Faidah
Kapan Keadilan Dikembalikan bagi Pelaku Dosa
yang Bertaubat
Telah lalu pembicaraan tentang taubat dan penjelasan syarat-syarat dalam penjelasan ilmu yang fardlu ‘ain di pasal ke dua dari bab ke dua kitab ini. Taubat itu ada dua macam: Bathiniyyah dan Hukmiyyah.
Syarat yang telah kami isyaratkan kepadanya, yaitu menyesal, mencabut diri dari dosa itu, ber’azam untuk tidak mengulang, meminta ampunan dengan lisan dan menunaikan hak manusia bila dosa itu berkaitan dengannya dan yang lainnya dan inilah taubat yang diterima.
Adapun taubat Hukmiyyah, maka ia adalah penampakan taubat orang yang berdosa itu di hadapan manusia dengan cara mencabut diri dari maksiatnya dan menampakkan penyesalan. Dan para ulama telah berselisih tentang orang ini apakah dikembalikan kepadanya keadilannya ~sehingga bisa diterima kesaksiannya dan sah perwaliannya dalam nikah~ saat itu juga dengan sekedar taubat atau disyaratkan dengan berlalunya tenggang waktu tertentu yang di dalamnya dapat diketahui kebaikan dia? Ada dua pendapat:
Pertama: Dikembalikan saat itu juga keadilannya kepadanya, sedangkan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
“Dan Dia-lah yang menerima taubat dari hamba-hambaNya…“ (Q.S. Asy Syura’ [42]: 25).
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Sesungguhnya Alloh mengampuni dosa-dosa semuanya… “ (Q.S. Az Zummar [39]: 53)
Ke dua: Disyaratkan berlakunya masa tertentu sebelum dikembalikan keadilannya kepadanya. Bila telah berlalu satu tahun di dalamnya melakukan amalan shalih setelah ia bertaubat, maka dikembalikan keadilan kepadanya dan kita mengetahui jelas kebenaran taubatnya, sedangkan dalilnya adalah:
· Bahwa Allah Ta’ala telah mensyaratkan untuk keabsahan taubat adanya amal shalih yang mengiringinya, Allah Ta’ala berfirman:
”Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya ia telah bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya“. (Q.S. Al Furqan [25]: 71)
Dan firmanNya Ta’ala:
“Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah (kafir) itu dan mangadakan perbaikan. Karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imran [3]: 89)
Dan ayat-ayat tentang makna ini sangat banyak. Bila orang beramal shalih setelah taubatnya, maka kita tahu jelas kebenaran taubatnya.
· Bahwa Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallahu ‘anhu tatkala kaum murtaddun telah bertaubat, beliau melarang mereka menunggang kuda dan membawa senjata serta beliau berkata kepada utusan Buzakhah ~yaitu kaum Thulaihah Al Asadiy~: “Kalian mengiringi ekor-ekor unta sampai Allah memperlihatkan kepada khalifah Nabi-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam dan para Muhajirin suatu hal yang dengannya menerima udzur kalian“ [Al Bukhariy: 7221]. Yaitu kalian mengembala unta-unta di pedalaman sampai nampak kebenaran taubat kalian. Ibnu Hajar berkata: ”Dan yang nampak bahwa yang dimaksud dengan akhir target waktu yang ditetapkan Abu Bakar bagi mereka adalah nampaknya taubat mereka dan keshalihan mereka dengan baiknya keIslaman mereka“ [Fathul Bari: 13/211]. Sedangkan ini adalah tuntunan khalifah rasyid dan para sahabat mengikutinya di atas itu sehingga ini adalah ijma’ sahabat.
· Bahwa Umar Ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu tatkala Shabigh Ibnu ‘Asal bertaubat ~setelah diasingkan Umar karena bid’ahnya~, maka Umar memerintahkan agar dia tidak diajak bicara setahun. Dan ini adalah tuntunan khalifah rasyid juga. Maka yang nampak dari yang lalu adalah kuatnya pendapat yang ke dua karena kekuatan dalil-dalinya, yaitu dalil-dalil yang membatasi dalil-dalil pendapat pertama yang muthlaq. Dan Ibnu Qudamah telah menuturkan kedua pendapat ini dan beliau tidak mentarjih di antara keduanya [Al Mughniy Ma'asy Syarhil Kabir: 12/80-82]. Dan begitu juga Ibnu Taimiyyah berkata tentang keduanya dan tidak mentarjih keduanya, beliau berkata: ”Dan bila ia seperti itu bertaubat kemudian ia beramal shalih satu tahun dan ia tidak membatalkan taubatnya, maka sesungguhnya diterima darinya hal itu dan dia boleh diajak duduk dan diajak bicara. Dan adapun bila ia bertaubat namun belum berlalu terhadapnya satu tahun, maka disini ada dua pendapat yang masyhur dari ulama:
- Di antara mereka ada yang berkata: saat itu juga langsung boleh diajak duduk dan diterima kesaksiannya.
- Di antara mereka ada yang berkata: mesti lewat waktu satu tahun sebagaimana yang dilakukan Umar Ibnul Khathab terhadap Shabigh Ibnu ‘Asal.
Dan ini adalah termasuk masalah-masalah ijtihad, orang yang memandang diterima taubatnya orang yang taubat ini dan bolehnya diajak duduk secara langsung sebelum diuji maka ia telah mengambil pendapat yang boleh dan orang yang memandang bahwa dia itu ditangguhkan sementara waktu sampai beramal shalih dan nampak kejujuran taubat, maka ia telah mengambil pendapat yang boleh pula, sedangkan kedua pendapat ini bukanlah termasuk hal yang munkar“. [Majmu Al Fatawa: 28/214-215. dan lihat juga Majmu Al Fatawa: 7/86].
Telah jelas di hadapan anda dari dalil-dalil itu kuatnya pendapat yang ke dua dan bahwa seyogyanya ia di beri tenggang waktu untuk mencari kebenaran taubatnya. Dan ini juga termasuk siyasah yang baik. Dan andaikata peradilan ini dikembalikan kepada orang yang bertaubat saat itu langsung dan ia berbaur dengan kaum muslimin atau dia memegang perwalian kaum muslimin sedangkan belum jelas kebenaran kejujuran taubatnya tentulah ia bisa merusak kaum muslimin, terutama bila tuduhannya adalah kemurtadan dan kezindikan, maka hal yang wajib adalah dia diberi tenggang waktu dan ia adalah tuntunan Al Khulafa Ar Rasyidin sebagaimana yang telah dijelaskan. Dan Ibnu Taimiyyah berkata juga: ”Umar dan bahkan Abu Bakar radliyallahu ‘anhum tidak pernah mempekerjakan orang yang munafiq terhadap kaum muslimin dan keduanya tidak pernah mengangkat sebagai pegawai dari karib kerabatnya dan tidak pernah peduli di (jalan) Allah ini celaan orang yang suka mencela, bahkan tatkala keduanya memerangi orang-orang yang murtad dan mereka kembalikan pada Islam, maka mereka melarangnya dari menunggang kuda dan memikul senjata sampai nampak keabsahan taubat mereka. Dan adalah Umar berkata kepada Sa’ad Ibnu Abi Waqqash sedang ia adalah gubernur Irak: ‘Jangan angkat seorangpun dari mereka menjadi pegawai dan jangan ajak mereka musyawarah dalam hal perang’“. [Al Majmu Al Fatawa: 35/65].
Maka seandainya pejabat murtad terus bertaubat maka tidak seyogyanya ia tetap dalam jabatannya setelah taubatnya.
10. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Sebelum dikenakan hukuman terhadapnya oleh pihak penguasa“. Ini adalah bagi maqdur ‘alaih di Darul Islam, kemudian bila tidak taubat maka ia sudah mesti mendapat hukuman murtad pada darah dan hartanya, laki-laki dan wanita dalam hal ini adalah sama, beda halnya dengan kalangan Ahnaf. Dan yang menimpakan sanksi hukumannya di Darul Islam adalah yang memiliki kekuasan, yaitu imam dan para wakilnya seperti gubernur, qadli, dan para pembantu dari kalangan polisi dan tidak ada hak untuk individu-individu untuk memberikan sanksi-sanksinya atau menegakan hudud oleh diri mereka di Darul Islam.
Syamsuddin Ibnu Muflih Al Hanbaliy rahimahullah berkata dalam kitabnya: ”Haram menegakkan had kecuali bagi imam atau wakilnya“. [Al Furu': 16/53].
Dan Ibnu Qudamah berkata: ”Pembunuhan orang murtad diserahkan kepada imam, baik merdeka ataupun budak dan inilah pendapat mayoritas ahli ilmu, kecuali As Syafi’i dalam salah satu pendapatnya tentang budak bahwa si tuannya boleh membunuhnya berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Tegakkanlah hudud atas hamba sahaya kalian“ [Al Mughniy Ma'asy Syarhil Kabir: 10/80].
Maka ini tidak ada perselisihan terhadapnya di antara kaum muslimin dan ini yang bisa berjalan di Darul Islam semenjak zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sampai lenyapnya Darul Islam dari muka bumi, sedangkan hadits yang dituturkan oleh Ibnu Qudamah diriwayatkan Abu Dawud secara marfu’ dan diriwayatkan Muslim dari Ali secara mauquf.
Syaikh Mansyur Al Bahutiy Al Hanbaliy berkata: ”Tidak membunuhnya kecuali imam atau wakilnya, baik si murtad itu merdeka ataupun budak karena ia dibunuh karena hak Allah Ta’ala, maka ia diserahkan kepada imam atau wakilnya ~sampai ucapannya~ dan bila si murtad itu dibunuh oleh selain imam atau wakilnya tanpa izinnya, maka orang itu telah berbuat tercela dan mesti diberi sanksi karena ia telah lancang terhadap imam dan wakilnya namun orang yang membunuh itu tidak menanggung orang murtad karena si murtad itu obyektif yang tidak terjadi baik dia membunuhnya sebelum istitabah ataupun sesudahnya, karena dia halal darahnya secara umum, sedangkan kemurtadannya telah menghalalkan darahnya dan ia itu ada sebelum istitabah sebagaimana ia ada sesudahnya, kecuali bila si murtad itu lari ke Darul Harbiy, maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya tanpa istitabah dan mangambil harta yang ia bawa bersamanya karena ia telah menjadi kafir harbiy“. [Kasysyaful Qina' ‘An Matnil Iqna, Al Bahutiy: 6/175, Darul Fikr 1402 H].
Dan apa yang diutarakan Syaikh Al Bahutiy, yaitu bahwa bila yang membunuh orang murtad itu selain imam, maka ia dita’zir namun tidak menanggung kerugian, adalah hal yang tidak diperselisihkan akan tetapi seyogyanya dibawa pada keadaan orang yang terkenal masyhur kekafirannya dan terbukti terhadapnya serta tidak diketahui taubatnya, maka inilah yang apabila dibunuh oleh individu masyarakat, maka si pembunuh tidak menanggung darahnya dan kadang hal ini bisa wajib terhadap individu-individu masyarakat bila imam menyepelekan dalam penegakan hudud. Dan di antara contoh ini adalah apa yang dinukilkan berupa penyemangatan salaf untuk membunuh Bisyir Al Mirrisiy pada saat setelah mereka mengkafirkannya, karena sebab pendapat dia bahwa Al Qur’an itu makhluk dan penyepelean para pemimpin dalam memberinya sanksi, maka dalam hal ini berkatalah Abdul Malik Ibnul Majisyun ~murid imam Malik~: “Barangsiapa mengatakan Al Qur’an itu makhluk, maka ia kafir”, dan ia berkata: “Andai saya mendapatkan Bisyr Al Mirrisiy tentu saya penggal lehernya…!”. Dan berkata Abdulloh Ibnu Mubarak ~seraya menyemangati untuk membunuh Bisyr~: “Rugi sekali bagi anak-anak, apa tidak ada di tengah mereka seorang yang menghabisi Bisyr“. [Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Hambal dalam kitabnya As Sunnah: hal 40 dan 37, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1405 H].
11. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~:
“Dan bila dia itu mumtani’” dengan kekuatan atau dengan darul harbi, maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa proses istitabah dan dalam hal ini melihat kepada maslahat dan mafsadah yang dtimbulkan oleh hal itu serta bila berbenturan maslahat dan mafsadah maka didahulukan yang paling kuat dari keduanya“
Ini adalah hukum bagi orang yang murtad mumtani’ ‘anil qudrah.
Imtina’ dalam syari’at ini ada dua macam:
Pertama: Imtina’ (penolakan) dari mengamalkan syari’at, baik sebagian ataupun keseluruhan dan ini yang banyak dituturkan dalam ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kelompok mana saja menolak dari (mengamalkan) suatu dari ajaran-ajaran Islam“. Yaitu tidak mengamalkannya.
Ke dua: Imtina’ ‘anil qudrah (penolakan dari genggaman kekuasan), yaitu di luar jangkauan kekuasaan kaum muslimin untuk memanggilnya dan memprosesnya. Dan tidak ada saling kemestian antara kedua macam imtina’ ini, di mana bisa saja yang menolak dari mengamalkan syari’at itu dari maqdur ‘alaih di Darul Islam, seperti orang yang menolak dari shalat dan zakat sedang dia itu individu yang maqdur ‘alaih di Darul Islam dan wajib membedakan antara kedua macam imtina’ ini, sedangkan imtina’ yang kami maksudkan dalam ucapan kami yang lalu adalah penolakan dari genggaman kekuasaan kaum muslimin.
Imtina’ ‘anil qudrah di Darul Islam adalah dengan cara unjuk senjata dan personil pendukung ~sebagaimana yang dilakukan para pembegal~ sebagaimana imtina’ itu terjadi dengan cara lari ke Darul Harbi lagi keluar dari kekuasan kaum muslimin. Ini adalah gambaran-gambaran imtina’ ‘anil qudrah. Ibnu Taimiyyah telah menuturkan dalam ucapannya: “Dan juga sesungguhnya bila dia imtina’ (melindungi diri) dengan kelompok atau dengan Darul Harbi“ [Ash Sharimul Maslul, hal: 278], dan dalam ucapannya: “Dan karena orang murtad itu bila imtina’ dengan cara ia lari ke Darul Harbi atau dengan cara kaum murtaddun itu memiliki kekuatan yang dengannya mereka imtina’ (melindungi diri) dari hukum Islam“. [Ash Sharimul Maslul hal: 322].
Sedangkan murtad mumtani’ itu bisa saja dia itu murtad di Darul Islam dan dia tetap berada di sana dalam keadaan mumtani’ (melindungi diri) dari jangkauan kekuasan Islam dengan senjata dan personil pendukung dan bisa saja dia murtad di Darul Islam dan lalu dia lari ke Darul Harbi dan bisa saja dia muqim (tinggal menetap) di Darul Harbi saat ia murtad dan tetap tinggal di sana.
Bila terbukti kemurtaddannya dengan kesaksian dua orang laki-laki adil atau dengan istifadlah tanpa syubuhat atau ihtimal (ada kemungkinan) ~sedang hal (ihtimal) ini tidak menjadi terbukti, kecuali dengan peraturan qadli atau dengan fatwa mufti~ maka boleh bagi setiap orang untuk membunuhnya dan mengambil hartanya tanpa istitabah. Dan ini termasuk perbedaan antara maqdur ‘alaih dan mumtani’. Dan telah lalu ucapan Syaikh Bahutiy dalam hal ini. Dan berkata Ibnu Qudamah rahimahullah: ”Dan andaikata orang yang murtad lari ke Darul Harbi maka tidak lenyap kepemilikannya, akan tetapi dibolehkan bagi setiap orang untuk membunuhnya tanpa istitabah dan mengambil hartanya bagi orang yang mampu melakukannya karena ia menjadi kafir harbi yang status hukumnya sama dengan Ahlul Harbi.” [Al Mughniy Ma'asy Syarhil Kabir: 10/82. Dan hal serupa dituturkan oleh Ibnu Muflih AL Hanbaliy dalam Al Furu': 6/175-176].
Sedang dalilnya adalah sikap Nabi SAW menghalalkan darah Abdullah Ibnu Sa’ad Abi As Sarh tatkala dia murtad dan lari ke Mekkah sebelum penaklukannya di mana dengan larinya ke Darul Kufri maka dia imtina’ (melindungi diri) dari kekuasan kaum muslimin. Dan kisah dia itu diriwayatkan dengan sanad yang shahih dan dituturkan secara rinci dalam Ash Sharim Al Maslul karya Ibnu Taimiyyah: 109-118 terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1398 H.
Dan berkata Ibnu Taimiyyah rahimahullah: ”Dan karena orang murtad itu bila imtina’ dengan cara ia lari ke Darul Harbi atau dengan cara kaum murtaddun itu memiliki kekuatan yang dengannya mereka imtina’ (melindungi diri/menolak)dari hukum Islam, maka sesungguhnya dia dibunuh sebelum istitabah tanpa ragu-ragu”. [Ash Sharimul Maslul, hal: 322].
Dan berkata juga: “Sesungguhnya mumtani’ itu tidak diistitabah, dan yang diistitabah itu adalah maqdur ‘alaih“. [Ash Sharimul Maslul: 325-326].
Dan masuk dalam hal ini: Orang-orang yang murtad yang memerangi Allah dan Rasul-Nya lagi terang-terangan dengan sikap permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin seperti para penguasa thaghut yang berhukum dengan selain syari’at Islam. Bala tentara mereka dan kaki tanganya dari kalangan penulis, wartawan dan yang lainnya di berbagai belahan negeri-negeri kaum muslimin hari ini, maka negara-negara mereka itu adalah Darul Harbi karena sebab berhukumnya dengan ajaran-ajaran kafir. Dan status hukum mereka itu adalah sama dengan status hukum orang murtad yang mumtani’ dengan Darul Harbi dan yang mana di Darul Harbi ini kemurtaddan tidak dikenakan sanksi karena undang-undangnya tidak menganggap riddah sebagai suatu kejahatan. Orang murtad di negeri-negeri ini berlindung di balik undang-undangya dan di balik aparat keamanannya yang ditugaskan melindungi undang-undang itu, sehingga si murtad itu mumtani’ dengan Darul Harbi, oleh sebab itu boleh bagi setiap orang muslim untuk membunuh orang-orang macam mereka itu yang telah terkenal kekafirannya dan telah terbukti secara pembuktian syar’iy dan ini termasuk jihad fie sabilillahi Ta’ala. Dan disini tidak perlu lagi ada peninjauan kecuali peninjauan maslahat dan mafsadah yang muncul akibat pembunuhan mereka itu. Walaupun memang membunuh orang murtad dan kafir itu pada dasarnya adalah maslahat yang khusus bila dia itu telah mengumpulkan antara kekafiran dengan penghalang-halangan orang dari jalan Allah, penindasan kaum muslimin dan pengitimidasian mereka sehingga dalam sikap membunuhnya terdapat maslahat yang besar, akan tetapi bila pembunuhan ini menimbulkan mafsadah yang lebih besar terhadap kaum muslimin dari pada maslahat ini, maka pembunuhannya ditangguhkan sampai tiba waktunya yang tepat (kerena menolak kerusakan adalah lebih didahulukan daripada meraih maslahat) dan (karena bila saling berbenturan dua mafsadah maka dipikullah yang paling ringan di antara keduanya untuk menjauhkan yang paling besar di antara keduanya). Dan bila ternyata maslahat pada sikap membunuh orang ini adalah lebih unggul daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh sebab itu maka di dahulukan maslahat ini. Demikianlah (uraian saya) wallahu a’lam.
Inilah kaidah takfir bersama penjelasannya yang ringkas dan barangsiapa yang menginginkan tambahan rincian ini maka silahkan merujuk kitab saya (Al Hujjah Fi Ahkamil Millah Al Islamiyyah) karena di dalamnya terdapat jabaran (hal) ini dengan dalil-dalinya. Dan sebab saya menuturkan penjelasan yang ringkas ini disini adalah agar pencari ilmu meminta bantuan dengannya dalam pengkajian materi Al Iman dan Al Kafir dari berbagai kitab, karena pertimbangan terpecah-pedahnya materi ini yang membuat sulit pelajar pemula dalam mengumpulkan bahan-bahan yang berpencaran. Dan saya ringkas apa yang telah lalu dan saya katakan: Sesungguhnya tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang dituturkan dalam kaidah takfir mu’ayyan adalah:
1. Meninjau pada sebab: yaitu keberadaan ucapan dan perbuatan itu memenuhi dua syarat takfier: yaitu sharih (jelas) indikasinya dan terbukti bahwa ia itu mukaffir dengan dalil syar’iy.
2. Meninjau pada syarat: dan ia itu ada yang berbentuk syarat dalam si pelaku atau dalam perbuatannya atau dalam keterbuktian perbuatan itu.
3. Meninjau pada penghalang: dan ia itu ada yang merupakan penghalang dalam si pelaku atau pada perbuatannya atau pada keterbuktian perbuatan itu.
4. Vonis murtad dan berkaitan dengannya kelayakan orang yang memvonis untuk memvonis.
5. Istitabah ~dengan makna yang kedua (yaitu menyuruh taubat) ~ setelah divonis murtad. Ini berlaku bagi maqdur ‘alaih.
6. Pelaksaan sanksi dari yang memiliki kekuasaan di Darul Islam bagi maqdur ‘alaih dan dari setiap orang yang mumtani’.
Dan memandang pada sebab saja adalah apa yang disebut dengan (takfier muthlaq), adapun takfier mu’ayyan maka ia mengharuskan peninjauan pada syarat dan penghalang ~disamping pada sebab~ sebelum memvonisnya.
Inilah kaidah hal-hal yang berkaitan dengan kaidah takfier.
Sub Bahasan Ke Empat:
Kekeliruan-Kekeliruan Yang Sering Terjadi Dalam Masalah Takfier
Ia adalah kekeliruan-kekeliruan yang umum dan tersebar dalam buku-buku dan pada ucapan-ucapan ahli kalam di dalam materi takfier dan ia itu sedikit dari kalangan orang terdahulu, namun banyak dari kalangan orang-orangmasa kini. Dan kekeliruan ini menghantarkan kepada takfier orang muslim atau tidak takfier orang kafir. Di antaranya:
1. Takfir dengan dalil yang muhtamal (yang mengandung kemungkinan).
2. Takfier dengan sebab ‘amal muhtamal.
3. Mencampurkan antara pemaksudan amal yang mengkafirkan dengan pemaksudan kekafiran.
4. Mencampuradukkan antara sebab kekafiran dengan macam kekafiran.
5. Dan pensyaratan kekafiran hati untuk memvonis kafir.
Inilah penjelasannya secara ringkas:
1. Takfier dengan dalil-dalil syar’iy yang muhtamal dilalahnya.
Yaitu bentuk-bentuk ungkapan yang sebagiannya telah kami isyaratkan sebelumnya dalam (pembahasan,ed.) syarat-syarat suatu ucapan atau perbuatan dikatakan bahwa ia mukaffir (mengkafirkan) seperti dosa-dosa yang mana pelakunya disebut ‘bahwa ia tidak beriman’ atau ‘maka ia telah kafir’ atau ‘bukan termasuk golongan kami’ dan yang lain. Sungguh Khawarij telah membawa semua bentuk-bentuk ungkapan tadi ~bahkan semua bentuk-bentuk ancaman (wa’id)~ terhadap kakafiran akbar padahal ia itu mengandung kemungkinan kekafiran dan bukan kekafiran. Dan rincian ini semuanya dalam kitab saya Al Hujjah Fi Ahkam Al Millah Al Islamiyyah.
2. Takfir dengan sebab ‘amal (ucapan dan perbuatan) yang muhtamal dilalahnya tanpa melihat maksud orangnya.
Dan ini adalah yang dibuatkan bab baginya oleh para ulama dengan judul (Ikfar Al Muta’awwilin/pengkafiran orang-orang yang melakukan takwil) dan masalah Laazimul Madzhab sebagaimana yang sudah saya utarakan sebelumnya dalam penjelasan kaidah takfir.
3. Mencampuradukkan antara qadladul ‘amal al mukaffir (pemaksudan melakukan perbuatan yang mengkafirkan) dengan qadldul kufri (pemaksudan untuk kafir).
Sebagian orang yang mengisyaratkan qashdul kufri untuk memvonis kafir dan bahwa seseorang bagaimanapun ia mendatangkan ucapan-ucapan dan pebuatan-perbuatan yang mengkafirkan, maka ia tidaklah kafir selama tidak bermaksud untuk kafir dengan hal ini. Dan syarat ini secara selintas bisa saja ia nampak benar berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Amalan itu tergantung niatnya dan bagi setiap orang itu apa yang ia niatkan…” [Muttafaq ‘alaih], akan tetapi perbedan antara dua macam dari niat atau maksud itu ~bersama dalil dalil yang lain~ adalah menjelaskan bahwa ia adalah: orang mengucapkan ucapan yang mengkafirkan sambil memaksudkannya, yaitu ia menyengaja lagi tidak keliru (lidah), maka maksud ini adalah dianggap dan wajib menjadi syarat untuk memberi sanksi orangnya dengan sebab ucapannya itu. Dan peninjauan pada qarinah-qarinah keadaan yang menyertainya memiliki pengaruh yang penting dalam membedakan orang yang sengaja dari orang yang keliru mengucap (terpeleset lidah) sebagaimana yang akan datang dalam hadits laki-laki yang kehilangan hewan kendaraannya. Dan macam ke dua dari maksud itu adalah orang bermaksud kafir dengan ucapan mukaffir yang sengaja ia lontarkan, maka maksud ini tidaklah dianggap dan bukanlah syarat untuk menghukumi kafir orang yang mengucapkannya sebagaimana yang kami utarakan dengan dalil-dalilnya.
Dan untuk mendekatkan masalah ini, kami akan menuturkan apa yang dikatakan oleh Al Qadli Syihabuddin Al Qarrafiy dalam kaidah (Apa yang disyaratkan dalam talaq berupa niat dengan kaidah apa yang tidak disyaratkan), beliau rahimahullah berkata: “Ketahuilah, bahwa niat itu (adalah) syarat dalam hal sharih secara ijma dan ia bukan syarat di dalamnya secara ijma. Dan dalam pensyaratannya ada dua pendapat. Dan inilah intisari ucapan yang ada dalam kitab-kitab para fuqaha, sedang ia adalah nampak kontradiksi, namun padahal tidak ada kontradiksi di dalamnya. Manakala para fuqaha mengatakan bahwa niat adalah syarat dalam hal sharih, maka mereka memaksudkan qashd (tujuan/maksud) untuk melontarkan ucapan, sebagai pengeluaran dari keceplosan lidah terhadap apa yang dimaksud, seperti istri seseorang bernama Thariq terus ia memanggilnya dengan lisannya keceplosan di mana ia memanggilnya “hai Thaliq” (yang dicerai), maka si laki-laki tidak terkena apa-apa karena ia tidak bermaksud pada kata itu.
Dikala fuqaha itu mengatakan “niat bukan syarat di dalam hal sharih”, maka maksud mereka adalah qashd untuk menggunakan ucapan pada makna thalaq, maka sesungguhnya ia tidak disyaratkan dalam (kata) yang sharih (jelas) secara ijma, namun itu termasuk kekhususan kata-kata kinayah (sindiran), dengannya ia memaksudkan thalaq, dan adapun yang sharih maka tidak”. [Al Furuq: 3/163].
Maka begitu juga ucapan yang sharih (jelas) dilalahnya terhadap kekafiran, disyaratkan di dalamnya maksud mengucapkan yaitu menyengajanya untuk mengeluarkan (kata yang muncul) dari keceplosan lidah, dan tidak disyaratkan maksud untuk kafir dengannya. Bahkan sesungguhnya maksud yang dianggap dalam menentukan apa yang diinginkan dari amalan-amalan yang muhtamal dilalahnya terhadap kekafiran adalah bukan maksud untuk kekafiran dengannya. Seandainya seseorang menyembelih hewan di sisi kuburan dan tidak diketahui untuk siapa dia menyembelih, dan ia ditanya tentang maksudnya, terus dia berkata: “Saya menyembelih untuk penghuni kuburan ini, mudah-mudahan ia melenyapkan kesulitan saya”. Tentu ia kafir dengan hal itu. Dan tidak akan disyaratkan dia ditanya setelah itu apa kamu bermaksud untuk kafir dengan perbuatan kamu ini ataukah tidak?Dan saya telah mengisyaratkan kepada hal ini saat berbicara tentang hal-hal yang muhtamal.
Adapun menurut orang-orang yang mensyaratkan maksud untuk kafir dengan amalan mukaffir: maka seandainya seseorang menghina Allah dan Rasul-Nya, atau ia berkata: “Saya tidak mengira Allah akan membangkitkan orang yang dikubur,” atau mengatakan: “Sesungguhnya Allah adalah Isa Al Masih Ibnu Maryam”, dan ucapan-ucapan yang mengkafirkan lainnya, dan ia mengatakan: “Hati saya tidak meyakini suatu apapun dari hal itu dan dada saya tidak lapang dengan kekafiran serta saya tidak memaksudkan kekafiran dengan ucapan-ucapan ini”, maka orang ini tidak kafir menurut orang-orang yang mensyaratkan qashdul kufri (maksud untuk kafir) dengan amalan yang mengkafiran, dan bahwa ia itu mesti bermaksud untuk kafir. Dan ini adalah syarat yang rusak dan bisa saja itu menjadi hilah (alasan busuk) yang dengannya setiap orang kafir membela dirinya sendiri setiap melakukan kekafiran, sedangkan yang benar adalah bahwa orang yang mengucapkan suatu dari ucapan-ucapan tadi adalah telah kafir, meskipun dia berkata saya tidak bermaksud untuk kafir. Dan pensyaratan qashdul kufri dengan amalan yang mengkafirkan adalah syarat yang batil yang tertolak oleh nash-nash syar’iy dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Barang siapa melakukan sesuatu amalan yang tidak ada urusan kami di atasnya, maka ia tertolak”. [H.R. Muslim].
Sedangkan dalil yang membongkar kebatilan syarat ini adalah:
A. Firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja,” katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman” (Q.S. At Taubah [9]: 65-66)
Orang-orang yang disebutkan itu telah mengucapkan ucapan mukaffir ~yaitu perolok-olokan itu~ dan mereka tidak bermaksud untuk kafir dengannya dengan bukti penuturan mereka akan alasan bahwa “kami hanyalah bersenda gurau dan main-main saja”, dan Allah tidak mendustakan mereka dalam penuturan alasan mereka itu, maka ini menunjukan bahwa mereka itu memang bermain-main dan tidak bermaksud untuk kafir dengan ucapan mereka itu, akan tetapi alasan ini tidak menghalangi dari memvonis mereka kafir dengan sekedar ucapan mereka itu, sebagaiman firman Allah Ta’ala “tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. Ibnu Taimiyyah berkata tentang ayat ini: “Dia, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala telah mengabarkan bahwa mereka itu telah kafir setelah beriman, padahal mereka itu mengatakan “Sesungguhnya kami mengucapkan kekafiran ini tanpa ada keyakinan terhadapnya, namun kami hanya bersenda gurau dan bermain-main”. Dan Dia Ta’ala menjelaskan bahwa memperolok-olok terhadap ayat-ayat Allah adalah kekafiran, sedangkan ini tidak terjadi kecuali orang yang melapangkan dadanya dengan ucapan ini. Dan seandainya iman ada di hatinya tentu ia menghalanginya dari mengucapkan ucapan ini” [Majmu Al Fatawa: 7/220]
Ibnu Taimiyyah menuturkan ayat-ayat yang lalu dan berkata: “Maka ini menunjukan bahwa mereka itu pada dirinya tidak merasa telah melakukan kekafiran, bahkan justru mereka menduga bahwa hal itu bukanlah kekafiran, maka Dia Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa perolok-olok terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah kekafiran yang mana pelakunya dikafirkan dengannya setelah ia beriman yang lemah, maka ini menunjukan bahwa pada diri mereka ada iman yang lemah. Mereka melakukan hal yang diharamkan ini yang mereka ketahui bahwa itu diharamkan, namun mereka tidak menduga bahwa itu kekafiran, dan ternyata kekafiran yang mereka menjadi kafir dengannya, maka sesungguhnya mereka tidak menyakini kebolehannya”. [Majmu Al Fatawa: 7/273].
Ayat ini adalah nash dalam memutus perselisihan, yang menggugurkan pernyatan qashdul kufri untuk memvonis kafir, yaitu menggugurkan pensyaratan niat kafir, sebagaimana nash ini menunjukkan bahwa rujukan dalam memvonis terhadap ucapan dan perbuatan adalah kepada syari’at bukan kepada apa yang diduga oleh menusia dengan amalan-amalan mereka.
B. Dalil lain: yaitu bahwa telah terbukti dengan nash-nash Qur’aniyyah bahwa banyak orang-orang kafir berbaik sangka terhadap amalan-amalan dan keyakinan-keyakinan yang mereka anut serta mereka mengira baik pada diri mereka dan bahwa mereka itu lebih lurus jalannya dari pada orang-orang yang beriman. Dan bila mereka melihat orang-orang yang beriman maka mereka mengatakan: Sesungguhnya mereka adalah orang-orang sesat, dan mereka juga memperolok-olok kaum mukminin. Kemudian bila kita berlakukan syarat yang rusak ini terhadap orang-orang kafir itu dan kamu katakan pada salah seorang dari mereka: “Apa kamu bermaksud kafir dengan apa yang kamu lakukan?” tentulah ia berkata: “Justru kami adalah orang-orang yang mendapat petunjuk“ atau ”Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Dan seandainya kamu berkomitmen dengan syarat yang rusak ini dan kamu membenarkan dia pada ucapannya tentulah kamu telah mendustakan ayat-ayat Allah dan khabar Allah Ta’ala dan tentulah kamu tergolong orang-orang yang kafir dengan sebab kamu mendustakan khabar Allah. Dan ini cukup dalam menjelaskan kerusakan syarat ini. Dan hal ini telah diingatkan oleh Syaikhul Mufassirin Ath Thabariy dalam tafsirnya terhadap firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itulah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” (Q.S. Al Kahfi [18]: 103-105)
Ibnu Jarir Ath Thabariy rahimahullah berkata dalam tafsirnya: “Dan ini termasuk dalil jelas terhadap kekeliruan orang yang mengklaim bahwa tidak kafir terhadap Allah seorangpun, kecuali bila dia bermaksud kafir setelah mengetahui keEsaan-Nya, dan itu dikarenakan Allah yang Maha Agung telah mengabarkan tentang orang-orang yang Dia sebutkan sifatnya dalam ayat ini bahwa amalan mereka lakukan di dunia ini lenyap sia-sia, padahal dahulu mereka menyangka bahwa mereka itu sudah berbuat baik dalam amalannya itu, dan Dia menggambarkan tentang mereka bahwa merekalah orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Tuhan mereka. Dan seandainya pendapat yang benar adalah seperti pendapat orang-orang yang mengklaim bahwa tidak seorangpun kafir kepada Allah, kecuali dari arah dia mengetahui, tentu wajiblah orang-orang yang dalam amalannya telah Allah kabarkan tentang mereka itu bahwa mereka dahulu menyangka telah berbuat sebaik-baiknya, (wajiblah) mereka itu mendapat pahala atasnya, namun pendapat yang benar adalah menyelisihi apa yang mereka katakan, di mana Allah Ta’ala mengabarkan tentang mereka bahwa mereka itu kafir terhadap Allah dan bahwa amalan mereka itu hapus”. [Jami’ul Bayan: 16/34-35].
Sebagaimana telah mengingatkan terhadapnya Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam ucapannya tentang orang yang melontarkan kalimat kekafiran, sedangkan dia tidak mengetahui bahwa ia membuatnya kafir, beliau berkata: “Dan adapun keberadaanya tidak mengetahui bahwa itu membuatnya kafir, maka cukup didalamnya firman Allah Ta’ala: “tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman” (At Taubah: 66), mereka meminta maaf dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seraya menyangka bahwa kalimat itu tidak membuatnya kafir. Dan sungguh mengherankan orang yang membawanya terhadap ini sedangkan ia mendengar firmanNya “Sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (Al Kahfi: 104) “Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf: 30), “Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Az Zukhruf: 37) Apa dia mengira mereka itu tidak kafir…?? Janganlah kamu mengingkari kebodohan yang nyata akan masalah-masalah ini karena keterasingannya” [Ad Durrar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah Juz 8 kitab Murtad: hal 105]. Dan di tengah ucapan beliau saya sudah menambahkan tempat-tempat ayat dan nomor-nomornya. Dan di samping ayat-ayat yang beliau tuturkan saya menambahkan beberapa ayat, di antaranya firman-Nya Ta’ala: “Orang-orang Yahudi dan Nashrani berkata: Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya” (Al Maidah: 18) dan firman-Nya Ta’ala: “Dan mereka berkata: “Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nashrani.” (Al Baqarah: 111), jadi keyakinan orang kafir bahwa dia itu berbuat baik dan bahwa dia itu mendapat petunjuk atau bahwa dia itu termasuk ahli surga tidaklah menghalangi dari mengkafirkannya bila kekafirannya telah terbukti dengan dalil. Dan di samping itu sesungguhnya keyakinan dia bahwa dia itu orang yang berbuat baik pada dasarnya adalah hukuman yang bersifat taqdir (‘uqubah qadariyyah) baginya dari Allah, supaya dia terus di atas kesesatan dan keterpurukannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah di atas mereka keputusan ‘adzab pada umat-umat terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia: Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi” (Fushshilat: 25)
dan firman-Nya Ta’ala: “Barang siapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), maka Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Az Zukhruf: 36-37)
Maka bagaimana ‘uqubah qadariyyah ini dianggap sebagai penghalang dari vonis syar’iyy kafir terhadap mereka…?
C. Dalil ke tiga: yaitu ayat An Nahl (Barang siapa kafir kepada Allah sesudah beriman) dan insya Allah akan datang penjelasan Ibnu Taimiyyah di dalamnya nanti:
Kesimpulan (khulashah): Bahwa qashd (maksud/tujuan) yang dianggap dalam takfir adalah qashdul ‘amal al mukafirr (memaksudkan ~untuk melakukan~ amalan yang mengkafirkan) yaitu menyengajanya, bukan qashdul kufri (maksud untuk kafir) dengannya. Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan perbedaan ini dengan ungkapan yang paling ringkas, di mana beliau berkata: “Dan secara umum, barang siapa mengatakan atau melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran, maka ia kafir dengan hal itu, meskipun ia tidak bermaksud untuk kafir, karena tidak seorang pun bermaksud kafir, kecuali apa yang Allah kehendaki” [Ash Sharimul Maslul: 177-178].
Al Bukhari rahimahullah telah membuat bab untuk masalah ini ~yaitu tidak diisyaratkannya maksud kafir untuk vonis kafir~ dalam Kitabul Iman dari Shahihnya di bab (ketakutan orang mukmin dari terhapusnya amalannya sedang dia tidak merasa) [Fathul Bari: 1/106]. Dan dalam syarah hadits-hadits Khawarij dan di dalamnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka keluar dari agama ini sebagaimana panah keluar dari busurnya…” Ibnu Hajar berkata: “Dan faidah di dalamnya, bahwa di antara kaum muslimin ada orang keluar dari agama ini, sebagaimana tanpa ada maksud keluar darinya, dan tanpa memilih agama selain agama Islam”. [Fathul Bari: 12 / 301-303]
Jadi maksud yang dianggap sebagai syarat dalam takfir adalah kesengajaan melakukan amalan mukaffir sebagaimana yang telah kami ingatkan dalam syarat-syarat vonis dan penghalang-penghalang dalam syarah kaidah takfir. Adapun kesengajaan kafir dengan amalan ini, maka ia tidak dianggap.
Dan penganggapan maksud dengan bentuk ini ~yaitu kesengajaan~ sebagai syarat adalah menyebabkan tidak dikafirkannya macam-macam manusia berikut ini:
· Orang yang tidak memiliki maksud yang dianggap dalam syari’at ini, seperti anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila dan orang tidur, apapun yang mereka lakukan.
· Orang yang mendatangkan amal yang dilalahnya terhadap kekafiran muhtamal, maka mesti dari mencari kejelasan maksud dia dari perbuatan ini.
· Mukhthi (orang yang keliru): yaitu orang yang mukallaf yang mendatangkan amalan yang sharih (jelas) dilalahnya terhadap kekafiran, akan tetapi karena salah lidah bukan disengaja, seperti orang yang mengatakan “Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu” ini adalah ucapan mukaffir, akan tetapi Nabi saw mensifatinya dengan khatha (salah ucap) itu dimaafkan sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu” (Q.S. Al Ahzab [33]: 5)
· Orang yang mentakwil lagi keliru, yaitu takwil yang dibolehkan yang bisa di-udzur dengannya, sebagaimana yang telah saya sebutkan dalam penghalang-penghalang tadi, karena tidak menyengaja.
Jadi maksud yang dianggap dalam takfir adalah qashdul ‘amal al mukaffir bukan qashdul kufri. Dan kesalahan ini ~yaitu peyertaan qashdul kufri~ telah terjatuh kedalamnya sebahagian orang-orang dahulu dan banyak orang-orang masa kini, dan di antara mereka adalah:
<A>. Di antara orang-orang terdahulu: Al Qurthubiy rahimahullah, berkata: “Dan tidaklah firmanNya “supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari” (Al Hujurat: 2) mengharuskan kafirnya seorang insan sedang dia tidak mengetahuinya, sebagaimana orang kafir itu tidak menjadi mukmin kecuali dengan pemilihan dia akan iman atas kekafiran, maka begitu juga orang mukmin tidak menjadi kafir tanpa ada maksud untuk kafir dan tidak memilihnya berdasarkan ijma, begitu juga orang kafir tidak menjadi kafir tanpa dia mengetahui”. [Tafsir Al Qurthubiy: 16/308].
Dan ucapan beliau ini tidak sharih (jelas) menunjukan pensyaratan qashdul kufri, di mana ucapannya (kecuali dengan pemilihan dia tidak memilihnya), sedangkan ikhtiyar (pilihan) itu lawannya adalah paksaan (ikrah) dan ini bukan materi kita disini. Dan ucapan (tanpa ada maksud untuk kafir) mengandung kemungkinan bahwa beliau itu memaksudkan qashdul amal mukaffir yaitu menyengajanya, maka inilah yang diijmakan berdasarkan hadits “..amalan itu tergantung pada niatnya..” dan sebagaimana ucapan Al Qurthubiy yang lalu. Adapun Al Qurthubiy memaksudkan pensyaratan qashdul kufri sendiri dengan ucapannya ini, maka ia adalah kemungkinan yang jauh, karena ayat yang sedang beliau tafsirkan itu sendiri mengugurkannya di samping dalil-dalil yang telah lalu disebutkan, akan tetapi sebagian orang-orang masa kini membawa ucapan Al Qurthubiy ini terhadap (pernyataan) bahwa beliau mensyaratkan qashdul kufri dan oleh sebab itu saya menuturkannya disini. Dan tidak ada hujjah pada ucapan Al Qurthubiy bersama-sama nash yang telah kami utarakan, dan cukup di dalamnya firman Allah Ta’ala: “…Jangan kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sebelum beriman” (At Taubah: 66) dan firman-Nya Ta’ala: “…Dan mereka menyangka bahwa mereka itu mendapat petunjuk” (Al A’raf: 30).
Dan saya mengingatkan para pencari ilmu dengan apa yang telah saya sebutkan di bab ke empat dari kitab ini bahwa ucapan-ucapan ulama itu harus memiliki hujjah dan bukan dijadikan hujjah, karena ia bukan dalil-dalil syar’iy yang bisa dijadikan hujjah, akan tetapi ia adalah ucapan-ucapan orang-orang yang tidak ma’shum yang butuh akan hujjah.
<B>. Dan di antara yang terjatuh didalam kesalahan ini ~yaitu pensyaratan qashdul (kufri) untuk memvonis kafir~ adalah Asy Syaukaniy rahimahullah. Dalam ucapannya: “Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman “…akan tetapi orang yang melapangkan dadanya dengan kekafiran…” (An Nahl: 106), maka mesti dari (adanya) kelapangan dada dengan kekafiran, ketentraman hati dengannya dan ketenangan jiwa terhadapnya, sehingga tidak dianggap apa yang terjadi berupa lintasan-lintasan keyakinan buruk, apalagi bila disertai ketidaktahuan akan perselisihan hal itu terhadap jalan Islam, dan tidak dianggap munculnya perbuatan kekafiran yang mana pelakunya tidak menginginkan pelakunya keluar dari Islam ke agama kafir, dan tidak dianggap kekafiran sedangkan ia tidak menyakini maknanya” [As Sail Al Jarrar: 4/578]. Shiddiq Hasan Khan telah menukil darinya dalam [Ar Raudlah An Nadiyyah: 2/289, terbitan Darun Nadwah Al Jadid 1408 H], Dan Muhammad Ibnu Ibrahim Al Wazir Al Yamaniy menukil dalam kitabnya [‘Itsarul Haq ‘Alal Khalqi: 395], bahwa ini adalah ucapan sebagian Mu’tazilah dan mereka berdalil dengan ayat yang dijadikan dalil oleh Asy Syaukaniy, dan ucapan Asy Syaukaniy ini lebih dahsyat dari ucapan Al Qurthubiy yang masih mungkin ditafsirkan dengan tafsiran yang selaras dengan kebenaran. Adapun ucapan Asy Syaukaniy maka kesalahan di dalamnya adalah nampak, sedangkan ayat yang ia berdalil dengannya dan kandungan yang ada di dalamnya berupa kelapangan dada dengan kekafiran, maka ini bukanlah syarat untuk memvonis kafir kecuali dalam kondisi paksaan saja sebagaimana yang ditunjukan nash dan ditafsirkan dengan hadits ‘Amar yang diriwayatkan bahwa ia adalah sebab turunnya. Adapun dalam selain paksaan maka setiap orang yang sengaja mendatangkan ucapan atau perbuatan mukaffir, maka dia telah melapangkan dadaanya dengan kekafiran. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Bila dikatakan sungguh Dia Ta’ala telah berfirman: “…akan tetapi orang yang melapangkan dadaanya dengan kekafiran…”, maka dikatakan: Ini selaras dengan awal ayat, karena sesungguhnya barangsiapa kafir tanpa ada paksaan, maka dia telah melapangkan dadanya dengan kekafiran, dan kalau tidak demikian tentulah awal ayat ini digugurkan oleh akhirnya. Seandainya yang dimaksud dengan orang yang kafir itu adalah orang yang melapangkan dadanya, sedangkan hal itu terjadi tanpa paksaan, tentulah Dia tidak mengecualikan orang yang dipaksa saja, akan tetapi wajib mengecualikan orang yang dipaksa dan tidak dipaksa bila tidak melapangkan dadanya. Dan bila ia mengucapkan kalimat kekafiran secara suka rela, maka ia telah melapangkan dadanya dengan kalimat itu sedangkan ia adalah kekafiran. Dan hal itu telah ditunjukkan oleh firman-Nya Ta’ala:
“Orang-orang munafik itu takut diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasaul-Nya)” sesunguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan pada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”, katakanlah: ”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari pada kamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa. (Q.S. At Taubah [9]: 64-66).
Maka Dia mengabarkan bahwa mereka itu kafir sesudah beriman padahal mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami mengucapkan kekafiran ini tanpa meyakininya, akan tetapi kami hanya bersenda gurau dan bermain-main”. Dan Dia menjelaskan bahwa memperolok-olok ayat Allah itu adalah kekafiran, sedang ini tidak terjadi kecuali dari orang yang melapangkan dadanya dengan ucapan ini, dan andaikata iman itu ada di hatinya tentulah menghalangi dia dari melontarkan ucapan ini”. [Majmu Al Fatawa: 7/220]
Dan berkata juga: [Barangsiapa berbicara tanpa dipaksa, maka dia tidak berbicara melainkan dadaanya itu lapang dengannya] (Majmu Fatawa 7/561)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
”Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah ia beriman (ia mendapat kemurk an Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar” (Q.S. An Nahl [16]: 106),
Sedangkan sudah diketahui bahwa Dia tidak memaksudkan dengan kekafiran di sini (adalah,ed.) keyakinan hati saja, karena dalam hal itu orang tidak bisa dipaksa terhadapnya, sedang Dia telah mengecualikan orang yang dipaksa, dan Dia juga tidak memaksudkan orang yang berkata dan meyakini, karena Dia telah mengecualikan yang dipaksa sedangkan dia itu tidak bisa dipaksa terhadap keyakinan dan ucapan, namun hanya bisa dipaksa terhadap ucapan saja, maka diketahuilah bahwa Dia memaksudkan bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar dan bahwa ia itu kafir dengan hal itu, kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tetap tenang dalam beriman, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran dari kalangan orang-orang yang dipaksa maka sesungguhnya dia kafir juga, sehingga jadilah orang yang mengucapkan kakafiran itu kecuali orang yang dipaksa terus dia mengucapkan dengan lisannnya kalimat kekafiran sedang hatinya tenang dengan keimanan. Dan Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang meperolok-olok (”…angan kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…”) maka Allah telah menjelaskan bahwa mereka itu kafir dengan sebab ucapan walaupun sesungguhnya mereka itu tidak meyakini kebenarannya” [Ash Sharimul Maslul: 524].
Kesimpulan (tentang) apa yang ditunjukkan ayat ini dan apa yang diinginkan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Bahwa kelapangan dada dengan kekafiran itu ~yaitu kekafiran hati~ adalah syarat bagi hukum kafir di saat ada paksaan saja. Barangsiapa yang dipaksa untuk mendatangkan suatu yang mengkafirkan yang dhahir berupa ucapan atau perbuatan, maka dikatakan kepadanya: ‘Bagaimana kamu dapatkan hatimu?’ sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits ‘Ammar Ibnu Yasir kemudian bila dia mengatakan: ‘tenang dengan keimanan’, maka apa yang dilakukan ini tidak membayakan dia. Dan bila dia berkata: ‘Saya ridla dengan apa yang saya lakukan atau dada saya lapang dengannya’, maka dia divonis kafir walaupun terjadi pemaksaan atasnya. Inilah makna ayat itu. Adapun bukan dalam kondisi paksaan, maka setiap orang yang mendatangkan sesuatu yang mengkafirkan yang nampak berupa ucapan atau perbuatan seraya sengaja, maka dia telah melapangkan dadanya dengan kekafiran ~yaitu kafir dengan hatinya~ berdasarakan ijma bahwa orang yang telah Allah kabarkan kekafirannya dengan sebab mukaffir yang dhahir, maka ia itu kafir lahir batin. Jadi, kelapangan dada dengan kekafiran ini adalah syarat untuk takfir dalam keadaan orang yang dipaksa, namun dia adalah suatu kemestian bagi kekafiran pada selain orang yang dipaksa.
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq An Najdiy rahimahullah 1301 H dalam masalah yang sama pada bantahannya terhadap salah seorang seteru dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahab, beliau berkata: “Dan adapun keluarnya dia ~yaitu seteru dakwah~ dari apa yang dengannya Allah telah mengutus Rasul-Nya (yaitu) berupa Al Kitab, As Sunnah dan apa yang dianut para shahabat serta para ulama setelah mereka, maka adalah ucapannya: “Barangsiapa yang melapangkan dadanya dengan kekafiran, yaitu membukanya, melapangkannya, murtad dari agamanya dan jiwanya senang dengan kekafiran, maka itulah yang kami anut di hadapan Allah akan pengkafirannya “. Inilah ucapan dia dan jelasnya adalah bahwa orang yang mengucapkan kekafiran atau melakukannya tidaklah menjadi kafir dan bahwa tidak dikafirkan kecuali orang yang membuka dan melapangkan dadanya untuk kekafiran. Sedangkan pendapat ini adalah bertentangan dengan ma’qul (qiyas) yang jelas dan manqul (nash) yang shahih serta merupakan penitian selain jalan kaum mukminin, karena sesungguhnya Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam serta ijma umat telah sepakat bahwa orang yang mengucapkan kekafiran atau melakukannya maka dia itu kafir, dan tidak disyaratkan dalam hal itu kelapangan dada dengan kekafiran, dan tidak dikecualikan dari hal itu kecuali orang yang dipaksa. Adapun orang yang melapangkan dadanya (yaitu) membukanya dan meluaskannya untuk kekafiran, jiwa dia tentram dengannya dan ia ridla, maka ini kafir lagi musuh Allah dan Rasul-Nya, walaupun dia tidak melafalkan hal itu dengan lisannya dan tidak mengerjakannya dengan anggota badannya. Inilah suatu yang maklum dengan dilalah (penunjukan) dari Al Kitab dan As Sunah dan ijma umat, dan kami akan menerangkan hal itu dari beberapa sisi”. Kemudian beliau menuturkan 10 dalil terhadap ucapannya sebagiannya telah kami utarakan dan sisanya silakan dirujuk didalam risalah beliau [Ad Difa’ ‘An Ahli Sunnah wal Ittiba’, terbitan Darul Qur’anil Karim 1400 H, hal 22-23].
Dan dari kalangan orang-orang masa kini yang telah terjatuh ke dalam kesalahan ini adalah apa yang ada dalam Risalah Magister dengan judul “Dlawabith At Takfir ‘Inda Ahlis Sunnah“ karya Abdullah Ibnu Muhammad Al Qarniy, di mana ia menegaskan secara terang bahwa maksud (qashd) yang mu’tabar (dianggap) dalam takfir bukanlah sekedar maksud akan berbuat akan tetapi tujuan si pelaku dari perbuatannya, dan bahwa mesti untuk mengkafirkannya adanya maksud dia untuk kafir yang ia batasi kekafiran itu pada beribadah kepada selain Allah. Sedangkan ini semuanya menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang telah kami utarakan. Penulis berkata hal: 261 [“Vonis terhadap perbuatan yang dhahir bahwa ia adalah kekafiran berkaitan denga penjelasan hukum syar’iy secara muthlaq. Adapun si pelaku maka mesti dari melihat maksudnya dengan apa yang dia kerjakan dan tabayyun tentang keadaanya dalam hal itu sebelum menentukan kekafirannya. Yang dimaksud dengan qashd (maksud/tujuan) disini bukan sekedar maksud untuk melakukan, karena hal ini suatu yang tidak mungkin lepas darinya amalan apapun ~selain amalan orang yang gila, yang tidur dan yang lainnya~ dan ia pada hakikatnya adalah keinginan yang serius untuk merealisasikan perbuatan, di mana seorang berada pada kondisi bisa memilih antara melakukan perbuatan atau tidak melakukannya. Dan qashd ini adalah tempat penggantungan taklif. Akan tetapi yang dimaksud dengan qashd disini adalah qashd (maksud) dengan perbuatan yang mana ia adalah tujuan si pelaku dari perbuatannya, pendorong bagi dia terhadapnya, motivator baginya terhadap perealisasiannya dan keinginan dia darinya”], kemudian ia berdalil untuk ucapannya dengan hadits “…sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya dan bagi seiap orang itu apa yang ia niatkan…” selesai. Kemudian ia merinci ucapannya bahwa yang dimaksud dengan qashd adalah tujuan si pelaku dari perbuatannya dan faktor pendorong bagi dia terhadapnya, yaitu bahwa ia memaksudkan ibadah kepada selain Allah, di mana ia berkata hal 309: [“Maka apakah setiap orang yang melakukan suatu amalan dari amalan-amalan syirik yang dhahir atau menghukumi dengan undang-undang buatan mesti langsung kafir dengan sekedar perbuatannya yang dhahir itu?. Sesungguhnya kita harus membedakan disini antara vonis-vonis kafir secara hakikat dengan vonis kafir secara dhahir terhadap orang mu’ayyan, dan itu dikarenakan tidak setiap orang yang melakukan suatu amalan dari amalan-amalan syirik secara dhahir mesti ia itu memaksudkan denganya ibadah kepada selain Allah, sebab bisa saja ia melakukannya bukan dalam rangka taqarrub kepada selain Allah Ta’ala, maka sebelum mevonisnya kafir mesti dari mencari kejelasan keadaanya untuk melenyapkan ihtimal (kemungkinan) ini, kecuali bila perbuatannya sama sekali tidak memiliki kemungkinan kecuali (sebagai) ibadah dan taqarrub kepada selain Allah, maka saat itu juga ia divonis kafir karena tidak adanya kemungkinan (lain) dalam qashd”]. Selesai. Jadi ia tidak menganggap qashdul kufri (ibadah kepada selain Allah) sebagai syarat untuk kafir. Ini adalah keliru dari dua sisi:
Pertama: Bahwa qashd (maksud) yang dianggap adalah kesengajaan melakukan ‘amal mukaffir bukan qashdul kufri (maksud untuk kafir) dengannya sebagaimana yang telah lalu dijelaskan, sedangkan tabayyun (pencarian kejelasan) yang dituntut dalam amalan yang dilalahnya muhtamal adalah apa ia sharih (tegas) atau tidak? bukan tabayyun qashdul kufri dengan amalan itu. Barangsiapa yang berdo’a disisi kubur, maka kita bertanya kepadanya siapa yang kamu seru dan dengan apa kamu menyeru? Dan telah lalu kami nukil perkataan Ibnu Taimiyyah: “Dan secara umum barangsiapa yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran maka ia kafir dengan hal itu meskipun tidak bermaksud menjadi kafir, karena tidak ada seorangpun yang bermaksud untuk kafir kecuali apa yang Allah kehendaki”. [Ash Sharim Al Maslul: 177-178].
Kedua: Ia membatasi kekafiran pada ibadah dan taqarrub kepada selain Allah, padahal kekafiran itu sebab-sebabnya lebih luas dari ini, barangsiapa yang melempar mushhaf pada kotoran atau dia menghina Allah dan Rasul-Nya atau dia mengingkari kebangkitan setelah kematian dan yang lainnya, maka dia kafir dengan hal itu sedangkan dalam hal itu tidak terdapat ibadah atau taqarub kepada selain Allah.
Dan dalam risalah (Al Qarniy) itu terdapat kekeliruan-kekeliruan yang akan kami sebutkan nanti Insya Allah Ta’ala.
4. Di antara kekeliruan-kekeliruan yang menyebar dalam bahasan takfir adalah: mencampuradukkan antara sebab kekafiran dengan macam kekafiran.
Telah lalu diingatkan masalah ini pada pembicaran pada ucapan Al Imam Ath Thahawiy rahimahullah: “Dan seorang hamba tidak dikeluarkan dari iman, kecuali dengan juhud (mengingkari) apa yang memasukkan dia ke dalamnya”. Dan di sana telah saya sebutkan perbedaannya antara sebab-sebab kekafiran dan macam-macamnya, dan bahwa hukum-hukum dunia yang berlaku di atas hal yang tampak adalah dibangun di atas sebab-sebab (kekafiran) bukan macam-macam kekafiran.
Adapun sebab-sebab kekafiran: maka ia ~sebagaimana yang telah lalu dalam definisi riddah- sesuai hakikat adalah empat sebab: ucapan mukaffir, perbuatan mukaffir, keyakinan mukaffir atau keraguan mukaffir. Adapun dalam hukum-hukum dunia maka sebab-sebab kekafiran hanyalah dua, tidak ada yang ke tiganya: ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir. Sedangkan ucapan adalah amal lisan, dan perbuatan adalah amalan jawarrih (anggota badan) sebagimana yang telah Allah Ta’ala firmankan: “Mengapa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (Q.S. Ash Shaf [61]: 2-3)
Adapun keyakinan dan keraguan maka ia tergolong amalan hati.
Dan adapun macam-macam kekafiran maka ia banyak sekali, karena kekafiran terbagi dengan berbagai peninjauan menjadi banyak bagian, di antaranya:
1. Maka dengan peninjauan faktor pendorong di hati terhadap kekafiran , ia terbagi menjadi bagian-bagian yang telah kami utarakan sebelumnya, seperti:
v Kufur takdzib (kekafiran karena pendustaan)
v Kufur al juhud (kekafiran karena pengingkaran)
v Kufur istikbar (kakafiran karena penolakan)
v Kufur syakk (kekafiran karena keraguan) dan kebimbangan
v Kufur taqlid (kekafiran karena ikut-ikutan) dan
v Kufur jahl (kekafiran karena kebodohan)
2. Dengan peninjauan yang nampak dan samarnya kekafiran, ia terbagi menjadi kekafiran yang nyata yaitu yang nampak pada ucapan ataupun perbuatan, dan kekafiran yang tersembunyi, yaitu apa yang terjadi dengan keyakinan murni sedang pelakunya menampakan keIslaman dan ini adalah kufur nifaq.
3. Dan dengan peninjauan keterbuktian status Islam sebelumnya bagi orang kafir, maka kekafiran itu terbagi menjadi:
Kekafiran asli: Yaitu yang mana pelakunya sebelumnya bukan muslim, sedang mereka itu lima macam yang dicakup oleh ayat 17 surat Al Hajj: “dan orang-orang yang (beragama) Yahudi, Shabi-in, orang-orang Nashrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik.”
Dan kekafiran yang thaari (yang muncul mendadak): yaitu kufur riddah (murtad), yaitu yang mana pelakunya dihukumi muslim sebelum kekafirannya.
4. Dan dengan peninjauan pertambahan dan pengurangan, ia terbagi menjadi kufur mujarrad dan kufur mazid. Allah Ta’ala berfirman: “…Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran…” (Q.S. At Taubah [9]: 37) Dan Syaikhul Islam berbicara banyak tentang dua macam (kekafiran) ini dalam kitabnya Ash Sharimul Maslul.
5. Dan dengan peninjauan ithlaq dan ta’yin, ia terbagi menjadi kufur nau’ (takfir muthlaq) dan kufur ‘ain (takfir mu’ayyan)
6. Dan dengan peninjauan apa yang bergantung padanya sebab kekafiran, ia terbagi menjadi beberapa macam, seperti:
v Syirik dalam rubbubiyyah (dan termasuk didalamnya syirik tasharruf wa asbab dan syirik hulul)
v Syirik dalam uluhiyyah (dan di antaranya syirik do’a dan syirik tha’at, syirik mahabbah dan syirik khauf)
v Dan syirik dalam shifat
7. Dan dengan peninjauan statusnya mengeluarkan dari millah atau tidak?: ia terbagi menjadi kufur akbar yang mengeluarkan dari millah dan masuk di bawahnya semua macam-macam yang lalu dan kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah atau kufrun dunna kufrin, yaitu setiap maksiat yang dinamakan kekafiran oleh Allah namun status iman masih disandang oleh pelakunya.
Semua macam-macam dan bagian-bagian ini telah ditunjukan oleh dalil syariy dan ditetapkan oleh ulama dalam kitab-kitab mereka.
Dan dari sisi pembauran antara sebab-sebab dan macam-macam kekafiran, maka yang paling sering terjadi itu antara sebab-sebab kufur dengan macam-macamnya yang mana ia adalah faktor-faktor pendorong hati terhadap kekafiran.
Sebagian orang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh divonis kafir kecuali bila amalannya itu masuk di bawah suatu macam dari macam-macam kekafiran yang diutarakan di atas. Dan ini adalah syarat yang rusak dan talbis yang mengantarkan pada sikap tidak mengkafirkan orang kafir dan justru malah memberinya status iman serta membiarkannya berbaur dengan kaum muslimin dengan anggapan bahwa ia adalah bagian dari mereka. Di zaman sekarang ini engkau bisa mendapatkan orang yang mencari udzur (alasan pembenaran) bagi orang-orang kafir dan dia berkata padamu: “Sesungguhnya orang yang kamu kafirkan ini tidaklah mengingkari atau tidak menolak nash” dan hal-hal serupa itu berupa ucapan-ucapan indah yang dengannnya mereka menipu orang-orang awam untuk memalingkan mereka dari takfir orang kafir. Dan di antara hal ini adalah apa yang dilakukan sebagian para Syaikh yang loyal terhadap pemerintahan kafir di Mesir (di antaranya Muhammad Mutawalliy Asy Sya’rawiy, Muhammad Ghazaliy, Yusuf Al Qardlawiy, dan yang lainnya) di mana mereka mengeluarkan pernyataan pada tanggal 1/11989 M, dan didalamnya mereka berkata: “Bahwa mereka meyakini keimanan aparatur pemerintah di Mesir, dan bahwa para aparatur itu tidak menolak kepada Allah suatu hukumpun dan mereka tidak mengingkari satupun prinsip pada Islam” dari (Shahifah Al Ittihad: 2/1, 1989). Ini adalah ucapan mereka, dan di dalamnya terdapat talbis dan penyembunyian. Dan ulama suu’ tidak akan bisa menyesatkan manusia, kecuali dengan pengkaburan al haq dengan al bathil atau dengan menyembunyikan al haq atau dengan keduanya secara bersamaan, sebagaimana firman Nya Ta’ala:
“Janganlah kamu mengkaburkan al haq dengan al batil dan (janganlah) kamu menyembunyikan al haq padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al Baqarah [2]: 42)
Adapun pengkaburan dan pencampuradukan yang mereka lakukan adalah pemberian kesan terhadap manusia bahwa vonis kafir itu tergantung pada macam kekafiran yang mereka batasi pada penolakan nash, padahal kekafiran itu memiliki banyak macam sebagaimana yang telah lalu diisyaratkan. Dan adapun al haq yang mereka sembunyikan maka ia adalah bahwa vonis kafir itu tergantung pada sebabnya, dan ia pada pemerintah (kafir) ini adalah (berupa) ‘imtina (penolakan) dari penerapan syari’at Islam dan pembolehan berhukum dengan qawanin wadl’iyyah yang dibuat-buat, dan pengharusan manusia untuk memutuskan hukum dengannya dan berhakim padanya, serta sebab-sebab kekafiran lainnya.
Maka selayaknya pencari ilmu berhati-hati terhadap syubhat-syubhat semacam ini, dan ia wajib mengetahui bahwa macam-macam kekafiran yang disebutkan dalam kitab-kitab i’tiqad adalah tidak ada kaitannya dengan masalah takfir dari sisi vonis peradilan, oleh sebab itu engkau tidak mendapatkan penuturan terhadapnya dalam bab-bab riddah dan murtad dalam kitab-kitab fiqh, dan bahwa yang menjadi acuan vonis kafir di dunia adalah ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir (yang di antaranya adalah meninggalkan dan penolakan).
Adapun macam-macam kekafiran yang telah kita sebutkan, maka ia adalah sifat bagi faktor pendorong yang ada di hati orang kafir dan yang membawanya terhadap kekafiran, seperti sombong, dengki dan ragu, ini adalah amalan hati yang kadang menguat sehingga membawa pelakunya terhadap kekafiran. Ibnul Qayyim telah menuturkan sepuluh macam bagi faktor-faktor pendorong yang membawa kepada kekafiran dalam kitabnya Miftah Dar As Sa’adah: 1/96-98, terbitan Darul Fikr, sedangkan faktor-faktor pendorong ini berbeda dengan sebab kekafiran, dan ia tidak memiliki kaitan dalam vonis kafir terhadap pelakunya di dunia. Dan untuk mendekatkan masalah ini, kami memberikan contoh: seorang membunuh orang lain secara sengaja, sedang faktor pendorong terhadap hal itu bisa jadi permusuhan, atau ingin cepat mendapatkan warisan atau ia diupah untuk membunuhnya atau membunuhnya karena rasa kasihan dari sakit yang membuatnya menderita atau faktor-faktor pendorong lainnya, kemudian si qadli mevonis si pembunuh untuk diqishas karena sebab pembunuhan, maka apa yang diperhatikan oleh si qadli sebagai sebab dari vonis itu? Tidak diragukan bahwa si qadli melihat pada perbuatan (pembunuhan dengan sikap kesengajaannya), ini adalah sebab hukum, dan si qadli tidak sama sekali melihat pada satupun dari faktor-faktor pendorong yang tadi disebutkan, maka janganlah engkau mencampurkan antara sebab-sebab dengan pendorong-pendorong faktor kekafiran. Dan untuk membedakan keduanya kami akan mengutarakan contoh-contoh berikut ini:
Iblis ~semoga Allah melaknatnya~ telah kafir dari sebab penolakan dari sujud (sedang ini adalah sikap yang membuatnya kafir), adapun faktor pendorongnya terhadap penolakan dan sikap meninggalkan ini maka ia adalah kesombongan, sehingga kekafirannya adalah kufur istikbar, ini adalah macam kekafirannya, adapaun sebab kekafirannya maka ia adalah penolakan terhadap perintah. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan (menolak) dan takkabur dan ia adalah termasuk golongan yang kafir. (Q.S. Al Baqarah [2]: 34)
Makna enggan adalah menolak, dan ayat ini telah menggabungkan antara sebab kekafiran (yaitu penolakan dari melakukan perintah) dengan macam kekafiran (yaitu takkabur)
Orang-orang kafir Makkah menolak dari mengikrarkan dua kalimat syahadat (sedang ini adalah sikap meninggalkan yang mengkafirkan) dan ia adalah sebab kekafiran, sedang faktor pendorong bagi mereka terhadap hal ini adalah takkabur, dan ia adalah macam kekafiran mereka, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:
“Sesungguhnya mereka dahulu bila dikatakan kepada mereka: “La ilaaha illallaah” mereka menyobongkan diri.” (Q.S. Ash Shaaffaat [37]: 35)
Dan orang-orang Yahudi adalah seperti mereka dan mereka melebihi dari kaum kafir Makkah dari sisi faktor pendorong dengan hasud (dengki) sebagimana firman-Nya Ta’ala: “sebagai kedengkian dari diri mereka” (Al Baqarah: 109) dan FirmaNya Ta’ala: “ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad saw) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya (An Nisa: 54)
Dan orang-orang awam Nashrani adalah kafir dengan sebab ucapan mukaffir (sesungguhnya Allah adalah Al Masih) atau (sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang tiga), sebagaimana mereka kafir dengan sebab perbuatan mukaffir, seperti keta’atan kepada pendeta-pendeta dalam hal hukum yang menyelisihi. Ini adalah sebab kekafiran mereka. Adapun macam kekafiran mereka, maka ia adalah kufur taqlid terhadap para pendahulu mereka yang sesat sebagaimana firman-Nya Ta’ala:
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesaat dari jalan yang lurus”. (Q.S. Al Maidah [5]: 77)
Dan orang-orang yang memperolok-olok para shahabat pada perang Tabuk, sebab kekafiran mereka adalah ucapan mukaffir, sebagaimana firmanNya Ta’ala:
“Katakanlah: “Apakah dengan Allah, Ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu memperolok-olok?” (Q.S. At Taubah [9]: 65),
Dan faktor pendorong mereka terhadap hal itu adalah kufur nifaq dan keraguan yang ada dihati mereka, sebagaiman firman Allah Ta’ala:
“Orang-orang munafiq itu takut akan diturunkan terhadap mereka suatu surat yang menerangkan apa yang tersebunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: “Teruskanlah ejekan-ejekanmu terhadap Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu !.” (Q.S. At Taubah [9]: 64).
Inilah macam kekafiran mereka, yaitu kufur nifaq yang membawa mereka terhadap sikap perolok-olok. Dan perhatikanlah firman-Nya: “Apa yang tersembunyi dalam hati mereka…” dan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah akan menyatakan…”, sesungguhnya Allah menyatakan agar engkau mengetahui perbedan antara faktor pendorong (yaitu macam kekafiran) dengan sebab kekafiran, dan bahwa faktor pendorong adanya di hati (yaitu ~dalam hal ini~ nifaq), adapun sebab maka ia adalah yang keluar dan mungkin diketahui secara dlahir berupa ucapan ataupun perbuatan (yaitu disini perolok-olok). Ayat ini termasuk dalil yang paling jelas yang menunjukan kepadamu perbedaan antara faktor pendorong atau macam (kekafiran) dan bahwa ia adalah hal bathil, dengan sebab (kekafiran) yaitu hal dlahir.
Ini semua tentang penjelasan perbedan antara sebab kekafiran dengan macam kekafiran, dan bahwa yang pertama (yaitu sebab kekafiran) adalah yang dianggap dalam hukum dunia, karena ia adalah hal dlahir yang baku. Adapun macam kekafiran maka tidaklah diperhatikan dalam hukum-hukum dunia, karena ia adalah hal yang samar yang tidak baku, sedangkan hukum-hukum syari’at adalah dibangun di atas suatu yang baku.
5. Di antara kekeliruan-kekeliruan yang menyebar dalam masalah takfir: Pembatasan sebab-sebab kekafiran pada kufur i’tiqadiy
Telah lalu ~dalam definisi riddah~ penjelasan bahwa kekafiran itu terjadi dengan salah satu dari tiga sebab: ucapan mukaffir (yaitu amal lisan), atau perbuatan mukaffir (yaitu amal anggota badan), atau keyakinan mukaffir (yaitu amalan hati) dan di antaranya keraguan.
Sebagian orang berpendapat bahwa tidak ada kekafiran kecuali dengan keyakinan dan tidak seorangpun kafir dari sisi amal, dan mereka memaksudkan dengan amal itu ucapan lisan dan perbuatan anggota badan. Dan ini adalah pendapat yang rusak, sungguh nash-nash syari’at telah menunjukan dan para ulama telah ijma terhadap kekafiran orang yang mengucapkan ucapan-ucapan tertentu atau melakukan perbuatan-perbuatan tertentu atau meyakini keyakinan-keyakinan tertentu. Dan bab-bab riddah di kitab-kitab fiqh sarat dengan contoh-contoh atas hal itu, sehingga membatasi sebab-sebab kekafiran pada keyakinan mukaffir saja adalah kesalahan yang keji…!
Di samping itu sesungguhnya para penganut pendapat yang rusak ini mendapatkan isykal terhadap diri mereka (yaitu) bahwa pemilik keyakinan mukaffir ini adalah muslim dalam hukum dunia selagi dia tidak menampakkan keyakinannya, dan kita tidak menghukumi dia kafir kecuali dengan sebab ucapan atau perbuatan, sedangkan ini adalah apa yang diingkari para pemilik pendapat ini.
Orang-orang yang berpendapat bahwa tidak seorangpun kafir kecuali dengan sebab keyakinan, meskipun ungkapan mereka berbeda-beda, akan tetapi ia itu kembali pada satu asal yaitu persyaratan kufur hati untuk vonis kafir, sedangkan ini adalah ucapan Ghulatul Murji’ah ~sebagaimana yang telah lalu penjelasannya dalam komentar terhadap ‘Aqidah Ath Thahawiyyah~ yang menganggap kekafiran hati yang diungkapkan terhadapnya dengan pengingkaran atau istihlal dengan lisan sebagai syarat menyendiri untuk mengkafirkan dengan sebab-sebab dosa yang mengkafirkan, padahal Murji’ah Fuqaha dan ahli kalam menganggap kekafiran hati sebagai kemestian bagi takfir dengan amalan-amalan zhahir yang mengkafirkan.
Inilah contoh-contoh para penganut madzhab yang mengatakan bahwa tidak ada kekafiran kecuali dengan i’tiqad (keyakinan):
A. Syaikh Al Albaniy dalam komentarnya terhadap matan (isi inti) Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah, pada ucapan At Thahawiy [Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dengan sebab dosa selama tidak menghalalkannya] Al Albaniy berkata: “Sesungguhnya pensyarah Al ‘Aqidah At Thahawiyyah (menukil dari Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa iman itu ucapan dan amalan yang bertambah dan berkurang, bahwa dosa apa saja adalah kufur ‘amaliy bukan i’tiqadi, dan bahwa kekafiran menurut mereka memiliki banyak tingkatan, kufrun duna kufrin seperti halnya iman menurut mereka). [Al ‘Aqidah At Thahawiyyah Syarah Wa Ta’liq Al Albaniy, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1398 H, hal 40-41]. Dengan merujuk kepada Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah karya Ibnu Abil ‘Izz hal362-363 terbitan Al Maktab Al Islamiy 1403 H engkau mengetahui bahwa ia memaksudkan dengan kufur ‘amaliy: kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah. Dan kesimpulan ucapan Al Albaniy bahwa dosa apa saja pelakunya tidak dikafirkan selagi tidak menghalalkannya dengan penghalalan hati yang bersifat keyakinan (Istihlal Qalbiy I’tiqadiy) ~sesuai definisi dia terhadap istihlal dalam referensi yang tadi diisyaratkan~ dan bila dia tidak menganggapnya halal, maka itu adalah kufur ashghar dan terhadap hal ini kami memberikan komentar dengan ucapan kami:
1. Sesungguhnya Al Albaniy tidaklah amanah dalam menukil dari Ibnu Abil ‘Izz, di mana ia menyandarkan kepada Ibnu Abil ‘Izz bahwa ia berkata: [Bahwa dosa, dosa apa saja adalah kufur ‘amaliy bukan i’tiqadiy], padahal Ibnu Abil ‘Izz tidak pernah mengatakan ucapan ini, namun sesungguhnya Ibnu Abil ‘Izz mensifati kufur ashghar (kufrun duna kufrin) dengan kufur ‘amaliy. Dan tindakan ini bukanlah tindakan pertama kali yang di dalamnya Al Albaniy melakukan manipulasi dalam penukilan, di mana saya telah menuturkan dalam kitab saya (Al ‘Umdah Fi I’dadil ‘Uddah) pada bantahan saya terhadap syubhat Al Albaniy, dia berkata didalamnya: “Sesungguhnya kewajiban terhadap pemerintah-pemerintah hari ini adalah sabar dan sibuk dengan tarbiyyah, bukan memberontak terhadap mereka…”, telah saya utarakan bahwa Al Albaniy berdalil untuk ucapannya ini dengan penukilan dari ungkapan Ibnu Abil ‘Izz yang di dalamnya Al Albaniy melakukan penggantian (ucapan), di mana Al Albaniy meletakkan kalimat (tarbiyyah) dari dirinya sendiri sebagai pengganti dari kalimat (taubat) pada ucapan Ibnu Abil ‘Izz. Dan ucapan Ibnu Abil ‘Izz ada di Syarhil Aqidah At Thahawiyyah hal: 430 sedangkan nukilan yang dirubah ada dalam ta’liq Al Albaniy terhadap matan Al ‘Aqidah At Thahawiyyah hal: 47. Dan tahrif (pengrubahan) yang dilakukan Al Albaniy dalam rangka membela pendapatnya ini adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hazm rahimahullah: [Dan hendaklah orang yang membaca kitab kami ini mengetahui bahwa kami tidak menghalalkan apa yang dianggap halal oleh orang yang tidak ada sedikitpun kebaikan pada dirinya, berupa sikap penyandaran pada seseorang suatu ucapan yang tidak pernah dia ucapkan secara tekstual, meskipun ucapannya itu menghantarkan kepadanya, karena bisa jadi dia tidak berkomitmen dengan apa yang dihasilkan ucapannya itu sehingga terjadi kontradiksi. Maka ketahuilah bahwa menyandarkan kepada seseorang baik dia itu orang kafir atau ahli bid’ah atau orang yang salah suatu ucapan yang tidak pernah dia ucapkan secara tekstual adalah dusta terhadapnya, sedangkan tidak halal berdusta terhadap (atas nama) seorangpun”. [Al Fashl, Ibnu Hazm: 5/33]
2. Adapun ucapan At Thahawiy [Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dengan sebab dosa selama tidak menghalalkannya], maka telah lalu penjelasan maknanya yang shahih menurut Ahlus Sunnah dalam komentar saya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah, dan bahwa yang dimaksud dalam ungkapan ini adalah dosa-dosa yang tidak mengkafirkan seperti zina dan minum khamr yang mana Khawarij menkafirkan dengan sebab hal itu. Dan telah saya nukil ucapan-ucapan ulama dalam ungkapan ini dan tidak seorangpun mengatakan Albaniy, bahkan justru Ibnu Abil ‘Izz telah mengatakan suatu yang bertentangan apa yang disandarkan Al Albaniy kepadanya, beliau berkata: “Oleh sebab itu banyak para imam menolak dari melontarkan ucapan bahwa kami tidak mengkafirkan seorangpun dengan sebab dosa, akan tetapi (seharusnya) dikatakan “kami tidak mengkafirkan mereka dengan setiap dosa sebagaimana yang dilakukan Khawarij”. [Syarhul ‘Aqidah Ath Thahawiyyah hal: 355/356] ini adalah ucapan pensyarah ~Ibnu Abil ‘Izz~) maka amatilah perbedaannya……!
Ucapan pensyarah bahwa banyak para imam menolak dari melontarkan ucapan “bahwa kami tidak mengkafirkan seorangpun dengan sebab dosa”, saya berkata di antara mereka adalah Ahmad Ibnul Hambal rahimahullah dalam apa yang dinukil Al Khallal darinya beliau berkata: “Telah mengabari kami Muhammad Ibnu Harun bahwa Ishaq Ibnu Ibrahim telah mengabari mereka: Saya menghadiri seorang laki-laki yang bertanya kepada Abu Abdillah, dia berkata: “Wahai Abu Abdillah, ijma kaum muslimin terhadap iman kepada qadar, baik dan buruk?, Abu Abdillah berkata: “Ya”, Ia bertanya lagi: “Dan kita tidak mengkafirkan seorangpun dengan dosa?, maka Abu Abdillah berkata: Diam, barangsiapa meninggalkan shalat maka dia telah kafir dan barang siapa mengatakan Al Qur’an itu makhluk maka dia itu kafir” selesai. [Al Musnad, karya Al Imam Ahmad ibnu Hanbal, dengan Tahqiq Ahmad Syakir: 1/79), dan Al Bukhari membuatkan bab bagi masalah ini dalam Kitabul Iman dari Shahihnya dalam bab (Maksiat-maksiat adalah termasuk urusan jahiliyyah, dan orangnya tidak dikafirkan dengan sebab melakukannya kecuali dengan sebab syirik) dan beliau tidak mengatakan “Dan tidak dikafirkan kecuali dengan istihlal” karena ucapannya “dengan sebab syirik” mencakup istihlal dan hal-hal mukaffir lainnya. Dan ini tergolong kejelian pandangan Al Bukhariy rahimahullah. Dan rincian ini telah lalu pada ucapan saya dalam menjelaskan perbedaan antara dosa-dosa yang dalam takfir dengannya disyaratkan si pelakunya itu mengingkari atau menghalalkan dosa-dosa yang tidak disyaratkan hal itu didalamnya. Dan di sana telah saya sebutkan bahwa wajib merujuk kepada masalah ini saat membicarakan kekeliruan-kekeliruan takfir, maka silahkan merujuknya. Dan saya telah menyebutkan di dalamnya bahwa pemilahan antara dua macam dosa ini adalah tsabit (terbukti) berdasarkan Al Kitab As Sunah dan Ijma sahabat. Dan adapun Al Albaniy maka dia tidak membedakan di antara keduanya, maka justru dosa, dosa apa saja ~sebagaimana yang dia katakan~ adalah kufur ‘amaliy dan si pelakunya tidak dikafirkan kecuali bila dia menghalalkannya dengan penghalalan hati. Jadi dia itu tidak menyebutkan maksud Ahlus Sunnah dengan ungkapan ini [Kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan sebab dosa besar], dan dia juga tidak menukil ucapan Ibnu Abil ‘Izz di dalamnya dengan penukilan yang shahih. Dan telah lalu dalam komentar saya terhadap ucapan Ath Thahawiy [Dan seorangpun tidak dikeluarkan dari al Iman kecuali dengan juhud (pengingkaran) apa yang memasukkan dia di dalamnya] penjelasan bahwa menjadikan juhud (pengingkaran) ~dan yang semakna dengannya adalah istihlal sebagaimana yang telah lalu penjelasannya~ sebagai syarat tersendiri untuk takfir dengan sebab doa-dosa yang mengkafirkan, ia adalah pendapat Ghulatul Murji’ah yang telah dikafirkan salaf sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah (Majmu Al Fatawa 5/205 dan 209), dan pendapat ini lebih busuk daripada pendapat Jahmiyyah yang mengatakan bahwa orang yang telah ditegaskan kekafirannya oleh Allah, maka ia itu kafir dalam hukum-hukum dunia dan boleh jadi dia itu mu’min secara batin.
Jadi kesimpulan ucapan Al Albaniy adalah ucapan Ghulatul Murji’ah, karena dia mensyaratkan istihlal i’tiqadiy (penghalalan yang bersifat keyakinan) untuk mengkafirkan dengan sebab dosa apa saja tanpa membedakan antara dzunub mukaffirah (dosa-dosa yang mengkafirkan) dengan dzunub ghair mukaffirah (dosa-dosa yang tidak mengkafirkan).
Dalam ucapan Al Albaniy yang lain, dia membatasi kekafiran pada pengingkaran (juhud), dan itu pada ucapannya [Akan tetapi saya katakan sesungguhnya vonis terhadap orang-orang yang berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan, baik keberhukuman mereka itu menghantarkan mereka kepada kekafiran yang total atau (kepada) kufur ‘amaliy adalah sama sekali tidak penting bagi kita, masalah ini antara dua keadaan. Sekarang dari sisi ‘aqidah, siapa sebenarnya yang kafir di sisi Allah maka dialah yang mengingkari apa yang telah Allah syari’atkan]. Selesai dari kitab [Hayatul Albaniy Wa Atsaruhu, karya Muhammad Ibrahim Asy Syaibaniy, terbitan Ad Dar As Salafiyyah 1407: 2/518].
Bila Al Albaniy mensyaratkan istihlal atau ingkar untuk takfir, maka apa yang dia sisakan bagi orang semacam Muhammad Mutawwaliy Asy Sya’rawiy yang berkata dalam kitabnya Anta Tas’alu Wal Islam Yujib: “Orang mana saja bagaimanapun ilmunya tidaklah mampu bersikap lancang terhadap orang yang menyatakan Laa ilaha illallah dan dia berkata tentangnya: “Sesungguhnya ia kafir”, boleh mengatakan: “Sesungguhnya dia tidak komitmen dalam pengamalannya terhadap urusan-urusan agama.” Saya katakan pada mereka: “Apakah orang yang mereka vonis dengan hal itu tidak menerapkan hukum-hukum Allah karena pengingkaran atau karena malas… Bila dia malas, maka kita memberinya kesempatan sampai hari terakhir dalam kehidupannya dan kita tidak mengkafirkannya. Dan adapun bila dia mengingkari hukum-hukum ini, maka kekafiranya itu bukanlah karena dia tidak taat, akan tetapi karena dia mengingkari hukum-hukum ini”. Selesai, dinukil dari kitab [Asyharu Qadlayal Ightiyalat As Siyasiyyah, karya Muhammad Kamil Al ‘Arusiy, terbitan Dar Az Zahra Lil I’lam 1989 M hal: 635-636].
Dan apa saja yang dituturkan Asy Sya’rawiy ini adalah agamanya yang dia pelajari di Al Azhar, sedangkan pegangan mereka dalam hal itu adalah (Syarah Jauharatit Tauhid, karya Al Baijuriy), di mana tentang amalan apakah ia syarat dalam keabsahan iman ataukah bukan, Al Baijuriy berkata: “Dan ini adalah syarat kesempurnaan menurut pendapat yang terpilih di Ahlus Sunnah, barangsiapa yang mendatangkan amalan, maka ia telah meraih kesempurnaan, dan barang siapa yang meninggalkannya maka dia itu mu’min, akan tetapi telah menyia-nyiakan kesempurnaan atas dirinya, bila hal itu tidak disertai istihlal , atau pembangkangan terhadap Allah atau keraguan akan pensyari’atannya, dan kalau tidak demikian, maka dia itu kafir sesuai apa yang telah diketahui secara pasti dari dien ini”. Selesai. [Tuhfatul Murid Syarah Jauharatit Tauhid hal: 45]
Sedang ucapannya “…di Ahlus Sunnah…” memaksudkan Asya’irah (Asy ‘ariyyah) sebagaimana nama yang mereka sandangkan kepada diri mereka, sedangkan engkau telah mengetahui sebelumnya bahwa Asya’irah mengkafirkan dengan sebab dzunub mukaffirah. Lahir dan batin mereka dalam hal itu sama dengan Ahlus Sunnah dan Murji’ah fuqaha, namun sesungguhnya Asya’irah dan Murji’ah Fuqaha mengatakan: Bahwa pendatangan seseorang akan dzunub mukaffirah adalah tanda bahwa ia itu mengingkari atau menghalalkan dengan hatinya yaitu mendustakan dengan hatinya, karena juhud (pengingkaran) dan istihlal (penghalalan) itu tempat kembalinya adalah pada takdzib (pendustan) sebagaimana yang telah lalu dijelaskan. Adapun orang-orang muta’akhirin semacam Al Albaniy dan Asy Sya’rawiy maka mereka itu malah menjadikan juhud dan istihlal itu sebagai syarat yang berdiri sendiri untuk takfir dan mereka tidak mengetahui maksud orang-orang terdahulu dalam tulisan-tulisan mereka, sehingga dengan hal itu jadilah mereka penganut paham Ghulatul Murji’ah.
Maka sesungguhnya saya banyak menghati-hatikan banyak pemuda yang taqlid kepada Al Albaniy karena mereka menduga bahwa dia itu menganut paham Ahlus Sunnah dalam masalah-masalah ini ~yaitu masalah iman dan kufur~, padahal sungguh telah jelas bahwa pendapatnya itu adalah pendapat Ghulatul Murji’ah yang membatasi kekafiran pada juhud dan istihlal dan mereka menganggap hal itu sebagai syarat tersendiri untuk takfir dengan sebab dzunub mukaffirah (dosa-dosa yang mengkafirkan) dengan sendirinya, namun demikian Al Albaniy ini masih selalu mengajak kepada pembenahan Aqidah dan pemurnian turats (peninggalan ~rujukan~ Islam) sebagai mana yang ia sebutkan di muqaddimahnya terhadap kitab (Mukhtashar Al ‘Uluww) karya Adz Dzahabiy, dan sebagaimana yang dinukil darinya oleh Muhammad Ibnu Ibrahim Asy Syaibaniy dalam kitabnya (Hayatul Albaniy Wa Atsaruhu), maka apakah pendapat dia dalam al iman dan al kufru ~yang mana ia adalah masalah-masalah agama yang paling penting~ sejalan dengan ajakannya untuk membenahi ‘aqidah…???
Demikian juga saya mentahdzir dari pendapat-pendapat Al Albaniy yang syadz (ganjil/nyeleneh) dalam masalah-masalah fiqh karena dia memiliki manhaj (metode) yang syadz dalam berdalil dan dalam istinbath (pengambilan kesimpulan hukum) yang akan saya isyaratkan Insya Allah Ta’ala didalam mabhats ke tujuh yang khusus tentang pengkajian fiqh dan dalam mabhats ke delapan saat pembahasan saya tentang Ahkamul Hijab. Dan kami juga memiliki komentar terhadap takhrij-takhrij hadits yang dilakukan Al Albaniy di mabhats ke empat Insya Allah.
3. Masih tersisa satu masalah penting yang sepantasnya diingatkan terhadapnya sebagai koreksi terhadap ucapan Al Albaniy: “Sesungguhnya dosa, dosa apa saja, adalah kufur amaliy bukan ‘itiqadiy” yaitu tahdzir dari sikap membaurkan antara kufur amaliy dengan kufur bil ‘amal, dengan (penjelasan Al Albaniy) yang membuat ada kesan bahwa keduanya adalah sama.
Kufur ‘amali dalam ucapan-ucapan ulama dilontarkan dan dimaksudkan dengannya kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah atau kufrun dunna kufrin. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Iman ‘amaliy adalah lawan kufur ‘amaliy, sedangkan iman i’tiqadiy lawannya adalah kufur i’tiqadiy. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan apa yang kami katakan ini dalam sabdanya di hadits shahih: “menghina orang muslim adalah kefasiqan sedangkan memeranginya adalah kekafiran”, beliau membedakan antara memeranginya dengan menghinanya dan beliau menjadikan salah satunya sebagai kekafiran, ini tidaklah mengeluarkan dari lingkungan millah Islamiyyah secara total, sebagaimana, pezina, pencuri dan peminum tidak keluar dari Islam walaupun lenyap darinya nama iman”. [Ash Shalat: 26].
Syaikh Hafizh Hakamiy rahimahullah berkata: “Kufur itu ada dua: Kufur akbar yang mengeluarkan secara total dari iman, yaitu kufur i’tiqadiy yang menafikan (meniadakan) ucapan hati dan amalnya atau salah satunya. Dan kufur ashghar yang menafikan kesempurnaan iman dan tidak menafikan muthlaqul iman (inti iman), yaitu kufur ‘amaliy yang tidak mengugurkan ucapan hati dan amalnya serta tidak memestikan itu”. [A’lamus Sunnah Al Mansyurah: 80, Terbitan Darun Nur di Jerman 1406 H.]
Dan Hafizh Hakamiy berkata pula: “Apa kufur ‘amaliy yang tidak mengeluarkan dari millah?, ia adalah setiap maksiat yang dinamakan oleh Pembuat syari’at sebagai kekafiran, namun nama iman masih melekat pada pelakunya”. [Referensi yang sama: 82). Ini adalah kufur ‘amaliy.
Adapun kufur bil ‘amal (kufur dengan sebab amalan): maka ia adalah ‘amal (ucapan-ucapan lisan dan perbuatan anggota badaan) yang mana pelakunya menjadi kafir dengan kufur akbar. Ibnul Qayyim berkata: “Sebagaimana ia menjadi kafir dengan sebab mendatangkan kalimat kekafiran dalam kondisi ikhtiyar (tidak dipaksa) sedangkan ia adalah suatu cabang kekafiran, maka begitu juga ia menjadi kafir dengan sebab melakkukan suatu cabang kekafiran, seperti sujud kepada berhala dan menghina mushhaf”. [Ash Shalat: 24].
Dan beliau berkata juga: “Adapun kufrul ‘amal, maka ia terbagi menjadi apa yang menohok iman dan apa yang tidak menohoknya, sujud kepada berhala, menghina mushhaf, membunuh Nabi dan menghinanya adalah menohok iman” [Ash Shalat: 25]
Syaikh Hafizh Hakamiy berkata “Pertanyaan: Bila dikatakan kepada kita apakah sujud kepada berhala, menghina Kitabullah, melecehkan Rasul dan memperolok-olok agama serta yang serupa dengannya ini termasuk kufur ‘amaliy secara dlahir, maka kenapa ia mengeluarkan dari dien sedangkan kalian telah mendefinisikan kufur ashghar dengan ‘amaliy? Jawabnya: Ketahuilah, bahwa yang empat ini dan apa yang sejenis dengannya bukanlah termasuk kufur ‘amaliy kecuali dari sisi keberadaanya terjadi dengan amalan anggota badan dalam apa yang nampak di hadapan manusia, akan tetapi ia tidak terjadi kecuali beserta lenyapnya amal hati berupa niatnya, ikhlasnya, kecintaan dan ketundukannya sehingga tidak tersisa dari hal itu sedikitpun bersamanya. Jadi meskipun secara dlahir ia adalah bersifat ‘amal akan tetapi ia mengharuskan bagi kufur i’tiqodiy secara pasti ~sampai ucapannya~ Dan kami tidak mendefinisikan kufur ashghar dengan ‘amaliy secara muthlaq, namun dengan ‘amaliy murni yang tidak memestikan i’tiqad serta tidak menggugurkan ucapan dan amalan hati”. [A’lamus Sunnah Al Mansyurah, hal: 83). Ini adalah kufur dengan amal, berupa ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan.
Dan dari itu jelaslah bahwa kufur ‘amaliy yaitu kufur ashghar adalah berbeda dengan kufur bil ‘amal (kafir dengan sebab amal yang mana ia adalah kufur akbar yang terjadi dengan ucapan lisan atau perbuatan anggota badan).
Saya mengajak para ulama dan para pencari ilmu dimasa sekarang dan setelahnya agar tidak menggunakan istilah kufur amaliy dan agar mereka menggunakan sebagai pengganti dari istilah-istilah yang berasal dari salaf yang semakna dengannya, karena dua sebab:
Pertama: Bahwa ia adalah istilah yang baru yang digunakan orang-orang muta’akhirin dan tidak muncul dari salaf yaitu sahabat dan tabi’in. Sedangkan yang bersumber dari salaf tentang penyebutan kufur ashghar adalah istilah (kufur yang tidak memindahkan dari millah) dan istilah (kufrun duna kufrin) sedang ia adalah yang dituturkan oleh Al Bukhariy dalam Kitab Iman dari Shahihnya serta istilah (kufrun nikmat).
Ke dua: Bahwa penamaan kufur ashghar dengan kufur ‘amaliy adalah memberikan image bahwa tidak seorangpun kafir dari sisi ‘amal dan bahwa tidak ada kekafiran kecuali dengan i’tiqad, sedangkan ini adalah madzhab Murji’ah, akan tetapi orang-orang muta’akhirin ini adalah lebih buruk dari Murji’ah, karena sesungguhnya Murji’ah mengatakan: Sesungguhnya amalan-amalan dlahir yang mengkafirkan adalah tanda bahwa terhadap kekafiran bathin yaitu kekafiran i’tiqad, dan mereka komitmen bahwa orang yang divonis kafir oleh Allah adalah kafir lahir dan bathin, sedangkan Ahlus Sunnah berkata: Sesungguhnya amalan-amalan zhahir yang mengkafirkan adalah kekafiran dengan sendirinya dan memastikan akan kekafiran bathin, sebagaimana yang dikatakan Hafizh Hakamiy: “Ia meskipun secara zhahir (lahir) adalah bersifat amal akan tetapi ia itu mengharuskan bagi kufur i’tiqadi secara pasti”, dan itu dikarenakan bahwa orang yang telah divonis kafir oleh Allah dengan sebab ucapan atau perbuatan maka ia itu harus terbukti kafir secara lahir dan bathin. Dan penjelasan ini telah lalu dalam catatan terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah. Adapun orang muta’akhirin, maka mereka mengatakan: Tidak ada kufur kecuali dengan keyakinan (dengan bentuk) pengingkaran atau istihlal, adapun maksiat yang dia lakukan sebagaimana yang dikatakan Al Albaniy: [Sesunguhnya dosa, dosa apa saja, adalah kufur ‘amaliy bukan i’tiqadiy]. Maka menamakan kufur ashghar dengan kufur amaliy dan menamakan kufur akbar dengan kufur i’tiqadiy, adalah memberikan kesan bahwa tidak seorangpun menjadi kafir dari sisi amal, sebagaimana ia memberikan image bahwa kufur akbar itu hanyalah kufur i’tiqadiy. Sedangkan telah lalu dalam definisi riddah bahwa kekafiran itu terjadi dengan ucapan atau perbuatan atau keyakinan, dan bahwa keyainan itu tidak diberikan sanksi dengan sebabnya pada hukum-hukum dunia, kecuali bila telah tampak dalam ucapan ataupun perbuatan. Dan dengan hal itu sebab-sebab kufur akbar ~dalam hukum dunia~ terbatas pada ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Dan secara umum barangsiapa mengucapkan atau melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran, maka ia kafir dengan hal itu meskipun tidak bermaksud untuk menjadi kafir” [Ash Sharimul Maslul: 177-178].
Dalam masalah ini silahkan merujuk juga kepada apa yang dituturkan Asy Syaukaniy dalam kitabnya Ad Durr An Nadlid hal: 49 tebitan Darul Quds di Shan’a dalam bantahan terhadap Ash Shan’any, dan apa yang ditulis oleh Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ad Dien Al Khalis: 4/87-92, terbitan Maktabah Darut Turats di Kairo. Dan Syaikh Muhammad Basyir As Sahsuwaniy Al Hindiy terhadap Ahmad Zaini Dahlan mufti Makkah dalam sikapnya membedakan antara kufur amal dengan kufur i’tiqad dan pendapatnya bahwa kufur amal itu selalu kufur ashghar, dan itu dalam kitabnya Shiyanatul Insan ‘An Waswasatisy Syaikh Dahlan hal: 367-368, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyyah di Kairo 1410 H.
Kesimpulannya: Bahwa saya menghati-hatikan dari pembauran antara kufur amaliy dengan kufur bil ‘amal, sebagaimana saya mengajak untuk tidak menggunakan istilah kufur ‘amaliy dan menggantinya dengan kufur ashghar atau kufrun duna kufrin dalam rangka melenyapkan kekaburan dalam hal ini.
Ini semua berkenaan dengan komentar terhadap ucapan Al Albaniy.
B. Di antara orang yang membatasi kekafiran dengan i‘itiqad: adalah Salim Al Bahansawiy dalam kitabnya (Al Hukmu Wa Qadliyyatu Takfiril Muslim hal: 171), dia berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang meminta pertolongan kepada orang-orang shalih yang sudah mati dengan cara menyeru mereka atau tawassul dengan mereka kepada Allah untuk memenuhi kebutuhan tidaklah meyakini kemampuan orang-orang yang sudah mati terhadap pengaturan urusan, oleh sebab itu maka memvonis mereka kafir adalah penyimpangan dari pemahaman hukum Islam, dan berarti lebih utama lagi orang yang menghukumi keimanan mereka itu tidaklah menjadi kafir dengan klaim bahwa ia tidak mengkafirkan orang kafir ~sampai ucapannya~ sungguh mereka telah mengatakan bahwa penyeruan orang-orang shaleh itu tidaklah disertai keyakinan bahwa mereka memiliki madlarrat dan manfaat, akan tetapi atas dasar bahwa mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka lagi diberi rizqi dan mereka berdo’a kepada Allah, sedang keberadaan mereka mendengar dan berdo’a itu tidaklah diingkari oleh seorangpun ”. Selesai.
Penulis ini tidak membedakan tauhid rububiyyah dengan tauhid uluhiyyah, di mana keyakinan orang-orang itu bahwa tidak ada yang mampu terhadap pengurusan urusan kecuali Allah adalah termasuk tauhid rububiyyah. Adapun do’a mereka kepada selain Allah, maka ini adalah menggugurkan tauhid uluhiyyah, yaitu pengesaan Allah Ta’ala dengan seluruh ibadah yang di antaranya do’a, sehingga mereka itu menjadi kafir dengan sebab mereka mengerjakan apa yang membatalkan tauhid uluhiyyah meskipun mengakui tauhid rububiyyah.
Keadaan yang disebutkan Al Bahansawiy ini adalah keadaan ahli Jahiliyyah yang telah dikafirkan Allah dan diperangi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di mana kaum jahiliyyah itu menyeru berhala-berhala dan bertawassul dengan mereka, padahal mereka itu meyakini bahwa pengaturan urusan hanya di Tangan Allah sebagaimana yang telah Allah jelaskan keadaanya dalam firman-Nya Ta’ala:
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rizqi kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?”. maka mereka akan menjawab: “Allah” maka katakanlah: “mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?” (Q.S. Yunus [10]: 31).
Sungguh mereka itu mengakui akan tauhid rububiyyah, akan tetapi mereka berbuat syirik dalam ibadah. Dan ayat-ayat yang semakna dengan ini adalah banyak
Adapun ucapan Al Bahansawiy bahwa mereka maksudnya para pelaku syirik itu tidak meyakini madlarrat dan manfaat pada orang-orang mati itu, maka ia adalah dusta, justru mereka itu meyakini hal itu pada diri mereka dan seandainya tidak karena itu, tentulah tidak akan menyeru mereka (orang yang sudah mati itu,ed.). Allah Ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesunggguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang pendusta dan sangat kafir.” (Q.S. Az Zumar [39]: 3).
Allah mendustakan mereka pada ucapannya bahwa mereka mendekatkan diri dengan mereka itu pada Allah, karena mereka tidak melakukan hal itu kecuali kerena mereka meyakini madlarrat dan manfaat pada diri mereka dan oleh sebab itu mereka menyembahnya dengan do’a dan yang lainnya.
Al Imam Shan’aniy rahimahullah berkata: “Bila kamu berkata: “Orang-orang quburiyyun mengatakan kami tidak menyekutukan Allah Ta’ala dan tidak menjadikan tandingan bagi-Nya, sedangkan bersandar kepada para wali dan meyakini pada diri mereka bukanlah kemusyrikan.” Maka saya katakan: “Ya ((mereka mengatakan dengan mulut mereka apa yang tidak ada di hati mereka)), dan ini justru kebodohan mereka terhadap makna syirik karena pengagungan para wali dan penyembelihan hewan untuk mereka adalah syirik, dan Allah Ta’ala berfirman, “Maka dirikanlah shalat karena tuhanmu dan berkorbanlah” yaitu tidak kepada selainnya sebagaimana yang ditunjukan dengan pengedepanan tujuan, dan Allah Ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya masjid masjid itu kepunyaan Allah maka janganlah kamu menyembah seorang pun didalamnya disamping (menyembah) Allah.” Dan engkau telah mengetahui dengan uraian yang telah kami utarakan bahwa Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam telah menamakan riya’ sebagai syirik, maka bagaimana dengan apa yang kami sebutkan? sedang apa yang mereka lakukan terhadap wali-wali mereka ini adalah justru apa yang dilakukan kaum musyrikin dan dengan sebabnya mereka menjadi musyrik, serta tidaklah bermanfaat bagi mereka ucapan mereka”. Kami tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah” karena perbuatan mereka telah mendustakan ucapan mereka” [Thathirul I’tiqad Ash Shan’aniy: 23-24]
Apa yang dituturkan Al Bahansawiy ini adalah apa yang dijadikan udzur (alasan) lawan-lawan dakwah Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab bagi ‘Ubbadul Qubur, (yaitu) bahwa mereka itu tidak meyakini pengaruh bagi selain Allah. Dan di antara lawan-lawan itu adalah Syaikh Dahlan yang diisyaratkan tadi, maka silahkan rujuk ucapan-ucapan mereka itu dan bantahannya di kitab (Da’awa Al Munawi’ina Li Dakwatisy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahab), karya Abdul ‘Aziz Ibnu Abdil Lathif, Dar Thibah 1409 H hal: 193 dan seterusnya.
Dan Al Bahansawiy telah menuturkan dalam banyak tempat di kitabnya bahwa tidak seorang pun dikafirkan dengan sebab sesuatu pun dari maksiat, dan tidak dikeluarkan dari millah kecuali dengan sebab kufur i’tiqadi. Lihat kitabnya [Al Hukmu wa Qodliyatu Takfiril Muslim, hal 45, 54 dan 55]
Kembali saya ingatkan pencari ilmu bahwa vonis kafir di dunia ini dibangun di atas pendatangan ucapan mukaffir atau perbuatan mukaffir. Barang siapa memohon kepada selain Allah dalam hal yang tidak melakukannya kecuali Allah atau meyembelih untuknya maka dia telah kafir bila ia berkata: “hati saya tidak meyakini” maka dia dusta, Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang yang dusta lagi sangat kafir” (Az Zumar: 3). Dan hukum-hukum dunia ini berjalan di atas dlahir tidak terhadap keyakinan-keyakinan batin, namun demikian sesungguhnya setiap orang yang kafir dengan sebab zhahir maka dia itu kafir secara batin bila mawani’ takfir tidak ada padanya, karena orang yang Allah kabarkan kekafirannya karena suatu sebab maka dia itu mesti kafir secara sebenarnya, adapun macam kekafiran yang ada didalam hatinya, maka tidak ada kaitannya dengan hukum-hukum dunia.
Dan ini semua dalam rangka menjelaskan pendapat Al Bahansawiy dan pendapat-pendapat lain yang serupa dengannya. Kami menuturkan kekeliruan-kekeliruan sebagian para penulis sebagai contoh untuk membantahnya dan membantah pendapat-pendapat yang serupa dengannya.
C. Dan di antara orang yang membatasi kekafiran dengan i’tiqad [keyakinan]: adalah Jama’ah (Al Jama’ah Al Islamiyyah di Mesir) dalam kitabnya Ar Risalah Al Limaniyyah Fil Muwalah karya Thal’at Fu’ad Qasim, di mana ia berkata hal 13 ~tentang hukum muslim yang muwalah kepada orang kafir~: “Kaidah yang ke dua, yaitu kewajiban memandang kepada muwalah itu sendiri, apakah ia itu muwalah dengan zhahir saja disertai selamatnya hati dan keyakinan? Ataukah (ia itu) muwalah dengan zhahir dan batin secara bersamaan? Maka yang pertama tidak mengharuskan kekafiran dari muwalah, dan yang kedua bisa saja mengharuskan kekafiran yang mengeluarkan dari millah”. Selesai. Sedangkan penulis telah mendefinisikan muwalah dlahirah dengan ucapannya bahwa [ia adalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mengandung makna muwalah yang dilarang, akan tetapi dengan dlahir saja disertai selamatnya hati dan keyakinan], sebagaimana dia mendefinisikan muwalah batin bahwa ia adalah [ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan ini akan tetapi disertai ridla hati, pembenaran dan kecintaan] hal: 11.
Penulis menjadikan muwalah zhahirah tidak mengkafirkan dan dia membatasi pengkafiran dengannya dengan kekafiran i’tiqadiy atau kufur hati atau kufur bathin. Padahal sudah kami utarakan bahwa suatu yang telah datang nash tentang kekafiran pelakunya. Maka tidak dianggap di dalamnya maksud si pelakunya, dan telah datang nash akan kekafiran orang yang tawalliy kepada orang-orang kafir, dan itu pada firman-Nya Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani sebagai penolong, karena sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu tawalliy kepada mereka maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka…” (Al Maidah [5]: 51).
Kitab ini yaitu “Ar Risalah Al Limaniyyah Fil Muwallah” akan kami koreksi secara khusus diakhir mabhats ini insya Allah, karena kekeliruan yang sangat banyak di dalamnya, dan syubuhat-syubuhat dalam masalah kontemporer ini.
Wa ba’du. Ini adalah contoh-contoh bagi orang yang telah keliru dalam masalah takfir yaitu pembatasan sebab-sebab takfir pada kufur ‘itiqad.
<C>. Di antara kekeliruan yang umum dalam masalah takfir adalah: penganggapan juhud atau istihlal sebagai syarat tersendiri untuk takfir dengan sebab dzunub mukaffirah.
Murji’ah ~sebagaimana yang telah dikupas~ mereka adalah orang-orang yang mengeluarkan amal dari hakikat iman, dan terbangun di atas pendapat ini keberanian manusia terhadap maksiat sehingga berkatalah Ibrahim An Nakha’iy rahimahullah: “Murji’ah telah meninggalkan dien ini lebih tipis dari pakaian Sabiriy”, diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Ahmad Ibnu Hanbal dalam kitabnya (As Sunnah) hal 84 dan 438 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah 1405 H. Pakaian sabiriy adalah yang tipis lagi menampakkan apa yang di baliknya sehingga seolah orang yang mengenakannya antara yang berbusana dengan yang telanjang, ini dituturkan oleh Abu Manshur Ats Tsa’alibiy dalam kitabnya Fiqhul Lughah.
Bid’ah Irja ini telah berpengaruh dengan dalam pada tulisan-tulisan kaum mutakhirin dan fikrah-fikrah mereka, sebagaimana ia berpengaruh dengan pengaruh yang serupa pada perilaku-perilaku banyak kaum muslimin. Dan di antara sebab-sebab terpenting keterpengaruhan tulisan-tulisan kaum muta’akhiran dengan bid’ah ini adalah menjabatnya orang-orang Murji’ah ~dari kalangan fuqaha dan Asya’irah~ pada mayoritas jabatan-jabatan pemberian fatwa, peradilan, pengajaran dan wejangan di abad-abad Islam muta’akhirin, sehingga ucapan-ucapan mereka yang masyhur lagi terkenal di kalangan para pelajar dan para penulis, di waktu yang sama jadilah pendapat-pendapat salaf suatu yang asing lagi ditinggalkan dan para pengkaji tidak mendapatkannya kecuali dengan susah payah, dan bisa jadi dia mendapatkannya bercampur aduk dengan ucapan-ucapan Murji’ah, dan bisa saja dia mendapatkannya terpisah sendiri terus dia berupaya menggabungkan antara ungkapan salaf ini dengan pendapat-pendapat Murji’ah. Dan dalam hal ini Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: [“Dan banyak dari kalangan muta’akhirin tidak bisa membedakan antara madzhab salaf dengan ucapan-ucapan Murji’ah dan Jahmiyyah, karena bercampurnya ini dengan ini pada ucapan banyak dari mereka dari kalangan orang-orang yang batinnya berpendapat seperti pendapatnya Jahmiyyah dan Murji’ah dalam hal iman, sedangkan ia sendiri mengagungkan salaf dan ahlul hadits terus dia menduga bahwa ia telah menggabungkan di antara keduanya, atau menggabungkan antara ucapan orang-orang semacam dia dengan ucapan salaf] Majmu’ Fatawa 7/364
Sedangkan engkau telah mengetahui dari uraian yang lalu bahwa iman menurut Murji’ah tempatnya adalah hati dan begitu juga lawan dan kebalikannya yaitu kufur tempatnya adalah hati. Keterpengaruhan dengan pendapat ini telah menghantarkan pada keterjerumusan dalam berbagai kekeliruan pada masalah takfir, yang semuanya kembali kepada pensyaratan kekafiran hati dalam rangka memvonis kafir, dan di antara kekeliruan ini adalah:
F Pencampuradukan antara qashdul ‘amal al mukaffir dengan qashdul kufri serta pensyaratan pelapangan dada dengan kekafiran untuk diberlakukan vonis kafir. Dan telah lalu bantahan terhadap kekeliruan ini.
F Dan di antaranya sebab-sebab kekafiran pada kufur i’tiqad yaitu kufur hati atau membatasi kekafiran dengan kekafiran hati. Dan telah lalu bantahan terhadap kekafiran ini.
F Dan di antaranya pendapat bahwa tidak ada kufur, kecuali dengan juhud atau istihlal, sedangkan tempat kembali keduanya adalah kepada sikap pendustaan terhadap nushush sebagaimana telah lalu penjelasannya pada komentar saya terhadap ‘Aqidah Thahawiyyah, pada cataatan terhadap ucapan Ath Thahawiy (dan tidak seorangpun dikeluarkan dari iman kecuali dengan mengingkari apa yang memasukan dia kedalamnya).
Saat mereka membatasi kekafiran pada juhud dan istihlal maka terjadi kesulitan terhadap Murji’ah bahwa di sana ada uacapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang mana Sang Pembuat syari’at (Allah) telah menegaskan kekafiran pelakunya, maka akhirnya Murji’ah terpecah menjadi berbagai kelompok seperti yang telah saya utarakan sebelumnya:
A. Di antara mereka ada yang mengatakan: Setiap orang yang telah Allah tegaskan akan kekafiran maka dia kafir dlahir dan batin, bukan degan sebab amal mukaffir itu, tapi dikarenakan amal mukaffir itu adalah tanda bahwa dia itu mendustakan dengan hatinya. Ini adalah pendapat Asya’irah dah Ahnaf yang mana mereka itu adalah Murji’ah fuqaha. Lihat [Al Fashl, karya Ibnu Hazm: 3/239 dan 259, dan 5/75, dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah: 7/147 dan 509 dan 548 serta 582, juga Hasyiyyah Ibnu Abidin: 3/284].
B. Di antara mereka ada yang berkata: Sesungguhnya setiap orang yang ditegaskan kekafirannya oleh Sang Pembuat syari’at (Allah) maka ia kafir dalam status dhahir, dan boleh jadi dia mukmin secara batin. Ini adalah pendapat Jahmiyyah, sedang ia adalah pendapat yang sangat rusak, karena orang yang telah Allah kabarkan kekafirannya karena sebab mendatangkan ucapan tertentu atau perbuatan tertentu maka dia itu kafir secara dlahir dan bathin, karena pemberitaan Allah Ta’ala tidak terjadi kecuali atas dasar hakikat sebenarnya tidak sekedar dlahir saja, oleh sebab itu salaf telah mengkafirkan para penganut pendapat ini karena mengandung pendustaan terhadap apa yang dikabarkan Allah
Jahmiyyah dalam masalah ini memiliki pendapat lain seperti pendapat Asya’irah dan Ahnaf. Lihat [Majmu Al Fatawa: 7/188-189 dan 401-403 dan 558, Serta Ash Sharimul Maslul: 523-524]
C. Dan di antara mereka ada yang mengatakan: Sesungguhnya orang yang telah ditegaskan kekafirannya oleh Allah tidaklah divonis kafir kecuali bila dia terang terangan dengan sifat juhud ~yaitu pengingkaran yang dlahir dengan lisan~ atau istihlal. Dan para pemilik pendapat ini telah dikafirkan juga oleh salaf, karena ucapan mereka ini adalah pendustaan yang tegas terhadap nash-nash Sang Pembuat syari’at. [lihat Majmu Al Fatawa: 7/205 dan 209]
Ini adalah paham-paham Murji’ah scara global yang mensyaratkan kekafiran hati dalam rangka memvonis kafir ~dan telah saya tuturkan dengan sedikit rincian sebelumnya~, di mana di antara mereka ada yang menjadikan kekafiran hati sebagai sebagai suatu keharusan bagi kekafiran dlahir seperti Asy’ariyyah dan Murji’ah fuqaha, dan di antara mereka ada yang menjadikan kekafiran hati ~dalam bentuk penegasan yang nyata dengan juhud atau istihlal~ sebagai syarat yang menyendiri untuk memvonis kafir, apapun kekafiran dlahir berupa ucapan atau perbuatan yang dilakukan seseorang.
Macam terakhir inilah kekeliruan umum di kalangan sebagian para penulis dan banyak manusia di zaman kita ini. Dan di antara sebab kekeliruan penganut pendapat ini adalah kesalahan mereka dalam memahami kaidah (Kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan sebab dosa selagi ia tidak menghalalkannya) sebagaimana yang telah saya nukil dari Al Albany dalam bantahan terhadap kesalahan yang lalu. Dan telah saya sebutkan dalam komentar saya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, bahwa kaidah ini adalah benar akan tetapi khusus dengan dzunub ghair mukaffiroh (dosa dosa yang tidak mengkafirkan). Kemudian penganut madzhab yang rusak ini menjadikannya sebagai kaidah umum pada dzunub mukaffirah dan ghair mukaffirah sebagaimana mereka terjatuh dalam kesalahan karena karena mengikuti Ath Thahawiy dalam ucapannya (dan seorang hamba tidak dikeluarkan dari iman kecuali dengan sebab mengingkari apa yang memasukkan ia kedalamnya) disertai sikap mereka menjadikan ungkapan ini terhadap apa yang tidak dimaksudkan oleh Ath Thahawiy, padahal Ath Thahawiy dan Murji’ah Fuqaha telah menjadikan juhud (pengingkaran) sebagai suatu suatu kemestian bagi vonis hukum dengan sebab kekafiran yang nampak. Adapun orang-orang muta-akhkhirun maka mereka malah menjadikan juhud itu sebagai syarat tersendiri bagi vonis hukum dengan sebab kekafiran yang nampak. Dan pendapat mereka ini menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma’, bahkan ia adalah pendustaan terhadap nash-nash yang memvonis kafir orang yang mendatangkan mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) tanpa syarat juhud atau istihlal.
Bantahan terhadap syarat yang rusak ini adalah apa yang telah saya utarakan sebelumnya pada tanbih (perhatian) yang penting ~yang disebutkan pada komentar saya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah~ dalam menjelaskan perbedaan antara: Dosa-dosa yang disyaratkan untuk takfier dengannya keberadaan si pelakunya itu juhud atau istihlal, yaitu dosa-dosa yang mana Allah tidak menegaskan kekafiran pelakunya. Dan dosa-dosa yang tidak disyaratkan untuk takfier dengannya keberadaan si pelakunya juhud atau istihlal, yaitu dosa-dosa yang mana Allah telah menegaskan kekafiran pelakunya.
Engkau akan melihat bahwa celah yang menyebabkan orang itu jatuh dalam kesalahan ini ~yaitu pembatasan kekafiran dengan juhud atau istihlal~ adalah dengan sebab mereka tidak membedakan antara kedua macam dosa ini (mukaffirah dengan ghair mukaffirah) dan leh karenanya mereka tidak membedakan antara syarat-syarat takfier dalam setiap macam dari keduanya. Hal ini sangat nampak dari ucapan-ucapan mereka, di antaranya:
A. Syaikh Al Albaniy
Sebelumnya saya telah menukil hal ini darinya: “Tetapi saya katakan, sesungguhnya vonis terhadap orang-orang yang berhukum dengan selain hukum Allah , baik keberhukuman mereka itu menghantarkan mereka pada kekafiran yang total atau (pada) kufur ‘amaliy adalah sama sekali tidak penting bagi kita masalah ini antara dua keadaan. Sekarang dari sisi ‘aqidah, siapa sebenarnya yang kafir di sisi Allah? (yaitu) dialah yang mengingkari apa yang telah Allah syari’atkan ”. Selesai dari Kitab Hayatul Albaniy Wa Atsaruhu, karya Muhammad Ibnu Ibrahim Asy Syaibaniy, terbitan Ad Dar As Salafiyyah 1407, 2/518.
Ia membatasi kekafiran terhadap ingkar, yaitu juhud. Oleh karena itu dalam komentarnya terhadap matan Al ‘Aqidah ath Thahawiyyah, Al Albaniy tidak memberikan komentar terhadap ucapan Ath Thahawiy (Dan seorang hamba tidak dikeluarkan dari iman, kecuali dengan sebab mengingkari apa yang memasukkan dia ke dalamnya), padahal sungguh ini adalah jelas paham Murji’ah. Dan Al Albaniy tidak menjelaskannya karena itu sejalan dengan ushul dia pada permukaan, adapun secara hakikatnya, maka Murji’ah Fuqaha dan Asya’irah itu telah menjadikan juhud sebagi kelaziman (kemestian) yang tidak lepas dari vonis hukum dengan sebab kekafiran zhahir. Adapun orang-orang muta-akhkhirin, maka mereka menjadikan juhud sebagai syarat tersendiri untuk takfier dengan sebab dzunub mukaffirah, sebagaimana telah lalu ucapan Al Albaniy dalam pensyaratan istihlal untuk takfier (dengan dosa apa saja).
B. Salah seorang murid Al Albaniy, yaitu Muhammad Ibrahim Syaqrah.
(Ia) ingin mengajari kaum muslimin al haq (kebenaran) dalam masalah takfier pada kitabnya yang berjudul “Mujtama’unaa Baina At Takfier Al Jair Wal Iman Al Hair” terbitan Al Maktabah Al Islamiyyah di Yordania 1411 H. Dia telah memenuhi bukunya ini dengan umpatan kepada orang-orang bodoh yang berbicara tentang masalah takfier tanpa dasar ilmu. Ucapannya yang paling ringan dalam hal itu di antaranya: “Dan alangkah banyaknya para penakut dari kalangan yang memposisikan diri mereka sebagai para pengemban wasiat lagi pengawas terhadap hamba-hamba Allah yang lalai ~sampai ucapannya~ dan bila saya menulis secara khusus dalam masalah yang penting lagi berbahaya ini, maka untuk memperkenalkan kepada kaum muslimin berbagai cara mereka, level mereka dan arah mereka pada manhaj ‘ilmiy yang haq dalam pengkajian berbagai masalah yang pelik ini” (hal.23) dan setelah memulai dengan muqaddimah ini, apa al haq yang dia katakan dalam masalah ini? Dia berkata: “Bila seseorang telah mengucapkan dua kalimah syahadat dan hatinya membenarkannya dan meyakininya dengan pasti serta dia beriman kepada hak-haknya seluruhnya, maka dia itu mu’min meskipun melakukan maksiat seluruhnya, baik yang lahir maupun yang batin, selagi tidak disertai juhud atau pengingkaran”(37)
Saya katakan: Inilah orang yang ingin mengajari manusia kebenaran, (ternyata) pahamnya dalam iman adalah paham Murji’ah Fuqaha, karena dia membatasi iman pada pengucapan dua kalimah syahadat dan pembenaran dengan hati. Adapun pahamnya dalam masalah kufur, maka itu adalah paham Ghulatul Murji’ah yang menjadikan juhud sebagai syarat tersendiri untuk takfier dengan maksiat mukaffirah. Ucapan dia “Maksiat seluruhnya, baik yang lahir maupun yang bathin” adalah penegasan yang umum yang masuk di dalamnya apa yang merupakan kekafiran dan yang bukan. Dan ini adalah seperti pensyaratan Syaikhnya, Al Albaniy, berupa istihlal yang bersifat hati untuk takfier (dengan dosa apa saja), jadi si murid ini ada di atas paham gurunya. Yang lebih mengherankan dari hal ini adalah ucapan dia: “Setiap kekeliruan adalah diampuni bagi manusia, kecuali bila dia keliru dalam ‘aqidah dan apa-apa yang terkait dengannya”(107). Dan berkata juga: “Dan tidak diampuni baginya kebodohannya pada ushul (inti-inti) agamanya”(hal.108). Apakah celaan ini sejalan dengan madzhabnya dalam al iman dan al kufru?
C. Jama’ah (Al Jama’ah Al Islamiyyah di Mesir) dalam kitabnya Al Qaul Al Qaathi’ Fi Man Imtana’a ‘an Asy Syara-i, tulisan ‘Ishaam Darbalah dan ‘Aashim Abdul Majid. Dalam kitab ini pada hal. 13 tercantum: “Kapan saja kelompok yang memiliki kekuatan menolak dari menerapkan salah satu ajaran Islam yang nampak lagi wajib, maka sesungguhnya kelompok itu diperangi karenanya ~sampai ucapannya~ dan kelompok ini tidaklah kafir selagi dia tidak juhud (mengingkari) kewajiban yang ia menolak dari (menerapkan)nya. Adapun bila mereka mengingkari, maka mereka telah menjadi murtad dengan sebab pengingkaran itu ”.Selesai. Ucapan ini telah disebutkan berulang-ulang di banyak tempat dari kitab ini, sedangkan ini adalah salah, karena kewajiban-kewajiban syar’i itu ada dua macam:
· Di antaranya ada yang masuk dalam Ashlul Iman, sehingga orang yang meninggalkannya dikafirkan degan sekedar menolak dari (melaksanakan)nya, baik dia itu mengingkari maupun tidak. Termasuk bab ini adalah kekafiran orang yang meninggalkan shalat dan kaum yang menolak membayar zakat dengan ijma para shahabat sebagaimana yang telah saya utarakanj sebelumnya. Maka membatasi takfir pada macam ini dengan juhud adalah madzhab Ghulatul Murji’ah.
· Ada pula yang masuk dalam iman yang wajib, maka orang yang meninggalkannya tidak dikafirkan dengan sekedar penolakan darinya dan bila dia mengingkari kewajibannya, maka dia kafir baik dia melakukannya ataupun menolak dari (melakukan)nya.
Maka mengumumkan pernyataan bahwa orang yang meninggalkan kewajiban itu tidak kafir kecuali dengan juhud ~tanpa membedakan antara sesuatu yang menggugurkan ashlul iman dengan sesuatu yang menggugurkan iman yang wajib~ adalah paham Ghulatul Murji’ah sebagaimana yang telah kami nukilkan dari Ibnu Taimiyyah. (Lihat Majmu’ Al Fatawa 7/209 dan 205)
Kitab ini (Al Qaul Al Qaathi’) akan kami khususkan pengkoreksiannya di akhir mabhats ini insya Allah.
Sebagaimana yang engkau lihat, sesungguhnya penyebab kesalahan orang-orang di atas adalah karena mereka tidak membedakan antara dzunub mukaffirah dengan ghair mukaffirah dan apa yang disyaratkan untuk takfier dengan masing-masing dari dua hal ini.
D. Hasan Al Hudlaibiy (Mursyid II Jama’ah Ikhwanul Muslimin)
Dalam Kitabnya (Du’at La Qudlat) terbitan Daruth Thiba’ah Wan Nasyr Al Islamiyyah di Kairo, dalam ucapannya tentang firman-Nya Ta’ala: “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”. Dia berkata: [Dan telah kami kemukakan bukti dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw, bahwa orang yang beramal dari kaum muslimin menyelisihi apa yang telah Allah Ta’aalaa perintahkan tidaklah menjadi kafir, kecuali apa yang dikecualikan dengan nash khusus yang memvonis bahwa (bagi) pelakunya lenyap darinya nama iman, walaupun dia mengucapkan dua kalimah syahadat, dan dari situlah si hakim dengan perbuatannya ini telah keluar dari keumuman nash ayat yang mulia kecuali bila dia itu mengingkari ~sampai dia berkata~ karena ijma Ahlis Sunnah menetapkan bahwa hakim dengan makna pelaksana akan perintah atau yang memerintahkan untuk melaksanakan suatu urusan yang menyelisihi hukum Allah tidaklah lenyap darinya nama iman, kecuali dia itu mengingkari] (hal.156-157), kemudian berkata di hal 159: [Sesungguhnya sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas ra yang dipeluk oleh Rasulullah saw dan didoakan seraya berkata: “Ya Allah, ajarilah dia takwil” dan tabi’iy yang agung Thawus Al Yamaniy, keduanya berkata: “Sesungguhnya ayat ini tidaklah sesuai dengan zhahir dan kemuthlaqannya dan bahwa orang yang kafir itu adalah orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan seraya mengingkari, serta bahwa orang yang mengakui hukum Allah dan dia memutuskan dalam urusan itu dengan sesuatu yang menyelisihinya, maka dia itu zhalim lagi fasiq ; dan pendapat ini dikatakan juga oleh As Suddiy, ‘Atha dan seluruh fuqaha Ahlus Sunnah] Selesai. Kemudian di halaman 158 dia menganggap ijma ini mengkhususkan ayat tersebut.
Al Hudlaibiy menyebutkan dalam ucapannya ini kaidah yang umum yaitu bahwa orang yang maksiat (dan yang disebut sebagai orang yang beramal yang menyelisih apa yang Allah perintahkan) dengan meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram tidaklah menjadi kafir kecuali apa yang dikecualikan dengan nash yang khusus, ini adalah haq dan ia dalam hal ini lebih utama dari orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya, karena dia dengan ucapannya (Kecuali apa yang dikecualikan dengan nash…) adalah telah membedakan antara dzunub mukaffirah dan ghair mukaffirah, akan tetapi dia tidak komitmen dengan apa yang telah dia katakan itu, sebab sesungguhnya orang yang meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan adalah orang kafir dengan nash ayat ini [“...barang siapa yang tidak memutuskan…”] jadi ini termasuk apa yang dikecualikan dari kaidah ~yang telah ia sebutkan~ dengan nash khusus. Dan dia telah menguatkan ucapan ini dengan uacapannya lagi ditempat lain pada kitabnya hal: 35-36, di mana ia berkata: “Di antara yang tidak ada keraguan di dalamnya bahwa syari’at Allah telah menentukan uacapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang bila dikatakan oleh orang muslim atau dia kerjakan maka ia keluar dengan sebabnya dari Al Islam dan dengannya ia murtad kepada kekafiran. Dan yang kami katakan dengannya adalah bahwa ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan itu telah ditentukan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan telah diterangkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka kita tidak berhak untuk menambah di dalamnya atau mengurangi darinya”. Selesai. Dan ucapannya ini adalah sifat dzunub mukaffirah yang pelakunya dikafirkan dengan sekedar melakukannya. Dan sesuai ucapannya ini maka sesungguhnya meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan ~sedang meninggalkannya itu adalah perbuatan sebagaimana yang telah lalu dijelaskan~ adalah tergolong amalan yang pelakunya murtad karena adanya nash, yaitu “ maka mereka adalah orang-orang kafir”. Jadi meninggalkan di sini termasuk dzunub mukaffirah. Adapun sikap dia beralasan bahwa ayat ini tidak dipakai sesuai zhahirnya untuk menggugurkan vonis kafir di dalamnya, maka ini adalah pemberian alasan yang batil dan akan datang penjelasannya insya Allah.
Adapun ucapannya bahwa orang yang kafir itu adalah orang yang berhukum dengan selain apa yang telah Allah turunkan seraya mengingkari, sedangkan orang yang tidak mengingkari adalah tidak kafir, dan penyandaran ini semuanya kepada seluruh fuqaha Ahlis Sunnah dan penganggapannya bahwa ini ijma adalah ucapan yang sama sekali tidak memiliki landasan, dan tidak seorang pun menukil ijma terhadap sesuatu pada tafsir ayat ini, karena perselisihan pendapat tentang tafsir ayat ini adalah tergolong hal yang paling terkenal di kalangan ahli ilmu. Adapun juhud yang telah dituturkan oleh Al Hudlaibiy maka sungguh Ibnul Qayyim telah berkata: “Dan di antara mereka ada yang mentakwil ayat ini terhadap sikap meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan seraya mengingkarinya, dan ini adalah pendapat Ikrimah, sedang ini adalah takwil yang marjuh (lemah), karena juhud-nya itu sendiri merupakan kekafiran, baik dia memutuskan ataupun tidak memutuskan”. [Madarijus salaikin: 1/365, terbitan Darul Kutub Al Ilmiyyah].
Pembedaan antara juhud dengan tidak juhud hanyalah ada
pada dzunub ghair mukaffirah
Pembicaraan dalam masalah ini (masalah al hukmu bighairi ma anzalallah) tempatnya adalah di mabhats ke delapan dari bab ini Insya Allah Ta’ala. Dan di sana ada bahasan dengan penjabaran yang luas. Dan adapun di sini, maka secara ringkas saja. Seyogyanya pencari ilmu mengetahui hakikat-hakikat berikut ini dalam hal yang berkaitan dengan ayat ini:
Pertama: Bahwa kufur dalam ayat ini adalah kufur akbar karena ia datang secara ma’rifat dengan alif dan lam sedang setiap kufur yang datang dengan bentuk isim ma’rifat maka ia adalah kufur akbar, dan setiap pendapat bahwa ia adalah kufrun duna kufrin maka ia salah, dan penjelasan ini akan datang Insya Allah di mabhats ke delapan. Dan dalam hal ini cukup bagimu ucapan Abu Hayyan Al Andalusiy dalam tafsirnya (Al Bahrul Muhith): “Dan dikatakan (bahwa) yang dimaksud adalah kufur nikmat, dan ia dianggap lemah, dengan realita bahwa kufur bila disebutkan begitu saja, maka ia langsung tertuju pada kufur dalam dien ini” [Al Bahrul Muhith: 3/493]
Kedua: Bahwa vonis kufur akbar dalam ayat ini, terkait dengan kesengajaan meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan: “…Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka adalah orang-orang yang kafir”, dan Dia tidak mengaitkannya pada pemutusan DENGAN selain apa yang telah Allah turunkan. Bila dia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, maka ini sebab lain yang mengkafirkan ~selain sekedar meninggalkan~, sedangkan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (Sesungggunya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik] Al An’am: 121 dan firman-Nya Ta’ala [Mereka telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah] [At Taubah: 31].
Jadi meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan adalah kufur akbar dan pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan adalah kufur akbar juga, contohnya:
Seandainya seseorang ditangkap dalam kondisi mabuk yang jelas di bar yang di izinkan meminum khamr didalamnya, dan orang ini didatangkan ke hadapan hakim yang memvonis dengan undang-undang buatan, maka sesuai ketentuan undang-undang ini si orang itu tidak melakukan pidana dan ia tidak diberikan sanksi apapun, padahal sesungguhnya syari’at mewajibkan penegakan had khamr terhadapnya dengan menderanya 80 kali deraan. Maka disini hakim tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan yaitu ia meninggalkan hukum syar’iy dan tidak menghukum dengan suatu yang lain, sehingga kekafiran si hakim ini terjadi disini karena satu sebab.
Dan seandainya seseorang ditangkap saat dia mabuk yang jelas di jalan raya, maka sesungguhnya qodli undang undang buatan akan menvonis penjara terhadapnya 6 bulan. Maka di sini si qadli meninggalkan hukum syar’iy yaitu dera (dia tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan) dan dia memutuskan dengan yang selainnya yaitu penjara [dia memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan] maka kekafiran si qadli itu terkait di sini terhadap dua sebab yang masing-masing dari keduanya untuk mengeluarkan dia dari millah dengan sendirinya.
Kesimpulan: Bahwa sekedar kesengajaan meninggalkan putusan dengan apa yang telah Allah turunkan adalah kufur akbar. Jadi meninggalkan hukum adalah dosa yang mengkafirkan ~keberadaanya dalam hal itu adalah seperti meninggalkan shalat atau menghina Allah dan Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam~ ini semua adalah dzunub mukaffirah yang pelakunya dikafirkan dengan sekedar melakukannya. Barangsiapa yang mensyaratkan juhud atau istihlal dengan takfir dengan dzunub mukaffirah ini maka ia telah menganut pendapat Ghulatul Murji’ah ~yang telah dikafirkan salaf~ baik dia mengetahui ataupun tidak.
Dan ketahuilah bahwa kesalahan yang Al Hudlaibiy terjatuh ke dalamnya, sungguh telah terjatuh pula ke dalamnya mayoritas orang-orang masa kini seraya taqlid dalam hal itu kepada Ibnu Abil ‘Izz dalam syarahnya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thawiyyah dan kepada Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, sedangkan ucapan-ucapan mereka itu semuannya tidak ada dasarnya dan tidak berdiri di atas dalil yang mu’tabar (dianggap), akan tetapi ia itu sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah ~tentang orang yang mensyaratkan istihlal untuk takfir orang yang menghina Rasul~: [sesungguhnya pengkhianatan yang disebutkan dari para fuqaha bahwa bila dia itu menganggap halal maka kafir dan bila tidak maka tidak kafir, adalah tidak memiliki dasar, namun Al Qadli hanyalah menukilnya dari kitab sebagian mutakallimin yang menukilnya dari para fuqaha. Dan mereka itu menukil ucapan para fuqaha dengan apa yang mereka duga sejalan di atas ushul mereka, atau dengan apa yang telah mereka dengar dari sebagian orang-orang yang intishab kepada fiqh dari kalangan yang pendapatnya tidak dianggap sebagai pendapat] (Ash Sharimul Maslul: 516). Dan dengan ini engkau mengetahui bahwa pernyataan bahwa yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan bila dia menghalalkan itu atau mengingkari hukum Allah maka ia kafir, adapun bila dia melakukannya karena syahwat atau hawa nafsu maka tidak kafir adalah pendapat yang rusak dan pembagian yang tidak Allah turunkan dalilnya, sedang ia adalah pendapat mayoritas orang-orang masa kini bila tidak seluruh mereka. Dan pembagian macam ini hanyalah dikatakan pada dzunub ghair mukaffirah bukan dosa-dosa yang sudah Allah tegaskan bahwa pelakunya adalah kafir dengan kufur akbar seperti meninggalkan putusan dengan apa yang Allah turunkan dan putusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.
Ke tiga: Bahwa ayat ini umum mencakup setiap orang yang meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan karena ia dimulai dengan “man (barang siapa)” yang bersifat syarat sedang ia adalah bentuk kalimat umum yang paling kuat sebagimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah. [Lihat Al Majmu Al Fatawa: 15/82 dan 24/346].
Dengan ini engkau mengetahui bahwa makna yang benar firman-Nya Ta’ala: “Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir” adalah bahwa setiap orang yang menyengaja meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka ia itu kafir dengan kufur akbar, maka bagaimana gerangan bila sikap meninggalkan ini disertai dengan pemutusan dengan yang selainnya.
Ibul Qayyim rahimahullah berkata ~tentang ayat ini~: “Dan di antara mereka ada yang mentakwilnya terhadap pemutusan dengan (putusan) yang menyelisihi nash secara sengaja tanpa kejahilan terhadapnya serta tanpa kesalahan dalam takwil, dihikayatkan oleh Al Baghawiy dari para ulama secara umum”. [Madarijus Salikin: 1/365, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah].
Dan Asy Syaukaniy berkata ~tentang ayat yang sama~: “Ayat-ayat yang mulia ini mencakup setiap orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah putuskan” [Al Qaulul Mufid Fi Adillatil Ijtihad wat Taqlid, hal 47, dicetak dalam (Ar Rasaail As Salafiyyah), Asy Syaukani, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah].
Dalam vonis kufur akbar ini mencakup setiap orang yang meninggalkan dengan selainnya, baik pada dasarnya dia itu memutuskan dengan syari’at seperti para qadli syari’at, ataupun pada dasarnya dia memutuskan dengan selain syari’at. Dan tidak dikecualikan dari hukum ini seorangpun kecuali mujtahid yang keliru dari para qadli syari’at, maka sesungguhnya dosa terangkat darinya dengan nash hadits ‘Amr Ibn Ash secara marfu’: “Dan bila dia memutuskan terus ia ijtihad kemudian keliru, maka baginya satu pahala.” [Muttafaq ‘alaih].
Masuk secara pasti dalam hukum (kafir) ini adalah para hakim yang memutuskan dengan qawanin wadl’iyyah, karena sesungguhnya mereka itu komitmen sesuai keharusan UUD dan UU untuk meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan (yaitu) dengan qawanin wadl’iyyah. Mereka melakukan ini secara sengaja lagi sukarela dan pilihan dari mereka untuk berprofesi bidang ini, seraya mengetahui perselisihan apa yang menjadi acuan hukum mereka terhadap syari’at Allah, karena mereka pernah mempelajari syari’at di falkutas hukum dan yang lainnya, maka para qadli (hakim) itu adalah kafir dengan kufur akbar, dan kami memandang tidak adanya sedikitpun penghalang dari penghalang-penghalang takfir pada setiap individu mereka. Inilah yang benar dalam masalah ini. Wallahu Ta’ala A’lam.
Inilah (uraian kami), dan akan datang bahasan masalah al hukmu bi ghairi ma anzallah dengan sedikit rincian di mabhats ke delapan dari bab ini Insya Allah Ta’ala.
Wa Ba’du:
Inilah kekeliruan-kekeliruan yang tergolong terpenting dalam masalah takfier yang ingin saya ingatkan, yang mana karena sangatnya menyebar, hampir saja banyak dari para pencari ilmu dan kaum awam memandang inilah yang haq dan benar, karena mereka tidak mendapatkan selainnya dalam banyak buku-buku yang beredar.
Dan sepertinya kekeliruan yang paling berbahaya adalah kekeliruan-kekeliruan yang terpengaruh dengan bid’ah Irja itu, (yaitu) pensyaratan kekafiran hati dalam bentuk juhud atau istihlal atau keyakinan sebagai syarat menyendiri untuk takfir, dan begitu juga pencapuradukan antara kufur ‘amaliy engan al kufru bil amal (kekafiran dengan sebab amal). Karena pengamalan terhadap kekeliruan-kekeliruan ini termasuk bid’ah yang menghacurkan umat Islam, karena ini menimbulkan ketidakdibedakannya orang muslim dari orang kafir sebagaimana ia menimbulkan realita di mana banyak orang-orang kafir dimasukkan ke dalam agama ini dan dianggap sebagai kaum muslimin. Dan tidak samar lagi kerusakan besar yang ditimbulkan karenanya, terutama bila orang-orang kafir itu adalah mereka orang-orang yang terpandang, para pemilik kekuasan serta para pemegang kepemimpinan dan pembinaan di negeri-negeri kaum muslimin. Dan di awal mabhats ini telah lalu penjelasan tentang pentingnya materi al iman dan al kufru sehingga tidak perlu diulang lagi.
Pada kesempatan ini saya tidak lupa untuk menghati-hatikan dari tulisan-tulisan banyak orang masa sekarang berkenaan dengan materi ini, karena mencari al haq dalam materi ini sudah sangat sulit, dan sesungguhnya banyak dari orang-orang yang dikira bahwa mereka itu meyakini pendapat Ahlis Sunnah di dalamnya, ternyata mereka itu menganut paham Ghulatul Murji’ah, dan keberadaan mereka itu seperti apa yang dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah: [Dan banyak dari orang-orang muta-akhkhirin tidak bisa membedakan antara madzhab-madzhab salaf dengan pendapat-pendapat Murji’ah dan Jahmiyyah, karena berbaurnya ini dengan ini pada ucapan banyak dari mereka dari kalangan yang mana ia itu secara bathin manganut paham Jahmiyyah dan Murji’ah dalam hal iman, sedangkan dia itu mengagungkan salaf dan ahli hadits, sehingga dia mengira bahwa dia itu menggabungkan di antara keduanya, atau menggabungkan antara ucapan-ucapan orang semacam dia dengan ucapan salaf” [Majmu Al Fatawa: 7/364].
Dan dengan ini berarti kami mengakhiri pengisyaratan sekilas tentang materi takfir dan kekeliruan-kekeliruannya, sedangkan rincian materi dan jabarannya ada dalam kitab saya Al Hujjah Fi Ahkamil Millah Al Islamiyyah.
Selesai diterjemahkan:
Kamis pagi 25 Jumada Al Ula 1427 H 22 Juni 2006 M
Abu Sulaiman
Syaikh Abdul Qadir berkata dalam mabhats ketujuh tentang Al Albaniy: Dia memiliki manhaj yang syadz dalam istinbath fiqh, yang membuat dia keluar dengan pendapat-pendapat yang syadz (nyeleneh). Dan itu kembali kepada tiga sebab yang saya akan tuturkan disini yaitu:
Pertama: Istidlal dia dengan hadits-hadits dhaif, dan dia berupaya keras untuk menaikannya ke derajat hasan dan penerimaan.
Ke dua: Istinbath dia akan hukum-hukum dari dalil-dalil yang sama sekali tidak menunjukan kepadanya dengan sisi manapun dari sisi-sisi dilalah nushush yang sudah dikenal dalam ushul fiqh, akan tetapi dia sangat berusaha untuk memaksakan diri dan dia memasukkan ke dalam dalil apa yang tidak dikandung dalil itu.
Ke tiga: Sikapnya tidak mengindahkan kaidah-kaidah tarjih, baik itu berkaitan dengan tarjih antara dalil-dalil yang kontradiksi ataupun yang berkaitan dengan tarjih antara dilalah nushush, justru engkau mendapatkan Al Albaniy kadang menuturkan dalil yang menguatkan pendapatnya dan ia tidak mengisyaratkan kepada dalil yang menentangnya yang bisa jadi lebih kuat dalam berhujjah dan lebih jelas dalam dilalahnya daripada dalil yang dia gunakan. Al Albaniy telah membela sikapnya yang ganjil ini dengan ucapannya:
“Dan sama sekali bukanlah termasuk sikap ganjil, orang muslim memiliki satu pendapat dari pendapat-pendapat yang berbeda karena dalil yang nampak baginya, walaupun jumhur ulama menyelisihnya, berbeda dengan orang yang telah salah”. [Aqidah At Thahawiyyah, Syarh wa Ta’liq Al Albaniy, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1398 H cetakan I hal: 48].
Dan ucapan ini mengandung talbis, karena tidak boleh bagi setiap orang berdalil dengan dalil yang nampak baginya, dan kalau boleh tentu kita mesti mengudzur Murji’ah, Mu’tazilah, dan Khawarij dalam pendapat-pendapat mereka yang salah, bahkan kita mesti menguzdur orang-orang Nashrani, masing-masing mereka itu berdalil untuk mazhab-mazhab mereka yang rusak dari dalil-dalil yang terpotong dari Al Kitab dan As Sunnah, dan untuk hal itu saya telah memberikan contoh-contoh di bagian ke lima dari hukum-hukum mufti di bab ke lima dari kitab ini. Dan bukan termasuk ucapan ahli ilmu bahwa setiap muslim boleh memilih berdasarkan dalil yang nampak baginya, akan tetapi ia wajib mentarjih di antara dalil, dan itu adalah apa yang diungkapkan ahli ilmi dengan ucapan mereka: “Sesungguhnya di antara syarat dalil yang digunakan sebagai dalil adalah dalil yang shahih yang selamat dari yang menentang”, bukan seperti ucapan Al Albaniy: “…dengan dalil yang nampak baginya…”.
Thalibul ‘ilmi akan mengetahui kebenaran ucapan saya ini bila dia membaca bantahan-bantahan sebagian ulama masa kini terhadap Al Albaniy. Pendapat Al Albaniy bahwa wanita tidak wajib menutup wajahnya di hadapan laki-laki asing, telah dibantah oleh Syaikh Hamud At Tuwaijiri dalam kitabnya (Ash Sharimul Masyhur ‘Ala Ahlit Tabarruj Was Sufur), dan pendapat Al Albaniy akan keharaman emas yang melingkar atas wanita telah dibantah oleh Syaikh Ismail Al Anshariy dalam kitabnya (Ibahatit Tahalliy Bidz Dzahabiy Muhallaq ‘Alan Nissa), serta disana masih banyak bantahan terhadapnya, dengan membacanya akan nampak jelas keganjilan-keganjilan fiqhnya dan sebab-sebabnya.
Oleh sebab itu ucapan Syaikh Al Albaniy dalam hal Fiqh ~terutama yang dengannya ia menyendiri dan menyelisih orang-orang yang telah lampau~ seyogyanya tawaqquf dalam menerimanya. Demikianlah, Wabillahi ta’ala at taufiq.] ucapan Syaikh Abdul Qadir selesai. (Pent)
Syaikh Abdul Qadir berkata: [Adapun di sini maka saya akan menyebutkan sebagian catatan terhadap ‘amalnya dalam takhrij (hadits), yaitu:
(1) Bahwa dia itu tercoreng keadilannya, dan itu disebabkan tahrifnya dalam apa yang dia nukil dari salaf untuk menguatkan pendapat dia yang rusak. Dan di mabhats ‘itiqad saya telah menuturkan dua contoh untuk itu di mana Al Albaniy didalamnya merubah ucapan pensyarah Al ‘Aqidah At Thahawiyyah terus ia menyandarkannya kepada pensyarah (Ibnu Abil Izz) ucapannya: “Sesungguhnya dosa, dosa apa saja, adalah kufur ‘amali bukan ‘itiqodiy.” [Aqidah At Thahawiyyah, Syarh wa Ta’liq Al Albaniy, terbitan Al Maktab Al Islamiy 1398 H hal: 40-41), dan saat merujuk ke asli syarahnya ternyata pensyarah tidak pernah mengucapkan perkataan ini, sebagaimana Al Albaniy merubah ucapan pensyarah dan menyandarkan kepadanya ucapan dia: “Maka wajib atas kita untuk ijtihad (sungguh-sungguh) dalam istighfar, tarbiyyah, dan pembenahan amal.” [rujukan yang lalu hal: 47], sedangkan di asli syarah adalah [taubat] bukan [tarbiyah]. Dan di atas hal ini Al Albaniy membangun suatu paham (yaitu) tidak wajib memberontak terhadap para penguasa masa kini akan tetapi yang wajib adalah menyibukkan diri dengan tarbiyyah. Dan saya telah membantah dalam kitab saya (Al ‘Umdah Fi I’dadil ‘Uddah Lil Jihad Fi Sabilillahi Ta’ala). Saya telah berupaya untuk membawa apa yang dilakukan Al Albaniy sebagai salah cetak, akan tetapi ~dan sebagaimana yang dikatakan oleh orang yang baik kepada saya~ seandainya seperti itu, tentu dia tidak membangun banyak hukum di atas ucapan yang dirubah ini, namun dia sengaja merubah ucapan pensyarah At Thahawwiyah dan di atas hal itu dia membangun pendapat-pendapatnya yang rusak sembari berhujjah dengan ucapan yang dia rubah, sedangkan ini adalah tidak halal baginya, dan dia adalah seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Hazm: “Maka ketahuilah bahwa menyandarkan kepada seseorang baik itu orang kafir atau ahli bid’ah atau orang yang salah dalam suatu ucapan yang dia tidak pernah ucapkan secara tekstual adalah dusta terhadapnya, sedangkan tidak halal berdusta atas nama seseorangpun”. (Al Fashl, Ibnu Hazm: 5/33). Fa inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun… terhadap keadaan orang-orang yang menyibukkan diri dengan hadits Nabawi di zaman kita ini, padahal mereka itu orang paling pertama yang mengetahui bahaya dusta dan hukum pelakunya.
(2) Dan bersama pengkajian saya terhadap takhrij-takhrij Al Albaniy dan dengan merujuk kepada takhrij-takhrij salaf serta kepada kitab-kitab yang memuat Sunnah (Rasul) saya memiliki banyak catatan terhadapnya, di antaranya:
· Sikap Al Albaniy yang terkadang terlalu memaksakan untuk menshahihkan dan mendlaifkan banyak hadits.
· Dia menuduh keliru banyak para penghafal hadits dari kalangan salaf dalam banyak tempat padahal kekeliruan itu justru ada pada dirinya sendiri.
· Tidak optimal dalam biografi bagi sebagian perawi dengan keadaannya yang berpatokan pada satu atau dua sumber dalam kondisi-kondisi yang mana ia butuh penyebaran tuntas.
Di samping penyepelean dan pelecehan Al Albaniy terhadap para pembesar ulama salaf dan yang lainnya yang padahal wajib atas orang-orang umum apalagi ahli ilmi untuk menjaga lisan-lisan mereka darinya. Saya telah mengumpulkan contoh-contoh untuk setiap catatan ini, sampai akhirnya saya mendapatkan sebuah kitab karya Hasan Ibnu Ali As Suqquf yang berjudul “Tanaqudlat Al Albaniy Al Wadlihat Fi Mawaqa’a Lahu Fi Tash-hihil Ahadits Wa Tadl’ifiha Min Akhtha Wa Ghalathat” terbitan Darul Imam Nawawi di Aman Yordania, dan telah muncul darinya dua juz, di dalamnya penulis telah mengumpulkan lebih dari seribu kesalahan dan kontradiksi Al Albaniy seputar catatan-catatan yang saya utarakan tadi dan bahkan lebih banyak, maka silakan lihat bagi orang yang mau merujuknya.
Kekeliruan-kekeliruan dan kontradiksi-kontradiksi ini ditambah lagi dengan ketercorengan keadilannya menjadikan adanya ketidakpercayan terhadap takhrij-takhrij Al Albaniy dan menjadikan kebersandaran terhadap kitab-kitabnya sebagai hal yang perlu dipertanyakan. Al Bukhariy rahimahullah berkata: “Saya telah meninggalkan sepuluh ribu hadits (riwayat) milik orang yang dipertanyakan, dan saya tinggalkan jumlah serupa atau lebih darinya (riwayat) orang yang lainnya yang saya memiliki catatan” [Hadyus Sariy: 481]. Inilah… dan Allah memberi petunjuk orang yang Dia kehendaki kejalan yang lurus.] selesai ucapan Syaikh Abdul Qadir. (Pent)
Dengan contoh ini Syaikh Abdul Qadir memaksudkan bahwa keadaan ini tetap kafir dengan kufur akbar dan tidak perlu kepada adanya juhud atau istihlal dan ini adalah al haq dan tidak seorang ulama sunnah pun baik dahulu maupun sekarang yang menyelisihi dalam hal ini. Namun yang keliru adalah saat Syaikh Abdul Qadir menduga bahwa gambaran itulah yang dimaksud oleh ulama-ulama sunnah saat mereka mensyaratkan adanya juhud, padahal gambaran tersebut menurut ulama Sunnah adalah termasuk berhukum dengan hukum thaghut yang pelakunya kafir tanpa harus ada juhud, Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy berkata dalam An Nukat Al Lawami’ saat mengoreksi contoh (yang disebutkan) Syaikh Abdul Qadir ini: [Akan tetapi yang benar adalah bahwa hakim semacam ini adalah tergolong hakim-hakim jahiliyyah dan termasuk para qadli thaghut, dan dia itu telah memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dan itu dengan pengamalannya terhadap materi undang-undang yang menegaskan bahwa tidak ada sanksi atau tidak ada tindak pidana kecuali dengan nash undang-undang, serta pemberian pembebasan yang ia lakukan bagi si peminum khamr di bar yang diberi izin operasi tidak lain adalah putusan hukum berdasarkan nash yang kafir ini. Karena putusan hukum itu kadang bisa jadi dengan penetapan sebagai terpidana dan kadang dengan pemberian kebebasan. Barangsiapa memberikan kebebasan atau menetapkan keterpidanaan menurut atau mengikuti selain hukum-hukum Allah, maka dia itu telah menjadikan thaghut sebagai hakim dan dia berhakim kepadanya. Qadli yang dijadikan contoh oleh penulis (Syaikh Abdul Qadir) itu adalah telah melakukan ~tanpa ragu lagi~ kejahatan meninggalkan hukum Allah dan kejahatan pemutusan dengan selain yang telah Allah turunkan, sedang dia itu tidak ragu lagi adalah kafir. Namun yang pantas dijadikan contoh bagi sikap meninggalkan hukum Allah saja adalah qadli yang memutuskan dengan syari’at Allah yang mana ia adalah ajarannya yang dia komitmen dengannya dan dia menjadikannya sebagai acuan ~sebagaimana dalam ucapan salaf~ dan bila dia menyelisihnya dalam suatu kasus hukum atau kejadian, maka dia mengetahui bahwa dia telah melakukan maksiat.
Umpamanya dia meninggalkan pemberlakuan had syar’iy terhadap kerabatnya atau orang yang memberi suap terhadapnya dengan (cara) si qadli itu berdusta dan memanipulasi fakta dan mengklaim bahwa pencurian itu umpamanya tidak terjadi dari tempat penyimpanan barang yang semestinya, hingga tidak divonis dengan potong (tangan) namun dengan ta’zir. Gambaran ini layak untuk dijadikan sebagai contoh bagi sikap meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan yang mana ia tergolong dosa-dosa besar dan maksiat, karena ia adalah sikap meninggalkan hukun Allah karena mengikuti hawa nafsu, pengkaburan bukti dan suap, bagi orang yang komitmen dalam inti ajarannya dan hukumnya daengan syariat Allah. Inilah gambaran yang salaf berselisih di dalamnya: sebagian mereka berpendapat sesuai zhahir ayat sehingga ia mengkafirkan pelakunya sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, sedangkan mayoritas berpendapat bahwa itu kufrun duna kufrin, selagi tidak menghalalkan itu, statusnya seperti status dosa-dosa besar yang tidak mengakibatkan kufur akbar]
Jadi jelaslah bahwa yang dipahami Syaikh Abdul Qadir dari maksud gambaran yang diutarakan para ulama adalah keliru, sehingga dari kesalahpahaman inilah beliau menilai keliru ulama terdahulu dan sekarang dalam pensyaratan juhud atau istihlal pada gambaran itu.
Padahal gambaran yang dimaksudkan salaf dengan pensyaratan juhud atau istihlal itu ~sebagaimana yang dicontohkan Al Maqdisiy tadi~ adalah justru apa yang diutarakan oleh Syaikh Abdul Qadir saat menuturkan contoh kezhaliman dalam vonis, setelah menuturkan bahwa sebab mukaffir dalam masalah pemutusan tidak pernah ada di generasi-generasi terbaik, terus belaiu berkata: [Hal yang paling tinggi yang pernah terjadi dari para penguasa adalah kezhaliman dalam putusan dalam sebagian urusan dengan cara hilah (pemutarbalikan fakta) atau takwil yang bersamanya sulit menetapkan dosa baginya secara peradilan dunia meskipun dia berdosa secara dihadapan Allah, dan di antara hal ini adalah apa yang disebutkan Abu Hillal Al ‘Asykari dalam kitabnya “Al Awaail”, dia berkata: [Qadli pertama yang zhalim dalam putusan adalah Bilal Ibnu Abi Burdah; telah mengabarkan kepada kami Abu Ahmad dengan isnadnya, bahwa sesorang laki-laki menghadapkan kepada Bilal seorang laki-laki dalam kasus utang terhadapnya, kemudian si terdakwa itu mengakui hutangnya ~sedang Bilal ini memiliki kepentingan dengan terdakwa itu~, maka si penuntut berkata: “Bila mau memberikan kepada saya hak saya atau engkau memenjarakannya dengan pengakuannya ini”, si qadli berkata: “Dia itu pailit”, si penuntut berkata: “Dia tidak menyebutkan kepailitannya”, si qadli berkata: “Dan apa kebutuhan dia untuk menuturkannya, sedang saya mengetahuinya? dan kalau kamu mau saya akan penjarakan dia, kemudian kami menanggung nafkah keluarganya”, (perawi) berkata: “Maka laki-laki itu pergi dan meninggalkan seterunya, sedang Bilal itu dikenal dengan kezhalimannya]. Selesai dari kitabnya [Al Awail hal. 246 terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1407 H dan dengan sebab kezhaliman macam inilah Khawarij mengkafirkan]. Selesai ucapan Syaikh Abdul Qadir.
Di sini beliau katakan bahwa yang melakukan takfir dengan sebab itu adalah Khawarij. Sedangkan ulama-ulama sunnah yang beliau nilai keliru justru memaksudkan gambaran yang seperti ini, yang harus ada juhud atau istihlal untuk takfir dengannya. Dari sini Syaikh berada dalam dua kondisi kemungkinan:
Pertama: Beliau tidak memahami apa yang dimaksud ulama-ulama yang beliau persalahkan, seperti Ibnul Qayyim, Muhammad Ibnu Ibrahim dan yang lainnya, dengan bukti bahwa gambaran yang beliau kritik ternyata bukan yang di maksud oleh mereka dan gambaran qadli yang zhalim yang beliau utarakan itulah yang mereka maksudkan, serta Syaikh menganggap Khawarij-lah yang takfir dengannya.
Ke dua: Bisa jadi Syaikh jatuh dalam kontradiksi, dengan bukti bahwa pada gambaran tadi beliau anggap qadli itu zhalim yang dosa tidak kafir, padahal di tempat lain beliau hanya tetapkan dua keadaan: qadli kafir dan qadli mujtahid yang keliru lagi tidak berdosa, Syaikh berkata [dan tidak dikecualikan dari hukum (kafir akbar) ini seorangpun kecuali mujtahid yang keliru dari kalangan qadli syari’ah maka sesungguhnya dosa ditiadakan darinya…] selesai ucapan Syaikh. Wallahu a‘lam mana dari dua kemungkinan ini yang benar, yang jelas gamabaran yang dimaksud Ibnul Qoyyim dan ulama lainnya itu adalah gambaran yang disepakati Syaikh dalam contoh qadli yang zhalim tadi. (Pent)
Al Maqdisiy berkata dalan An Nukat Al Lawami: [penulis (Syaikh Abd Qadir,ed.) berkata (hal: 532): “Dan kesimpulan bahwa sekedar kesengajaan meninggalkan putusan dengan apa yang Allah turunkan adalah kufur akbar. Jadi, meninggalkan hukum adalah dosa yang mengkafirkan, keberadaannya dalam hal ini adalah seperti meninggalkan shalat…”. Saya berkata, seandainya ia berkata: Bahwa keberpalingan dari pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan atau bersikap membelakangi dari pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan atau meninggalkan jenis pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan adalah dosa yang mengkafirkan, keberadaanya seperti meninggalkan jenis shalat atau berpaling dan membelakang darinya, tentulah itu adalah kekafiran dengan kesepakatan, karena ia adalah kufur tawalliy dan i’radl (keberpalingan), dan tentulah syaikh keluar dengan hal itu dari isykal (kesulitan) yang ia terjatuh di dalamnya, di mana ia secara terpaksa menyalahkan sejumlah ulama terdahulu dan sekarang agar ia membenarkan madzhabnya, yaitu pengkafirkan orang yang komitmen dengan syariat Allah yang tidak menganut paham kecuali Islam dan tidak memutuskan kecuali dengan payung hukum-hukumnya bila dia tergelincir atau maksiat terus dia meninggalkan hukum syar’iy dan tidak menerapkannya pada suatu kasus karena syahwat atau suap atau karabat sedang ia mengetahui bahwa ia dengan hal itu melakukan dosa tetapi ia memutuskan dengan ajaran lain. Dan ia adalah gambaran yang berulang-ulang dalam ucapan banyak ulama saat mereka mengutarakan cotoh bagi al hukmu bighairi ma anzalallah sebagai maksiat dan suatu dosa yang tidak mengkafirkan, karena ia meskipun sekedar meninggalkan hukum dan tidak ada di dalamnya tahakum kepada selain ajaran Allah, akan tetapi takala ia adalah pengacuan terhadap hawa nafsu, syahwat atau suap, maka bolehlah ia dinamakan pemutusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan, akan tetapi bukan dengan makna yang kafir yang bersifat mengganti dan membuat hukum, atau yang di dalamnya ada pemberlakuan dan pengacuan kepada thaghut, maka hal yang ini tidak berselisih ucapan-ucapan salaf bahwa ini adalah kufur akbar. Adapun macam yang pertama yang dibicarakan oleh penulis di sini maka sudah diketahui perselisihan salaf di dalamnya dan ia sendiri telah mengakui adanya perselisihan kemudian ia menguatkan pendapat Ibnu Mas’ud. Dan tarjih yang ia tinggalkan ini menjadikannya menyalahkan setelah itu setiap orang yang menyelisihnya dari kalangan mutaqaddimin dan muta-akahirin. Dan di (hal: 533) Ia menganggap isykal ucapan Ibnul Qayyim yang didalamnya beliau menegaskan bahwa beliau berbicara tentang al hukmu bighairi ma anzalallah dalam suatu kasus, dimana si hakim berpaling dari putusan di dalamnya secara maksiat disertai pengakuannya bahwa ia berhak mendapatkan sangsi. Walaupun ucapan Ibnul Qayyim itu tegas lagi jelas meyatakan bahwa beliau memaksudkan hakim yang maksiat yang tidak berhakim kepada selain ajaran Allah, namun sesungguhnya penulis menganggap isykal kenapa Ibnul Qayyim menjadikan itu sebagai kufur ashghar, dimana ia berkata hal 533: “Yang disebutkan Ibnul Qayyim tidaklah benar, karena ia menjadikan al hukmu bighairi ma anzalallah termasuk dzunub ghair mukaffirah seperti zina dan minum khamr, maka hal-hal ini adalah yang tidak dikafirkan pelakunya kecuali dengan juhud dan istihlal, dan beliau (Ibnul Qayyim) telah mensyaratkan juhud (pengingkaran) untuk mengkafirkan orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.” Selesai
Dan ucapan Ibnul Qayyim ini hanyalah menjadi isykal terhadap madzhab penulis karena ia menjadikan peninggalan putusan hukum dengan gambaran yang lalu yang dituturkan salaf sebagai kufur akbar seperti tahakum kepada undang-undang buatan. Adapun orang yang membedakan antara ini dan itu, maka dia tidak menganggap isykal ucapan Ibnul Qayyim dan yang lainnya, dan ia akan membawa ucapannya ini terhadap gambaran yang tidak mengkafirkan, dan kemudian ia tidak akan mengingkari pensyaratan juhud untuk takfir didalamnya. Dan gambaran yang tidak mengkafirkan ini batasannya sebaimana yang telah engkau ketahui adalah apa yang ada dalam ungkapan-ungkapan salaf (yaitu) keberadaan si orang itu komitmen dengan ajaran Allah, dan bahwa itu adalah ajaran yang selalu dia pegang, dan makna ini adalah bahwa ia saat meninggalkan hukum dalam kasus itu tidak bertahakum kepada selain ajaran Allah, dan bahwa asal hukumnya dan keumumanya adalah hukum Allah, dan bahwa ia bila menyelisihi maka ia mengetahui bahwa ia telah melakukan dosa, dan makna itu adalah bahwa ia tidak meninggalkan jenis hukum Allah dan tidak membelakanginya atau berpaling darinya secara total, oleh sebab itu kami telah mengusulkan di awal pengingatan ini agar ia mengatakan: “Maka meninggalkan al hukmu bima anzalallah atau berpaling atau membelakang darinya adalah dosa yang mengkafirkan sama dengan meninggalkan jenis shalat atau berpaling atau membelakng darinya” agar dengan hal itu ia mengeluarkan qadli yang maksiat atau fasiq atau zhalim yang komitmen dengan hukum Allah dalam putusannya dan tidak meninggalkan atau melepaskan diri darinya, namun dia hanya meninggalkan penerapan hukum Allah dalam suatu kasus sebagai bentuk maksiat sekali-kali tanpa menerapkan hukum selain Allah. Dan inilah gambaran yang dijadikan contoh oleh salaf, dan dalam gambaran seperti inilah terjadi perselisihan itu, keadaan itu seperti keadaan seseorang yang meninggalkan shalat sampai waktunya lewat sedangkan pada dasarnya ia tergolong orang yang bisa shalat, dan pemilahan banyak dari salaf antara orang ini dengan orang yang meninggalkan jenis shalat secara total.
Dan di sini kami mengingatkan agar tidak disalahpahami, bahwa kami memaksudkan dengan meninggalkan jenis hukum bukanlah meninggalkan keumuman hukum-hukum dan hududnya….
Karena para thaghut hari ini sebagaimana yang bisa dikatakan oleh para penambal (kekafiran) mereka, mengkalaim bahwa undang-undang mereka itu tidak kosong dari hal-hal yang sejalan dengan hukum Allah ~atau diambil darinya seperti klaim mereka~, dan ini walaupun sebenarnya tidak dianggap karena sesungguhnya mereka tidaklah mengambil hal itu sebagai bentuk penerimaan terhadap hukum dan bukan pula sebagai bentuk ketundukan akan perintah-Nya, akan tetapi karena ia datang seraya selaras dengan hawa nafsu mereka dan karena UUD dan undang-undang telah menegaskan terhadapnya, sehingga mereka dengan hal itu mengikuti perintah UUD bukan perintah Allah. Dan kalau kenyataannya tidak demikian, tentulah mereka memberlakukan seluruh syari’at Allah kalau memang masalahnya tidak seperti itu. Kemudian sesungguhnya hukum-hukum yang mereka klaim bahwa itu berasal dari syari’at adalah di awal dan di akhir diatur oleh UUD yang mengendalikan undang-undang seluruhnya, dimana semua qawanin (undang-undang buatan) difahami dan dijelaskan berdasarkan prinsip-prinsip kafir UUD dan menurut garis-garis yang sekuler.
Saya katakan: Namun demikian, maksud kami dengan meninggalkan jenis hukum disini bukanlah meninggalkan keumuman hudud dan hukum-hukum syar’iyyah, akan tetapi barangsiapa meninggalkan satu jenis hukum atau satu had darinya, maka dia kafir dengan kufur keberpalingan dan pembelakangan atau (kufur) keengganan dan penolakan dari (melaksanakan) had itu keadaanya seperti keadaan orang yang meninggalkan satu jenis shalat, umpamanya seperti shalat Ashar, maka saya tidak mengira bahwa seorang dari salaf akan menyelisihi dalam kekafiran orang dalam gambaran ini. Dan darinya engkau mengetahui ketergesa-gesaan penulis di dalam ucapannya hal 523: “Kesalahan yang Al Hudlaibiy terjatuh ke dalamnya sungguh telah terjatuh pula di dalamnya mayoritas orang-orang masa kini secara taqlid dalam hal itu kepada Ibnu Abil ‘Izz dalam syarahnya terhadap Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah dan kepada Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin, sedangkan ucapan-ucapan mereka itu semuanya tidak ada dasarnya dan tidak berdiri di atas dalil yang mu’tabar (dianggap)”. Selesai.
Dan yang shahih adalah bahwa rincian para imam adalah benar pada tempatnya. Dan bahwa kesalahan yang terjatuh kedalamnya mayoritas orang-orang masa kini adalah pencampuradukan mereka terhadap ucapan-ucapan para imam tentang meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Allah turunkan dengan bentuk gambaran yang lalu, dengan bentuk gambaran pemutusan dengan selain apa yang Allah turunkan yang bersifat kethaghutan lagi pembuatan hukum pada zaman kita ini]. Selesai ucapan Al Maqdisiy. Jadi (kekeliruan,ed.) orang-orang masa kini adalah menerapkan syarat juhud pada gambaran yang mana salaf tidak mensyaratkannya, yaitu pemutusan dengan undang-undang buatan. (Pent)
7, 8 Lihat catatan kaki sebelumnya. Dan yang shahih adalah ada qadli yang ke tiga, yaitu yang fasiq lagi zhalim yang gambarannya sudah disebutkan di atas, bahkan penulis sendiri mengakui keberadaannya pada penuturan (tentang,ed.) qadli paling pertama yang aniaya yang pernah ada (pent.)
0 komentar: