Pages

Dakwah "Salafy" Dakwah Murji'ah (Membongkar Kebohonan Ali Hasan Al Kadzdzab Bagian 4)

Pemuthlaqan Murji’ah Terhadap Kaidah “Dan Kami Tidak Mengkafirkan Orang Muslim Dengan Sebab Dosa Selama Ia Tidak Menganggapnya Halal” Padahal Salaf Membatasinya

(6). Kemudian setelah itu Al Halabiy panjang lebar menukil dari ucapan Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Taimiyyah serta yang lainnya tentang bantahan terhadap orang yang mengkafirkan dengan sekedar dosa.
Namun Al Halabiy tidak membedakan antara dosa-dosa mukaffirah dengan ghair mukaffirah.
Dia memuthlaqan perkataan ulama dalam hal ini semuanya, dan ini sumber penyakit pada Ahlittajahhum wal Irja, oleh sebab itu mereka memasukkan ucapan ke dalam ucapan ulama makna yang tidak dikandung oleh ucapan itu, dan mereka menuturkan nukilan-nukilan mereka dari mereka itu “atas selain maknanya, seraya menukilnya sembari memalingkan maksudnya”…!!! Dan inilah yang dituduhkan Al Halabiy kepada orang lain…!!!
Perhatikanlah ucapan Ibnu Taimiyyah yang dinukil Al Halabiy hal 19: “Dan telah menjadi hal yang baku dari Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah sesuai apa yang ditunjukan Al Kitab dan As Sunnah: bahwa mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahlul Kiblat dengan sebab dosa dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan bila itu perbuatan yang dilarang seperti zina, pencurian dan minum khamr selama tidak mengandung peninggalan iman. Adapun bila mengandung peninggalan apa yang telah Allah perintahkan untuk beriman kepadanya seperti iman kepada Allah, malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan kebangkitan setelah kematian; maka sesungguhnya dia dikafirkan dengannya. Dan begitu juga dia dikafirkan dengan sebab tidak meyakini wajibnya kewajiban-kewajiban yang nampak lagi mutawatir serta tidak mengharamkan hal-hal yang diharamkan yang nampak lagi mutawatir” Selesai.

Dan perhatikanlah bagian dari ucapan beliau yang Al Halabiy girang dengannya, dimana dia menjadikannya dengan huruf hitam (yang nampak)44, yaitu ucapannya: “dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan Bila itu perbuatan yang dilarang seperti zina, pencurian, dan minum khamr selama tidak mengandung peninggalan Al Iman” Selesai.
Maka apakah perselisihan kita dalam hal seperti ini (zina, pencurian, minum khamr)…???
Bila ternyata bukan di dalamnya…??? Maka kenapa memperbanyak nukilan tentangnya…???
Dan telah jelas di hadapanmu keculasannya dan pencampuradukkannya dalam apa yang telah lalu…, karena dia memaksudkan dari ini –dan mengklaim– bahwa Ahlus Sunnah tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan apa saja selama tidak disertai dengan pengguguran al iman yang bersifat hati (juhud), termasuk meskipun amalan itu tergolong apa yang dinashkan oleh Allah bahwa ia adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah…!!! Seperti tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD), tahakum kepada thaghut dan pencarian dien, hukum dan aturan selain Islam, dan inilah yang berjalan di negeri kita hari ini. Hal itu menurut dia dan orang-orang yang semisal dengan dia adalah amalan yang tidak mengeluarkan dari Islam selama tidak mengandung (pengingkaran hati/juhud qalbiy)…!!! Terus mereka menisbatkan ini secara dusta dan mengada-ada kepada Ahlus Sunnah…!!!
Dan pemuthlaqan ini dikuatkan dengan permainan dia dalam pencetakan di mana dia menjadikan ungkapan yang penting baginya dengan tulisan berwarna hitam (yang nampak), yaitu: “dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan… selama tidak mengandung peninggalan Al Iman”. Adapun ucapan yang menafsirkan hal itu maka dia telah membiarkannya dengan huruf biasa, yaitu ucapan Syaikhul Islam: “bila itu perbuatan yang dilarang seperti zina, pencurian dan minum khamr”.
Perhatikanlah bagaimana dia berupaya keras menghapus penjelasan ini, beserta pengulangan dan penampakkan ithlaq (lontaran) itu…!!! Dan mungkin saja dia berangan-angan andai dia mampu untuk membuangnya sebagaimana yang dia lakukan terhadap ucapan Ibnu Hazm sebelumnya, akan tetapi di sini dia melolong, karena keterbongkaran aib adalah lebih nampak dan lebih jelas.
Ucapan Ibnu Hazm yang dipenggal dan dibuang oleh Al Halabiy sebelumnya ada di akhir ungkapan, dan dia akan menutupi itu dengan apa yang dia suka. Adapun di sini maka ucapan yang menelanjangi dia ada di tengahnya, sedangkan membuangnya adalah bolongan yang tidak bisa tertutupi, oleh sebab itu Al Halabiy merasa cukup dengan permainan dalam cetakan dan tinta, sebagai bentuk pelecehan darinya terhadap akal para pembacanya yang mana tulisan-tulisan dia dibagikan terhadap mereka. Dan dia seolah berinteraksi dengan orang-orang dungu atau menulis bagi anak-anak yang mudah ditipu dengan penyulapan huruf atau penghitaman pena…!!!
Tinggalkan darimu tulisan, karena kamu bukan ahlinya
Walau kamu poles hitam dengan tinta
Dan serupa dengan itu ucapan Syaikhul Islam yang dia tulis dengan tulisan tebal: “Dan begitu juga dia dikafirkan dengan sebab tidak meyakini wajibnya kewajiban-kewajiban yang nampak lagi mutawatir serta tidak mengharamkan hal-hal yang diharamkan yang nampak lagi mutawatir”. Selesai.
Perhatikanlah penekanannya terhadap i’tiqad di sini karena ia ingin melakukan pengulangan terhadap ucapan-ucapan yang telah dia tetapkan sebelumnya.
Oleh sebab itu dia berkata langsung sesudahnya dengan penuh kebusukan yang nampak terbuka dan tanpa malu dari manusia atau takut terhadap Allah: “Saya berkata: Jadi masalah ini semuanya dalam lingkungan kekafiran adalah dibangun di atas pengguguran Al Iman dan ketidakadaan keyakinan” Selesai.
Perhatikanlah: Masalah ini semuanya…!!! Begitu saja tanpa ada rincian…!!!
Kemudian datang pengekor atau muqallid, terus dia menisbatkan ithlaq (lontaran) semacam ini kepada Syaikhul Islam, Ahlus Sunnah dan salaf…!!!???
Maka apa yang mesti kami katakan…???!!!
Dan sebelum meninggalkan tempat ini saya ingin menjelaskan kepada pencari al haq bahwa ucapan Syaikhul Islam bahwa Ahlus Sunnah: “tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahli Kiblat dengan sebab dosa” ditafsirkan dengan apa yang beliau tuturkan langsung sesudahnya: “dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan bila perbuatan itu dilarang seperti zina, pencurian dan minum khamr selama tidak mengandung peninggalan Al Iman”. Selesai.
Dan beliau mengisyaratkan dengan hal itu kepada kaidah yang masyhur: “Dan kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan sebab dosa selama dia tidak menganggapnya halal”. Dan telah kami jabarkan kaidah ini berikut rincian di dalamnya dalam kitab kami (Imta’un Nazhar Fi Kasyfi Syubuhat Murji-atil ‘Ashri) yang ringkasnya:
Bahwa kaidah ini harus dibatasi –sebagaimana yang dilakukan Syaikhul Islam dalam ucapannya ini– dengan dosa-dosa dan maksiat-maksiat yang tidak membuat kafir seperti zina, khamr, pencurian dan yang lainnya. Dan tidak boleh memuthlaqannya terhadap setiap dosa.
Karena syirik terhadap Allah adalah dosa sebagaimana dalam hadits: “Bahwa seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar? Berkata: Engkau menjadikan tandingan bagi Allah sedang Dia yang telah menciptakanmu…” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Mencela Allah dan Rasul-Nya adalah dosa, membunuh para nabi adalah dosa, membuang mushhaf ke comberan adalah dosa, sujud kepada patung adalah dosa dan membuat hukum di samping (hukum) Allah adalah dosa.
Namun demikian sungguh engkau telah mengetahui bahwa pelaku hal-hal itu semuanya adalah kafir, baik dia menganggap halal atau tidak menganggap halal, oleh sebab itu Syaikhul Islam berkata di tempat lain: “Dan telah sepakat kaum muslimin bahwa orang yang tidak mendatangkan dua kalimah syahadat maka ia kafir, dan adapun amalan yang empat maka mereka telah berselisih dalam hal takfier orang yang meninggalkannya. Dan kami bila mengatakan bahwa Ahlus Sunnah telah sepakat untuk tidak dikafirkannya (seseorang) dengan sebab dosa, maka kami hanyalah memaksudkan dengannya maksiat-maksiat seperti zina dan minum (khamr). Adapun mabani (rukun-rukun Islam yang empat) ini maka dalam pengkafiran (orang yang meninggalkan)nya ada perselisihan yang masyhur”. Selesai (Majmu Al Fatawa 7/302).
Saya berkata: Maka bagaimana dengan pokok segala pokok (yaitu tauhid) yang mana mabani ini tidak akan diterima tanpanya…???
Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam terhadap maksudnya dan maksud Ahlus Sunnah dari kaidah ini dan pembatasannya terhadap kaidah tersebut secara tegas dengan amalan-amalan yang tidak membuat kafir (ghair mukaffirah).
Kemana Al Halabiy dan orang-orang semacam dia dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja lari dari takfier dan penjelasan ini…!!!
Dan kenapa mereka melipatnya dan menyembunyikannya…???
Ketahuilah, bahwa Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal telah mengingkari juga ithlaq itu yang mana Al Halabiy dan orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja berupaya memanipulasinya, memberlakukannya dan menjajakannya.
Al Khallal berkata: “Muhamamd Ibnu Harun mengabarkan kepada kami bahwa Ishaq Ibnu Ibrahim mengabarkan mereka, ia berkata: Saya menyaksikan seseorang bertanya kepada Abu Abdillah, dia berkata: Wahai Abu Abdillah, kesepakatan kaum muslimin akan iman terhadap qadar, yang baik dan yang buruk? Abu Abdillah berkata: Ya. Ia bertanya (lagi): Dan kita tidak mengkafirkan seseorang pun dengan sebab dosa? Abu Abdillah berkata: Diam, siapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir dan siapa yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq maka ia kafir”. Selesai, dari Al Musnad tahqiq Ahmad Syakir 1/79.
Yang aib dan cacat itu bukanlah pada kaidah itu, akan tetapi aib itu hanyalah pada pemahaman penganut jahmiyyah terhadapnya, pemuthlaqannya, pengumumannya serta tidak mmebatasinya sesuai cara yang telah engkau ketahui.
Oleh sebab itu Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Alu Asy Syaikh berkata seraya mengisyaratkan kepada ucapan Ahmad ini, saat beliau membantah sebagian orang-orang zaman beliau yang mengingkari Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab atas sikap takfirnya terhadap sebagian orang yang jatuh pada kemusyrikan, beliau berkata: “Dan di dalamnya terdapat isyarat bahwa ia tidak mengetahui maksud ulama dengan ucapan mereka: (Ahlul Kiblat tidak boleh dikafirkan dengan sebab dosa), dan ia tidak mengetahui maksud ulama ini dan asal muasal kalimat ini serta apa konteks yang karenanya (kalimat ini) dilontarkan, sehingga ucapannya adalah kegelapan-kegelapan yang bertumpuk-tumpuk, dan sungguh Al Imam Ahmad telah mengingkari ucapan manusia: (Kami tidak mengkafirkan Ahlil Kiblat dengan sebab dosa), padahal sesungguhnya maksud orang yang mengatakannya adalah benar, dan Ahmad tidak menolaknya, namun masalahnya adalah dalam lafazh-lafazh dan ‘umumat (kata-kata umum), apa yang bisa diterima darinya dan apa yang ditolak”. Selesai.45
Pensyarah Ath Thahawiyyah berkata hal (317) dalam rangka komentar terhadap ucapan: (Dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat dengan sebab dosa selama ia tidak menganggapnya halal): “Dan oleh karenanya banyak dari para imam menolak dari pelontaran ucapan ini (yaitu) bahwa kami tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab dosa, namun dikatakan: Kami tidak mengkafirkan mereka dengan sebab setiap dosa sebagaimana yang dilakukan Khawarij. Dan berbeda antara penafian yang umum dengan penafian keumuman, sedangkan yang wajib adalah penafian keumuman, sebagai pengguguran terhadap pendapat Khawarij yang mengkafirkan dengan setiap dosa” Selesai46
Permainan Al Halabiy Dengan Ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Dan
Klaimnya Bahwa Ucapan Syaikh Semuanya Berseberangan Dengan Orang Yang
Mengkafirkan Orang-Orang Yang Menerapkan Undang-Undang

(7). Setelah itu Al Halabiy berupaya –dengan ‘amanah ilmiyyahnya’– hal 42 untuk (mengemas ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Alu Asy Syaikh… di mana dia menuturkan darinya apa yang sejalan dengan hawa nafsunya, berupa ucapannya tentang firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan…” dan dia melipat...!!! serta berpaling dari ucapan beliau yang tegas lagi jelas dalam fatwanya itu sendiri dan yang berkaitan dengan realita hari ini berupa ittiba’ (mengikuti) aturan-aturan kafir dan berhakim kepadanya –sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa ini adalah hal lain di luar sekedar “meninggalkan sesuatu dari pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan”- dan dikarenakan ucapan Syaikh sangat tegas menyatakan bahwa itu adalah kekafiran dan pengguguran terhadap syahadat” bahwa Muhammad Rasulullah; Oleh sebab itu Al Halabiy melipatnya dan mengutip dari fatwa itu apa yang dia inginkan dan dia sukai, dan saya ketengahkan kepada anda ucapan Syaikh dengan teksnya:
Beliau berkata: “Ke lima: Dan ia adalah yang paling dahsyat atau paling menyeluruh dan paling nampak penentangannya terhadap syari’at dan pembangkangannya terhadap hukum-hukumnya dan penyelisihannya terhadap Allah dan Rasul-Nya serta penyerupaannya terhadap mahkamah-mahkamah syar’iyyah, persiapannya, pendukungnya, pengawasannya, penetapan intinya, pencabangannya, pembentukannya, peragamannya, pemutusannya, pengharusan dilaksanakan (putusan) nya (itu), referensi-referensinya dan sandaran-sandarannya. Sebagaimana Mahkamah-mahkamah syar’iyyah itu memiliki referensi dan sandaran (rujukan), yang mana rujukannya kepadanya semuanya, maka mahkamah-mahkamah ini memiliki rujukan-rujukan, yaitu undang-undang yang diambil dari hukum-hukum yang beraneka ragam dan undang-undang yang banyak, seperti undang-undang Perancis, Undang-undang Amerika, Undang-undang Inggris dan undang-undang lainnya serta dari madzhab-madzhab sebagian ahli bid’ah yang intisab kepada ajaran (Islam ini) dan yang lainnya. Mahkamah-mahkamah ini sekarang di banyak negeri-negeri Islam (Amsharul Islam) disiapkan lagi disempurnakan juga dibuka pintu-pintunya, dan manusia pun datang kepadanya berbondong-bondong, para hakimnya memutuskan di antara mereka dengan apa yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, berupa hukum-hukum qanun itu dan mengharuskan mereka dengan (putusan-putusan hukum) nya (itu), mengakui mereka di atasnya dan memestikan hal itu atas mereka, maka kekafiran apa yang ada di atas kekafiran ini dan pengguguran terhadap syahadat “Muhammad Rasulullah” apa yang lebih dahsyat setelah pengguguran ini”. Selesai.
Perhatikanlah ucapan ini, alangkah tegasnya dan alangkah jelasnya.
Oleh karenanya Al Halabiy melipat ini semuanya dan tidak menampilkannya, justeru malah berkata tanpa ada rasa malu hal 22 di catatan kaki: “Dan apa yang mereka jadikan pijakan dalam klaim mereka ini berupa ucapan Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim rahimahullaah –atau yang lainnya– maka semuanya adalah bukti-bukti yang menyelisihi mereka saat dilakukan pengamatan…” Selesai.
Perhatikan….“Semuanya adalah bukti-bukti yang menyelisihi mereka…!!!”, ya justeru menyelisihi mereka itu sendiri…!!!
Dan oleh karenanya Al Halabiy melipatnya dan tidak menuturkannya dalam Kitabnya ini…!!!
Bahkan dia di catatan kaki ~dari~ catatan kaki halaman itu sendiri berupaya memberikan image kepada pembaca bahwa Syaikh Ibnu Ibrahim sejalan dengan mereka dalam hal pengkaitan takfier dengan I’tiqad secara muthlaq…!!! Serta pensyaratannya dalam realita tasyri’iy (pembuatan hukum) hari ini…!!!
Padahal dia menukil secara tersirat apa yang menggugurkan ini, yaitu jawaban Syaikh terhadap pertanyaan seputar negeri-negeri yang terdapat di dalamnya pasar-pasar para pelacur dan ia dilindungi serta tidak diingkari, beliau berkata: “(Hal itu) dikhawatirkan sampai kepada kekafiran dan bisa jadi seperti qawanin (undang-undang), karena ia adalah izin yang bersifat umum meskipun ia tidak meyakini bahwa itu halal” Selesai.
Perhatikanlah bagaimana Al Halabiy bermain dengan percetakan di mana ia mempertebal kata (dikhawatirkan) dan kata (bisa jadi) dengan huruf hitam yang tebal di antara ungkapan yang lain, dan seolah dia ingin menisbatkan kepada Syaikh (bahwa tidak ada takfier) tapi (dikhawatirkan… dan bisa jadi…) padahal sesungguhnya ucapan beliau dalam fatwa itu seputar perlindungan kerusakan dan penjagaannya saja, dan ia bukan tentang pembuatan hukum dan undang-undang baginya…!!! Sebagaimana ia adalah realita para thaghut hukum.
Padahal orang yang obyektif yang memahami bahasa Arab dan mengamati ungkapan Syaikh ini “dikhawatirkan sampai kepada kekafiran” “dan bisa jadi qawanin (undang-undang), karena ia adalah izin yang bersifat umum”, maka ia akan memahami bahwa maksud beliau adalah: “…bahwa perbuatan negeri-negeri ini menyerupai qawanin, karena ia adalah izin umum atau pelegalan umum seperti qanun, dan oleh sebab itu dikhawatirkan ia adalah kekafiran…”. Dan maknanya bahwa seandainya ia itu adalah qanun maka ia adalah kekafiran tanpa kata (bisa jadi) atau keraguan serta tanpa kekhawatiran…!!! (meskipun ia tidak meyakini bahwa itu halal) sebagaimana yang beliau katakan.
Dan bisa saja sebagian anak-anak tidak bisa mencerna ini… kemudian dengan sebab kekurangpahaman mereka dan kedangkalan nalar mereka, mereka langsung menuduh saya (menisbatkan kepada ulama apa yang tidak pernah mereka katakan)…!!!
Oleh karena itu saya berkata:
Makna ini dikuatkan dan dijelaskan oleh ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim dalam fatawanya itu sendiri yang mana Al Halabiy menukil darinya apa yang dia sukai dan melipat apa yang menggiurkan paham Irja-nya, Syaikh berkata: “Seandainya orang yang menerapkan undang-undang itu berkata: “Saya meyakini bahwa ia adalah batil”, maka (ucapan) ini tidak ada pengaruh baginya, bahkan justeru ia adalah pengguguran akan syari’at, sebagaimana (ia) seperti ~seandainya~ seseorang berkata: Saya menyembah berhala dan saya meyakini bahwa ia adalah batil”47 Selesai.48
Maka perhatikan hal ini…!!! Hai orang yang berupaya keras dan berkelit dengan segala apa yang kamu miliki berupa tadlis dan talbis dalam rangka mencampuradukkan antara penerapan hukum-hukum dan undang-undang yang batil dengan sekedar meninggalkan sesuatu dari putusan Allah sesekali sebagai maksiat karena mengikuti hawa nafsu, syahwat dan suap bagi orang yang berkomitmen dengan aturan Allah…!!!
Dan perhatikan bagaimana Syaikh berkata –dengan tegasnya– bahwa ada i’tiqad atau tidak adalah tidak ada pengaruh baginya di sini seperti penyembahan berhala. Dan inilah yang telah kami jelaskan kepada anda sebelumnya bahwa dzunub mukaffirah seperti syirik, pembuatan hukum/UU/UUD, mencela Allah, sujud kepada berhala dan yang lainnya adalah tidak disyaratkan di dalamnya istihlal atau juhud atau i’tiqad, namun hal itu hanya disyaratkan dalam dzunub ghair mukaffirah seperti zina, pencurian, minum khamr, dll.
Kemudian bersama ini semua, Al Halabiy tidak malu-malu dari mengatakan dengan penuh percaya diri: “Dan apa yang mereka jadikan pijakan dalam klaim mereka ini berupa ucapan Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim rahimahullaah atau yang lainnya maka semuanya adalah bukti-bukti yang menyelisihi mereka saat dilakukan pengamatan…” Selesai…
Oh kasihan… memangnya menyelisihi siapa…???!!!

Klaim Ahluttajahhum Wal Irja
 Ijma Salaf Atas Paham Jahmiyyah Mereka
Serta
Penukilan Mereka Akan Ijma Itu Dari Ahlul Bid’ah

(8). Kemudian Al Halabiy mengakhiri perjalanannya hal 25 seraya mensifati masalah ini bahwa ia adalah: “Tidak ada di dalamnya dari Aimmah Ahlis Sunnah dan keumuman para sahabat, kecuali satu pendapat” Selesai. Seraya memaksudkan pemahaman dia yang busuk yang dijajakan oleh dia dan Ahlut Tajahhum Wal Irja.
Dan berkata hal 40 setelah panjang lebar menyanjung masyayikh dia yang memberikan pujian…!!! menetapkan…!!! memberikan komentar…!!! dan me-muraja’ah…!!! Kitabnya: “Maka hukum yang (disepakati) oleh para imam besar semacam mereka itu…???!!! Dan para ulama ahli Fiqh itu tidaklah melenceng bila dikatakan bahwa ia adalah ijma dan ia adalah al haq serta ia adalah petunjuk dan jalan yang lurus, karena mereka adalah para imam zaman ini serta ulama masa kini, sehingga orang yang menyelisihi mereka adalah orang yang meninggalkan jama’ah dan menyelisihi dari ittiba’ yang baik dan yang benar”.
Dan dia berkata di catatan kaki halaman itu seraya memberikan komentar atas hal ini: <“Syaikh kami berkata seraya mengomentari: “Bagaimana sedangkan mereka pada dasarnya telah didahului dengan ijma salaf””>.49
Perhatikanlah keberanian ini dalam sikap mereka membawa (ijma) salaf dan aimmah as sunnah…!!! Serta keumuman sahabat pada kebatilan ini, yang mana ia adalah inti sari pendapat Ahlut Tajahhum Wal Irja supaya engkau lebih mengetahui keserampangan mereka itu, terutama setelah engkau mengetahui bahwa ijma salaf berseberangan dengannya, yaitu ijma mereka atas kekafiran orang yang membuat hukum/UU/UUD atau ia merujuk hukum kepada ajaran-ajaran yang sudah dihapus (mansukh) atau yang dibuat (manusia), dan bahwa itu adalah kemusyrikan yang nyata dan kekafiran di atas kekafiran yang tidak dibatasi dengan juhud dan tidak disyaratkan i’tiqad di dalamnya, karena ia adalah realita para thaghut masa kini, dan bukan sekedar meninggalkan putusan dalam suatu kasus sebagai maksiat bagi orang yang berkomitmen dengan ajaran Allah ta’ala dan yang mana salaf memberikan rincian di dalamnya. Sedangkan Ahluttajahhum Wal Irja sengaja membuat pengkaburan di dalamnya dengan menempatkan ucapan-ucapan mereka dalam hal itu terhadap realita pembuatan hukum/UU/UUD yang syirik pada hari ini.
Agar tidak membiarkan ada peluang bagi Al Halabiy untuk berbelat- belit, maka saya katakan: Bahkan sesungguhnya klaim ijma salaf terhadap undang-undang, adalah sekedar meninggalkan pemutusan dalam suatu kasus tanpa pembuatan undang-undang, adalah klaim yang membutuhkan pada kejelian bagi orang yang mengetahui apa yang disyaratkan oleh orang-orang yang mengatakan kehujjahan ijma berupa syarat-syarat untuk keabsahan ijma.
Dan bahwa ucapan seseorang “Dan ini adalah ucapan keumuman sahabat” atau “jumhur mereka” tidaklah cukup dalam keabsahan klaim ijma dengan adanya orang yang menyelisihi.
Cukuplah bagimu untuk merobek ijma yang diklaim ini engkau merujuk sebagai contoh tafsir Ath Thabariy dan pendapat-pendapat yang dituturkan di dalamnya dalam tafsir firman Allah ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan…” dan seandainya dalam itu semua tidak ada kecuali ucapan Ibnu Mas’ud tentang putusan (al hukmu) dengan suap bahwa ia adalah kufur (akbar) tentulah cukup dengannya dalam merobek ijma yang diklaim ini.50
Ini adalah tentang putusan dengan suap…!!! Maka bagaimana bila engkau mengetahui bahwa para ahlul bid’ah itu melakukan pencampuradukkan dan pengkaburan supaya mereka membuat image manusia bahwa ijma tersebut (yang diklaim) adalah berkenaan dengan tidak (melakukan) takfier (terhadap) realita para thaghut hari ini yang membuat hukum yang syirik…!!!
Bila saya berbaik sangka kepada mereka, kemudian saya melenyapkan dari mereka tuduhan talbis dan tadlis, maka saya tidak akan melihat mereka kecuali seperti orang yang mencari kayu bakar di malam hari yang meraba-raba di kegelapan malam yang gulita seraya mencari antara kayu bakar, kotoran hewan, kalajengking dan ular berbisa di depannya… tiba-tiba mereka mendapatkan ijma Ahlul bid’ah dari kalangan Jahmiyyah dan yang lainnya tentang tidak ada takfier secara muthlaq kecuali dengan juhud qalbiy, terus mereka girang dengan hal itu dan terbang ria dengannya serta terus menisbatkannya kepada sahabat dan salaf…!!!
Dan tidak ada yang lebih menunjukkan bahwa mereka itu memaksudkan ijma Ahlul bid’ah bukan ijma para imam sunnah… daripada kenyataan mereka menerima ijma yang diklaim ini serta mendapatkannya dari ahlul bid’ah yang terang-terangan dengan bid’ahnya, dari kalangan yang menindas Ahlussunnah dan menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat kejam, di dalam waktu yang bersamaan mereka itu memuliakan penganut Jahmiyyah dan Mu’tazilah serta ahlul bid’ah lainnya, dan mereka menginjak-injak para imam sunnah, yang di antaranya Imam Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Ahmad Ibnu Hanbal rahimahullaah. Dan di antara orang-orang itu adalah (Al Ma’mun) Al Mu’taziliy.
Sungguh Al Halabiy telah menukil dari Tarikh Baghdad –dan diakuinya oleh Syaikh-syaikh dia yang me-muraja’ah dan yang memuji serta memberikan komentar– percakapan antara (Al Ma’mun) dengan seorang dari Khawarij seputar firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir” dan ia sangat senang dengan ucapan (Al Ma’mun) di dalamnya: “…Sebagaimana kamu ridla dengan ijma mereka dalam tanzil (penurunannya), maka ridlalah dengan ijma mereka dalam pentakwilan…” Selesai.
Dan dia memaksudkan dengan itu (ijma umat) sebagaimana yang ia tuturkan secara tegas dalam percakapan yang dia sandarkan pada Tarikh Baghdad (10/186).
Maka perhatikanlah bagaimana Al Halabiy menjadikan ijma di kalangan Ahlul bid’ah sebagai hujjah dalam dienullah…!!! Dan dalam apa…??? Dalam masalah dari masalah-masalah (al iman dan al kufr) yang mana Mu’tazilah telah sesat di dalamnya, sebagaimana Khawarij telah sesat.
Dan ijma apa…???
Sesungguhnya ia bukan ijma sahabat di sini… dan bahkan bukan ijma ulama…!!! tapi ijma umat…!!! Perhatikanlah…!!! Dan Al Halabiy sungguh telah bahagia sekali dengan hal itu, sampai-sampai ia menukilnya hal 28 dari Muqaddimahnya, dan sebagaimana biasanya dia menebalkan ungkapan yang dia sukai –dan yang disebutkan ijma di dalamnya– dengan tulisan hitam tebal, dan dia tidak merasa cukup dengan ini, bahkan ia mencantumkan percakapan ini di cover akhir dari kitabnya…dan ia nampakkan ungkapan tersebut dengan warna merah…
Ijma umat macam apa ini yang kamu girang dengannya dengan kamu nukil dari ahli bid’ah…???!!!
Dan dalam masalah yang diketahui berapa banyak perselisihan di dalamnya…!!!
Namun itulah keserampangan-keserampangannya yang telah nampak banyak darinya bagi pencari kebenaran…!!!
Sedangkan orang yang memiliki sedikit saja pengetahuan akan ‘ilmul ushul, dia mengetahui ucapan ahli ilmi ini tentang kemungkinan terjalinnya ijma, dan kemungkinan terealisasinya syarat-syaratnya, serta perselisihan yang ada di dalamnya. Dan ini pada (ijma ulama di suatu masa tertentu)…!!! Maka bagaimana (dengan ijma umat) yang diklaim dalam bab seperti ini yang diklaim oleh Al Halabiy…???!!!
Dan semoga Allah merahmati Al Imam Ahmad di mana beliau berkata: “Siapa yang mengaku ijma, maka dia itu pendusta, siapa tahu orang-orang itu telah berselisih namun tidak sampai kepadanya…” (Dari Kitab Al Hikam, Ibnu Hazm).
Orang yang paling layak diterapkan kepadanya ucapan beliau ini adalah Al Halabiy dan ijma maz’umnya…!!!
Inilah sungguh Ibnul Qayyim rahimahullaah telah menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/30 dan 2/247-248 bahwa maksud Al Imam Ahmad dalam ucapannya ini adalah pengingkaran terhadap orang yang mengklaim ijma karena sekedar dia tidak mengetahui orang yang menyelisihi, terus dia meninggalkan perujukan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan ia malah mengalihkannya kepada klaim ijma karena sekedar tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi, siapa tahu manusia itu bisa jadi telah berselisih sedang dia tidak mengetahui…!!! Karena ketidaktahuan terhadap orang yang menyelisihi bukanlah pengetahuan dia akan ketidakadaannya, dan bagaimana dia mengedepankan ketidaktahuan terhadap pokok pengetahuan semuanya…??? Dan dinukil darinya dari riwayat Al Marzawiy bahwa ia berkata: (Bagaimana boleh bagi seseorang mengatakan: “Mereka telah ijma”? bila kalian mendengar mereka mengatakan “Mereka telah ijma” maka tuduhlah mereka itu, seandainya mereka berkata: “Sesungguhnya saya tidak mengetahui orang yang menyelisihi” tentulah benar). Selesai.
Bila saja Imam Ahlus Sunnah mengajak kita untuk menuduh mereka (pendusta,ed.) dengan sekedar klaim ijma karena ketidaktahuan terhadap orang yang menyelisihi…!!! Maka bagaimana bila mereka telah menukil ijma itu dari Ahlil bid’ah untuk mengkaburkan al haq dengan al bathil dengan perantaraan klaim-klaim ijma yang dusta…???
Dan Ibnul Qayyim telah menjelaskan dalam tempat yang sama bahwa itu adalah kebiasaan dan cara serta ucapan Bisyr Al Mirrisiy, Al Ashamm dan yang lainnya… dan beliau menukil dari Al Imam Ahmad dari riwayat putranya Abdullah bahwa beliau berkata: (Siapa yang mengklaim ijma maka dia dusta, bisa jadi manusia ini telah berselisih; ini adalah klaim Bisyr Al Mirrisiy dan Al Ashamm, namun (sebaiknya) dia berkata: Kami tidak mengetahui manusia telah berselisih, atau belum sampai kepada kami). Selesai.
Jadi ia adalah klaim yang keluar dari kantong ahlul bid’ah, maka perhatikanlah hal ini… agar engkau mengetahui asal-usul mereka, biang sumbernya dan salaf (para pendahulu) mereka yang sebenarnya yang mereka tauladani dalam hal ini dan yang serupa dengannya, berupa hal-hal yang telah lalu, dan supaya engkau mengetahui setelahnya bahwa kami tidak bersikap aniaya terhadap mereka bila kami cap mereka sebagai Ahlut Tajahhum Wal Irja.
Maka bagaimana bila ijma yang dimaksudkan Al Halabiy di sini adalah ijma para imam kesesatan, ulama fitnah dan bodyguard penguasa…!!! Yang telah membai’at para thaghut dan menjadikan mereka sebagai pemimpin kaum muslimin yang syar’iy (sah)…???!!!
Merekalah yang disifati oleh Al Halabiy di sini: “Karena mereka adalah para imam-imam zaman ini serta ulama masa kini” hal 40. Dan dari sini maka dengan mereka sajalah ijma terjalin menurut dia…!!!
Dan karenanya dia berkata: “…Maka hukum yang (disepakati) oleh para imam besar semacam mereka itu!!! Dan ulama ahli Fiqh itu tidaklah melenceng jauh51 bila dikatakan bahwa ia adalah ijma” selesai, dan seolah umat ini telah mandul, kecuali dari para Syaikh penguasa…!!!
Dan oleh karena itu dia berkata langsung sesudahnya: “Sehingga bisa jadi orang yang menyelisihi mereka adalah orang yang meninggalkan jama’ah dan menyelisihi dari ittiba’ yang baik dan ketaatan yang benar”. Selesai
Ketaatan apa yang kamu maksudkan?! Taat kepada pemimpin kalian?! Yang dibela-bela oleh orang-orang buta itu, dan di antara mereka ada yang membai’atnya dan memberikan kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya…!!!
Apakah seperti ini ijma itu terjadi… apakah ini rukun-rukun… dan syarat-syaratnya…???!!!
Atau sesungguhnya masalahnya mengikuti hawa nafsu…
Sungguh mudah sekali ijma ulama ini terjalin… bahkan ijma umat…!!! Saat kamu menginginkannya sejalan dengan hawa nafsu kalian…!!! Dan alangkah sulitnya saat ijma itu datang menyelisihi…!!!
Dan sebelum saya menutup tempat ini saya ingatkan pencari ilmu kepada kebiasaan ahlul bid’ah dan adat mereka yang telah disyaratkan kepadanya oleh Al Halabiy dalam Kitabnya!! Yaitu melipat dan menyembunyikan bukti-bukti atau hal-hal yang berseberangan dengan mereka dan menampakkan apa yang mendukung bid’ah mereka walaupun itu menyelisihi ushul dan qawaid mereka yang mana mereka mengaku intisab kepadanya.
Dan itu lewat pengingatan bahwa kisah orang Khawarij yang mana Al Halabiy girang dengannya, dan menuturkannya serta mewarnainya juga mempermainkan dengan tintanya adalah riwayat yang telah dianggap lemah oleh Al Imam Adz Dzahabiy dalam As Siyar 10/280 dengan ucapannya: (Dan dikatakan: Seorang Khawarij dimasukkan…), ini dari satu sisi.
Dari sisi lain, sesungguhnya perawinya –sebagaimana dalam Tarikh Baghdad yaitu referensi itu sendiri yang mana Al Halabiy menisbatkan hal itu kepadanya, dan As Sayuthi menuturkan itu dalam Tarikh Al Khulafa dalam Biografi Al Ma’mun (319-320)– adalah Ibnu Abi Du’ad Al Jahmiy yang mengajak kepada pendapat “Al Qur’an itu makhluq” musuh Al Imam Ahmad, yang memprovokasi Khalifah untuk membunuhnya dan mencap Al Imam Ahmad bahwa ia sesat lagi menyesatkan…!!!
Kenapa Al Halabiy menyembunyikan ini dan tidak menjelaskannya atau mengingatkan kepadanya…??? Sesungguhnya andaikata seseorang berhujjah atasnya dengan riwayat-riwayat semacam dia dengan suatu yang menggugurkan dan menjatuhkan madzhabnya tentulah Al Halabiy berteriak menjelaskan penyimpangan Ibnu Abi Du’ad dan kerusakan keyakinannya, serta tentu dia berbicara dengan lantang bahwa Ibnu Abu Du’ad dan riwayat-riwayatnya tidak berharga sama sekali…!!!
Namun kenapa dia di sini menerima riwayatnya, girang dengannya, menghiasinya, mengekornya serta memperindahnya…!!!
Apa engkau melihat itu adalah inshaf (obyektif) dalam menerima al haq walau dibawa oleh orang yang menyelisihi ? Hal itulah yang tidak pernah kami lihat ada pada mereka!! Atau ia itu sebagaimana yang dikatakan salaf: Ahlul Ahwa meriwayatkan apa yang menguntungkan mereka dan meninggalkan apa yang merugikan mereka…!!!
Dan kenapa ia itu seperti lalat yang tidak hinggap kecuali di atas kotoran? Dia tidak memilih dari khabar dan riwayat kecuali apa yang tergolong barang jajaan orang-orang yang menyimpang dan sesat…???
Kadang melirik Al Ma’mun Al Mu’taziliy, kadang meriwayatkan dari Ibnu Abi Du’ad, serta kadang juga menjadikan pengakuan orang Khawarij terhadap Al Ma’mun sebagai hujjah yang dia berhujjah dengannya, sehingga dia mengumpulkan dalam nukilan-nukilannya antara setiap yang terpuruk, dan tertanduk serta terhantam. Dia menyusun di antara hal-hal itu supaya ia keluar kepada kita dengan madzhab yang aneh lagi asing…!!!
Sungguh kasihan dari realita salafiyyah dan atsariyyah…!!!
Adapun saya maka di penghujung bahasan ini, dikarenakan dia telah menuturkan kisah Al Ma’mun dan percakapannya dengan orang Khawarij dan kegirangan dia dengannya, maka ada baiknya saya mengutarakan kepadanya kisah Al Ma’mun juga agar sebanding, namun tentang pertanyaan dia kepada Al Imam An Nadlr Ibnu Syumail mengenai Irja
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan lewat jalur An Nadlr, berkata: “Saya masuk kepada Al Ma’mun, Maka dia berkata: Bagaimana kabarmu wahai Nadlr? Saya menjawab: Baik, wahai Amirul Mu’minin, Dia bertanya: Apa Irja itu? Saya menjawab: Dien yang sesuai dengan para raja, mereka dengannya mendapatkan (bagian) dari dunia mereka, dan mengurangi dengannya dari diennya. Maka dia berkata: Engkau benar.52
Dan saya berkata: Ya, demi Allah, engkau benar wahai Nadlr! Dan tepat sekali engkau pada sasaran dengan cap yang engkau berikan ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan sesuatu dari hal yang membuat Irja disukai para raja dan menjadikannya sejalan dengan mereka, dan itu dalam konteks bahasan beliau tentang Khilafah dan kerajaan, di mana beliau menjelaskan bahwa di sana ada dua pihak dalam menyikapi sikap keluarnya para pemimpin dari jalan Khulafa Rasyidin kepada jalan para raja.
-   Salah satunya: (Orang yang mencela orang yang keluar dari jalan al khulafa ar rasyidin secara muthlaq atau untuk kebutuhan, sebagaimana ia adalah keadaan ahlul bid’ah dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah dan kelompok-kelompok dari kalangan mengaku sunnah dan intisab kepada zuhud).
Dan perhatikanlah obyektivitasnya di mana beliau tidak menjadikan penganut pemahaman pihak ini semuanya termasuk Khawarij dan Mu’tazilah, padahal beliau ini berbicara tentang orang yang mencela atau menentang terhadap orang yang melenceng dari Khilafah kepada al mulk (kerajaan/dinasti) dengan pelencengan yang tidak mengeluarkan dari millah.
-   Dan pihak ke dua: (Orang yang membolehkan al mulk secara muthlaq tanpa terikat dengan sunnah (tuntunan) al khulafa, sebagaimana ia perbuatan orang-orang durjana, Badliyyah dan afrakh53 (infividu-individu) Al Murji’ah. Dan ini adalah rincian yang bagus) Selesai. Al Fatawa 35/24-25.
Jadi tidaklah heran bila madzhab Murji’ah setuju terhadap para raja selagi memang ia berdiri di atas penambalan (tarqi’) terhadap kebatilan mereka dan melapangkan (‘udzur) atas mereka dalam pembolehan penyimpangan-penyimpangan dan kegelapan-kegelapan mereka, sebagaimana ucapan An Nadlr: “Mereka dengannya mendapatkan (bagian) dari dunia mereka dan mengurangi dengannya dari dien mereka…!!!”
Kita melihat para raja, para thaghut dan anshar mereka hari ini merasa bahagia dan girang dengan paham Jahmiyyah dan Irja serta dengan para Syaikhnya, para du’atnya dan afrakh-nya…!!!
Mereka mempromosikannya dan para syaikhnya, mereka melenggangkan jalan bagi mereka dan bagi dakwah mereka serta tulisan-tulisan mereka, dan mereka melepaskan kendali baginya.
Dan contoh-contoh dari realita hari ini adalah lebih banyak dari bisa dipaparkan di sini, serta telah lalu isyarat-isyarat kepada sebagiannya, dan hal serupa akan datang kemudian.
Cukup bagi saya di sini mengingatkan kepada keadaan mereka terhadap kami di Yordania untuk memperkenalkan kepada pembaca sejauh mana kecintaan para raja dan anshar mereka terhadap mereka… dalam waktu yang mana kami dilarang di dalamnya dan dilarang setiap da’i kepada tauhid dari sekedar membezuk sebagian ikhwannya dan dia diancam akan diciduk bila menyalahi larangan itu…??? Ya demi Allah sekedar bezuk dan bertemu, maka bagaimana dengan pemberian ceramah dan kajian atau dengan penyebaran buku-buku dan rasail…??? Oleh sebab itu ikhwan kami tidak melakukan hal itu kecuali sembunyi-sembunyi dan cara lembut, seraya mengingat firman Allah ta’ala: “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (Al Kahfi: 20).
Dan hadits Rasul mereka shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Mintalah bantuan atas penuaian hajat-hajat kalian dengan cara sembunyi-sembunyi…”
Di sisi lain, kendali dilepas bagi orang semacam Al Halabiy ini untuk safar dan bepergian ke sana ke mari, memberikan kajian dan ceramah di seluruh pelosok bumi, serta dibuka selebar-lebarnya kesempatan untuk mencetak tulisan-tulisannya, risalah-risalahnya dan karangan-karangannya yang tidak setara secara keilmuan harga kertas-kertasnya dan tintanya selain ayat-ayat dan hadits-hadits yang dia jadikan dalil di dalamnya seraya memalingkan makna-maknanya dan menyimpangkan dilalahnya…!!!
Sungguh puluhan ikhwah yang ditahan di markas Badan Intelijen Yordania telah memberi kabar saya bahwa musuh-musuh Allah mengancam mereka, meneror mereka dan menakut-nakuti mereka dari menghadiri majlis-majlis saya atau mentelaah tulisan-tulisan saya; dan mereka mengajak para ikhwah itu dengan tegas-tegasan dan dengan terang-terangan untuk belajar kepada Ali Al Halabiy dan Al Albaniy serta yang lainnya dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja…!!!
Sungguh benar An Nadlr dan dia melihat demi Allah dengan mata firasat saat beliau berkata tentang Irja: “Dien yang sejalan dengan para raja, mereka mendapatkan dengannya (bagian) dari dunia mereka, dan mereka mengurangi dengannya dari dien mereka”. Selesai.

44 Di Kitab asli tulisan ditulis hitam tebal, tapi di sini cukup saya beri garis bawah.
45 Mishbahudhdhalam hal: 144
46 Al Akh Al Fadlil Abu Qatadah hafidhahullah ta’ala berkata dalam makalah yang ia tulis dengan judul (Baina Manhajain): “Dan Syaikh Nashiruddien Al Albaniy dalam komentarnya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah di bawah ucapan Ath Thahawiy: “Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahlil Kiblat selama ia tidak menganggapnya halal…” berkata: “Sesungguhnya pensyarah Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah telah menukil dari Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa iman itu adalah ucapan dan amalan yang bertambah dan berkurang; bahwa dosa, dosa apa saja adalah kufur ‘amaliy bukan i’tiqadiy, dan bahwa kekafiran menurut mereka bertingkat-tingkat, kufrun duna kufrin seperti iman menurut mereka” hal 40-41.
Pensyarah Ath Thahawiyyah tidak pernah mengatakan apa yang dikatakan Al Albaniy ini, dan telah kami sebutkan sebelumnya komentar Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafiy terhadap ungkapan ini, dan bahwa pensyarah membedakan antara dzunub mukaffirah (dosa-dosa yang mengkafirkan) dengan dzunub ghair mukaffirah, jadi ucapan Al Albaniy: “…bahwa dosa, dosa apa saja adalah kufur ‘amaliy…”, adalah ucapan yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan pensyarah dengan sangat jelas, dan ‘aqidah yang dikatakan Al Albaniy ini adalah Aqidah Murji’ah, bahkan Ghulatul Murji’ahSelesai ucapan Abu Qatadah. Dan ini dibangun atas kenyataan bahwa Al Albaniy dan orang-orang yang mengikutinya memaksudkan dengan kufur ‘amaliy ini adalah kufur ashgar yang tidak mengeluarkan dari millah, dan engkau telah paham:
-   Bahwa pendapat yang menyatakan bahwa semua dosa adalah kufur amaliy yang tidak mengeluarkan dari millah, adalah pendapat Murji’ah.
-   Dan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa semua dosa adalah mengeluarkan dari millah, adalah pendapat Khawarij.
-   Dan adapun Ahlus Sunnah maka menurut mereka bahwa di antara kufur ‘amaliy ada yang mengeluarkan dari millah dan di antaranya ada yang tidak mengeluarkan.
47 Fatawa Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Juz 6/189.
48 Dan lihat penyetaraan antara Tahkimul Qawanin dengan penyembahan berhala juga dalam ucapan Asy Syinqithiy yang lalu.
49 Dan dia dalam catatan kaki itu memberikan hujjah untuk ijma ini dengan ucapan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin 1/336: “Ini adalah takwil Ibnu Abbas dan keumuman para sahabat” selesai. Dan (dengan) ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 7/67: “Dan begitu pula Ahlus Sunnah mengatakan” selesai.
Dan saat merujuk kepada sumber asli, ternyata engkau mendapatkan bahwa ucapan Ibnul Qayyim ini dari Ibnu Abbas tentang bantahannya terhadap Khawarij dalam takfir para penguasa dengan sebab maksiat…
Adapun ucapan Syaikhul Islam maka itu adalah umum bahwa Ahlus Sunnah memandang bahwa di antara kufur itu ada kufrun duna kufrin, dan begitu juga zhalim dan fasiq, dan tidak ragu bahwa salaf telah ijma atas hal ini, dan ini adalah hal yang ma’ruf, akan tetapi talbis di sini adalah penempatan Al Halabiy akan ijma salaf ini terhadap realita pembuatan undang-undang syirik hari ini, dan yang mana orang-orang itu pada dasarnya menulis dan menyebarkan tulisan-tulisannya ini dalam rangka menolak dan membantah vonis kafir terhadap para pelakunya yang musyrik serta untuk menghujamkan tusukan di leher orang-orang yang mengkafirkan mereka dan mencapnya sebagai Khawarij.
50 Saya katakan: Dan macam ini tidak ada kaitan dengan kami dan ijma di dalamnya tidaklah begitu penting bagi kami serta kami tidak akan mendiskusikannya, karena ia tidak memiliki hubungan dengan realita kita sebagaimana yang telah engkau ketahui.
51 Perhatikan bagaimana dia mencabut jilbab rasa malu dengan hati-hati…!!! Dan dia bermain-main dengan lafazh, di mana dia membiarkannya  (elastis, ed) dengan bentuk (karet) yang bisa menerima takwil dan penambalan saat ada yang mendebat dan yang memprotes, dan mana ocehan-ocehan ini bila dibandingkan dengan ucapan ilmiyyah yang kokoh yang jelas lagi tegas…???!!!
Dan cukuplah bagi kami darinya di sini pengakuannya yang implisit: “Bahwa orang yang mengklaim ijma itu telah melenceng dari al haq dan kebenaran, dan bagi kami setelah itu tidak penting permainan dia dengan jarak dan volume pelencengan dan penyimpangan itu banyak atau sedikit… Dan tidak penting bagi kami bagaimana dia menghitung…!!! Dengan langkah dan hasta atau dengan mil dan farsakh…???!!! Atau dengan centimeter atau dengan kilometer…???!!!
52 Al Bidayah Wan Nihayah 10/276.
Tanbih: Dengan khabar ini kami tidak menuturkan dalam rangka mengambil faidah dengan ucapan Al Ma’mun, sebagaimana yang dilakukan Al Halabiy dalam hikayat Al Ma’mun dengan orang Khawarij, dan tidak penting bagi kami pembenaran dia terhadap ucapan An Nadlr, namun kami menuturkannya dalam rangka ucapan An Nadlr Ibnu Syumail itu, di mana beliau adalah Al ‘Allamah Al Hafizh Abul Hasan Al Maziniy Al Bashriy An Nahwiy tergolong imam sunnah yang tsiqat dan termasuk para perawi hadits Al Bukhari dan Muslim, tinggal di Marw dan orang ‘alim di sana, beliau tokoh dalam hadits juga tokoh dalam Nahwu, shahib sunnah. Lihat Al Jarh Wat Ta’dil 8/477, Siyar A’lam An Nubala 9/328, Tahdzib At Tahdzib 10/437 dan yang lainnya.
Beliau adalah orang pertama yang menampakkan sunnah di Marw dan seluruh kawasan Khurasan, oleh sebab itu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab Al Farra berkata: “Khurasan tidak memunculkan seperti mereka bertiga: Ibnul Mubarak, An Nadlr Ibnu Syumail dan Yahya Ibnu Yahya” selesai. Siyar A’lam An Nubala 8/383.
53 Bisa jadi (Afrakh/bibit/penerus).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar