Dalam sirah Nabi saw berupa faidah-faidah yang agung terdapat hal yang mencukupkan dakwah dan jihad, meluruskan jalan da’iyah dan mujahid serta membimbingnya kepada apa yang mendatangkan terhadapnya buah-buah yang agung, sebagaimana ia menjauhkannya dari kerusakan-kerusakan dan hasil-hasil yang berbahaya lagi mencoreng atau yang buruk…Orang yang mengamati dan mencermati sirah Nabi saw yang suci lagi agung, lagi mengamati di dalamnya, ia mengetahui bahwa Allah swt mengarahkan Nabi saw agar ia mengambil dari khithab da’awiy (cara pengungkapan dakwah), amalan, pilihan-pilihan, dan aulawiyyat (prioritas-prioritas utama) suatu yang dengannya memperhatikan tabi’at mukhatab (orang yang diajak bicara) dan khafiyyah ‘aqa-idiyyah (latar belakang keyakinan) atau fikriyyah (pemikiran) dan akhlaqiyyah (akhlak), sedangkan ini mengharuskan dia untuk mengetahui kondisi manusia, para tokoh, suku-suku mereka dan tabi’at mereka…Dan memperhatikan tabi’at mukhathab, apakah ia mu’anid (orang yang membangkang) terhadap dakwah lagi muharib (memerangi) terhadap dien ini ataukah ghair muharib (tidak memerangi) dan tidak pula mu’anid. Dan kadang engkau melihatnya mempertimbangkan kekuatan penunjang dakwah dan thaifah mu’minah (kelompok mukminah) atau tabi’at marhala (fase), kondisi, realita dan waktu…Ia melakukan itu semua sesuai timbangan syar’iy seraya mempertimbangkan dan mengedepankan mashlahat terbesar saat ia berbenturan dan menolak mafsadah terbesar saat ia saling bertumpukkan tanpa meninggalkan tsawabit syar’iyyah (hal-hal syar’iy yang baku), al ‘urwah al wutsqa dan pilar-pilar yang paling pokok pada dien dan tauhid ini…
Sebagai contoh dalam hal mempertimbangkan tabi’at mukhathab dan khalfiyyah akhlaqiyyahnya, atau ijtima’iyyah (status social)nya atau fikriyyah serta apa yang diagungkan dan cintainya berupa sifat-sifat yang baik dan akhlak-akhlak yang mulia, silahkan ambil khithab da’awiy Nabi saw bersama kaumnya diawal dakwahnya dan yang dikatakan abu Sofiyan saat ia masih menjadi musuh beliau serta ia sampaikan tentangnya kepada Heraclius kaisar Romawi tatkala abu Sofiyan ditanya Heraclius: Apa yang dia perintahkan kepada kalian ? maka dia berkata seolah menuturkan ashl khithab (inti penyampaian) Nabi saw, pokoknya dan pondasinya yaitu tauhid; abu Sofian berkata: (Dan dia memerintahkan kami untuk shalat, zakat, jujur, menghubungkan tali kekerabatan dan penjagaan kehormatan).
Maka perhatikanlah khithab ini yang telah masuk kokoh dalam benak pikiran musuh-musuhnya saat itu, dan dalam hadits-hadits lain ada perintah beliau kepada mereka untuk memenuhi janji, menunaikan amanat, menghidupkan anak perempuan dan mengingkari pembunuhannya serta akhlak-akhlak terpuji lainnya yang sepakat atas kebaikannya seluruh orang-orang yang berakal dan fitrah memujinya, supaya beliau memperkenalkan terhadap mereka dan menampakkan di hadapan mereka keindahan-keindahan agamanya dan bahwa beliau tidak datang kecuali untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mana orang-orang yang berakal dan para pemuka mereka merasa bangga dengannya dan memamerkannya serta memuliakannya.
Dan termasuk jenis itu khithab beliau terhadap mereka dengan millah Ibrahim dan bahwa beliau saw dan kaum mukminin yang bersamanya adalah yang paling berhak terhadap Ibrahim yang diagungkan Quraisiy dan mereka menisbatkan diri kepadanya.
Dan seperti itu pula ucapan beliau saw terhadap Heraclius dalam surat beliau kepadanya setelah beliau menuturkan tauhid: “Masuk Islamlah tentu kamu selamat, tentu Allah memberimu pahala dua kali, dan bila kamu berpaling maka sesungguhnya atas dirimu dosa arisiyyin”.
Sesungguhnya di dalamnya ada isyarat dan pengingatan bagi arisiyyin yang mana mereka adalah rakyat kerajaan Heraclius terhadap keinginan beliau saw yang serius atas hidayah bagi mereka, dan terdapat penjelasan bahwa Heraclius bertanggung jawab atas penyesatan mereka.
Dan khithab macam ini yaitu penampakkan para Nabi akan sikap serius mereka terhadap penghidayahan kaum-kaum mereka dan penampakkan mereka akan kekhawatiran mereka terhadap kaum-kaumnya itu dari siksa yang amat pedih adalah hal yang baku dalam dakwah para Nabi, di antaranya ucapan Nuh kepada kaumnya:
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya, Sesugguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat),” (Al A’raf: 59).
Maka setelah ini apa salahnya dalam khithab semacam ini yang menampakkan keinginan serius sang dai atau mujahid terhadap penghidayaan manusia atau kecintaan kebaikan buat mereka atau nushrah kaum tertindas dan pembebasan mereka dari penguasaan dan penyesatan para thoghut dan orang-orang yang dzalim atau keinginan serius untuk menebarkan keamanan, keadilan, ihsan dan memerangi kedzaliman, kerusakan dan kebejatan. Demi Allah tidak merasa keberatan dari hal ini dan tidak mengingkarinya kecuali orang-orang yang berakal lemah lagi bodoh akan sirah Nabi saw serta dakwah para Nabi lainnya.
Dien kita adalah telah datang untuk menuntun manusia seluruhnya, dan untuk mengeluarkan mereka dari peribadatan terhadap makhluk kepada peribadatan terhadap Sang Pencipta makhluk…sedangkan Rasul kita adalah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin…
Dan dalam khithab ini sama sekali tidak ada tahrif (penyelewengan) terhadap hal-hal pokok atau pelembekkan terhadap hal-hal yang baku atau mudahanah (basa-basi) atau cenderung terhadap orang-orang kafir, akan tetapi ia adalah kebenaran yang bersinar dan suatu hal yang baku dari hal-hal baku dien kita ini yang wajib atas sang da’I untuk menampakkannya, menjelaskannya dan mencuatkannya terhadap manusia seluruhnya, dan tidak ada penghalang dari pemfokusan terhadapnya dan mendengung-dengungkannya terhadap orang yang mencintai atau mengagungkan sifat-sifat yang baik semacam ini dari kalangan orang-orang kafir.
Dan termasuk jenis ini apa yang diriwayatkan Al Bukhariy dalam kisah Al Hudaibiyyah tatkala datang kepada Nabi saw dari pihak Quraisy seorang laki- laki dari Bani kinanah, kemudian tatkala dia mulai mendekati tempat Nabi saw maka beliau berkata saw: “Ini si fulan, sedangkan ia berasal dari kaum yang mengagungkan unta- unta -untuk syi’ar haji- maka utuslah unta-unta itu kepadanya”, maka unta-unta itu di kirim kepadanya, dan orang–orangpun menyambutnya seraya bertalbiyah, kemudian tatkala dia melihat hal itu, maka dia berkata: subhanallah tidak selayaknya mareka itu dihalangi dari baitullah, kemudia tatkala dia kembali kepada para sahabatnya, dia berkata: saya melihat unta- unta telah di beri kalung dan di jadikan syi’ar haji, maka saya melihat tidak selayaknya mereka itu di halangi dari Al Bait…”.
Maka perhatikanlah pengetahuan Rasulullah saw dan ketajaman firasatnya terhadap keadaan-keadaan manusia secara umum di zamannya, dan diantara jenis itu sabdanya saw: “Iman itu Yamaniy sedangkan kekafiran itu dari arah timur dan ketenangan itu ada pada para pengembala kambing, sedangkan kesombongan dan riya, dan dalam satu riwayat dan keangkuhan itu ada pada para pengembala kuda dan unta”, untuk memperkenalkan para sahabatnya terhadap keadaan-keadaan manusia dan latar belakang orang-orang yang akan berinteraksi dengan mereka, oleh sebab itu tatkala beliau memerintahkan Hassan untuk menghina Quraisiy dengan syair, beliau memerintahkan dia agar terlebih dahulu datang kepada Abu Bakar memberitahu dia tentang mereka, peperangan-peperangan mereka dan berita-berita mereka, dan tatkala beliau mengutus Mu’adz ke yaman, beliau berkata kepadanya: “Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab”, beliau terlebih dahulu memberinya akan latar belakang keyakinan mereka atau intelektual (atau) sebut apa saja sesukamu, kemudian beliau mengarahkannya bagaimana berinteraksi dengan mereka dan aulawiyyat yang dengannya dia mengkhithabi mereka serta dengan apa ia harus pertama dahulu mendakwahi mereka. Amatilah ini semuanya dan simpanlah dalam catatan-catatanmu kemudian amati khithab beliau dan interaksinya bersama manusia sesuai kadar akal mereka dan mempertimbangkan apa yang mereka agungkan dan menampakkan serta mengatakannya di hadapan mereka selagi itu bagian dari dien kita. Dan janganlah akalmu sempit dari menguasainya atau menganggapnya perubahan warna atau mudahanah atau hal lainnya dari kejahilan orang-orang jahil, karena telah ada dalam Al Bukhariy dari Ali radliallahu’anhu: “Ajaklah manusia berbicara dengan apa yang mereka ketahui, apa kalian senang Allah dan Rasul-Nya didustakan”.
Dan di antara sikap Rasulullah saw mempertimbangkan mukhathab dari sisi apa ia mu’anid muharib (orang yang membangkang lagi memerangi) ataukah muhadin ghair muharib walaa mu’anid (orang yang damai yang tidak memerangi lagi tidak membangkang) adalah penerapannya yang bijaksana dan pengamalannya dalam sirahnya terhadap firman Allah ta’ala:
“Alah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim,” (Al Mumtahanah: 8-9).
Dan firman-Nya ta’ala:
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik,kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka,” (Al Ankabut: 46).
Dan diantara jenis itu firman-Nya ta’ala kepada Musa dan Harun tentang menghadapi sang dictator Fir’aun di awal khithab mereka terhadapnya:
aka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Thaha: 44).
Kemudian tatkala ia membangkang ayat-ayat yang nyata dan mengingkarinya (dengan lisan) serta menolak darinya, maka Musa berkata kepadanya:
esungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mu’jizat-mu’jizatnya itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu hai Fir’aun seorang yang akan binasa. (Al Isra’ 102)
Perhatikanlah tabi’at khithab (pembicaraan) Musa dan Harun bersama Firaun di awal dakwah, dan khithab mereka terhadapnya setelah dia membangkang.
Dan sebagai contoh silahkan ambil sikap pertimbangan Rasulullah saw terhadap kemampuan –kemampuan dakwah, kelompok mu’minah tabbi’at fase dan realita pada masalah tadarruj (tahapan- tahapan) dalam persyari’atan jihad, di mana di awalnya di perintahkan untuk menahan diri, memaafkan, membiarkan dan berpaling dari kaum musyikin serta sabar atas gangguan mereka.
Kemudian tatkala kaum muslim hijrah dan mereka mendapatkan tempat perlindungan dan dukungan serta mereka berada di awal keberadaan daulah mereka, maka diizinkan bagi mereka untuk berperang dalam rangka menghadang gangguan kaum musrikin dan Allah tidak mewajibkan qital atas mereka.
Dan dalam tenggang waktu ini adalah Rasulullah saw meninggalkan dari membunuh orang yang pembunuhannya bisa mendatangkan bahaya atas kaum muslimin, di mana beliau mendengar gangguan kaum munafiqin dan sampai kepada beliau berita gangguan mereka serta para sahabatnya meminta dari beliau agar membunuh mereka, maka beliau berkata: “Biarkan mereka, jangan sampai manusia berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya” dan kadang berkata: “Kalau demikian pasti menimbulkan ancaman banyak di Yatsrib”.
Beliau mengikat perjanjian damai dengan kaum Yahudi dan beliau mengakui mereka atas koalisi-koalisi mereka yang telah mereka jalin sebelumnya sampai sesungguhnya Nabi saw melakukan perjanjian dengan mereka agar mereka membantunya bila beliau berperang….dan setelah itu mereka menyakiti beliau dan mengatakan raa’inaa yaitu hinaan yang buruk dalam makna mereka (di ambil) dari kalimat ru’uunah (kebodohan yang sangat), dan mengatakan “Isma’ ghaira musma’ (dengarlah sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa), dan hal-hal lainnya yang mana Nabi saw sabar terhadapnya, dan mereka juga mengucapkan salam terhadap beliau dengan “as saumu ‘alaik“ maka beliau menjawab “wa ‘alaikum” dan tidak melebihi itu dan tidak mengganggu mereka dan beliau tidak membunuh mereka walaupun menyakitinya, dan beliau melarang para sahabat dari membunuhnya tatkala sebagian mereka meminta perintahnya dalam hal itu, akan tetapi justeru khithab beliau terhadap mereka adalah lembut dan beliau melarang Aisyah radliallahu’anha dari mencaci mereka sebagai balasan terhadap hal itu dan beliau berkata kepadanya: “Kelembutan itu tidak ada dalam sesuatu melainkan ia menghiasinya dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan ia mencorengnya” dan semua itu tidak ragu adalah termasuk sikap pertimbangan beliau terhadap fase yang mana daulah kaum muslimin di dalamnya baru tumbuh dan tamkin mereka di awalnya.
Kemudian setelah itu datang perintah untuk membalas sikap aniaya dengan hal serupa dan (untuk) memerangi orang-orang yang telah mengusir kaum mu’minin dari negeri dan harta mereka.
Kemudian Allah mengokohkan kaum muslimin dengan Badar dan itulah awal kejayaan mereka, di mana hal itu menghinakan leher-leher mayoritas orang-orang kafir yang ada di Madinah dan menggentarkan kaum kafir lainnya…. Maka Rasulullah saw pada tenggang waktu ini mulai melakukan beberapa operasi nikayah terhadap sebagian yahudi yang pada pembunuhan mereka itu tidak terdapat mafsadah terhadap kaum muslimin dan negeri mereka, maka beliau membunuh Ka’ab ibnul Asyraf thoghut yahudi dan semacam dia, akan tetapi beliau tidak memperluas dalam hal itu namun mencukupkan dengan membunuh orang yang menyakitinya dari kalangan yang dalam pembunuhannya tidak menimbulkan mafsadah, sampai akhirnya kondisi makin kokoh di tangan beliau di Madinah, maka beliau mengusir sebagian mereka dan membunuh sebagian yang lain, semua itu beliau lakukan setelah penghianatan mereka atau sikap mereka melanggar perjanjian agar perbuatan beliau ini sebagai penyatu bagi penduduk Madinah termasuk orang-orang yang baru masuk islam di tengah mereka dari kalangan yang sebelumnya memiliki hubungan persekutuan dan kepentingan dengan kaum yahudi. Dan andaikata beliau melakukannya sebelum itu dan tanpa muncul dari mereka hal-hal itu tentulah menimbulkan banyak ancaman di dalam, akan tetapi itu adalah fiqh dan siyasah syar’iyyah yang bijaksana yang barangsiapa terhalang darinya maka ia ngawur dan ia melenyapkan kepentingan kaum muslimin serta menyia-nyiakan orang-orang yang Allah percayakan urusannya kepada dia.
Kemudian tatkala kekuasaan penuh di bumi telah beliau pegang maka beliau diperintahkan untuk memerangi kaum musyrikin seluruhnya dan memerangi kaum yahudi dan nasrani sampai mereka mau memberikan jizyah langsung dari tangan dan dalam keadaan hina …dan beliau diperintahkan untuk menjihadi orang-orang kafir dan munafiqin dan bersikap keras terhadap mereka…
Dan ini semuanya termasuk sikap mempertimbangkan kelompok mu’minah atau daulah muslimah, kemampuannya dan kekuatannya… Oleh sebab itu khithab kelompok atau daulah muslimah saat ia lemah terhadap musuh-musuh di dalam dan di luar tidaklah seperti khithabnya setelah lemahnya lenyap dan tidak seperti khithabnya saat ia kuat. Dan kekuatan ini juga berbeda khithab dan metode di dalamnya sesuai kadar kekuatannya, maka khithab daulah muslimin dan pilihan-pilihan (sikap) nya di zaman kita sebelum ia memiliki senjata nuklir yang menggetarkan umpamanya tidaklah seperti khithab dan pilihan-pilihan (sikap)nya setelah ia memilikinya…dan begitulah seterusnya….
Semua itu sebagimana yang telah kami ungkapkan tanpa menyentuh hal-hal baku (tsawaabit) atau pelembekkan pada al ‘urwah al wutsqa…
Ihsan dan mudarah yang merupakan bagian dari akhlak kaum mu’minin sedang ia (mudarah) itu sebagaimana yang sudah ma’lum bukanlah mudahanah, dan juga memaafkan, membiarkan, berpaling dari gangguan kaum musyrikin serta tidak lebih dahulu menyerang mereka, semua itu adalah boleh saat kondisi lemah kaum muslimin atau bila dituntut oleh mashlahat jama’ah atau daulah dan tidak membatalkan atau menentang hal-hal yang baku dalam tauhid, al wala’ dan al bara’ serta hal-hal lainnya dari al ‘urwah al wutsqa.
Dan karena urgentnya hal ini dan banyaknya nash-nash di dalamnya maka sebagian ulama mengeluarkan tadarruj dalam hal itu dari mansukh (hal yang dihapus) dan mereka menganggapnya sebagai bagian dari penangguhan yang boleh bagi muslim untuk memilih darinya apa yang selaras dengan kondisinya, kekuatannya, kelemahannya dan keadaannya.
Oleh sebab itu Syakhul islam ibnu Taimiyyah berkata: “…Dan jadilah ayat-ayat itu buat setiap mu’min mustadl’af yang tidak memungkinkan baginya membela Allah dan Rasul-Nya dengan tangannya dan tidak pula dengan lisannya, maka ia membela dengan apa yang ia mampu seperti dengan hati dan lainnya, dan jadilah ayat kehinaan atas kaum kafir mu’ahid buat setiap mu’min yang kuat yang mampu menolong Allah dan Rasul-Nya dengan tangan atau lisannya, dan dengan ayat ini dan yang lainnya kaum muslimin mengamalkannya di akhir umur Rasulullah saw dan di masa al khulafa ar rasyidin, dan begitulah ia sampai hari kiamat, senantiasa sekelompok dari umat ini berdiri di atas al haq membela Allah dan Rasul-Nya dengan pembelaan yang sempurna. Barangsiapa dari suatu kaum mu’minin di suatu negeri di mana ia tertindas di dalamnya atau di suatu waktu yang mana ia tertindas di dalamnya maka hendaklah ia mengamalkan ayat sabar, pembiaran dan pemaafan dari orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya dari kalangan ahli kitab dan kaum musyrikin. Dan adapun para pemilik kekuatan maka mereka hanya mengamalkan ayat qital para tokoh kekafiran yang mencela dien ini dan ayat qital orang-orang ahli kitab sampai mereka memberikan jizyah dari tangan langsung sedang mereka hina”. (Ash Sharimul Maslul).
Dan di antara sikap beliau saw mempertimbangkan sum’ah (nama baik) dakwah adalah upaya serius beliau terhadap kebersihan jihad dan kesucianya dari kesalahan –kesalahan yang nyata jelas yang muncul dari sebagian sahabatnya tanpa sedikitpun keberatan dari hal itu, kerena sesungguhnya dalam hal itu terdapat pengagungan dan pengedepanan akan sum’ah jihad, dakwah dan mashlahatnya atas setiap pertimbangan yang lain, dan itu seperti sabdanya tatkala khalid radliallahu’anhu membunuh sebagian orang-orang yang berlindung dengan cara sujud dan mengatakan shaba-naa serta mereka cakap mengucapkan aamannaa (kami beriman), beliau saw berkata: “ya Allah sesungguhnya saya berlepas diri di hadapanmu dari apa yang telah khalid lakukan. ‘Dan perhatikan bahwa beliau berlepas diri dari perbuatan dan kekeliruannya dan tidak berlepas diri dari khallid.
Dan sejenis dengan itu pengingkaran beliau terhadap Usamah tatkala membunuh orang yang mengikrarkan syahadat tauhid, terus beliau berkata kepadanya: ”Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan la ilaha ilallah?”atau bagaimana kamu berbuat dengan la ilaha illallah bila ia datang di hari kiamat? ”atau ucapan semacam itu, dan beliau mengulang-ulangnya sampai-sampai Usamah radliallahu’anhu berangan-angan bahwa ia belum masuk Islam sebelum hari itu karena ia melihat begitu besarnya pegingkaran Nabi saw terhadap hal itu.
Dan termasuk jenis itu juga kisah pembunuhan Ibnul Hadlramiy di awal bulan haram dan celaan kaum kafir terhadap kaum mu’minin dengan sebab itu, di mana kaum mu’minin tidak terpengaruh oleh celaan ini dan tidak pula membantah-mana mungkin mereka melakukannya – dalam hal itu dengan batil sebagai reaksi terhadap celaan kaum kafir kepada mereka dengannya, akan tetapi Allah ta’ala mengajarkan mereka agar selalu mengakui kebenaran dalam khithab mereka dan agar berlepas diri dari kekeliruan walaupun atas diri mereka demi menjaga sum’ah jihad dan kesuciannya serta demi mengedepankan mashlahat jihad atas diri mereka dan mashlahat-mashlahatnya, Dia berfirman: ”Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada Bulan Haram, katakanlah: Berperang pada bulan itu adalah dosa besar.”[Al Baqarah: 217]. Allah ta’ala mengajarkan mereka membantah dalam hal semacam ini dan agar mereka menerima al haq, Karena mereka adalah manusia yang paling utama dan paling bahagia dengan al haq itu serta agar mereka tidak berlepas diri dari kekeliruan walaupun muncul dari mereka atau ikhwan mereka, karena al haq itu lebih di kedepankan pada prinsif mereka dan ia lebih mereka cintai dari pada diri mereka dan dari pada manusia seluruhnya. Sehingga reaksi terhadap orang-orang kafir itu bukanlah dengan debat yang batil atau dengan pelembekan al haq atau penambalan kebatilan akan tetapi dengan pengakuan akan al haq dan keberlepasan dari kesalahan serta penjelasan bahwa kejahatan –keahatan kaum kafir itu lebih besar dari pada kekeliruan-keliruan ini yang mereka cari-cari dari kaum mu’minin, dan itu adalah firman-Nya ta’ala: ”tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisiAllah, Dan fitnah itu (syirik dst) adalah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. “(Al Baqarah: 217).
Bila hal ini sudah tetap, maka sesungguhnya kita hari ini kehilangan khithab I’lamiy yang matang bagi dakwah dan jihad, dan sesungguhnya apa yang kita lihat hari ini berupa khithab I’lamiy untuk dakwah dan qital pada metode banyak kelompok-kelompok muqatilah dan yang lainnya adalah ditelantarkan antara dua ujung yang kontradiksi.
Satu kelompok cenderung dengannya pada sikap tafrith, dimana ia dengan khithabnya itu melembekkan hal-hal yang baku pada dien ini, ia meleburkan hal-hal pokok dan menghancurkan rukun-rukun dan ikatan-ikatan yang tidak ada tawar menawar di dalamnya atau tidak boleh mencabut diri darinya.
Di antara mereka ada orang yang mempersaudarakan diri dengan orang-orang kafir dan mulhid serta dia menjadikan kaum nasraniy dan kaum mulhidin serta musuh-musuh agama sebagai teman dekat dengan meninggalkan kaum muslimin.
Kami mendengar dan melihat muwalah (loyalitas) dan persaudaraan antara panglima-pangliama yang intisab kepada islam dan jihad dengan orang-orang mulhid atau para thoghut dan para tokoh kekafiran dengan alasan-alasan satu parit dan musuh bersama serta kepentingan bersama, dan muwalah pun menjadi menurut batasan-batasan geografi yang ditentukan oleh ………dan ………bukan sesuai batasan-batasan Allah.
Kami mendengar celaan pada jihad dan mujahidin yang jujur, bara’ dari mereka dan dari jihad mereka, tawalliy kepada thoghut-thoghut hukum dan nasara serta yang lainnya, serta cenderung kepada mereka dalam payung persatuan nasional, kepentingan tanah air, keamanannya dan seterusnya.
Dan kami telah mendengar khithab sikap ngawur, serabutan dan keberlepasan dari ikatan-ikatan dien ini, penghancuran terhadap pilarnya yang paling agung, penyelewengan hal-hal yang sudah baku padanya, ikut serta dalam kemusyrikan dan menghiasinya dalam khithabnya, serta menjadikan syirik (demokrasi) itu sebagai metode dan jalan politik dengan nama hisbah, syura, atau jihad dusturiy, perjuangan parlemen dan perlawanan yang bersifat undang-undang, sehingga mereka melakukan syirik yang nyata dan kekafiran yang jelas dengan klaim khithab I’lamiy yang mempersatukan umat, dan kadang dengan dalih mashlahat dakwah yang mana dengannya mereka telah merobohkan ajarannya yang baku dan mereka leburkan ikatan-ikatannya yang paling penting.
Dan bila mereka berbicara tentang jihad maka mereka menyelewengkan pondasi-pondasinya, pokok-pokoknya dan tujuan-tujuanya demi mencari ridla musuh, mereka warnai dan merubah khithab mereka agar sejalan dengan budaya globalisasi yang mana orang-orang kerdil itu terperangah dan kalah di hadapannya, dan kadang mereka menghapusnya dan memotog cakar-cakarnya untuk melemahkannya dan menjadikannya sebagai defensif saja, dan mereka mengosongkan khithab mereka dari tsaqufah hewan-hewan kuat untuk mereka celupi dengan tsaqufah ayam potong dengan dalih toleransi , kasih sayang, khithab I’lamiy yang moderat atau yang menyatukan kekuatan-kekuatan kebangsaan !! dan klaim-klaim serta nama-nama lainnya yang meleburkan ikatan-ikatan al wala wal bara’.
Dan kadang membatasi tujuan-tujuannya terhadap pembebasan dari musuh luar, dan di dalam bingkai jihad mereka yang bersifat kebangsaan lagi jahiliyyah yang di bawah benderanya menyatukan orang-orang kafir dan orang-orang bejat; mereka menjalin persaudaraan dengan musuh dalam negeri yang biasanya lebih busuk dan lebih kafir dari musuh luar.
Dan sudah diketahui perbedaan yang jelas lagi nyata antara siyasah nabawiyyah syar’iyyah dalam hal berpaling dari sebagian orang-orang kafir dan munafiqin atau mengikat perjanjian dengan mereka atau menangguhkan dari memerangi mereka bahkan berkoalisi dengan mereka dalam kondisi dan situasi tertentu tanpa menanggalkan hal-hal yang baku dalam tauhid dan ‘ural iman, dengan menjalin persaudaraan atau loyalitas atau kasih sayang dengan musuhnya musuh saya atau anak suku saya dan bangsa saya yang telah berlepas diri dari dien ini dan menggugurkan tauhid dengan dalih penyatuan dalam parit kebangsaan, kepentingan bersama dan persatuan nasional serta hubungan-hubungan, ikatan-ikatan dan pijakan-pijakan jahiliyyah lainnya.
Bahkan kami telah melihat banyak dari orang-orang yang ngawur itu (yaitu) para pengusung khithab inizamiy indihariy (lontaran-lontaran yang bersifat kekalahan dan keterperangahan), mereka itu (kami lihat) telah menjual tauhid yang mana ia datang sebagai pembeda ajaran-ajaran kafir dan sebagai pemilah antara kekafiran dengan keimanan, dan mereka mengganti tauhid itu dengan persautuan kebangsaan dan persaudaraan perjuangan yang dengannya mereka mempersaudarakan antara yahudi, nasrani, dan ajaran-ajaran kafir seluruhnya dalam payung iman yang coreng moreng yang mereka ciptakan dan yang dengannya mereka mempersatukan antara para penganut agama-agama samawiy dan mereka menamakannya agama-agama tauhid.
Dan sudah ma’lum perbedaan yang besar antara mudarah terhadap kelompok-kelompok yang beraneka ragam atau mengikat perjanjian dan perdamaian dengan mereka dan mensiasati mereka atau berinteraksi dengan mereka dengan cara baik selagi mereka tidak melakukan celaan pada agama kita atau bersekutu dengan mereka untuk kebutuhan dan fase tahapan, dan meninggalkan memerangi mereka walaupun mereka melakukan celaan pada agama kita serta menyakiti kita karena ada prioritas-prioritas utama yang lain atau karena lemahnya kemampuan serta siyasat syar’iyyah lainnya; sangatlah berbeda antara hal ini dengan menjalin persaudaraan, tawalliy, kasih sayang dan cenderung kepada mereka atau mendukung mereka dan mengedepankan mereka atas kaum muslimin, penghancuran tsawabit dan al ‘ura al wutsqa untuk menyenangkan mereka, menggembirakan perasaan mereka serta tampil dengan penampilan agama (modern) yang di ridlai orang-orang kafir….! Maka ini semuanya termasuk keterpesonaan, keterjatuhan, dan kekalahan dan sama sekali bukan termasuk siyasah syar’iyyah.
Dan kebalikan dari khithab yang penuh kepasrahan lagi kekalahan yang berjalan di bawah pengaruh-pengaruh budaya barat dan terpuruk di hadapan teror pemikiran kaki tangan mereka di negeri kita ….
Berlawanan dengan tafrith ini khithab orang-orang yang berlebih-lebihan, di mana mereka tidak mempertimbangkan apa yang dipertimbangkan Nabi saw (yaitu) berupa kondisi-kondisi, keadaan-keadaan, dan aulawiyyat, dan mereka tidak mempertimbangkan kemampuan-kemampuan mereka, kekuatan mereka dan keberkuasaan mereka di muka bumi, dan mereka tidak mengedepankan kebutuhan umatnya yang amat mendesak lagi utama atau mereka menoleh kepada timbangan mashalahat dan mafsadah yang syar’iy.
Sebagian dari mereka dan padahal kemampuan-kemampuannya sangat terbatas lagi terbuka, ia berbuat dan menghadapi dunia dengan khithab orang yang memiliki senjata-senjata pemusnah massal dan ia melontarkan ancamannya kepada dunia seluruhnya, sehingga ia membuat emosi dunia dan memancingnya (untuk bersatu-padu) terhadap kaum muslimin di setiap belahan bumi, baginya tidak ada aulawiyyat, tidak ada fase tahapan dan tidak ada siyasah syar’iyyah …..dan ia tidak peduli terhadap khithabnya yang penuh semangat kosong yang mengakibatkan penindasan dan penyempitan serta pengketatan terhadap kaum muslimin.
Ia tidak menoleh atau meletakkan dalam perhitungannya pengetahuan akan realita hari ini dan tipu daya musuh-musuh serta orang-orang yang paling utama dijihadi di antara mereka, dia tidak membedakan antara satu pihak dengan pihak lain dan antara satu pemerintahan dengan pemerintahan lain, kapan saja dia mudah mendapatkan sebagian senjata dan bahan-bahan peledak maka dia memilih target yang mudah tanpa melihat pada faidah, balasan dan mashlahat serta mafsadah.
Dan tidak ada dalam program dia dan perhitungannya tinjauan pada realita negeri yang dia bergerak di dalamnya dan keadaan kaum muslimin di dalamnya serta sikapnya terhadap persoalan-persoalan mereka, dan ia tidak berpikir untuk mengkaji keadaan penduduknya supaya ia memilih dari khithab syar’iy yang matang ini apa yang selaras dengan tahapan, kondisi dan keadaan, dan apa yang bisa merealisasikan mashalahat terbesar bagi islam dan muslimin serta menjauhkan dari mereka kerusakan yang paling besar. Semua ini tidak ia pedulikan….Dan bila engkau datang kepada ia mengkritisi lontaran yang ia lontarkan atau penegasan yang ia obral di sana sini yang dimanfaatkan oleh media pemberitaan untuk mencoreng dien ini dan persekongkolan terhadap kaum muslimin….maka dalam membantahmu dia cukup berkata: “Bukankah ini termasuk dien…??
Ia tidak mempertimbangkan mashlahat atau mafsadah …dan ia tidak melihat pada hal yang penting dan yang paling penting, rajih dan marjuh atau fadlil dan mafdlul.
Sedangkan dalam atsar yang diriwayatkan Muslim dari Abdullah ibnu Mas’ud: [ Tidaklan kamu mengatakan kepada suatu kaum suatu ucapan yang tidak kesampaian akal-akal mereka, melainkan ia itu menjadi fitnah bagi sebagian mereka ]”.
Dan dari Abdirrahman ibnu Mahdiy; [ Orang tidak bisa menjadi pemimpin yang ditauladani sampai ia menahan diri dari sebagian apa yang telah ia dengar ].
Sebagian ulama ditanya tentang sebagian ilmu, maka ia tidak menjawab, kemudian si penanya berkata: Apa engkau belum mendengar hadits: “ Barangsiapa ditanya suatu ilmu terus ia menyembunyikannya maka ia dikekang di hari kiamat dengan kendali dari api neraka ? maka ia berkata: Tinggalkan kendali itu dan pergilah! kemudian bila datang orang yang paham dan terus saya menyembunyikannya, maka hendaklah ia mengekang saya dengannya.”
Sedangkan ‘amal jihadiy atau da’awiy bila tidak dikendalikan oleh akal yang matang dan tidak diarahkan oleh khithab I’lamiy yang peka perhatian lagi jelas dan program tertentu yang diketahui oleh anshar dan masyarakat luas bisa saja dimanfaatkan oleh musuh-musuhnya untuk tujuan-tujuan mereka dan mereka mencelupnya dengan warna dan celupan yang mereka inginkan dan mereka memetik dengan kebusukan mereka dan dengan kedengkian para pelakunya apa yang mereka sukai dari hasil-hasil yang busuk…
Dan kami telah mendengar dan melihat contoh-contoh yang banyak dari hal itu.
Kami melihat dari kalangan orang-orang yang bersemangat tinggi ada orang yang diberi keleluasaan kesempatan dan dibuka lebar-lebar bagi dia mimbar-mimbar media berupa Koran, televisi dan yang lainnya selagi khithabnya dicelupi dengan apa yang melayani sebagian mashlahat musuh, seperti pengobaran manusia terhadap kaum muslimin dan pemanas-manasan mereka terhadap para du’at serta pengutaraan berbagai alasan yang melegalkan untuk menangkapnya serta membantu untuk mempersempit gerak mereka dan menghabisi mereka, sampai-sampai kami melihat orang yang diberi keleluasaan media untuk berbicara lewat udara tentang ranjau-ranjau terbang yang diciptakan oleh oraganisasinya, dan orang lainnya lagi berbicara tentang rencana-rencananya untuk memiliki bom-bom nuklir, serta yang lain mengeluarkan ancaman untuk menyerang Amerika dengan serangan yang akan menuai korban seratus ribu orang, dan juga yang lain berbicara tentang pukulan yang menakjubkan dan balasan yang menggetarkan. Dan kita di sana sini mendengar banyak ucapan yang dimanfaatkan oleh musuh akan tetapi kita tidak melihat perbuatan.
Orang yang memperhatikan politik-politik banyak Negara yang menghargai kepentingan-kepentingannya, ia akan melihat orang yang sebenarnya memang benar memiliki kemampuan-kemampuan semacam ini, ia mengelit agar tidak mengakui kepemilikan hal-hal itu, sedangkan para pemuda itu malah tanpa peduli melontarkan penegasan-penegasan yang nyaring macam ini dan khithab yang berapi-api yang tidak mengemban mashlahat kaum muslimin dan jihad mereka serta tidak mempertimbangkan ketertindasan kaum mustadl’afin mereka di setiap tempat dan ia malah menjadi jalan dan alasan yang digunakan oleh musuh untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka yang beragam.
Sebagaimana kami melihat orang yang dimanfaatkan lewat berbagai sarana informasi untuk menyebarkan khithabnya yang dicelupi dengan celaan terhadap du’at yang tulus dan simbol-simbol perjuangan islam dan para syaikhnya yang besar seperti ibnu Taimiyyah atau Muhammad ibnu Abdil Wahhab atau Sayyid Quthb dan yang lainnya karena sebab beberapa kekeliruan yang mana orang itu menghabiskan umurnya dalam pengorekan kekeliruan itu di sela-sela tulisan-tulisan mereka yang agung, kemudian dengan kedunguannya dengan dorongan pembersihan perhitungan dia berjalan bersama sebagian aliran-aliran atau kelompok-kelompok yang menyelisihinya, dan dia mengerahkan kemampuan dan waktunya untuk mencela para juru dakwah dan jihad dari kalangan ulama dan du’at, dan dia dimanfaatkan oleh para thoghut dalam hal itu, di mana mereka menyebarkan tulisan-tulisannya dan membuka lebar baginya mimbar-mimbar mereka dan media-media pemberitaan mereka, semua itu dari mereka adalah untuk memerangi islam dan jihad dan untuk mencemarkan ulama dan mujahidin dan orang bodohpun tergiring bersama mereka dengan penuh semangat dan kedunguan karena perhitungan-perhitungan khusus padanya sedangkan dia mengira bahwa ia sudah berbuat sebaik-baiknya. Dan kadang lembaran-lembaran Koran digunakan untuk dialog bersama sebagian orang-orang yang berapi-api semangat atau orang-orang yang ghuluw, dan mereka diberi keleluasaan dari menyebarkan keyakinan-keyakinan mereka yang bermuatkan banyak sikap ngawur lewat sarana-sarana informasi dan secara sengaja difokuskan di dalamnya serta ditampakkan secara khusus pengkafiran mereka terhadap sebagian syaikh atau ulama yang terkenal atau pengkafiran mereka terhadap sebagian manusia awam atau sebagian tokoh-tokoh pembangkang pemerintah agar dengannya para thoghut memalingkan peperangan serta menjauhkan serangan dan senjatanya dari mereka kepada para syaikh itu, atau para pembangkang atau masyarakat awam itu.
Kemudian secara tiba-tiba berubahlah para thoghut itu menjadi para pembela masyarakat dan ulama serta bahkan para pembangkang itu dari pemikiran-pemikiran takfiriy dan kharijiy !! yang sesat ini dan yang lainnya, yang mana para thoghut biasa mencap banyak du’at dengan cap itu, dan merekapun bangkit untuk menumpas mereka dan yang lainnya dari kalangan du’at dan mujahidin di bawah topeng tuduhan ini, dan sebagian orang dungu mempermudah hal itu bagi mereka dengan sebab kesibukan mereka dengan hal-hal yang tidak urgent atau dengan mukaffirat ghair sharihah (hal-hal yang mengkafirakan yang tidak jelas) atau dengan cara membuka konfrontasi dengan orang-orang (muslim) yang rusak atau orang-orang kafir yang tidak memerangi pada agama, sehingga dengan hal itu mereka memperlebar wilayah perseteruan serta mereka mencampur aduk lembaran-lembaran.
Dan seandainya mereka mengamati sirah Nabi saw dan khithab beliau yang mempertimbangkan marhalah (fase) dan kondisi yang dilalui oleh kelompok mu’minah ini dan (seandainya) mereka mentadabburi sabdanya pada sebagian fase: [ Biarkan mereka, agar manusia tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya…], tentu mereka mengetahui apa yang paling utama dan seterusnya, dan mereka mengetahui bagaimana unta digiring dan dari mana mulai (daging) pundak dimakan.
Dan alangkah bagusnya pemahaman Al Hasan saat mengingkari Anas menyampaikan kepada Hajjaj hadits ‘Uraniyyin dan hukuman yang dikenakan Nabi saw terhadap mereka! karena Hajjaj akan menjadikannya dan bahkan ia memang telah menjadikannya sebagai cara dan jalan kepada apa yang ia sengaja lakukan berupa sikap kelewatan dalam penumpahan darah dengan takwilnya yang lemah.
Oleh sebab itu saya meyakini secara pasti bahwa penulisan buku yang dilakukan sebagian ulama serta ijtihad mereka dalam menetapkan kebolehan membuka wajah dan kedua tapak tangan di zaman dekadensi moral, kebejatan, tabarruj dan sufur, dan upaya pengerahan segala kemampuannya dalam rangka membantah setiap orang yang menyelisihinya dan yang mengatakan kewajiban menutupi keduanya, itu adalah kelalaian darinya dari mempertimbangkan realita manusia zaman ini, dan orangnya itu telah terhalang dari fiqh (waqi’) ini, dengan tidak melihat apa pendapatnya ini benar atau salah.
Dan dari arah inilah saudara kami Syaikh Abu Qatadah –semoga Allah membebaskannya dan membebaskan kami– dikecam karena fatwanya tentang kebolehan membunuh wanita-wanita dan anak-anak para jenderal Al Jazair yang melakukan hal itu terhadap wanita dan anak-anak mujahidin.
Orang yang mengetahui tabi’at bangsa Al Jazair dan kerasnya watak mayoritas dari mereka kecuali orang yang Allah rahmati, ia memandang bahwa Syaikh tidak tepat dalam mengkhithabi mereka dengan fatwanya itu, dengan tanpa melihat pada kondisi-kondisi fatwa, motif-motifnya dan dalil-dalilnya, karena beliau insya Allah mujtahid yang minimal mendapatkan satu pahala.
Adapun orang-orang yang ghuluw di antara mereka maka mereka itu tidak membutuhkan kepada fatwa semacam ini dan syaikh sendiri pada dasarnya tidak mengeluarkan fatwa itu bagi mereka, akan tetapi mereka itu bersama ini dan bersama permusuhan mereka terhadap Syaikh dan pengkafiran sebagian mereka terhadapnya tidaklah bisa dipercaya dari menjadikan fatwa ini sebagai jalan untuk menambah keberanian mereka terhadap darah, dan fatwa ini telah menjadi batu sandungan yang dihadapi syaikh disetiap kesempatan bahkan lawan-lawannya yang tidak obyektif telah melontarkanya dan mengumumkannya terus akhirnya mereka mengklaim bahwa beliau memfatwakan kebolehan membunuh anak-anak dan wanita-wanita Al Jazair, begitu secara umum, semoga Allah memberikan apa yang layak bagi mereka.
Sebagian ahli tata bahasa berkata: “Bila kamu berucap maka perhitungkanlah ucapan-ucapanmu, jelaskanlah dan terangkan maksud-maksudnya, dan janganlah menjadikannya mengandung banyak kemungkinan, serta jangan kamu melontarkan apa yang bisa disalah pahami dan dianggap sulit serta membutuhkan keterangan dan penjelasan, karena lawan itu tidak akan menuturkan takwil bagimu, bila di dalam hatinya ada penyakit maka dia memalingkan ucpanmu dan mengarahkannya sesuka dia…”
Dan di antara contoh-contoh khithab I’lamiy yang sudah mempertimbangkan kemampuan-kemampuan kelompok mujahidah dan tidak memeprhitungkan sumbangsih-sumbangsih realita serta tidak mempertimbangkan hal yang paling utama dan paling penting dan juga tidak beriringan bersama marhalah dengan aulawiyyatnya, adalah apa yang kami baca dan kami dengar dalam penjelasan-penjelasan mujahidin baru-baru ini…..
Dalam waktu yang mana peperangan berkecamuk di antara berbagai kelompok rakyat Iraq yang beraneka ragam dan di kota-kotanya yang terpisah-pisah, dan yang mana di dalamnya muncul di hadapan kita kelompok-kelompok sesat yang telah bahkan masih berbuat berbagai kejahatan terhadap Ahlus sunnah, untuk supaya pimpinan-pimpinannya, rujukan-rujukannya, panglima-panglimanya dan bahkan kalangan umumnya di hadapan televisi-televisi, mengumumkan bahwa mereka berdiri di samping penduduk Fallujah – padahal mereka itu tidak dan tidak akan berdiri – dan bahwa bencana penduduk fallujah adalah bencana mereka pula dan bahwa darah yang tumpah di sana adalah darah mereka pula….
Tiba-tiba muncul di hadapan kita sebagian mujahidin yang kami tidak meragukan tentang keikhlasan dan loyalitas mereka terhadap dien ini, akan tetapi dengan kematangan khithab mereka, pengalaman mereka, baiknya pilihan mereka serta penentuan waktu mereka; untuk mengumumkan kepada dunia seluruhnya dengan khithab yang lugu yang tidak mempertimbangkan kondisi-kondisi mujahidin, kemampuan-kemampuan mereka, realita negeri dan tabi’at marhalah, di dalamnya mereka mengajak untuk mengobarkan peperangan terhadap kelompok-kelompok itu dan mereka mengumumkan pentargetan mereka dan upaya mereka untuk membunuh pimpinan-pimpinan dan rujukan-rujukan mereka bahkan mujahidin itu mengaku telah membunuh orang yang terbunuh dari mereka di waktu yang lalu, padahal sesungguhnya hal itu telah dituduhkan oleh lisan kelompok tadi dan oleh media kepada Amerika, sedangkan kawan kita ini yang semestinya dia membenarkan hal itu dan menguatkannya sebagai pengarahan konflik terhadap Amerika, dia malah membebaskan Amerika dari tuduhan itu dan dia malah memikulnya dan memikulkan kepada para mujahidin serta akhirnya kepada Ahlus sunnah tanggung jawab darahnya dan darah puluhan orang yang terbunuh bersamanya……
Supaya dengan hal itu dia membuka peluang di hadapan musuh-musuh Allah dari kalangan salibis dan yang lainnya untuk memanfaatkan khithab ini dan menjadikan orangnya sebagai pemicu peperangan saudara (Al harb ahliyyah) yang mereka siapkan untuknya, sebagaimana mereka telah berupaya sebelumnya menjadikan dia sebagai penghubung antara Al Qaidah dan Saddam, serta mereka berupaya keras untuk mencelupnya dengan celupan terorisme yang menjadikan targetnya kalangan umum bangsa Iraq dan bahkan kalangan umum masyarakat di negerinya lewat pemanfaatan sebagian amaliyyat yang sembrono yang sesekali disandarkan kepadanya oleh sebagian para pemuda dalam pengakuan-pengakuan mereka atau disandarkan kepadanya oleh pemerintah secara palsu dan dusta serta dengan pencorengan yang banyak pada kali lain. Saya berharap sekali ia memiliki kematangan dalam khithbanya dan tepat dalam pilihan-pilihannya agar ia melenyapkan kesempatan atas mereka serta ia menjadi lambang dari lambang jihad dan pahlawan dari pahlawan-pahlawan perlawanan terhadap pendudukan salibis yang bersatu di sekitarnya seluruh mujahidin bahkan seluruh Ahlus sunnah di sana.
Akan tetapi untuk itu tidaklah cukup ikhlas, wara’, dan keberanian saja, mungkin ini cukup bagi komandan-komandan lapangan dan alangkah banyaknya mereka itu, akan tetapi panglima umum dan lambang yang menggerakkan manusia dan memimpin masyarakat sedang umat amat butuh kepadanya hari ini, maka ia mesti memiliki sifat-sifat lain yang paling terdepan adalah kematangan khithab I’lamiy, baik dalam pilihan serta mengetahui realita untuk mempertimbangkan situasi-situasinya dan peran sertanya dalam setiap langkah dan pilihan, dan ia mesti memahami sirah Nabi saw dan bagaimana beliau mengkhithabi setiap orang dengan khithab yang sejalan dengan latar belakang mereka, serta dia mempertimbangkan kondisi-kondisi marhalah, kemampuan-kemampuan kaum muslimin dan kebutuhan-kebutuhan mereka terpenting serta aulawiyyat mereka tanpa menyentuh hal-hal yang baku dan pilar-pilar dien ini sebagaimana yang telah lalu kami utarakan.
Dan jangan sampai khithab itu keluar dari keluguan dan kedangkalan atau merasa ia dilegalkan oleh keberadaan kelompok-kelompok itu telah melakukan terhadap Ahlus sunnah berbagai tindakan jahat seperti menculik wanita, membunuhi para ulama, menduduki banyak mesjid dan yang lainnya; mereka itu karena kebusukannya melakukan hal itu dan lebih dari itu sebagaimana yang dikabarkan orang-orang tsiqah kepada kami, akan tetapi dengan kecerdikan yang menghalangi mereka dari mengumumkan hal itu –tidak seperti yang dilakukan kawan kita ini– bahkan sebaliknya mereka melakukan tindakan-tindakan ini di berbagai wilayah Iraq dan melakukan hal-hal darinya di Iran sebagaimana mereka telah melakukan hal yang sama sebelumnya di Afganistan lewat tangan-tangan “Hizbul Wahdah“ yang berkoalisi dengan seluruh musuh Ahlus sunnah walaupun mereka dari kalangan komunis, dan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Organisasi Amal di Libanon di Tel Za’ter serta yang lainnya…. Dan begitulah setiap kali mereka memiliki kesempatan untuk mengintimidasi Ahlus sunnah maka mereka tidak menyiakannya, saya mengetahui hal ini dan tidak tersamar atas saya, akan tetapi apa yang terjadi hari ini terhadap Ahlus sunnah di Iraq oleh tangan-tangan mereka tidaklah mereka mengakuinya dan tidak pula mengumumkannya atau menjadikannya darinya khithab; bahkan justeru sebaliknya sesungguhnya celupan yang dinyatakan dan nampak bagi khithab mereka yang bersifat politik adalah bahwa sunnah adalah saudara mereka, dan mereka beserta para pendukung mereka di Iran dan Libanon menyatakan keberpihakan mereka di sisi Ahlus sunnah dan kecaman mereka terhadap apa yang terjadi di Fallujah, Palestina dan yang lainnya, dan dalam pemberitaan luarnya mereka tidak menggembor-gemborkan permasalahan sunnah dan syi’ah, akan tetapi mereka berupaya dalam khithab mereka yang diumumkan luas – berbeda dengan keadaan sebenarnya di atas bumi realita – meleburkan perbedaan-perbedaan ini dan menjadikan kelompok mereka sebagai madzhab kelima di samping madzhab yang empat bagi Ahlus sunnah bukan gendang kelima yang terbuat tipu daya atas mereka semenjak zaman Hulaghu Khan sampai hari ini. Dan khithab ini tentunya tidak kamu dengar di wilayah-wilayah kekuasaan dan penguasaan mereka atas Ahlus sunnah, akan tetapi mereka tidak menyatakan terang-terangan tentang tindakan-tindakan jahat mereka sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang lugu dari kalangan Ahlus sunnah, oleh sebab itu kamu melihat orang-orang bodoh hari ini menuduh Ahlus sunnah sebagai penebar fitnah (kekacauan), perpecahan dan kedangkalan, terus mereka menilai kelompok-kelompok itu moderat, matang pemikirannya dan menjaga persatuan, sampai-sampai sesungguhnya mereka itu dalam rangka hal itu dan dalam rangka menancapkannya dalam pemikiran orang-orang bodoh itu mereka tidak menyebarkan dalam siaran-siaran udara mereka adzan mereka yang menyelisihi adzan Ahlus sunnah dengan lafal-lafal dan waktu-waktunya.
Dan bila agama mereka yang berdiri di atas taqiyyah membolehkan bagi mereka sikap munafiq, mengbunglon dan menipu seperti bunglon; maka kami tidak menuntut para mujahid kita dengan taqiyyah dan mengbunglon, akan tetapi kita menuntut mereka agar mempertimbangkan kemampuan-kemampuan mereka, volume mereka dan kebutuhan umat mereka dan mendahulukan aulawiyyat dalam khithab I’lamiy mereka dan dalam pilihan-pilihan operasi mereka, serta mempraktekkan fiqh Nabi saw yang dipahami dari yang lalu dalam ucapannya, “ Kalau begitu terjadi goncangan banyak orang di Yatsrib “ dan ucapannya ‘biarkan mereka itu, jangan sampai manusia mengatakan bahwa Muhammad membunuhi sahabatnya “ kelompok <!–[if supportFields]> syi’ah
<![endif]–><!–[if supportFields]><![endif]–> ini baik mujahidin mau atau tidak mau tetap secara pemberitaan dan pandangan dunia dianggap bagian dari islam sebagaimana kaum munafiqin zaman Nabi saw dianggap bagian islam, dan kelompok itu tidak bisa dihabisi oleh khilafah sampai para mujahidin itu leluasa menghabisinya dengan sebagian operasi-operasi nikayah, maka ia adalah realita yang wajib mensikapinya dengan siyasah syar’iyyah dan hikmah, dan barangsiapa dikaruniai hikmah maka ia telah diberi kebaikan yang banyak….Pada asalnya khithab I’lamiy mujahidin ini harus menjauhi ajakan untuk benturan dengan kelompok-kelompok ini, dan bila hal semacam itu dibutuhkan maka itu dilontarkan sebagai bentuk perlawanan terhadap yang menyerang yang boleh termasuk bersama kaum muslimin, dan jangan dilontarkan sebagai bentuk strategi atau jalan yang kaum muslimin dibakar semangatnya atas hal itu; sehingga hal itu akan dianggap oleh kalangan pengamat dan dimanfaatkan oleh musuh bahwa ia adalah fitnah dan propaganda dari para pelontarnya terhadap perang saudara di waktu yang mana para penganiaya yang sebenarnya dari kalangan kelompok itu mengumumkan penolakan mereka terhadap fitnah dan perang saudara serta mereka mendengung-dengungkan dalam pemberitaan mereka sikap persaudaraan mereka terhadap Ahlus sunnah dan pencampakkan mereka akan perpecahan secara dusta dan tipu daya.Maksudnya adalah bahwa penghadangan orang yang menyerang yang merupakan pengecualian yang boleh termasuk terhadap kaum muslimin tidaklah selayaknya dijadikan pilihan inti dan khithab yang umum yang diumumkan di hadapan umat dan para mujahidin dikobarkan semangatnya terhadapnya secara umum dan terang-terangan,…akan tetapi mungkin melakukan hal itu dengan cara menghadang sikap aniaya kelompok-kelompok semcam ini dan membalas gangguannya bahkan menculik para tokoh kekafiran, profokasi, kejahatan dan fitnah di antara mereka bila memang mesti tanpa menjadikan hal itu khithab ‘aam (yang umum) dan pengumuman yang tidak membedakan antara yang aniaya di antara mereka dengan yang tidak, dan tidak membedakan antara para tokoh yang sesat dengan kalangan awam yang disesatkan. Karena khithab jihad yang umum dan inti yang disepakati oleh kalangan awam dan kalangan khusus kaum muslimin tidaklah sah larut dalam cabang-cabangnya atau lenyap dengan menyibukkan diri dalam pengecualian-pengecualiannya atau dalam pilihan-pilihan lain yang tidak begitu mendesak (marjuh)….
Persis sebagaimana tidak masuk akal umpamanya khithab I’lamiy para mujahidin yang bersifat umum cederung mencelupi diri dengan penggembor-gemboran seputar kebolehan membunuh wanita dan anak dalam serangan bayat (serangan malam atau yang tidak bisa memilah laki-laki dari yang lainnya), sedangkan ini adalah khithab khusus yang bersifat pengecualian lagi cabang yang dengannya Nabi saw mengkhithabi Mujahidin tertentu untuk meniadakan dosa darinya dalam jihad, dan tidak masuk akal bila khithab khusus ini dijadikan dan dialihkan menjadi khithab I’lamiy yang umum, terus umpamanya didengung-dengungkan seputar kebolehan membunuh wanita dan anak-anak dan media massa internasional dikhithabi dengan itu serta digembar-gemborkan tentangnya lewat jaringan udara, penjelasan-penjelasan dan edaran-edaran yang disampaikan kepada dunia, akan tetapi semestinya manusia dikhithabi dengan khithab yang umum yang merupakan pokok dalam jihad islamiy berupa larangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, jompo dan yang lainnya yang tidak ikut perang dan tidak membantu terhadap perang…
Sama sekali tidak syah dan tidak masuk akal bila hal inti ditelantarkan dan manusia malah dikhithabi dengan pengecualian….
Dan contoh itu adalah apa yang lalu berupa khithab Nabi saw bersama kaumnya, di mana itu adalah penampakkan dan pernyataan akan keindahan-keindahan dien kita yang inti yang sejalan dengan fitrah serta disepakati oleh semua manusia yang berakal dan diantaranya adalah kejujuran yang dituturkan oleh Abu Sufyan dan dia sampaikan kepada Heraclius: tidaklah masuk akal bila ditinggalkan khithab yang inti dalam agama kita ini yang menganjurkan untuk bersikap jujur dan mengharamkan dusta, dan malah menggantinya dengan khithab yang umum yang mendengung-dengungkan seputar kebolehan dusta dalam peperangan umpamanya, dan mejadikan hal itu sebagai sibghah (celupan) bagi khithab islamiy atau disalahgunakan, berlebihan dan terlalu dibuka lebar tanpa keperluan sampai para du’at dituduh sebagai pendusta padahal sesungguhnya Nabi saw dikenal di kalanganb musuh-musuhnya sebagai Ash shadiqul amin !! sehingga akhirnya cabang dan pengeculian yang mana para mujahidin tertentu dikhithabi dengannya dalam rangka meniadakan dosa dari mereka dalam peperangan (akhirnya) ia berubah dan menjadi atau dijadikan khithab yang umum bagi manusia dan orang-orang yang didakwahi.
Orang-orang yang akalnya kecil dan dangkal mengatakan: Wahai saudaraku ini bagian agama kita, dan kami tidak merasa malu dengannya; oleh sebab itu bagi mereka tidak ada halangan dan tidak keberatan dari menshibghahi khithab ‘aam mereka dengannya.
Dan saya katakan: Demi Allah, tidak malu darinya kecuali orang yang dalam imannya ada cacat; akan tetapi sirah Nabi kita dan siasatnya – di samping mempertimbangkan realita marhalah dan kondisi-kondisi kaum muslimin serta kemampuan-kemampuan mereka – telah membedakan dalam khithab dakwah antara ajaran-ajaran inti dan kaidah-kaidah baku yang wajib dijadikan sebagai khithab I’lamiy yang bersifat dakwah lagi umum; dengan cabang-cabang dan pengecualian-pengecualian atau hukum-hukum yang datang atau disayri’atkan untuk kondisi-kondisi tertentu dan dalam marhalah-marhalah atau keadaan-keadaan tertentu atau ia yang tergolong khithab islamiy yang khusus. Dan tidak sah khithab ‘aam dimuati dengan hal-hal itu, serta tidak memahami ini dan lapang dada dengannya kecuali orang yang Allah berinya hidayah, taufiq, ilmu dan bashirah….
Sejalan sekali bila saya mengakhiri ini dengan kisah lucu yang menimpa pada seorang ikhwan kami bersama dokter gigi di penjara, dan kisah ini mengisyaratkan kepada realita yang lebih besar pada banyak mujahidin dan du’at hari ini dalam hal ketidakmempertimbangkan realita, marhalah dan kondisi pada khithab mereka.
Si dokter itu nasrani , dan saudara kami ini butuh untuk berobat padanya karena tidak ada dokter selainnya. Dan terjadilah percakapan di antara mereka berdua tentang apa yang dilakukan Al Qaidah dan para mujahidnya berupa operasi di sana sini…maka di antara jawaban saudara kita ini kepadanya adalah: ” Pada dasarnya kamu seandainya ada Negara islam maka tidak ada bagimu kecuali Jizyah atau pedang….!! Dan dia mengutarakan itu dengan cara penuh emosi lagi angkuh
Saya katakan: khithab penuh ketinggian hati yang diarahkan teman kita ini kepada dokter nasraniy yang mengobatinya itu !! pantasnya dilontarkan seorang panglima dari panglima kaum muslimin sekaliber ‘Ubadah ibnu Ash Shamit atau Al Mughirah ibnu syu’bah atau Qutaibah ibnu Muslim yang mamimpin pasukannya yang besar untuk mengkhithabiy dengannya thoghut pembangkang yang angkuh seperti penguasa Romawi atau Persia atau raja Mesir atau Cina, dia menghadapinya dengannya di hadapan para algojo, peperangan, pemenggalan leher dan pemotongan persendian, dan sama sekali tidak sejalan atau mempertimbangkan kondisi, marhalah dan keadaan yang mana kawan kita ini menyerahkan rahang dan kepalanya kepada alat pencabut gigi dokter nasrani itu untuk mengobati giginya.
Apakah membahayakan kawan kita ini secara syar’iy atau ia di anggap mudahanah atau menarik diri dari sebagian ajaran-ajaran inti atau ia dianggap meleburkan sesuatu dari hal-hal baku seandainya ia mengkithabi orang nasrani yang mengobatinya itu dan yang mana pada kondisi seperti ini tidak ada antara kita dengan dia selain dakwah: saya katakan: Apa membahayakan dia seandainya dia mengkhithabinya dengan khithab ta-liful qulub, tarhib, tabsyir (kabar gembira) dan penampakan kemudahan yang mana itu termasuk ajaran kita dan pada dasarnya kita di perintahkan dengannya terhadap orang yang tidak memerangi kita karena agama, serta itu lebih di tekankan sebagaimana yang lalu pada kondisi ketertindasan kita……?
Dia mengatakan kepadanya umpamanya: Sesungguhnya orang nasrani di payung Negara islam tidak di paksa untuk merubah agamanya, dan bila dia menghormati agama dan tidak menghinanya serta dia rela untuk menjadi warga Negara dengan cara memberikan jizyah, maka dia mendapat jaminan Allah dan Rasul-Nya saw serta ia mendapatkan hak- hak, keamanan dan jaminan atas dirinya, hartanya, kehormatannya dan agamanya yang tidak ia dapatkan hari ini di negara-negara yang paling fanatik terhadap agama nasrani sekalipun.
Kemudian ia menjelaskan kepadanya bahwa hakikat jizyah adalah sejumlah kecil harta yang tidak seberapa di bandingkan dengan apa yang di ambil para thaghut hari ini berupa pungutan, pajak dan denda-denda di berbagai sisi kehidupan, dan ia juga jumlah harta yang tidak ada nilainya dibandingkan dengan apa yang diberikan kepada orangnya berupa hak-hak, kewarganegaraan, dan jaminan di dalam payung Negara islam, dan ia dibebaskan dari zakat yang wajib atas kaum muslimin, sebagaimana ia dibebaskan dari keikutsertaan dalam pembebasan tanah air, di mana tidak ada kewajiban menjadi tentara atasnya, dan tidak ada kemiliteran atau jihad, akan tetapi wajib atas negara melindunginya dan melindungi harta dan keluarganya selagi ia menjadi warga di dalamnya. Dan barang siapa menyakitinya maka ia telah merobek jaminan Rasulullah saw selagi si dzimmiy ini menghormati aturan Negara islam lagi tidak memerangi kaum muslimin dan tidak membantu musuh mereka atau mencela dien mereka, dan bahwa jizyah ini sering sekali di kembalikan kepada orang-orang nasrani di masa khilafah saat Negara tidak mampu melindungi mereka di ssebagian wilayahnya, dan banyak para khalifah menggugurkannya dari orang yang sudah lanjut usia dan tua dan ahli dzimmah, dan bahwa banyak kalangan nasara ikut sukarela berperang bersama kaum muslimin melawan Romawi dan kaum salibis dari kalangan yang seagama dengan mereka tatkala mereka melihat dan merasakan keadilan islam serta apa yang mereka ketahui berupa kezaliman kaum mereka sendiri yang mengambil dari mereka berlipat-lipat dari jizyah itu sebagai pungutan, pajak dan denda…..hingga akhir khithab islamiy da’awiy yang inti, yang mana ia adalah haq lagi tidak ada keraguan di dalamnya pada dien kita, dan didalamnya sama sekali titdak ada tahrif terhadap ushul dan tidak ada peleburan terhadap hal-hal yang baku.
Saya katakan: Apa engkau tidak melihat perbedaan yang jauh antara khithab yang memaparkan jizyah dengan gambaran yang bercahaya ini tanpa ada penarikan diri dari prinsif-prinsif yang baku, maka ia adalah khithab yang tidak menjadikan si nasraniy itu sebagai saudara tercinta namun sebagai warga yang terjamin keamanannya yang memiliki hak-hak yang di lindungi dan dijamin, dengan khithab yang tinggi hati yang menampakkan jizyah sebagai hinaan, yang bisa saja orang nasrani tadi menganggapnya muncul dari kekangan penjara sebagaimana kebiasaan musuh-musuh Allah dalam klaim mereka bahwa khithab yang keras dan kasar itu berasal dari pengaruh kekangan penjara, karena ia adalah khithab yang menampakkan jizyah bukan sebagai bayaran kewargaan tinggal akan tetapi sebagai pajak perbudakan, penghinaan dan penindasan.
Suatu yang tidak selaras dengan realita istidl’af saudara kita ini dan tidak sejalan dengan khithab tabsyir dan dakwah kepada dien ini yang mana ia tidak memiliki dalam kondisi penahanan selainnya.
Dan bagaimanapun keadaannya, yang jelas saudara kita ini sampai saat penulisan lembaran ini masih membayar jizyah atau pajak khithab yang penuh ketinggian hati itu yang datang bukan pada tempatnya dan sampai hari ini ia masih terus berupaya dalam memperbaiki gigi yang dirusak oleh dokter nasraniy itu setelah khithab dia itu !! dan saya telah membacakan ini kepadanya dan ia mengambil faidah darinya serta ia mengakuinya agar yang lain mengambil faidah darinya.
Dan ringkasnya … adalah bahwa kita amat butuh kepada khithab islamiy yang matang lagi jeli yang memperhatikan ketinggian dakwah dan jihad, mempertimbangkan keadaan kaum muslimin dan hal terpenting yang paling mereka butuhkan, mengedepankan aulawiyyat serta mendahulukan mashlahat terbesar sehingga ia mengedepankannya dan mafsadah terbesar sehingga ia menghindarkannya, khithab yang si pemiliknya tidak menjauhkan diri dari realita umat, kondisinya dan kemampuan mereka secara umum serta kemampuan-kemampuan para mujahidin secara khusus, dan ia mengetahui bagaimana ia mengkhithabi musuh, masing-masing sesuai keadaannya lewat cara dia memahami realita mereka, latar belakang moral mereka, politik mereka, sejarah mereka, kayakinan mereka, tabiat bangsa mereka, titik-titik kelemahan pada mereka, tempat-tempat sensitif dan (kondisi-kondisi) yang amat mempengaruhi (mereka); agar khithab dia ini sejalan dan selaras dengan apa yang bisa merealisasikan mashlahat-mashlahat kaum muslimin dan memukul musuh mereka atau melemahkan serta memecah persatuan mereka.
Maka ia tidak cenderung kepada khithab ahli tafrith dan tamyii’ (pemalingan) yang telah menghancurkan pokok-pokok dien ini dan melepaskan diri dari hal-hal yang baku (tsawabit) serta merobohkan pilar-pilarnya bahkan mereka berlepas diri dari ajaran-ajaran ini dengan dalih I’tidal (moderat) dalam khithab dan mencari ridla musuh atau tidak membuat mereka marah. Dan hakikat hal itu adalah peleburan diri di bawah kancah teror pemikiran mereka dan keterpakuan di hadapan globalisasi mereka dan budaya mereka yang rusak…
Dan tidak pula cenderung kepada ahli ifrath dalam sikap mereka tidak mempertimbangkan aulawiyyat jihad, nama baiknya yang bercahaya, mashlahat-mashlahat umat, kondisi-kondisinya kemampuan-kemampuan mujahidin, aspek-aspek realita dan marhalah, dan latar belakang-latar belakang musuh serta keadaan-keadaan bangsanya. Dan Allah-lah yang membimbing ke jalan yang lurus…..
Dikutip dari kitab:Waqafat Ma’a Tsamaraatil Jihad Bainal Jahli Fisy Syar’i Wal Jahli Bil Waqi’ (Merenung Sejenak Atas Hasil-hasil Jihad, Antara Kebodohan Akan Syari’at dan Kebodohan Akan Realita) Renungan ke-14
Karya: Asy Syaikh Al Mujahid Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy Fakallahu ‘Asrah
Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman Fakallahu ‘Asrah
0 komentar: