Pages

Dakwah "Salafy" Dakwah Murji'ah (Membongkar Kebohonan Ali Hasan Al Kadzdzab Bagian 2)

Peringatan Terhadap Sikap Ngawur Dan Pengkaburan Yang Terdapat Pada Muqaddimah Al Halabiy

 

Kecaman Dan Penipuan Seputar Hukum Dan Iqamah Serta Mushthalah Al Hakimiyyah
(1)       Al Halabiy berkata dalam muqaddimahnya hal 3:
(Ini adalah risalah singkat lagi ringkasan dalam masalah hukum) kemudian dia berkata dalam catatan kaki: ((Dan sebagian menyebutnya dengan nama “Al Hakimiyyah”, sedang ia adalah istilah baru yang di dalamnya ada pembahasan dan pengkajian, kemudian dia menjadikan hal itu ushuluddien yang paling penting!! Dan isi-isi millah ini yang paling agung, sehingga bila ‘aqidah disebutkan (di sisinya) maka ia membawanya kepada (Al Hakimiyyah)… ~hingga ucapannya~: Dan ini menurut sejumlah dari ulama!!! Adalah penyerupaan terhadap ‘aqa-id syi’ah yang sangat busuk yang menjadikan imamah sebagai ushuluddien yang paling agung!! Sedangkan ia adalah pendapat yang batil dan pemikiran yang gugur yang telah dibantah secara kuat oleh Syaikhul Islam rahimahullaah Al Imam Ibnu Taimiyyah dalam Minhajus Sunnah 1/20-29, maka silahkan lihat)). Selesai.

Ucapannya (Al Halabiy.ed) tentang Al Hakimiyyah: “Istilah baru yang di dalamnya ada pembahasan dan pengkajian” dan ucapannya setelah itu halaman 4 catatan kaki (bagi,ed.) catatan kakinya!! “bahkan yang lebih mengherankan dari itu bahwa sebagian yang lain mengada-ada apa yang dia samakan dengan (tauhidul hakimiyyah) kemudian dia tidak merasa cukup dengan hal itu sampai ia menjadikannya sebagai bagian ke empat dari bagian-bagian tauhid yang terkenal!!! Dan dalam hal itu ia tidak memiliki seorang salaf pun yang mendahuluinya…???!!! Namun ia hanyalah bersumber dari pendapat dan hal-hal yang diada-adakan manusia” Selesai.
Saya katakan: Di antara penamaan-penamaan itu ada yang tauqifiy (sesuai nash) yang tidak boleh dirubah atau diganti seperti nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, nama-nama Iman dan Islam, ketentuan-ketentuan hudud, nishab-nishab, faraidl dan hal-hal lainnya yang telah Allah gariskan dan Dia tetapkan, atau telah Dia subhanahu wa ta’ala wa ta’ala wa ta’ala namakan dengan nama-nama tertentu, atau Dia jadikan baginya bentuk-bentuk, ukuran-ukuran dan tata cara tertentu.
Di antaranya ada yang bersifat ishthilah, yaitu kelompok tertentu bersepakat terhadap suatu yang dikenal di antara mereka, yang di dalamnya tidak ada penyelisihan terhadap suatu perintah dari perintah-perintah Allah, sehingga kapan ia dilontarkan maka ia menjurus kepadanya.
Para ulama kita telah menegaskan bahwa (tidak ada penyudutan dalam hal istilah) namun yang penting adalah tidak (boleh) bersepakat atas hal bid’ah atau kesesatan atau tasyri’ (aturan) atau undang-undang yang menyelisihi dienullah.
Ishthilah itu bisa saja untuk ta’lim (mengajarkan) atau untuk mempermudah pencernaan ilmu, penghapalan matan dan penguasaan definisi-definisi bagi para siswa, maka tidak ada penyudutan (penyelisihan) dalam hal seperti ini dan tidak apa-apa. Dan para ulama masih senantiasa melakukan hal itu tanpa saling mengingkari, karena dalam hal itu yang diperhatikan adalah makna bukan lafazh.
Dan bisa saja untuk melegalkan bid’ah atau kesesatan seperti ishthilah Khawarij dan Mu’tazilah atas pengekalan pelaku dosa besar di neraka dan ishthilah (kesepakatan) mereka atas penyebutan selain Quraisyiy dari kalangan umara sebagai Amirul Mu’minin dan imamul muslimin9 atau seperti orang-orang yang menyebut bid’ah mereka dengan lafazh tauhid atau Ashluddien dan Al Fiqhul Akbar serta hal lain yang serupa, seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah dan yang lainnya dari kalangan Ahlul Kalam10 atau ishthilah (kesepakatan) terhadap dien atau syari’at (ajaran) atau had (sanksi hukum) yang dibuat-buat yang tidak Allah turunkan dalil tentangnya. Di antara jenis ini adalah ishthilah (kesepakatan) kaum Yahudi terhadap tahmim (pencorengan wajah) dan dera sebagaimana pengganti rajam, dan kesepakatan budak undang-undang pada zaman kita ini terhadap aturan-aturan dan sanksi-sanksi kufur, serta kesepakatan (ishthilah) mereka terhadap penamaan arbab (tuhan-tuhan) mereka yang beraneka ragam sebagai “musyarri/legislatif” dan terhadap penyebutan undang-undang kafir mereka sebagai “keadilan”, atau seperti penggunaan sebagian orang akan lafazh “tauhid” dalam ungkapan mereka tentang persatuan nasional yang jahiliyyah yang mereka gembor-gemborkan dan yang mempersaudarakan antara berbagai agama serta berbenturan dengan tauhid para rasul11, maka macam ishthilah ini adalah yang tercela lagi bid’ah dan tertolak. Sedangkan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini suatu yang bukan bagian darinya maka ia tertolak.”
Walaupun saya tidak mempergunakan lafazh ini ~“Al Hakimiyyah”~ atau “Tauhid Al Hakimiyyah”, akan tetapi saya tidak melihat di dalamnya suatu yang menentang syari’at, selama madlul (apa yang diindikasikan) nya menjadikan Allah ridla, terutama sesungguhnya setiap orang yang memiliki sedikit dari ilmu, dia mengetahui bahwa pembagian tauhid yang tiga yang sudah diishthilahkan terhadapnya, yaitu: Tauhidur Rububiyyah, Tauhidul Uluhiyyah dan Tauhidul Asma Washshifat bukanlah nama-nama yang taufiqiy dari Allah seperti mushthalah (penamaan) sholat, zakat, iman, Islam dan ihsan umpamanya ~namun ia adalah penamaan-penamaan yang tidak terbagi seperti bagian-bagian ini pada zaman sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik~, sehingga bisa dikatakan bahwa orang yang membuat suatu ishthilah selain ini maka dia telah berbuat bid’ah dan berpaling dari tuntunan salaf atau ia telah mengikuti pendapat-pendapat dan pemikiran baru kaum Khalaf atau hal selain itu yang dikecam Al Halabiy.
Tauhidul Uluhiyyah umpamanya dinamakan oleh ulama kita di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim terkadang dengan tauhidul iradah wal qashd, dan terkadang dengan tauhiduththalab, dan terkadang dengan tauhidul ‘amaliy, dan terkadang dengan tauhidusy syar’i serta terkadang dengan tauhidullah bi af’aalil ‘ibaad, sebagaimana mereka menamakan tauhidul ‘asma wash shifat dan tauhidur Rububiyyah dengan tauhid ‘ilmiy atau khabariy atau tauhidul ma’rifah wal itsbat atau tauhidullah bi af’alihi wa asma’ihi wa shifatihi.
Semua ini tidak apa-apa (ada) di dalamnya dan tidak ada penyudutan, kami tidak mengingkarinya atau mengecam terhadap orang-orang yang menyelisihi kami dalam ishthilah di dalamnya selagi ia haq, karena ia tidak lebih dari sekedar ikhtilaf tanawwu (perbedaan yang bersifat macam-macam yang intinya sama) selama makna yang dimaksud dari ishthilah itu adalah haq. Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafiy berkata dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah saat berbicara tentang ikhtilaf tanawwu’ hal 514, beliau berkata: (Dan di antaranya ada suatu yang mana masing-masing dari dua pendapat itu semakna dengan makna pendapat yang lainnya, namun dua ungkapan itu berbeda sebagaimana kadang banyak dari manusia berselisih tentang lafazh-lafazh hudud dan bentuk-bentuk dalil, serta pengungkapan dari penamaan-penamaan dan yang lainnya, kemudian kejahilan atau kezaliman membawa (orang) untuk memuji salah satu dari dua pendapat itu dan mencela yang lainnya serta aniaya terhadap orang yang mengatakannya!…) Selesai.
Mushthalah (istilah) Tauhidul Hakimiyyah ~yang digembar-gemborkan seputarnya oleh Al Halabiy serta kejahilan dan kezhalimannya membawa dia untuk mencelanya dan aniaya kepada orang yang mengatakannya…!!!~ biasanya dipakai oleh orang yang menggunakannya kepada tauhidullah ta’ala dalam tasyri’ (penyandaran wewenang pembuatan hukum) sedangkan ia termasuk tauhidullah dalam ibadah.
Asy Syinqithiy berkata dalam Kitabnya Adlwaul Bayan: “Penyekutuan Allah dalam hukum-Nya adalah seperti penyekutuan-Nya dalam ibadah-Nya.” Selesai.
Karena di antara makna ibadah yang wajib dimurnikan seluruhnya kepada Allah ta’ala saja adalah (taat dalam tasyri’ dan hukum, Allah ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya syaithan mewahyukan kepada wali-walinya supaya mereka membantah kamu, dan bila kamu menuruti mereka maka sesungguhnya kamu adalah orang-orang musyrik.” (Al An‘aam: 121).
Al Hakim meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas Habrul Qur’an tentang sebab turun ayat ini: “Sesungguhnya segolongan orang dari kaum musyrikin dahulu membantah kaum muslimin dalam masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, di mana mereka berkata: Kalian makan dari apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh? Maka Allah ta’ala berfirman: “…dan bila kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah orang-orang musyrik.”
Allah ta’ala berfirman: “Dan Dia tidak mempersekutukan seorangpun dalam hukum-Nya,” dan dalam qira’ah Ibnu ‘Amir: “Dan janganlah kamu mempersekutukan seorangpun dalam hukum-Nya.” Asy Syinqithiy berkata dalam Adlwaul Bayan: “Dipahami dari ayat-ayat ini seperti firman-Nya ta’ala: “Dan Dia tidak mempersekutukan seorangpun dalam hukum-Nya,” bahwa orang-orang yang mengikuti ahkam (aturan-aturan) al musyarri’in (para pembuat hukum) selain apa yang telah Allah syari’atkan sesungguhnya mereka itu adalah musyrikun billah”.
Dan beliau menuturkan ayat-ayat yang menjelaskan hal itu, kemudian berkata: “Dan dengan nushush samawiyyah yang telah kami sebutkan, nampaklah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang-undang buatan,ed) yang disyari’atkan syaithan lewat lisan wali-walinya, seraya menyelisihi apa yang disyari’atkan Allah jalla wa ‘alaa lewat lisan rasul-rasul-Nya, adalah sesungguhnya tidak ada yang meragukan kekafiran mereka dan kemusyrikannya, kecuali orang yang telah Allah hapus bashirah (mata hati)nya dan Dia butakan dari cahaya wahyu seperti mereka”. Selesai (Adlwaul Bayan 4/83).
Perhatikanlah hal ini dan hati-hatilah… kamu tergolong orang yang Allah butakan dari cahaya wahyu…!!! Dan Dia ta’ala berfirman: “Mereka telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (At Taubah: 31).
Sedangkan sudah ma’lum bahwa penafsirannya dalam al ma-tsur: (bahwa ibadah kepada mereka itu adalah menuruti mereka dan mengikuti mereka dalam tahlil, tahrim dan tasyri’). Dan di dalam Kitab Tauhid Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab: (Bab siapa yang menuruti ulama dan umara dalam tahrim (pengharaman) apa yang telah Allah halalkan atau tahli (penghalalan) apa yang telah Allah haramkan maka ia telah menjadikan mereka arbab selain Allah). Kemudian dalam bab itu beliau menuturkan ayat Surat At Taubah tadi, dan hadits ‘Addiy Ibnu Hatim dalam tafsirannya.
Baik hal ini dinamakan oleh orang yang menamakannya sebagai Tauhidul Ibadah atau Tauhidul Uluhiyyah atau Tauhidsysyar’i atau Tasyri’ atau Tauhiduth tha’ah atau Tauhidul Hakimiyyah atau yang lainnya, maka tidak ada saling menyudutkan dalam ishthilah.
Dari ini engkau mengetahui bahwa yang perlu diingkari adalah (pengingkaran Al Halabiy kepada (sikap) menjadikan hal itu sebagai ushuluddien yang paling penting dan Abwabul Millah yang paling urgent…!!!)
Karena bagaimana tidak seperti itu, sedangkan ia adalah bagian terpenting dari Abwabuttauhid yang mana ia adalah hak Allah atas hamba-hamba-Nya, bukankah Allah tabaaraka wa ta’ala telah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang Rasul, (agar mereka menyerukan): “Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut.” Jadi ini adalah inti millah para Nabi serta poros roda dakwah mereka seluruhnya. Dan karenanya Allah ciptakan makhluk, Dia berfirman: “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” yaitu mereka mentauhidkanKu dalam ibadah, atau beribadah kepadaKu saja sebagaimana yang dituturkan Ahli Tafsir.
Dan ia tergolong al ‘urwatul wutsqa yang barang siapa berpegang teguh dengannya, maka dia selamat dan siapa yang berpaling darinya maka dia rugi, binasa dan sesat dengan kesesatan yang nyata, Allah ta’ala berfirman: “…sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 256)
Atas dasar ini maka tidak ada keraguan bahwa ia adalah Abwabuddien yang paling agung, intinya dan rukun-rukun ‘aqidah yang paling urgent.
Al Halabiy sendiri telah menukil hal seperti ini hal 5 dalam Muqaddimahnya dari Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh ucapannya: “Dan hukum-hukum-Nya yang intinya adalah mentauhidkan-Nya dan ibadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya” Selesai.
Dan kakek beliau Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata “Inti dienul Islam dan pondasinya ada dua:
Pertama:
-   Perintah untuk beribadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya.
-   Memberikan semangat atas hal itu.
-   Berloyalitas di dalamnya.
-   Dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya.
Ke dua:
-   Memberikan peringatan dari syirik dalam ibadah kepada Allah.
-   Menyikapi dengan keras terhadap hal itu.
-   Melakukan permusuhan di dalamnya.
-   Dan mengkafirkan orang yang melakukannya”
   (Majmu’atut Tauhid: 33).
Kenapa saya pergi jauh dalam memberi contoh… Ini dia guru kamu sendiri  (yakni) Al Albaniy menetapkan hal ini dan menggunakan mushthalah ini yang kamu kecam dan kamu kecam orang-orang yang memakainya…12, di mana dia berkata dalam jilid ke enam dari As Silsilah Ash Shahihah pada hadits no: 2507 hal 30: “Bahwa di antara Ushul dakwah salafiyyah adalah bahwa al hakimiyyah itu milik Allah saja”. Selesai.
Bisa jadi kamu tidak mengetahui apa yang ditulis guru kamu13 dan tidak mengetahui ushul dakwah salafiyyah yang kamu klaim…!! atau kamu mengetahui hal ini darinya dan kamu pura-pura tidak melihat, karena boleh bagi sang guru menurutmu apa yang tidak boleh bagi orang lain…!!! Bukankah demikian wahai murid…???
Jadi Al haq (adalah,ed.) bahwa bab Tauhid Al Uluhiyyah dan segala yang berkaitan dengannya, baik itu dinamakan dengan Al Hakimiyyah atau yang lainnya –tidak ragu ia tergolong Ushuluddien yang paling penting– dan oleh karena itu Al Qur’an dari awal hingga akhir hanyalah diturunkan untuknya.
Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata: “Sesungguhnya setiap ayat dalam Al Qur’an mengandung tauhid, menjadi saksi baginya lagi mengajak kepadanya, karena Al Qur’an itu:
-   Bisa berbentuk ajakan kepada ibadatullah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, serta melepas segala yang diibadati selain-Nya. Ia adalah tauhid iradiy thalabiy.
-   Bisa berbentuk perintah dan larangan dalam haq-haq tauhid dan hal-hal yang merupakan kesmepurnaannya.
-   Bisa berbentuk berita tentang pemberian Allah untuk Ahluttauhid dan apa yang Dia perlakukan terhadap mereka di dunia serta apa yang Dia berikan kepada mereka di akhirat. Ia adalah balasan tauhid.
-   Bisa berbentuk berita tentang Ahlusysyirki dan apa yang Dia perlakukan terhadap mereka di dunia berupa siksa dan apa yang menimpa mereka kelak berupa ‘adzab. Ia adalah berita tentang orang yang keluar dari hukum tauhid.
-   Dan bisa berbentuk berita tentang Allah, Nama-Nama-Nya, Shifat-Shifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Ia adalah tauhid ‘Ilmiy Khabariy.
Jadi Al Qur’an seluruhnya tentang Tauhid, haq-haqnya dan balasannya serta tentang lawannya yaitu syirik, para pelakunya dan balasan mereka”. Selesai secara ikhtishar.
Ini adalah hal yang tidak dibantah, kecuali oleh orang yang hobi membantah, bahkan ia adalah lebih penting dan lebih urgent dari tauhidul Asma wash Shifat yang dijadikan oleh ad’iyaussalafiyyah (para pengaku salafiy) hari ini sebagai Ushuluddien yang paling penting, di mana bila disebut nama “’aqidah” di sisinya, maka ia membawanya kepada Al Asma wash Shifat, dan bila “ia” menyebut ‘aqidah, maka sesungguhnya ia baginya hanya satu (yaitu) Tauhidul Asma Wash Shifat…!!!14
Oleh sebab itu sesungguhnya engkau mendapatkan banyak dari mereka mensifati sebagian yang lain dengan ucapannya: “Fulan!! Alangkah bagusnya dia dan alangkah pandainya dia!! Sesungguhnya dia itu salafiyyul ‘aqidah!!” Seraya mereka memaksudkan bab ini dari bab-bab i’tiqad, dan beserta hal itu tidaklah berbahaya bagi mereka bila si fulan tersebut tergolong anshar thaghut atau penasehatnya…!!! Atau pengagumnya atau pendukungnya yang mendoakan baginya agar tetap jaya dan panjang umur kekuasaannya…!!! Atau sampai walaupun dia itu termasuk dewan legislatif yang musyrik di majelis-majelis syiriknya (parlemen).15
Inilah sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah telah berkata: “Maka yang wajib adalah kita menetapkan apa yang telah ditetapkan Al Kitab dan As Sunnah dan kita menafikan apa yang dinafikan Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan lafazh yang mujmal (global) yang tidak ada dalam Al Kitab dan As Sunnah, maka tidak dinyatakan padanya penafian dan penetapan sehingga jelas maksud darinya”. Selesai Majmu Al Fatawa 7/663.
Dan berkata lagi 12/114: “Dan adapun lafazh-lafazh yang tidak ada dalam Al Kitab dan As Sunnah serta tidak disepakati salaf atas penafian atau penetapannya, maka ini tidak ada kewajiban atas seorangpun untuk menyetujui orang yang menafikannya atau yang menetapkannya sehingga ia meminta penjelasan tentang maksudnya, kemudian bila dia memaksudkan dengannya makna yang selaras dengan khabar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengakuinya, dan bila ia memaksudkan dengannya makna yang menyelisihi khabar Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengingkarinya”. Selesai.
Bila engkau faham ini dan mengetahui yang dimaksud dari tauhidul ibadah yang diistilahkan terhadapnya atau terhadap sebagiannya oleh sekelompok dari kalangan muta’akhkhirin dengan (istilah) Hakimiyyah atau tauhidul hakimiyyah, maka nyatalah di hadapanmu bahwa tidak halal menolak atau mengingkari istilah ini, dan jelas pula di hadapanmu setelahnya talbis yang dilakukan Al Halabiy saat berkata tentang bab ini: “Dan ini menurut sejumlah dari ulama!! Adalah penyerupaan terhadap ‘Aqa-id Syi’ah yang sangat busuk yang menjadikan imamah sebagai Ushuluddien yang paling agung…!!! Sedangkan ini adalah pendapat yang batil dan pemikiran yang gugur yang telah dibantah secara kuat oleh Syaikhul Islam…” Selesai.
Sungguh sangat jauh antara tauhid yang agung ini yang kami dengung-dengungkan seputarnya dan yang mana ia adalah poros roda dakwah para nabi dan rasul dan Ashluddien ~walau orang yang keras kepala mencak-mencak~, dengan ‘Aqidah Imamah menurut Rafidlah, yang mana ia berisi iman kepada 12 imam ma’shum!! Dan bahwa Khilafah itu adalah hak yang dirampas dari sebagian mereka serta bahwa imam terakhir mereka adalah Al Mahdi Al Muntadhar versi mereka yang raib di gorong-gorong, yang mereka nanti-nanti masa keluarnya untuk melakukan ini dan itu… dan hal lainnya dari khurafat-khurafat mereka yang mereka jadikan sebagai syarat bagi iman dan rukun yang ke enam dari Arkanul Islam yang mana orang yang tidak meyakininya dikafirkan.
Demi Allah keduanya tidak akan bertemu dan tidak akan serupa
Sampai leher gagak beruban.
Kebatilan yang akhir ini adalah termasuk Khurafat Rafidlah, ia adalah yang dibantah oleh Syaikhul Islam dalam Minhajussunnah, yang pada dasarnya beliau susun sebagai bantahan terhadap salah seorang ulama Rafidlah; sehingga sebagian ulama menamakannya Ar Raddu ‘Alar Rafidliy, dan di antaranya tempat yang diisyaratkan kepadanya oleh Al Halabiy dalam rangka talbis, agar membuat image di hadapan para pengekor bahwa Syaikhul Islam dalam Minhajus Sunnah membantah kepada orang-orang yang mengatakan pentingnya penerapan syari’at Allah, perealisasian tauhidullah subhanahu wa ta’ala wa ta’ala wa ta’ala dalam tha’ah, pemurnian tasyri’ dan hukum bagi-Nya saja, serta mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap makhluk kepada ‘ibadatullah saja!! Hal ini tidak seorangpun menyelisihinya baik Syaikhul Islam maupun para ulama dan imam lainnya. Tidak ada yang membaurkan antara ini dengan ‘aqidah imamah manurut Rafidlah, kecuali orang-orang yang bodoh lagi sesat atau orang-orang yang membuat pengkaburan yang mengetahui perbedaan dan sengaja melakukan tadlis dan talbis… Oh kerinduanku atas dienul Islam (yang bersih) dari orang-orang yang mengkhianati amanah ilmu, dan mengkaburkan al haq dengan al bathil serta menyembunyikan al haq sedang mereka mengetahui.
Bagaimanapun juga sesungguhnya talbis ini bukan dari pengada-adaan Al Halabiy, namun ia telah taqlid dan mengikuti gurunya Rabi’ Ibnu Hadi Al Madkhaliy dan tidak lain dialah yang dimaksud di sini dengan ucapannya: “Dan ini menurut sejumlah dari ulama…!!! adalah penyerupaan terhadap ‘aqa-id Syi’ah…” Sungguh Al Halabiy telah didahului oleh Al Madkhaliy dengan talbis ini saat ia menuturkan dan menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –yang diisyaratkan oleh Al Halabiy kepadanya– dari Minhajus Sunnah dalam bantahannya terhadap ‘Aqidah Imamah menurut Rafidlah, dia (Al Madkhali) tuturkan semuanya –termasuk bantahannya atas klaim mereka bahwa Imamah adalah salah satu rukun iman dengan satu syarat dari syarat-syarat Islam yang mana iman tidak sah kecuali dengannya– seraya tidak malu menempatkan itu semuanya pada konteks bantahannya terhadap orang yang memperbesar status penegakkan Imamah dan Khilafah Rasyidah di muka bumi seraya mengingkari pensifatannya terhadapnya bahwa ia adalah tujuan dien, karena hal itu menurut klaimnya adalah menyelisihi apa yang sudah ma’lum bahwa tujuan dien sebenarnya yang karenanya jin dan manusia diciptakan dan dengannya semua rasul diutus adalah hanya pemurnian ibadah kepada Allah saja, dan dia lalai atau pura-pura tidak tahu bahwa fungsi terbesar Imamah Rasyidah –bukan Imamah Fahd pemimpin dia– adalah mengeluarkan manusia dari peribadatan terhadap makhluk kepada ‘ibadatullah saja dengan cara mentauhidkan-Nya Subhanahu wa ta’ala wa ta’ala wa ta’ala Wa Ta’ala dengan seluruh macam ibadah, dan di antaranya adalah memurnikan penyandaran tahlil, tahrim dan tasyri’ kepada-Nya saja. Dan itu dalam Kitabnya (Manhajul Anbiya Fiddakwah Ilallah Fiihil Hikmah Wal ‘Aqlu)16 lihat hal 108 dst, dan dalam cetakan baru hal 144 dst.
Kontradiksi dan pertentangan yang kusut ini hanyalah terjadi karena dia (Al Madkhaliy) dan yang sepemahaman dengan dia membatasi syirik yang menggugurkan pemurnian ibadah kepada Allah ta’ala hanya pada Syirik Kubah, tempat-tempat yang dikeramatkan dan kuburan, adapun Syirik Qushur (istana/parlemen) yaitu pembuatan qawanin dan dustur, maka itu tidak membahayakan tauhid atau pemurnian ibadatullah menurut mereka, karena ia adalah kufrun duna kufrin…!!!
Sedangkan Al Halabiy mengadopsi sikap ngawur itu, mengisyaratkan kepadanya, bahagia dengannya dan mengikutinya tanpa menisbatkannya kepada pemiliknya, bahkan ia justru membuat dugaan bahwa ini adalah pendapat sejumlah dari ulama…!!!
Kenapa dia tidak menunjukkan kepada kita mereka (ulama) itu…???!!! Atau menyebutkan kepada kita nama selain temannya Al Madkhali ini…!!!
Maka silahkan cantumkan ini pada daftar tahwilat17 dan tadlisatnya…!!!

Sikap Murji’ah Membatasi Kekafiran Pada Juhud Qalbiy Serta Sebagian Contoh Pemotongan Al Halabiy Terhadap Ucapan Ulama Dalam Rangka Membela Madzhab Dia Yang Rusak

(2) Kemudian Al Halabiy menulis sebagaimana kebisaaan kaum Murji’ah menggembor-gemborkan kufur juhud (pengingkaran) hal 4 dst.
Saya tidak mengetahui seorangpun dari Ahlis Sunnah yang menyelisihi bahwa kufur juhud adalah salah satu dari macam-macam kekafiran yang mengeluarkan dari millah terutama di antaranya juhud qalbiy (pengingkaran hati) yang dimaksud satu-satunya oleh kaum Jahmiyyah dan Murji’ah. Ini adalah hal yang disepakati, sehingga penuturan dia terhadap ungkapan-ungkapan para ulama seputar ini hakikatnya adalah penuturan yang banyak dalam hal yang tidak ada faidah di belakangnya, memperpanjang dan memperbesar yang tidak ada guna atasnya serta keluar dari medan perseteruan, di samping sesungguhnya semua nukilan-nukilan dia dalam penghati-hatian dari takfier telah dia kutip dan dia penggal dari ucapan ulama dalam masaail ‘ilmiyyah (Al Asma wash Shifat) yang mana mereka tidak mengkafirkan dengannya kecuali setelah penegakkan hujjah, karena dalam bab ini ada hal-hal yang tidak bisa diketahui kecuali lewat jalan hujjah risaliyyah, jadi perselisihan itu bukan dalam keberadaan bahwa kufur juhud itu termasuk kufur akbar, akan tetapi perselisihan itu tentang keberadaan bahwa orang-orang itu mengembalikan semua macam kekafiran kepada juhud qalbiy sebagaimana ia thariqah (jalan/manhaj) Murji-atul Jahmiyyah.18
Jadi asal acuan mereka dalam hal ini adalah asal yang buruk yaitu ucapan jahmiyyah bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) dengan hati saja. Dan dikarenakan jahmiyyah dan Ghulatul Murji’ah telah mendefinisikan al iman dengan hal itu dan membatasinya pada pengetahuan hati dan pembenarannya, maka sesungguhnya mereka membatasi kekafiran dengan kebalikannya, sehingga dari itu al iman menurut mereka tidak batal kecuali dengan I’tiqad (pendustaan) atau juhud qalbiy atau istihlal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan dalam Kitabul Iman bahwa Ghulatur Murji-ah tidak memandang kecuali kufur juhud dan takdzib.
Murji-ah zaman kita dari kalangan yang berbaju salafiy walau mereka menyelisihi Murji-ah terdahulu dalam penamaan al iman dan definisinya sebagai definisi saja, akan tetapi sesungguhnya mereka menyelarasi Murji-ah terdahulu pada banyak lawazim (konsekuensi) definisi itu, terus mereka menjajakan syubuhat mereka dan menegaskan bahwa takfier itu tidak terjadi kecuali dengan i’tiqad dan juhud qalbiy. Mereka walaupun mendefinisikan al iman dengan definisi yang shahih dan memasukkan di dalamnya ucapan dan perbuatan di samping i’tiqad, namun mereka pada hakikat masalahnya tidak mengkafirkan kecuali dengan i’tiqad saja.
Sebagai contoh saja silahkan perhatikan ucapan Al Halabiy dalam Muqaddimahnya hal 19: “Jadi masalah ini semuanya dalam lingkungan kekafiran dibangun di atas pengguguran al iman dan tidak adanya i’tiqad”. Selesai.
Dan ucapannya sebelum itu hal 9 pada catatan kaki: “Orang yang tetap baginya hukum Islam dengan al iman yang pasti, hanyalah keluar darinya dengan juhud atau takdzib”. Selesai.
Dan ucapannya hal 27: “Maka atas dasar itu seyogyanya menghukumi terhadap matrukat (hal-hal yang ditinggalkan) itu sesuai kaidah meninggalkan yang bersifat i’tiqad…!!! yang dibangun di atas juhud dan inkar atau takdzib atau istihlal bukan atas sekedar meninggalkan”. Selesai.
Ini semuanya, baik mereka mau atau tidak, adalah bagian dari hasil-hasil dan lawazim pendapat bahwa iman itu adalah pembenaran hati (tashdiq qalbiy) saja, meskipun mereka tidak mendefinisikannya seperti itu, namun mereka menganut lawazim-nya, dan oleh sebab itu mereka telah menelantarkan rukun ‘amal yang mereka sebutkan tabarruk-an (mencari berkah) dalam definisi al iman, terus mereka menjadikan peninggalan amalan dan lenyapnya seluruhnya sebagai pengurangan terhadap al iman itu saja, sebagaimana –menurut mereka– tidak ada suatu amalanpun yang bisa membatalkan iman tanpa disertai juhud qalbiy, selamanya…
Dan atas dasar ini, maka bagaimana mereka mengatakan bahwa ‘amal adalah satu rukun dari arkanul iman…?!
Sedangkan al haq adalah apa yang ditetapkan para imam kita, yaitu bahwa di antara ‘amal itu:
·  Ada yang mengurangi al iman, yang mana pelakunya tidak dikafirkan, akan tetapi imannya berkurang.
·  Di antaranya ada yang membatalkan al iman, yang menggugurkan ashlul iman dan membatalkannya.
Macam pertama ialah yang diberi syarat saat takfier dengan juhud, i’tiqad dan istihlal.
Adapun yang ke dua maka tidak disyaratkan hal seperti ini di dalamnya dan ia tidak disebutkan kecuali dalam rangka penambahan dalam kekafiran.19
Kufur kepada thaghut sebagai contoh adalah amal yang mesti ada untuk keabsahan al iman, bahkan ia adalah tergolong cabang-cabang al iman tertinggi, karena ia adalah separuh tauhid dan syaratnya, di mana ia adalah penafian yang ada dalam syahadat “Laa ilaaha illallaah” oleh sebab itu sesungguhnya lenyapnya hal itu membatalkan ashlul iman tanpa khilaf (perselisihan).
Berbeda dengan rasa malu dan menyingkirkan kotoran dari jalan, maka ia adalah amalan yang lenyapnya tidak menggugurkan al iman, namun hanya menguranginya dan melemahkannya bila ia tergolong tingkatan al iman al wajib. Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata dalam kitabnya “Ash Shalat Wa Hukmu Tarikiha hal” 53 yang dinukil darinya oleh Al Halabiy hal 9 dari muqaddimahnya sesuka dia, dan dia melipat apa yang akan kami utarakan kepada anda ini, kemudian dia menuduh orang yang menyelisihinya hal 6: “…bahwa mereka itu bisaanya melipat nukilan-nukilan ini dan menyembunyikannya dari para pengikut mereka…”
Ibnul Qayyim berkata: “Dan cabang-cabang al iman itu ada dua macam: qauliyyah (yang bersifat ucapan) dan fi’liyyah (yang bersifat perbuatan), dan begitu juga cabang-cabang al kufru ada dua macam: qauliyyah dan fi’liyyah. Dan di antara cabang-cabang al iman yang bersifat ucapan ada cabang yang lenyapnya (ia) mengharuskan lenyapnya al iman, dan begitu juga dari cabang-cabangnya yang bersifat perbuatan ada cabang yang lenyapnya (ia) mengaharuskan lenyapnya iman.
Begitu juga cabang-cabang kekafiran yang bersifat ucapan dan perbuatan, sebagaimana (orang menjadi) kafir dengan sebab mendatangkan ucapan kekafiran secara ikhtiyar (tidak dipaksa) sedang ia adalah cabang dari cabang-cabang kekafiran, maka begitu juga (menjadi) kafir dengan sebab melakukan satu cabang dari cabang-cabangnya, seperti sujud kepada berhala dan melecehkan mushhaf”. Selesai.
Sedangkan Jahmiyyah sekarang dan Murji-ah masa kini kembali kepada Ushul para pendahulu mereka dari kalangan Murji-ah terdahulu saat mereka didesak (disudutkan) dengan cabang-cabang kekafiran yang bersifat ucapan atau perbuatan, seperti sujud kepada berhala, melempar mushhaf ke comberan, membunuh Nabi atau mencela Allah, mencela Rasul, dan membela orang-orang kafir atas kaum muwahhidin.
Semua itu adalah amalan-amalan yang mengkafirkan yang tidak seorangpun dari Ahlus Sunnah mensyaratkan di dalamnya juhud atau istihlal, akan tetapi Kaum Murji-ah mengatakan: Sesungguhnya amalan-amalan ini tidak muncul, kecuali dari keyakinan yang rusak, juhud, keraguan dan istihlal, dan inilah kekafiran itu menurut mereka bukan amalan-amalan tersebut.
Ucapan yang busuk ini adalah ucapan Bisyr Al Mirrisiy dan orang yang berjalan di atas jalannya dari kalangan Murji’ah Jahmiyyah, dan di antara ucapan-ucapan keji yang disandarkan kepada dia adalah ucapannya: Sesungguhnya sujud kepada matahari dan bulan bukanlah kekafiran, tapi ia adalah tanda terhadap i’tiqad al kufr…!!! Perhatikan ini kemudian lihat pada ucapan-ucapan mereka… “Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Adz Dzaariyaat: 53).
Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka dengarkanlah apa yang dikatakan para imam mereka:
Abu Ya’qub Ishaq Ibnu Rahuwaih berkata: “Dan di antara yang diijmakan atas pengkafirannya dan mereka vonis kafir terhadapnya sebagaimana mereka vonis (kafir) terhadap yang mengingkari, adalah orang mu’min yang beriman kepada Allah ta’ala dan kepada apa yang datang dari sisi-Nya kemudian dia membunuh Nabi atau membantu terhadap pembunuhannya dan dia berkata membunuh para Nabi itu diharamkan maka dia kafir”.20 Selesai.
Syaikhul Islam telah menukil pernyataan ijma atas hal ini dari Ishaq dalam Ash Sharimul Maslul juga hal 453, dan beliau berkata dalam Ash Sharimul Maslul: “Sesungguhnya orang yang mencela Allah atau mencela Rasul-Nya adalah telah kafir lahir dan batin, baik orang yang mencela itu meyakini bahwa itu diharamkan atau dia menganggapnya halal atau dia lalai dari keyakinannya. Ini adalah madzhab para fuqaha dan seluruh Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa al iman itu ucapan dan perbuatan…” sampai beliau berkata: “Dan begitu juga para sahabat kami dan yang lainnya berkata: Siapa yang mencela Allah maka dia telah kafir baik dia itu bercanda atau serius” beliau 20 Dari berkata: “Dan inilah yang benar lagi dipastikan”. 20
Beliau juga menukil dari Al Qadli Abu Ya’la dalam Al Mu’tamad: “Siapa yang mencela Allah atau mencela Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia kafir baik dia menghalalkan celaan itu atau tidak menganggapnya halal, kemudian bila ia berkata: saya tidak menghalalkan itu maka (itu) tidak diterima darinya…” Selesai.
Syaikhul Islam berkata dalam Kitab yang sama hal 515: “Dan wajib diketahui bahwa pendapat yang mengatakan bahwa kekafiran orang yang mencela (Allah atau Rasul-Nya) padahal yang sebenarnya hanyalah karena ia menganggap halal celaan itu, adalah ketergelinciran yang munkar dan kesalahan yang fatal”. Berkata: “Dan sebab terjatuhnya orang yang terjatuh di dalamnya hanyalah dengan sebab apa yang mereka cerna dari ucapan sekelompok dari orang-orang terkini mutakallimin, yaitu jahmiyyah inats yang berpendapat dengan pendapat jahmiyyah terdahulu yaitu bahwa iman itu sekedar tashdiq (pembenaran) yang ada di hati…” selesai... maka perhatikanlah dari siapa orang-orang itu mengambil rujukan…!!!
Dan berkata di halaman 518: “Sesungguhnya meyakini kehalalan mencela (Allah dan Rasul-Nya) adalah kekafiran baik ia disertai adanya celaan itu atau tidak” Selesai.
Ucapan beliau yang akhir ini sangat serupa dengan ucapan muridnya Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin saat menuturkan ucapan-ucapan tentang takwil firman-Nya ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir,” (Al Maa-idah: 44) dan beliau menyebutkan di antara hal itu: “Orang yang mentakwil ayat ini terhadap meninggalkan al hukmu bima anzalallah seraya mengingkarinya, dan ia adalah ucapan Ikrimah”.
Kemudian berkata: “…dan ia adalah takwil yang marjuh (lemah), karena juhudnya itu sendiri adalah kekafiran baik ia memutuskan ataupun tidak”.21 Selesai. (Madarijus Salikin 1/336).
Syaikhul Islam berkata juga dalam tafsir firman-Nya ta’ala: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,” (An Nahl: 106), berkata: “Seandainya orang yang mengucapkan kekafiran tidak menjadi kafir kecuali bila melapangkan dadanya untuknya22 tentulah tidak dikecualikan orang yang dipaksa, namun tatkala dikecualikan orang yang dipaksa maka diketahuilah bahwa setiap orang yang mengucapkan kekafiran selain yang dipaksa maka dia itu telah melapangkan dadanya untuk kekafiran, jadi ia adalah hukum dan bukan syarat/qayyid bagi hukum itu”. Selesai.
Pahamilah baik-baik ucapan beliau yang akhir: “…ia adalah hukum dan bukan syarat/qayyid bagi hukum itu”.
Jadi orang yang menyatakan kalimat kekafiran atau orang yang melakukan perbuatan kekafiran tanpa udzur syar’iy adalah kafir, kita hukumi dia kafir lahir dan batin, karena pernyataan dia akan kalimat kekafiran tanpa udzur adalah dalil yang menunjukkan dia meyakini kekafiran, dan bukan sebaliknya sebagaimana yang disyaratkan jahmiyyah, di mana mereka tidak mengkafirkan, kecuali dengan syarat i’tiqad atau istihlal atau juhud qalbiy, dan karena itu engkau melihat afrakh jahmiyyah sebagaimana yang lalu berlindung pada ungkapan-ungkapan para pendahulunya saat mereka disudutkan (ilzam) dengan sebagian mukaffirat ‘amaliyyah yang diijmakan oleh Ahlul Islam, di mana mereka mengatakan: Kami kafirkan pelakunya, karena perbuatan-perbuatan semacam ini tidak muncul kecuali dari keyakinan kufur yang rusak. Jadi perbuatan-perbuatan kufur yang tegas itu menurut mereka bukanlah kekafiran, namun yang kufur atau syaratnya menurut mereka adalah dorongan hati terhadap perbuatan-perbuatan itu.
Padahal yang benar adalah bahwa ini adalah hukum dan bukan syarat juga bukan qaid (batasan) sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam.
Ibnu Hazm23 berkata dalam Kitab Ad Durrah Fima Yajibu I’tiqaduhu hal 339: “Maka sahlah dengan nash Al Qur’an bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekafiran tanpa taqiyyah maka ia telah kafir setelah dia Islam, sehingga sahlah bahwa orang yang meyakini al iman dan ia mengucapkan kekafiran maka ia di sisi Allah ta’ala adalah kafir dengan nash Al Qur’an” selesai.
Dan ini adalah isyarat darinya kepada ayat Surat An-Nahl tentang ikrah.
Beliau berkata dalam bantahannya terhadap Ahlul Irja: “Seandainya seseorang berkata: Sesungguhnya Muhammad ‘alaihish shalatu was salam adalah kafir dan setiap orang yang mengikutinya adalah kafir,” dan dia diam, sedang dia memaksudkan (bahwa mereka itu) kafir terhadap thaghut sebagaimana firman Allah ta’ala: “Siapa yang kafir terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang pada al ‘urwah al wutsqa”  tentulah tidak seorangpun dari ahlul Islam akan berselisih bahwa orang yang mengatakan hal ini divonis kafir.
Dan begitu juga seandainya ia berkata “Bahwa Iblis, Fir’aun dan Abu Jahal adalah mu’minun” tentu tidak seorangpun dari Ahlul Islam berselisih bahwa orang yang mengatakan hal ini divonis kafir, padahal ia bermaksud bahwa mereka itu beriman terhadap dienul kufri”24 Selesai.
Saya berkata: Maka sahlah bahwa kami mengkafirkannya dengan sekedar ucapan dan perbuatannya yang kafir, dan kita tidak ada urusan dengan keyakinan batinnya, dan begitulah setiap orang yang menampakkan ucapan atau perbuatan yang telah Allah namakan kekafiran yang mengeluarkan dari millah, maka kami mengkafirkannya dengan sekedar ucapan atau perbuatan itu karena keyakinan batinnya tidak diketahui kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla.
Sedangkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk merobek hati manusia.”25
Maka orang yang mengklaim selain ini adalah orang yang mengklaim mengetahui yang ghaib, sedangkan orang yang mengklaim ‘ilmu ghaib tidak ragu adalah dusta.
Selagi kita bersama Ibnu Hazm maka ada baiknya bagi saya wahai saudaraku pembaca sebelum meninggalkan tempat ini memperkenalkanmu terhadap contoh-contoh dari (‘amanah’)…???!!! Al Halabiy –dan akan datang hal serupa yang banyak– supaya engkau mengetahui bagaimana berinteraksi dengan kitab-kitab dan nukilan-nukilannya, sungguh dia telah menukil di catatan kaki hal 4 di muqaddimahnya dari Ibnu Hazm ucapannya tentang definisi kufur: (“Kufur adalah sifat orang yang mengingkari suatu dari apa yang telah Allah ta’ala fardlukan iman kepadanya setelah tegak hujjah terhadapnya dengan sampainya al haq kepadanya”).
Dan perhatikan bagaimana dia (Al Halabiy) menutup kurung di sini dan meletakkan titik dengan penuh berani, padahal ucapan itu memiliki lanjutan yang penting yang menggugurkan talbis-talbis Al Halabiy, kejahmiyyahan dia serta Irja-nya, yaitu ucapan Ibnu Hazm setelah itu langsung: “…dengan hatinya tanpa disertai lisannya atau dengan lisannya tanpa disertai hatinya atau dengan keduanya secara bersamaan atau melakukan amalan yang telah datang nash bahwa ia mengeluarkannya dengan hal itu dari nama al iman).26
Yang dipenggal Al Halabiy dan ia nukil sepotong dari ucapan Ibnu Hazm di sini adalah tajahhum (faham jahmiyyah) murni!! Terutama sesungguhnya dia (Al Halabiy) tidak memandang juhud kecuali juhudul qalbi (pengingkaran hati). Jadi atas dasar ini ia tergolong barang dagangan (bidla’ah) Ahlut Tajahhum Wal Irja yang tidak laku lagi tidak berharga di kalangan Ahlus Sunnah, yang laris lagi menguntungkan di kalangan para thaghut dan kaki tangan mereka dari jajaran Ahlul bid’ah…!!!
Akan tetapi dengan tambahan ini yang dilipat oleh Al Halabiy dengan amanah ilmiyyahnya…!!! Dan dia potong dengan kelihaiannya dan kecekatan tangan copetnya…!!! Adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang merasa sesak darinya dada Ahluttajahhum wal Irja, dan oleh karenanya mereka itu seperti yang dikatakan Al Halabiy hal 6: “melipat nukilan-nukilan ini!! Dan menyembunyikannya dari para pengikut mereka…!!!”
Dan seperti apa yang dia katakan hal 16: “…mereka membuang dari nukilan suatu yang menjelaskannya dan menjabarkannya…!!! Maka apa yang kita katakan…???”
Dan berkata hal 35: “Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang itu (dan Dhilal mereka) yang bertebaran (di sini) dan (di sana) mereka itu tidak lain adalah (Asybah/bayangan bohong) dalam ilmu dan (para peniru) dalam pengetahuan, bila mereka menulis maka mereka mentahrif!!! Dan bila mereka berdalil maka mereka merubah dan memalingkan!!!” Selesai.
Saya berkata: Siapa sebenarnya mereka itu…???!!!
Sesungguhnya ucapan Ibnu Hazm bersama bagian yang dipenggal dan dilipat Al Halabiy adalah sangat jelas menerangkan bahwa kekafiran itu bisa berbentuk:
1.     Juhud dengan hati tanpa disertai lisan.
2.     Juhud dengan lisan tanpa disertai hati.
3.     Atau dengan keduanya secara bersamaan.
4.     Atau melakukan amalan yang telah datang nash bahwa ia mengeluarkannya dengan hal itu dari nama al iman.
Perhatikanlah macam ke dua dan ke empat, karena perseteruan adalah dalam dua hal itu, oleh sebab itu Al Halabiy menyembunyikan tambahan itu. Semoga Allah merahmati Al Waki’ Ibnul Jarrah di mana beliau berkata: “Ahlul ilmi menulis apa yang mendukung mereka dan apa yang menyudutkan mereka, sedangkan Ahlul Ahwa tidak menulis, kecuali apa yang menguntungkan mereka”27 (HR. Ad Daruquthniy)
Peringatan: Dan sebelum meninggalkan tempat ini saya mengingatkan pembaca bahwa Al Halabiy telah berhujjah juga untuk madzhabnya ini dalam membatasi kekafiran terhadap takdzib dan juhud hal 8; dengan apa yang dia nukil dari Abu Ja’far Ath Thahawiy rahimahullaah berkata: “…orang tidak menjadi kafir dari28 keberadaannya dia muslim! Dan keIslamannya itu terjadi dengan pengakuan akan Islam, maka begitu juga riddahnya tidak terjadi kecuali dengan Juhudil Islam (mengingkari Islam)”29 Selesai.
Dan ucapan ini dipenggal…!!! oleh Al Halabiy dari penutup ucapan Ath Thahawiy tentang penjelasan musykil (kesulitan) apa yang diriwayatkan dari sabdanya “Siapa yang tidak menjaga shalat yang lima waktu, maka di hari kiamat ia bersama Fir’aun”30 sedangkan telah jelas di hadapan anda dalam uraian yang lalu bahwa membatasi kekafiran dan riddah terhadap juhud saja tidak lain adalah satu hasil dari hasil-hasil paham Irja!!! Dasar itu dan sebabnya adalah ucapan Murji’ah bahwa Al Iman itu adalah tashdiq saja, dan dari sana mereka membatasi kufur dan riddah terhadap lawannya yaitu juhud qalbiy dan takdzib dan telah kami jelaskan kebatilan taqdid ini dengan penjelasan yang tidak perlu saya ulang lagi. Akan tetapi tidak selayaknya bagi pencari kebenaran terpedaya atau terheran-heran dari kemunculan ungkapan semacam ini dari Abu Ja’far Ath Thahawiy, karena para penuntut ilmu yang masih yunior mengetahui bahwa risalah ‘aqidahnya yang masyhur dengan nama Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah telah mendapat penerimaan seluruh isinya oleh Ahlus Sunnah kecuali beberapa ungkapan, di antaranya keselarasan beliau dengan sekelompok dari kalangan Murji’ah terhadap definisi Al Iman, yaitu (tashdiq dengan hati dan pengakuan dengan lisan) tanpa menyebutkan amal, padahal sudah ma’lum bahwa ini termasuk yang dikritik oleh ulama dan muhaqqiqun terhadap kalangan Ahnaf (madzhab Hanafi) secara umum dan di antaranya penulis Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah, dan para ulama menamakan mereka sebagai (Murji’ah Fuqaha), dan dari sana tidak anehlah bila Ath Thahawiy membatasi kufur dengan juhud serta tidak asing bila muncul darinya ungkapan seperti ini, karena ia adalah di antara buah-buah definisi itu, namun yang aneh adalah orang yang mengaku salafi…!!! Dan menganut definisi salaf terhadap iman malah mengikuti hal itu seperti Al Halabiy ini…!!! Di mana dia mengambil dan memenggal dari tulisan Al Imam Ath Thahawiy tempat yang memang telah dikritik terhadapnya ini, dan Al Halabiy tidak melakukan itu, kecuali karena ungkapan itu selaras dengan paham Tajahhum dan Irja dia… sehingga saya tidak melihat perumpamaan baginya dalam hal ini (kecuali lalat yang selalu mencari sumber penyakit).

9 Sebagaimana yang dilakukan sebagian ulama Saudi pada zaman ini, bahkan mereka dalam hal itu lebih buruk dari Khawarij dan Mu’tazilah, karena Khawarij telah menganggap baik orang muslim non Quraisy untuk menjadikannya imam bagi kaum muslimin karena mudah menentangnya dan menggantinya bila dia menampakkan kekafiran, sedangkan ini adalah istihsan (penganggapan baik) yang jelas batil. Adapun ulama Saudi tadi telah bermufakat terhadap penamaan ini bagi orang kafir dan orang dungu non Quraisy, mereka membai’atnya dan mengakuinya sebagai penguasa dan imam, sedangkan ini lebih jelas dan lebih nyata dalam kebatilannya, maka perhatikanlah…!!!
10 Lihat perkataan Syaikhul Islam dalam hal ini “Ar Risalah At Tis’iniyyah hal 204-206 dari Majmu’atul Fatawa juz 5 cetakan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
11 Dan lihat risalah kami: Al Farqul Mubin Baina Tauhidil Mursalin Wa Tauhidi Wathaniyyin.
12 Dan itu dalam konteks serangannya terhadap sebagian ikhwan dia yang salafiy (Muhammad Nasib Ar Rifa’iy) yang dia hajr lalu dia jauhi, karena penyelisihan dia terhadapnya dalam suatu masalah yang mana Al Albaniy sendiri mengakui dalam tempat tersebut bahwa itu adalah ijtihadiyyah. Dan masalah itu jauh lebih ringan dari apa yang dilakukan oleh sebagian (para penasehat thawaghit) atau kaki tangan mereka dan para bamper mereka dari kalangan para pengklaim salaf, yang telah membai’at para thaghut penguasa di berbagai negara, namun demikian mereka itu adalah buah hati Syaikh dan tergolong orang-orang khususnya serta ia tidak berpikir sebentarpun untuk meng-hajr-nya.
13 Tidak ragu bahwa kami mengetahui ucapan para Syaikh mereka (para pengaku salafi) dan keyakinan-keyakinannya lebih dari (diri) mereka. Sungguh kami telah menghadiri banyak majelis mereka, kami telah mendengarkan banyak dari kajian-kajian mereka dan kami telah membaca apa yang mereka baca dari tulisan-tulisan mereka di masa awal pencarian (ilmu), akan tetapi kami tidak terpaku terhadapnya seperti mereka, namun kami menyaringnya dan menyodorkannya di hadapan Al Kitab, As Sunnah dan ‘Aqidah Salaf yang haq…!!! Kemudian yang selaras dengan hal itu kami menerimanya dan apa yang menyelisihinya maka kami tolak, sehingga kami lebih mengetahui akan hakikatnya daripada orang-orang yang intisab kepada mereka. Kemudian orang-orang dungu di antara mereka bertanya kepada kami: Siapa kamu dan siapa guru-gurumu…???
14 Sebagaimana ia adalah ungkapan Al Halabiy dalam Al Hakimiyyah…!!! Dengan disertai kewaspadaan terhadap mushthalah ‘Aqidah, karena ishthilah ini terkadang dimaksudkan dengannya oleh Ahluttajahum wal Irja pengaitan dan pengembalian Ushuluddien  terpenting kepada keyakinan hati saja… Dan dengan demikian mushthalah itu adalah bagian dari pengaruh pemikiran Irja.
15 Dan orang akhir ini adalah terkenal di kalangan Salafiy Kuwait…!!! Dan silahkan tanya orang yang tahu tentang mereka.
16 Dulu saya telah mengkritiknya atas hal itu setelah muncul cetakan pertamanya, dan saya cantumkan itu dalam risalah saya (Mizanul I’tidal Fi Taqyim Kitab Al Maurid Az Zallal), namun dia tidak mengambil manfaat dengannya dan tidak kapok, namun justeru dia bersikukuh di atasnya dan keras kepala serta menuturkannya dalam cetakan ke-duanya, dia mendebat, dan putar sana putar sini dalam membantah ucapan saya dalam muqaddimahnya serta dia mengutarakan kepada saya sejumlah kritikannya terhadap Al Maududiy agar ia meng-ilzam (mengharuskan) saya sedangkan kritikan-kritikan itu tidak bisa meng-ilzam saya, karena kami wa lillahil hamdu wal minnah lebih mengetahui daripada dia tentang apa yang ada pada Al Maududiy berupa kekeliruan, dan kami tidak membela-bela kekeliruan atau mengakui kebatilan siapapun orang yang mengatakannya, akan tetapi bukan di antara hal itu suatu yang membuat sesak dada Al Madkhali dan yang lainnya dari kalangan Jahmiyyah dan Murji’ah darinya, berupa pengagungan status tauhidullah dalam Abwabuttasyri’ dan hukum serta apa yang tercabang darinya berupa fokus pada takfier thawaghit penguasa dan pentingnya berupaya untuk pengembalian Khilafah serta penegakkan al imam yang mengayomi ahlul Islam, dan yang lainnya yang selalu mereka cela dan mereka menilainya sebagai bagian mempolitisir dien ini…!!! Sedangkan lisan mereka mengatakan: “Biarkan apa yang buat Fahd buat Fahd dan apa yang buat Allah buat Allah…!!!”
17 Tahwilat jamak dari tahwil yaitu sikap memperbesar dan membengkakkan masalah agar nampak besar di hadapan orang lain. (pent).
18 Sebagaimana yang dilakukan Murad Syukri dalam Kitabnya “Ihkamut Taqrir Li Ahkam Mas’alatit Takfier”, dia telah menukil dari Abu Hamid Al Ghazaliy dalam Kitabnya “Faishalut Tafriqah Bainal Islam Waz Zandaqah”, sedangkan ini semua materinya tentang tahdzir dari takfier dalam bab-bab Al Asma Wash Shifat (al masaail al ‘ilmiyyah) sebagaimana ia nampak jelas bagi orang yang menelaahnya, sedangkan perseteruan kami dengan mereka bukanlah dalam bab ini.
Ada baiknya pada tempat ini saya menuturkan ucapan saudara kami Abu Qatadah –semoga Allah menjadikannya kerikil tajam di mata kaum Jahmiyyah dan penyumbat di tenggorokan Ahlul Irja– nukilan dari apa yang beliau terbitkan di bawah judul “Baina Manhajain” sebagai komentar terhadap buku tersebut, di mana ia berkata: “Dan dalam kitab lain milik dua orang murid –yaitu dari murid-murid Al Albaniy– yang berjalan di atas jalur Irja yang sangat busuk dalam bab ini, keduanya adalah; Penulis Kitab itu (Murad Syukri) dan editornya (Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabiy). Kitab ini adalah “Ihkamut Taqrir Li Ahkam Mas’alatit Takfier” cetakan Darul ‘Ushaimiy Riyadl, di mana si penulis dan sang editor menyatakan: Bahwa di dunia ini tidak ada kecuali kufur takdzib terhadap semua dosa mukaffirah dan ghair mukaffirah, di mana keduanya berkata: “Orang muslim tidak dikafirkan, kecuali bila ia mendustakan Nabi salallaahu ‘alaihi wa sallam dalam apa yang beliau bawa dan beliau kabarkan, baik takdzib itu berbentuk juhud seperti juhud iblis dan Firaun atau takdzib dengan makna pendustaan” hal 13, sedangkan pendapat ini adalah pendapat Ghulatul Murji’ah (Murji’ah yang ekstrim), karena keduanya tidak mengenal kecuali kufur takdzib dan juhud, dan anehnya dalam hal ini keduanya menyodorkan bukti dengan ucapan Ibnu Taimiyyah dalam Dar-u Ta’arudlil ‘Aqli Wan Naqli 1/242 di mana beliau berkata: “Dan kekafiran itu hanyalah terjadi dengan mendustakan Rasul dalam apa yang beliau kabarkan atau menolak dari mengikutinya padahal mengetahui akan kebenarannya, seperti kekafiran Fir’aun dan Yahudi”, Bagaimana keduanya memahami dari perkataan Ibnu Taimiyyah itu apa yang mereka nyatakan dalam Kitab itu…???
Jawabannya: Kami tidak tahu selain kami mengatakan bahwa itulah pengikutan yang buruk terhadap hawa nafsu dan pemutarbalikan masalah agar selaras dengan i’tiqad yang batil, karena Ibnu Taimiyyah menjadikan kekafiran itu dua macam, kufur takdzib yaitu yang berkaitan dengan berita, dan kufur i’radl (berpaling) atau ’inad (pembangkangan) (yaitu yang berkaitan dengan tha’ah dan inqiyad (ketundukan) sedangkan dua orang itu membatasi dua hal ini dengan takdzib saja.
Di samping sesungguhnya kitab ini “Ihkamut Taqrir” termasuk tulisan yang paling bodoh dan paling rusak yang disusun dalam bab ini –materi takfier– namun suatu yang baru dalam gerakan salafiy yang menyimpang ini adalah meninggalkan kitab-kitab salafiyyah dalam materi Al Iman dan Al Kufru, dan tidak berhujjah dengannya serta malah merujuk kepada kitab-kitab Khalaf yang menyimpang dalam materi Al Iman. Murad Syukri dan Ali Al Halabiy Al Atsariy…!!! (penulis dan editor) sama sekali tidak malu mengambil bukti dalil dengan Abu Hamid Al Ghazaliy, Muhammad Bukhait Al Muthi’iy dan Al ‘Allamah Adlududdien Al Aayijiy dalam Al ‘Aqa-id Al ‘Adludiyyah serta pensyarahnya Ad Dawaniy, sedangkan shighar ath thalabah (para penuntut ilmu yang masih pemula) mengetahui bahwa mereka itu antara Asya’irah atau Maturidiyyah, dan kedua firqah itu tergolong firaq Irja dalam bab al iman dan al kufru, namun begitulah permainan tarik tambang, dan andaikata seseorang berhujjah dengan mereka dalam babul asma’ wash-shifat tentu mereka akan membantah terhadapnya seraya berkata: Mereka itu bukan di atas Madzhab AhlusSunnah dalam bab ini, “tapi kenapa mereka mengetahui ini dan jahil akan hal itu, atau masalahnya seperti apa yang dikatakan seorang penyair:
Sehari di Hazwa dan hari lain di Aqiq dan di Adzib sehari dan hari lain di Khalisha
Kadang kami singgah di Nejd dan kali lain di lembah Ghawir dan nantinya di istana Taima
Bahkan yang lebih mengherankan dari itu semuanya adalah bahwa keduanya menutup kitabnya dengan ucapan Abu Hayyan At Tauhidiy dalam kitabnya “Al Imta’ Wal Mu’anasah”, sedangkan Abu Hayyan ini tergolong kaum zindiq yang mengaku Islam sebagaimana yang dikatakan Ibnul Jauziy: “Zanadiqatu Islam ada tiga: Ibnu Ar Rawandiy, At Tauhidiy dan Abu ‘Alla Al Ma’arriy, sedangkan yang paling busuk terhadap Islam adalah At Tauhidiy, karena yang dua orang terang-terangan sedang dia tidak terang-terangan” selesai, dan dia itu di atas pendapat Mu’tazilah, buruk lisannya, dan ia sebagaimana pribahasa (celaan kerjaannya dan kejelekan warungnya), lihat biografinya dalam Mu’jam Al Udaba karya Yaqut, dan dalam Bughyatuddu’ah serta dalam Lisanul Mizan. Salafi macam apa ini…???!!! Dan apa yang tersisa pada mereka agar sah intisab mereka kepada As Salaf Ash Shalih…???, atau ia itu klaim-klaim murahan dan slogan-slogan dusta” selesai ucapan Abu Qatadah hafidhahullah ta’ala.
19 Silahkan rujuk kitab kami: Imtaunnadhar Fi Kasyfi Syubuhati Murjiatil ‘Ashri.
20 Dari Kitab: Ta’dhi Qadrish Shaleh karya Al Marwaziy
21 Dan ini juga termasuk yang dilipat oleh Al Halabiy dalam nukilan-nukilan dia dari Ibnul Qayyim dalam masalah ini. Dan dia telah memilih-milih dari tempatnya sesuai dengan cara yang dia suka, sebagaimana dalam hal 7 dari Muqaddimahnya dan lihat hal 40, dia berpaling dari ini dan tidak mengisyaratkan kepadanya. Dan akan datang banyak sekali dari macam lipatan, penyembunyian dan pemotongan –yang suka dia tuduhkan kepada orang lain–, maka semoga Allah merahmati Waki’ saat berkata: “Ahlus Sunnah atau Ahlul ilmi menulis apa yang menguntungkan mereka dan apa yang menyudutkan mereka, sedangkan Ahlul Ahwa tidak meriwayatkan kecuali apa yang menguntungkan mereka”.
22 Yaitu dengan I’tiqad atau Juhud Qalbiy, sebagaimana yang dipandang Ahluttajahhum wal Irja.
23 Kami hanya menukil darinya apa yang dipuji Syaikhul Islam di dalamnya berupa perkataan dalam Masaailul Iman dan bantahan terhadap Murji’ah secara khusus sebagaimana dalam Al Fatawa 4/18-19, sebagaimana kami membedakan apa yang ada di dalam kitab-kitabnya berupa kerancuan dalam ungkapan yang memberikan dugaan bahwa beliau menajdikan amalan seluruhnya termasuk Al Iman Al Wajib dan tidak ada suatupun darinya termasuk Ashlul Iman, dan dari sana suatu yang memberikan dugaan terhadap itu berupa keselarasan (terhadap) Murji’ah dalam hal tidak takfier dalam meninggalkan amalan seluruhnya… lihat Al Muhalla 1/40 dan Al Fashl 3/255. Dan adapun bahwa di antara amalan itu ada perbuatan yang bila dilakukan adalah kekafiran, maka telah lalu bahwa ia di atas madzhab yang Ahlus Sunnah dalam hal ini sedangkan kami hanya menukil darinya sesuatu yang seperti itu, dan semua (orang,ed) itu diambil dari ucapannya dan ditolak kecuali Al Ma’shum shalallaahu ‘alaihi wa sallam.
24 Al Fashl 3/253.
25 HR Al Bukhari dalam shahihnya pada Kitabul Maghaziy.
26 Lihat (Ihkamul Ahkam Fi Ushulil Ahkam) jilid 1 juz 1 hal 49, dan ketahuilah bahwa Al Halabiy telah menisbatkan definisinya yang berfaham Jahmiyyah yang dia penggal ini kepada Al Muhalla 1/40, dan telah saya rujuk dua cetakan yang berbeda yang bisa saya dapatkan di penjara copyan dari juz yang Al Halabiy menisbatkan kepadanya, yaitu cetakan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah dan cetakan Darul Jail, serta copyan darinya milik Darul Fikri, ternyata dalam itu semua tidak ada apa yang disebutkan Al Halabiy seraya dipenggal seperti ini. Maka nampaknya dia tidak mengambil dari Ushul (sumber asli).
27 Dan yang mengherankan adalah bahwa Al Halabiy tidak malu setelah ini dari berdalil dengan ungkapan ini terhadap orang-orang yang menyelisihinya sebagaimana yang dia lakukan di catatan kaki hal 76, dan engkau akan melihat dalam lembaran-lembaran ini hal yang banyak dari sikap kontradiksinya.
28 Begitu dalam Muqaddimah Al Halabiy, sedangkan dalam Musykilul Aatsar: (kecuali dari).
29 Musykilul Aatsar 4/528.
30 Faidah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Majmu Al Fatawa 20/98 saat beliau berbicara tentang orang yang meninggalkan shalat: “Dan orang dari kalangan fuqaha yang menyatakan bahwa tidak dikafirkan kecuali orang yang mengingkari kewajibannya, sehingga juhud (pengingkaran) menurutnya mencakup:
-   pendustaan terhadap kewajiban
-   dan penolakan dari pengakuan dan komitmen, sebagaimana firman Allah ta’aalaa:  “Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah,” (Al An’aam: 33) dan firman-Nya ta’aalaa: “Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.” (An Naml: 14).
Dan kalau tidak demikian, kapan saja dia tidak mengakui kewajibannya dan (tidak) komitmen dengannya maka dia dibunuh dan kafir dengan kesepakatan.”

1 komentar: