak mampuan kita untuk merubahnya tidak menjadi penghalang untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban yang kita mampu melaksanakannya terhadap penguasa kafir. Wallahu A`lam.
Ketiga:
Mencampur Adukkan Antara Jama’ah Takfir Dengan Orang-Orang Yang Mengkafirkan Penguasa

Telah kita simak perkataan syaikh Albani di awal kaset yang menjadi pembahasan kita pada dua pasal terdahulu, yaitu perkataan beliau, ”Sesungguhnya realita kehidupan kaum muslimin dibawah para penguasa, katakanlah mereka penguasa kafir menurut istilah jama’ah takfir…” Jelas dari perkataan syaikh bahwa beliau mencampur adukkan antara orang yang mengatakan kafirnya penguasa dengan jama’ah takfir. Hal ini terulang beberapa kali dalam ungkapan seperti ini atau ungkapan lainnya, di tempat lain dalam kaset beliau serta dalam kesempatan lainnya.
Yang ingin kami jelaskan kepada syaikh, tidak setiap orang yang menyatakan kafirnya penguasa termasuk dalam gerakan yang disebut dengan nama jama’ah takfir. Jama’ah takfir adalah nama untuk sebuah jama’ah yang mendasarkan pemikirannya kepada beberapa pendapat bid’ah, yang paling penting adalah mengkafirkan orang yang terus menerus berbuat maksiat dan menganggap dirinya sajalah jama’atul muslimin itu. Orang yang tidak masuk dalam jama’ah mereka tidak mereka akui sebagai seorang muslim.
Adapun mengkafirkan penguasa yang menetapkan undang-undang positif, maka ini suatu hal yang telah disepakati oleh para ulama sebagaimana telah kami jelaskan, bukan khusus milik jama’ah yang mereka namakan jama’ah takfir dan menamakan dirinya jama’atul muslimin.
Di Mesir misalnya, Jama’ah Islamiyah mengatakan kafirnya penguasa yang mengganti hukum-hukum syariat. Jama’ah Islamiyah berpendapat keluar dari ketaatan kepada mereka. Meski demikian, Jama’ah Islamiyah berbeda dengan jama’ah takfir, bahkan Jama’ah Islamiyah mempunyai beberapa studi dan pembahasan yang membantah pemikiran-pemikiran pengkafiran. Dalam buku “Mitsaqul Amal Al Islamy” —buku ini memuat pemikiran-pemikiran Jama’ah Islamiyah— terdapat sebuah pasal berjudul “Aqidah Kami”. Dalam pasal ini, Jama’ah Islamiyah menjelaskan aqidahnya, yaitu aqidah salafush sholih, lalu merinci aqidah tersebut. Ternyata rincian itu adalah sama dengan aqidah yang ditulis Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para muridnya tentang tauhid rububiyah, uluhiyah, asma’ wa shifat, masalah-masalah iman dan lain sebagainya.
Dalam Mitsaqul Amal Al Islamy hal. 32, ditulis, ”Seorang muslim tidak dikafirkan karena kemaksiatannya sekalipun banyak dan tidak bertaubat, selama hatinya tidak menghalalkan maksiat tersebut…”
Dalam Mitsaqul Amal Al Islamy juga terdapat pasal berjudul “Pemahaman Kami”, dalam hal. 56 ditulis, ”Aturan satu-satunya yang benar untuk memahami Islam dengan pemahaman yang benar, yang bebas dari kekurangan dan bersih dari kesalahan, adalah mencari pemahaman salaf umat ini terhadap Islam; pemahaman shahabat, tabi’in tabi’it tabi’in dan para ulama yang teguh dan terpercaya yang mengikuti jejak mereka, yang tidak membuat bid’ah dan tidak merubah-rubah serta tidak mengganti, mereka merealisasikan sabda Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wassallam: “Maka berpegang teguhlah dengan sunahku dan sunah para khalifah sesudahku yang lurus dan mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham kalian…”
Adapun jama’ah Syukri Musthafa yang disebut dengan Jama’ah Takfir Wal Hijrah, ia sama sekali berbeda. Jama’ah Syukri tidak meyakini pemahaman salafush sholih, tidak pula pemahaman selain salafush sholih. Jamaah ini, sebagaimana kami sebutkan tadi, mengkafirkan pelaku dosa yang tidak bertaubat. Sampai dalam masalah keluar dari penguasa sekalipun, terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara jama’ah Syukri dengan jama’ah-jama’ah jihad lain seperti Jama’ah Islamiyah dan lainnya.
Satu hal yang tidak banyak diketahui orang, bahwa Syukri berpendapat tidak boleh keluar dari para penguasa secara mutlak, bahkan sejak awal ia berpendapat tidak ada jihad kecuali setelah kekuatan persenjataan pembunuh modern di seluruh dunia telah habis. Setelah itu barulah jama’ah Syukri akan muncul memerangi sisa-sisa kekuatan orang kafir, ia mengatakan hal ini dalam bukunya “Al Khilafah”, ” …Apakah ada kesempatan bagi gerakan Islam hari ini yang lebih besar dari menjadi sebuah kekuatan yang menunggu di sebuah daerah di muka bumi, beribadah kepada Allah dan menunggu bagaimana negara-negara kafir satu sama lain saling menghancurkan dengan izin Allah, sembilan tahun misalnya atau lebih banyak dari itu, sesuai dengan kekuatan bom dan rudal serta makar setan abad dua puluh…”
Tentang peran gerakan Islam selama masa menunggu tersebut, ia mengatakan, ”Dalam masa tersebut, kaum muslimin mencurahkan waktunya di sebuah daerah di muka bumi untuk beribadah kepada rabb mereka, mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal-amal sholih, menegakkan sholat, menunaikan zakat, membersihkan baju-baju mereka dari kotoran dan najis jahiliyah yang menempel dan mengotorinya. Barulah pada saat itu fajar diizinkan segera menjelang….kewajiban kaum muslimin adalah menunggu, mengambil pelajaran, bersabar, sujud, ruku’ dan berjalan sesuai ketetapan taqdir melalui realita yang ada sampai mereka diizinkan untuk membawa pedang tertolong untuk menghancurkan sisa-sisa orang kafir yang telah ditaqdirkan Allah.”
Syukri tidak mengatakan adanya jihad, selamanya, sampai pedang, anak panah dan kuda kembali hadir di tengah manusia. Dalam buku yang sama, ia mengatakan, ”Sesungguhnya kaum muslimin tidak mengetahui dan sekali-kali tidak mengetahui sebuah peperangan, kecuali dengan shaf, pedang, kuda dan anak panah dan bahwasanya tidak akan ada perang di jalan Allah sejak hilangnya peralatan yang telah disebutkan tadi, dan juga…” [Dokumen “Al Khilafah” tulisan Syukri Ahmad Musthafa, diterbitkan dalam buku “Ats Tsairun” karya Raf’at Sayid Ahmad hal. 115-160].
Bagaimanapun juga, pikiran yang diserukan oleh Syukri ini termasuk dalam peribahasa “menceritakannya semata sudah cukup untuk membantahnya.” Termasuk sebuah kedzaliman yang nyata bila kita menyamakan antara kelompok-kelompok jihad terkhusus lagi Jama’ah Islamiyah di Mesir dengan pemikiran jama’ah takfir hanya karena kedua belah pihak sependapat mengenai telah kafirnya penguasa saat ini. Kalau begitu, kita pun boleh menyamakan antara Jama’ah takfir dengan syaikh Albani karena keduanya sama-sama berpendapat tidak bolehnya keluar dari penguasa pada saat ini dan cukup dengan melakukan tarbiyah, sekalipun masing-masing mempunyai konsep yang bebeda mengenai tarbiyah…???!!!, Orang yang jujur dan adil tentu tidak akan mengatakan demikian.
Meski kami mempunyai catatan terhadap pemikiran pengakfiran ini, namun siapa saja yang mengikuti realita gerakan Islam hari ini, khususnya di Mesir, ia pasti mencatat telah lunturnya pemikiran ini karena di Mesir hanya segelintir orang yang tercerai-berai saja yang masih mempunyai pemikiran seperti pendapat Syukri Musthafa semasa ia hidup. Pemerintah Mesir juga tidak memburu mereka, sebagaimana pemerintah memburu mereka sebelumnya, karena pemerintah mengetahui meskipun jama’ah Syukri mengkafirkan pemerintah dan seluruh masyarakat, namun jama’ah Syukri tidak berpendapat bolehnya keluar dari pemerintah.
Keempat:
Di antara Permasalahan Jihad

Dalam kasetnya ini dan mungkin dalam kaset lainnya, Syaikh Al Albani mengkitik hal-hal yang terjadi saat keluar dari penguasa. Tujuan kami bukanlah mendiskusikan hal ini secara terperinci, karena syaikh Al Albani sejak awal tidak mengakui disyariatkannnya keluar dari pemerintah kafir ini maka tak ada gunanya mendiskusikannya. Hanya saja ada dua permasalahan yang menarik perhatianku, saya ingin mengomentarinya secara singkat:
a- Permasalahan Pertama.
Syaikh telah mengkritik terbunuhnya anak-anak dan wanita di Aljazair, beliau menyebutkan dari as sunah larangan membunuh anak-anak dan wanita. Saya katakan bahwa dalam hal ini syaikh Al Albani benar. Perbedaan antara kami dengan beliau dalam masalah keluar dari penguasa kafir bukan berarti kami menolak kebenaran yang beliau sebutkan. Selalunya kami katakan wajibnya berpedoman kepada aturan-aturan syar’i dalam masalaha jihad. Tidak ada kebaikan dalam sebuah amalan, sekalipun amalan tersebut disyariatkan, jika dikerjakan oleh pelakunya sesuai dengan kaidah-kaidah syariat yang lurus.
Barangkali tepat bila saya sampaikan di sini bahwa Jama’ah Islamiyah Mesir termasuk pihak yang pertama kali mengingatkan tidak benarnya seruan kelompok Islam bersenjata Aljazair yang membolehkan membunuh anak-anak dan wanita. Sebagaimana Jama’ah Islamiyah Mesir juga telah memperingatkan kesalahan-kesalahan lain yang terjadi di Aljazair, seperti pembunuhan dua ulama; syaikh Muhammad Sa’id dan syaikh Abdu Razzaq rajam, pembunuhan pendeta dan lain-lain.
Kami, alhamdulillah, menerima setiap koreksi yang disampaikan dalam perjalanan jihad ini, kami tidak ridha bila panji jihad tercemari oleh pelanggaran hal-hal yang tidak ditetapkan syariat yang lurus dan tidak diridhai Allah Ta’ala dan rasul-Nya, baik itu di Aljazair, Mesir atau negeri lainnya. Kebenaran lebih berhak untuk diikuti. Wallahu al Musta’an.
b- Permasalahan Kedua.
Berkaitan dengan sebuah soal yang ditujukan kepada syaikh Al Albani, ”Ada sebuah fatwa dari Jama’ah Islamiyah Mesir, jika seorang anggota Jama’ah Islamiyah ditawan dan diinterogasi yang mengakibatkan pengakuannya, mereka membolehkannya untuk bunuh diri. Bagaimana hukum masalah ini?”
Syaikh menjawab hal itu tidak boleh, karena biasanya menunjukkan menentang qadha’ dan qadar Allah. Lalu syaikh mengatakan, ”Saya harus mengatakan —sebagai penutup—saya katakan, ”Hukum ini khusus hanya dari Jama’ah Islamiyah. Mereka mengira memberi fatwa untuk diri mereka sebagian orang atau untuk jama’ah mereka sendiri dan anggota-anggotanya, bahwa jika ditawan oleh penguasa yang dzalim maka boleh baginya bunuh diri. Dari mana mereka mendapatkan hukum ini ? Bukankah kaum muslimin generasi awal juga mengalami hal yang dialami oleh mereka, orang-orang belakangan itu ? Apakah Rasulullah memberi mereka fatwa dengan fatwa seperti ini ? Fatwa ini berngkat dari kebodohan; Pertama. Terhadap Al Qur’an dan As Sunah. Kedua. Teges-gesa dalam menegakkan kewajiban, yaitu menegakkan hukum dengan Islam, dengan Al Qur’an dan As Sunah. Bagiamana mungkin orang yang tergesa-gesa berfatwa dengan fatwa yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah akan menegakkan hukum dengan Al Qur’an dan As Sunnah ?”. [dari buku Fatawa Syaikh Al Albani hal. 364-365].
Sebenarnya saya tidak tahu bagaimana syaikh Albani meridhai dirinya menuduh orang lain padahal beliau belum pernah bertemu dengan mereka dan mengetahui keadaan mereka secara sempurna, dengan tuduhan-tuduhan: bodoh, tergesa-gesa, berfatwa dengan fatwa yang menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah? Meskipun demikian, saya akan menanyakan kepada beliau, semoga Allah memaafkan kami dan beliau, ”Kenapa anda tidak mengecek lebih lanjut apakah benar Jama’ah Islamiyah mengeluarkan fatwa ini? Apakah anda telah menemui seorang anggota Jama’ah Islamiyah yang mengatakan hal ini? Apakah anda telah membaca tulisan-tulisan Jama’ah Islamiyah ada fatwa seperti ini?”
Saya yakin, syaikh Albani belum melakukan ini semua. Jika sudah, tentunya beliau tidak akan berkata seperti yang telah beliau katakan sekarang ini. Sebenarnya menisbahkan fatwa tersebut kepada Jama;ah Islamiyah tidaklah benar. Syaikh tidak berhak menanyakan dalilnya kepada kami, bukankah semestinya beliau dan pihak yang bertanya kepada beliau lah yang mendatangkan bukti karena hukum asal adalah tidak adanya penisbahan fatwa tersebut dan fatwa lainnya kepada Jama’ah Islamiyah, kecuali bila ada bukti.
Meski demikian, kami sebutkan di sini sebuah bukti kepada syaikh Albani yang menjelaskan tidak benarnya apa yang beliau katakan, yaitu penjelasan resmi Jama’ah Islamiyah yang menyatakan tidak keluarnya fatwa yang menyerukan kepada anggotanya yang ditangkap dan diinterogasi untuk melakukan usaha bunuh diri. Dalam penjelasan resmi tersebut disebutkan, ”Sesungguhnya Jama’ah Islamiyah belum dan tak akan pernah mengeluarkan fatwa seperti ini, karena Islam jelas telah mengharamkan bunuh diri dengan dalil-dalil yang tetap dan qath’i.” Penjelasana resmi tersebut juga menerangkan bahwa fatwa ini adalah kedustaan pihak pemerintah Mesir agar bisa membunuh lebih banyak lagi anggota Jama’ah Islamiyah yang ditangkap, lalu mengaku bahwa mereka bunuh diri dengan landasan fatwa palsu tersebut.
Akhirnya saya katakan kepada syaikh , ”Daripada mencela orang yang anda tidak mengenal mereka, Bukankah akan lebih baik bila anda mengatakan, ”Kalau apa yang kau tanyakan ini benar maka jawabannya begini dan begini.” Atau anda menjawab dengan jawaban umum seperti anda mengatakan, ”Hal itu secara syar’i tidak boleh”, tanpa perlu menunjuk perorangan dan tidak tergiring oleh berita-berita yang ada dan tidak bisa mengecek kebenarannya?”
Kelima:
Penjelasan Penting Mengenai Kondisi di Mesir
Hal penting yang perlu diingatkan di sini, banyak sekali orang berbicara tentang peristiwa yang terjadi di Mesir dan negeri-negeri lainnya, namun mereka tidak mengetahui banyak kondisi yang sebenarnya dari negara tersebut. Akibatnya timbullah kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum. Contoh mudahnya adalah apa yang kami sebutkan sebelum ini tentang tuduhan bahwa Jama’ah Islamiyah Mesir mengeluarkan fatwa bolehnya bunuh diri bagi anggotanya yang ditangkap dan diinterogasi pemerintah. Contoh lain yang lebih penting, bahwa peristiwa yang terjadi beberapa tahun belakangan ini di Mesir bukanlah usaha menjatuhkan pemerintah Mesir, melainkan usaha darurat mempertahankan diri. Jama’ah Islamiyah Mesir memang menyatakan wajibnya keluar dari pemerintah kafir, namun Jama’ah Islamiyah Mesir memandang untuk mengakhirkan hal itu sampai persiapan untuk itu sempurna, sehingga maslahat keluar dari penguasa kafir adalah maslahat rajihah (kuat). Sebagai ganti dari itu semua, konsentrasi dialihkan kepada dakwah, mentarbiyah anggota, menyebarkan aqidah shahihah, konsentrasi dengan menuntut ilmu dengan disertai merubah kemungkaran yang dhahir yang mampu dirubah.
Namun pemerintah sekuler Mesir tetap tidak memberi kesempatan kepada Jama’ah Islamiyah Mesir untuk meneruskan dakwah seperti ini sampai waktu memetik buahnya. Pemerintah sekuler Mesir terus berusaha memberangus dakwah ini. Pemerintah memulai dengan penangkapan besar-besaran dan penyiksaan di luar batas kemanusiaan, menahan wanita-wanita, menyerbu masjid-masjid, membunuh para dai di jalan-jalan dan serambi masjid. Mereka tidak mempunyai alasan untuk melakukan itu semua, kecuali untuk mencekik dakwah dan mencegah perkembangannya. Bahkan tujuan utama pemerintah ini tidak tersembunyi lagi, yaitu menghancurkan Jama’ah Islamiyah Mesir dan jama’ah-jama’ah lain yang disebutnya dengan kaum fundamentalis. Seorang yang mengerti tentang pemerintah seperti pemerintahan Mesir ini tentu juga mengetahui, bahwa setelah jama’ah-jama’ah ”fundamentalis” ini berhasil dihancurkan, usaha pemerintah tidak akan selesai. Mereka akan meneruskannya dengan jama’ah-jama’ah yang terkadang disebutnya sebagai jama’ah “moderat”, seperti ikhwanul muslimin dan lain-lain.
Jama’ah Islamiyah Mesir pada tahun 1408 H telah mengeluarkan sebuah buku kecil dengan judul “Laporan Penting”, dalam buku itu Jama’ah Islamiyah Mesir menulis nama-nama dan jumlah anggota Jama’ah Islamiyah Mesir yang ditahan, disiksa, dibunuh, penahanan wanita dan pengguguran kandungan wanita-wanita anggotanya oleh rezim pemerintah sekuler Mesir. Di akhir buku kecil tersebut, Jama’ah Islamiyah melontarkan sebuah pertanyaan, ”Apakah jika kami mengangkat senjata setelah ini semua terjadi, untuk membela nyawa kami, kami masih tetap dikatakan da’i-da’i keras dan teroris?”
Dari sini Jama’ah Islamiyah melihat kondisinya adalah membela diri yang tidak mungkin ditunda-tunda. Tak diragukan lagi jihad membela diri (defensif) tidak disyaratkan syarat-syarat yang terdapat pada jihad menyerang (ofensif). Yang harus dilaksanakan adalah membela diri semampunya sesuai sarana yang ada. Sikap orang-orang yang membela diri ini mengatakan, ”Jika pemerintah yang durjana ini tidak bertujuan kecuali untuk membunuh kami, maka itu hanya akan terjadi setelah kami membuat mereka merasakan gelas kematian sebelum mereka menuangkan gelas kematian tersebut kepada kami. Kami harus menimpakan kepada mereka pelajaran yang membuat mereka berfikir seribu kali sebelum mereka berfikir sekali lagi untuk memerangi para dai.”
Sebagai akibat dari pemahaman ini, kita lihat para pemuda melawan tentara-tentara penakut yang menamakan dirinya secara dusta tentara-tentara keamanan, yang akan menciduk mereka. Mereka tidak menyerah, tetapi tetap berperang hingga terbunuh atau Allah menyelamatkan mereka dari tentara-tentara penakut tersebut. Mereka memahami betul perkataan Imam Ahmad mengenai kondisi seperti ini, ”Saya tidak senang jika ia ditawan. Jika ia berperang itu lebih aku sukai karena ditawan itu urusannya berat. Hendaklah ia berperang, meskipun mereka memberi jaminan keamanan karena mereka mungkin saja mengingkari jaminan tersebut.” [Al Furu’ karya Ibnu Muflih VI/201-202].
Para pemuda yang memberikan perlawan ini mengerti betul, urusannya tak begitu saja selesai dengan masuknya mereka ke penjara. Mereka akan disiksa dengan siksaan di luar ambang batas kemanusiaan sampai mereka mau menunjukkan tempat saudara-saudaranya dan mengakui tuduhan yang dilontarkan para penginterogator, padahal perbuatan yang dituduhkan tersebut tidak mereka lakukan. Belum lagi penghinaan terhadap saudara muslim yang tertawan ini dari pemerintah yang durjana ini. Para pemuda ini mengerti betul, mereka akhirnya pasti akan dibunuh, senbagian mereka dihukum mati melalui apa yang mereka namakan mahkamah militer. Tak diragukan lagi ia bertempur sampai mati dan tidak menyerah, dalam kondisi seperti ini adalah lebih baik dan lebih mulia.
Para pemuda tadi sudah berusaha memberitahukan kondisi sebenarnya yang terjadi di Mesir ini kepada saudara-saudara mereka, sesama umat Islam, namun usaha ini terbentur di satu pihak oleh keterbatasan sarana dan di lain pihak mass media pemerintah yang senantiasa memputar balikkan fakta tentang para da’i dan mujahidin dengan menggambarkan mereka sebagai kelompok teroris yang tak mempunyai keinginan selain merusak stabilitas nasional.
Untuk membantu menyampaikan kondisi sebenarnya yang terjadi di Mesir, di akhir buku ini kami lampirkan sebuah penjelasan resmi Jama’ah Islamiyah yang telah disebarkan bertepatan dengan hari Iedul Adha tahun 1413 H. Penjelasana tersebut ditulis oleh saudara Thal’at Yasin, seorang da’I dan pimpinan Jama’ah Islamiyah. Ketika pemerintah Mesir melancarkan penumpasan terhadap “teroris”, ia memimpin gerakan militer. Dalam penjelasana tersebut, ia mengisahkan dengan bahasa yang menggetarkan bagaimana seorang pemuda muslim berubah, dari sekedar berdakawah dengan lisan, menjadi seorang mujahid yang mengangkat senjata demi membela dien, nyawa dan kehormatan. Tak lebih dari satu tahun setelah penjelasan resmi ditulis, saudara Thal’at Yasin telah terbunuh di tangan tentara pemerintah. Departemen Dalam Negeri mengatakan ia terbunuh saat melawan tentara pemerintah yang akan menawannya. Kita berdoa kepada Allah semoga menerimanya di barisan syuhada’ dan menerima amalnya.
Keenam:
Kalimat Terakhir
Kalimat terakhir ini saya tujukan kepada beliau syaikh Al Albani hafidzahullah, sebagai bentuk nasehat yang Allah wajibkan atas kaum muslimin. Saya katakan: “Wahai syaikh, telah banyak majelis anda yang membahas orang-orang yang tidak sependapat dengan anda seperti dalam masalah-masalah yang kami sebutkan pada lembaran-lembaran sebelum ini, atau di tempat lain. Kami menyaksikan — sebagaimana orang lain menyaksikan — sikap anda yang sangat keras terhadap orang yang tidak sependapat dengan anda. Anda menuduh mereka bodoh, sedikit ilmu, menyelisihi firqah najiyah, dan tuduhan-tuduhan lain yang anda sebutkan dalam banyak majelis. Boleh jadi inilah pendapat anda terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan anda. Namun apa pendapat anda mengenai para penguasa sekuler yang memegang kekuasaan di negeri-negeri kaum muslimin, berhukum dengan selain hukum Allah dan menimpakan bermacam-macam siksaan kepada para da’i? Sekalipun anda tidak meyakini kafirnya mereka, kami mengira paling tidak anda meyakini mereka itu fasiq, dzalim dan jauh dari syariat Allah.
Jika anda tidak mampu mengkritik mereka secara terang-terangan, apakah anda tidak bisa bersikap seimbang dalam perkataan anda, misalnya dengan mengatakan —selain keras terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan anda—,” Sesungguhnya sebab kerusakan yang terjadi adalah para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, kalau mereka berhukum dengan syariat Allah tentulah mereka telah mampu menyelesaikan berbagai problem yang ada.”
Bahkan saya meminta syaikh untuk melakukan hal yang lebih mudah dari hal ini, hendaklah beliau memberikan nasehat yang lunak kepada para penguasa tersebut; terangkan kepada mereka wajibnya menerapkan syariah Allah, bersikap lemah lembut kepada rakyat dan beramal sholih untuk kebaikan umat. Jika syaikh Albani berpendapat hal ini sama sekali tak ada gunanya, kenapa beliau tidak pernah memperhitungkan kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan beliau terhadap orang-orang yang tidak sependapat dengan beliau? Bukankah mereka juga saudara beliau yang mencintai dan menghormati beliau, banyak di antara mereka yang belajar melalui buku-buku beliau atau mengambil manfaat dari beliau? Apakah lantang menyuarakan kebenaran itu hanya di hadapan orang-orang lemah tertindas, yang dhahir amal mereka menunjukkan mereka beramal hanya demi kebenaran semata?
Secara jujur saya katakan kepada syaikh, ”Sungguh kalimat-kalimat anda ini kepada para pemuda Mesir yang disiksa ini lebih menyakitkan dari siksaan cemeti para penyiksa. Karena para penyiksa itu sudah sama-sama diketahui memusuhi dakwah. Dari mereka tak mungkin ditunggu selain pemberangusan dan penyiksaan para da’i. Adapun anda, para pemuda yang disiksa ini tetap melihat anda dengan menganggap anda seorang ulama umat Islam, mereka meminta bantuan kepada anda meski sekedar doa yang benar”.
Tetapi ternyata mereka mendapati anda —mungkin tanpa kesengajaan anda— berada di parit para thaghut, anda membela para thaghut dan membodoh-bodohkan mereka yang mengkafirkan para thaghut, anda menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan keji. Sungguh para thaghut adalah orang yang paling bahagia dengan perkataan-perkataan anda, wahai syaikh yang terhormat. Mereka memanfaatkannya semaksimal mungkin —perkataan anda— untuk meruntuhkan semangat para pemuda dan menggoyang kepercayaan para pemuda terhadap para ulama mereka dengan membuat perselisihan antara para pemuda dakwah dengan para ulama mereka.
Terakhir saya katakan kepada syaikh, sesungguhnya rasa cinta kami kepada beliaulah yang mendorong kami menulis tulisan ini sebagai sebuah koreksi, nasehat dan kecintaan terhadap perbaikan. Saya berdoa kepada Allah untuk diri saya sendiri, untuk anda dan segenap kaum muslimin agar dikarunia keikhlasan dalam berkata dan berbuat, kembali kepada kebenaran dan husnul khatimah. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas hal itu. Amien.
Walhamdulillahi Rabbil ’alamien.
Catatan Blogger:

Tulisan ini diadaptasi dari tulisan Al Akh Abu Isra’ Al Asyuthi —seorang ikhwan berkebangsaan Mesir dan anggota Jamah Islamiyah Mesir— yang berjudul Waqfaatun Ma’a Al Syaikh Al Albani Haula Syarith “Min Manhaji Al Khawarij” dibuat pada tahun 1417H/1997M semasa Syaikh Albani masih hidup yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang ikhwan dengan judul Dialog Dengan Tema “Khawarij Gaya Baru”, kami tidak mengetahui atau belum mendapatkan tanggapan tertulis dari Syaikh Albani, kepada siapa saja —khususnya para salafiyun yang intisab kepada Syaikh Albani— yang mengetahui ada tanggapan dari Syaikh, harap menyampaikan kepada kami melalui kolom komentar atau melalui imel agar bisa kami posting, sampai tanggapan itu kami dapatkan, kami meunghukumi Syaikh seperti apa yang tertulis di dalam risalah ini. Wallaahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar