‘Awaaridlul Ahliyyah
Yang dimaksud adalah Ahliyyatul Adaa, karena sesungguhnya ahliyyah itu ~menurut ahli ushul~ ada dua macam:
Ahliyyatul Adaa artinya kelayakan seseorang untuk bisa diangggap ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya secara syar’i. Sedangkan berakal, baligh dan ikhtiyar (tidak dipaksa) termasuk syarat-syarat sah ahliyyah ini.
Dan Ahliyyatul Wujuub artinya adalah kelayakan seseorang untuk memiliki hak dan memikul kewajiban, sedangkan ahliyyah ini dasarnya adalah hidup sehinggga ia sah bagi orang besar dan kecil termasuk janin. Serta sah bagi orang yang berakal dan tidak berakal.
Sedangkan ‘Awaaridlul Ahliyyah adalah berkaitan dengan ahliyyatul adaa yaitu hal-hal yang muncul merintangi mukallaf sehingga menjadikan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannnya tidak dianggap secara syar’i sehingga ia tidak dihukumi dengannya dan tidak terbangun diatasnya pengaruh-pengaruh konsekuensinya dalam apa yang berkaitan dengan hak Allah Ta’ala. Tidak hak-hak manusia.
Sedangkan ‘Awaridlul Ahliyyah itu ada dua macam:
Pertama: ‘Awaridlul Samawiyyah yaitu yang berasal dari ketentuan Allah Ta’ala yang si hamba tidak memiliki peranan dalam mengusahakannya seperti berstatus anak kecil, gila, idiot, tidur dan lupa. Bila orang ynag memiliki keadaan tersebut melakukan tindak pidana, maka tidak ada dosa atasnya dan ia tidak dikenakan sesuatupun dari hukuman karena terangkat seruan taklif darinya, akan tetapi ia diminta bertanggung jawab atas hak-hak manusia seperti nilai barang-barang yang dirusak, diyat dan yang lainya, karena ia tergolong khathab wadl’i. Dan ‘awaridlul samawiyyah ini lawannya adalah syarat-syarat, seperti sighar (kecil) lawannya adalah baligh, gila dan idiot lawannya adalah berakal, sehingga diantara syarat-syarat takfier mu’ayyyan adalah keberadaan orang baligh lagi berakal. Sedang sah tidaknya kemurtadaan anak kecil yang mumayyiz ada perselisihan. Dan orang yang menganggapnya sah seperti Hanbali mengatakan ia tidak diberi sanksi sampai ia baligh dan disuruh taubat. (lihat Al Mughniy Ma’asy Sharhil Kabir 10/91-92)
Ke-dua: ‘Awaaridlul Muktasabah yaitu yang ada campur tangan keinginan hamba dalam mengupayakan dirinya sendiri ataupun dari yang lainnya meskipun segala sesuatu tergolong ketentuan Allah. Allah Ta’ala berfirman: “…sesungguhnya kami telah menciptakan segala sesuatu dengan ketentuan…” (Al Qomar: 49)
Di antara ‘awaaridlul muktasabah yang dianggap sebagai takfier mu’ayyan:
A. Keliru dalam mengucapkan (salah ucap): Dia ucapkan kekafiran tanpa maksud mengucapkannya. Penghalang ini menggugurkan syarat kesengajaan, yaitu disyaratkan si mukallaf melakukan kekafiran seraya sengaja melakukannya sedangkan dalil penganggapan kekeliruan ini sebagai penghalang adalah firman Allah Ta’ala: “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padaanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja pada hatimu“ (Al Ahzab: 5)
Sedangkan dalilnya dari takfir adalah hadits orang yang kehilangan unta tunggangannya lalu ia mendapatkannya kembali, maka ia berkata: “…Engkau adalah hambaku dan aku adalah tuhanMu…“ Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mensifati orang itu bahwa ia keliru dalam ucapan kerena saking bahagia. (Mutafaqun ‘Alaihi)
Dan qarinah-qarinah keadaan memiliki peranan dalam menganggap dan tidak (menganggap)nya penghalang ini.
B. Keliru dalam ta’ wil: Ta’wil adalah menempatkan dalil syar’i tidak pada tempatnya atau syubhat (kesamaran)[1] yang muncul dari ketidakpahaman terhadap dilalah (penunjukan) nash, terus si mukallaf berani melakukan kekafiran sedangkan ia tidak memandang sebagai kekafiran seraya berhujjah dengan dalil yang ia keliru dalam memahami maknanya, sehingga dengan kekeliruan ini lengkaplah syarat kesengajan dan jadilah kekeliruan dalam ta’wil sebagai penghalang dari mengkafirkannya. Kemudian bila hujjah ditegakkan terhadapnya dan dijelaskan kekeliruannya kepadanya terus ia bersikukuh, maka ia kafir saat itu. Sedangkan dalil ini adalah kejadian Qudamah Ibnu Madh’un dan saya telah menuturkannya dalam peringatan penting yang dituturkan pada komentar saya terhadap ‘Aqidah Thohawiyyah dan di dalamnya Qudamah menghalalkan minum khamr ~sedangkan penghalalan meminumnya adalah kekafiran~ seraya berdalil dengan firmanNya Ta’ala: ”Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang soleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu“ (Al Maidah: 93)
Dengan ayat ini dia berhujjah atas Umar tatkala hendak menerapkan had terhadapnya, maka Umar menjelaskan kepadanya kekeliruannya dan menerapkan had terhadapnya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah berkata: “Atau ia keliru terus ia mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dari pengharaman khamr sebagaimana telah keliru di dalam hal itu orang-orang yang di-istitabah (disuruh taubat) oleh Umar, dan yang semacam itu, maka sesungguhnya mereka itu di-istitabah dan ditegakkan hujjah atas mereka, kemudian bila mereka bersikukuh maka mereka kafir saat itu, dan mereka tidak divonis kafir sebelum itu sebagaimana para sahabat tidak memvonis kafir Qudamah Ibnu Madh’un dan teman-temannya tatkala mereka melakukan kekeliruan dalam apa yang mereka keliru di dalamnya karena sebab ta’wil“ (Majmu’ Al Fatawa 7/610)
Kejadian ini telah menunjukkan kekeliruan dalam ta’wil adalah penghalang dari takfir dengan ijma’ sahabat sebagaiman ia juga masuk dalam keumuman firmannya ta’ala “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf terhadapnya“ (Al Ahzab: 5)
Namun begitu sesungguhnya tidak semua kekeliruan dalam ta’wil dianggap alasan yang diterima dan penghalang dari ta’wil: kekeliruan ta’wil yang diudzur dengannya adalah apa yang muncul dari pengamatan terhadap dalil syar’i terus ia keliru di dalam memahaminya.
Sedangkan kekeliruan dalam ta’wil yang tidak diudzur adalah apa yang muncul dari murni pemikiran dan hawa nafsu[2]. Tanpa bersandarkan kepada dalil syar’i seperti penolakan iblis kepada Adam seraya berdalih bahwa “…aku lebih baik dari dia, Engkau telah ciptakan aku dari api dan Engkau telah ciptakan dia dari tanah…” maka ini hanya sekedar pemikiran, dan seperti ta’wilat kelompok bathiniyyah yang dengannya mereka gugurkan kewajiban-kewajiban syar’i, maka sesungguhnya ia adalah murni hawa nafsu.
Dalam semua keadaan sesungguhnya kekeliruan dalam takwil gugur sebagai penghalang dengan penegakkan hujjah terhadap orang yang melakukan ta’wil.
C. Penghalang kebodohan
Umpamanya mukallaf melakulan kekafiran sedang ia tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran[3], maka kejahilannya -bila dianggap- menghalangi dari pengkafirannya, sedangkan dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “Dan kami tidak mungkin meng’adzab sampai kami mengutus seorang rasul“ (Al Isra’: 15), maka tidak ada ‘adzab di dunia dan di akhirat, kecuali setelah sampainya (risalah), dan telah lalu bahasan materi ini di bab ke enam dari kitab ini, serta telah saya utarakan di dalamnya bahwa kebodohan yang dianggap sebagai ‘udzur dan penghalang adalah kebodohan yang mana si mukallaf tidak memiliki peluang untuk menghilangkannya karena banyak sebab dari sisinya atau karena sebab dari sisi sumber-sumber ilmu. Adapun bila ia memiliki peluang untuk belajar dan untuk melenyapkan kebodohan terus ia taqshir (kurang peduli), maka ia tidak di-’uzdur dengan kebodohannya itu dan dia dianggap mengetahui secara hukum ~yaitu ia sama statusnya dengan yang mengetahui~ meskipun ia pada hakikatnya sebenarnya adalah tidak mengetahui[4]
D. Penghalang Paksaan
Dan ini lawannya sebagai syarat, adalah keberadaan mukallaf ini mukhtar (keinginan sendiri atau tidak dipaksa) untuk melakukannya dan dalil penganggapan ikhrah (paksaan) sebagai penghalang dari takfir adalah firmanNya ta’ala: “Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman kecuali orang yang dipaksa sedang hatinya tentram dengan keimanan…“ (An Nahl: 106)
Disyaratkan dalam keabsahan paksaan tehadap kekafiran sebagai penghalang adalah keberadaan paksaan itu dengan ancaman hendak dibunuh atau hendak dipotong anggota badaannya atau mukallaf itu mengalami penyiksaan-penyiksaan yang dahsyat dan ini adalah pendapat jumhur dan inilah yang kuat. Dan akan datang pembicaran tentang ikrah dengan sedikit rincian di akhir mabhats ini Insya Allah.
· Mabuk yang lenyap akal bersamanya: Dalam penganggapannya sebagai penghalang dari takfir ada perselisihan. Ibnu Qoyyim menganggapnya sebagai penghalang dan ini adalah pendapat Ahnaf (madzhab Hanafi), berbeda dengan pendapat yang rajih dikalangan Hambali dan Syafi’iyyah berupa sahnya kemurtadan orang yang mabuk. (I’lamul Muwaqi’in 3/65 dan Kasysyaful Qinaa’, karya Al Bahutiy 6/176 serta Al Mughniy Ma’a Asy Syarhil Kabir 10/109)
· Ucapan kekafiran dalam rangka penghikayatan dari orang lain: Seperti orang-orang yang membaca ucapan orang-orang kafir yang telah Allah kisahkan kepada kita dalam Al Qur’an padahal Allah telah memerintahkan kita untuk membacanya dan seperti penyampaian saksi apa yang ia dengar berupa kekafiran di hadapan qodli, dan seperti penukilan ucapan-ucapan kekafiran untuk menjelaskan kerusakan yang ada di dalamnya untuk membantahnya. Semua ini adalah boleh atau wajib dan orang yang mengucapkannya tidak kafir (lihat Al Fashl, Ibnu Hazm 3/250). Oleh sebab itu dikatakan orang yang menukil kekafiran adalah tidak kafir dan di sini ada rincian penting:
Orang yang menukil kekafiran untuk tujuan syar’i yang shohih sebagaimana dalam contoh-contoh yang lalu, maka tidak apa-apa dan barang siapa menghikayatkannya dalam bentuk penganggapan baik dan ridho dengannya maka ia kafir sedangkan qarinah-qarinah keadaan memiliki peranan penting dalam membedakan antara keadaan-keadaan ini. Dalam menjelaskan rincian-rincian ini, Al Qodli ‘Iyadl berkata: “Orang yang mengatakan hal itu seraya menghikayatkan dari orang yang lain dan ia mementingkan daripada yang lainnya maka ia ditinjau dari bentuk penghikayatan dan qarinah ucapannya dan hukumnya berbeda-beda tergantung perbedaan hal itu menjadi empat bentuk: wajib, sunnah, makruh dan haram“, kemudian beliau menuturkan contoh-contoh untuk hukum-hukum ini maka silahkan rujuk dalam (As Syifa’ 2/997-1003). Dan rincian ini juga dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim alu Asy Syaikh dalam Majmu’ Al Fatawanya 12/196-197, kumpulan Muhammad Ibnu Abdurahman Ibnu Qosim.
· Bercanda, bergurau dan main-main, meskipun termasuk penghalang yang diupayakan, akan tetapi ia bukan termasuk penghalang dari takfir dengan kesepakatan ulama.
Dan bila kami telah menuturkan bahwa syarat-syarat takfir yang berkaitan dengan mukallaf bahwa ia itu baligh, berakal, mengetahui, sengaja lagi tidak dipaksa maka sesunguhnya penghalang-penghalang yang disebutkan tadi masing-masing darinya menggugurkan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat ini. Baligh sebagai syarat batal dengan status anak kecil sebagai penghalang, akal sebagai syarat batal dengan gila, idiot dan mabuk berat sebagai penghalang, ilmu (mengetahui) sebagai syarat dianggap batal dengan kebodohan sebagai penghalang, kesengajaan yaitu maksud melakukan sebagai syarat gugur dengan kekeliruan dengan sebab terpeleset lidah, kekeliruan dalam ta’wil dan penghikayatan kekafiran sebagai penghalang. Sedang ikhtiyar (keinginan sendiri) sebagai syarat bisa gugur dengan ikrah sebagai penghalang.
Perhatian Terhadap Pembicaraan Tentang Mawaani’ Takfir
Perhatian pertama: Mencari kejelasan mawaani’ masuk dalam penyebutan istitabah.
Ketahuilah, bahwa istitabah meskipun pada asalnya dimaksudkan dengannya adalah meminta taubat dan sedangkan ini tidak terjadi kecuali setelah dilakukan vonis kafir dan murtad sebagaimana yang akan kami tuturkan nanti insya Allah, akan tetapi sesungguhnya istitabah juga digunakan terhadap apa yang dilakukan sebelum digulirkan vonis yaitu berupa upaya mencari kejelasan, keterpenuhan syarat-syarat, dan ketidakadaan mawaani’. Dan dalam penjelasan ini Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”…atau ia keliru terus mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecualikan dari pengharaman khamr, sebagaimana telah keliru dalam hal itu orang-orang yang diistitabah oleh Umar, serta yang serupa dengan itu, maka sesugguhnya mereka itu diistitabah dan ditegakkan hujjah atas mereka, kemudian bila mereka bersikukuh, maka saat itu mereka kafir dan tidak boleh divonis kafir sebelum itu sebagaimana para shahabat tidak memvonis kafir Qudamah Ibnu Madh’un tatkala telah keliru dalam apa yang mereka keliru di dalamnya akibat takwil“. [Majmu' Al Fatawa 7/610]. Jadi istitabah digunakan terhadap setiap apa yang terjadi di majelis pemutusan yaitu berupa upaya mencari kejelasan syarat-syarat dan mawaani’ sebelum vonis dan berupa permintaan taubat setelah vonis.
Perhatian ke dua: Upaya mencari kejelasan mawaani’ itu wajib dikala mampu dan ia gugur saat sulit (ta’adzdzur). Dan di antara gambaran-gambaran ta’adzdzur ini adalah
Imtinaa ‘anil qudrah: Dan kami akan menjelaskan makna maqdur ‘alaih dan mumtani’ nanti insya Allah. Dan singkatnya bahwa maqdur ‘alaih adalah orang yang mana si qadli memiliki keleluasan dari menghadirkannya ke meja hijau dan ia memiliki keleluasan dari menegakkan had terhadapnya bila memang telah wajib (untuk mendapakan had)
Sedangkan mumtani’ adalah sebaliknya [5]
Adapun maqdur ‘alaih maka wajib tabayyunul mawaani’ (mencari penjelasan penghalang-penghalang takfier) padanya. Sedangkan mumtani’ adalah langsung divonis tanpa tabayyun mawani’[6]. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Dikarenakan mumtani’ itu tidak diistitabah namun yang diistitabah itu hanya maqdur ‘alaih “ [Ash Sharimul Maslul: 325-326] sedang telah lalu dijelaskan bahwa tabayyun mawani’ adalah masuk dalam penyebutan istitabah
Dan di antara gambaran-gambaran sulit tabayyunul mawani’: adalah mati
Bila agama si mayit adalah menjadi ajang perselisihan di antara ahli waris dimana sebagaian di antara mereka mengklaim bahwa ia mati dalam status muslim dan sebagian yang lain mengklaim bahwa ia mati dalam status murtad, maka dalam pemutusan terhadapnya cukup dengan kesaksian para saksi. Ibnu Qudamah berkata tentang ~tawanan muslim dinegeri kaum kafir~: “Bila tegak terhadapnya bahwa ia mengucapkan ungkapan kekafiran sedang ia ditahan dan diikat ditengah mereka dalam kondisi takut maka ia tidak divonis murtad, karena hal itu adalah nampak dalam paksaan, dan bila ada bukti bahwa ia itu aman saat megucapkannya, maka ia divonis murtad. Kemudian bila ahli waris mengklaim bahwa ia telah kembali kepada Islam maka tidak diterima kecuali dengan bukti, karena hukum asal adalah tetapnya dia di atas keadaannya.“ [ Al Mughni Ma'asy Syarhul Kabir: 10/106]
Ucapan kami ini bukan tentang orang yang dipaksa tetapi orang yang mengucapkan kekafiran sedang ia aman, maka ia divonis murtad walaupun ada kemungkinan adanya penghalang padanya seperti kejahilan yang dianggap atau takwil atau penghikayatan kekafiran dan yang lainya, namun demikian dia divonis murtad dengan kesaksian para saksi saja tanpa tabayyunul mawani’ karena ta’dzdzur (sulit) sebagaimana yang dituturkan Ibnu Qudamah dalam Al Mughni Ma’asy Syarhul Kabir: 10/109 dan Al Umm karya Asy Syafi’i: 6/158
Dalam semua gambaran ini, orang divonis murtad tanpa tabayyunul mawani’ dan tanpa istitabah. Dan bila ia mati dalam kondisi kafir maka para ahli waris yang muslim tidak mewarisinya namun demikian bila ada para saksi yang bersaksi akan keberadaan takfir pada mumtani’ atau si mayit itu, maka wajib dianggap.
Perhatian ke tiga:
Rujukan dalam penganggapan sesuatu sebagai penghalang takfir adalah secara muthlaq kepada syari’at, sedang penganggapannya sebagai peghalang pada orang tertentu, rujukannya adalah kepada qadli [7]
Penghalang dari takfir adalah suatu yang telah terbukti dengan dalil syar’iy bahwa ia adalah seperti itu dan suatu yang tidak terbukti dengan dalil, maka tidak dianggap sebagai penghalang walau dikira oleh manusia sebagai penghalang atau mereka beralasan dengannya dan dalam perhatian yang ke lima akan kami tuturkan contoh-contoh untuk itu.
Adapun anggapan suatu penghalang pada orang tertentu maka rujukannya kepada qadli yang mengkaji pangaduan-pengaduan. Kejahilan dan paksaan adalah tergolong penghalang-penghalang takfir yang terbukti ada dengan dalil-dali syar’iy, adapun penganggapan orang tertentu sebagai orang yang bodoh atau dipaksa maka penilaiannya dikembalikan kepada qadli[8]
Perhatian ke empat: Bila penghalang lenyap terus orang bersikukuh terhadap kekafiran, maka ia kafir.
Penghalang itu ada yang hilang dengan sendirinya (seperti status sebagai anak kecil) ada yang hilang dengan hilangnya sebab (seperti paksaan atau mabuk) dan ada yang hilang dengan penegakkan hujjah (seperti kebodohan dan kekeliruan dalam takwil), bila penghalang ini lenyap dan orang bersikukuh terhadap kekafiran yang ia ucapkan atau ia lakukan saat ada penghalang, maka ia kafir dari saat ini.
Perhatian ke lima: Hal-hal yang tidak dianggap sebagai mawani’ dari takfir secara syar’iy.
Mawani’ (penghalang-penghalang) hukum ~yang di antaranya adalah mawani’ vonis takfir~ yang dianggap secara syariat adalah hal-hal yang terbukti dengan dali-dalil syar’iy sehingga apa yang ditunjukkan oleh dalil atau ditentang oleh dalil, maka kami tidak menganggapnya, itu dikarenakan sebagian manusia terlalu berlebihan dalam menghalangi dari takfir dengan udzur-udzur yang tidak diangap secara syar’iy, karena tidak semua alasan yang digunakan oleh manusia bisa diterima, Allah Ta’aala berfirman:
Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: ”Sesungguhnya kami hanyalah bersenda-gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: ”Apakah dengan Allah, Ayat-ayat-Nya, dan rasulNya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman“. (Q.S. At Taubah [9]: 65-66)
Mereka mengucapkan alasan (udzur) akan tetapi alasan mereka tidak diterima. Dan serupa dengan firman Allah Ta’aalaa:
Mereka (munafiqun) mengemukakan udzurnya kepadamu, apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang) Katakanlah: ”Janganlah kamu mengemukakan udzur, kami tidak percaya lagi kepadamu” (Q.S. At Taubah [9]: 94)
Jadi tidak setiap udzur bisa diterima sebagai penghalang.
Di antara udzur-udzur yang bathil:
· Keberadaan orang yang telah terbukti kekafirannya itu ~dengan sebab memohon kepada selain Allah atau dengan sebab menghina agama ini umpamanya~ mendatangkan dua kalimat syahadat atau ia shalat terus sebagian orang mengira bahwa itu bisa menghalangi dari mengkafirkannya, padahal tidak seperti itu.
Dan telah lalu diingatkan bahwa seorang hamba tidak masuk ke dalam iman haqiqi kecuali dengan sejumlah gabungan cabang-cabang iman, akan tetapi dia keluar darinya dari satu cabang saja dan untuk menghukumi kekafiran dia tidaklah mesti dengan lenyapnya seluruh cabang-cabang iman yang ada padanya dengan hal itu bahwa ia bisa menjadi kafir sedang sebagian cabang-cabang iman masih ada padanya, akan tetapi itu tidak bermanfat bersama kekafirannya. Allah Ta’aalaa berfirman:
“Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah melaikan mereka itu menyekutukan (Nya)“ (Q.S. Yusuf [12]: 106)
Allah Subhaanahu Wa Ta’aala menetapkan pada mereka bersama iman ada syirik. Dan dalam uraian yang lalu saya telah menuturkan dali-dalil dan contoh-contoh yang tidak perlu lagi tambahan. Dan di antara itu apa telah saya tuturkan dalam perhatian penting yang disebutkan pada komentar saya tentang ‘Aqidah Thahawiyyah, yaitu bahwa para sahabat telah ijma’ terhadap kekafiran orang-orang yang menolak (membayar) zakat dan para sahabat tidak menamakan mereka dengan selain itu. Di mana mereka telah menamakan mereka sebagai orang-orang yang meninggalkan shalat dan menolak membayar zakat, maka ini menunjukan bahwa mereka itu melakukan shalat. Dan seperti mereka adalah orang-orang yang dikafirkan oleh Abdullah Ibnu Mas’ud dan para shahabat yang bersamanya sedang mereka itu melakukan shalat di masjid Bani Hanifah di Kuffah. Ini semua adalah dalil-dali syar’iy dan sekaligus sebagai contoh dalam waktu yang bersamaan.
· Memberikan alasan buat orang yang kafir bahwa para pemimpin mereka dan para syaikh mereka menyesatkan mereka dan menipu mereka. Dan ia adalah udzur yang batil berdasarkan firman-Nya Ta’aalaa:
”Dan (alangkah hebatnya) jika kamu melihat orang-orang yang zhalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebahagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: ”Kalau tidak bersamamu tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah: ”Kamikah yang menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu?, (Tidak) Sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa”. Dan orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: ”(Tidak) Sebenarnya tipudaya(mu) di waktu malam dan siang (yaitu menghalangi kami) ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadi sekutu-sekutu bagi-Nya. Kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat ‘adzab. Dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. Mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang mereka kerjakan.“ (Q.S. Saba’ [34]: 31-33)
Maka terbuktilah dengan nash ini bahwa para tokoh itu menyesatkan orang-orang yang lemah, mereka membuat tipu daya terhadapnya dan memerintahkannya untuk kafir, namun ini tidak menjadi penghalang dari mengkafirkan orang-orang yang lemah dan dari keberhakkan mereka akan ancaman. Bahwa sesungguhnya penyesatan yang diduga oleh sebagian orang sebagai udzur adalah suatu macam dari macam-macam kekafiran ~yaitu kufur taqlid~ sebagaimana yang kami utarakan dan ia adalah kekafiran kaum awam Yahudi, Nashrani, dan kelompok-kelompok kafir lainnya di mana kaum awam mereka taqlid kepada para tokoh mereka yang menyesatkan mereka, sebagaimana firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa:
“Katakanlah: ”Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Q.S. Al Maidah [5]: 77)
Dan ayat-ayat yang datang berkenan dengan sikap taqlid orang kafir terhadap apa yang dibawa pendahulu mereka adalah sangat banyak dan begitu juga ayat tentang sikap berbantah-bantahan antara pengikut dengan yang diikutinya serta sikap berlepas diri salah satu dari yang lainnya adalah sangat banyak dalam ayat-ayat surat Saba’ yang lalu dan sebagaimana dalam surat Al Baqarah [2]: 166-167, Al A’raf [7]: 38-39, Ibrahim [14]: 21, AL Ahzab [33]: 64-68, dan Al Mukmin/Ghafir [40]: 47-48.
· Memberikan udzur bagi orang murtad bahwa ia itu termasuk ulama dan seolah mereka itu ma’shum (terjaga) dari kekafiran, padahal Allah Ta’aalaa saja berfirman: “Dan andai mereka bertaubat syirik, tentu lenyaplah dari mereka apa yang mereka kerjakan “ (Al An’am: 88)
dan serupa dengannya firman Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Q.S. Az Zumar [39]: 65)
Bila kekafiran tidak mungkin terjadi pada diri Nabi, maka ia tidak tercegah terjadi pada orang yang di bawah tingkatan mereka. Orang alim walaupun ilmunya telah tinggi akan tetapi bisa saja menjadi kafir dan sedangkan amalan itu tergantung penghujungnya. Dan contohnya adalah firman Allah Ta’aalaa:
“Dan bacalah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi al kitab) kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu lalu ia diikuti oleh syaitan (sampai ia tergoda), maka jadilah ia termasuk orang-orang yang sesat” (Q.S. Al A’raf [7]: 175)
Dan contoh-contohnya pada umat ini adalah banyak, mulai dari orang yang murtad dimasa hidup Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abdullah Ibnu Sa’ad Ibnu Abis Sarah yang mana sebelumnya adalah penulis wahyu bagi Nabi, kemudian orang yang murtad setelah wafat Nabi, dan banyak penyeru bid’ah mukaffirah adalah mereka itu tergolong ahli ilmu syar’iy, seperti Qodariyyah dan orang-orang yang menafikan ilmu Allah yang mana mereka itu sedah dikafirkan oleh Ibnu Umar di awal hadits dalam Shahih Muslim di mana telah datang tentang sifat mereka yaitu bahwa mereka itu (membaca Al Quran dan sangat antusias terhadap ilmu) dan sungguh keburukan itu lebih banyak dikalangan muta’akhirin dari pada keberadaannya di kalangan orang-orang terdahulu, berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: “Tidak datang kepada kalian suatu haripun melainkan yang sesudahnya lebih buruk dari padanya” [H.R. Al Bukhariy]
Dan kami melihat pada zaman kita ini para penguasa murtad di berbagai negeri masing-masing dari mereka sekelompok para Syaikh yang mana dia (penguasa murtad) itu telah memasang pada para Syaikh itu gelar-gelar yang panjang seperti Ashabul Fadlilah dan Samahah, dalam rangka untuk menipu orang-orang awam untuk melariskan kebatilan mereka, sedang para Syaikh itu menyandangkan pakaian iman dan Syar’iyyah Islamiyyah (keabsahan secara syari’at) dalam rangka menipu masyarakat awam, maka para syaikh itu dan orang-ornag yang semisal mereka adalah ornag-orang yang kafir dan murtad tanpa ada keraguan, berdasarkan firman Allah Ta’aalaa:
“Barangsiapa di antara kamu tawalliy kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka“ (Q.S. Al Maidah [5]: 151)
Dan karena sebab ridho mereka dengan kekafiran serta karena mereka tidak mengkafirkan para penguasa kafir yang telah ditunjukkan kekafirannya oleh dalil. Abdullah Ibnu Mubarak berkata:
“Tidak ada yang merusak agama ini kecuali para penguasa
dan para ulama suu’ dan para ahli ibadahnya.”
Dan sebagai contoh untuk masalah yang lalu ~yaitu keberadaan orang yang menyesatkan itu bukan udzur bagi orang yang mengikutinya dan bahwa sebagian orang yang diberi karunia ilmu itu bisa saja menjadi kafir~ adalah bahwa seorang laki-laki yang bernama Nahar Ar Rajjal Ibnu ‘Unfuwah mendampingi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan ia mendalami agama, kemudian Nabi mengirimnya untuk mengajari penduduk Yamamah kaum Musailamah Al Kadzdzab, terus ia malah murtad dan mengikuti Musailamah serta menjadi saksi baginya bahwa Nabi menyertakan ia bersamanya dalam kerasulan, dan manusiapun membenarkan Nahar dan mereka mengikuti Musailamah karena merasa percaya kepada Nahar Ar Rajjal, namun hal ini tidak menghalangi para sahabat dari mengkafirkan dan memerangi mereka.
Dan Ath Thabariy menuturkan beritanya dalam Tarikhnya ia berkata: “(telah menulis kepada saya As Sirry) dari Syu’aib dari Saif dari Thalhah Ibnu A’lam dari ‘Ubaid ibnu ‘Umair dari Utsal Al Hanafiy ~di mana ia bersama Tsumamah Ibnu Utsal~ berkata: ”Musailamah itu membujuk setiap orang, melunakkan hatinya dan ia tidak peduli bila orang-orang melihat darinya hal-hal yang buruk dan ia disertai Nahar Ar Rajjal Ibnu ‘Unfuwah sedang Nahar itu pernah hijrah kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, membaca Al Quran, dan menekuni agama ini. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mengutusnya untuk mengajari penduduk Yamamah dan untuk memojokkan posisi Musailamah serta untuk mengokohkan posisi kaum muslimin, namun teryata ia lebih dahsyat fitnahnya bagi Banu Hanifah daripada Musailamah. Dia bersaksi baginya bahwa Ia telah mendengar Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya ia telah disertakan (dalam kerasulan) bersamanya“, kemudian mereka mempercayainya dan menyambutnya serta mereka memerintahkannya agar menyurati Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mereka menjanjikannya kepadanya bila Muhammad tidak menerimanya mereka akan membantu dia terhadap Muhammad” selesai.
Dan Ath Thabariy berkata juga: “Telah menulis kepada saya As Surriy, berkata: ”Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Saif dari Thalhah dari Ikrimah dari Abu Hurairah dari Abdullah Ibnu Sa’id dari Abu Sa’id dari Abu Hurairah, berkata: Abu Bakar telah mengirim (utusan) kepada Ar Rajjal, terus ia mendatanginya maka beliau memberikan pesan kepadanya kemudian beliau mengutusnya ke penduduk Yamamah sedang beliau memandang bahwa dia itu jujur, saat memenuhi panggilannya. Berkata (Ikrimah dan Abu Sa’id): Abu Hurairah berkata: saya duduk bersama Nabi di tengah banyak orang, bersama kami ada Ar Rajjal Ibnu ‘Unfuwah, maka beliau berkata: Sesungguhnya di antara kalian ada seorang laki-laki yang gusinya di dalam neraka lebih besar dari gunung Uhud. Maka orang-orang itu sudah meninggal, tinggallah saya dengan Ar Rajjal, maka saya sangat takut sekali, sampai akhirnya Ar Rajjal keluar bersama Musailamah terus ia menjadi saksi darinya dengan kenabian, sehingga fitnah Ar Rajjal lebih besar daripada Musailamah sehingga Abu Bakar mengutus Khalid kepada mereka”. selesai [Tarikh Ath Thabariy 2/276 dan 278 terbitan Darul Kutub AI ‘llmiyyah 1408 H]
Dan secara umum sesungguhnya penghalang-pemghalang hukum ~yang di antara penghalang-penghalang takfir~ yang dianggap dalam syari’at adalah apa yang penganggapannya telah ditujukan oleh dalil-dalil syar’iy bukan apa yang diduga oleh manusia sebagai penghalang. Inilah (uraiannya) Wabillahit taufiq.
7. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: Dan memvonis terhadapnya orang yang layak untuk menghukumi, maka makna [dan memvonis terhadapnya], yaitu dengan vonis kafir dan murtad dengan sebab perbuatannya yang mukaffir bila terpenuhi syaratnya dan penghalangnya tidak ada. Sedang makna (orang yang layak untuk menghukumi) yaitu seperti qadli, mufti, dan yang lainnya dari kalangan ahlu ilmu dan seyogyanya dia itu mujtahid bardasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam: ”Bila hakim memutuskan terus dia ijtihad kemudian tepat, maka ia mendapat dua pahala dan bila dia memutuskan terus dia ijtihad kemudian dia keliru, maka ia mendapat satu pahala“ [Mutaffaq ‘alaih]
Bila mujtahid tidak ada, maka muqallid sesuai urutan yang telah kami utarakan dalam Maratibul Muftin di bab ke 5 dari kitab ini. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Dan syarat-syarat para qadli adalah diperhitungkan sesuai dengan kemungkinan dan wajib mengangkat orang yang paling layak kemudian yang berikutnya. Dan ini ditunjukan oleh ucapan Ahmad dan yang lainnya kemudian karena tidak adanya yang layak, maka diangkat orang yang paling adil dan paling minimal keburukannya. Antara dua orang fasiq serta dua orang paling adil dan paling mengetahui akan taqlid di antara dua orang yang bertaqlid“ [Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, kumpulan ‘Alauddin Al Ba’iliy, tahqiq Al Faqiy terbitan Darul Ma'rifah: 332]
Dan di sini ada rincian:
A. Barang siapa murtad di Darul Islam, maka putusan terhadapnya adalah di tangan qadliy pemilik kewenangan peradilan, sedangkan orang yang berbicara tentang hal ini dari kalangan para ulama selain qodliy, maka ucapan mereka adalah fatwa dan bukan putusan. An Nawawiy rahimahullah berkata: “ ~dalam pemberian fatwa si mufti tentang masalah-masalah kemurtadan~ (Ash Shumairiy dan Al Khathib berkata: ”Bila ditanya tentang orang yang berkata: Saya lebih jujur dari Muhammad Ibnu Abdillah atau bahwa shalat itu main-main dan yang serupa itu, maka jangan segera menjawab: “Ini halal darahnya atau mesti dibunuh”, namun ia (mesti) mengatakan: “Bila ini benar dengan pengakuannya atau dengan bukti (saksi), maka sulthan mengistitabahnya, bila ia taubat, maka diterima taubatnya dan bila ia tidak menyebutkan banyak hal dalam hal itu. Berkata ~yaitu Ash Shumairiy dan Al Khathib~ ;
Dan bila ditanya tentang orang yang menyatakan sesuatu yang memiliki kemungkinan kekafiran dan yang lain “Maka berkata: orang yang berbicara ini ditanya bila kamu memaksudkan begini maka jawabannya begini“ Al Majmu’ 1/49
Jadi putusan /vonis di negara Islam (Darul Islam) adalah di tangan qodliy yang mengkaji berbagai pengaduan bukan para mufti karena qodli dengan konsekuensi kewenangannya da’i-lah yang leluasa meneliti keterpenuhan syarat-syarat dan ketiakadaan mawani’ sebagaimana sesungguhnya putusan qodliy itu mengangkat perselisihan dan putusannya tidak dibatalkan, kecuali apa yang menyelisihi nash kitab atau sunnah atau ijma’. Lihat Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir 11/403-405 dan I’lamul Muwaqi’in 4/224.
Dan di antara contoh apa yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin dalam hal ini adalah kejadian yang dituturkan Ibnu Katsir dalam tragedi-tragedi tahun 701 H, berkata: ” Pada hari Senin 24 Rabi’ Al Awwal dibunuh Al Fath Ahmad Ibnu Ats Tsaqofiy di Mesir, dia divonis oleh Al Qodliy Zainuddin Ibnu Makhluf Al Maliki dengan apa yang telah terbukti padanya berupa sikapnya menghina syari’at dan memperolok-olok ayat muhkamat serta membenturkan ayat-ayat musytabihat satu sama lain. Disebutkan darinya bahwa dia menghalalkan hal-hal yang haram seperti homosex, khamr dan yang lainnya bagi orang-orang yang berkumpul bersamanya dari kalangan orang-orang fasiq dari Turki dan orang-orang bodoh lainnya. Ini padahal dia itu memiliki keutaman ibadah dan sikap yang indah secara zhahir, penampilan dan pakaiannya baik dan tatkala ia dihadirkan di Syubbak Dar Al Hadits Al Kamiliyyah di antara dua istana dia meminta tolong kepada Al Qodliy Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al ‘Ied, maka ia berkata: Apa yang kamu ketahui dari saya? Maka ia berkata: “Saya mengetahui dari kamu keutamaan, tetapi vonis kamu diserahkan kepada Al Qodliy Zainuddin, maka sang qodliy memerintahkan sang gubernur untuk memenggal lehernya, maka kepalanya dipenggal dan kepalanya diarak di negeri, dan diseru terhadapnya: Inilah balasan orang yang mencela Alloh dan RasulNya “ Al Bidayah Wa Nihayah 14/18
Jadi putusan vonis pelaku tindak pidana adalah diserahkan kepada ulama meskipun sebagian ulama bersaksi akan keutamaan dia dan yang lain sebagaimana kejadian ini.
B. Barangsiapa yang murtad dan dia lari ke darul harbi atau dia murtad di darul harbi [9], maka boleh bagi setiap yang memiliki kelayakan baik itu qodliy atau yang lainnya untuk memvonis dia dan boleh bagi setiap orang untuk menerapkan vonisnya(eksekusi). Dan di dalamnya ada rincian yang akan datang di point 10 insya Allah.
8. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Bila orang itu adalah maqdur ‘alaih di Darul Islam“
Makna maqdur ‘alaih adalah yang di bawah kekuasan sulthan (muslim) dan qadliy baik secara sebenarnya dengan penahanannya maupun secara hukum dengan adanya keleluasan mereka untuk memanggilnya, mengintrogasinya lagi dia tidak menolak dari mereka. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Dan makna qudrah ‘alaihim adalah adanya keleluasan untuk menerapkan had terhadap mereka karena keterbuktianya dengan bukti atau pengakuan sedang mereka itu berada dalam genggaman kaum muslimin.” [Ash Sharimul Maslul: 507]
Dan ucapan saya: “di Darul Islam“ adalah takfir bagi ucapan saya “maqdur ‘alaih”, kerena sesungguhnya orang tidak menjadi maqdur ‘alaih kecuali bila ia berada di Darul Islam, sebab sesungguhnya sekedar keberadaanya di Darul Harbi adalah benteng kekuatan baginya dari kekuasan kaum muslimin, namun ini tidak berarti bahwa seluruh orang yang ada di Darul Harbi adalah maqdur ‘alaihim, akan tetapi bisa jadi seseorang di Darul Islam itu maqdur ‘alaih atau dia itu mumtani’, sedang imtina’ (yaitu status mumtani’) di Darul Islam tidak mungkin terjadi kecuali dengan pembangkangan ketaatan terhadap imam dan menenteng senjata atau mengerahkan senjata dan para pendukungnya sebagaimana ia adalah keadaan para pembegal. Dan ucapan saya “Darul Islam “ adalah setiap negara yang diperintah dengan syari’at Islam.
Mawardiy telah menuturkan pembeda antara orang yang murtad maqdur ‘alaih dan orang yang murtad mumtani’ dan itu dalam ucapannya tentang memerangi kaum murtaddin di bab Hurubul Mushalih dari kitabnya Al Ahkam As Sulthanniyyah. Beliau berkata: “Bila mereka itu tergolong orang-orang yang wajib dibunuh dengan sebab mereka murtad dari agama al haq ke ajaran yang lain, maka keadaan mereka tidak lepas dari salah satu dari dua hal: Bisa jadi mereka berada di Darul Islam sebagai orang-orang yang ganjil dan individu-individu yang tidak memblok di suatu negeri yang dengannya mereka membedakan diri dari kaum muslimin maka kita tidak butuh memerangi mereka karena mereka masuk di bawah penguasan (penguasa muslim) dan dicari tahu tentang sebab riddah mereka ~sampai ucapan~. Dan orang yang menetap di atas kemurtaddannya dan tidak taubat maka wajib dibunuh baik laki-laki maupun perempuan, ~kemudian berkata~: Keadaan kedua: mereka memblok ke suatu negeri yang dengannya mereka menyendiri dari kaum muslimin sehingga di dalamnya mereka menjadi mumtai’in… “ [Al Ahkam As Sulthaniyyah: 69-70, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah 1405 H).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ”Sanksi-sanksi yang dibawa syari’at ini untuk orang yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya ada macam: Pertama: sangsi buat maqdur ‘alaih, baik itu satu orang maupun berbilang sebgaimana yang telah lalu. Dan kedua: sanksi buat thaifah mumtani’ah seperti kelompok yang tidak bisa dikuasai kecuali dengan qital.” [Majmu Al Fatawa: 28/349].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata juga: ”Nash ini tentang murtad yang maqdur ‘alaih, sedangkan itu tentang orang yang memerangi lagi mumtani’“. [Minhajus Sunnah An Nabawiyyah: 455 dengan tahqiq Dr. Muhammad Rasyid Salim].
Dan yang dimaksud adalah penjelasan bahwa syari’at ini telah datang dengan membedakan antara sanksi maqdur ‘alaih dan saksi mumtani’, sedang imtina’ itu tidak terkhusus dengan thaifah ataupun individu sebagaimana pada keadaan murtadnya Abdullah Ibnu Sa’ad Ibnu Abis Sarah dan kaburnya dia ke Makkah sebelum Fathul Makkah, dan setiap kitab fiqh pasti ada membedakan antara kedua macam ini.
Dan di antara yang seyogyanya diketahui adalah kaidah syari’at tentang membedakan antara maqdur ‘alaih dan mumtani’ adalah kaidah yang baku sampai-sampai syari’at ini membedakan antara maqdur ‘alaih dan mumtani’ dari hewan-hewan yang dimakan, di mana tidak halal memakan maqdur ‘alaih dari hewan itu, ~meskipun asalnya liar seperti kijang~ kecuali dengan sembelihan syar’iy yaitu disembelih dileher, sedangkan halal memakan mumtani’ dari hewan-hewan itu ~meskipun asalnya jinak seperti onta~ dengan tusukan benda tajam dibagian badan mana saja seperti pada hewan buruan. Jadi kaidah syari’at adalah memperketat syarat-syarat pada maqdur ‘alaih dan memperlonggar dalam mumtani’.
9. Ucapan saya ~dalam kaidah takfir~: “Maka ia disuruh taubat secara wajib sebelum dikenakan hukuman terhadapnya” dan ini adalah bagi maqdur ‘alaih”.
Ketahuilah bahwa istitabah pada asalnya digunakan pada permintan taubat dari orang-orang murtad, yang mana artinya adalah bahwa tidak diistitabah kecuali orang-orang yang sudah divonis murtad, akan tetapi digunakan juga dalam ucapan ulama terhadap apa yang mendahului vonis berupa upaya mencari kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang. Dan atas dasar ini maka sesungguhnya istitabah itu digunakan terhadap setiap apa yang terjadi di majelis vonis atau hukum berupa upaya pencarian kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang (takfir) sebelum vonis dan permintan taubat setelah vonis murtad. Dan jelas ini bahwa bila thalibul ilmu membaca pada kitab-kitab ilmu (bahwa barangsiapa mengatakan begini atau melakukan begitu maka dia diistitabah) maka ungkapan ini tidak mesti bahwa orang ini telah kafir dan diminta taubat darinya, akan tetapi ia berarti telah muncul darinya ucapan atau perbuatan mukaffirah dan wajib mencari kejelasan keadaannya, yaitu mencari kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang, dan setelahnya bisa jadi dihukumi ketidak-bersalahan dia dan bisa jadi divonis murtad.
(A) Adapun penggunakan istitabah terhadap upaya mencari kejelasan syarat-syarat dan penghalang-penghalang sebelum penetapan vonis terhadap orang yang muncul darinya ucapan atau perbuatan mukaffir, maka ini adalah tsabit (ada terbukti) dengan ijma’ shahabat radliyallahu ‘anhum, sebagaimana yang dituturkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam ucapannya: Adapun hal-hal fardlu yang empat, maka bila orang mengingkari sesuatu darinya setelah sampainya hujjah maka ia kafir, dan begitu juga orang yang mengingkari pengharaman sesuatu dari hal-hal yang diharamkan yang nampak lagi mutawatir pengharamannya seperti fawahisyi (zina dan perbuatan keji lainnya), zalim, dusta dan yang lainnya. Adapun orang yang belum tegak hujjah terhadapnya seperti orang yang baru masuk Islam atau tinggal di pedalaman yang jauh yang tidak sampai di dalamnya ajaran-ajaran Islam dan yang lainnya, atau dia keliru terus mengira bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih dikecuali dari pengharaman khamr sebagaimana telah keliru dalam hal itu orang-orang yang diistitabah oleh Umar serta yang serupa dengannya, maka sesungguhnya mereka itu diistitabah dan ditegakan hujjah terhadap mereka kemudian bila mereka bersikukuh, maka saat itu mereka kafir, dan tidak boleh mereka divonis kafir sebelum itu sebagaimana para shahabat telah memvonis kafir Qudamah Ibnu Madh’un dan para shahabatnya tatkala telah keliru dalam apa yang mereka keliru di dalamnya akibat takwil“ [Majmu Al Fatawa: 7/609-610].
Maka nampak dari ucapanya ini bahwa istitabah digunakan terhadap tabayyunul mawani’ dan penegakan hujah sedangkan ini terjadi sebelum vonis murtad sebagaimana ucapannya: “dan tidak boleh mereka divonis kafir sebelum itu”.
Dan diistitabah ini wajib bersama maqdur ‘alaih dan ia dikatakan sebisanya bersama mumtani’, di mana bila sampai kepada orang yang memvonis mumtani’ yang muncul darinya kekufuran itu (berita) keberadaan penghalang pada orang itu, maka ia wajib menganggapnya, akan tetapi tidak wajib atas seorang yang memvonis dia itu untuk untuk meneliti mawani’ dan tidak pula mengaitkan vonis kepadanya terhadap hal itu terutama bila sikap tawaquf (diam sambil meneliti) itu menimbulkan kerusakan terhadap kaum muslimin, dan akan datang penuturan dalil-dalil terhadap hal itu di point berikutnya insya Allah saat berbicara tentang mumtani’.
(B) Adapun istitabah dengan makna permintaan taubat dari orang yang sudah divonis murtad, maka inilah yang masyhur dalam kitab-kitab ilmu dan ia telah ditunjukkan oleh banyak dalil seperti firman-Nya: “Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkatan kekafiran dan telah menjadi kafir sesudah Islam ~sampai firman-Nya~ maka jika mereka bertaubat itu adalah lebih baik bagi mereka” (Q.S. At Taubah [9]: 74)
Dan firman-Nya Ta’ala: “Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir, sesudah mereka beriman ~sampai firman-Nya~ kecuali orang-orang yang taubat sesudah (kafir) itu dan mengadakan perbaikan”. (Q.S. Ali Imran [3]: 86-89).
Dan dalam kisah kaum yang murtad dari Banu Hanifah di Kuffah: Di masa kegubernuran Abdullah Ibnu Mas’ud ~ada dalam apa yang diriwayatkan Al Baihaqiy~, “…Kemudian beliau meminta pendapat orang-orang tentang mereka itu, maka ‘Addy Ibnu Hatim mengajarkan agar mereka dibunuh, maka berdirilah Jarir dan Al As’ats, keduanya berkata: ”Jangan, tapi suruh mereka bertaubat dan mintalah jaminan keluarga-keluarga mereka“, maka mereka taubat dan dijamin oleh keluarga-keluarga mereka“. [Ibnu Hajar menukilnya dalam Fathul Bari: 4/470]
Dan saya sudah menukil kisah ini seluruhnya sebelumnya.
Ucapannya “suruh mereka bertaubat…..maka mereka bertaubat” menunjukkan bahwa istitabah disini adalah wajib menurut mayoritas para ulama dan kalangan Ahnaf, ahli dlahir, dan Asy Syaukani mengatakan bahwa itu tidak wajib, sedang yang kuat adalah wajibnya istitabah. Dan Ibnu Qashshar dari kalangan Malikiyyah telah menghikayatkan ijma sahabat terhadap hal itu, yaitu ijma Sukutiy, [lihat Asy Syifa’, Al Qadliy ‘Iyadl: 2/1023-1025 terbitan Al Halaby].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menghikayatkan ijma shahabat terhadap wajibnya istitabah orang yang murtad dalam Ash Sharimul Maslul: 323 dan juga silahkan rujuk Fathul Bari: 12/269, Al Mughniy Ma’asy Syarhil Kabir: 10/76, Al Majmu An Nawawiy: 19/229, As Sail Al Jarrar, Asy Syaukaniy: 4/373, dan Ash Sharim Al Maslul: 321 dan seterusnya.
Taubat orang yang murtad adalah dengan cara ia mendatangkan dua kalimah syahadat dan sikap rujuknya dari apa yang dia menjadi kafir darinya. Lihat referensi-referensi yang lalu. Ibnu Muflih Al Hambaliy berkata: ”Guru kami berkata: “Para imam sepakat bahwa orang murtad bila masuk Islam, maka dia telah terjaga darah dan hartanya meskipun tidak divonis oleh hakim“ [Al Furu’ 6/172, terbitan Maktabah Ibnu Taimiyyah]. Ucapan “guru kami “ maksudnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[1] Penghalang takfir dengan sebab takwil tidak berlaku dalam hal-hal yang tidak ada peluang ijtihad di dalamnya atau hal-hal yang jelas serta diketahui secara pasti dalam dien ini, seperti masalah syirik akbar dan yang serupa dengannya. Oleh sebab itu Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah telah menyatakan ijma’ tidak diterima dan tidak diudzurnya orang melakukan ta’wil dalam hal itu dalam risalah beliau (Al Intishar Lihizbillahil Muwahiddin) juga para imam da’wah Najdiyyah dalam risalah-risalah mereka
Silahkan merujuk Al Muttammimah Li Kalaam Aimmatid Da’wah juga At Taudlih Wa Tatimmat tulisan Syaikh Ali Khudlair hafidhahullah juga Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah di muqaddimah bahasan Mawani’ Takfier karya Al Maqdisiy hafidhahullah.
Dan untuk yang ringkas silahkan rujuk bundel PMJ dalam Risalah Barang Siapa Kafir kepada Thaghut… tulisan penetrjemah (pent.)
[2] Ta’wil dalam masalah tauhid dan syirik dan yang dalilnya jelas adalah murni hawa nafsu seperti ta’wil syura’ dengan demokrasi (pelimpahan hak khusus ketuhanan kepada makhluk) dalam rangka legakkan masuk majelis syirik. (pent.)
[3] Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidhaullah berkata: “Ucapan beliau (Syaikh Abdur Qodir): “…maka tidak ada ‘azdab di dunia dan di akhirat kecuali setelah sampainya risalah…“ Maka ini adalah pemuthlaqan yang perlu ditinjau sedangkan yang wajib adalah membatasinya dengan apa yang tidak diketahui kecuali lewat hujjah risaliyyah, karena ashlut tauhid (yaitu ajaran hanif) adalah Allah tegakkan dengan hujjah yang amat jelas, barang siapa yang tidak merealisasikan ashlut tauhid dan justru dia menggugurkannya serta mati di atas syirik dan tandid maka tanpa ragu lagi dia di’adzab di akhirat. Dan ini dibuktikan oleh banyak dalil di antaranya: Apa yang diriwayatkan Al Imam Ahmad dan Muslim dari Anas bahwa Nabi SAW melewati Bani An Najar maka beliau mendengar suara, beliau berkata: “Ada apa ini?” maka mereka berkata: “Kuburan seorang laki-laki semasa jahiliyyah”, maka Nabi berkata: “seandainya kalian tidak saling tidak menguburkan tentu saya akan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla akan memperdengarkan kepada kalian dari siksa kubur ini apa yang Dia perdengarkan kepada saya”. Dan lebih jelas dari itu apa yang diriwayatkan Ath Thabrani dan yang lainnya bahwa seorang badui datang kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya bapakku suka menyambungkan persaudaran dan suka ini dan itu maka dimana ia itu?” Beliau berkata: “Di neraka”. Maka seolah si arab badui itu tersentak dari hal itu terus dia berkata: “Wahai Rasulullah dimana ayah engkau?”, maka beliau menjawab: “Di mana saja kamu melewati kuburan orang kafir maka beri kabar dia dengan neraka”. Maka setelahnya orang badui itu masuk Islam, kemudian berkata: “Rasulullah shalalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tugas kepada saya: “Tidaklah aku melewati kuburan orang kafir melainkan aku beri kabar dia dengan neraka”.
Dan serupa dengannya apa yang diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya dari Anas radliallahu’anhu bahwa seseorang berkata: “Wahai Rasulullah dimana ayah saya?”, beliau menjawab: “Di neraka”, kemudian tatkala ia pergi beliau memanggilnya terus berkata: “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”.
Sedangkan mereka itu tergolong kaum yang telah Allah Ta’ala firmankan tentangnya: “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum kamu mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk“ (As Sajadah: 3)
Dan firmanNya Ta’ala: “Agar kamu memberi peringatan kapada kaum yang bapak-bapak mereka belum diberi perinagatan karena itu mereka lalai “ (Yasin: 6)
Maka sahlah dengan nash wahyu bahwa mereka itu adalah kaum yang di ‘adzab di akhirat padahal sesugguhnya tidak datang kepada mereka seorang pemberi peringatanpun serta bahwa mereka itu lalai terhdap nash Al Qur’an. Dan ini adalah dalil bahwa orang yang membatalkan ashlut tauhid dari kalangan orang mukallaf serta mati di atas syirik dan tandid yang nyata adalah bahwa ia itu di’adzab di akhirat meskipun belum datang kepada dia seorang pun pemberi peringatan, karena ashlut tauhid tergolong suatu yang terpatri dalam fitrah manusia dan telah tegak terhadapnya hujjah-hujjah Allah yang beraneka ragam dan untuknya semua rasul diutus serta karenanya semua kitab-kitab Allah diturunkan.
Sedangkan Al Isra’ ayat 15 sebagaimana yang dinukil Asy Syaukani dalam Fathul Qodir dari jumhur ulama’ adalah hanya tentang ‘adzab dunia bukan ‘adzab akhirat.
Dan ini dibuktikan oleh firmanNya Ta’ala langsung setelahnya: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya, dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat Dosa hamba-hambanya “ (Al Isra: 16-17)
Jadi ia seperti firmanNya Ta’ala: “Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat kami kepada mereka dan tidak pernah (pula) kami membinasakan kota-kota dalam keadaan melakukan kezholiman“ (Al Qashas: 59)
Dan yang menyusul masalah ini kritikan penulis (Syaikh Abdul Qodir) hal 543 terhadap penulis kitab Dlawabit Takfir dalam ucapannya bahwa sesungguhnya asal pada hujjah terhadap manusia dalam hal tauhid adalah fithrah dan mitsaq (perjanjian) yang telah diambil dari mereka…,adapun hujjah para rasul maka ia berkaitan dengan apa yang menggugurkan komitmen yang rinci terhadap syariat….
Padahal sesungguhnya ucapan ini adalah benar lagi tidak ada kesamaran di dalamnya bila dimaksudkan dengannya ashlut tauhid dan penjauhan syirik akbar, bukan rincian-rincian tauhid dan cabang-cabang yang tidak diketahui kecuali lewat jalur para rasul .
Sebagaimana mushannif mengkritik penulis Dlawabit Takfir pada ucapannya bahwa orang yang menohok tauhid maka ia itu di’azab di akhirat meskipun belum tegak atasnya hujjah risaliyyah karena telah tegak fitrah, mitsaq dan yang lainnya. Dan mushannif dalam membantah di sana berhujjah lagi dangan ayat 15 Al Isra’: “Dan kami tidak mungkin meng’adzab sehingga kami mengutus seorang rasul “, dan ia menuturkan ucapan Asy Syinqhithiy seputar ayat ini.
Sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa yang dimaksud dengan ‘adzab di dalamnya adalah ‘adzab pemusnahan di dunia, dan ini adalah pendapat jumhur mufassirin dan bahwa nash-nash telah menetapkan bahwa di sana ada orang yang di‘adzab di akhirat karena matinya di atas syirik akbar dan kerena tidak merealisasikan tauhid yang mana ia adalah hak Allah atas hamba meskipun tidak datang kepadanya seorang Rasul khusus, karena sesungguhnya ini adalah hal inti yang dengannya diutus para rasul seluruhnya dan diturunkan kepadanya kitab-kitab seluruhnya serta sepakat dan mutawatir di atasnya ajaran rasul-rasul. Adapun ucapan Asy Syinqithiy maka sangatlah jelas dari penekanannya di dalamnya terhadap masalah akal dan penegakan dalil-dalil, bahwa beliau membantah terhadap Mu’tazillah dan ahli kalam lainnya yang mewajibkan pengenalan Allah dengan dalil-dalil akal sedangkan ini adalah masalah lain yang di luar bahasan kita.
Kemudian mushannif berbicara tentang hujjah risaliyyah dan ia menuturkan bahwa para rasul telah diutus dengan tauhid dan lainnya. Dan tidak ada seorangpun menyelisihi bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjadikan hujjah risaliyyah sebagai bagian dari hujjah-hujjah terhadap hamba-hambaNya dalam hal tauhid dan yang lainnya agar terbukti baginya Ta’ala hujjah yang jelas lagi kuat. Dan di dalam hadits “ …..tiada satupun yang lebih mencintai udzur daripada Allah, oleh sebab itu Allah mengutus para Nabi seraya memberi kabar gembira dan peringatan“. Dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud secara marfu’, akan tetapi yang menjadi perselisihan apakah orang musyrik yang menggugurkan ashlut tauhid dan tidak diutus seorang rasul kepadanya di’udzur? dan bila di’udzur maka apa makna ‘udzur? Apakah maknanya bahwa ia tidak di’azab sehingga diuji di hari kiamat atau bahwa ia di’udzur dan masuk surga sedangkan telah sah dari nabi bahwa ia berkata sesungguhnya surga tidak dimasuki kecuali oleh jiwa yang muslim dan beliau berkata tentang sebagian orang yang belum datang seorang pun memberi peringatan kepada mereka: “…Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka”
Sedangkan pengambilan hujjah (hal 544) beliau (Syaikh Abdul Qodir) dengan firman-Nya Ta’ala: “Dan Allah telah mengeluarkankamu dari perut-perut ibumu ssedang kamu tidak mengetahui apa-apa“ (An Nahl: 78) adalah muthlaq yang dibatasi dengan hadits: “Tidak seorang pun terlahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah… “ (Al Bukhari dan Muslim)
Dan hadits “Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan hanif (bertauhid)…”
Ini adalah pada asal penciptan… dan tetaplah ayat itu di atas keumumanya dalam rincian-rincian syari’at.
Begitu juga (hal 545) mushannif menuturkan ayat-ayat yang di dalamnya ada pertanyaan para malaikat penjaga Jahannam kepada kepada orang-orang yang masuk ke dalamnya: “bukankah telah datang para rasul kepada kalian…” untuk berdalil dengannya bahwa tidak masuk neraka kecuali orang-orang yang telah didatangi rasul.
Dan ini adalah benar yang merupakan kondisi kebiasaan (mayoritas) bukan keseluruhan (umum), yang dibuktikan hal itu dengan firman Nya Ta’ala: “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan karena itu mereka lalai…“ (Yasin: 6) ditambah kesaksian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sebagian mereka bahwa mereka di neraka“ selesai ucapan Al Maqdisy. (pent.)
[4] Namun demikian Syaikh Abdul Qodir menjelaskan bahwa orang yang melakukan kemusyrikan dan kekafiran yang nyata di negeri kaum muslimin adalah tidak di’udzur walaupun mereka itu bodoh. Beliau berkata dibahasan Al Udzru Bil Jahli (Al Jami’ Juz 6): “Dan di sini kita bicara tentang realita yang terbatas, yaitu keadaan orang-orang yang mengaku muslim di mayoritas negeri kaum muslimin yang dihukumi undang-undang kaum kuffar (qawanin wadli’iyah) di jaman ini.
Negeri ini dari sisi hukum dianggap negeri kafir harbi, dan akan datang bahasan tentang status negeri di akhir mabhtas I’tiqod di bab ke 7, sebagaimana akan datang pembahasan pembicaran tentang masalah Al Hukmu Bighoiri Ma Anzalallah dan konsekuensi-konsekuensi yang di bangun di atas di mabhtas ke 8 di bab ke 7 insya Allah
Dan kami bila telah mengatakan bahwa orang diudzur karena sebab kebodohan di darul kufr, maka itu adalah negeri kafir asli yang mayoritas atau seluruh penduduknya adalah orang-orang kafir asli dimana orang yang masuk Islam dari kalangan mereka tidak mampu mengetahui sesuatu dari dien ini. Adapun darul kufri at thahari (negeri kafir yang asalnya muslim) seperti negara-negara yang diperintah dengan undang-undang buatan (qawanin wadli’iyyah), maka sudah maklum (diketahui) bahwa mayoritas penduduknya adalah muslim walaupun dalam hukum dhahir, oleh sebab itu anak pungut dihukumi muslim dalam keadaan negeri seperti ini, berbeda halnya dengan negeri kafir murni (asli) –dan akan datang bahasan ini di akhir mabhats i’tiqad yang telah diisyaratkan kepadaanya— dan oleh kerenanya si mukallaf memiliki kesempatan untuk belajar di negeri-negeri ini dengan bertanya atau berpergian dari satu kota ke kota yang lain atau dari suatu negeri ke negeri yang lain atau bertanya lewat telepon atau surat pos dan yang lainnya .
Walhasil: Bahwa ilmu itu sangat mudah didapatkan di negeri-negeri ini, dapat dicari dan mendapat kebenaran darinya, sehingga tidak diudzur seorang pun karena sebab kebodohan di negeri-negeri ini, kecuali dalam masalah-masalah agama yang samar yang hanya diketahui kalangan khusus dari ulama. Dan inilah apa yang ditunjukkan oleh pendapat seluruh ulama yang telah kami sebutkan pada masalah pertama yang lalu.
Dan di antara batasan yang bisa diqiyaskan kepadanya adalah kedaan orang-orang yang selamat dan yang binasa dari kalangan Arab sebelum Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh mereka itu beribadah dengan agama Ibrahim walaupun sudah kerasukan perubahan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pasal yang ke dua, dan sebagian mereka mendapatkan tauhid dan meninggalkan peribadatan berhala dengan usaha dan bertanya seperti Zaid Ibnu Amr Ibnu Naufal, sedang yang lain malah cenderung taqlid kepada apa yang dipegang kaumnya dan mereka itulah orang-orang yang dikabarkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka itu kafir lagi di’adzab.
Bila saja hujjah telah tegak dengan agama Ibrahim -padahal ia sudah kena perubahan- terhadap mereka itu, padahal sangat jarang sekali orang yang mengetahui al haq atau sebagian dari mereka, maka bagaimana manusia di’uzdur karena kejahilan di negeri-negeri ini bila mereka terjatuh dalam pembatal keIslaman sedangkan sarana-sarana belajar sangat mudah dan banyak sekali orang-orang yang menyerukan al haq dan orang-orang yang mengamalkannya?” selesai ucapan Syaikh Abdul Qodir.
Jadi beliau tidak mengudzur para pelaku syirik yang bodoh di negeri macam ini. (pent.)
[5] Orang yang murtad di negeri kafir harbi (seperti RI) dalah mumtani’ sebagaimana yang akan Syaikh jelaskan nanti karena ia berlindung di bawah undang-undang kafir dan juga kaum muslimin tidak bisa mengadilinya dan menerapkan had syar’i terhadapnya, sebab riddah dilindungi undang-undang dan negara kafir RI ini. (pent)
[6] Sehingga orang muslim bisa memvonis kekafiran akbar langsung meneliti dan menyelidiki mawani’ takfir padanya, kecuali bila mawani’ itu jelas nampak.
[7] Ingat ini tentang maqdur ‘alahi, adapun mumtani’ yang di antaranya orang melakukan kekafiran zhahir di negeri kafir harbi seperti RI, maka sudah lalu dijelaskan bahwa tidak wajib tabayyunul mawani’ (pent)
[8] Syaikh Abdul Qodir berkata di hadapan udzur jahil dan penilaian qodli terhadapnya: “Akan tetapi di negara-negara yang dihukumi dengan qawanin wadl’iyyah (seperti RI, pent) tidak ada tempat bagi peradilan syar’iy dan meskipun kadang didapatkan apa yang dinamakan dengan ahwal syakshiyyah (seperti masalah nikah, thalaq dan warisan di pengadilan agama di RI ini !!!, pent) akan tetapi undang-undang ini tidak menganggap kemurtadaan sebagai kejahatan dan ia tidak memberi sanksi bagi orang yang murtad. Dan atas dasar ini maka sesungguhnya faidah pembicaran dalam meteri ini adalah dalam mu’amalat syakhshiyyah (perlakuan-perlakuan yang bersifat pribadi) bagi kaum muslimin… Dan di antara mu’amalat ini adalah menjadi imam dalam shalat, nikah, thalaq, pengasuhan anak, perwalian atas jiwa dan harta, warisan, sembelihan, kesaksian dan hukum-hukum lainnya yang mana mengetahui status agama sangat mempengaruhi di dalamnya. Bila di sana ada mu’amalah antara muslim yang shaleh dalam agamanya dengan orang yang mengaku Islam yang melakukan hal-hal yang mengkafirkan yang jelas seperti meninggalkan shalat, menghina agama, syirik-syirik kuburan dan tempat yang dikeramatkan, maka sesungguhnya dia memperlakukan orang ini atas dasar dia itu kafir secara sebenarnya, meskipun dia tidak mengetahui bahwa ini adalah kekafiran, karena dia memiliki kesempatan untuk mengetahui hal itu, namun dia berpaling dari mempelajari agamanya. Dan kekafirannya semakin kuat bila telah dijelaskan kepadaanya bahwa ini adalah kekafiran walaupun orang yang memberi penjelasan kepadanya adalah orang yang awam yang tidak mencukupi syarat-syarat orang yang menegakkan hujjah risaliyyah, karena wajib atas orang yang melakukan kekafiran bila telah sampai kepadanya suatu berita untuk mencari kejelasan, sebab hal ini adalah wajib atas dia semenjak awal. Kemudian bila dia taubat dan mencabut diri dari kekafiran itu maka ia dihukumi muslim kembali dan bila dia bersikukuh di atas kekafiran itu, maka dia adalah kafir mu’anid (orang kafir yang membangkang). Dan perkatan ini menjadi konsekuensi rusaknya banyak pernikahan di negeri -negeri semacam ini dengan sebab kemurtadan dari salah seorang suami istri dan juga batalnya pembagian warisan serta konsekuensi-konsekuensi yang lain yang banyak manusia lalai darinya.
Memvonis kekafiran seseorang adalah suatu hal dan mendakwahinya kepada Islam adalah hal lain sebagaimana telah berlalu dalam penjelasan perbedaan antara penegakan hujjah dengan dakwah dimana ini adalah wajib dan ini kewajiban lain lagi, maka wajib untuk terus mendakwahi mereka itu untuk mengembalikannya ke lingkaran Islam“ Perkataan Syaikh selesai. (pent)
0 komentar: