Oleh: Syaikh Abu Muhammad Al Maqdisiy
Penterjemah: Abu Sulaiman
Bismillahirrahmanirrahiim…
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah…
Ketahuilah ─semoga Allah merahmatimu─ bahwa sebagian ikhwan muwahhidin di penjara Sawaqah telah menyodorkan kepada kami di akhir bulan Dzul Hujjah tahun 1416 H lembaran-lembaran yang berjudul “Al Iman” yang ditulis oleh seorang narapidana yang berasal dari Hazbut Tahrir (HT) yang dipanggil Abu ‘Adil Shubh Shurshur.
Di dalamnya dia membahas definisi Al Iman sesuai apa yang dia anut dan dianut oleh HT. Dan seandainya dia berhenti di batas itu saja tentulah kami tidak akan menyibukan diri kami dengan membantahnya, karena apa yang dianut dan diyakini oleh dia dan oleh HT tidaklah penting bagi kami, akan tetapi dia menyambung hal itu dengan dua hal:
Pertama: Bahwa dia menyinggung aqidah kami Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang Al Iman, dan dia mencap definisi Al Iman menurut Ahlus Sunnah sebagai definisi yang tidak mencakup dan tidak menutup (tidak akurat), serta dia mensifati definisi Al Iman yanbg dianutnya dan dianut oleh HT serta sejalan dengan pendapat Murji-ah sebagai definisi yang mencakup (jami’) lagi menutup (mani’).
Kedua: Bahwa dia menambah hal itu dengan menyinggung permasalahan majelis-majelis syirik, kefasikan dan kemaksiatan (yaitu lembaga-lembaga Legislatif), di mana dia berbicara seputar hal itu dengan ucapan yang ngawur yang di dalamnya dia membantah terhadap orang-orang yang mengkafirkan orang-orang yang ikut serta dalam sarang-sarang berhalaisme ini.
Dikarenakan kami adalah tergolong orang-orang yang terkenal mengkafirkan lembaga-lembaga syirik ini dan para anggotanya, bahkan di penjara ini tidak ada orang yang menganut hal itu selain kami dan orang-orang yang tersentuh dengan dakwah kami, maka wajib atas kami membantah lontaran-lontaran ngawur penulis tersebut demi membela aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam hal Al Iman dan membela pendapat ahlul haq perihal pengkafiran seluruh anggota Parlemen, terutama setelah sampai kabar kepada kami bahwa dia memperbanyak tulisannya itu dan menyebarkannya di penjara. Dan salah satunya sampai ke tangan saudara muwahhid tadi, kemudian dia segera memperlihatkannya kepada kami seraya bertanya tentang pendapat kami mengenai tulisan itu, maka saya menjawabnya dengan penulisan risalah ini di hari itu juga, dan saya menamakannya Ijaabatus Saail Fir Raddi ‘Alaa Waraqatil Iman Li Abii ‘Aadil. Semoga Allah ta’ala memberikan manfaat dengannya kepada saya penulis dan kepada pembacanya, dan semoga Dia menjadikannya tulus karena Wajah-Nya Yang Mulia, sesungguhnya Dia adalah yang menangani hal itu dan Yang Kuasa terhadapnya.
Sebelum saya memulai dalam bantahan terhadapnya, saya ingin mengingatkan bahwa saya telah mengirim kepada juru bicara resmi HT orang yang menanyakan kepadanya tentang tulisan tersebut, maka si jubir itu menjawa: “Bahwa apa yang ada di dalam tulisan itu bukanlah pendapat HT…”[1]
Dan sekarang kami mulai dalam tujuan dengan pertolongan Allah Al Malik Al Ma’bud. Penulis lembaran itu berkata saat dia berbicara perihal definisi Al Iman: “Dan dikarenakan kalimat Al Iman itu adalah lafadh bahasa Arab yang dengannya Allah mengkhithabi bangsa Arab, dan bangsa Arab memahaminya dengan sekedar mereka mendengarnya” ─sampai ucapannya─ “tanpa mereka menanyakan tentang maknanya, maka ini adalah dalil yang menunjukan bahwa mereka memahaminya seperti apa adanya, yaitu sebagaimana mereka memahaminya sebelum turun Al Qur’an, oleh sebab itu kita wajib menelusuri makna yang mereka pahami bagi kalimat ini, dan kita tidak boleh memberikan makna-makna dari kantong kita sendiri”. Selesai.
Ucapannya: “dan bangsa Arab memahaminya dengan sekedar mereka mendengarnya”.
Maka saya katakan: Yang mereka pahami dengan sekedar mereka mendengarnya adalah makna lughawiy (makna secara bahasa), bukan makna yang syar’iy, dan ini sangat jelas dari ucapan si penulis setelah itu, yaitu: “sebagaimana mereka memahaminya sebelum turun Al Qur’an”, jadi pemahaman mereka yang sejalan dengan pemahaman mereka sebelum turun Al Qur’an adalah bukan makna syar’iy yang dibawa oleh Al Qur’an dan yang mana orang muslim dituntut untuk mengikuti dan memahaminya.
Dari itu engkau mengetahui kesalahan fatal si penulis saat dia mengatakan “oleh sebab itu kita wajib menelusuri makna yang mereka pahami bagi kalimat ini”, justeru yang benar sebaliknya, kita wajib mengetahui dan menelusuri makna yang mereka pahami dari Al Qur’an, bukan sebelum turun Al Qur’an.
Itu dikarenakan Allah ‘Azza Wa Jalla telah memindahkan banyak kata-kata bahasa Arab dari maknanya dan hakikatnya yang secara bahasa kepada hakikat dan makna syar’iy, sehingga dalam hal seperti ini kita wajib mengikuti hakikat syar’iyyah dan mengedepankannya terhadap hakikat lughawiyyah (bahasa).
Contoh hal itu adalah firman Allah ta’ala: “Dirikanlah Shalat dan tunaikanlah zakat”. Shalat dalam bahasa Arab artinya adalah do’a, sedangkan zakat artinya berkembang dan bertambah, akan tetapi Allah Sang Pembuat Syari’at menjadikan bagi dua kalimat ini hakikat syar’iyyah dan makna syar’iy dan mengedepankannya terhadap makna lughawiy.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan shalat sebagai makna yang menunjukan terhadap perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan khusus lagi tertentu yang dimulai dengan takbir dan berakhir dengan salam. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita dan beliau menjelaskan kepada kita syarat-syarat sahnya dan hal-hal yang membatalkannya.
Begitu juga zakat, Allah ta’ala telah memindahkan kalimat ini dari makna lughawiy-nya yang dipahami oleh orang-orang Arab sebelum turun Al Qur’an kepada makna syar’iy yang khusus, yang dipakai bagi sikap mengeluarkan harta tertentu dengan nishab yang ditentukan yang sudah mencapai haul (putaran setahun) kepada pihak-pihak yang sudah ditentukan Allah.
Dan begitu pula halnya dengan kata Al Iman, di mana di dalam bahasa Arab ia bermakna at tashdiq al jazim (pembenaran yang pasti), kemudian Allah Sang Pembuat Syari’at datang memperluas maknanya dan memindahkannya kepada hakikat syar’iyah yang meliputi at tashdiq al jazim, ikrar yang shahih, serta amalan hati dan anggota badan.
Adapun at tashdiq al jazim maka ia ditunjukan oleh firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu” (Al Hujurat: 15)
Ini mencakup iman kepada segala yang dikabarkan dan segala keyakinan yang disebutkan Allah dan Rasul-Nya.
Adapun amalan hati dan angora badan, maka ia ditunjukan oleh firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (Al Anfal 2-4)
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Iman itu adalah enam puluh sekian cabang, yang tertinggi adalah Laa ilaaha illallaah dan yang paling rendah adalah penyingkiran kotoran dari jalan, sedangkan rasa malu adalah salah satu cabang iman”, oleh sebab itu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mendefinisikan Al Iman dengan ucapan: Keyakinan dengan hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan anggota badan dan semua rukun.
Dien, Islam dan Iman menurut Ahlus Sunnah Wal jama’ah adalah makna-makna yang dipindahkan dari hakikat-hakikatnya yang secara bahasa lagi terbatas kepada makna-makna syar’iy yang lebih luas. Hal itu sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah meliputi khabar dan insyaa’. Adapun khabar maka ia membutuhkan at tashdiq al jazim (pembenaran yang pasti) seperti iman kepada Allah, para malaikat, para rasul, kitab-kitab, hari akhir, dan qadar. Sedangkan insyaa’ maka ia membutuhkan kepada pengamalan, kepatuhan, dan ketundukan.
Oleh sebab itu, maka definisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang lalu adalah definisi iman yang paling mencakup dan paling menutup. Adapun definisi iman menurut Murji-ah dan para pengikut mereka yaitu at tashdiq al jazim, maka ia adalah definisi yang tidak menutup, karena Allah ta’ala telah menuturkan tentang banyak orang-orang kafir bahwa mereka itu membenarkan banyak kebenaran dan Dia kabarkan bahwa mereka itu mengenal kebenaran seperti mereka mengenal anak-anak mereka, akan tetapi mereka tidak meraih hakikat iman yang syar’iy dan mereka tidak diberi predikat iman yang syar’iy, karena mereka tidak menyertai dengan hal itu taslim (penerimaan penuh) dan inqiyyad (ketundukan). Dan begitu juga firman Allah ta’ala:
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya”. (An Naml: 14)
Mereka itu meyakini kebenaran, namun hal ini saja tidak bermanfaat bagi mereka.
Sebagaimana definisi ini bukan definisi yang mencakup, karena ia tidak menuturkan ikrar dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan dan semua rukun, sebagaimana ia adalah definisi Al Firqah An Najiyyah dan Ath Thaifah Al Manshurah…
Dan ucapan si penulis: “dan bangsa Arab memahaminya dengan sekedar mereka mendengarnya” ─sampai ucapannya─ “tanpa mereka menanyakan tentang maknanya, maka ini adalah dalil yang menunjukan mereka bahwa mereka memahaminya seperti apa adanya, yaitu sebagaimana mereka memahaminya sebelum turun Al Qur’an”, adalah ucapan yang penuh ngawur. Di antara yang paling penting adalah ucapannya: “tanpa mereka menanyakan tentang maknanya”.
Bagaimana dia berkata seperti itu, sedangkan hadits-hadits perihal pertanyaan orang-orang Arab dari kalangan shahabat dan yang lainnya tentang iman adalah sangat banyak, dan Jibril ‘alaihissalam telah mengajarkan hal itu kepada mereka saat jibril datang dengan penampilan seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih lagi berambut sangat hitam yang tidak seorangpun dari kalangan shahabat mengenalinya dan tidak kelihatan padanya bekas-bekas perjalanan jauh, kemudian Jibril mengajarkan kepada mereka bagaimana mereka bertanya dan mempelajari dien mereka, di mana Jibril menanyakan tentang Al Islam, Al Iman dan Al Ihsan, kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata setelah Jibril pergi: “Ini adalah Jibril, datang kepada kalian (untuk) mengajarkan kepada kalian dien kalian”.
Di dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan dalam hadits shahih Al Bukhariy bahwa rombongan Abdul Qais tatkala mendatangi Nabi, beliau memerintahkan mereka dengan empat hal, beliau memerintahkan agar beriman kepada Allah saja, beliau berkata: “Tahukah kalian apa iman kepada Allah saja itu ?”, mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”
Ini sangat jelas bahwa mereka itu tidak berbelit-belit sebagaimana berbelit-belitnya Murji-ah zaman sekarang ini, di mana mereka berkata iman itu dalam bahasa kita adalah at tashdiq al jazim, padahal sesungguhnya rombongan itu adalah bangsa Arab asli yang berasal dari suku Rabi’ah, dan tidak seperti orang-orang yang mengaku berbahasa Arab namun mereka tidak mengetahui inti dasar-dasarnya, namun demikian rombongan itu berkata tatkala ditanya: “apakah kalian mengetahui apakah iman kepada Allah saja itu ?”, dan mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”.
Kenapa mereka tidak mencukupkan diri dengan pemahaman mereka terhadap Al Iman dengan bahasa mereka sebelum turun Al Qur’an sebagaimana yang diklaim si penulis dalam igauannya itu? Bahkan dia mengklaim bahwa itulah pemahaman yang wajib kita pelajari…!!
Saya katakan: Karena sesungguhnya mereka itu beretika di hadapan Allah Sang Pembuat Syari’at, maka mereka mencari al haq dan mereka mengetahui bahwa ilmu itu adalah: Allah berfirman dan Rasulullah bersabda,” dan ia itu bukan pemikiran Hizb serta bukan pemahaman saya dan pemahaman kamu…
Oleh sebab itu Rasulullah mengajari mereka makna Al Iman, beliau berkata: “syahadat Laa ilaaha illallaah wahdahuu laa syarikalahuu wa anna Muhammadan rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum ramadhan dan kalian memberikan seperlima dari ghaniman…”
Perhatikan bagaimana beliau menuturkan amalan-amalan ini di dalam Al Iman, dan ia adalah khabar shahih yang ada dalam kitab yang mana ummat telah ijma untuk menerimanya, serta ia adalah kitab yang paling shahih setelah Kitabullah. Maka hapalkan ini untuk supaya dengannya engkau membungkam kaum Murji-ah dan para pengikut mereka.
Sama seperti itu juga apa yang diriwayatkan Al Iman Ahmad di dalam Musnad-nya dari ‘Amr ibnu ‘Anbasah, berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, terus berkata: “Wahai Rasulullah, apakah Islam itu ?”, beliau menjawab: “Kamu memasrahkan hati kamu kepada Allah dan kaum muslimin selamat dari dari lisan dan tangan kamu”. Orang itu berkata: “Islam macam apa yang paling utama ?”, beliau menjawab: “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan kebangkitan setelah kematian…”
Ini, dia juga bertanya tentang Iman, dan tidak seperti apa yang diklaim oleh si penulis bahwa mereka tidak pernah bertanya tentang makna Al Iman, sedangkan hadits-hadits dalam hal ini sangat banyak.
Bila telah jelas ucapan dia: “Dan bangsa Arab memahaminya dengan sekedar mereka mendengarnya tanpa mereka menanyakan tentang maknanya”, adalah tidak benar, bahkan digugurkan dengan hadits-hadits tadi. MAKA sesungguhnya apa yang dia bangun di atasnya adalah gugur juga, karena sesuatu yang dibangun di atas suatu yang rusak adalah rusak, yaitu ucapan dia: “Maka ini adalah dalil yang menunjukan bahwa mereka memahaminya apa adanya, yaitu sebagaimana mereka memahaminya sebelum turun Al Qur’an”. Sungguh engkau telah mengetahui bahwa mereka memahaminya sesuai apa yang Allah maksudkan dalam Kitab-Nya dan dalam sunnah Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah turun Al Qur’an, dan bahwa mereka itu karena kelurusan akal mereka dan penerimaan diri mereka secara penuh terhadap hukum Allah dan syari’at-Nya, serta sikap mereka tidak mengedepankan pemahaman, anggapan baik dan pemikiran mereka terhadap hukum Allah, maka mereka mengedepankan hakikat syar’iyyah (makna syar’iy) yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya terhadap hakikat lughawiyyah (makna bahasa) yang telah mereka ketahui.
Bahkan Allah ta’ala telah mengabarkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mana beliau berasal dari inti bangsa Arab adalah dahulunya tidak mengetahui hakikat Al Iman sebelum turun Al Qur’an, Allah ta’ala berfirman:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami, sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu” (Asy Syura: 52)
Maka bagaimana dengan orang-orang Arab lainnya ?
Kemudian si penulis itu menuturkan berbagai definisi Al Iman yang sebagiannya milik Ahlus Sunnah dan sebagiannya milik bukan Ahlus Sunnah, dan di antara definisi yang dia sebutkan: “Mereka berkata: Iman itu adalah ucapan, amalan dan niat, dan mereka berkata: keyakinan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan al arkaan”, dan dia menuturkan definisi-definisi yang lain terus dia berkata tentang itu semuanya: “Definisi-definisi ini adalah tidak mencakup dan tidak akurat…” ─sampai ucapannya─ “karena di sana ada amalan-amalan yang mana pelakunya tidak dikafirkan dengan sebabnya, namun demikian mereka memasukan amal dalam definisi itu…”
Terus setelah itu dia menguatkan seraya berkata: “Dan definisi yang shahih untuk kalimat (iman) itu adalah at tashdiq al jazim yang selaras dengan realita berdasarkan dalil”.
Kami katakan: Justeru definisi Al firqah An Najiyyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang dia sebutkan di awal adalah definisi yang mencakup lagi menutup (yaitu akurat), dan para ahli telah membicarakannya, menjelaskannya dan menjabarkan maksud Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di dalamnya. Tidak aneh bila cahaya matahari tersamar atas orang yang ada penyakit di dua kelopak matanya, di mana dia memandang definisi yang benar sebagai definisi yang tidak mencakup dan tidak menutup (yaitu tidak akurat), terus dia memilih definisi Murji-ah dan mencampurnya dengan pendapat Khawarij ─sebagaimana yang akan datang─ kemudian memandangnya sebagai definisi yang mencakup lagi menutup (yaitu akurat). Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. Saya menasihati penulis ─semoga Allah memberinya hidayah kepada kebenaran─ dan setiap orang yang terpedaya dengan ucapannya atau orang yang sejalan dengan pahamnya, agar mereka membaca Kitabul Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan pembahasan bantahan terhadap penganut Irja dalam kitab Al Fashl Fil Milal Wal Ahwaa Wan Nihal karya Ibnu Hazm.
Adapun ucapannya: “Karena di sana ada amalan-amalan yang mana pelakunya dikafirkan, dan di sana ada amalan-amalan yang mana pelakunya tidak dikafirkan dengan sebabnya, namun demikian mereka memasukan amalan dalam definisi itu”.
Maka kami katakan: Memang ada aib di dalam itu? Bukankah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah menyebutkan di dalam definisi iman menurut mereka itu: Bahwa iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat, sedang ini tidak di anut oleh Murji-ah dan para pengikut mereka seperti si penulis tersebut. Inilah batasan yang tidak dia tuturkan di samping batasan lain yaitu bahwa: Iman itu memiliki banyak pembatal sebagaimana ia memiliki banyak hal-hal yang menguranginya, sedang pembatal-pembatal ini bisa berupa keyakinan atau ucapan atau amalan.
Saya katakan: Rincian yang dipotong oleh si penulis dari definisi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini adalah menjadikan definisi Ahlus Sunnah itu akurat (mencakup lagi menutup)
Adapun ucapannya: “dan definisi yang shahih untuk kalimat (iman) ini adalah tashdiq al jazim yang selaras dengan realita yang berdasarkan dalil”.
Kami katakan: Shahih (benar/sah) dan rusak itu adalah termasuk ahkam syar’iyyah yang tergolong ahkamul wadl’i, sedangkan ia adalah wewenang Allah ta’ala, di mana hanya Dia sajalah yang menetapkan definisi itu shahih atau rusak, oleh sebab itu barangsiapa menshahihkan atau menggugurkan suatu definisi, maka ia dituntut mendatangkan dalil Allah, Dia ta’ala berfirman:
“Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (Al Baqarah: 111)
Bila kalian tidak bisa mendatangkan bukti yang benar terhadap keshahihan definisi kalian ini, maka kalian bukan termasuk orang-orang yang benar, sedangkan bukti yang benar itu adalah firman Allah ta’ala atau sabda Rasul, dan bukan ucapan-ucapan ngawur yang mana si penulis memenuhi tulisannya dengan hal itu. Sungguh saya telah mengamati di dalamnya dari awal lembaran sampai akhir tulisan itu ternyata saya mendapatkan ucapan yang berlandaskan pemikiran belaka dan akal-akalan yang ngawur tanpa bersandarkan kepada dalil. Dan bagaimana keadaannya, sesungguhnya si penulis diktat itu dari awal sampai akhir tidak menuturkan di dalamnya kecuali tiga ayat saja, padahal tulisan itu berjumlah enam halaman folio, dan tiga ayat tadi tidak dia tuturkan di dalam inti permasalahan.
Ilmu macam apa ini… dan dien macam apa yang penganutnya hanya menyandarkan kepada ucapan-ucapan para tokoh yang di dalamnya tidak ada “Allah berfirman” atau “Rasul bersabda ??”, padahal Allah ta’ala berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”. (Al A’raf: 3)
dan firman-Nya:
“Katakanlah (hai Muhammad): “Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan”. (Al Anbiya: 45)
Kemudian dia berkata tentang definisinya yang dia klaim bahwa itulah yang benar: “Definisi inilah yang mencakup (al jami’), karena ia sejalan dan tepat untuk setiap sesuatu yang wajib diimani, umpamanya orang yang beriman bahwa shalat itu fardhu, maka ia mempraktekan apa yang dia imani secara sukarela, yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini. Orang yang beriman bahwa mencuri itu haram, maka ia mempraktekan apa yang dia imani secara sukarela, yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini, yaitu dia menahan diri dari melakukan pencurian dengan dorongan iman ini atas dasar ridha dan kerelaan”. Selesai.
Maka saya katakan: Definisi yang ngawur yang diklaim oleh si penulis bahwa ia-lah definisi al jami’ al mani’ (yang mencakup lagi menutup) ini adalah telah tampak jelas kekontradiksiannya di dalam alinea ini…
Si penulis dan orang-orang yang sejalan dengannya tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat kecuali bila dia mengingkarinya. Adapun bila dia meninggalkan shalat dan berkata: “Saya tidak mengingkarinya, akan tetapi saya meninggalkannya karena malas”, maka orang seperti ini menurut mereka tidak kafir. Namun demikian kami mendapatkan si penulis di sini membuat cabang masalah di atas definisi imannya ini, dimana dia berkata: “Orang yang beriman bahwa shalat itu fardhu, maka ia mempraktekan apa yang dia imani secara realita, yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini atas dasar ridha dan sukarela”. Selesai.
Mafhumnya, bahwa orang yang tidak mengarahkan perilakunya sesuai iman yang diklaimnya di mana ia tidak shalat, maka ia kafir meskipun dia mengatakan bahwa saya beriman shalat itu fardhu, karena iman itu sebagaimana dalam definisi kalian adalah harus selaras dengan realita, dan kalau tidak selaras maka ia bukan iman sesuai definisi kalian yang mencakup lagi menutup itu, sedangkan iman itu tidak berlawanan kecuali dengan kekafiran menurut kalian, bahkan mereka mengatakan: “Tidak ada iman yang kurang…!”, dan ini menampakkan di hadapanmu sebagian kekontradiksian mereka.
Ucapannya setelah itu: “Orang yang beriman bahwa mencuri itu haram, maka dia mempraktekan apa yang dia imani secara relita, yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini, yaitu dia menahan diri dari melakukan pencurian dengan dorongan iman ini atas dasar ridha dan kerelaan”. Selesai.
Saya katakan: Percontohan ini bila dikaitkan dengan definisi iman menurut mereka adalah menunjukan bahwa si penulis ini memiliki pandangan seperti Khawarij dalam hal takfier dengan sebab dosa besar.
Pencurian bukanlah kekafiran dengan dalil bahwa si pencuri dalam ajaran Allah tidaklah dibunuh, namun dipotong tangannya, dan andaikata dia menjadi kafir murtad tentu adalah tebasan dengan pedang…
Akan tetapi Khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu kafir, karena dosa besarnya menunjukan bahwa dia tidak beriman, sedangkan ini adalah makna ucapan kawan kita itu.
Bila ia bukan dia atau itu bukan dia maka sungguh dia adalah saudaranya,
Ibunya susui dia dengan air susunya
Dia membuat cabang yang memberikan contoh terhadap definisi iman yang dia pilih dan dia menjadikannya sebagai definisi yang shalih lagi akurat !!
Dia mengatakan bahwa; “Orang yang beriman bahwa mencuri itu haram, maka dia mempraktekan apa yang dia imani secara sukarela, yaitu dia mengarahkan perilakunya sesuai iman ini, yaitu dia menahan diri dari melakukan pencurian dengan dorongan iman ini”.
Maka mafhumnya adalah bahwa orang yang tidak menahan diri dari melakukan pencurian, maka dia tidak memiliki iman yang menghalanginya, yaitu tidak beriman menurut mereka dan berarti dia kafir, karena menurut paham mereka tidak ada lawan iman kecuali kufur, sebab menurut mereka tidak ada yang namanya iman yang berkurang. Sedangkan ini adalah pendapat Khawarij. Kami tidak tahu di atas paham apa pemikiran dan pendapatnya itu menetap !?
Sesekali engkau melihat dia di atas paham Murji-ah, dan tiba-tiba engkau mendapati dia loncat mengambil paham Khawarij… dia bimbang antara mereka ini dengan mereka itu.
Padahal tidak mustahil secara syar’iy dan akal akan adanya orang yang melakukan pencurian sedang dia mengatakan: “Saya beriman dengan iman yang pasti bahwa mencuri itu haram”.
Bahkan ini adalah relita keadaan mayoritas para pencuri, dan ia itu buktinya blok kasus pencurian di penjara dekat kamu; coba pergi dan tanya mereka !!, maka kamu akan mendapatkan mayoritas mereka mengatakan: “Kami tahu bahwa mencuri itu haram dalam ajaran Allah dan kami mengimani itu dengan keimanan yang pasti, akan tetapi kami ingin hidup den memberi makan anak-anak”, ATAU mereka mengatakan: “Yang haram sudah merata dan para pencuri itu bukan kami saja, justeru pemerintahlah pencuri paling besar dan tidak seorangpun mempermasalahkannya…”, serta alasan-alasan mereka lainnya. Ini adalah iman bahwa mencuri itu haram, namun ia tidak sejalan dengan realita perbuatan, karena orangnya tidak mengarahkan kehidupannya di atas imannya itu dan dia tidak menahan diri dari mencuri, maka berdasarkan definisi iman menurut kalian dan sesuai mafhum ucapan kalian di sini berarti orang seperti ini adalah kafir..!!?
Sedangkan sudah maklum bahwa ini adalah pendapat Khawarij yang sesat…
Kemudian si penulis tersebut malah mengklaim bahwa definisi yang rancu ini adalah definisi yang shahih lagi akurat…!
Sungguh mengenaskan, memang apa yang membuatnya mencakup..?!
Ia tidak mencakup dan tidak mengumpulkan, kecuali kontradiksi dan pencampuradukan antara paham-paham yang sesat dan kelompok-kelompok yang menyimpang dari madzhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah…
Kemudian si penulis berkata: “Sekarang kami ingin memberikan contoh tentang Dewan Perwakilan (Parlemen) sehingga jelas bagi kita bagaimana hukum syar’iy itu dipahami” ─sampai ucapannya─ “dan agar vonis hukum itu syar’iy, maka pertama-tama kita meneliti realita yang ingin kita hukumi, kita menelitinya dengana cara atau metode yang telah Allah ajarkan kepada kita dengan penelitian yang akurat lagi cemerlang, agar kita mengetahui realitanya dengan segala kondisi yang melingkarinya, kemudian setelah itu kita meneliti hukum syar’iy yang tepat baginya”, terus berkata: “Dewan Perwakilan (Parlemen) adalah sekelompok orang yang dipercayai rakyat sebagai wakil mereka untuk menjalankan tugas-tugas perwakilan atas nama mereka di hadapan pemerintah. Apakah boleh bekerja mewakili rakyat dan apa saja pekerjaan-pekerjaan ini ?, sesungguhnya Undang Undang Dasar Yordania mengatakan: [Sesungguhnya wakil rakyat melakukan perbuatan-perbuatan ini: Pertama, dia harus sumpah setia. Kedua, ia memberikan kepercayaan atau mosi tidak percaya terhadap pemerintah. Ketiga, mengawasi kerja pemerintah. Keempat, membuat undang-undang. Dan kelima, menyampaikan tuntutan rakyat kepada pemerintah berupa perbaikan kondisi, baik itu berkaitan dengan individu maupun umum…]”, sampai dia berkata: “Perwakilan itu adalah suatu perbuatan, maka apakah orang muslim boleh mengangkat orang lain sebagai wakilnya untuk melakukan apa yang ingin ia kerjakan. (Ya !) di sana ada hal-hal yang tidak bisa diwakilkan seperti fardhu ‘ain bagi seseorang seperti kewajiban shalat” ─sampai ucapannya─ “adapun hal-hal yang mubah dan hal-hal yang wajib dilakukan tanpa melihat siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan macam kedua (yaitu hal-hal yang mubah dan fardhu kifayah, Pent), maka hal itu boleh baginya, sedangkan dalil hal itu adalah bahwa para shahabat suka saling mewakilkan satu sama lain di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mewakilkan itu adalah boleh secara syari’at. Adapun berkaitan dengan pekerjaan si wakil rakyat, maka ini dilihat, bila dia itu melakukan amalan-amalan pokok kaum muslimin, dia bersaksi bahwa Laa ilaaha illallaah dan dia berkata bahwa ia beriman, maka seluruh penduduk bumi tidak bisa mengeluarkan dia dari Islam walaupun dia fasiq dan dzalim”.
Maka saya katakan: Ketahuilah pertama-tama bahwa tabi’at pekerjaan atau tugas wakil rakyat (di Dewan Perwakilan Rakyat) atau anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah telah ditentukan oleh Dustur Kufriy (Undang Undang Dasar kafir), dan hakikatnya atau tabi’atnya tidak berubah oleh filsafat atau pentakwilan si penulis atau yang lain terhadapnya…
Undang Undang Dasar Yordania telah menegaskan sebagaimana dalam pasal (24) ayat (1) bahwa rakyat adalah sumber segala kekuasaan. Dan ayat (2) dari pasal yang sama menjelaskan cara yang dengannya rakyat lewat wakil-wakilnya dan menteri-menterinya menjalankan kekuasan-kekuasaannya ini; baik itu Legislatif atau Eksekutif ataupun Yudikatif.
Sedangkan teksnya: (Rakyat menjalankan semua kekuasannya sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan di dalam Undang Undang Dasar). Jadi si wakil rakyat itu mengawasi pemerintah atau membuat hukum atau mengutarakan tuntutan atau mewakili rakyat sesuai dengan ketentuan yang dijelaskan di dalam Undang Undang Dasar, dan bukan sesuai firman Allah atau sabda Rasulullah. Bila kita telah mengetahui hakikat ini, maka setelah itu kita bisa mengetahui hukum menjadi wakil rakyat atau membuat hukum atau ikut serta di dalam majelis-majelis syirik ini. Dan begitulah penelitian tentang hukum syar’iy ini benar-benar penelitian yang akurat lagi cemerlang. Adapun si penulis, maka sungguh dia telah mensyaratkan bahwa pengkajiannya itu adalah pengkajian yang akurat lagi cemerlang, kemudian dia malah memplintir tugas wakil rakyat dan cara kerjanya dengan cara yang menyelisihi realita parlemen-parlemen ini telah ditentukan oleh Undang Undang Dasar.
Dia menyamakan kerja wakil rakyat dengan wikaalah (akad perwakilan) yang terjadi di antara para shahabat dalam furudhul kifayah, dimana dia berkata sebelumnya “adapun hal-hal yang mubah dan hal-hal yang wajib dilakukan tanpa melihat siapa yang melakukan perbuatan-perbuatan macam kedua (yaitu hal-hal yang mubah dan fardhu kifayah, Pent), maka hal itu boleh baginya, sedangkan dalil hal itu adalah bahwa para shahabat suka saling mewakilkan satu sama lain di zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena mewakilkan itu adalah boleh secara syari’at”.
Maka saya katakan: Enyahlah dan enyahlah bagi akal-akalan semacam ini yang tidak laku dijual walau dengan sayuran[2], dan enyahlah bagi qiyas yang dengannya kaum musyrikin berikut lembaga-lembaga perwakilan syirik mereka diqiyaskan dengan shahabat dan akad perwakilan mereka yang syar’iy.
Apakah ini yang kalian namakan pengkajian yang akurat lagi cemerlang…?! ataukah seperti ini hukum syar’iy yang diambil…?!
Engkau telah mengetahui wahai saudara tauhid bahwa di antara hakikat dan tabi’at tugas wakil rakyat yang telah ditentukan oleh Undang Undang Dasar adalah bahwa ia itu dijalankan sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan di dalam Undang Undang Dasar kafir mereka, bukan dengan ketentuan yang dibuat-buat oleh mereka itu. Pelaksanaan perwakilan di dalam lembaga-lembaga syirik ini adalah dilakukan berdasarkan panduan point Undang Undang Dasar. Jadi ia secara pasti tidak seperti wikaalah syar’iyyah (akad perwakilan yang syar’iy) di dalam jual beli, nikah, sembelihan, sewa-menyewa atau hal-hal mubah dan boleh lainnya dalam syari’at ini.
Sedangakan perwakilan di sana adalah perwakilan di dalam melakukan kekafiran yang nyata yang Allah ta’ala telah mengingkarinya terhadap kaum musyrikin. Dia ta’ala berfirman:
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak Allah izinkan?” (Asy Syura: 21)
Jadi para wakil rakyat yang membuat hukum sesuai ketentuan Undang Undang Dasar itu adalah sembahan-sembahan yang dipilih oleh orang yang mewakilkan wewenangnya dalam pembutan hukum kepada mereka serta dia sekutukan mereka bersama Allah ta’ala:
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Yusuf: 39)
Orang yang mengqiyaskan perwakilan-perwakilan syirik ini terhadap wikaalah (akad perwakilan) dalam hal-hal yang fardhu kifayah atau yang lainnya yang terjadi di antara shahabat adalah berada di atas bahaya yang sangat besar, karena dia mengqiyaskan kaum musyrikin terhadap para shahabat yang bertauhid dan dia menyerupakan syirik dengan Islam dan tauhid, baik dia menyadari maupun tidak. Dan menyebabkan dia berbuat seperti itu adalah fanatik buta terhadap pendapat dan pemikiran yang membuatnya buta dan tuli serta menjerumuskan para penganutnya ke dalam ketergelinciran dan sikap ngawur.
Adapun ucapannya: “Adapun berkaitan dengan pekerjaan si wakil rakyat, maka ini dilihat, bila itu melakukan amalan-amalan pokok kaum muslimin, dia bersaksi bahwa Laa ilaaha illallaah dan dia berkata bahwa dia beriman, maka seluruh penduduk bumi tidak bisa mengeluarkan dia dari Islam walaupun dia fasiq dan dzalim”.
Maka dikatakan: Hai orang… kefasikan dan kedzaliman macam apa yang kamu bicarakan ini ??!
Sesungguhnya tugas para wakil rakyat itu adalah membuat undang-undang. Sesungguhnya ia adalah Al Fasiq Al Akbar dan Adh Dhulmu Al Akbar:
“Sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kezaliman yang amat besar”. (Luqman: 13).
Sesungguhnya ia adalah salah satu pembatal (Laa ilaaha illallaah) yang di antara konsekuensinya adalah kafir kepada segala sesuatu yang diibadati selain Allah, dengan bentuk ibadah macam apa saja, baik itu sujud, ruku, sembelihan, do’a, atau penyandaran hukum. Allah ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am: 121)
Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadrak-nya dengan isnad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sejumlah kaum musyrikin yang mendebat kaum muslimin perihal satu hukum saja, yaitu sembelihan, mereka berkata seraya mengingkari: “Apa yang Allah sembelih –yaitu bangkai- adalah haram, sedangkan apa yang kalian sembelih adalah halal…”, maka Allah ta’ala menurunkan: “Dan bila kamu menuruti mereka, maka sungguh kalian ini adalah benar-benar orang-orang musyrik”. (Al An’am: 121).
Bila saja orang yang menuruti para pembuat hukum dalam satu hukum saja adalah musyrik, maka bagaimana dengan orang yang memang dia sebagai pembuat hukum dan undang-undang dan kekuasaan pembuatan hukum dan undang-undang secara mutlak dilimpahkan kepadanya, sebagaimana dalam penegasan pasal (25) dari Undang Undang Dasar Yordania [Kekuasaan Pembuatan hukum dipegang oleh Majelis Rakyat dan Raja]…??![3].
Sedangkan amalan-amalan pokok Islam yang dituturkan oleh si penulis dan klaim iman serta syahadat Laa ilaaha illallaah adalah tidak bermanfaat bila disertai syirik akbar yang telah Allah firmankan:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada rasul-rasul sebelummu; “Jika kamu berbuat syirik niscaya akan hapuslah amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Az Zumar: 65)
Kemudian bagaimana dia berani mengatakan bahwa: “si wakil rakyat yang melakukan amalan-amalan pokok kaum muslimin, dia bersaksi Laa ilaaha illallaah dan dia berkata bahwa ia beriman, maka seluruh penduduk bumi tidak bisa mengeluarkan dia dari Islam”. Dan apakah lontaran ini benar setelah engkau mengetahui bahwa tabi’at tugasnya itu adalah syirik akbar, dan Allah ta’ala sendiri telah mengkafirkan orang-orang yang telah muncul dari mereka kekafiran yang lebih rendah dari hal ini, dan tidak berguna bagi mereka amalan-amalan pokok Islam, kesaksian Laa ilaaha illallaah dan klaim iman tatkala mereka mendatangkan hal yang mambatalkannya…
Mereka itu adalah orang-orang yang ikut dalam peperang yang tergolong peperang terbesar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ghazwah al ‘usrah (Tabuk), mereka ikut sebagai mujahidin lagi menampakkan al iman dan amalan-amalan pokok Islam serta mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadati selain Allah, kemudian tatkala muncul dari mereka ungkapan-ungkapan yang hakikatnya adalah perolok-olokan terhadap para shahabat penghapal Al Qur’an, maka Allah ta’ala mengkafirkan mereka, padahal mereka itu mengutarakan alasan bahwa mereka tidak bermaksud dengan hal itu atau meyakininya atau menghalalkannya, dan mereka tidak mengingkari sesuatupun dari dien, Islam dan iman, namun sebagaimana yang mereka katakan: “Ia itu adalah obrolan para musafir yang dengannya kami menghilangkan kepenatan di perjalanan”. Allah ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (At Taubah: 31)
Mereka itu adalah asalnya orang-orang yang beriman berdasarkan penegasan firman Allah, mereka ikut berangkat sebagai mujahidin bersama Rasulullah dalam peperangan terbesar !!, mereka melaksanakan amalan-amalan pokok Islam, dan mereka bersyahadat Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah, namun demikian mereka dikafirkan tatkala melontarkan ucapan-ucapan seperti itu.
Maka bagaimana dengan orang yang menjadikan dirinya sebagai tuhan pembuat hukum berdasarkan ketentuan Undang Undang Dasar kafir?? Yang melimpahkan kekuasaan pembuatan undang-undang (sulthah tasyri’iyyah) secara mutlak kepadanya, sebagaimana telah lalu dalam pasal (25) dan sebagaimana ditegaskan oleh pasal (95) ayat (1) bahwa [Boleh bagi 10 orang atau lebih dari anggota-anggora dewan kehormatan dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengusulkan pembuatan undang-undang].
Jadi permasalahannya tidak seperti apa yang dikhayalkan dan dipelintir oleh si penulis ini saat dia berbicara setelah itu di tengah-tengah pembicaraanya tentang tugas-tugas wakil rakyat… “Adapun keempat, yaitu membuat undang-undang, maka sesungguhnya yang pertama-tama membuat undang-undang adalah pemerintah terus pasal-pasal itu disodorkan kepada wakil rakyat, terus ia disetujui atau ditolak”. Selesai.
Sungguh engkau mengetahui bahwa ungkapan ini tidak akurat dan tidak cemerlang sebagaimana yang diisyaratkan oleh si penulis di dalam pengkajiannya sebelumnya, karena sungguh telah nampak jelas di hadapanmu dari pasal-pasal Undang Undang Dasar yang lalu bahwa si wakil rakyat itu membuat hukum dan mengusulkan pembuatan undang-undang.
Adapun ucapannya langsung setelah itu: “Dan dalam keadaannya seperti ini, maka diambil putusan berdasarkan suara mayoritas bila pasal ini berisi penghalalan yang haram atau pengharaman yang halal, terus si wakil rakyat itu memberikan suara penolakan karena pasal itu bukan dari Islam, maka si wakil rakyat yang menolak pasal yang mengharamkan yang halal atau sebaliknya itu telah melakukan maksiat, karena itu tidak menggunakan metode yang syar’iy dalam merubah kemungkaran ini, akan tetapi dia itu tidak keluar dari Islam sehingga ia tetap berstatus muslim lagi mukmin selagi dia mengakku Islam dan Iman”. Selesai. Maka ucapan yang disebut oleh penulisnya sebagai kajian yang akurat dan cemerlang ini menggambarkan si wakil rakyat itu seolah dia loncat masuk ke Parlemen begitu saja tanpa sebelumnya melakukan sesuatu dari al mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) seperti sumpah untuk komitmen dengan Undang Undang Dasar kafir dan setia kepada thaghut serta yang lainnya.
Dia menggambarkan tugas wakil rakyat seolah hanya penolakan terhadap undang-undang yang menentang ajaran Allah, padahal sesungguhnya hakikat sebenarnya adalah bukan ini sebagaimana yang sebagiannya telah engkau ketahui, sedangkan realita para wakil rakyat di perlemen-parleman syirik ini adalah mereka itu berlumuran berbagai mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan). Kita memohon keselamatan kepada Allah…
Akan tetapi kami di sini mengutarakan sebuah pertanyaan kepada pemilik ‘pengkajian yang cemerlang’ ini…
Kenapa kamu mengandai-andai pengajuan rancangan undang-undang yang menentang ajaran Allah, terus kamu mengandai-andai penentangan si wakil rakyat terhadapnya, dan kamu tidak mengandai sikap setuju dia terhadapnya, terus kamu menunjukan kami terhadap status hukum akan hal itu…??
Kami telah menyaksikan banyak wakil rakyat di lembaga Legislatif menyetujui dan memberikan suara dukungan terhadap undang-undang yang menyelisihi lagi menentang hukum Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, serta mereka ikut serta dalam penggodokannya, maka apakah ini hanya sekedar maksiat menurut kalian ?
Dan bila saya diminta mengutarakan contoh, maka contohnya –demi Allah- sangat banyak dan saya akan sebutkan untuk kamu contoh yang paling masyhur, yaitu Piagam Nasional yang mana kalangan Al Ikhwan Al Muslimin (IM) ikut serta di dalam panitia yang membuatnya. Piagam Nasional ini tidak lain adalah saudara Undang Undang Dasar, bahkan kembarannya yang tidak jauh berbeda kecuali sedikit saja, dan barangsiapa menginginkannya maka silahkan rujuk kesana.
Kami katakan juga, kenapa kamu tidak mengandai-andai pengajuan rancangan undang-undang yang sejalan dengan syari’at Allah, baik pengajuan itu dari pihak pemerintah atau dari wakil rakyat YANG MENGAKU MUSLIM ? ataukah kamu memilih-milih dalam pengkajianmu yang cemerlang ini contoh yang sejalan dengan hawa nafsu dan keinginanmu ?.
Bukankah dalam dewan yang lalu sebagian wakil rakyat yang mengaku Islam menuntut pembuatan undang-undang pengharaman khamr, terus rancangan undang-undang ini dilimpahkan untuk pemungutan suara, dan ternyata ada yang menyetujuinya dan ada pula yang menolak lagi menentang… maka apakah ini termasuk ajaran Allah ataukah termasuk ajaran thaghut ? dan bagaimana agama Allah disodorkan untuk pemungutan suara di mana ia diakui atau ditolak oleh mayoritas yang kafir lagi bejat…??!
Bukankah ini tergolong perolok-olokan terbesar terhadap agama Allah ta’ala…
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”. (An Nisa: 140)
Kemudian ucapannya: “diambil putusan berdasarkan suara mayoritas”, dia tuturkan begitu saja dan tidak dia ingkari, bukankah ini adalah hukum rakyat buat rakyat atau Demokrasi yang kafir (hukum mayoritas) ?. Bukankah ia bukan agama Allah ta’ala dan ajaran yang bukan ajaran-Nya ?, sedangkan Allah ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali Imran: 85)
Karena sesungguhnya hukum Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa tidak menganggap pendapat mayoritas dan tidak menghiraukan penolakan dan penerimaan suara mayoritas, manusia tidak memiliki hak pilih dan tidak berhak membuat hukum:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka, Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”. (Al Qashash: 68)
dan firman-Nya:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”. (Al Ahzab: 36)
dan firman-Nya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (An Nisa: 65)
Allah ta’ala berfirman tentang hukum dan pendapat mayoritas:
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (Yusuf: 103)
dan firman-Nya:
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (Al An’am: 116)
Sedangkan para anggota Parlemen yang mana si penulis di dalam kajiannya yang ‘cemerlang’ menghalangi (orang lain) dari mengkafirkan mereka itu adalah telah ikut serta di dalam Parlemen itu untuk merealisasikan tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan mereka lewat permainan mayoritas ini yang mana ia adalah Demokrasi, hukum rakyat untuk rakyat alias agama kafir baru. Terus si penulis malah memandang bahwa mereka dengan perbuatannya itu hanya sekedar berbuat maksiat dan bukan kekafiran, karena mereka itu ─sebagimana klaim dia─ hanya mengikuti suatu metode yang bukan metode syar’iy di dalam merubah yang mungkar, padahal sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa metode mereka itu adalah metode yang kafir lagi syirik.
Si penulis berkata dalam point pertama dari perbuatan wakil rakyat: “yaitu sumpah, dia bersumpah dengan Nama Allah Yang Maha Agung untuk setia kepada Raja dan komitmen terhadap Undang Undang Dasar serta melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dengan amanah. Seandainya kita bertanya kepadanya: “Bagaimana kamu sumpah seperti ini?” –dan pertanyaan ini memang sudah terjadi- maka dia berkata: [Pertama, saya bersumpah untuk setia kepada Raja, dan ini benar karena saya ini muslim dan saya menginginkan kebaikan bagi semua manusia, sedangkan Raja itu termasuk manusia, jadi kesetiaan saya kepadanya adalah bahwa saya sangat menginginkan ia itu komitmen dengan Islam, sedangkan komitmen saya dengan Undang Undang Dasar dan pelaksanaan tugas-tugas wajib yang diemban saya, sungguh di akhir sumpah saya mengatakan ‘sesuai dengan apa yang mendatangkan ridha Allah’]. Maka dalam keadaan seperti ini saya tidak bisa mencap dia kafir dengan sebab sumpah ini, namun ia tetap termasuk orang muslim”. Selesai.
Saya katakan: Ucapan kamu tentang wakil rakyat: “Saya bersumpah untuk setia kepada Raja, dan ini benar”, bagaimana kamu tulis ini dan mengakuinya di dalam kajianmu yang cemerlang ini, sedangkan Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
“Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu”. (An Nisa: 60)
Dan ucapannya setelah itu: “Sedangkan Raja itu termasuk manusia”. Kami tahu bahwa dia itu termasuk manusia dan bukan termasuk jin, tapi termasuk manusia macam apa ??. Manusia itu ada yang kafir dan ada yang muslim… Jadi kenapa kamu ini membuat pengkaburan dan mengakuinya. Bukankah si Raja ini adalah tuhan mereka tertinggi yang mana tidak ada satu hukumpun digulirkan kecuali dengan pengesahannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh Undang Undang Dasar mereka dan kepadanya kewenangan pembuatan hukum disandarkan secara mutlak ?? Bukankah dia yang telah menggugurkan syari’at Allah dan menggantinya dengan Undang Undang Dasar buatan yang busuk ?? Bukankah dia yang telah mengugurkan ajaran Allah dan menyebarkan kekafiran dan perolok-olokan kepada ajaran Allah di tengah negeri dan di tengah manusia serta melindungi dan menjaganya dengan undang-undang dan aparat keamanannya ?? Bukankah dengan perintahnya dan dengan undang-undangnya dilegalkan semua kebejatan, minuman keras, pelacuran dan pornografi, dan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan yang lainnya dijadikan saudara, serta wali-wali Allah yang bertauhid dijadikan musuh ??.
Adapun ucapannya setelah itu: “Jadi kesetiaan saya kepadanya adalah bahwa saya sangat menginginkan ia itu komitmen dengan Islam”, hingga akhir igauannya yang dengannya ia jejali kerjanya yang ‘cemerlang’ itu dalam rangka menutupi (kekafiran) para anggota Legislatif.
Maka saya katakan: Pasal (80) dari Undang Undang Dasar Yordania telah menegaskan bahwa [Setiap anggota dari anggota-anggota Dewan Kehormatan dan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum memulai dalam tugasnya, wajib menyatakan di hadapan dewannya sumpah yang berbunyi: “Saya bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung untuk setia kepada Raja dan tanah air , dan untuk komitmen terhadap Undang Undang Dasar”]
Sedangkan telah ada dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Muslim dengan sanadnya dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa: “Sumpah itu berdasarkan niat orang yang sumpah”.
Sedangkan semua sudah maklum bahwa maksud orang yang meminta sumpah di sini dan hakikat ucapannya: “Saya sumpah setia kepada Raja”, bukanlah seperti apa yang dibuat-buat dan dinukil oleh si penulis dalam nukilannya dari orang-orang yang dia bela: “Bahwa saya menginginkan ia itu komitmen dengan Islam”, akan tetapi maksud orang yang meminta sumpah dari hal itu adalah: (Tidak membangkang terhadapnya atau khianat kepadanya atau menghujatnya atau berupaya mengkudeta pemerintahnya atau membantu musuhnya walaupun musuh itu dari kalangan muwahhidin pilihan serta hal-hal seperti itu). Inilah yang mereka maksudkan dari sumpah itu, dan ini adalah maksud dari niat orang yang meminta sumpah, sedangkan sumpah itu sebagaimana di dalam hadits adalah keluar sesuai dengan niat orang yang meminta sumpah ini, bukan sesuai niat orang yang sumpah…
Sedangkan pentakwilan-pentakwilan dan akal-akalan yang dituturkan oleh si penulis tersebut adalah tidak bisa merubah hakikat sumpah kafir ini, karena pengrubahan nama-nama itu tidaklah merubah sedikitpun dari hakikat isi sebenarnya. Alangkah serupanya mereka itu dengan orang-orang yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Segolongan dari ummatku meminum khamr seraya menamakannya dengan selain namanya”, maka ini adalah seperti ini, bahkan Allah adalah lebih dasyat, karena syirik dan sumpah untuk menghormati thaghut yang padahal Allah telah memerintahkan agar kafir terhadapnya dan berlepas diri dari undang-undangnya adalah tidak ragu bahwa itu lebih dasyat dan lebih busuk daripada minum khamr.
Suri tauladan mereka dalam mempermainkan nama untuk mengkaburkan hakikat sebenarnya itu adalah Iblis terlaknat, karena dialah yang paling pertama memcontohkan kesesatan ini saat dia menamakan pohon kenistaan dan kerugian dengan nama pohon kekekalan dalam rangka mengeluarkan al haq dengan al bathil dan dalam rangka menyesatkan Adam ‘alaihissalam.
Adapun pengudzuran dia bagi para anggota Legislatif yang musyrik itu dengan sebab ucapan mereka: “Sedangkan komitmen saya dengan Undang Undang Dasar dan tugas-tugas yang wajib diemban saya, sungguh saya di akhir sumpah saya mengatakan: ‘Sesuai dengan apa yang mendatangkan ridha Allah’. Maka dalam keadaan seperti ini saya tidak bisa mencap kafir dengan sebab sumpah ini, namun ia tetap termasuk orang muslim”.
Maka saya katakan: Demi Allah, ini termasuk keajaiban yang sangat mengherankan, dan ia termasuk keajaiban-keajaiban zaman ini yang mana akal orang-orangnya sudah terbalik.
Andai kau hidup, sungguh akan melihat keajaiban-keajaiban
Bila hatimu masih hidup lagi tak tersesatkan…
Siapa hatinya mati, maka selamanya tidak akan sadar
Walau kau datangkan berbagai bukti nyata…
Karena hakikat sebenarnya ucapan kafir ini adalah sebagai berikut: [Saya bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung untuk komitmen terhadap kemusyrikan yang nyata dan untuk menjalankan kemusyrikan yang jelas (Sesuai dengan apa yang mendatangkan ridha Allah) !!!].
Undang Undang Dasar itu adalah kekafiran yang nyata[4] dan kewajiban terpenting anggota Legislatif itu adalah membuat undang-undang sesuai ketentuan Undang Undang Dasar…!!
Bagaimana dia bersumpah dengan nama Allah Yang Maha Agung untuk setia kepada ajaran yang bukan ajaran Allah, bahkan (untuk setia) kepada ajaran yang memerangi ajaran Allah, dan bagaimana dia bersumpah untuk menjalankan kemusyrikan yang telah Allah haramkan (sesuai dengan apa yang mendatangkan ridha Allah) ??. Dalam ajaran apa bahkan dalam akal model apa kekafiran yang hina lagi kontradiksi ini bisa sejalan ?? Apakah Allah ta’ala meridhai sesuatu dari kekafiran atau kemusyrikan atau undang-undang thaghut ?? Bukankah ini termasuk perolok-olokan terhadap ajaran Allah ta’ala dan menjadikannya bahan mainan dan lelucon…??
Adapun ucapannya setelah itu: “Adapun yang kedua –yaitu tugas wakil rakyat- yaitu memberikan kepercayaan atau mosi tidak percaya terhadap pemerintah, maka sesungguhnya ia adalah keluar dari hukum syar’iy dan bukan keluar dari Islam…”, terus dia mulai menjelaskan bahwa mosi tidak percaya terhadap pemerintah ini di dalam Islam adalah bukan dengan cara ini, sehingga perbuatan si wakil rakyat ini hanya mukhaalafah syar’iyyah (yaitu maksiat) dan bukan kekafiran.
Maka kami katakan kepada pemilik kajian yang akurat lagi cemerlang ini; ini pada mosi tidak percaya… kita tinggalkan ini dulu, sekarang kami memiliki bantahan terhadapnya, tapi bagaimana tentang pemberian kepercayaan terhadap sistem thaghut dan pemerintah yang mengugurkan syari’at Allah, memerangi ajaran Allah dan menyebarkan perolok-olokan terhadap hududullah, menjaganya dan melindunginya lewat sarana-sarana informasinya siang dan malam, baik yang dibaca, yang didengar maupun yang dilihat, dia loyalitas kepada musuh-musuh Allah dan memusuhi wali-wali-Nya. Bagaimana kamu lancang mengatakan bahwa itu sekedar keluar dari hukum syar’iy dan bukan keluar dari Islam ??? Apa timbangan syar’iy menurut kamu ? Bukankah pemberian kepercayaan itu adalah penampakkan dukungan terhadap pemerintah dan persetujuan terhadapnya, bukankah ia sama seperti pembai’atan kepadanya, ridha dengannya, menerima kekuasannya dan kepemimpinannya, serta berserah pada hukum-hukum thaghutnya ?, terus si penulis malah mengatakan tentangnya: “Memberikan kepercayaan atau mosi tidak percaya terhadap pemerintah adalah keluar dari hukum syar’iy dan bukan keluar dari Islam”…???, sungguh dangat mengherankan…!
Apakah termasuk pengkajian yang akurat ucapan ini dilontarkan, terus kamu menipu dan menyibukan pembaca dengan penjelasan tentang (mosi tidak percaya) karena ia ringan menurut kamu, dan kamu berpaling dari (pemberian kepercayaan) yang kamu jadikan sama dengan mosi tidak percaya ?
Terus dia berbicara tentang tugas ketiga si wakil rakyat, yaitu PENGAWASAN pemerintah di mana dia berbicara tentang kekurangan di dalam pelaksanaan tugas ini, umpamanya memerintahkan hal yang ma’ruf dan meninggalkan hal yang ma’ruf lainnya, atau melarang dari yang munkar dan meninggalkan lainnya, dan dia namakan hal seperti itu sebagai maksiat dan bukan kekafiran, seperti hal yang lalu, sehingga si wakil rakyat itu menurut dia masih berada dalam lingkaran Islam.
Pembicaraan dia yang panjang lebar perihal penetapan dosa bagi si wakil rakyat, mengingkari sesuatu dan membiarkan sesuatu yang lain adalah memberikan anggapan bahwa pokok tugasnya dalam bidang ini adalah diisyari’atkan, padahal telah nampak di hadapanmu dalam uraian yang lalu bahwa muhasabah (pengawasan) yang dibandingkan oleh mereka itu ─karena kedunguan─ dengan hisbah (amar ma’ruf dan nahi munkar) di dalam Islam adalah tidak bisa dijadikan juga tugas-tugas yang lainnya oleh si wakil rakyat tersebut kecuali lewat ketentuan Undang Undang Dasar dan langkah-langkah yang telah digariskan oleh undang-undang. Sungguh engkau telah mengetahui sebagaimana telah lalu dalam pasal (24) ayat (2), bahwa [Rakyat menjalankan kekuasaannya sesuai ketentuan yang telah dijelaskan oleh Undang Undang Dasar].
Kekuasaan Legislatif dan para anggotanya melakukan pengawasan sesuai dengan Undang Undang Dasar dan undang-undang, dimana si wakil rakyat itu menjelaskan bahwa pemerintah atau pihak terkait tertentu telah menyalahi undang-undang pidana umpamanya atau pasal sekian dari Undang Undang Dasar Yordania…
Pengawasannya ini tidak terjadi kecuali dengan cara ini, dan tidak seperti apa yang diakal-akali oleh mereka itu, di mana mereka menjadikannya seperti hisbah di dalam Islam, terus mereka mengklaim paling pengalaman terhadap waqi’ dan politik, dan mereka menuduh orang lain tidak ahli dalam hal ini…
Sudah maklum bahwa si wakil rakyat seandainya melakukan pengawasan dengan ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits Nabi tentulah hal itu tidak diterima darinya selamanya, serta pengawasannya dengan ayat-ayat dan hadits-hadits itu tidak akan merubah sedikitpun dari realita kekafiran mereka, dan lagi pula itu tidak akan diterima darinya kecuali bila dia memberikan kepada ayat-ayat dan hadits-hadits itu celupan hukum dari Undang Undang Dasar dan undang-undang, umpamanya dia menyebutkan pasal Undang Undang Dasar yang menegaskan bahwa (agama negara adalah Islam) atau bahwa (syari’at Islam adalah salah satu sumber hukum) sebagaimana ia dalam banyak negara, terus dia menyebutkan nash-nash syari’at (berupa ayat dan hadits) itu di dalam cara ini dikendalikan oleh pasal-pasal dari undang-undang thaghut mereka, maka tetap saja pengawasan dengan cara yang busuk ini tidak akan diterima, akan tetapi ia harus melewati jalur-jalurnya yang sudah diatur undang-undang, juga jalan-jalannya, panitia-panitianya, pengambilan suara, diskusi, tarik ulur dan pelembekan, yang semuanya termasuk menjadikan ajaran Allah sebagai mainan dan perolok-olokan. Maka enyahlah bagi orang yang menempuh jalan yang bengkok dan cara yang kafir seperti ini, atau orang yang menambali cara ini dan mendatangkan syubhat-syubhat yang bathil dalam rangka melegalkannya.
Si penulis berkata di akhir tulisannya: “Ibadah kepada thaghut adalah mensucikannya, sedang thaghut adalah apa yang diibadati selain Allah. Adapun pelaksanaan pemerintah dan komitmen dengannya adalah sama sekali bukan termasuk ibadah, karena ibadah itu tunduk, taat dan loyalitas atas dasar kerelaan”. Selesai.
Ucapannya: “Ibadah kepada thaghut adalah mensucikannya”. Ia adalah definisi yang tidak mencakup, karena di antara ibadah kepada thaghut adalah mentaatinya di dalam hukum buatannya dan berhakim kepadanya walaupun tidak mensucikannya. Allah ta’ala berfirman:
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepadanya” (An Nisa: 60)
dan firman-Nya ta’ala:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah” (At taubah: 31) hingga akhir ayat.
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan hal itu dalam hadits ‘Adiy ibnu Hatim yang shahih dari gabungan seluruh riwayat-riwayatnya, bahwa ia adalah mentaati mereka dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan bukan mensucikan mereka sebagaimana yang diklaim oleh si penulis.
Ibadah kepada thaghut adalah lebih luas daripada mensucikan, dan orang yang mendefinisikannya atau membatasinya dengan pensucian adalah dituntut untuk mendatangkan dalil, justeru pemalingan suatu ibadah kepada thaghut adalah peribadatan kepadanya, lagi pula pendefinisian (ibadah kepada thaghut dengan pensucian) adalah definisi yang yang tidak menutup, karena ini berarti bolehnya mengabdi thaghut dengan selain pensucian.
Padahal sudah maklum bahwa di antara ibadah itu ada suatu yang berbentuk kecintaan kepada dunia atau pengedepanan berbagai kepentingan, dan berat dengan materi atau khawatir terhadap harta benda, sebagaimana yang Allah ta’ala tuturkan tentang Fir’aun perihal Banu Israin:
“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita?”. (Al Mukminuun: 47)
padahal Banu Israil itu tidak mensucikan Fir’aun, dan sebagaimana firman-Nya:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu” (Yasin: 60)
Sedangkan mayoritas orang yang menyembah syaitan adalah tidak mensucikannya[5], dan peribadatan kepadanya adalah mengikutinya dan tunduk kepada kebathilannya, dan di antara hal itu ada yang merupakan kekafiran dan ada yang merupakan maksiat tergantung apa yang diikutinya. Barangsiapa yang mengikuti dan mentaati syaitan dalam menghina Allah atau ajaran-Nya maka dia telah mengibadatinya dan mentaatinya dengan peribadatan dan ketaatan yang mengkafirkan tanpa pensucian. Barangsiapa mentaatinya dalam maksiat, maka dia telah mengibadatinya dengan peribadatan yang tidak mengkafirkan. Syaitan itu adalah thaghut… bahkan dialah thaghut terbesar, dan jarang yang mensucikannya padahal sangat banyak para penyembahnya.
Adapun ucapannya: “Sedang thaghut adalah yang diibati selain Allah”, maka ini juga definisi yang tidak menutup dan tidak akurat, karena ia adalah luas mencakup segala yang diibadahi selain Allah, seperti para Malaikat, para nabi seperti Isa ibnu Maryam serta para wali yang shalih yang tidak ridha dengan peribadatan kaum mereka terhadap mereka, sehingga konsekuensi definisi ini adalah bahwa Isa ibnu Maryam itu thaghut… dan mana mungkin kita menamakan ini, akan tetapi si penulis ini menjerumuskan dirinya sendiri, dan kajiannya yang ‘akurat lagi cemerlang’ berikut definisi-definisi yang ‘akurat’ itu telah menjebak dirinya sendiri… semoga Allah memberinya hidayah kepada kebenaran yang nyata.
Jadi definisi ini harus dibatasi dengan suatu batasan, di mana semestinya dikatakan “Thaghut adalah suatu yang diibadati selain Allah dengan macam ibadah apa saja sedang dia ridha dengan peribadatan itu”. Ini berkaitan dengan makhluk, sehingga keluar dengan sebab ucapan kita (sedang dia ridha dengan peribadatan itu) makhluk yang diibadati namun dia tidak ridha dengan peribadatan itu seperti Malaikat, para nabi dan orang-orang shalih. Dan masuk dengan ucapan kita (dengan macam ibadah apa saja) ini shalat, sembelihan, do’a, begitu juga penyandaran pembuatan hukum, putusan hukum, penghalalan dan pengharaman.
Ucapannya: “Adapun pelaksanaan perintah dan komitmen dengannya adalah sama sekali bukan termasuk ibadah”. Selesai.
Maka saya katakan: Ini adalah ucapan yang ngawur dan tidak akurat karena ia tidak dibatasi, padahal sudah maklum bahwa di antara perintah itu ada yang merupakan kekafiran dan kemusyrikan, dan di antaranya ada yang dibawah itu, jadi mesti ada rincian, pemilahan dan pembatasan…
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan tentang sebagian orang yang sebelumnya muslim, bahwa mereka itu murtad dengan sebab mereka menjanjikan kepada orang-orang kafir bahwa mereka akan mentaati mereka dalam sebagian perintah !!. Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”. (Muhammad: 25-26)
Mereka itu menjanjikan kepada orang-orang kafir bahwa mereka akan mentaati mereka dalam sebagian urusan mereka, maka bagaimana dengan orang-orang yang benar-benar mentaati orang-orang kafir dan orang-orang musyrik dalam sebagian undang-undang mereka dan urusan kafir mereka…?? Dan bagaimana dengan orang yang mentaati mereka dalam segala perintah dan undang-undang mereka…??
Adapun ucapannya yang terakhir: “Karena ibadah itu tunduk, taat dan loyalitas atas dasar keridhaan dan kerelaan”.
Maka saya katakan: Dengan ucapan ini dia menggugurkan ucapannya yang lalu (ibadah kepada thaghut adalah mensucikannya) sebagaimana ia juga menggugurkan ucapannya setelah itu (Adapun pelaksanann perintah dan komitmen dengannya adalah sama sekali bukan termasuk ibadah) karena di sini dia menetapkan bahwa tunduk dan taat adalah ibadah. Apa yang dia maksud dengan pelaksanaan perintah dan komitmen dengannya secara muthlak tanpa merinci antara macam perintah dengan perintah macam lain selain ketundukan dan ketaatan…?
Ini catatan paling penting terhadap tulisan tersebut, saya memohon kepada Allah agar Dia memberi petunjuk kepada saya dan kepada si penulis kepada jalan yang lurus, dan semoga dia menjadikan bantahan saya ini sebagai pembelaan bagi al haq dan dien lagi tulus untuk Wajah-Nya Yang Mulia.
Ya Allah, Tuhan Jibril, Mikail dan Israfil. Dzat Yang Mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak, Pencipta langit dan bumi. Engkau memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam apa yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami kepada al haq dalam apa yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau memberi hidayah orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus…
Ditulis oleh: Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Penjara Sawaqah, 24 Dzul Hijjah 1416 H
Ya, kami akan mati… namun kami akan mencabut dari negeri kami semua kekafiran.
Ya, kami akan mati… namun kami akan hadiahkan kepada anak kami kesyahidan !
Selesai diterjemahkan: Malam Sabtu, 29 Jumada Ats Tsaniyah 1428 H
Penjara Sukamiskin Bandung
[1] Dia katakan ini setelah dia mengetahui bahwa saya telah menulis bantahan terhadap lontaran tulisan itu. Adapun sebelum itu sungguh dia telah berkata kepada kepada al akh yang saya utus itu: “Bahwa definisi Al Iman yang dituturkan Abu ‘Adil adalah definisi yang dianut HT, akan tetapi ia memiliki pemahaman khusus seputar penerapan ‘amaliy terhadapnya, dan bahwa mereka tidak keberatan bila anggota-anggota HT memiliki ijtihad-ijtihad khusus bagi mereka, akan tetapi ini tidak berati bahwa HT menganutnya”. Selesai.
[2] Dari ungkapan Abdurrahman Ibnu Hajar Al Hasaniy Al Jazairiy rahimahullah dalam bantahannya terhadap orang-orang yang menambali kekafiran pengusung undang-undang.
[3] Undang Undang Dasar Yordania hanya sebagai contoh, karena syaikh berada di sana, dan Undang Undang Dasar semua negara inti-intinya adalah sama, termasuk Undang Undang Dasar Negara Indonesia ini.Pent.
[4] Orang yang tidak mengetahui bahwa Undang Undang Dasar itu adalah kekafiran yang nyata, semestinya dia menangisi dirinya dan bersegera dia mengkaji dan mempelajarinya. Dia bisa merujuk risalah kami yang ringkas seputar contoh-contoh kekafiran Undang Undang Dasar, kami telah menulisnya di penjara ini dengan judul Kasyfuz Zuur Fii Ifki Nushush Ad Dustur dan ia adalah Mukhtashar Kasyfi An Niqab ‘An Syari’atil Ghaab.
[5] Saya katakan (mayoritas), karena ada orang yang menyembahnya dengan peribadatan pensucian, mereka itu adalah kelompok Yazidiyyah di Irak dan Suriah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar