Sudah ma’lum pada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah kebolehan qital bersama amir yang fajir untuk menghadang musuh yang kafir bila tidak ada amir yang shalih untuk menghadangnya dan jihad tidak mungkin dilaksanakan kecuali bersama si fajir itu. Masalah ini adalah masyhur pada Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dan penyebutannya telah berulang kali pada mereka di kitab-kitab fiqh bahkan di kitab-kitab aqidah, di mana mereka dengannya menyelisihi ahli bid’ah, dan ia adalah masalah yang dibangun di atas kaidah penolakan mafshadah terbesar dari dua mafshadah yang menanggung yang paling kecil dari keduanya, sedang ia adalah kaidah yang terkenal dari kaidah-kaidah fiqh.
Waqafat Ma’a Tsamaraatil Jihad Bainal Jahli Fisy Syar’i Wal Jahli Bil Waqi’ (Merenung Sejenak Atas Hasil-hasil Jihad, Antara Kebodohan Akan Syari’at dan Kebodohan Akan Realita) Renungan ke-11
Karya: Asy Syaikh Al Mujahid Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy Fakallahu ‘Asrah
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Fakallahu ‘Asrah
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah berkata dalam Al Fatawa 28/506: (Di antara prinsip Ahlus sunnah Wal Jama’ah adalah berperang bersama setiap (amir) yang baik dan fajir (buruk), karena sesungguhnya Allah menguatkan dien ini dengan orang yang fajir dan dengan orang-orang yang tidak memiliki bagian sedikitpun sebagaiman hal itu telah dikabarkan oleh Nabi saw, karena bila perang tidak terlaksana kecuali bersama para amir yang fajir atau bersama pasukan yang banyak fujur (maksiat) nya, maka sesungguhnya mesti terjadi salah satu dari dua hal: meninggalkan jihad bersama mereka, sehingga mesti dari hal itu penguasaan orang-orang lain yang mana mereka itu lebih bahaya dalam agama dan dunia, atau berperang bersama amir yang fajir sehingga dengan hal itu terhindarlah bahaya yang paling besar dan tegaklah mayoritas ajaran islam meskipun tidak bisa menegakkan seluruhnya, maka inilah hal yang wajib dalam gambaran ini dan setiap gambaran yang menyerupainya, bahkan dari peperangan yang terjadi setelah khulafaurrasidin tidak terjadi kecuali atas gambaran ini). Selesai.
Dan Ath-Thahawiy berkata: (…Haji dan jihad berjalan bersama para pemerintah dari kaum muslimin, baik maupun buruk, sampai hari kiamat, tidak ada sesuatupun yang menggugurkannya dan membatalkannya), selesai.
Dan diriwayatkan dalam hal itu hadits dengan lafad: [Jihad itu berlangsung bersama (amir) yang baik dan yang fajir]. Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Abu Ya’la secara marfu’ dan mauquf dari Abu Hurairah, dan Ibnu Hajar berkata dalam fathul Bariy: (Para perawinya tidak bermasalah akan tetapi makhul tidak mendengar dari Abu Hurairah).
Sebagaimana yang telah saya katakan (bahwa) ini adalah hal yang sudah diketahui pada Ahlus sunnah Wal Jama’ah yang telah membangun di atasnya banyak dari para pemuda mereka di zaman kita ini keikutsertaan mereka di banyak front peperangan, akan tetapi masalah yang samar terhadap banyak dari para pemuda itu dan yang ingin saya ingatkan di sini adalah keberadaan yang dimaksud dengan amir yang fajir yang mana ahlus sunnah membolehkan ghazwah (invasi) dan qital bersamanya dalam rangka menghadang musuh yang kafir pada kondisi ketidakmungkinan penghadangannya kecuali dengan perang bersama amir fajir itu….
Saya katakan: yang dimaksud dengan fajir di sini adalah orang yang keburukan (maksiatnya) kembali terhadap dirinya sendiri, seperti orang yang melakukan sebagian maksiat semacam minuman khamar dan kefasikan lainnya yang tidak membahayakan kaum muslimin, maka inilah amir yang dimaksud dengan orang yang mana ahlus sunnah membolehkan perang bersamanya dan sabar pada kafajirannya untuk menghadang musuh yang kafir, dengan dalil penyadaran mereka dalam hal itu terhadap kaidah penolakan salah satu mafsadah yang terbesar dengan menanggung yang paling ringan di antara keduanya, maka itu adalah jelas bahwa syarat kebolehan perang bersama amir yang fajir itu dikatakan terhadap keberadaan mafsadahnya itu adalah secara pasti lebih ringan dari mafsadah orang kafir itu, dan oleh sebab itu mafsadahnya dipikul untuk menghadang mafsadah yang lebih besar darinya.
Berbeda halnya seandainya kefajiran si amir dan bahayanya itu menularkan pengrusakan terhadap kaum muslimin, sehingga mafsadah pengangkatan dia sebagai amir atau berperang bersamanya adalah sama setara atau lebih besar dari mafsadah meninggalkan perang melawan orang-orang kafir maka si fajir ini bukanlah sama sekali yang dimaksud oleh Ahlus sunnah dalam ucapan mereka itu.
Seandainya engkau mengamati ucapan-ucapan mereka dalam bab ini dan kaidah yang lalu yang menjadi pijakan mereka dalam hal itu, tentulah engkau sedikitpun tidak akan ragu dalam pemilahan ini, oleh sebab itu tatkala Imam Ahmad ditanya tentang dua laki-laki, keduanya adalah amir dalam peperangan, salah satunya kuat lagi fajir, sedangkan yang lain adalah shaleh lagi lemah, bersama yang mana perang dilakukan? (…Maka beliau berkata: adapun orang fajir yang kuat, maka kekuatannya adalah bagi kaum muslimin sedangkan kefajirannya adalah terhadap dirinya, dan adapun orang yang shaleh namun lemah makan kesalehannya adalah bagi dirnya sendiri, sedangkan kelemahannya adalah merugikan kaum muslimin maka perang dilakukan bersama orang yang kuat lagi fajir, dan sungguh Rasulullah saw telah bersabda: ”…Sesungguhnya Allah menguatkan dien ini dengan laki-laki yang fajir dan dengan orang-orang yang tidak memiliki sedikitpun bagian……), selesai, dari Majmu Al Fatawa 28/255.
Perhatikanlah ucapan imam Ahmad tadi “sedangkan kefajirannya adalah terhadap dirinya “ agar kamu paham tentang siapa para ulama berbicara …
Dan seperti itu pula apa yang diutarakan ibnu Qudamah tentangnya dalam Al Mughniy (bila si panglima itu dikenal suka minum khamr dan ghulul (mencari ganimah sebelum dibagi-bagi), maka tetap berperang bersamanya, karena hal itu hanyalah kembali pada dirinya sendiri, dan diriwayatkan dari Nabi saw bahwa Allah menguatkan dien ini dengan laki-laki yang fajir), selesai.
Bila hal ini terbukti jelas dan diketahui bahwa permasalahan qital bersama amir yang fajir pada kondisi ketidakadaan orang yang baik untuk menghadang orang kafir adalah dibatasi dengan batasan ini, yaitu keberadaan keburukannya kembali terhadap dirinya sendiri dan tidak meghantarkan pada pengrusakan dalam kaum muslimin, dan keberadaan kerusakan yang bisa muncul dengan sebab pengangkatan dia sebagai amir adalah lebih kecil daripada kerusakan orang-orang kafir dan penguasaan mereka atas kaum muslimin. Dan bahwa pada kondisi keberadaan kerusakan si amir yang fajir dan bahayanya terhadap kaum muslimin itu sama setara dengan bahaya orang-orang kafir dan dengan penguasaan mereka terhadap kaum muslimin atau malah lebih; maka tidak ada satupun alasan baik secara syar’iy maupun akal yang melegalkan qital (perang) bersama orang fajir ini, karena kaidah yang mana hukum itu dikaitkan terhadapnya adalah tidak tepat untuk diterapkan terhadapnya, di mana ia tidak merupakan mafsadah yang paling ringan sehingga bisa dipikul untuk menghadang yang lebih tinggi….
Saya katakan: bila hal ini telah terbukti jelas, maka lebih utama lagi untuk tidak dimasukkan dalam kaidah ini dan tidak dicantumkan di dalamnya orang-orang dungu dari kalangan umara yang meraih kekuasaan dan tahtanya di atas kepala-kepala para syuhada dan di atas darah parah pendekar seraya mereka itu mengumumkan secara terang-terangan dan tanpa sungkan-sungkan tentang paham mereka, pemikiran mereka dan rancangan-rancangan mereka ke depan dalam pemerintahan yang menganut system kafir “ Demokrasi “ atau menjalin persaudaraan dan loyalitas dengan para thoghut arab dan ‘ajam atau yang bersatu bersama mereka dalam organisasi-organisasi internasional mereka yang kafir, dan merengek-rengek memohon pengakuan dunia internasional !!
Dan bagi mereka itu tidak apalah menggerakkan emosional perasaan para pemuda dengan seruan yang bercelupkan atau kalau mau silahkan katakan berkulitkan islamiy untuk menggaet para pemuda itu ke barisan perlawanan mereka dan menarik mereka ke kamp-kamp mereka serta menguasai terhadap sokongan dan bantuan dana mereka.
Para dajjal (penipu) itu atau katakan saja para pencopet itu tidak ragu lagi menurut saya bahwa mereka itu tergolong para imam yang menyesatkan atau para dajjal yang mana Nabi saw telah mengabarkan umatnya tetang mereka dan menghati-hatikannya dari mereka, karena mereka itu termasuk bangsa kita dan berbicara dengan lisan kita serta menggunakan ungkapan-ungkapan kita, ayat-ayat kita dan hadits-hadits kita saat mereka butuh akan itu; kemudian bila mereka telah mendapatkan tujuannya dan mereka telah mencapi maksudnya, maka mereka pura-pura melupakan kita, darah-darah kita dan jihad kita dan mereka membuka topeng-topeng mereka dari wajah-wajah mereka yang busuk dan hati mereka yang dengki terhadap jihad dan para mujahidin serta mereka menjual jihad dan mujahidin dengan harga yang amat murah berupa jabatan – jabatan yang hina lagi rendah…..
Seandainya para pemuda itu mengamati pernyataan-pernyataan mereka di awal mula terutama pernyataan-pernyataan yang dengannya mereka medekatkan diri kepada saudara-saudara dan wali-wali mereka yang kafir dari kalangan para thoghut, atau wali-walinya atau lembaga-lembaganya, dan (seandainya para pemuda itu) tidak menutup akal mereka terhadap kelihaian mereka berupa seruan agama yang dibuat-buat, tentulah permainan-permainan mereka itu tidak akan tersamar atas para pemuda umat ini dan tentu tidak akan terkecoh dengannya atau terpukul setelah nasi menjadi bubur…Padahal orang mu’min itu cerdas dan lihai dan ia wajib menjaga ruh ini, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam hal ruh ini dan jangan sampai ia melenyapkannya kecuali saat yakin bisa membela dien yang agung ini. Ia tidak memiliki banyak ruh yang bisa ia coba di sana dan di sini, namun ia itu hanya satu ruh saja, maka hendaklah ia pelit dengannya dan jangan sampai ia menyerahkannya kepda para dajjal itu atau ia melenyapkannya di jalan mereka, dan hendaklah ia selalu ingat bahwa tidak satu nabipun melainkan ia telah menghati-hatikan umatnya dari dajjal sebagaimana Nabi saw telah menghabarkan akan hal itu, dan bahwa beliau saw telah mewasiatkan kita agar meminta perlindungan dari fitnahnya di penghujung setiap shalat, dan itu semua tidak lain sebagaimana yang dikatakan Syaikhul islam adalah karena jenis fitnahnya, kebusukannya dan penipuannya adalah ada di setiap zaman, maka hendaklah kita hati-hati terhadapnya.
Dan di sisi yang berlainan dengan tafrith yang terjatuh ke dalamnya banyak para pemuda islam hari ini, di mana mereka tertipu oleh para dajjal itu dan mereka memejamkan mata dari kebobrokan dajjal-dajjal itu yang terbuka dan pernyataan-pernyataan mereka yang busuk serta hubungan-hubungan mereka yang kotor dengan para thoghut dan kaki tangan mereka, dan para pemuda itu tergiring di belakang slogan-slogan mereka yang palsu terus mereka berperang di bawah panji-panji mereka dengan dalih kebolehan perang di bawah kepemimpinan yang fajir, kemudian naik di punggung-punggung mereka orang-orang bejat yang telah menghianati apa yang mereka janjikan dan menghempaskan janji-janji mereka untuk menegakkan syari’at Allah dan komitmen dengan menhaj Allah…
Saya katakan; di sisi yang berlainan dengan tafrith ini sungguh sebagian pemuda telah ifrath dalam bab ini dan mereka bersikap ghuluw di mana mereka melarang dari ikut berperang bersama komandan-komandan dan atau di barisan-barisan perlawanan karena sebab sebagian cacat yang tidak sampai pada tingkat fujur (kemaksiatan) yang membahayakan kaum muslimin, dan kerusakan-kerusakannya tidak bisa dibandingkan dengan kerusakan-kerusakan penguasaan orang-orang kafir dan sama sekali tidak mendekatkannya baik dari dekat ataupun dari jauh.
Sampai berita kepada saya bahwa sebagian pemuda menolak dan enggan dari bergabung di bawah bendera mujahiddin terbaik dan pilihan di zaman kita ini dengan dalih penyelisihan mereka terhadap sebagian apa yang dibawa oleh para pemuda itu berupa ijtihad-ijtihad yang padahal lapang perselisihan di dalamnya, atau dengan dalih penolakan mereka untuk komitmen dengan metode pendidikan tertentu yang diusulkan para pemuda itu dan mereka pilih dari tulisan-tulisan sebagian para syaikh serta alasan-alasan dan dalih-dalih lainnya yang tidak syar’iy yang tidak halal jihad kaum muslimin melemah dengan sebabnya atau upaya-upayanya dan kemampuan-kemampuan kaum muslimin berserakan karenanya.
Akhirnya kami menyimpulkan uraian yang lalu pada point-point berikut ini:
Pertama: Wajib atas mujahidin membedakan antara keberadaan amir yang fajir atau kamp yang fajir atau Negara yang fajir sebagai realita yang ada sebelumnya (tidak bisa dihindari), dengan keadaan bila pilihan itu ada di tangan mujahidin dan kesempatannya sangat luas maka tidak halal bagi mereka – sedang keadaannya seperti itu – perang di bawah kepemimpinan orang fajir atau memilihnya sebagai amir atas mereka bagaimanapun keadaannya. Jadi masalah qital bersama amir yang fajir itu hanyalah menjadi kebolehan pada kondisi tidak ada lagi yang lainnya dari kalangan orang-orang yang baik atau pada kondisi kelemahan mereka.
Kedua: Wajib atas mereka membedakan antara amir yang fajir yang keburukannya terbatas pada dirinya dengan orang yang keburukan dan bahayanya merembet kepada islam dan kaum muslimin di mana mafsadah dan bahaya dia terhadap kaum muslimin adalah lebih besar dan mafsadah orang-orang kafir atau menyertainya. Maka yang pertama adalah yang dibolehkan Ahlus sunnah untuk berperang di bawah panjinya dalam rangka menghadang mafsadah orang-orang kafir yang lebih besar dari mafsadah dia. Sedangkan yang kedua maka Ahlus sunnah tidak membolehkan perang bersamanya dan mereka tidak memaksudkannya dalam masalah ini; karena kaidah yang dibangun di atasnya masalah pensyari’atan perang bersama amir yang fajir yaitu penghindaran mafsadah terbesar dengan memikul yang paling ringan tidak cocok atasnya.
Ketiga: Wajib para mujahidin itu sadar dan ingat bahwa bila amir yang fajir semacam ini dan dia itu tidak kafir akan tetapi mafsadahnya melebihi mafshadah orang-orang kafir atau menyamainya maka sesungguhnya kaidah tersebut adalah tidak tepat terhadapnya dan tidak halal berperang bersamanya; maka apalagi tidak ada artinya untuk perang bersama amir yang terang-terangan dengan bid’ah mukaffirah atau secara tegas memilih system kafir atau hukum jahiliyyah….dan ringkas bahasan harus menjauhi ifrath dan tafrith dalam bab ini.
Kita menjauhi tafrith, sehingga kita tidak mengaborsi jihad kaum muslimin atau menggugurkan hasil-hasilnya dan menjadikannya sebagai tangga bagi dajjal-dajjal dan para imam yang menyesatkan, di mana di atasnya mereka naik ke posisi-posisi dunia mereka dan itu dengan melegalkan qital di bawah bendera-bendera munafiq yang busuk yang mengisyaratkan atau terang-terangan menganut system-sistem kafir di saat sudah berkuasa, atau menganut bid’ah-bid’ah mukaffirah dan isme-isme yang membatalkan agama islam dan ikatannya yang paling kokoh, dengan klaim perang dibawah kepemimpinan amir yang fajir, sehingga akhirnya kita memasukan ke dalam masalah ini apa yang tidak dikandungnya dan memuatkan ke dalamnya apa yang tidak ada di dalamnya….
Dan kita menjauhi ifrath, sehingga kita tidak mengembosi ikhwan kita yang berjihad dengan cara menggugurkan kaidah ini dan membatalkannya dengan cara kita mensyaratkan untuk berperang bersama mereka syarat-syarat yang tidak Allah turunkan satu dalilpun, umpamanya kita mensyaratkan bersihnya barisan-barisan mereka dan kosongnya dari pelaku maksiat sedangkan ia adalah hal yang tidak bisa tercapai kecuali dalam apa yang telah dikabarkan oleh Nabi saw saat keluarnya Al Mahdiy di akhir zaman dan terpilahnya manusia menjadi dua tenda, tenda iman yang tidak ada kemunafikan di dalamnya dan tenda nifaq yang tidak ada keimanan di dalamnya.
Karena telah lalu ucapan Syaikhul islam tentang perang bersama amir yang fajir: [bahkan banyak dari peperangan yang terjadi setelah khulafa rasyidin tidaklah terjadi kecuali atas bentuk ini].
Atau kita mensyaratkan mereka komitmen dengan ijtihad-ijtihad atau pilihan-pilihan kita yang boleh saja berselisih di dalamnya, atau mengharuskan mereka untuk menerima pikiran-pikiran dan ide-ide kita secara rinci tanpa kecuali, dan kalau tidak menerima maka tidak ada perang, sehingga dengan hal itu kita mengebosi mereka atau menyia-nyiakan sebagian kesempatan untuk menang dan tamkin (keberkuasaan di muka bumi), dengan sebab sempitnya pandangan kita dan buruknya pemahaman kita…
Sedangkan dalam Al Bukhariy ada bab (jihad itu berlangsung bersama orang yang baik dan orang yang fajir). Dan di dalamnya ada sabda Nabi saw (kuda itu terikat pada ubun-ubunnya kebaikan sampai hari kiamat, pahala dan ghanimah).
Maka dalam hadits ini dan hadits (Akan senantiasa segolongan dari umatku berperang di atas al haq sampai hari kiamat) ada kabar gembira tentang tetapnya keberadaan mujahidin dan keberlangsngan terus jihad serta ia tidak tergugurkan walaupun berbagai kondisi yang menimpa sampai hari kiamat.
Maka hendaklah kita tetap bersatu sebagai saudara-saudara yang saling mencintai, dan hati-hatilah dari perpecahan dan absen dari kafilah dengan alasan-alasan yang kosong.
“Dan barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”, (Al Ankabut: 6).
Dikutip dari kitab:Waqafat Ma’a Tsamaraatil Jihad Bainal Jahli Fisy Syar’i Wal Jahli Bil Waqi’ (Merenung Sejenak Atas Hasil-hasil Jihad, Antara Kebodohan Akan Syari’at dan Kebodohan Akan Realita) Renungan ke-11
Karya: Asy Syaikh Al Mujahid Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy Fakallahu ‘Asrah
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Fakallahu ‘Asrah
0 komentar: