Oleh: Syaikh Nashr Ibnu Hamd Al Fahd
Ini adalah bahasan yang singkat yang menjelaskan hakikat Daulah ‘Utsmaniyyah (Turki Utsmani) yang sering dipuja dan dipuji oleh banyak kalangan yang mengaku dirinya sebagai aktifis Islam, dan mereka menyebutnya sebagai benteng terakhir dari benteng-benteng Islam yang dengan kehancuran daulah tersebut maka hancurlah kejayaan Islam.
Sesungguhnya orang yang mengamati keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah -sejak ia berdiri sampai keruntuhannya-, maka tidak akan ragu bahwa daulah ini telah berandil besar dalam merusak ‘aqidah kaum muslimin, dan hal itu sangat nyata dari dua sisi:
Pertama: Andilnya dalam menyebarkan kemusyrikan.
Kedua: Peranannya dalam memerangi dakwah tauhid.[1]
Daulah ‘Utsmaniyyah ini telah menyebarkan kemusyrikan dengan bentuk mereka menyebarkan paham shufi syirik yang berdiri di atas prinsip peribadatan kepada kuburan dan para wali. Ini adalah realita nyata yang tidak membantah di dalamnya seorangpun termasuk orang-orang yang suka berdebat untuk membela-bela Daulah ‘Utsmaniyyah ini. Saya akan menuturkan berikut ini sebagian pernyataan yang membuktikan hal itu dari ucapan orang-orang yang masih toleran terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah ini.
Abdul Aziz Asy Syanawi di dalam kitabnya (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha)!! 1/59 berkata dalam konteks memujinya: (Di antara fenomena arus keagamaan di dalam politik negara ini adalah pemberian support terhadap paham shufi di kalangan ‘utsmaniyyin, di mana negara telah membiarkan para syaikh berbagai thariqat shufiyyah melakukan otoritas yang luas terhadap para jama’ah dan para pengikutnya. Thariqat-thariqat ini pertama-tama menyebar dengan penyebaran yang sangat luas di wilayah Asia Tengah kemudian terus menjamur di mayoritas wilayah kekuasaan Daulah ‘Utsmaniyyah…..dan negara telah memberikan suplai bantuan dana kepada sebagian thariqat shufiyyah….dan di antara thariqat terpenting adalah Naqsyabandiyyah, Mulawiyyah, Baktasyiyyah dan Rifa’iyyah….) selesai.[2]
Muhammad Quthub berkata di dalam kitabnya (Waqi’unal Mu’ashir hal 155): “Sungguh shufiyyah ini telah mulai menyebar di masyarakat masa ‘Abbasiyyah, namun ia adalah pojok yang terpencil dari masyarakat. Adapun di bawah payung Daulah ‘Utsmaniyyah dan secara khusus di Turki, maka ia itu telah menjadi fenomena umum masyarakat, dan ia itu telah menjadi dien (agama) utama”. Selesai.
Di dalam (Al Mausu’ah Al Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Al Mu’ashirah hal: 348) dikatakan: “Bakdasyiyyah: Orang-orang Turki ‘Utsmani adalah menganut paham thariqat ini, dan ia itu masih tersebar di Albania, di mana ia adalah paham thariqat tashawwuf yang lebih mendekati kepada Syi’ah daripada kepada Sunni[3]….dan ia itu memiliki kekuasaan yang besar terhadap para penguasa dinasti ‘Utsmaniyyah”. Selesai.
Dan di dalam kitab (Al Fikru Ash Shufiy Fi Dlauil Kitab Was Sunnah hal: 411) dikatakan: “Para sultan dinasti ‘Utsmaniyyah bersaing di dalam membangun sinagog, biara dan kuburan Baktasyiyyah….di mana di saat sebagian para sultan membelanya, maka para sultan yang lain menentangnya seraya lebih mengedepankan thariqat yang lainnya”. Selesai.
Oleh sebab itu tidaklah aneh bila kemusyrikan dan kekafiran sangat merebak dan tauhid malah lenyap di wilayah-wilayah yang dikuasai mereka.
Syaikh Husen Ibnu Ghunnam rahimahullah berkata di dalam penuturan kondisi negeri-negeri mereka: “Mayoritas manusia di zamannya –yaitu di zaman Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab– adalah berlumuran dengan kotoran lagi bermandikan najis sampai mereka bergelimang dengan kotoran kemusyrikan dengan bergulirnya tahun… di mana mereka berpaling malah mengibadati para wali dan orang-orang saleh serta mereka melepaskan ikatan tauhid dan dien ini, mereka bersungguh-sungguh dalam beristighatsah kepada para wali itu di dalam kondisi genting, bencana dan kejadian yang mencekam, dan mereka menghadapkan wajah kepada para wali itu di dalam pemenuhan berbagai kebutuhan dan penyelamatan dari berbagai bencana, baik para wali itu masih hidup maupun sudah meninggal dunia, dan bahkan banyak dari mereka meyakini manfaat dan madlarat di dalam benda yang mati… -kemudian beliau menuturkan bentuk-bentuk kemusyrikan di Nejed, Hijaz, ‘Irak, Syam, Mesir dan tempat lainnya–“. Selesai.[4]
Al Imam Su’ud Ibnu Abdil Aziz rahimahullah (wafat 1229 H) berkata di dalam suratnya kepada gubernur ‘Utsmani di Irak seraya menjelaskan realita negara mereka: “Syi’ar-syi’ar kekafiran kepada Allah dan kemusyrikan adalah yang nampak di negara kalian, seperti pembangunan kubah di atas kuburan, penyalaan lampu di atasnya, pemasangan tirai di atasnya, penziarahannya dengan cara yang tidak Allah dan Rasul-Nya syari’atkan, penetapannya sebagai (tempat) ied, permintaaan pemenuhan berbagai kebutuhan dan penyelamatan dari berbagai bencana dan kesulitan kepada para penghuni kuburan itu. Ini semua terjadi di samping penyia-nyiaan kewajiban-kewajiban dien yang telah Allah perintahkan untuk ditegakkan, seperti shalat lima waktu dan yang lainnya. Orang yang ingin melaksanakan shalat, maka dia shalat sendirian dan orang yang meniggalkannya pun tidak diingkari, begitu juga zakat. Ini adalah hal yang masyhur, terkenal lagi didengar orang di banyak wilayah negeri: Syam, ‘Irak, Mesir dan wilayah-wilayah lainnya”. Selesai.[5]
Ini adalah realita keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah secara ringkas, dan barangsiapa tidak merasa cukup puas dengan pernyataan-pernyataan yang lalu tentang penjelasan realita negara ini, maka tidak ada jalan baginya.
Adapun keadaan para sultan Daulah ‘Utsmaniyyah ini –meskipun saya secara global telah mengisyaratkan kepadanya-, maka ia adalah sejenis ini pula. Dan saya akan menuturkan contoh-contoh yang beragam dari para sultannya untuk menjelaskan realita keadaan mereka:
1. Sultan Aurkhan Pertama (meninggal 761 H):
Ia adalah sultan ke dua dinasti Daulah ‘Utsmaniyyah setelah ayahnya ‘Utsman (‘Utsman pertama yang meninggal tahun 726 H), dan kekuasaannya berlangsung selama 35 tahun, di mana sultan ini adalah berpaham shufi thariqat Baktasyiyyah.[6]
Thariqat Baktasyiyyah ini –di mana ia telah sering disebut dalam banyak tempat– adalah thariqat shufiyyah yang berpaham syi’ah bathiniyyah yang dirintis oleh (Khankar Muhammad Baktasy Al Khurasaniy) dan ia menyebarkannya di Turki tahun 761 H, dan thariqah ini adalah campuran dari ‘aqidah Wihadul Wujud, peribadatan kepada para syaikh dan pentuhanan mereka, serta campuran dari aqidah Rafidlah dalam pengkultusan para imam. Mereka itu memiliki sikap ghuluw terhadap Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam –yang mengeluarkan dari Islam-, dan di antaranya adalah ucapan si thalib (anggota jama’ah) dan si murid bila ingin masuk bergabung ke dalam thariqat:
“جئت بباب الحق بالشوق سائلاً ، مقراً به محمداً وحيدراً ، وطالب بالسر والفيض منهما ، ومن الزهراء وشبير شبراً” ثم يقول : “وبالحب أسلمت الحشا خادماً لآل العباس ، وملاذي هو الحاج بكتاش قطب الأولياء “ويقول لشيخه :”وجهك مشكاة وللهدى منارة ، وجهك لصورة الحق إشارة ، وجهك الحج والعمرة والزيارة ، وجهك للطائعين قبلة الإمارة ، وجهك للقرآن موجز العبارة”
“Saya datang di pintu Al Haq dengan penuh kerinduan seraya memohon lagi mengakuinya sebagai Muhammad dan Haidar, lagi meminta dari keduanya (bagian) dari rahasia dan pancaran, dan (meminta) dari Az Zahra dan Syabir walau sejengkal” terus mengatakan” Dan dengan penuh kecintaan saya serahkan diri ini sebagai pelayan bagi keluarga Al ‘Abbas, dan tempat berlindung hamba adalah Al Hajj Baktasy quthubul auliya” dan dia berkata kepada gurunya “ Wajahmu adalah lentera, dan bagi petunjuk (ia) adalah menara, dan wajahmu adalah isyarat untuk wajah Al Haq (Allah), wajahmu adalah haji dan umrah serta ziarah, wajahmu bagi orang-orang yang tunduk adalah kiblat kepemimpinan, dan wajahmu bagi Al Qur’an adalah ringkasan ungkapan”
Dan wirid-wirid Baktasyiyyin adalah di atas ‘aqidah Rafidlah Itsna ‘Asyariyyah, dan mereka itu di dalam ‘aqidahnya banyak mengandung wirid-wirid bathiniyyah dan cara-cara ziarah yang bermuatan syirik yang sangat masyhur.[7]
2. Sultan Muhammad Ke Dua (Al Fatih) (meninggal 886 H):
Ia adalah tergolong sultan daulah ini yang paling terkenal, dan kekuasaannya berlangsung selama 31 tahun:
A. Sesungguhnya ia setelah menaklukan Kostantinopel tahun 857 H menyingkap tempat kuburan Abu Ayyub Al Anshari radliyallaahu ‘anhu dan ia membangun bangunan di atasnya, dan ia membangun mesjid di pinggirnya dan menghiasi mesjid itu dengan marmer putih serta membangun kubah di atas bangunan kuburan Abu Ayyub. Adalah di antara kebiasaan orang-orang ‘Utsmani di saat mereka mulai menjabat sebagai sultan, mereka itu datang di dalam rombongan yang megah menuju mesjid itu kemudian sultan yang baru masuk ke dalam bangunan kuburan tersebut terus menerima pedang sultan (‘Utsman Pertama) dari syaikh (Thariqat Mulawiyyah).[8]
B. Sultan inilah yang pertama kali meletakan dasar-dasar Undang-Undang Sipil dan Undang-Undang Pidana, di mana dia mengganti hukuman-hukuman syari’at yang bersifat fisik yang ada di dalam Al Kitab dan As-Sunnah – yaitu qishash gigi dengan gigi, dan mata dengan mata – dan dia menggantinya dengan denda-denda yang berbentuk uang dengan tata cara yang jelas yang disempurnakan oleh sultan Sulaiman Al Qanuniy.[9]
C. Sebagaimana dia menggulirkan undang-undang –yang diberlakukan sesudahnya-, yaitu bahwa setiap sultan yang menjabat kekuasaan adalah harus membunuh semua saudara-saudaranya!! agar singgasana mulus baginya.[10]
3. Sultan Sulaiman Al Qanuniy (meninggal tahun 974 H):
Dan ia juga termasuk sultan daulah ini yang paling masyhur, dan ia berkuasa kira-kira selama 46 tahun:
A. Dia tatkala masuk ke Baghdad membangun bangunan di atas kuburan Abu Hanifah serta membangun kubah di atasnya, dan ia menziarahi tempat-tempat yang disucikan kaum Rafidlah di Najaf dan Karbala, serta dia membangun kembali apa yang pernah roboh darinya.[11]
B. Sebagaimana dia digelari Al Qaununiy, karena dia adalah orang pertama yang memasukan undang-undang Eropa kepada kaum muslimin dan menjadikannya sebagai undang-undang yang dipakai resmi di lembaga-lembaga hukum (mahkamah), dan dia dalam hal itu telah disemangati oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani.[12]
4. Sultan Salim Khan Ke Tiga (meninggal tahun 1223 H):
Al Imam Su’ud Ibnu Abdil Aziz rahimahullah berkata di dalam risalahnya kepada gubernur Baghdad yang lalu yang telah kami isyaratkan kepadanya: “Dan keadaan kalian dan keadaan para pemimpin dan para sultan kalian adalah menjadi saksi terhadap kebohongan dan kedustaan kalian di dalam hal itu –yaitu di dalam pengklaiman mereka sebagai orang muslim– di mana kami saat membuka kamar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang mulia semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada yang berada di dalamnya, tahun dua puluh dua kami mendapatkan sebuah surat milik sultan kalian (Salim) yang dikirimkan oleh saudara sepupunya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya dia beristighatsah dengannya dan memohon kepadanya serta meminta kemenangan terhadap musuh kepadanya, di mana di dalamnya terdapat penundukan diri, pemasrahan diri dan kekhusyuan (kepada Rasulullah) yang menjadi saksi terhadap kebohongan kalian. Dan inilah awal surat itu:
من عُبَيْدك السلطان سليم ، وبعد : يا رسول الله قد نالنا الضر ونزل بنا المكروه ما لا نقدر على دفعه ، واستولى عبّاد الصلبان على عبّاد الرحمن !! نسألك النصر عليهم والعون عليهم
“Dari hambamu Sultan Salim, wa ba’du: Wahai Rasulullah, kami telah tertimpa bahaya dan hal yang tidak disukai telah menimpa kami, hal yang tidak mampu kami hadapi, dan para penyembah salib telah menguasai hamba-hamba Allah yang Maha Pemurah!! Kami memohon kepadamu kemenangan dan bantuan terhadap mereka.”
Dan dia menuturkan ungkapan yang banyak yang mana ini adalah inti dan maknanya, maka lihatlah kepada kemusyrikan yang besar ini dan kekafiran kepada Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengetahui, yang tidak pernah diminta oleh kaum musyrikin dahulu dari tuhan-tuhan mereka Latta dan ‘Uzza, di mana sesungguhnya mereka bila tertimpa bencana maka mereka memurnikan ketundukan kepada Allah Pencipta manusia.[13]
5. Sultan Abdul Hamid Ke Dua (Meninggal tahun 1327 H):
Sultan ini adalah orang shufi yang sangat ta’ashshub (fanatik) terhadap thariqat Syadzaliyyah, dan inilah buktinya surat dia kepada syaikh thariqat Syadzaliyyah di zamannya, di mana dia berkata di dalam suratnya itu:
” الحمد لله ….أرفع عريضتي هذه إلى شيخ الطريقة العلية الشاذلية ، وإلى مفيض الروح والحياة !! ، شيخ أهل عصره الشيخ محمود أفندي أبي الشامات وأقبل يديه المباركتين ، راجياً دعواته الصالحات ، سيدي : إنني بتوفيق الله تعالى أدوام على قراءة الأوراد الشاذلية ليلاً ونهاراً ، وأعرض أنني لا زالت محتاجاً لدعواتكم القلبية بصورة دائمة”
“Segala puji bagi Allah… saya menyampaikan surat pengaduan saya ini kepada syaikh thariqat Syadzaliyyah yang agung dan kepada yang melimpahkan ruh dan kehidupan!! syaikh ahli zamannya yaitu Syaikh Mahmud Afandi Abu Asy Syamat, dan saya mencium kedua tangannya yang penuh barakah, seraya mengharapkan doanya yang saleh. Tuanku: Sesungguhnya saya dengan taufiq Allah Ta’ala selalu membaca wirid-wirid Syadzaliyyah malam dan siang, dan saya sampaikan bahwa saya senantiasa selalu terus membutuhkan kepada doa-doa paduka yang berasal dari hati”[14]
Thariqat Syadzaliyyah ini adalah thariqat shufiyyah quburiyyah syirkiyyah yang ajarannya berisi kekafiran-kekafiran yang nyata lagi jelas yang sebagiannya saja cukup untuk menggolongkan mereka ke dalam jajaran orang-orang kafir penyembah berhala.[15] [16]
Adapun permusuhan dinasti ‘Utsmaniyyah terhadap tauhid, maka ini adalah kisah yang sangat masyhur, di mana mereka telah memerangi dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah sebagaimana yang telah terkenal.
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka” (At Taubah: 32).
Mereka mengirimkan berkali-kali gelombang pasukan untuk memerangi ahli tauhid sampai akhirnya mereka mengarahkan serangannya ini dengan menghancurkan kota Dir’iyyah ibu kota Dakwah Salafiyyah tahun 1233 Hijriyyah.[17] Dan orang-orang ‘Utsmaniyyah ini di dalam peperangannya terhadap tauhid, mereka telah meminta bantuan dari saudara-saudara mereka yang beragama nashrani, di mana sebagian pengkaji sejarah telah menemukan di Eropa berbagai dokumen kerjasama antara Napoleon Bonaparte kaisar Prancis dengan Al Baba Al ‘Aliy –penguasa ‘Utsmaniyyah– khusus prihal menghadapi dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan tindakan yang semestinya dilakukan untuk menghadapinya sebagai ancaman bahaya terhadap kepentingan-kepentingan mereka di kawasan timur.[18]
Di dalam peperangan-peperangan ‘Utsmaniyyah terhadap ahli tauhid telah terjadi berbagai kejahatan perang yang melebihi kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang salibis, dan inilah sebagian contohnya:
- Daulah ‘Utsmaniyyah ingin menyemangati pasukannya untuk membunuhi ahli tauhid, maka ia mengeluarkan keputusan bahwa setiap tentara akan mendapatkan bonus sesuai jumlah korban yang dibunuhnya, dan si tentara harus membuktikan pembunuhannya tersebut, dan itu dengan cara memotong telinga-telinga si korban serta mengirimkannya ke Istanah, ibu kota, maka mereka melakukan hal itu di Al Madinah, Qunfudzah, Qashim, Dlarma dan kota lainnya.[19]
- Adapun penghancuran pemukiman dan perkotaan dan bahkan pembakaran banyak mesjid yang mereka lakukan, maka tidak usah diceritakan lagi.[20]
- Dan di antara kejahatan-kejahatan mereka adalah bahwa mereka itu menawan wanita dan anak-anak –dari kalangan ahli tauhid– dan kemudian mereka menjualnya. Al Jibritiy berkata di dalam Tarikh-nya: “Dan bulan Shafar dimulai dengan hari Jum’at tahun 1235 H… dan di bulan hari itu tibalah sekelompok dari pasukan Magharibah (kawasan barat) dan pasukan arab yang dahulunya mereka itu ada di kawasan Hijaz, dan mereka itu disertai dengan tawanan-tawanan wanita, gadis-gadis dan anak-anak kecil dari kalangan Wahhabiyyah. Pasukan itu singgah di Hamayil dan mulailah mereka menjual para tawanan itu kepada orang-orang yang ingin membelinya, padahal mereka itu adalah orang-orang muslim dan merdeka”. Selesai.[21]
- Dan saya akhiri hal itu dengan suatu kejadian yang diriwayatkan oleh ahli sejarah berkebangsaan Rusia, di mana dia berkata: “Di tahun 1818 M –yaitu tahun 1234 H– Abdullah[22] dipindahkan lewat jalan Kairo ke Istanah dengan ditemani dua orang terdekatnya di awal bulan Kanun pertama –Desember– dan kedutaan Rusia mendapatkan penjelasan dari Istanah: Pekan yang lalu telah dipenggal kepala pemimpin Wahhabiyyin, menterinya dan imamnya[23] yang telah ditawan di Dir’iyyah dan baru dipindahkan ke ibu kota. Dan dalam rangka mengungkapkan rasa kegembiraan lebih atas kemenangannya terhadap musuh bebuyutan kedua kota yang dianggap sebagai sumber Islam, maka sultan memerintahkan di hari ini untuk diadakan majelis di istana lama di ibu kota dan mereka menghadirkan ketiga tawanan tersebut ke istana dalam keadaan dibelenggu dengan rantai yang sangat berat serta dikelilingi oleh para penonton. Dan setelah upacara kenegaraan selesai maka sultan memerintahkan untuk mengeksekusi mati mereka, maka leher si pimpinan dipenggal di depan pintu utama syaikh shufi yang diagungkan, dan leher menterinya dipenggal di depan pintu gerbang, serta leher orang yang ke tiga dipenggal di salah satu pasar utama ibu kota. Dan jasad mereka dipamerkan sedang kepalanya berada di bawah ketiaknya, dan setelah tiga hari maka mereka melemparkan jasad-jasadnya itu ke laut. Dan paduka yang mulia memerintahkan shalat umum dalam rangka bersyukur kepada Allah atas kemenangan pasukan sultan dan atas pemusnahan kelompok yang telah merusak Mekkah dan Al Madinah dan telah menebarkan rasa takut di hati kaum muslimin serta menjerumuskan mereka ke dalam bahaya”.[24]
[1]Orang-orang yang membela-bela Daulah ‘Utsmaniyyah mengatakan bahwa peperangan daulah ini terhadap dakwah salafiyyah adalah peperangan yang bermuatan politik, padahal keadaan yang sebenarnya adalah tidak seperti apa yang mereka klaim, namun justeru ia adalah peperangan ‘aqidah yang mereka mulai dengan sandaran fatwa dari ulama quburiyyun mereka. lihat (Hasyiyah Ibni ‘Abidin 4/262).
[2] Semua thariqat ini berdiri di atas prinsip peribadatan kepada kuburan dan para wali, bahkan di atas prinsip syirik di dalam rububiyyah yang diakui oleh kaum musyrikin arab dahulu, dan hal itu nyata jelas di dalam keyakinan-keyakinan kaum shufi terhadap Ghauts, Aqthaab, Abdaal dan yang lainnya yang menurut mereka bahwa mereka (para wali yang mereka kultuskan) itu ikut mengatur alam. Dan silahkan rujuk apa yang ditulis Syaikhul Islam tentang shufiyyah serta dialog beliau dengan para pengikut thariqat Rifa’iyyah (Al Fatawa jilid 11) dan silahkan rujuk apa yang ditulis oleh Ihsan Ilahi Dhahir tentang shufiyyah dan tentang thariqat-thariqat ini serta kemusyrikan-kemusyrikannya di dalam kitabnya (Diraasaat Fish Shufiyyah) dan apa yang ditulis As-Sindi di dalam kitabnya (At Tashawwuf Fi Mizanil ‘Ilmi Wat Tahqiq) serta apa yang ditulis oleh Al Wakil Di dalam kitabnya (Hadzihi Hiyash Shufiyyah) dan akan datang insya Allah rincian terhadap sebagian thariqat-thariqat ini.
[3] Tashawwuf seluruhnya adalah muhdats lagi bid’ah, dan tidak ada yang namanya tashawwuf sunni, dan nanti akan ada rincian tentang thariqat ini.
[4] Raudlatul Afkar hal 5 dan sesudahnya.
[5] Ad Durar Assaniyyah 1/381.
[6] Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal:123, dan (Al Fikru Ash Shufiy) hal: 411. Baktasyiyyah ini kadang disebut Bakdasyiyyah dan Bakthasyiyyah. Dan sultan ini sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli sejarah adalah bahwa dia itu telah membantu raja Romawi untuk memerangi raja Serbia karena janji raja Romawi kepadanya bahwa ia akan menikahkannya dengan puterinya. Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal:125.
[7] Lihatlah secara rinci di dalam kitab (Al Fikru Ash Shufi Fi Dlauil Kitab Was Sunnah) hal 409-424.
[8] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/64.
[9] Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177, dan (Fathul Qasthinthiniyyah Wa Muhammad Al Fatih) hal 177.
[10] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/64, dan ia telah memulai kekuasaannya dengan membunuh Ahmad saudara sesusuannya! (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 161.
[11] Lihatlah (Ad Daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah Muftara ‘Alaiha) 1/25, dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 223.
[12] Lihat (Waqi’unal Mu’ashir) hal 160, dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177 dan hal 198 dan seterusnya.
[13] Ad Durar Assaniyyah hal 160 dan (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 177 dan hal 198 dan seterusnya.
[14] Lihat (Imamut Tauhid) milik Ahmad Al Qaththan dan Muhammad Az Zain hal 148, dan (Ath Thariq Ilaal Jama’ah Al Umm) hal 56, serta (Majallah Al ‘Arabiy) Kuwait yang busuk, edisi 157-169.
[15] Silahkan lihat bentuk-bentuk kemusyrikan dan kesesatan serta bid’ah-bid’ah mereka itu di dalam kitab (Dirasat Fit Tashawwuf) hal: 235, dan (At Tashawwuf Fi Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq) hal 327.
[16] Adapun berita-berita tentang negara ini bersama kaum yahudi dan nashrani serta orang-orang kafir lainnya di dalam sikaf tawallinya kepada mereka dan bantuannya bagi mereka dan bahkan sikapnya mensetarakan orang-orang kafir itu dengan kaum muslimin, maka berita semacam ini adalah sangat banyak sekali. Bila engkau mau maka silahkan tela’ah kitab (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) dan kitab (Ad daulah Al ‘Utsmaniyyah Daulah Islamiyyah…) dan perjalanan sultan dinasti ‘Utsmaniyyah adalah tidak lepas dari hal itu. Dan sebagai contoh silahkan lihat sirah (perjalanan) Abdul Majid Ibnu Mahmud di mana dia mengeluarkan dekrit (Farman Al Kalkhanah) tahun 1255 H di mana di dalamnya dia menetapkan kebebasan pribadi dan kebebasan berfikir serta dia menyamakan antara non muslim dengan kaum muslimin. Lihat (Tarikh Ad Daulah Al ‘Aliyyah Al ‘Utsmaniyyah) hal 455, dan (Al Islam Wal Hadlarah Al Gharbiyyah) hal 15.
[17] Untuk melihat kejahatan-kejahatan mereka silahkan lihat ‘Unwanul Majdi 1/157.
[18] Pengantar ‘Athiyyah Salim terhadap kitab Al Imam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab karya Ibnu Baz, sedangkan pengkaji adalah Ahmad Ath Thawil saat membuat desertasi Doktor.
[19] Silahkan lihat rincian hal itu di dalam Tarikh Al ‘Arabiyyah Assu’udiyyah milik ahli sejarah Rusia Basiliyev hal 173, 176, 183, dan 184.
[20] Lihat hal itu di dalam ‘Unwanul Majdi 1/157-219 dan di dalam referensi yang lalu juga.
[21] Tarikh ‘Ajaibul Atsar 3/606, tapi perlu hati-hati dari kitab ini, karena sesungguhnya Al Jibriti sebagaimana nampak di dalam Tarikh-nya itu adalah orang shufiy khalwatiy yang mengkultuskan kuburan dan para wali bahkan orang-orang mulhid juga dikultuskan, seperti Ibnu ‘Arabi yang zindiq.
[22] Al Imam Abdullah Ibnu Su’ud Ibnu Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud akhir imam di daulah Su’udiyyah fase pertama.
[23] Steward menuturkan di dalam Hadlirul ‘Alam Al Islamiy 4/166: Bahwa keduanya adalah penulis pribadinya dan pemegang amanah kebendarahaannya,” dengan mewaspadai dari komentar Syakib Arsalan terhadap kitab ini, karena sesungguhnya dia adalah orang nyeleneh yang sesat, sebagaimana hal itu nampak dari pendapat-pendapanya terutama saat berbicara tentang Sanusiyyah.
[24] Tarikh Ad Daulah As-Su’udiyyah milik Basiliyev hal 186.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar