Rincian Orang yang Nyoblos

AL MAQDISIY BERKATA:
Sikap Ghuluw Dalam Takfier
Takfier Semua Orang Yang Ikut Serta Di Dalam Nyoblos Tanpa Rincian
Dan termasuk kekeliruan yang menyebar di dalam takfier juga adalah sikap mengkafirkan semua orang yang memberikan suara dalam pemilihan para anggota Parlemen dan bahkan dalam pilkada dan yang lainnya tanpa pemberian rincian dan tanpa mempertimbangkan qashd (maksud tujuan) dan khatha’ (kekeliruan maksud), dan tanpa penegakkan hujjah.
Sesungguhnya banyak para para pemuda yang terlalu bersemangat, mereka mengkafirkan semua individu orang-orang yang ikut nyoblos dalam pemilihan para anggota parlemen legislative atau di dalam pilkada, tanpa memperhatikan udzur ketidaktahuan (terhadap makna dan hakikat demokrasi) yang melahirkan intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud terhadap perbuatan atau ucapan yang mukaffir) yang dipertimbangkan di dalam masalah takfier.

Adapun pilkada: Maka kekafiran di dalamnya adalah tidak nampak jelas dan nyata di hadapan mayoritas manusia, sedangkan apa yang dikandungnya berupa pelegalan dan pemberian izin baru bagi tempat-tempat khamr dan tempat-tempat pelacuran di sebagian wilayah negeri; adalah tidak diketahui oleh mayoritas orang-orang yang ikut serta di dalam intikhaab (pemberian suara), dan banyak para calon kepala daerah yang berasal dari kalangan yang mengaku islam tidak kemitmen dengan hal tersebut, sebagaimana hal itu diketahui dari mereka oleh orang-orang yang menggeluti realita yang ada; di mana mereka tidak memberikan izin oprasi untuk hal-hal seperti itu dan mereka tidak memperbaharui izin oprasinya; di mana hal semacam ini adalah yang menjadikan banyak masyarakat terpedaya oleh mereka dan ikut serta di dalam memilih mereka. Sehingga menyamakan orang-orang yang ikut serta di dalam pemilihan mereka ini dengan orang-orang yang ikut serta di dalam pemilihan para anggota parlemen legislative adalah sikap yang dhalim dan aniaya.
Dan adapun parlemen; maka orang yang melihat dengan mata yang obyektif terhadap masyarakat pemilih; maka dia melihat bahwa perbuatan ini adalah termasuk hal-hal yang  tersamar maksud tujuan di dalamnya pada banyak orang-orang awam yang tidak mengetahui dari parlemen-parlemen ini kecuali pelayanan-pelayanan sosial yang akan sampai ke tangan mereka lewat para  anggota legislative itu. Di mana engkau melihat banyak dari mereka berinteraksi dengan parlemen itu seolah ia adalah lembaga-lembaga untuk pelayanan sosial atau mereka itu adalah wakil-wakil untuk pemberian pelayanan. Sering sekali kita melihat di antara mereka orang yang ditandu atau dibawa di atas korsi roda; seperti wanita tua atau kakek-kakek lanjut usia atau yang lainnya yang terputus dari dunia realita dan mereka tidak mengetahui sedikitpun (hakikat) tentang parlemen itu. Dan ada di antara mereka yang diantar ke TPS untuk memilih putera-putera daerahnya agar ikut andil di dalam perbaikan, pembenahan dan memajukan daerahnya, atau untuk menghilangkan  kezaliman dari mereka atau meringankannya, atau untuk berupaya membebaskan sebagian putera-putera mereka yang sedang dipenjara, dan hal serupa itu yang bisa disaksikan lagi diketahui oleh orang yang mengetahui realita yang ada.
Dan di antara mereka ada yang didatangkan, kemudian dia melihat pamplet-pamplet yang menarik yang ditulis dengan tulisan yang besar “Islam Adalah Solusinya” serta selogan-selogan lainnya yang dengannya para caleg yang musyrik itu memperdaya kaum muslimin yang awam, sehingga mereka memilihnya sebagai kecintaan kepada Islam dan sebagai bentuk kesetiaan kepada syari’atnya, sedangkan mereka itu tidak mengetahui atau tidak memaksudkan kepada cara yang syirik lagi tertutup yang akan dilalui oleh para anggota dewan itu untuk memberlakukan sebagian huduud syar’iyyah –menurut klaim mereka-. Maka semua ini wajib dipertimbangkan dalam menyikapi orang-orang yang tidak terjun langsung di dalam pembuatan hukum, atau tidak ikut di dalam sumpah setia kepada undang-undang yang kafir, atau tidak berhakim kepadanya atau ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan kekafiran lainnya yang dilakukan langsung oleh para anggota legislative itu. Sedangkan sudah maklum bahwa orang yang sekedar ikut memilih itu tidak melakukan hal itu semuanya dan tidak terjun langsung ke dalamnya,[1] namun ia hanya sekedar memilih orang yang dia pilih sebagai wakilnya.
Bila si pemilih itu memaksudkan dengan pencoblosannya itu untuk memilih orang-orang yang akan melakukan perbuatan-perbuatan mukaffirat yang nyata  ini, maka status dia itu sama dengan status orang yang dia pilih, karena status hukum orang yang menopang di belakang adalah sama dengan status hukum orang yang terjun langsung, sehingga selama dia itu adalah penopang di belakang baginya di dalam tujuan tersebut, maka status dia adalah sama dengan status wakilnya.
Namun bila banyak pengkaburan seputar suatu urusan yang tidak dikenal dan tidak jelas bagi setiap orang –yaitu hakikat tugas para anggota dewan dan mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan)  yang akan mereka lakukan secara langsung), dan si orang itu termasuk orang yang bisa saja samar atas dia hal tersebut dan tidak mengetahuinya, terus dia memilih wakilnya itu seraya memaksudkan (sesuai pengetahuannya) agar si wakil rakyat itu menunaikan baginya atau bagi marganya atau bagi daerahnya pelayanan sosial, di mana dia itu (karena tidak mengetahui hakikatnya) tidak memaksudkan untuk mengangkat wakil yang akan melakukan perbuatan mukaffirat tersebut, maka dia itu adalah orang yang salah maksud lagi tidak menyengaja kepada perbuatan-perbuatan mukaffirat yang akan dilakukan oleh para anggota legislative itu saat dia memilih mereka.
Oleh sebab itu tidak halal bertindak cepat-cepat mengkafirkan orang-orang semacam dia itu sebelum penegakkan hujjah dan pemberian penjelasan kepadanya tentang hakikat  pekerjaan para anggota legislative itu dan apa yang mereka lakukan berupa kekafiran-kekafiran yang membatalkan keislaman dan ketauhidan. Kemudian bila dia bersikukuh untuk memilih mereka setelah itu maka dia dikafirkan.
Jadi harus memberikan rincian prihal status orang-orang yang ikut mencoblos di dalam pemilu ini, antara orang yang memaksudkan memilih orang yang akan membuat hukum, dengan orang yang ( karena ketidaktahuannya terhadap hakikat pemilu dan demokrasi) tidak memaksudkan hal itu, namun dia justeru memaksudkan untuk memilih hal lain di luar orang yang membuat hukum. Sehingga orang macam kedua ini tidaklah dikafirkan kecuali setelah ditegakkan hujjah terhadapnya, karena sesungguhnya dia itu walaupun secara dhahir melakukan perbuatan yang mukaffir menurut orang yang tidak mengetahui maksud tujuannya, akan tetapi kesamaran dan keterkaburan makna serta keberadaan bahwa demokrasi dan parlemen itu adalah hal baru dan kalimat asing yang hakikat maknanya tersamar atas banyak masyarakat; maka hal itu menjadikan sebagian manusia maju melakukan suatu perbuatan yang tidak dia ketahui makna yang sebenarnya. Dan dia itu termasuk macam orang yang melontarkan suatu kata atau mengucapkan suatu ucapan yang tidak diketahui maknanya. Dan dalam hal ini para ulama menyatakan bahwa orang semacam ini tidaklah diberikan sangsi dengan sebab hal itu sampai dia diberitahu tentang maknanya serta ditegakkan hujjah terhadapnya. Di dalam Kitab Qawaa’idul Ahkaam Fii Mashaalihil Anaam 2/102 ada (Pasal: Orang yang melontarkan suatu kata yang tidak dia ketahui maknanya adalah tidak dikenakan sangsi dengan sebabnya) Al ‘Izz Ibnu Abdissalam rahimahullah berkata:( Bila orang ‘ajam mengucapkan kalimat kekafiran atau iman atau thalaq atau pemerdekaan budak atau penjualan atau pembelian atau perdamaian atau pembebasan tanggungan, maka dia itu tidak dikenakan sangsi hukum apapun dari hal-hal itu, karena dia itu tidak mengkomitmeni konsekuensinya serta tidak memaksudkan kepadanya. Dan begitu juga bila seorang arab mengucapkan hal-hal yang menunjukan terhadap makna-makna ini dengan bahasa ‘ajam yang tidak dia ketahui maknanya, maka dia itu tidak dikenakan sangsi hukum apapun dari hal-hal itu, karena dia itu tidak menginginkannya, sedangkan keinginan itu tidaklah tertuju kecuali kepada suatu yang  diketahui atau diduga. Dan bila  si orang arab itu memaksudkan (kepada hal itu) dengan pelontaran ucapan-ucapan tersebut sedangkan dia itu mengetahui maknanya, maka konsekuensi hal itu berlaku darinya (sah). Namun bila dia tidak mengetahui makna-maknanya, umpamanya si orang arab itu mengatakan kepada isterinya: Kamu ini terthalaq sesuai sunnah atau bid’ah” sedangkan dia itu tidak mengetahui makna kedua kata tersebut, atau dia mengucapakan kata khulu’ atau yang lainnya atau rujuk atau nikah atau pemerdekaan budak, sedangkan dia itu tidak mengetahui maknanya padahal dia itu orang arab, maka sesungguhnya dia itu tidak dikenakan sangsi hukum apapun dari hal-hal itu, karena dia tidak memiliki pengetahuan rasa terhadap makna yang dikandung oleh kata-kata itu sehingga dia bisa memaksudkan kepada kata yang menunjukan terhadapnya). Selesai
Saya berkata: Hal ini di zaman kita adalah seperti orang yang tidak mengetahui makna dan muatan demokrasi, terus dia memujinya seraya menduga – seperti yang diketahui banyak orang awam- bahwa ia itu adalah hanyalah lawan dari penindasan, otoriter dan perampasan kemerdekaan dan hak serta hal lainnya, sehingga orang semacam itu tidak boleh dikafirkan sampai diberitahu bahwa demokrasi itu adalah hukum rakyat untuk rakyat atau kekuasaan rakyat bukan kekuasaan Allah saja. Dan selagi hal itu belum diberitahukan kepadanya, maka dia itu tidak memiliki perasaan terhadap kandungan kekafiran yang ada di dalamnya sehingga dia bisa memaksudkan kepadanya.
Ucapan yang serupa dengan ucapan Al ‘Izz adalah ucapan Ibnul Qayyim di dalam I’lamul Muwaqq’iin 4/229: (Seandainya seorang wanita berkata kepada suaminya yang tidak paham bahasa arab dan tidak memahaminya: Katakan kepada saya “Anti Thaliqun tsalatsan”[2]! Sedangkan si suami tidak mengetahui muatan ucapan ini, sehingga kemudian mengucapkannya kepada isterinya itu, maka si wanita itu tidak jatuh sama sekali thalaq kepadanya di dalam hukum Allah ta’alaa dan Rasul-Nya. Dan begitu juga seandainya seorang laki-laki berkata kepada seseorang ” Saya adalah budakmu dan hamba sahayamu” dalam rangka ketundukan kepadanya sebagaiamana yang sering diucapkan oleh banyak orang, maka tidak halal dia dianggap budaknya dengan sebab ucapannya itu. Sedangkan orang yang tidak mempertimbangkan maksud dan niat serta kebiasaan di dalam pembicaraan, maka sikap itu mengharuskan dia untuk membolehkan menjual orang yang berbicara tadi dan memperbudaknya dengan sekedar ucapannya ini. Dan ini adalah pintu yang besar yang terjatuh di dalamnya mufti yang jahil, sehingga dia menipu manusia, dia berdusta atas Nama Allah dan Rasul-Nya, dia merubah agama-Nya, mengharamkan apa yang tidak Allah haramkan serta mewajibkan apa yang tidak Allah wajibkan. Wallaahul musta’aan). Selesai.
Dan berkata juga di dalamnya (3/117): (Sesungguhnya Allah ta’alaa telah meletakkan kata-kata di antara hamba-hamba-Nya sebagai pengenal dan penunjuk terhadap apa yang ada di dalam diri mereka, di mana bila seseorang menginginkan sesuatu dari orang lain, maka dia memperkenalkan keinginannya dan apa yang ada di dalam dirinya kepada orang itu dengan ucapannya, dan Allah membangun hukum-hukumnya di atas tujuan-tujuan dan keinginan-keinginan tersebut dengan lewat perantaraan kata-kata itu. Dan Allah tidak menetapkan hukum-hukum itu di atas sekedar apa yang ada di dalam jiwa tanpa dilalah perbuatan atau ucapan, dan tidak juga di atas sekedar kata-kata saat si pembicara tersebut tidak memaksudkan dengannya kepada maknanya dan dia itu tidak mengetahui maknanya tersebut, justeru Allah mengampuni dari umat ini apa yang dibisikan oleh jiwa-jiwanya selagi tidak melakukannya atau mengucapkannya, dan Dia pun mengampuni bagi umat ini apa yang dikatakannya seraya mereka keliru (salah lidah) atau lupa atau dipaksa atau tidak mengetahui maknanya, bila tidak meniatkan kepada makna ucapan yang dikatakan  atau (tidak) memaksudkan kepadanya. Dan bila terkumpul maksud (qashd) dengan dilalah ucapan atau perbuatan, maka hukumpun terbangun di atasnya, ini adalah kaidah di dalam syari’at ini, dan ia itu termasuk tuntutan keadilan Allah, hikmah-Nya dan rahmat-Nya). Selesai.
Guru beliau yaitu Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: (Sesungguhnya orang muslim bila memaksudkan makna yang shahih di dalam hak Allah ta’alaa dan Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam, sedang dia itu tidak mengetahui dilalah (indikasi/apa yang ditunjukan) kata-kata, terus dia melontarkan suatu kata yang dia kira menunjukan terhadap makna (yang shahih) itu, padahal ia itu menunjukan terhadap makna yang lain, maka sesungguhnya dia itu tidak kafir).
Dan beliau berkata:( Allah ta’alaa telah berfirman”Janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):Raa’inaa.” Dan ungkapan ini adalah tergolong ucapan yang mana orang-orang Yahudi memaksudkan menyakiti Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengannya, sedangkan kaum muslimin tidak memaksudkan hal itu, maka Allah ta’alaa melarang mereka dari (melontarkan)nya, dan Allah tidak mengkafirkan mereka dengan sebabnya). Selesai. (Kitab Ar Raddu ‘Alaal Bakriy hal:341-342).
Dan akan datang di dalam Ash Sharimul Maslul hal 180 di bahasan ke 29 dari kitab ini pemilahan beliau juga antara orang yang berbicara negative tentang Aisyah radliyallaahu ‘anha dalam tragedi Al Ifki (berita bohong) seraya memaksudkan menyakiti Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, menghujatnya, mengotori kehormatannya serta menjatuhkan harga dirinya, dengan orang yang lainnya yang tidak memaksudkan kepada hal itu dengan ucapannya itu; seperti Hissan, Misthah dan Himnah. Beliau berkata: ( Maka sesungguhnya mereka itu tidak memaksudkan kepada hal itu dan tidak mengatakan ucapan yang menunjukan terhadap hal itu). Selesai.
Dan di dalam ucapannya terdapat isyarat bahwa tabayyun (pencarian kejelasan) tentang hakikat maksud tujuan itu bisa diketahui dari dilalah ucapan itu sendiri.
Dan kesimpulan dari penjelasan itu semuanya adalah; Bahwa meskipun sebab-sebab takfier di dunia ini – sebagaimana yang telah lalu- adalah terbatas pada ucapan dan perbuatan yang mukaffir, akan tetapi saat keterkaburan keadaan, berbaurnya berbagai makna dan berbilangnya berbagai kemungkinan dengan sebab keberadaan kondisi ketidaktahuan terhadap hakikat kata-kata dan perbuatan-perbuatan (tertentu), maka harus dilakukan pencarian kejelasan tentang qashd (maksud tujuan) dan pencarian kejelasan maksud dan keinginannya terhadap sebab kekafiran, tidak terhadap sesuatu yang lain.
Dan ia adalah apa yang telah kami ketengahkan kepada anda sebelumnya bahwa kami tidak memaksudkan dengan intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud) itu apa yang disyaratkan oleh orang-orang Murjiah dan Jahmiyyah yaitu berupa keyakinan dan istihlal termasuk di dalam amalan-amalan dan ucapan-ucapan yang mukaffirah!! Atau bahwa orang tidak menjadi kafir kecuali kalau dia bermaksud untuk menjadi orang kafir, yaitu dia itu memiliki keinginan untuk keluar dari dien ini…maka hal ini adalah sangat jarang sekali orang yang memaksudkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam: (Dan secara umum, barangsiapa mengucapkan atau melakukan sesuatu yang merupakan kekafiran, maka dia itu menjadi kafir dengan sebab hal itu, walaupun dia tidak bermaksud untuk menjadi kafir, karena tidak bermaksud untuk menjadi kafir seorangpun kecuali apa yang Allah kehendaki). (Ash Sharimul Maslul (177-178).
Yang kami maksudkan sebagaimana yang telah kami jelaskan berkali-kali adalah memaksudkan amalan yang mukaffir itu sendiri, yaitu sebab kekafiran, baik dia itu berniat untuk keluar dari dien maupun tidak. Karena Allah saat mengkaitkan hukum-hukum syar’iy –yang di antaranya adalah takfier- terhadap sebab-sebabnya, maka Dia tidak menjadikan bagi orang mukallaf kewenangan memilih di dalam membedakan di antara hal-hal itu, akan tetapi kapan saja sebab itu didapatkan dan syarat-syaratnya terpenuhi serta mawani’nya tidak ada, maka hukumpun terbukti ada, walaupun si orang mukallaf itu tidak bermaksud mendatangkan hukum tersebut. Di mana yang dianggap itu adalah maksud mendatangkan ucapan atau perbuatan yang mukaffir, bukan bermaksud untuk kafir.
Dan kami ingatkan di sini, bahwa kami tidak mengudzur para pemilih dengan sebab kejahilan mereka (terhadap hukum) bila mereka memaksudkan dan memilih amalan mukaffir itu sendiri (yaitu pembuatan hukum secara muthlaq sesuai ketentuan UUD, atau sumpah untuk menghormati UUD dan UU) serta kekafiran-kekafiran nyata lainnya, karena ini adalah termasuk hal yang mana orang yang jahil tidak diudzur dengan sebabnya, sebab ia adalah termasuk kemusyrikan yang nyata lagi jelas yang menggugurkan inti tauhid yang dibawa oleh semua rasul, di mana orang yang jahil terhadapnya adalah karena keberpalingan dari mempelajari inti ajaran agama terpenting yang tidak boleh jahil terhadapnya, padahal mempelajarinya sangat mudah dan tidak susah. Sebagaimana tidak ada seorangpun yang berakal tidak mengetahui bahwa pembuatan hukum itu adalah termasuk hak khusus Allah yang wajib disandarkan hanya kepada-Nya, terutama bila kewenangan pembuatan hukum itu adalah secara muthlaq yang tidak mengecualikan sedikitpun dari urusan-urusan dien atau dunia, sebagaimana realita yang ada di mana para thaghut telah menjadikan kewenangan pembuatan hukum itu sebagai hak mereka dan hak para anggota parlemen.
Padahal para ulama telah menegaskan bahwa barangsiapa mengklaim bahwa dirinya itu memiliki hak penghalalan, pengharaman dan pembuatan hukum, maka dia itu telah mengaku sebagai tuhan (rabb), dan bahwa barangsiapa mentaati para ulama dan para umara atau para raja atau yang lainnya di dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan atau di dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau di dalam pembuatan hukum yang tidak Allah izinkan, maka dia itu telah menjadikan mereka itu sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah, karena ketaatan di dalam penyandaran kewenangan pembuatan hukum adalah ibadah, sedangkan penyekutuan Allah di dalam hukum-Nya adalah sama seperti penyekutuan-Nya di dalam ibadah-Nya. Dan para ulama itu berdalil terhadap hal itu dengan banyak dalil, di antaranya firman Allah ta’alaa:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)
Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim serta Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kaum musyrikin mendebat kaum muslimin prihal bangkai, mereka mengatakan: Apa yang disembelih Allah, kalian tidak mau memakannya, sedangkan apa yang kalian sembelih, maka kalian memakannya?? Maka Allah ta’alaa menurunkan ayat tersebut sampai firman-Nya:” dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” maka ini adalah vonis dari Allah ta’alaa bahwa setiap orang yang mentaati orang-orang kafir di dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau di dalam pengharaman apa yang telah Allah haramkan atau di dalam pembuatan hukum yang tidak Allah izinkan, maka dia itu adalah musyrik terhadap Allah. Dan ia itu seperti firman-Nya prihal ahli kitab:
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9] : 31).
Di mana At Tirmidzi dan yang lainnya telah meriwayatkan, dan haditsnya adalah hasan dengan berbagai jalan-jalannya, dari ‘Adi Ibnu Hatim, bahwa ia berkata:( Wahai Rasulullah Kami (maksudnya : dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah beribadah kepada mereka? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya ? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya ?”, lalu ‘Adiy berkata : “Ya !”, maka Rasul berkata : “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”). Dan hadits ini dinilai hasan oleh Syaikhul Islam di dalam Al Fatawa 7/47.
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa mereka itu tidak mengetahui bahwa ketaatan di dalam tahlil dan tahrim itu adalah ibadah, namun demikian mereka itu tidak diudzur dengan sebab kejahilan (terhadap hukum) ini. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hudazifah radliyallaahu ‘anhu bahwa beliau berkata: (Sesungguhnya mereka itu tidaklah shaum untuk mereka dan tidak pula shalat untuk mereka, namun mereka itu bila orang alim dan para pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, maka mereka menganggapnya halal, dan bila mengharamkan atas mereka sesuatu yang telah Allah halalkan, maka merekapun mengaramkannya, maka itulah pentuhanan terhadap mereka).
Bisa saja ada yang mengatakan bahwa pembuatan hukum di dalam bab-bab huduud dan sangsi-sangsi hukum itu tidaklah sejelas dan seterang penghalalan dan pengharaman di dalam penentangannya terhadap syari’at dan penggugurannya terhadap tauhid. Sedangkan pembuatan hukum pada zaman sekarang ini hanyalah berkaitan dengan huduud dan sangsi-sangsi, dan biasanya tidak menyinggung masalah penghalalan dan pengharaman, sehingga tidaklah tepat berdalil dengan dalil-dalil tadi terhadap sikap tidak diudzurnya orang-orang yang mengikuti para pembuat hukum itu, karena dalil-dalil tadi adalah berkaitan dengan ketaatan di dalam penghalalan apa yang sudah diketahui pasti pengharamannya, seperti bangkai, khamr, zina dan riba, sehingga wajib mempertimbangkan kejahilan mereka di dalam macam hukum yang mereka ikuti serta tidak mengkafirkan mereka kecuali setelah penegakkan hujjah.
Tapi pernyataan ini  terbantahkan dengan realita bahwa kewenangan pembuatan hukum yang diberikan kepada para anggota parlemen dan thaghut mereka itu adalah kewenangan yang muthlaq lagi tidak terbatas sebagaimana yang dinyatakan oleh UUD.[3]Sehingga masuk di dalamnya tahlil dan tahrim serta yang lainnya, sedangkan sekedar menerima kewenangan muthlaq semacam ini dan menganggapnya sebagai bagian dari kewenangan dan hak para anggota parlemen adalah cukup untuk mengkafirkannya dan untuk mengkafirkan orang yang memilihnya, baik dia itu terjun langsung menghalalkan dan mengharamkan ataupun tidak, dan baik dia itu membuat hukum di dalam bidang sangsi dan huduud ataupun tidak, serta baik dia itu bersumpah untuk menghormati UUD kafir yang melindungi hak syirik ini dan pasal-pasal kekafiran lainnya ataupun tidak bersumpah. Di mana kewenangan muthlaq pembuatan hukum adalah termasuk hak khusus Allah yang hanya boleh disandarkan kepada-Nya ‘azza wa jalla, dan barangsiapa menyandarkan kewenangan tersebut kepada dirinya atau kepada selain Allah, maka dia itu telah mencari selain Allah sebagai ilaah, rabb dan pemutus hukum, serta dia itu telah mencari selain islam sebagai dien.
Dan juga siapa yang mampu mengklaim bahwa pembuatan hukum yang dengan sebabnya Allah mengkafirkan para pembuat hukum dari kalangan ahli kitab beserta orang-orang yang mengikuti mereka di atasnya itu, semuanya adalah hanya sebatas tahlil dan tahrim..?? yaitu meyakini hal itu sebagaimana syarat takfier yang dilontarkan oleh kalangan penerus paham Jahmiyyah dan Murjiah..!!
Justeru telah terbukti bahwa pembuatan hukum yang mereka lakukan itu, mayoritasnya adalah di dalam bab-bab huduud, sangsi-sangsi dan hak-hak yang bersifat tauqifi (sesuai dalil syar’iy), seperti diyat, sebagaimana di dalam salah satu riwayat sebab turun firman Allah ta’alaa:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir”.(Al Maidah:44)
Yaitu dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu bahwa ia turun prihal dua kelompok dari kaum Yahudi, yaitu Bani Nadlir dan Bani Quraidhah, di mana orang-orang yang terbunuh dari suku Bani Nadlir adalah memiliki kemuliaan lebih, sehingga mereka mendapat diyat secara sempurna, sedangkan Banu Quraidhah itu adalah kasta yang rendah, sehingga mendapatkan hanya separoh diyat. Terus mereka berhakim kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliaupun menjadikan diyat di antara mereka sama saja. Dan hal ini diriwayatkan oleh Al Imam Ahmad, dan atsar ini ada di dalam Tafsir Ibnu Jarir juga.
Dan telah lalu sebab nuzul yang lain di dalam hadits Al Bara Ibnu ‘Azib dalam Shahih Muslim tentang pengrajaman yang dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam terhadap orang yahudi yang berzina. Dan di dalam hadits ini bisa diketahui bahwa kejahatan mereka yang dengan sebabnya ayat-ayat tadi diturunkan adalah sikap mereka mengikuti para pendahulu mereka terhadap had (hukuman) pengganti (syari’at) bagi pezina  yang telah mereka tetapkan. Dan di dalam hadits ini tidak ada pernyataan bahwa mereka itu menghalalkan zina bagi mereka atau mereka menganggapnya halal, di mana seandainya mereka itu menghalalkan zina tentulah mereka tidak membuatkan baginya sangsi apapun, di mana hal yang mubah atau halal adalah tidak ada sangsi terhadap seorangpun karenanya.
Dan juga sesungguhnya huduud syariat islam itu, karena banyaknya hinaan terhadapnya dan sebutan kejam yang dilontarkan orang-orang kafir dan orang-orang murtad terhadapnya, adalah telah menjadi pada zaman kita ini sebagai hal yang tidak samar lagi terhadap orang kafir sekalipun, apalagi bagi kalangan yang mengaku islam.
Semua orang pada hari ini mengetahui, bahwa para thaghut telah membekukan huduud yang suci itu, menggugurkannya dan menggantinya dengan sangsi-sangsi yang ada di dalam undang-undang buatan yang diimpor dari negara-negara kafir.
Sedangkan sudah maklum bahwa pembuatan sangsi-sangsi hukum pengganti dari huduud ini dan perancangannya atau penggulirannya atau penggantiannya, adalah tugas kekuasaan legislative yang berada di tangan para anggota parlemen dan thaghut mereka.
Di samping hal itu, sesungguhnya orang yang mengamati undang-undang buatan yang ada, dia akan melihat bahwa tahlil dan tahrim itu ada juga di dalamnya di dalam berbagai pintu persoalan. Contohnya riba yang pengharamannya sudah maklum di dalam ajaran kaum muslimin, adalah mubah di dalam undang-undang para budak hukum (thaghut), dan ia itu memiliki lembaga-lembaganya yang mendapatkan izin oprasi lagi dilindungi undang-undang serta dijaga oleh aparat-aparatnya.
Begitu juga khamr adalah mubah dan ia memiliki pabrik pembuatannya dan tempat penyajiannya yang diberikan izin untuk menjual dan meminum di dalamnya, dia terjaga dan orang-orangnya melindungi diri dengan undang-undang dan kekuatan aparat hukumnya. Dan begitu juga pelacuran yang dilegalkan dan dilindungi undang-undang.
Dan sebelum itu semuanya adalah kemurtaddan dan kekafiran dengan segala bentuknya, adalah mubah, legal lagi dilindungi undang-undang dengan nama kebebasan keyakinan. Dan di dalam undang-undang mereka, dari awal sampai akhir tidak ada pasal yang mengharamkan kemurtaddan atau kekafiran atau pasal yang menyatakan bahwa itu adalah tindak pidana. Di mana kemurtaddan di dalam ajaran mereka bukanlah kejahatan yang dikenakan sangsi pidana, namun ia adalah kebebasan individu yang dijaga, dilindungi dan dijamin oleh undang-undang kafir.
Pembicaraan di dalam masalah ini adalah sangat panjang dan telah kami jelaskan secara terperinci di tempat lain di dalam tulisan-tulisan kami yang telah kami isyaratkan sebelumnya.
Kesimpulannya: Bahwa kami tidak mengudzur orang yang menyengaja untuk memilih para pembuat hukum, atau orang yang mengikuti mereka dan bersepakat bersama mereka terhadap hukum buatan mereka, karena kalau kita mengudzur mereka tentu kita harus mengudzur orang-orang yahudi dan orang-orang nasrani dalam perbuatan mereka mengibadati para alim ulama dan para pendeta. Karena di dalam syari’at ini tidak dikenal yang namanya membedakan di antara dua hal yang sama lagi serupa ((Apakah orang-orang kafir kalian lebih baik daripada mereka, atau apakah kalian telah mempunyai jaminan kebebasan (dari azab) di dalam kitab-kitab yang terdahulu))[4]
Namun hal yang dengannya itu kami mengudzur kaum muslimin yang awam (di sini) adalah ketidakadaan maksud (intifaaul qashd) bila ia itu ada, yaitu khathaa (kekeliruan) yang merupakan kebalikan dari sikap menyengaja, pada orang yang yang tidak memilih caleg itu atas dasar bahwa ia itu adalah orang yang akan membuat hukum, atau akan bersumpah untuk menghormati UUD, atau orang yang akan bertahakum kepada undang-undang, atau orang yang tugasnya itu berlandaskan kepada undang-undang atau berlandaskan aturan-aturannya, atau kekafiran-kekafiran lainnya yang dilakukan oleh para anggota parlemen, sedangkan orang yang memilih itu tidak mengetahui hal-hal itu dan tidak memiliki pengetahuan terhadapnya sehingga maksud, tujuan dan niatnya itu mengarah kepadanya, namun dia memilih orang yang dia pilih dari mereka supaya mereka itu menegakkan syari’at Allah sebagaimana yang sering didengung-dengungkan oleh kalangan yang mengaku aktivis islam di dalam kampanye-kampanye mereka, tanpa dia (si pemilih) mengetahui atau nampak di hadapannya cara-cara kafir yang dengannya mereka mimpi untuk menegakkan islam lewat jalannya, atau dia memilih mereka demi pelayanan-pelayanan yang dia harapkan dari mereka tanpa dia mengetahui hakikat pekerjaan dan tugas mereka sebenarnya.
Maka orang-orang semacam mereka itu tidaklah dikafirkan kecuali setelah diberitahu dan diberi penjelasan serta penegakkan hujjah, terutama beserta adanya apa yang telah kami utarakan berupa keterkaburan keadaan, kejahilan orang-orang awam (terhadap hakikat sebenarnya) serta tersembunyinya talbis (pengkaburan) yang dilakukan orang-orang yang mengaku islam terhadap mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ( Namun demikian bisa saja ahlul ahwa ini[5] banyak menyebar di sebagian tempat dan zaman sampai ucapan mereka itu menyerupai –menurut orang-orang jahil- ucapan ahlul ilmi dan sunnah, sampai-sampai persoalan itu tersamar di hadapan orang yang menangani urusan mereka itu, sehingga pada kondisi seperti itu butuh kepada orang yang menampakkan hujjah Allah dan menjelaskannya). Selesai dari Majmu Al Fatawa terbitan Dar Ibni Hazm 3/152.
Sedangkan penegakkan hujjah itu bukan hanya menyampaikan firman Allah dan sabda Rasulullah, terutama setelah tersebarnya islam dan sampainya Kitabullah kepada orang yang jauh dan orang yang dekat beserta jaminan Allah untuk menjaganya, akan tetapi penegakkan hujjah itu pada banyak kondisi adalah dengan dengan cara pelenyapan syubuhat dan pembongkaran talbis serta penampakkan hakikat waqi’ (realita) atau makna ucapan dan hakikat perbuatan.
Dan telah lalu penuturan dalil-dalil terhadap sikap mempertimbangkan udzur intifaaul qashd (ketidakadaan maksud) yang muncul dari ketidakpahaman terhadap makna ucapan dan ketidaktahuan terhadap kandungannya atau (ketidakadaan maksud)yang muncul dari rasa kaget dan ketercengangan karena kebahagiaan dan rasa rasa takut yang sangat meliputi diri atau karena kejahilan (terhadap makna), dan hal serupa itu yang membuahkan perbuatan atau ucapan yang mana orang mukallaf tidak memaksudkan kepada hakikat sebenarnya dan maknanya, karena pada kondisi itu dia tidak memiliki pengetahuan terhadap maknanya dan hakikatnya sehingga dia bisa memaksudkannya.
Dan telah kami sebutkan hadits tentang orang yang kehilangan unta tunggangannya di tengah padang pasir, padahal di atasnya ada makanannya, minumannya dan barang-barangnya, kemudian tatkala dia sudah merasa yakin akan binasa, maka dia tidur di bawah pohon sambil menunggu kematian. Kemudian tatkala dia terbangun tiba-tiba dia mendapatkan untanya itu ada di dekat kepalanya, maka dia memegang tali kendalinya seraya mengatakan “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhan-Mu” dia salah ucapan karena saking bahagianya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Sebagaimana yang telah lalu juga hadits prihal laki-laki yang mewasiatkan kepada keluarganya agar membakar dirinya bila dia sudah mati dan menaburkan abunya, karena saking takutnya kepada Allah di saat menjelang kematiannya karena dia banyak berbuat dosa, di mana dia tidak mengamalkan sedikitpun kebaikan kecuali tauhid. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang kejahilan dia dan kelalaiannya terhadap keluasan cakupan qudrah Allah ta’alaa dan bahwa Dia Kuasa untuk membangkitkannya walaupun anggota-anggota tubuhnya sudah berceceran di mana-mana. Dan akan datang tambahan pembicaraan tentang hal ini.
Dan atas dasar ini maka pernyataan pengkafiran seluruh orang yang ikut memilih di dalam pemilu perlemen tanpa rincian adalah kesalahan yang nyata yang tergolong kekeliruan di dalam takfier yang wajib diperhatikan, terutama beserta adanya ketidaktahuan terhadap hakikat parlemen-parlemen ini dan hakikat tugas wakil rakyat di dalamnya, serta terkaburnya permasalahan dan maksud tujuan.
Namun demikian kami tidak segan dari mengatakan – berdasarkan realita pengetahuan kami terhadap hakikat parlemen-parlemen syirik ini dan tabi’at prosedur yang dengan caranya anggota parlemen itu melaksanakan tugas pembuatan hukum dan tugas lainnya[6] – bahwa ikut serta di dalam pemilihan para anggota parlemen legislative ini adalah kekafiran yang nyata, dan ini adalah hukum yang bersifat muthlaq atas perbuatan tersebut, kami lontarkan ucapan semacam itu di dalam pentahdziran kami dari parlemen-parlemen ini, sebagai wa’id (ancaman) dan tarhib (sikap menakut-nakuti) untuk mengajak manusia agar menjauhinya, akan tetapi di dalam menerapkan vonis kafir terhadap individu-individu pelakunya (orang mu’ayyan) kami tidak mengkafirkan seluruh individu orang yang ikut serta memilih mereka,[7] namun kami memberikan rincian sesuai pilihan dan maksud masing-masing dari mereka.
Barangsiapa memilih wakil rakyat dalam rangka pembuatan hukum atau amalan-amalan kekafiran lainnya; maka dia itu telah kafir karena dia telah mendatangkan suatu sebab kekafiran, walaupun dia itu tidak bermaksud untuk kafir dan keluar dari dienul islam dengan sebab perbuatan ini.
Adapun orang yang tidak mengetahui hakikat majelis ini dan tabi’at pekerjaan para anggotanya, maka orang ini wajib ditegakkan hujjah terhadapnya dan diberitahu tentang hakikat tugas orang-orang yang dia pilih itu, kemudian bila dia tetap bersikukuh terhadap hal itu maka dia itu kafir. Dan tidak boleh tergesa-gesa mengkafirkannya sebelum penegakkan hujjah dan pemberian penjelasan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: (Tidak seorangpun boleh mengkafirkan seseorang dari kaum muslimin – walaupun dia keliru dan salah – sehingga hujjah tegak terhadapnya dan jelas dihadapannya penjelasan. Orang yang telah jelas keislamannya secara meyakinkan adalah tidak dilenyapkan keislaman itu darinya dengan sekedar keraguan; bahkan hal itu tidak lenyap kecuali setelah penegakkan hujjah dan penghilangan syubhat). Selesai dari Majmu Al Fatawa terbitan Dar Ibni Hazm 12/250.[8]
Penterjemah (Abu Sulaiman Aman Abdurrahman) berkata: Ini diterjemahkan dari kitab Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah Fit Tahdzir Minal Ghuluww Fit Takfier atau disebut juga Risalatul Jufri Fi Annal Ghuluww Fit Takfier Yuaddi Ilal Kufri, Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy).
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy Hafidhahullah Berkata Di Dalam An Nukat Al Lawaami’
(Alih Bahasa: Abu Sulaiman)
Al Maqdisiy berkata saat memberikan catatan terhadap Kitab Al Jami’ milik Syaikh Abdul Qadir: Berkaitan dengan orang-orang yang memilih, maka mesti ada rincian pada mereka, itu dikarenakan sesungguhnya orang yang memilih itu tidaklah terjun pada pembuatan hukum dan tidak terjatuh pada mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) yang beraneka ragam yang terjatuh ke dalamnya si anggota parlemen yang dia pilih, seperti sumpah untuk menghormati UUD dan loyal terhadap arbabnya, atau tahakum (berhakim) kepada undang-undangnya dan pembuatan aturan yang tidak Allah izinkan sesuai (panduan) qowanin wadl’iyyah serta yang lainnya, si pemilih menjadi kafir bila dia memilih si anggota itu dan menjadikannya sebagai wakil dan pengganti dia untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran ini, oleh sebab itu si anggota parlemen dinamakan wakil (rakyat) karena ia mewakili sejumlah masyarakat yang memilihnya dalam hal pembuatan hukum atau tugas-tugas lainnya yang di jalankannya menurut teks-teks UUD.
Atas dasar ini, barangsiapa memilih mereka karena hal itu maka ia telah kafir, karena dia mengangkatnya sebagai wakil dia dalam menjalankan kekafiran, dan dia bersepakat dan bermufakat bersama mereka terhadap ajaran demokrasi yang mana ia adalah hukum rakyat untuk rakyat dan bukan hukum Allah. Dan inilah makna “maksud melakukan perbuatan kekufuran” yang wajib menjadi syarat dalam takfir para pemilih, bukan maksud untuk kafir yaitu keluar dari agama (Islam) sebagaimana yang di syaratkan oleh sebagian orang.
Adapun maksud memilih (dengan,ed.) begitu saja tanpa ada rincian sebagaimana yang dituturkan oleh mushannif (penulis), maka sesungguhnya ia tidaklah tepat dengan sebab tersamarnya keadaan parlemen-parlemen ini di hadapan manusia (terutama) banyak kalangan awam dan lanjut usia yang  egisl untuk memberikan suara mereka bagi karib-kerabat mereka atau kalangan lainnya yang mengangkat slogan-slogan (Islamlah Solusinya…!) dan yang serupa itu. Sesungguhnya diantara mereka ada yang tidak mengetahui hakikat pemilu dan maknanya, tidak (pula mengetahui) hakikat parlemen-parlemen ini, realitanya dan tugas-tugas para anggotanya serta apa yang dijalaninya di sana. Di antara para pemilih ada orang yang mengira para wakil itu dan berinteraksi bersama mereka serta memilih mereka atas dasar anggapan bahwa mereka itu para wakil, pelayan yang memberikan pelayanan-pelayanan bagi daerah mereka, suku mereka dan para pemilih mereka, seperti membangun RS atau jalan atau mengangkat kezaliman dan seterusnya, atau dia mengira bahwa dengan ia memilih syaikh fulan maka si syaikh itu akan menerapkan Islam sedang ia tidak tahu bahwa si syaikh shahibul fadhilah…!!! yang bersorban panjang itu akan mengucapkan sumpah di awal tahapan pekerjannya untuk menghormati kekafiran (UUD) dan loyal (setia) kepada orang-orang kafir dan para thoghut, serta bahwa ia tidak menjalankan kewenangan dan pekerjannya apa pun kecuali menurut pedoman butir-butir UUD dan undang-undang, dan bahwa tugas terpenting pekerjan mereka seluruhnya adalah tasyri’ (pembuatan hukum) yang mana terbentuk darinya nama Musyarri’ (anggota dewan egislative) dan nama Majlis Tasyri’ (lembaga egislative).
Barangsiapa mengetahui hal itu maka ia kafir sebagaimana yang dikatakan mushannif (hal: 780): “…karena pemilihan mereka ini pada hakikatnya adalah pengangkatan arbab selain Allah, sebagaimana ia di dalamnya mengandung pengakuan akan tugas parlemen yang memegang kewenangan pembuatan hukum secara muthlaq, sedangkan ini semuanya termasuk kekafiran yang nyata” selesai dari Al Jami’.
Barangsiapa memilih, memberikan suara dan mengangkat seorang wakil sedang ia mengetahui bahwa ini adalah hakikat tugasnya maka ia kafir meskipun ia tidak mengetahui bahwa Tasyri’ (pembuatan hukum) dan ketaatan di dalamnya adalah kekafiran dan kemusyrikan, selagi dia telah memaksudkan melakukan perbuatan yang mengkafirkan itu, karena sesungguhnya orang-orang yang mentati para alim ulama’ dan rahib-rahib mereka dan mengikutinya di atas hukum buatannya tidaklah mengetahui bahwa ketatan dan pengikutannya ini adalah ibadah, sebagaimana dalam hadits ‘Addiy Ibnu Hatim Ath Thaiy, namun ternyata hal itu bukanlah penghalang dari keberadaan status mereka itu yang telah menyekutukan arbab bersama Allah.
Adapun suatu yang dengannya kami mengudzur orang-orang ‘awam di sini adalah ketidakadaan maksud dan pilihan mereka terhadap perbuatan yang mengkafirkan, akan tetapi banyak dari mereka sebagaimana yang dikenal oleh orang yang bergaul dengan kalangan ‘awam dan lanjut usia serta yang mengetahui mereka, tidaklah mengetahui arti dan hakikat majelis-majelis ini dan mereka tidak memilih orang-orang yang mereka pilih atas dasar bahwa mereka itu para pembuat hukum, dan mereka tidak mengetahui hakikat perbuatan mereka, akan tetapi mereka memilih orang-orang itu untuk pelayanan atau untuk memberlakukan syari’at tanpa mengetahui tata caranya, jadi mereka di sini tidak memaksudkan perbuatan yang mengkafirkan itu namun memaksudkan hal lain.
Dan inilah khatha’/kekeliruan (tidak adaanya kesengajan) yang di sebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padaanya, tetapi ( yang ada dosanya ) apa yang di sengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang “. (Al Ahzab: 5).
Dhahir mereka itu adalah bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang mengkafirkan, akan tetapi mereka tidak dikafirkan kecuali setelah penegakkan hujjah dengan memberitahu mereka akan hakikat parlemen-parlemen ini dan hakikat para wakil rakyat itu.
Kesimpulan:
Bahwa kami tidak mengudzur mereka itu pada ketidaktahuan mereka bahwa memilih para pembuat hukum dan mentaati mereka dalam hukum buatannya itu adalah kekafiran, dan tidak pula dengan apa yang sering dilontarkan sebagian orang bahwa tidak dikafirkan kecuali orang yang bermaksud kafir dan keluar dari agama, akan tetapi (kami mengudzurkan mereka) karena mereka tidak memaksudkan perbuatan yang mengkafirkan itu, namun mereka memaksudkan suatu yang lain, dan itu di sebabkan ketidaktahuan mereka akan hakikat dan realita parlemen-parlemen ini, sehingga keadaan mereka ini seperti keadaan orang non arab yang mengucapkan kalimat kekafiran (yang berbahasa arab) sedang dia tidak mengetahui maknanya.
(Selesai ucapan Syaikh Al Maqdisiy dalam An Nukat Al Lawami’ pada komentarnya terhadap ucapan Syaikh Abdul Qadir di tempat lain di Al Jami’ dalam materi yang sama)
Penjelasan Al Maqdisiy
Prihal Rincian Orang Yang Nyoblos Di Dalam Pemilu
(Alih Bahasa: Abu Sulaiman)
Beliau hafidhahullah berkata di dalam Risalah Al Isyraaqah Fi Su-aalaat Sawwaqah setelah menjelasan kekafiran secara ta’yin para anggota parlemen demokrasi beserta para calegnya, dan bahwa mereka itu tidak diudzur dengan sebab kejahilan, ijtihad dan takwil apapun, beliau berkata tentang status orang-orang yang nyoblos:
Adapun berkaitan dengan Muntakhib (orang yang nyoblos), maka sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa hakikat sebenarnya apa yang dia lakukan saat menganut ajaran syirik ini, adalah bahwa dia itu memilih pembuat hukum (raab/tuhan) di antara para arbaab (tuhan tuhan pembuat hukum) yang beraneka ragam itu!! supaya dengannya dia menjadi wakilnya di dalam tugas yang syirik ini.
Bisa jadi dia itu menginginkan tugas ini dan menganutnya serta menganggapnya sebagai hak dia yang dijamin oleh UUD saat dia melimpahkan kewenangan pembuatan hukum ini kepada rakyat yang diwakili oleh para anggota dewan itu, maka orang semacam ini tidak ada bedanya antara dia dengan si anggota dewan legislative itu, cuma si anggota dewan itu langsung terjun di dalam pembuatan hukum yang kafir, sedangkan si orang ini mewakilkan hak pembuatan hukum itu kepadanya. Dan sedangkan status hukum orang yang menopang di belakang dan orang yang mewakilkan itu adalah sama dengan status orang yang terjun langsung (di dalamnya). Di mana pada hakikatnya dia itu adalah musyarr’i’ (seorang pembuat hukum) yang ikut serta di dalam pembuatan hukum dengan cara wakalah (mewakilkan).
Atau bisa jadi dia itu tidak menganut permasalah ini seperti begitu, di mana dia itu tidak memiliki keinginan terhadap tugas pembuatan hukum dan dia tidak menganggap dirinya itu mampu untuk hal itu, terus dia menyerahkannya kepada orang-orang yang dia percayai dari kalangan para Doktor, para ulama, dan para ahli –menurutnya- serta orang-orang yang dia anggap mampu untuk melaksanakan tugas itu, dan dia menganggap dirinya pengikut mereka lagi ikut serta dengan mereka di dalam (hak) pembuatan hukum, maka dia itu telah menjadikan dan memilih mereka sebagai arbaab musyarri’iin (tuhan-tuhan pembuat hukum) yang dia limpahkan kepada mereka hak pembuatan hukum secara muthlaq, dia bersepakat dengan mereka terhadapnya serta dia menganutnya. Maka orang semacam ini adalah musyrik (terhadap Allah) di dalam ibadah. Sebagaimana yang telah lalu[9] bahwa status hukum orang semacam ini adalah sama seperti status hukum orang yang mentaati dan mengikuti kaum musyrikin di dalam penyamaan antara bangkai dengan sembelihan, Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6] : 121)
Dan ayat ini sebagaimana yang telah lalu adalah tentang pembuatan satu macam hukum saja, maka bagaimana dengan orang-orang yang melimpahkan dan dan mewakilkan kepada mereka kewenangan pembuatan hukum secara muthlaq serta dia menyerahkannya kepada mereka? Dan dia itu sama seperti orang yang mentaati para ulama dan para pendeta di dalam pembuatan hukum (tasyri’) yang mana mereka telah Allah sebutkan di dalam firman-Nya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9] : 31).
Di mana Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah memvonis mereka sebagai kaum musyrikin, sedangkan takwil apapun tidak bermanfaat bersama syirik akbar, karena takwil macam apa yang bisa membolehkan pengangkatan tuhan selain Allah? Sebagaimana pelaku hal itu tidak diudzur karena kejahilan, di mana telah lalu bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa telah menegakkan hujjah-hujjah-Nya yang nyata atas hamba-hamba-Nya di dalam masalah seperti ini. Dia telah memfithrahkan mereka di atas hanifiyyah (tauhid) yaitu condong dan jauh dari syirik dan Dia mengutus semua rasul yang mengingatkan mereka akan hal itu, mengajak mereka kepada tauhid serta menghati-hatikan mereka dari kemusyrikan dan penyekutuan, akan tetapi mayoritas manusia tidak mau kecuali berlomba-lomba berjatuhan ke dalamnya.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim di dalam Shahihnya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengabarkan dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa bahwa Dia berfirman:”Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (bertauhid) seluruhnya, dan sesungguhnya syaitan-syaitan telah dating kepada mereka, kemudian mereka memalingkan mereka dari diennya dan mengharamkan atas mereka apa yang telah Aku halalkan bagi mereka, serta syaitan-syaitan itu memerintahkan mereka agar menyekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak Aku turunkan dalil tentangnya….” Inilah realita mayoritas manusia pada hari ini, di mana Allah sudah fithrahkan mereka di atas ajaran hanif dan Dia bimbing mereka kepada tauhid. Dia utus semua rasul-Nya untuk mengajak mereka kepadanya dan Dia turunkan kitab-kitab-Nya yang semuanya memerintahkan mereka untuk bertauhid dan menghati-hatikan mereka dari syirik dan penyekutuan yang menggugurkan tauhid itu. Kemudian datanglah kepada mereka syaitan-syaitan jin dan manusia dari kalangan pendeta, dukun, anggota dewan dan para thaghut, terus mereka memperindah kemusyrikan itu di hadapan mereka, menghiasinya dan menamakannya dengan nama-nama yang modern seperti Demokrasi, Kebebasan atau Undang-Undang Modern (Positif)!! Terus mereka membuatkan bagi mereka dari undang-undang ini apa yang tidak Allah izinkan, dan memrintahkan mereka agar menyekutukan Allah dengan suatu yang tidak Allah turunkan dalil tentangnya, kemudian rakyat tersebut mengikuti mereka terhadap hal itu dan mematuhi mereka, sehingga mereka sesat dari jalan yang lurus. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan di dalam hadits ‘Adi Ibnu Hatim yang lalu bahwa kejahilan orang-orang yang mengikuti lagi bersepakat dengan para ulama dan para rahib atau (para anggota dewan) itu; bahwa taat di dalam pembuatan hukum itu adalah ibadah, adalah bukanlah udzur bagi mereka, dan hal ini sangat nampak dari ucapan ‘Adi :( mereka tidak mengibadati mereka itu), dan hal itu terlontar saat ‘Adi mendengar ayat (31) surat At Taubah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepadanya bahwa sekedar ketaatan mereka kepada para pembuat hukum di dalam tasyri’ (pembuatan hukum) itu adalah ibadah dan syirik, dan ia adalah hakikat pentuhanan orang-orang nasrani terhadap alim ulama dan para pendeta mereka, walaupun mereka itu tidak shalat dan sujud kepada mereka.
Oleh sebab itu kami katakan bahwa orang yang bermufakat dan bersepakat dengan para anggota dewan itu atau dengan pemerintah-pemerintah ini terhadap agama baru yang kafir ini (yaitu demikrasi, pent) yang melimpahkan kewenangan pembuatan hukum/undang-undang kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan menjadikan pembuatan undang-undang tersebut sesuai ketentuan UUD dan undang-undang buatan, maka sesungguhnya dia itu telah menjadikan mereka sebagai arbaab selain Allah dan telah mencari dien selain Islam.
Dan inilah hakikat apa yang mereka lakukan di dalam pemilu-pemilu tersebut, di mana di dalamnya mereka menganut ajaran demokrasi yang telah menjadikan hukum dan kedaulatan bagi rakyat bukan bagi Allah. Mereka itu mengangkat para tuhan yang akan mereka angkat sebagai para wakil mereka di dalam kekuasaan muthlaq pembuatan hukum sesuai ketentuan UUD.
Barangsiapa melakukan hal itu maka dia telah lepas dari millah dan tauhid, walaupun dia shalat, shaum dan walaupun dia mengaku muslim. Dan setiap orang mempertanggungjawabkan dirinya sendiri.
Dan barangsiapa memperhatikan kondisi-kondisi manusia pada hari ini, dan bagaimana mereka berbondong-bondong terhadap kemusyrikan yang nyata ini baik perorangan maupun beramai-ramai, maka dia mengetahui sebab keterpurukan umat ini dan kelenyapan kejayaannya serta penguasaan musuh-musuhnya terhadap mereka. Karena sesungguhnya dosa syirik adalah dosa terbesar yang dengannya Allah dimaksiati, sebagaimana di dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ditanya: Dosa apa yang paling besar? maka beliau menjawab: Kamu menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dialah yang telah menciptakanmu.”
Dan darinya dia mengetahui karunia Allah terhadapnya karena Dia telah memberikan kepadanya hidayah kepada tauhid dan telah mengkaruniakan nikmat terhadapnya dengan menyelamatkan dia dari syirik dan penyekutuan.
Maka janganlah engkau menelantarkan tauhid yang agung ini, karena sesungguhnya ia adalah modal utama, sedangkan penelantarannya adalah kerugian yang nyata, maka yang mengherankan bukanlah bagaimana orang bisa binasa, namun yang mengherankan adalah bagaiamana orang bisa selamat!!
Hendaklah setelah ini semua dia mengingatkan semua orang yang dia kenal dan menghati-hatikan mereka dari syirik ini, untuk menyelamatkan mereka dari kerugian yang nyata yang mengurung mereka dengan sebab mereka mengikuti pemerintah-pemerintah ini ini terhadap agama kafirnya, baik mereka sadar maupun tidak mereka sadari.
Akan tetai mesti diperhatikan di sini, bahwa kami bersama apa yang telah kami lakukan berupa penghati-hatian dari syirik yang nyata yang telah meluas dan menjadi bencana ini, serta penjelasan kami prihal kekafiran orang yang bersepakat dan bermufakat terhadapnya bersama pemerintah-pemerintah ini, namun kami tidak mengkafirkan orang yang tidak memiliki keinginan atau orang yang dipaksa untuk ikut serta di dalam pemberian suara ini bila memang ada (orang semacam ini).
Dan begitu juga kami tidak mengkafirkan orang yang terpedaya, terus dia ikut serta di dalamnya dengan dugaan darinya bahwa lembaga-lembaga itu adalah majelis-majelis yang tugasnya adalah memberikan pelayanan sosial kepada rakyat, sebagaimana hal itu adalah dugaan banyak orang awam yang ikut memilih karib kerabat atau tokoh-tokoh yang mereka kenal dalam rangka hal itu.
Dan kami di sini tidaklah mengudzur dengan sebab kejahilan di dalam masalah syirik akbar, namun kami hanya mengudzur di sini dengan sebab kejahilan terhadap hakikat majelis-majelis ini. Sehingga dari itu sesungguhnya masalah ini menurut kami tergolong bab Al Khatha (kekeliruan maksud) atau intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud), sebagaimana di dalam firman Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa: “Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah.”(Al Baqarah:286).
Gambaran: Bahwa orang awam atau orang jahil bila mengetahui hakikat majelis-majelis ini seperti apa yang telah lalu dijelaskan dan bahwa ia adalah lembaga-lembaga pembuatan hukum, dan ia bersepakat bersama orang-orangnya terhadap ajarannya yang kafir di mana dia mengakui bahwa mereka itu memiliki kewenangan muthlaq di dalam pembuatan hukum, atau dia memilih mereka sebagai orang-orang yang membuat hukum sesuai ketentuan UUD, maka dia itu menurut kami adalah musyrik walaupun dia tidak mengetahui bahwa tha’at di dalam pembuatan hukum itu adalah kekafiran, karena kami tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan di dalam masalah ini, sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengudzur orang-orang yang disebutkan di dalam surat At Taubah, seperti di dalam hadits ‘Adi Ibnu Hatim tatkala samar atas mereka bahwa tha’ah di dalam pembuatan hukum itu adalah ibadah. Akan tetapi banyak dari kalangan awam, baik mereka itu kakek-kakek lanjut usia ataupun wanita jompo ataupun yang lainnya, mereka tidak mengetahui hakikat lembaga-lembaga legislative yang kafir ini, dan mereka tidak memilih atau ikut serta di dalam pemilu tersebut atas dasar anggapan bahwa itu sedang memilih para pembuat hukum, akan tetapi mereka melakukan hal tersebut atas dasar anggapan bahwa hal itu sedang memilih wakil-wakil mereka di dalam penyelesaian kesulitan-kesulitan mereka dan pelayanan mereka atau pelayanan daerah-daerah mereka. Ini adalah maksud dan tujuan banyak dari mereka, dan begitulah gambaran yang mereka ketahui tentang permainan (demokrasi) ini dan (dengan seperti itulah) mereka berinteraksi (dengan)nya. Oleh sebab itu barangsiapa di antara mereka itu memiliki ashlut Tauhid dan dia itu kafir terhadap thaghut dan ajarannya dan terus ikut serta di dalam pemilihan umum atas dasar anggapan dan qashd (maksud) ini, maka kami katakan: Sesungguhnya dhahir amalan dia adalah kekafiran, karena kita tidak mengetahui apa yang dia maksudkan kecuali kalau dia menyatakannya (dengan lisan), sebagaimana bahwa orang yang mengatakan:(Ya Allah Engkau adalah Hambaku dan aku adalah tuhan-Mu) dhahir ucapannya menurut kami adalah kekafiran selagi kita tidak mengetahui bahwa dia itu keliru lagi tidak memaksudkan hal itu. Dan kami katakan: Sesungguhnya mereka itu telah melakukan suatu amalan kekafiran dengan sebab keikutsertaan mereka secara dhahir di dalam permainan demokrasi yang menjadikan hakimiyyah (kekuasaan hukum) di tangan rakyat bukan di Tangan Allah, akan tetapi dikarenakan keadaan-keadaan manusia di dalamnya terdapat kesamaran tadi, maka kami tidak tergesa-gesa mengkafirkan person-person orang-orang awam itu, sampai kami mengetahui bahwa orang di antara mereka itu memaksudkan memilih para pembuat hukum dan bahwa dia itu mengetahui hakikat apa yang dia pilih itu. Dan bila kami tidak mengetahui hal itu darinya maka dia itu tidak dikafirkan sampai dijelaskan kepadanya hakikat lembaga-lembaga legislative ini, kemudian bila dia tetap bersikukuh terhadap hal itu, maka kami tidak segan-segan dari mengkafirkan orang tersebut secara ta’yin. Begitu juga orang yang mengatakan (:(Ya Allah Engkau adalah Hambaku dan aku adalah tuhan-Mu), kami katakan kepadanya: Kamu telah mengucapkan kalimat kekafiran,” kemudian bila dia rujuk dan istighfar dan mengatakan: Saya telah salah ucap, sedang maksud saya adalah memuji Allah dan saya tidak memaksudkan apa yang diucapkan oleh lidah saya secara keliru tadi,” maka kami tidak mengkafirkannya.  Namun bila dia malah bersikukuh dan tidak mencabut diri dan tidak istighfar maka kami mengkafirkannya, dan ucapan dia itu sama dengan ucapan Firaun “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi”(An Nazi’at:24).
Beda halnya dengan orang yang memaksudkan penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada dirinya ataupun kepada orang lain, dan dia bersengaja terhadapnya serta berusaha melangkah ke arahnya, maka sesungguhnya dia itu langsung dikafirkan karena ia itu bersengaja kepada amalan kekafiran lagi bermaksud untuk memilihnya lagi tidak tersalah (keliru maksud). Intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud) ini  juga bisa terjadi pada banyak orang-orang jahil dan awam yang tertipu oleh sebagian para caleg yang berjenggot!! saat mereka mengkaburkan al haq dengan al bathil, di mana mereka mendengung-dengungkan penegakkan syari’at Allah dan bahwa ini adalah tujuan mereka saat masuk parlemen serta mereka mencantumkan di dalam pamplet-pemplet kampanye mereka ungkapan-ungkapan yang penuh talbis dan slogan-slogan yang menarik lagi menipu..seperti (Islamlah Solusinya) serta slogan-slogan lainnya yang menipu kalangan awam.
Barangsiapa dibawa ke TPS dari kalangan lansia dan kalangan awam, dan dia terpedaya serta tertipu seraya memahami bahwa dengan pencoblosan para caleg yang berjenggot tersebut akan terealisasi pemberlakuan hukum Allah sedangkan dia tidak mengetahui hakikat tugas kekafiran mereka yaitu pembuatan hukum, dan tidak juga mengetahui hakikat parlemen bahwa ia itu adalah lembaga pembuatan hukum, serta dia tidak hadir ke pemilihan atas dasar pemahaman bahwa hukum dan kedaulatan itu berada di tangan rakyat sebagaimana yang ditegaskan oleh UUD, namun yang hadir dibenaknya adalah bahwa hal itu dalam rangka memilih orang yang akan menerapkan hukum Islam sesuai apa yang Allah ridlai, maka orang-orang semacam ini adalah orang-orang yang bodoh lagi sesat yang telah dijatuhkan atau terjatuh ke dalam amalan kekafiran, namun kita tidak boleh tergesa-gesa mengkafirkan person-person mereka sampai kita memberitahukan kepada mereka tentang hakikat lembaga-lembaga legislative ini dan hakikat tugas yang akan dilakukan oleh para anggotanya serta hakikat permainan yang mana mereka telah digiring kepadanya, kemudian bila mereka telah mengetahuinya dan mereka malah tetap bersikukuh untuk ikut serta di dalam ajaran kafir ini dan menyetujuinya serta memilih para pembuat hukum itu, maka kami tidak segan dari mengkafirkan mereka itu.
Jadi harus mengetahui rincian ini, dan bahwa udzur yang kami udzur dengannya di sini atau penghalang yang menghalangi dari pengkafiran orang mu’ayyan di sini adalah intifaaul qashdi (ketidakadaan maksud terhadap amalan yang mukaffir). Umpamanya: Seseorang menginginkan atau memaksudkan hal yang mubah atau termasuk hal yang haram sekalipun, kemudian dia terjatuh ke dalam kekafiran atau kemusyrikan tanpa dia memaksudkannya atau menginginkannya atau memilihnya, maka ia itu adalah khatha (ketersalahan) yang sumbernya adalah ketidaktahuan terhadap hakikat lembaga-lembaga ini,[10] inilah penghalang dari pengkafiran orang mu’ayyan bagi kami, bukan ketidaktahuan bahwa tha’ah (ketaatan) di dalam penyandaran kewenangan pembuatan hukum itu itu adalah kekafiran dan syirik akbar, beserta adanya maksud untuk memilih orang yang membuat hukum atau mentaatinya di dalam hukum itu atau melimpahkan kewenangan pembuatannya kepadanya, karena telah lalu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengudzurnya di dalam permasalahan ini.

[1] Dan perbedaan ini adalah yang menjadikan kami memberikan rincian prihal orang-orang yang ikut memilih, dan kami membedakan di dalam vonis hukum antara mereka dengan para anggota parlemen yang terjun langsung melakukan kekafiran-kekafiran ini. Dan masalahnya bukan sekedar perincian yang hanya berdasarkan selera atau sekedar istihsaan (anggapan baik menurut akal) semata tanpa dalil, sehingga vonis rincian hukum ini bisa kami berlakukan kepada para anggota dewan dan kami campur adukan hal itu dengan vonis hukum dan rincian kami terhadap orang-orang yang sekedar memilih; sebagaimana yang dianjurkan kepada kami oleh sebagian orang-orang baik di dalam kementar-komentarnya terhadap “Aqiidatunaa”.
[2] Artinya: Kamu terthalaq tiga. (pent)
[3] Begitulah UUD mereka menegaskan, kecuali dalam hal-hal yang menyentuh pasal-pasal yang berkaitan dengan sistim monarki turun temurun atau pasal-pasal lainnya yang melindungi tahta thaghut mereka, maka di dalam dien mereka para anggota parlemen itu tidak boleh menyinggungnya  atau mempermasalahkannya.
[4] Al Qamar:43.
[5] Beliau mengisyaratkan kepada apa yang telah beliau sebutkan sebelumnya, berupa bid’ah Jahmiyyah, Khawarij, Qadariyyah dan yang lainnya.
[6] Lihat Kitab kami (Ad Dimuqrathiyyah din kufriy) dan fatwa-fatwa di penjara Sawwaqah
[7] Telah lalu permilahan antara takfier muthlaq dengan takfier mu’ayyan di dalam kekeliruan takfier yang pertama.
[9] Dan hal ini juga masuk di dalam pintu syirik Asma dan Shifat Allah, dan hal itu adalah dengan sebab penamaan yang mereka berikan kepada para arbaab, para anggota dewan dan para thaghut mereka sebagai musyarri’ (pembuat hukum/undang-undang), sedangkan kewenangan muthlaq pembuatan hukum adalah salah satu Sifat Allah. Dan termasuk ilhaad (penyimpangan) di dalam Asma dan Sifat Allah adalah menyematkan sifat itu kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, sebagaimana kaum kuffar Quraisy melakukan ilhaad di dalam Asma dan Sifat Allah, di mana mereka membuat dari Asma dan Sifat Allah itu nama-nama bagi sembahan mereka, seperti ‘Uzza dari Nama Allah Al ‘Aziz…..(Sungguh serupa hati mereka itu).
[10] Memperhatikan hal seperti ini adalah suatu hal yang mesti dalam kaitan pengetahuan terhadap hakikat suatu ajaran berkaitan dengan takfier orang yang cenderung kepada ajaran-ajaran kafir tersebut. Dan rincian seperti ini adalah suatu kemestian dalam menyikapi orang yang tidak terlibat langsung di dalamnya. Inilah hukum yang diberlakukan oleh para ulama Sunnah saat menyikapi orang-orang yang cenderung kepada ajaran-ajaran yang pada hakikat sebenarnya adalah lebih kafir daripada Yahudi dan Nasrani, namun mereka tidak mengetahui hakikat isi ajaran tersebut, sehingga mereka memujinya atau cenderung kepadanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang sekte Darziyyah dan Nushairiyyah: (Mereka itu adalah kafir dengan kesepakatan kaum muslimin, tidak halal memakan sembelihan mereka dan tidak halal menikahi wanita mereka, bahkan mereka itu tidak diakui (hidup di Darul Islam) dengan jizyah, karena sesungguhnya mereka itu murtaddun dari dienul Islam, bukan kaum muslimin, bukan juga yahudi dan bukan juga nasrani, mereka tidak mengakui kewajiban shalat lima waktu, tidak mengakui kewajiban shaum Ramadlan dan kewajiban haji, tidak mengakui pengharaman apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya seperti bangkai, khamr dan yang lainnya. Dan bila mereka menampakkan dua kalimah syahadat bersama hal-hal keyakinan-keyakinan ini, maka mereka itu  kafir dengan kesepakatan kaum muslimin) (Majmu Al Fatawa: 35/161)…… dan beliau berkata: (Namun mereka itu, keadaannya tersamar atas orang yang tidak mengetahui haal (hakikat keadaan) mereka, sebagaimana tersamar juga keadaan orang-orang Qaramithah Bathiniyyah tatkala mereka mengaku keturunan Fathimah dan menisbatkan diri kepada tasyayyu’ (pendukung Ali radliyallaahu ‘anhu), sehingga orang yang mengikuti cenderung kepada mereka lagi tidak mengetahui bathin (isi) kekafiran mereka, oleh sebab itu orang yang cenderung kepada mereka itu adalah salah satu dari dua orang: Bisa jadi dia itu orang zindiq lagi munafiq atau dia itu orang jahil yang sesat. Dan begitu juga kaum Ittihadiyyah itu: Di mana para tokoh mereka adalah para pemimpin kekafiran yang wajib dibunuh dan tidak diterima taubat salah seorang di antara mereka bila ditangkap sebelum dia taubat, karena sesungguhnya mereka itu tergolong kaum zindiq yang paling besar yang menampakkan islam dan menyembunyikan kekafiran yang paling besar. Dan mereka itulah yang mengetahui pemahaman mereka dan penyelisihan mereka terhadap dienul Islam. Dan wajib memberi sangsi setiap orang yang menisbatkan diri kepada mereka, atau berdebat membela mereka, atau memuji mereka, atau mengagungkan kitab-kitab mereka, atau dikenal membantu mereka, atau tidak menyukai komentar negative terhadap mereka, atau mencari alasan-alasan untuk mengudzur mereka bahwa ucapan ini tidak diketahui apa isinya, atau orang yang mengatakan bahwa dia telah menulis kitab ini, serta alasan-alasan seperti ini yang tidak diucapkan kecuali oleh orang yang jahil atau orang munafiq…….) (Majmu Al Fatawa : 2/131-132).
Beliau rahimahullah berkata juga sat menjelaskan kekafiran sekte  Ibnu ‘Arabi dan yang semisal dengannya dan bahwa kekafirannya lebih dasyat daripada yahudi dan nasrani, beliau berkata: (Maka setiap orang yang mengetahui isi ajaran madzhab ini dan menyetujuinya maka dia itu telah menampakkan kekafiran dan ilhaad. Dan adapun orang-orang yang tidak mengetahui yang berbaik sangka terhadap ucapan mereka itu dan tidak memahaminya serta mereka meyakini bahwa ucapan itu tergolong macam ucapan para syaikh ahli ma’rifah yang berbicara dengan ucapan yang shahih yang tidak dipahami oleh banyak manusia, maka mereka itu engkau dapatkan pada diri mereka ada keislaman dan keimanan dan mutaba’ah kepada Al Kitab dan As Sunnah sesuai keimanan mereka yang bersifat taqlid, dan engkau dapatkan pada diri mereka itu pengakuan terhadap orang-orang itu (Ibnu ‘Arabi dkk) dan baik sangka terhadap mereka, serta penerimaan terhadap mereka sesuai kejahilan dan kesesatan mereka. Dan tidak mungkin ada yang memuji mereka itu (Ibnu ‘Arabi dkk) kecuali orang kafir yang mulhid atau orang jahil yang sesat). (Majmu Al Fatawa: 2/368)(Bisa dirujuk Di Kitab Al Iidlaah Wat Tabyiin Fii Hukmi Man Syakka Au Tawaqqafa Fii Kufri Ba’dlith Thawaaghiit Wal Murtaddiin, Syaikh Ahmad Hamud Al Khalidiy: 33-34)
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah juga berkata: Bila dia mengucapkan kalimat kekafiran sedangkan dia tidak mengetahui maknanya, maka jelaslagi nyata bahwa dia itu melontarkan  suatu yang tidak dia ketahui maknanya,” (Tarikh Nejed: 452).
Dan para ulama menyebut masalah ini dengan jahlul hal (ketidaktahuan terhadap makna), dan mereka menjelaskan bahwa tegaknya hujjah di dalam jahlul hal ini adalah sama seperti penegakkan hujjah di dalam masalah khafiyyah, yaitu fahmul hujjah. (Juz Jahl Wal Tibasil Hal, Syaikh Ali Al Khudlair:28) dan mereka memasukan jahlul hal ini di dalam bab  Khatha’ (kesalahan karena tidak ada maksud). (Hal:34).
Kesimpulannya:
Orang yang memberikan suara dalam pemilu sedang ia mengetahui hakikat dan makna demokrasi dan mengetahui tugas parlemen dan para anggotanya, maka dia kafir walau tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran. Jadi dalam hal ini dia Jahilul hukmi (bodoh akan hukum) namun tidak jahil akan hakikat dan makna apa yang dia lakukan, sedangkan Jahilul hukmi dalam hal ini tidaklah diudzur. Dan harus diingat bahwa seluruh bahasan ulama tauhid bahwa tidak ada udzur di dalam syirik akbar karena kejahilan, adalah berkaitan dengan kejahilan terhadap hukum. Dan kejahilan terhadap makna dan hakikat suatu perbuatan atau ucapan tidaklah masuk  di dalam masalah al ‘udzru bil jahli tapi masuk di dalam bahasan intifaaul qashdi atau al khatha, camkan hal ini dan jangan kalian tergolong orang yang lalai lagi serampangan karena kemalasan mencari ilmu!
Orang yang memberikan suara, sedang ia tidak mengetahui hakikat dan makna demokrasi juga tidak mengetahui hakikat parlemen (MPR/DPR) dan tugas para anggotanya, maka ia tidak dikafirkan sebelum ditegakkan hujjah terhadapnya dengan cara diberitahukan tentang hakikat hal tadi. Orang ini di sebut Jahilul Hal (bodoh akan keadaan). ( Pent ).

Back Top

0 komentar:

Posting Komentar