3 SYUBHAT TERBESAR UDZUR JAHIL (2 – HADITS KISAH ORANG YANG BERWASIAT MEMBAKAR JENAZAHNYA)

Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah 
Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilannya terhadap hukum, berdalih untuk pemahaman mereka yang batil itu dengan hadits prihal orang yang berwasiat kepada keluarganya agar membakar jasadnya bila dia sudah mati. Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ”Seorang laki-laki yang tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan berkata kepada keluarganya bahwa bila dia mati, maka bakarklah jasadnya kemudian taburkan separuhnya di daratan dan separuhnya di lautan, di mana demi Allah seandainya Allah kuasa terhadapnya tentu Dia benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang tidak Dia timpakan kepada seorangpun. Kemudian tatkala si orang itu mati, maka mereka (keluarganya) melakukan terhadapnya apa yang telah diperintahkan kepada mereka. Maka Allah memerintahkan daratan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya, dan Dia memerintahkan lautan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya. Kemudian Dia berkata: ”Kenapa kamu melakukan hal ini? Orang itu menjawab: Karena takut kepada-Mu Ya Rabb, sedangkan Engkau lebih mengetahui. Maka Dia-pun mengampuninya.”

Mereka mengatakan: “Orang ini jahil dan mengingkari kebangkitan setelah mati, namun dia tidak dikafirkan dan bahkan dia malah diampuni, karena dia jahil. Sehingga diketahuilah bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu diudzur dan tidak dikafirkan”.
Maka kita jawab: Bahwa hadits ini bukan berkaitan dengan pelaku syirik akbar, di mana orang tersebut adalah orang yang bertauhid lagi tidak melakukan syirik akbar, dan ini dengan nash hadits itu sendiri, di mana di dalam riwayat lain yang shahih dinyatakan bahwa orang tersebut tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid,” sebagaimana dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah secara marfu’ dan dari Ibnu Mas’ud secara mauquf.
Al Imam Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat membantah seorang ulama kaum musyrikin (Dawud Ibnu Jirjis Al ‘Iraqi) yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan yang berdalih dengan hadits di atas: “Hadits orang yang memerintahkan keluarganya untuk membakar jasadnya adalah dia itu orang yang bertauhid bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana telah tsabit (shahih) dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid sehingga gugurlah pengambilan dalih dengan hadits ini di dalam masalah yang sedang diperbincangkan. (Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis: 217).
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman  rahimahullah berkata di dalam kitabnya Tamyiz Ash Shidqi Minal Main Fi Muhawaratir Rajulain: “…Orang yang memerintahkan keluarganya bila dia mati agar membakarnya dan menaburkan (abu)nya ke laut, maka sesungguhnya dia itu walaupun ragu terhadap qudrah Allah adalah seorang muwahhid lagi bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana telah tsabit (shahih) dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi’ dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, “tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid”…”.(Dinukil dari Kitab Ath Thabaqat, Al Khudlair: 17).
Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah berkata seraya mengomentari hadits “maka dikeluarkan dari api neraka orang-orang yang tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun…” “Yang dimaksud dengan sabdanya “tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun” dari amalan jawarih (anggota badan) meskipun mereka itu memiliki inti tauhid, oleh sebab itu telah ada di dalam hadits orang yang memerintahkan keluarganya agar membakar jasadnya setelah dia mati (tambahan, ed.) sesungguhnya dia tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun selain tauhid yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Abu Hurairah secara marfu’ dan dari hadits Ibnu Mas’ud secara mauquf”. (Dari Kitab At Takhwif Minan Nar Wat Ta’rif Bi Haali daril Bawaar, bab ke 28 hal 260 terbitan Dar Ar Rasyid, dinukil dari Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah, kekeliruan takfir no 27, Al Maqdisiy).
Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata saat membantah syubhat orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan seraya berdalih dengan hadits di atas: “Yang nampak jelas dari nash-nash itu bahwa si laki-laki itu bukanlah orang musyrik, di mana dia tidak melakukan kemusyrikan dalam keadaan tidak mengetahui bahwa Allah-lah Dzat yang hanya berhak diibadati terus dia diudzur dengan sebab hal itu!! justeru dia itu adalah berada di atas tauhid, dan tidak mengibadati sesuatupun bersama Allah dengan bentuk peribadatan apapun, terus Allah mengudzurnya dengan sebab kejahilannya di dalam kemusyrikan kepada Allah!! Sejumlah ulama berkata: Orang ini adalah berada di masa fatrah di saat bermanfaat sekedar tauhid, dan tidak ada taklif sebelum datangnya syari’at menurut pendapat yang shahih”. (Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 361).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang tersebut adalah beriman kepada Allah secara umum dan beriman kepada hari akhir secara umum, dan beriman bahwa Allah akan memberikan balasan dan siksaan setelah kematian”. (Majmu Al Fatawa 12/263, dinukil dari Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah hal. 279).
Sedangkan di dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, sesungguhnya pelaku syirik akbar atau pelaku tawalli kepada kaum musyrikin itu tidak disebut orang muslim apalagi disebut orang yang beriman (mu’min), Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa’adatain (hal 452): “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan Muslim”.
Syaikh ‘Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…” (Ad Durar As Saniyyah: 11/545).
Jadi hadits itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang yang melakukan syirik akbar, sehingga menempatkan hadits ini untuk mengudzur para thaghut dan ansharnya yang bergelimang kekafiran dan kemusyrikan yang nyata dengan dalih kejahilan mereka adalah merupakan pemalsuan dalil dan pemalingan makna dari posisi yang sebenarnya.
Bila hal ini sudah jelas, maka tentang apa sebenarnya hadits tersebut?
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Sebagian orang yang membela-bela kaum musyrikin berhujjah dengan “kisah orang yang berwasiat kepada keluarganya agar membakarnya setelah dia mati”, bahwa orang yang melakukan kekafiran (akbar) karena ketidaktahuan adalah tidak dikafirkan dan tidak dikafirkan kecuali orang yang mu’anid (orang yang bersikeras membangkang setelah mengetahui”.
Jawaban:Terhadap hal ini adalah bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa telah mengutus rasul-rasul-Nya dalam rangka memberi kabar gembira dan memberikan peringatan supaya tidak ada hujjah lagi bagi manusia terhadap Allah setelah para Rasul itu. Sedangkan ajaran terbesar yang mana mereka diutus dengannya dan mereka mengajak kepadanya adalah beribadah kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya serta melarang syirik yang mana ia adalah peribadatan kepada selain-Nya. Bila pelaku syirik akbar itu diudzur karena kebodohannya, maka siapa yang tidak diudzur? Maka lazim (konsekuensi logis)nya klaim ini adalah bahwa tidak ada hujjah bagi Allah terhadap seorang pun kecuali orang yang mu’anid, padahal sesungguhnya penganut klaim ini tidak bisa memberlakukan secara baku kaidah dasar pemahamannya ini, akan tetapi dia pasti jatuh dalam kontradiksi pemahamannya sendiri, karena sesungguhnya dia tidak mungkin tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang yang ragu terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam atau orang yang ragu terhadap hari kebangkitan atau hal lain yang tergolong ushuluddin, sedangkan orang yang ragu itu adalah orang yang tidak mengetahui (jahil).
Dan para fuqaha rahimahullah di dalam kitab-kitab fiqh menuturkan hukum orang-orang murtad, di mana “Ia adalah orang muslim yang kafir setelah keislamannya baik secara ucapan, perbuatan, keyakinan ataupun keraguan,” sedangkan sebab keraguan adalah kebodohan. Dan konsekuensi logis pendapat ini adalah tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang bodoh dari kalangan Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang menyembah matahari dan bulan karena sebab kebodohan mereka, dan tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang dibakar hidup-hidup oleh Ali Ibnu Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu, karena kita memastikan bahwa mereka itu orang-orang yang bodoh, sedangkan para ‘ulama rahimahullah ajma’in telah ijma (sepakat) terhadap kekafiran orang-orang Yahudi dan Nasrani atau orang yang ragu terhadap kekafiran mereka, dan kita yakin bahwa mayoritas mereka adalah orang-orang yang jahil.
Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menghina para sahabat atau salah seorang dari mereka dan penghinaannya ini disertai klaim bahwa Ali adalah tuhan atau bahwa Jibril keliru, maka tidak ada keraguan perihal kekafiran orang ini, bahkan tidak ada keraguan prihal orang yang tawaqquf dalam mengkafirkannya”.
Beliau juga berkata: “Barangsiapa mengklaim bahwa sahabat telah murtad sepeninggal Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam kecuali beberapa orang saja yang tidak sampai sekian belas orang atau bahwa mereka itu fasiq, maka tidak ada keraguan perihak kekafiran orang itu, bahkan barangsiapa ragu perihal kekafirannya, maka dia kafir”.
Beliau berkata: “Barang siapa mengira bahwa firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa “wa qadlaa rabbuka an laa ta’buduu illa iyyah” (Al Isra: 23) bahwa qadlaa di sini bermakna qaddara (mentaqdirkan)dan bahwa Allah tidak mentaqdirkan sesuatupun kecuali pasti terjadi, kemudian dia menjadikan para penyembah berhala itu tidak beribadah kecuali kepada Allah, maka sesungguhnya orang ini adalah tergolong manusia yang paling kafir terhadap semua kitab”.( Selesai)
“Di mana tidak diragukan bahwa para penganut pendapat ini adalah orang yang berilmu, zuhud dan ahli ibadah dan bahwa penyebab klaim mereka ini adalah kebodohan, sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah mengabarkan tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu berada di dalam keraguan dari apa yang diserukan para rasul kepada mereka dan bahwa mereka itu dalam keraguan perihal adanya kebangkitan, di mana mereka berkata kepada para rasul mereka: ”Dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya,” (Ibrahim: 9) dan Allah berfirman: ”Dan sesungguhnya mereka dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap Al Qur’an,” (Huud: 110) dan Dia berfirman seraya mengabarkan tentang mereka: ”Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya),” (Al Jatsiyah: 32) dan Dia berfirman tentang orang-orang kafir: ”Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan sebagai sembahan-semabahan (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf: 30) dan Dia ta’alaa berfirman: ”Katakanlah: Apakah akan Kami beritahu kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi amalannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya di dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,” (Al Kahfi: 103-104) dan Dia mensifati mereka dengan puncak kebodohan, sebagaimana di dalm firman-Nya ta’alaa: ”Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al An’am: 179).
“Dan Allah ta’alaa mencela kaum muqallidin dengan firman-Nya tentang ucapan mereka: ”Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu ajaran, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) mereka.” Dan demikianlah Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun pemberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu ajaran dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22-23). Namun demikian Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa mengkafirkan mereka. Para ulama dengan ayat ini dan ayat-ayat yang semakna dengannya berdalil bahwa tidak boleh taqlid di dalam mengenal Allah dan kerasulan. Hujjah Allah itu telah tegak atas manusia dengan pengutusan para rasul kepada mereka meskipun mereka tidak memahami hujjah-hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya”…, sampai beliau mengatakan: ”Jadi orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran ini (syirik akbar) karena takwil, atau ijtihad atau kesalahan atau taqlid atau kebodohan adalah diudzur, maka dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma tanpa diragukan lagi. Padahal dai itu mesti menggugurkan dasar pemahamannya ini, karena seandainya dia membakukan dasar pemahamannya ini tentulah dia menjadi kafir tanpa diragukan lagi, umpamanya andaikata dia tawaqquf di dalam mengkafirkan orang yang ragu terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
Adapun laki-laki yang berwasiat kepada keluarganya agar membakarnya dan bahwa Allah mengampuninya padahal dia itu ragu terhadap satu sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, maka sesungguhnya sebab dia diampuni itu adalah karena belum sampainya hujjah risaliyyah kepadanya, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak ulama. Oleh sebab itu Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah berkata: “Barangsiapa ragu terhadap suatu sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu tidak wajar tidak mengetahuinya, maka dia itu kafir, dan bila wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak kafir.” Beliau berkata: “Oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu terhadap qudrah Allah ta’alaa, karena hal itu tidak terjadi kecuali setelah sampainya hujjah risaliyyah. Begitu juga Ibnu Uqail mengatakan dan membawanya kepada makna bahwa dakwah belum sampai kepadanya. Sedangkan pilihan Syaikh Taqiyyuddin dalam masalah sifat adalah bahwa orang yang jahil (terhadapnya) tidak dikafirkan, dan adapun di dalam masalah syirik dan yang serupa dengannya maka sikap beliau tidak seperti itu, sebagaimana nanti insya Allah kita akan melihat sebagian ucapannya, dan telah kami utarakan sebagian ucapan beliau tentang paham ittihadiyyah (Wihdatul Wujud) dan yang lainnya serta pengkafiran beliau terhadap orang yang ragu akan kekafiran mereka. Penyusun Ikhtiyarat (pendapat-pendapat pilihan) Syaikh berkata: “Orang murtad itu adalah orang yang menyekutukan Allah, atau orang yang membenci Rasul-Nya atau apa yang beliau bawa atau meninggalkan pengingkaran setiap yang mungkar dengan hatinya atau mengira bahwa di antara sahabat ada orang yang berperang bersama orang-orang kafir atau membolehkan hal itu atau mengingkari suatu ijma yang diijmakan secara qath’iy atau menjadikan antara dirinya dengan Allah para perantara yang mana dia tawakkal kepadanya, menyerunya dan memohon syafa’at kepadanya, maka dia itu kafir berdasarkan ijma. Dan barangsiapa ragu tentang suatu sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu tidak wajar tidak mengetahuinya maka dia murtad, dan bila orang semacam dia itu wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak murtad, oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu terhadap qudrah Allah ta’alaa.” Di dalam mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) yang dituturkan lebih dahulu beliau memuthlaqkannya begitu saja, namun dalam hal sifat beliau membedakan antara oarng yang jahil dengan yang lainnya.” (Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin: 18).
Namun sebenarnya, hadits itu bukan berkaitan dengan orang yang ragu terhadap sifat qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, karena seandainya orang tersebut mengingkari qudrah-Nya, tentu dia tidak perlu mewasiatkan kepada keluarganya agar membakar jasadnya bila dia sudah mati dan akan membiarkan jasadnya dikubur biasa saja, sebab Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa tidak akan mampu untuk membangkitkannya (sesuai keyakinannya). Dan tatkala dia mewasiatkan hal tersebut, berarti dia meyakini benar bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa akan membangkitkan jasadnya bila dikubur biasa. Ini artinya bahwa yang dia ingkari itu bukan qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa secara umum, akan tetapi rincian dari qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa tersebut, yaitu qudrah Allah untuk membangkitkan jasadnnya bila telah dibakar dan ditaburkan di mana-mana, dan inilah yang tidak dia ketahui. Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Laki-laki ini mengira bahwa Allah tidak kuasa terhadap dirinya bila jasadnya sudah bertebaran di mana-mana, di mana dia mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkannya bila jasadnya sudah seperti itu…” sampai ucapannya ”…Yang ada di dalam hadits ini paling tidak adalah bahwa dia itu adalah orang yang tidak mengetahui segala apa yang menjadi hak Allah dari sifat-sifat itu, dan (tidak mengetahui) terhadap rincian bahwa Dia itu adalah Yang Maha Kuasa, sedangkan banyak dari kaum mukminin bisa saja jahil terhadap hal seperti ini, maka dia tidak menjadi kafir”. (Majmu Al Fatawa:11/224-225, dinukil dari Risalatul Jufri, Al Maqdisiy:279).
Al Khaththabi rahimahullah berkata: “Hal ini bisa saja dianggap isykal (hal yang membingungkan), yaitu bagaimana dia diampuni sedangkan dia itu mengingkari kebangkitan setelah mati dan qudrah (Allah) untuk menghidupkan orang-orang yang sudaha mati? Maka jawabannya adalah bahwa orang itu tidak mengingkari kebangkitan setelah mati, namun yang terjadi adalah bahwa dia itu tidak mengetahui bahwa bila jasadnya diperlakukan seperti itu maka dia tidak akan dibangkitkan dan tidak akan diadzab, sedangkan telah nampak keimanannya  dengan bentuk pengakuan dia bahwa sebab dia melakukan hal itu hanyalah karena rasa takut kepada Allah” (Dituturkan Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari 6/604, dari Risalatul Jufri: 280).
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa orang tersebut mengucapkan ucapan itu dalam kondisi diliputi rasa takut yang sangat  sehingga dia tidak mampu mengendalikan lisannya dan hilang kesadaran kontrolnya, sehingga dia sama dengan orang yang lupa, sedangkan dalam kondisi seperti ini orang tidak dikenakan sangsi hukum dengan sebab apa yang diucapapkannya. (Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 359-360).
Bagaimanapun penafsiran para ulama itu, yang jelas semuanya tidak ada yang mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil bagi pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan, sebagaimana yang dilontarkan oleh orang-orang sesat pada masa sekarang. Wallaahu A’lam.

Back Top

0 komentar:

Posting Komentar