Oleh: Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidzahullah
Al Mujaadiluun (orang-orang yang membela) bala tentara qawaaniin itu berkata: Kami tidak sepaham dengan kalian dalam ashl (pokok) yang kalian jadikan sebagai landasan untuk mengkafirkan para pendukung penguasa/pemerintah dari kalangan intelejen, para tentara/polisi dan yang lainnya, karena kekafiran pemerintahan-pemerintahan ini menurut kami adalah sekedar kufrun duna kufrin sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Sehingga setiap cabang yang kalian bangun di atasnya untuk mengkafirkan para penguasa dengan kufrun akbar adalah tidak benar menurut hemat kami.”[1]
Maka kita jawab: Tidak ada satu masalahpun melainkan pasti ada perselisihan pendapat manusia di dalamnya, akan tetapi hal itu tidak berarti boleh dipelintirkan dan tidak boleh mengetahui yang benar di dalmnya, sebab tidak setiap perbedaan itu bisa dianggap. Kebenaran itu hanyalah satu tidak berbilang, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, malainkan kesesatan.“ (Qs.Yunus: 32).
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
“Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An Nisa: 82).
Oleh sebab itu para ulama berkata bahwa ikhtilaf tanawwu’ itu bisa saja, karena itu adalah ikhtilaf dalam furu’ yang bisa bersumber dari perbedaan dalam penilaian shahih atau dhaifnya suatu hadits, atau karena tidak sampainya hadits itu kepada si ahli fiqh dan sebab-sebab lainnya.
Adapun ikhtilaf tadhaadd terutama dalam masalah yang paling penting dalam dien ini seperti syirik dan tauhid, iman dan kafir, maka tidak boleh dan tidak halal bagi seorangpun untuk rela dengannya, atau mengkuinya, atau loyalitas kepada kaum murtaddin dan ahli syirik, atau membelanya, atau berkasih sayang dengannya. Dan justeru harus divonis tuntas dengan tegas dalam masalah-masalah yang dibangun di atasnya autsaqu ‘ural iimaan (ikatan iman yang paling kokoh), serta cepat sampai kepada kebenaran di dalamnya, karena Allah subhaanahu wa ta’aala tidak membiarkan kita begitu saja dan tidak menciptakan kita sia-sia belaka:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?,” (Qs. Al Mu’minuun:115).
Dan Allah subhaanahu wa ta’aala tidak mengalpakan sesuatupun dalam Al Kitab, Dia berfirman:
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab,” (Qs.Al An’am: 38).
Tiada satupun kebaikan melainkan Allah telah memberikan petunjuk kita atas hal itu dan menganjurkan untuk meraihnya. Dan tidak ada satu keburukanpun melainkan Allah telah mengingatkan kita dari hal itu dan menghati-hatikan dari bahayanya:
“Yaitu agar orang yang binasa itu binasa dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata pula,” (Qs. Al Anfaal: 42).
Dan masalah ini yaitu kafirnya para penguasa dan thaghut-thaghut itu bagi orang yang paham akan diennya dan telah mengetahui tauhidnya adalah lebih terang daripada matahari di siang bolong, akan tetapi tidak aneh apabila cahaya matahari itu menjadi samar atas orang yang ada penyakit belek di matanya.[2]
Dan maksud kami di sini Insya Allah ta’aala adalah mengobati belek itu dan menghilangkan yang mengaburkannya dengan pancaran tauhid dan dengan obat itsmid dari Al Kitab dan Assunnah.
Maka kami katakan: ketahuilah terlebih dahulu bahwa sesungguhnya thaghut-thaghut itu tidak dikafirkan dari satu sisi saja sehingga pengkafirannya bisa dibantah dengan syubhat yang rapuh yang dibangun di atas ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anha, “kufrun duna kufrin,” akan tetapi thagut-thagut itu dikafirkan dari banyak sisi yang beraneka ragam:
Diantaranya: Sesunguhnya syahadat tauhid Laa ilaaha Illallaah itu memiliki dua rukun yang sangat mendasar yang di mana salah satunya tidak bisa berdiri sendiri tanpa yang satunya lagi.
Untuk diterima dan sahnya syahadat ini harus didatangkan kedua rukun itu seluruhnya, yaitu penafian (Laa ilaaha) dan penetapan (illallaah) atau al kufru bith thaghut wal iimaan billah, sebagaimana yang telah Allah subhaanahu wa ta’aala jelaskan dalam firman-Nya:
“Karena itu barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepad Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus” (Qs. Al Baqarah: 256).
Siapa orangnya yang tidak menggabungkan antara dua rukun ini maka dia itu tidak berpegang kepada al ‘urwah al wutsqaa (tauhid), dan sedangkan orang yang tidak berpegang kepada al ‘urwah al wutsqaa maka dia itu binasa bersama orang-orang yang binasa, karena dia bukan tergolong dalam jajaran kaum muwahhidiin, akan tetapi dia berada dalam deretan kaum musyrikin atau orang-orang kafir.
Para penguasa yang telah menjadikan bersama Allah tandingan-tandingan yang membuat hukum dan perundang-undangan itu, kalau seandainya kita percayai klaim mereka bahwa mereka itu beriman kepada Allah, tentu ini tidak cukup untuk masuk di dalam lingkungan tauhid, sebab masih ada satu rukun lain yang Allah sebutkan di dalam ayat itu sebelum rukun beriman kepada-Nya karena keberadaannya yang sangat penting, yaitu al kufru biththaghut (kafir terhadap thaghut).
Jadi iman mereka terhadap Allah tanpa kufur terhadap thaghut adalah sama seperti imannya orang-orang Quraisy terhadap Allah tanpa disertai kafir terhadap thaghut-thaghut mereka. Dan merupakan suatu yang maklum bahwa iman semacam ini sama sekali tidak bermanfaat bagi orang-orang Quraisy, darah dan harta mereka tidak terjaga dengannya sehingga mereka menyertakan terhadapnya baraa’ah dan kafir kepada thaghut-thaghut mereka. Dan adapun sebelum itu dilakukan maka keimanan mereka yang masih bercampur dengan kemusyrikan yang nyata itu sama sekali tidak berguna bagi diri mereka, baik di dunia[3] ataupun di akhirat[4], Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain),” (Qs. Yusuf: 106).
Syirik itu membatalkan keimanan dan menghapuskan seluruh amalan, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang rugi,” (Qs. Az Zumar: 65).
Dan suatu yang maklum bahwa para penguasa itu tidak kafir terhadap thaghut-thaghut timur dan barat, serta mereka tidak berlepas diri darinya, bahkan justeru mereka itu beriman kepada thaghut-thaghut itu, loyalitas terhadapnya, dan berhakim kepada mereka dalam menyelesaikan persengketaan dan perselisihan,[5] mereka rela dengan hukum thaghut-thaghut yang kafir itu dan dengan undang-undang internasionalnya di bawah naungan dan payung PBB dan mahkamah internasionalnya yang kafir itu.[6]
Dan begitu juga thaghut-thaghut arab dan perjanjian/kesepakatan mereka yang sama persis dengan kesepakatan internasional PBB yang mulhid lagi kafir.[7]
Mereka (para penguasa) terhadap semua thaghut-thaghut itu adalah teman dekat, auliyaa, dan budak-budak yang tidak menjuhinya, dan tidak menjauhi pembelaan terhadap mereka dan dukungannya terhadap kemusyirikan mereka itu, sehingga mereka bisa keluar dari kemusyrikan yang di mana mereka telah masuk di kubangannya, dan setelah (melakukan) itu semua baru bisa dihukumi sebagai orang Islam.
Bila saja status thaghut-thaghut arab itu masih samar/kabut di mata orang yang berbelek, akan tetapi status thaghut-thaghut kekafiran barat dan timur dari kalangan nasrani, budha, komunis, hindu, dan yang lainnya adalah tidak samar lagi demi Allah kecuali atas orang yang buta. Namun demikian para penguasa (thaghut-thaghut) arab[8] itu adalah saudara dan sahabat karib bagi thaghut-thaghut tadi, mereka tidak kafir kepadanya, dan justeru mereka diikat dengan hubungan persaudaraan, kedekatan dan saling menyayangi, mereka diikat dengan perjanjian kafir PBB, dan saat terjadi persengketaan merekapun merujuk ke mahkamah kafir internasional yang bersarang di Denhaag.[9]
Mereka tidak merealisasikan rukun tauhid yang paling pertama dan paling penting (al kufru bith thaghut) sehingga dengannya mereka bisa dihukumi muslim. Ini bila kita mengalah mau menerima bahwa mereka itu telah mendatangkan rukun tauhid yang lain yaitu (al iman billaah), maka bagaimana keadaanya bila di samping itu semua sesungguhnya diri mereka itu juga adalah thaghut-thaghut yang disembah selain Allah,[10] mereka membuat hukum dan perundang-undangan bagi manusia, mereka mengajak rakyatnya untuk mentaatinya, serta memaksa mereka untuk mematuhi undang-undangnya yang batil ini sebagaimana yang akan datang penjelasannya.
Mereka dikafirkan juga dari status istihzaa’ (perolok-olokan) mereka terhadap Allah dan Syari’at-Nya.
Dan pelegalan yang mereka berikan kepada setiap orang yang memperolok-olok (syari’at) Allah lewat Koran, siaran radio, atau televisi, dan yayasan-yayasan yang mereka lindung dan mereka jaga dengan undang-undang dan aparat hukumnya.
Sedangakan Allah subhaanahu wa ta’aala telah mengatakan:
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” tidak usah kamu minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman.” (Qs. At Taubah: 65-66).
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang asalnya muslim, mereka shalat, shaum, zakat, dan keluar ikut dalam peperangan yang tergolong peperangan terbesar bagi kaum muslimin, namun demikian Allah subhaanahu wa ta’aala telah mengkafirkan mereka tatkala muncul dari mereka ungkapan-ungkapan yang dengannya mereka memperolok-olok para penghapal Al Qur’an (para sahabat). Maka apa gerangan dengan makhluk-makhluk hina itu (para penguasa sekarang maksudnya) yang tidak menghargai keagungan agama allah, dan mereka telah menjadikan dien ini sebagai mainan dan bahan perolok-olokan bagai setiap orang hina, serta mereka meletakkannya di belakang punggungnya.
Dan lebih dasyat dari itu semua adalah mereka itu mensejajarkan dien ini dengan undang-undang dan hukum-hukum mereka yang hina. Mereka bertarung suara di atasnya, dan mereka bermusyawarah dalam hal perintah-perintah dan larangan-larangannya bersama orang-orang sekuler, orang-orang nasrani, dan orang-orang mulhid. Maka apakah ada bentuk perolok-olokan dan peghinaan yang lebih besar dari ini?
Mereka dikafirkan juga dari sisi loyalitas mereka terhadap orang-orang musyrik barat dan timur, serta kerjasama mereka dengan orang-orang musyrik itu untuk menghabisi/membungkam kaum muwahhidiin.
Baik itu dengan akad kesepakatan keamanan yang dengan jalur ini mereka saling tukar menukar informasi tentang kaum muwahhidiin yang mereka cap sebagai teroris dan Islam militan (garis keras). Dan dengan jalur kesepakatan ini diserahkanlah kaum muwahhidiin dan mujahidiin kepada musuh-musuh mereka dari kalangan thaghut-thaghut negara-negara lain.[11] Sedangkan Allah subhaanahu wa ta’aala telah berfirman:
“Barangsiapa di antara kami mengambil mereka menjadi pemimpuin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”. (Qs. Al Maaidah: 51).
Oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam hal-hal yang membatalkan keislaman: Pembatal yang ketiga: Mendukung dan bekerja sama dengan orang-orang musyrik untuk membinaskan/membabat kaum muwahhidin adalah kekafiran.
Cucu beliau Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad Ibnu abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalahnya Hukmu Muwaalaati Ahli Isyraak saat menjelaskan firman-Nya:
“Apakan kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudar mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian: dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian”. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pedusta. (Qs. Al Hasyr: 11).
Sesungguhnya ayat-ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang mereka itu menampakkan keislaman, dan hal itu diterima dari mereka di dunia ini sehingga mereka itu diperlakukan layakanya kaum muslimin, karena orang-orang muslim itu diperintahkan untuk menghukumi sesuai dhahir, akan tetapi tatkala meteka mengadakan kesepakatan untuk melawan kaum muwahhidiin padahal Allah mengtahui bahwa mereka itu dusta dalam kesepakatan ini, telah dijalin di antara mereka dengan ahli kitab kesepakan ukhuwwah dan Allah mensifati mereka bahwa mereka itu adalah saudara-saudara ahli kitab, dan ini adalah takfir bagi mereka. Ini adalah makna ucapan beliau rahimahullah.
Maka apa gerangan dengan orang yang mengikat berbagai macam kesepakatan saling membantu dengan kaum timur atau dari barat, dia memerangi kaum muwahhidiin, dan menyerahkan mereka kepada pemerintah-pemerintahnya? tidak diragukan lagi, bahwa ini masuk lebih utama dalam hukum tersebut.
Mereka dikafirkan dari sisi bahwa mereka menjadikan demokrasi sebagai dien yang mereka anut pengganti dienullaah.
Allah subhaanahu wa ta’aala telah berfirman:
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (Qs. Ali Imran: 19).
Islam adalah dienullah yang haq yang dengannya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam diutus.
Adapun demokrasi adalah dien yang telah diciptaan oleh orang-orang Yunani. Dan ini tidak diragukan lagi bukanlah bagian dari dienul Islam, sehingga secara pasti bukanlah bagian dari kebenaran.
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan”. (Qs. Yunus: 32).
Sedangkan para penguasa itu menyatakan dan selalu meneriakan dalam keadaan rela lagi tidak terpaksa, bahkan mereka merasa bangga dan girang bahwa demokrasi adalah pilihan mereka satu-satunya dan bukan Islam.
Demokrasi dengan Islam itu tidak bisa kedua-duanya bersatu,[12] sebab Allah subhaanahu wa ta’aala tidak akan menerima kecuali Islam yang khaalish (murni tidak bercampur syirik). Sedangkan Islam yang merupakan dienullah al khaalish telah menjadikan tasyri’ (wewenang membuat aturan/perundang-undangan/hukum) serta putusan adalah hanya milik Allah saja, sedangakan demokrasi adalah dien syirik lagi kafir yang telah menjadikan putusan dan tasyri’ hanyalah milik rakyat bukan milik Allah, dan Allah subhaanahu wa ta’aala tidak menerima dan tidak rela bila seseorang menggabungkan antara kekafiran dengan Islam atau antara tauhid dengan syirik.
Bahkan Islam dan tauhid itu tidak sah kecuali bila seseorang kafir dan berlepas diri dari setiap paham (dien) selain dien Al Islam al Khaalish.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman tentang Yusuf ‘alaihissalam:
“Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedangkan mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku mengikutai agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tidaklah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. (Qs. Yusuf: 37-38).
dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
“Siapa mengucapkan Laa ilaaha Illallaah dan kafir terhadap segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka haramalah harta dan darahnya, sedangkan penghisabannya adalah atas Allah,”
Dan dalam riwayat muslim yang lain: Siapa yang mentauhidkan Alah…..”
Yang disebut agama itu bukanlah hanya nasrani dan yahudi saja, akan tetapi juga termasuk komunisme, demokresi dan ajaran-ajaran serta paham-paham kafir yang ada di bumi ini. Wajib baraa’ah dari seluruh ajaran-ajaran, agama-agama, paham-paham yang batil agar Allah menerima dien Al Islam.
Sebagaimana tidak boleh dalam dienullah ini seseorang berstatus sebagai muslim nasrani, atau muslim yahudi, maka begitu juga Allah tidak rela bila seseorang berstatus sebagai muslim demokrat, karena Islam adalah dienullah, sedangkan demokrasi adalah agama kafir.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidklah akan diterma agama itu daripadanya, dn dia di akhirat termasuk orangt-orang yang rugi. (Qs. Ali Imran: 85).
Ini bila mereka menggabungkan antara Islam dengan demokrasi, maka bagaimana halnya bila mereka itu telah meninggalkan Islam dan berpaling dari syari’atnya, hukum-hukumnya, hududnya, dan mereka justeru memilih demokrasi, hukumnya dan tasyrii’Nya.
Mereka dikafirkan dari keberadaan mereka yang mensetarakan diri mereka dan tuhan-tuhan mereka yang beragam itu dengan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Bahkan mereka itu dalam agama (paham) yang mereka anut tersebut lebih agaung dari Allah. Hukum-hukum Allah ditelantarkan dan dilemparkan begitu saja, dan siapa orangnya yang menentang hukum-hukum Allah itu, atau menyalahinya, atau memeranginya, atau memperolok-olokannya, maka dia itu adalah kekasih mereka, wali mereka yang dilindungi undang-undang mereka. Dan undang-undang itu menjamin baginya kebebasan I’tiqad, dan hak hidup padahal orang itu adalah murtad agama Allah ini.
Adapun orang yang menyalahi undang-undang mereka atau mencaci dustur-dusturnya, atau mencela para arbab mereka yang beragam itu, maka orang itu adalah orang yang dibenci, disiksa, dipenjara, dan diintimidasi. Di antara fenomena-fenomena itu adalah banyak sekali.
Sesungguhnya orang yang mencela Allah dan Rasulullah dalam ajaran mereka bila orang itu diadukan kasusnya, maka sesungguhnya mahkamah yang menanganinya adalah mahkamah madaniyyah (perdata), dan hukumnya tidak lebih dari satu bulan atau dua bulan (penjara), berbeda dengan orang yang mencela/mencaci aalihah (tuhan-tuhan) mereka yang diada-adakan dan arbab mereka yang beragam, dari kalangan raja (presiden/emir) atau para menteri-menterinya, atau para kaki tangannya, maka orang yang mencacinya itu akan diadili di mahkamah keamanan Negara, dan biasanya dipenjara sampai tiga tahun.
Mereka itu tidak mensetarakan diri mereka dan para arbabnya dengan Allah saja, akan tetapi mereka berbuat lebih dari itu dan mengagungkannya lebih dari pengagungan terhadap Allah ini bila memang itu adalah bentuk pengagungan mereka terhadap Allah.
Sungguh kemusyrikan orang-orang musyrik terdahulu adalah bahwa mereka itu mencintai tuhan-tuhan mereka sama seperti kecintaan mereka kepada Allah, atau mereka mensetarakan para tuhan tersebut dengan Allah dalam hal ta’dhim, tasyri’, hukum, atau ibadah, Allah suhanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah”. (Qs. Al Baqarah: 165).
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
“Demi Allah: Sesungguhnya kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam.” (Qs. Asyu’araa’: 97-98).
Adapun orang-orang musyrik zaman kita sekarang ini, maka sesungguhnya mereka itu sudah kelewatan, dan aniaya, mereka mencintai aalihah dan arbaab mereka dan mengangkatnya di atas kedudukan Allah, maha suci Allah dari apa yang mereka katakan, Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Ini adalah hal yang tidak dibantah oleh seorangpun yang mengetahui kenyataan mereka dan undang-undangnya.
Dan engkau akan mengetahui nanti bahwa sang hakim yang sebenarnya, dan sang pembuat aturan yang inti, serta bosnya yang mengesahkan undng-undang adalah bukan Allah dan dien-Nya akan tetapi itu adalah thaghut mereka dan tuhan mereka yang selalu mereka cintai dan mereka agungkan lebih dari penggungan terhadap Allah. Mereka marah karenanya, karena ajarannya, dan karena hukumnya, mereka mengintimidasi, mereka memenjarakan, dan mereka melakukan pembelaan dengan apa yang tidak pernah mereka lakukan bila dien Allah dilanggar dan syari’at-Nya dihina. Dan kenyataan yang selalu berulang yang kita alami adalah saksi dan bukti yang paling nyata akan hal itu.
· Mereka dikafirkan dari sisi tasyri’ bersama Allah subhaanahu wa ta’aala.
Ini adalah syirik modern yang selalu mereka promosikan, dan mereka mngajak orang kepadanya, bahkan mereka memberikan dorongan orang-orang untuk masuk di dalam (parlemen)nya dan ikut seta di dalamnya, juga memperindahnya di hadapan mereka.
Dalam undang-undangnya itu mereka menetapkan hukum-hukum yang bertentangam dengan dienullah dan tauhid-Nya, di mana undang-undang itu menjadikan bagi mereka hak (wewenang) tasyri’ (membuat hukum/aturan secara muthlaq dalam setiap permasalahan.
Sebagaimana bunyi pasal 26 dalam UUD Yordania:
1. Kekuasaan tasyri’ (legislatif) berasal di tangan raja dan anggota majelis rakyat.
2. Kekuasaan tasyri’ menjalankan wewenangnya ssesuai dengan materi UUD.
Sedangkan Allah subhaanahu wa ta’aala telah berfirman seraya mengingkari orang-orang musyrik:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agma yang tidak diizinkan Allah?” (Qs: Asy-Syuura: 21).
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?,” (Qs. Yusuf: 39).
Dan Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman tentang taat dalam satu masalah saja:
“Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.“ (Qs. Al An’aam: 121).
.Maka apa gerangan dengan wewenang membuat hukum seecara muthlaq, dan di antara yang memperjelas bahwa mereka itu telah menyekutukan Allah subhaanahu wa ta’aala dengan syirik akbar yang jelas dalam segala tasyri’ adalah bahwa sesungguhnya UUD mereka telah menegaskan bahwa (syari’at Islamiyyah adalah sumber inti dari sekian sumber-sumber tasyri’ (hukum)), dan ini berarti bahwa mereka itu tidak mentauhidkan Allah dalam tasyri’,[13] bahkan justeru tasyri’ itu bagi mereka memiliki banyak sumber hukum yang inti dan yang cabang, sedangkan syaria’at Islamiyyah menurut mereka tidak lain adalah salah satu sumber dari sekian sumber hukum itu, atau dengan ungkapan kafir yang lebih tegas adalah: (Sesungguhnya aalihah dan arbaab yang membuat hukum di sisi mereka itu banyak lagi beraneka ragam, di antaranya ada yang sebagai pempinan dan ada yang sekedar cabang saja, sedangkan Allah menurut mereka tidak lain adalah salah satu Tuhan dari sekian tuhan-tuhan yang beraneka ragam itu) Maha Suci Allah dari apa yang mereka ada-adakan dan dari apa yang mereka katakan.
Orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum-hukum mereka tentu dia bakal mengetahui bahwa tuhan merteka terbesar yang di mana suatu hukum tidak diakui dan tidak disahkan kecuali dengan tanda tangannya pada hakikatnya adalah thaghut mereka, baik itu raja, emir, atau presiden. Sedangakan syari’at Al Ilah Yang Maha Esa yang berada di atas langit, bila saja dipakai dalam sebagian permasalahan, ini tidak diterapkan di tengah-tengah mereka dan tidak bisa menjadi hukum resmi dan baku kecuali dengan kerelaan, persetujuan, dan pengesahan tuhan mereka yang berada di bumi ini, Maha Suci Allah dari apa yang mereka ada-adakan.[14]
Ketahuilah sesungguhnya kekafiran mereka itu adalah ruku’ dan sujud, sedangkan ibadah mereka itu adalah taat dalam tasyri’ di semua permasalahan. Kami katakan bahwa kekafiran mereka itu lebih busuk, karena sesungguhnya orang-orang musyrik Quraisy itu telah menjadikan Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai tuhan mereka yang paling tinggi dan paling agung di antara tuhan-tuhan lainnya, dan mereka mengklaim bahwa mereka tidak menyembah tuhan-atuhan itu kecuali supaya tuhan-tuhan tersebut mendekatkan diri mereka kepada Al Ilaah Yang Paling Agung yang ada di atas langit, sehingga talbiyah sebagian mereka yang mereka suarakan saat haji adalah: Labbaikallaahumma labbaik, labbaika Laasyariikalaka illaa syarikan huwa laka tamlikuhuu wa maa malaka.
Adapun orang-orang musyrik dustuur (undang-undang/aturan), maka sesungguhnya mereka itu meskipun menerima bahwa Allah itu adalah Sang Pemberi rizki, Dia yang menghidupkan yang mati, Dia yang menurunkan hujan dari atas, Dia tumbuhkan rerumputan, Dia yang menyembuhkan, Dia yang memberikan anak perempuan kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan memberikan anak laki-laki kepada yang Dia kehendaki atau Dia menggabungkan antara anak laki-laki dan perempuan bagi mereka, serta Dia yang menjadikan mandul orang yang Dia kehendaki. Ya, mereka itu meyakini bahwa semua itu di tangan Allah, tidak pada raja atau emir mereka, akan tetrapi tasyri’, perintah, putusan yang berlaku di antara mereka yang berada di atas segala putusan dan tasyri’ pada hakikatnya adalah wewenang milik raja mereka, sang thaghut atau tuhan mereka yang ada di bumi.
Dalam kemusyrikan ini mereka sama seperti orang-orang kafir Quraisy, akan tetapi mereka melebihi kekafiran orang Quraisy dengan keberadaan mereka yang mengagungkan perintah, hukum, tasyri’ aalihah dan arbaab mereka yang beraneka ragam yang ada di bumi ini melebihi pengagungan mereka terhadap Allah, kukum-Nya serta tasyri’-Nya.
Enyalah, enyahlah, dan binasalah orang yang lebih kafir dari Abu Jahal dan Abu Lahab.
“Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah terhadap apa yang mereka persekutukan (dengan-Nya).” (Qs. An Naml: 63).
Dan ketahuilah sesungguhnya sisi-sisi kemusyrikan dan kekafiran yang nyata mereka itu adalah sangatlah banyak, seandainya kita sebutkan seluruhnya tentulah pembahasan menjadi panjang. Mereka itu tidak membiarkan satu macam dari macam-macam kekafiran yang ada melainkan mereka masukinya. Akan tetapi apa yang telah disebutkan sudahlah cukup bagi orang yang mencari hidayah. Adapun orang yang hatianya sudah Allah kunci rapat, dia itu seandainya gunung-gunung saling berbenturan di hadapannya, tentulah itu tidak bermanfaat atau dia mendapat hidayah.
Dan yang ingin saya beritahukan kepada akhi muwahhid di sini adalah bahwa kekafiran mereka itu tidaklah terbatas pada satu sisi saja sehingga bisa ditolak dengan syubhat atau ucapan orang.
Mereka itu telah dipenuhi dengan berbagai macam kemusyrikan dan kekafiran. Dan yang penting di sini adalah engakau mengetahui bahwa sisi kemusyrikan dalam tasyri’ itu bukanlah sisi meninggalkan berhukum dengan apa yang Allah turunkan karena syahwat, atau hawa nafsu yang sifatnya terkadang yang bisa diterapkan padanya perkataan yang dinisbatkan kepada Ibnul Abbas dan para sahabat lain di dalamnya. Karena pada zaman Ibnu Abbas dan zaman Khawarij tersebut tidak pernah ada dari kalangan penguasa kaum muslimin seorangpun yang mengklaim bahwa dirinya memiliki wewengan membuat hukum/undang-undang , dan tidak ada di antara mereka seorangpun yang membuat hukum/undang-undang meskipun dalam satu masalah saja,sebab hal ini menurut mereka adalah kekafiran dengan ijma.
Sedangkan Ibnu Abbas yang di mana ungkapan kufrun duuna kufrin itu dinisbatkan kepadanya, beliaulah juga yang meriwayatkan sebab turun firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang taat kepada orang-orang musyrik meskipun dalam satu kasus pembuatan satu hukum saja.[15]
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al An’aam: 121).
Seandainya yang digembar-gemborkan oleh orang-orang Khawarij itu adalah alhukmu yang bermakna tasyri’ (membuat hukum/undang-undang), tentulah Ibnu Abbas tidak berkata kufrun duuna kufrin tentangnya, dan mana mungkin beliau mengatakan itu tentangnya sedangkan beliau adalah pakar Al Qur’an.
Dan yang dikeriktik dan dicela oleh orang-orang Khawarij itu hanyalah sebagian penyimpangan dan ijtihad-ijtihad yang di mana mereka menilainya keliru.
Di antara contohnya adalah kisah al hakamain (dua sahabat yang memutuskan perselisihan) yang telah terjadi dalam tahkiim antara pasukan Ali dengan Mu’awiyah, serta yang berlangsung di dalamnya di mana orang-orang Khawarij protes dan berkata kalian telah menjadikan orang sebagai pemutus permasalahan, serta mereka berdalil dengan keumuman firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Al Maa-idah: 44).
Mereka mengklaim bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah berarti dia telah memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan. Mereka mengkafirkan al hakamain dan orang-orang yang rela dengan putusan keduanya, mereka mengkafirkan Mua’awiyah dan Ali radhiyallahu ‘anhuma. Dan ini adalah awal mula munculnya mereka, dan oleh sebab itu firqah mereka yang paling pertama dinamakan Al Muhakkimah. Mereka didebat oleh para sahabat, dan orang yang paling sering mendebat mereka adalah Ibnu Abbas, beliau memberikan hujjah/alasan kepada mereka bahwa hal itu (tahkimul hakamain)adalah termasuk ash shulhu (mendamaikan) antara sesama kaum muslimin dan bukan termasuk memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan dengan maknanya yang kafir, Ibnu Abbas berdalil untuk menguatkan ungkapannya dengan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang pertikaian antara suami isteri:
“Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (Qs. An Nisaa: 35).
Dan bila boleh tahkimur rijaal (mengutus orang-orang sebaagai juru damai) untuk mendamaikan antara suami isteri, maka hal itu lebih boleh lagi dilakukan untuk menjaga pertumpahan darah umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Ibnu Abbas mendebat mereka dengan dalil-dalil lainnya sebagaimana yang dijabarkan dalam tarikh dan firaq, beliau menjelaskan kepada mereka bahwa masalah ini meskipun terjadi kekeliruan dan pelanggaran di dalamnya, maka itu bukan termasuk kekafiran yang mereka yakini, sehingga kepada makna inilah perkataan (kufrun duuna kufrin) yang dinisbatkan kepada beliau itu ditempatkan/ditafsirkan. Dan banyak yang rujuk dari kalangan Khawarij itu, dan yang lainnya tetap bersikukuh, sehingga Ali dan para sahabatpun memerangi mereka, sehingga terjadilah apa yang sudah ma’lum dalam buku-buku sejarah.
Maka apakah yang dilakukan oleh para penguasa/pemerintah pada masa sekarang berupa klaim/tindakan pembuatan hukum/undang-undang di samping Allah, mengganti hukum-hukum Allah, serta mencari hakam, musyarri’ selain Allah dan juga mencari dien dan manhaj selain Islam, apakah ini seluruhnya wahai orang-orang yang berakal termasuk dalam kasus yang terjadi di antara sahabat itu dan yang diingkari oleh orang-orang Khawarij, serta yang diperdebatkan oleh Ibnu abbas dan Khawarij, sehingga apa yang diucapkannya itu bisa dikaitkan kepadanya?.
Tapi yang jelas bahwa firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Al Maa-idah: 44). itu adalah umum mencakup putusan yang dhalim (kufrun duuna kufrin) dan mencakup al hukmu yang bermakna tasyri’ (membuat hukum/undang-undang/aturan) yang merupakan kufrun bawwah.
Oleh sebab itu para salaf sesungguhnya bila membahas ayat tersebut dan orang yang berdalil dengannya memaksudkan makna pertama (dhalim) maka mereka menta’wilkan dan membawa ayat itu pada kufur ashghar, dan bila orang itu menginginkan makna yang kedua (tabdiil dan tasyri’) maka mereka membiarkan ayat itu di atas dhahirnya yaitu kufrun bawwah yang hakiki.
Padahal hukum asal dalam ayat-ayat itu adalah berkenaan dengan kekafiran akbar yang nyata yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, saat mereka bersepakat dan bersekongkol (untuk menerapkan) hukum-hukum selain hukum-hukum Allah.
Oleh sebab itu Al Baraa Ibnu ‘Azib radhiyallahu ‘anhu berkata sebagaimana dalam Shahih Muslim setelah menyebutkan firman Allah ta’aa:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Al Maa-idah: 44).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Qs. Al Maa-idah: 45).
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Al Maa-idah: 47).
Beliau berkata: Seluruhnya berkenaan dengan orang-orang kafir.
Seandainya orang-orang Khawarij menuturkan ayat-ayat itu pada tempatnya terhadap orang yang membuat hukum/undang-undang atau terhadap orang yang terjatuh dalam kasus yang di mana orang-orang Yahudi jatuh di dalamnya, tentulah para salaf tidak bakal mengingkari mereka, tentulah mereka membiarkan kekafiran dia dalam ayat itu pada hakikatnya dan tentulah mereka tidak menta’wilnya.[16].
Akan tetapi hal itu belum pernah ada pada zaman mereka itu sehingga mereka perlu mengomentarinya, dan seandainya hal itu ada tentu mereka tidak bakalan mengutarakan terhadap seperti ayat ini yang masih dhanniy dilalahnya yang mengandung dua makna, akan tetapi mereka tentu mengutarakan nash-nash yang qath’iy dilalahnya yang tidak mengandung kecuali makna tasyri’ lagi tabdil, seperti fiman-Nya subhaaanahu wa ta’aala:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka Telah dibinasakan. dan Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Qs. Asy-Syuura: 21).
Dan firman-Nya subhaaanahu wa ta’aala:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya[yaitu dengan menyebut nama selain Allah.]. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An’aam:121).
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki.” (Qs. Al Maa-idah: 50).
Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aala:
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya.” (Qs. Ali Imran: 85).
Akan tetapi satupun dari hal itu tidak pernah ada pada diri khalifah di zaman Khawarij dan Ibnu Abbas itu, oleh sebab itu tidak boleh menuturkan bantahan para sahabat terhadap Khawarij di tempat itu dan mendudukannya terhadap kemusyrikan para pemerintah itu dan kekafirannya yang nyata pada masa sekarang.
Siapa orangnya yang melakukan hal itu, maka sungguh dia itu telah mentalbis yang hak dengan kebatilan dan cahaya dengan kegelapan,[17] bahkan dia itu Demi Tuhan Ka’bah berada di atas bahaya yang sangat besar, karena sesungguhnya konsekuensi hal itu adalah bahwa apa yang dikritikan oleh Khawarij terhadap para sahabat dan Al Khulafaa Ar Rasyidiin adalah sama sejenis dengan kemusyrikan para penguasa yang kafir itu, dan dalam keyakinan ini terkandung pengkafiran terhadap para sahabat seluruhnya pada zaman sekarang ini.
Maka tidak diragukan lagi bahwa siapa yang mengkafirkan para sahabat dan para al Khulafaa Ar Rasyidiin itu maka sungguh dialah orang yang kafir, karena para sahabat itu telah diridhai Allah dan mereka ridha terhadap Nya dengan nash Al Qur’an.
Menuduh mereka dengan sesuatu dari kemusyrikan dan kekafiran para penguasa itu adalah takdzib (pendustaan) terhadap penegasan Al Qur’an atau merupakan penetapan sifat bagi Allah bahwa Dia ridha trhadap orang-orang kafir, sedangkan semua ini merupakan kekafiran.
Maka hendaklah setiap orang khawatir akan diennya dari jurang-jurang kebinasaan, dan hendaklah takut kepada Allah orang yang menuduh para sahabat dengan kekafiran dan kemusyrikan demi menutupi (kekafiran) para thaghut itu.
Diadaptasi dari kitab Kasyfu Syubuhaatil Mujaadilin `An `Asaakiri Syirki wa Anshooril Qowaanin
Diterjemahkan oleh ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah
[1] Kufrun duuna kufrin adalah istilah kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam, adapun kufrun akbar adalah yang mengeluarkan dari Islam. Pent.
[2] Ya sangat jelas sekali sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Ar Rabbaniy Al Mufassir Al Ushuuliy Al Lughawyi Al ‘Alamah Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah dalam tafsirnya Adhwaa-ul Bayan 4/66:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawaaniin wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan-lisan wali-walinya yang bertentangan dengan apa yang telah disyari’atkan Allah SWT lewat lisan para Rasul-Nya semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka, sesungguhnya tidak ada yang meragukan akan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang bashirahnya telah dihapus oleh Allah dan dia itu dibutakan dari cahaya wahyu-Nya seperti mereka.”
Juga ungkapan yang hampir serupa dikatakan oleh Al ‘Allamah Al Muhaddits Ahmad Sakir dalam Umdatut Tafsir 4/174.
Akan tetapi ahlul Irja’ yang merasa paling salaf pada masa sekarang telah buta dan tak bisa melihat terangnya matahari dalil dan ijma ulama yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmu Al Fatawaa 3/267), Ibnu Katsir (Al Bidayah Wan Nihayah 13/119), Asy Syinqithiy dan yang lainnya, justeru mereka hanya bisa melihat masalah ini ditengah kegelapan syubhat, layaknya kelelawar yang tak bisa melihat saat ada cahaya matahari. Pent.
[3] Darah mereka halal ditumpahkan dan harta mereka halal diambil oleh kaum muslimin, baik statusnya sebagai fai’ atau sebagai ghanimah. Pent.
[4] Mereka kekal di dalam api neraka dan tidak mungkin dikeluarkan darinya. Pent.
[5] Mereka saat terjadi perselisihan dan persengketaan di antara satu Negara dengan Negara tetangganya, mereka mengadukannya bukan kepada hukum Islam tapi kepada hukum PBB, atau Liga Arab umpamanya, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz rahimahullah berkata saat menanggapi rencana bersatunya negara-negara arab di bawah satu naungan nasionalisme arab, beliau berkata dalam kitabnya Naqdul Qaumiyyah Al ‘Arabiyyah 50: Sisi keempat: “Di antara sisi-sisi yang menunjukan kepadanya dan bergabung satu di bawah panjinya menyebabkan anggota liga itu harus menolak hukum Al Qur’an, karena sesungguhnya orang-orang naionalis arab yang bukan muslim tidak akan rela akan tahkim Al Qur’an, sehingga keadaan ini mengharuskan para tokoh nasionalisme tersebut untuk membuat hukum-hukum itu, dan banyak di antara mereka telah tegas-tegasan mengatakan itu sebagaimana yang lalu. Dan ini adalah kerusakan yang maha besar, kekafiran yang terang, dan kemurtaddan yang jelas. “ Pent.
[6] Contoh akan hal ini sangat banyak sekali, dan bukan di sini untuk memaparkannya, akan tetapi silahkan rujuk kitab kami Al Kawasyif Al Jaliyyah Fi Kufri Ad Daulah Assu’uudiyyah.
[7] Di mana negara-negara arab itu bersatu di bawah panji nasionalis arab yang kafir dengan undang-undangnya yang kafir, yaitu Liga Arab yang telah dijelaskan kekafirannya oleh Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz dalam kitab Khusus Naqdul Qaumiyyah Al ‘Arabiyyah, silahkan lihat secara khusus halaman 50-51.
[8] Juga penguasa dan pemerintah negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, yang di mana mereka adalah thaghut-thaghut pula karena statusnya adalah sama dengan thaghut-thaghut arab dan bahkan lebih parah, akan tetapi orang-orang dari kalangan salafiyyin maz’uumiin masih menganggap bahwa para penguasa itu adalah muslim dan negaranya adalah negara Islam!!! Serta orang yang menentangnya adalah Khawarij, sehingga merekapun subur dan gemuk karena mendapatkan kebebasan dan dukungan para thaghut itu, ini semua akibat dari paham irjaa’ yang mereka pegang tanpa mereka sadari, kufur kepada thaghut hanya sekedar di lisan akan tetapi realitanya mereka banyak menyenangkan para thaghut itu. Pent.
[9] Ini yang dilakukan oleh semua negara, lihat contohnya persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia tentang pulau Sipadan dan Ligitan kemana keduanya merujuk, ke Denhaag (Belanda). Tapi para ustadz masih bilang Indonesia itu negara Islam!!!! Padahal para pemimpin dan para pejabgat mengatakan ini bukan negara Islam, dan rakyat yang awam juga berkata demikian. Pent.
[10] Bagaimana thaghut bisa kufur kepada thaghut, ini sangat aneh kecuali dalam kamus orang yang tidak paham tauhid yang mengatakan bahwa tidak semua thaghut itu kafir!!!!!!. Pent.
[11] Ini bisa dilihat dengan adanya kesepakatan Internasional untuk memerangi muwahhidiin mujahidiin yang mereka identikan dengan teroris, juga dengan adanya undang-undang anti teroris yang intinya adalah membabat kaum muwahhidiin di setiap negara. Pent.
[12] Demokrasi adalah syirik, sedangkan Islam adalah tauhid. Tauhid tidak bisa bersatu dengan syirik, Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata dalam risalah syarah ashli dienil Islam (lihat Al Jaami Al Fariid 380): Sesungguhnya orang yang melakukan syirik itu berati dia sudah meninggalkan tauhid, karena keduanya adalah dua hal yang berlawanan yang tidak bisa bersatu, sehingga bila syirik ada (pada diri menusia) maka hilanglah tauhid.”
Putra beliau Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata dalam Kitabnya Mnhaju Ta’siis 12: Islam dan syirik adalah dua hal yang kontradiktif yang tidak bisa bersatu dan tidak bisa hilang kedua-duanya.” Mustahil dalam Islam ini ada orang muslim yang demokrat atau demokrat muslim, tapi yang ada adalah muslim (muwahhid) dan demokrat (musyrik). Jadi orang-orang yang masuk parlemen yang berdasarkan demokrasi dan memang semua parlemen atau majelis permusyawaratan/perwakilan rakyat adalah berlandaskan demokrasi adalah musyrik bahkan merka itu arbaab, apapun alasannya,dari manapun latar belakangnya, baik itu dari partai Islam!!!! Katanya atau bukan. Pent.
[13] Bila yang menjadikan Islam sebagai salah satu sumber hukum adalah orang musyrik kafir, maka apa gerangan dengan yang sama sekali tidak mencantumkan Islam sebagai salah satu sumber hukumnya seperti negara yang kita hidup di dalam paksaan kekuasaannya, ini adalah kekafiran di atas kekafiran, akan tetapi para pengikut Murji’ah yang pada masa sekarang mereka buta akan hal ini, mereka tidak bisa atau tidak mau melihat kenyataan yang terang dan tidak bisa memahami dalil yang jelas, mereka hanya bisa melihat di kegelapan syubhat layaknya kelelawar yang tidak bisa melihat terangnya matahari tapi bisa melihat di kegelapan malam, juga para pengekor Murji’ah itu tuli tidak mndengar atau tidak mau mendenganr ucapan para penguasa yang dengan terang-terangan mengatakan bahwa ini bukanlah negara Islam dan kita tidak menginginkan negara Islam. Akan tetapi para pengekor ini bersikeras mengatakan ini adalah negara/pemerntah Islam bukan kafir. Sungguh tidak ada yang buta dan tidak ada yang tuli seperti ketulian dan kebutaan mereka, sampai orang yang dungu di antara mereka mengatakan bahwa tidak semua thaghut itu kafir!!!!Pent.
[14] Banyak sekali contoh-contoh akan hal itu, akan tetapi tidak bisa dipaparkan di sini, dan kami telah menjelaskan dan memaparkannya serta kami tunjukan bukti akan hal itu dari hukum-hukum dan undang-undang mereka dalam buku kami yang berjudul Kasyfun Niqaab ‘Asy Syari’atil Ghaab (Membongkar Kebobrokan Hukum Rimba) yang sudah beredar luas.
[15] Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak dengan sanad yang shahih, dan lihat tafsir Ath Thabarry. Adapun ungkapan kufrun duuna kufrin maka kita tidak bisa memastikan penisbatannya kepada Ibnu Abas meskipun sebagian orang menshahihkannya, karena pada sanadnya ada Hisyam Ibnu Hajar Al Makkiy dan dia itu dhaif. Dan perkataan Ibnu Abbas serta perkataan yang lainnya dari kalangan tabi’in telah tsabit, akan tetapi dalam kasus apa yang seperti ungkapan itu dilontarkan, bukan dalam apa yang dikaburkan oleh orang-orang khalaf dari kalangan Murji’ah gaya baru.
Pent: Di antara buku-buku penebar syubhat Irjaa masa sekarang di antranya: Al Hukmu Bi Ghairi Maa Anzalallaah Wa Ushuulut Takfiir karya Khalid Al Anbariiy, Ihkamu Taqriir Fi Ahakaamit takfir karya Murad Syukri, Dlabthudl Dlawabith karya Ahmad Shalih Az Zahraniy, Haqiqatul Iimaan Baina Ghuluwwil Khawarij wa Tafrithl Murji’ah Karya Adnaan Abdul Qadir, Shaihatu Nadziir karya Ali Hasan Al Halabiy (tokoh panutan kalangan salafiyyin maz’uumiin di Indonesia yang setiap tahun datang ke Surabaya untuk mengadakan daurah), At Tahdziir Min Fitnanit Takfiir karya Ali Hasan juga, buku-buku itu semua menebarkan paham Irjaa’ dan sudah ditahdzir oleh para ulama yang tergabung dalam Al Lajnah Ad Daa’imah. Dan juga kitab Haziimatil Fikrit Takfiriy karya Khalid Al Anbariy yang sudah ditahdzir oleh Syaikh Shalih Al Fauzan. Semua ini lihat dalam kitab At Tahdzir Minal Irjaa’ wa Ba’dlil Kutub Ad Daaiyah Ilaih cetakan Dar’Aalamil Fawaaid.
[16] Al Baraa Ibnu ‘Azib berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang yahudi yang dipoles hitam wajahnya dan didera,maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka,terus berkata: Apakah kalian mendapatkan hukuman zina seperti ini dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Ya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil salah seorsng ulama mereka,beliau berkata: Saya ingatkan kamu dengan Dzat Yang telah menurunkan taurat kepada musa, apakah kalian mendapatkan hukuman zina dalam kitab kalian seperti ini?. Maka dia berkata: Demi Allah tidak, seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan Allah tentu saya tidak akan menberitahukan engkau akannya, kami mendapatkan hukuman zina dalam kitab adalah rajam, akan tetapi banyak terjadi perzinahan dikalangan bangsawan kami, maka kami bila mendapatkan orang bangsawan berzina maka kami tinggalkan (tidak diberi hukuman) dan bila ynag berzina adalah orang lemah maka kami terapkan hukuman itu, maka akhirnya kami semua berkata: marilah kita sepakat untuk menjadikan hukuman yang diterapkan kepada orang bangsawan dan orang biasa, maka kami sepakat akan hukuman memoles yang hitam dan dera “ Maka Nabi saw berkata: Ya Allah sesungguhnya saya adalah orang yang paling pertama kali menghidupkan perintahmu ini saat mereka mematikanya,” maka dia berkata: Maka beliau memerintahkan untuk merajam orang itu, kemudian Allah menurunkan: Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir,”…..dhalim”…fasiq.” (Qs: Al-Maa-idah: 44-46). Maka Al Barra berkata: berkenan dengan orang-orang kafir seluruhnya,”
Dan Perhatikan perkataannya: “ Maka kami sepakat, “ dan bukan,” maka kami menghalalkan,” sebagaimana yang ditipudayakan oleh Murji’ah gaya baru.
[17] Dan itulah kenyataan para pengikut Murji’ah pada masa sekarang, mereka selalu berpatokan kepada apa yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas itu dan menempatkannya bukan pada tempatnya, mereka telah membuat para thaghut itu girang dan senang. Mereka menuduh orang yang mengkafirkan para penguasa thaghut itu dengan tuduhan Khawarij gaya baru, takfiriy dan lain sebagainya, bahkan ada di antara mereka yang membantu thaghut untuk menangkap orang-orang yang mereka anggap sebagai Khawarij itu, dan bahkan ada yang berkeyakinan wajibnya melaporkan orang-orang yang mereka cap sebagai Takfiriyyin dan Khawarij itu kepada penguasa bila merka menyebarkan pahamnya. Sungguh buta orang-orang Murji’ah dan para pengikutnya itu, dan sungguh jauh sekali mereka itu dari memikirkan bagaimana menjihadi thaghut-thaghut itu. Pent.
0 komentar: