Tidaklah berlebihan bila kami mengatakan bahwa materi Al-Iman dan Al-Kufr ini adalah materi keagamaan yang paling penting, karena banyaknya hukum-hukum yang dibangun di atasnya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu“ (Al-Jaatsiyah: 21)
Adapun di akhirat, maka sesungguhnya akhir tempat kembali makhluk ke surga atau ke neraka itu tergantung kepada Al-Iman dan Al-Kufr. Adapun di dunia, maka hukum-hukum yang dibangun di atas hal itu adalah sangat banyak, di antaranya:
1. Dalam urusan-urusan siyasah syar’iyyah (politik syar’iy): yaitu apa-apa yang berkaitan dengan keadaan-keadaan para penguasa dan sistem-sistem pemerintahan di suatu negara, maka sesungguhnya hukum-hukum Al-Iman dan Al-Kufr yang berkaitan dengan hal itu sangatlah penting karena ia memiliki pengaruh terhadap seluruh kaum muslimin bukan sebagian, sebab sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan kaum muslimin mentaati dan membantu pemerintah yang muslim, sebagaimana Dia mengharamkan atas mereka taat atau membantu pemerintah yang kafir, serta Dia mewajibkan atas mereka untuk melengserkan pemimpin bila dia kafir, oleh sebab itu para ulama’ berkata sesungguhnya wajib atas setiap muslim untuk mengetahui keadaan pemerintahnya. (lihat Al-Mustashfa, Abu Hamid Al-Ghozali juz 2 hal 390). Pentingnya hal ini dijelaskan dengan realita bahwa negara-negara yang diperintah dengan qowanin wadl’iyyah (UU buatan manusia) ~sebagaimana ia adalah realita hari ini di berbagai negeri kaum muslimin~ adalah memiliki hukum-hukum yang sangat penting yang wajib diketahui oleh setiap muslim, agar binasa orang yang binasa di atas kejelasan dan agar hidup orang yang hidup di atas kejelasan. Dan diantara hukum-hukum ini adalah:
A. Bahwa para penguasa negeri-negeri ini adalah kafir dengan kufur akbar lagi keluar dari Islam.
B. Bahwa para hakim di negeri-negeri ini adalah kafir dengan kufur akbar, dan ini artinya haram bekerja dengan profesi ini.
Sedangkan dalil kekafiran para penguasa dan para hakim itu adalah Firman-Nya Allah Ta’ala:
“…Barang siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Pengisyaratan kepada materi ini akan ada pada saat membicarakan kekeliruan-kekeliruan takfir di akhir materi bahasan ini, dan begitu juga dalam materi ke empat dari bahasan ke delapan dari pasal ini, yaitu materi khusus tentang al hukmu bi ghairi ma anzalallah, di mana di dalamnya ada isyarat sekilas tentang bantahan terhadap sebagian syubhat yang muncul saat berdalil dengan ayat ini Insya Allah, maka silahkan rujuk ke sana.
C. Bahwa tidak boleh tahakum (berhakim/mengajukan perkara) kepada mahaakim[1] di negeri-negeri ini, dan tidak (boleh pula) bekerja di sana. Dan barang siapa tahakum kepada undang-undang mereka seraya ridho dengannya, maka ia kafir juga.
D. Bahwa anggota lembaga-lembaga legislatif di negeri-negeri ini -seperti parlemen, majelis rakyat, dan yang lainnya[2]- adalah orang-orang kafir dengan kufur akbar, karena merekalah orang-orang yang merekomendasikan penerapan qowanin yang kafir ini dan merekalah orang-orang yang membuat hukum-hukum baru darinya.
E. Bahwa orang-orang yang memilih para anggota parlemen-parlemen ini adalah orang-orang kafir dengan kufur akbar[3], karena mereka dengan pencoblosannya ini berarti menjadikan para wakilnya itu sebagai arbab musyarri’in (tuhan-tuhan yang membuat hukum) selain Allah, sedangkan yang dianggap itu adalah isi (makna). Dan kafir juga setiap orang yang mengajak untuk ikut memilih atau yang menyemangati orang untuk ikut serta di dalamnya.
Sedangkan dalil kekafiran para anggota parlemen itu adalah firman Allah Ta’ala:
“Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain Allah yang menyari’atkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak di izinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (Tuhan-tuhan) selain Allah…” (At-Taubah: 31)
Para ulama’ tafsir tidak berselisih bahwa rububiyyah (penuhanan) di sini adalah dalam hal tasyri’ (pembuatan hukum) selain Allah, sedangkan para wakil rakyat (di) parlemen-parlemen ini adalah arbab yang merebut wewenang pembuatan hukum (UU/UUD) dari Allah. Orang-orang yang memilih mereka adalah menjadikan mereka sebagai arbab selain Allah. Pembicaran dalam masalah ini telah lalu dalam bab ke empat dari kitab ini dalam materi niat saat membantah Fatwa Syaikh Ibnu Baz, dan akan datang dalam materi pertama yang khusus berkaitan dengan Siyasah Syar’iyyah pada mabhats ke delapan tambahan rincian dalam masalah ini Insya Allah Ta’ala.
F. Bahwa haram memba’iat para penguasa itu untuk memegang pemerintahan di negeri-negeri ini atau untuk terus memerintah sebagaimana yang terjadi pada berbagai jajak pendapat yang khusus untuk itu, karena dalam pemba’iatan itu terkandung keinginan langgengnya kekafiran, sedang siapa yang menginginkan hal itu maka ia kafir. Lihat (Al Furuq karya Al Qarafiy 4/118).
G. Bahwa aparatur militer yang mempertahankan sistem-sistem kafir ini adalah orang-orang kafir dengan kufur akbar, karena mereka itu berperang di jalan thoghut, dan Allah Ta’ala berfirman:
…Dan orang-orang yang kafir adalah mereka berperang di jalan thoghut…“. (An Nisa’: 76).
Sedangkan thoghut yang mana mereka berperang di jalannya adalah thoghut hukum yang berbentuk UUD, undang-undang buatan lainnya dan para penguasa yang menerapkannya. Allah Ta’ala berfirman:
…Mereka hendak berhakim kepada thogut…”. (An Nisa’: 60).
Maka setiap yang dijadikan rujukan hukum selain Allah adalah thoghut.
Masuk dalam status hukum (kafir) ini setiap orang yang membela sistem-sistem kafir ini dengan bentuk perang melindunginya seperti aparat militer (polisi dan tentara), atau orang yang membelanya dengan perkatan seperti sebagian wartawan dan orang-orang (yang bekerja dalam bidang, ed.) pemberitaan dan para syaikh (ulama’ suu’).
Oleh sebab itu maka haram ikut mengabdi pada dinas ketentaraan negara-negara kafir ini. Akan datang isyarat pada hukum masalah ini di akhir mabhats ini Insya Allah dalam koreksi kami terhadap kitab “Ar Risalah Al Limaniyyah Fil Muwaalah”.
H. Bahwa tidak boleh orang muslim taat kepada pemerintah negara-negara (kafir,ed) ini, dan ia tidak harus komitmen dengan perundang-undangannya, bahkan ia itu bebas leluasa untuk menyelisihinya kapan saja dia berkehendak dengan dua syarat:
· Dia tidak melakukan apa yang tidak boleh ia lakukan secara syari’at.
· Dan tidak menyakiti atau menzhalimi orang muslim.
I. Bahwa negeri yang dihukumi dengan undang-undang kafir adalah dar kufr (negeri kafir). Bila dahulunya ia itu dihukumi dengan syari’at terus muncul di atasnya undang-undang kaum kafir, sedang ia masih dihuni oleh kaum muslimin, maka ia adalah dar kufr thori (negeri kafir yang baru), dan akan datang pengisyaratan kepada status-status negeri di akhir mabhats ini Insya Allah.
Inilah, dan saya tidak bertujuan melakukan rincian di sini dalam masalah ini, namun saya ingin menjelaskan pentingnya mengetahui hukum-hukum Al Iman dan Al Kufr bagi setiap muslim, dan di sini saya telah menyebutkan apa yang berkaitan di antaranya dengan siyasah syar’iyyah.
Kemudian kami lanjutkan pembicaran tentang hukum-hukum duniawiy yang di bangun di atas materi Al Iman dan Al Kufr.
1. Dari hukum-hukum perwalian: adalah gugurnya perwalian orang kafir atas orang muslim dalam banyak bentuk:
v Orang kafir tidak bisa menjadi pengurus atau pemimpin atau qadli bagi kaum muslimin.
v Shalatnya batal sehingga tidak bisa menjadi imam shalat, dan orang yang shalat di belakangnya padahal dia mengetahui keadaannya maka shalatnya adalah batal.
v Orang kafir tidak bisa menjadi wali bagi muslimah dalam pernikahan.
v Tidak menjadi mahram bagi (si muslimah itu), meskipun dia adalah kerabat yang mahram selama-lamanya.
v Orang kafir tidak bisa menangani harta orang muslim, sehingga ia tidak bisa menjadi pemegang wasiat atasnya.
v Orang kafir tidak boleh diberikan kesempatan untuk memungut laqith (anak hilang) di Darul Islam.
Dan bentuk-bentuk perwalian lainnya yang beraneka ragam …
2. Dari hukum-hukum pernikahan: Sesungguhnya orang kafir di antaranya orang murtad seperti orang yang meninggakan shalat dan orang yang mencela agama:
v Haram menikahkannya dengan muslimah.
v Tidak boleh menjadi wali muslimah dalam pernikahan.
Bila si laki-laki menikah sedang dia muslim, kemudian dia murtad maka nikahnya rusak dan bila ia terus dalam menggauli istrinya maka ini (dihukumi,ed.) zina.
Jika engkau terapkan ini terhadap realita, maka engkau mendapatkan bahwa banyak dari pernikahan-pernikahan yang ada adalah batil dan rusak lagi tidak memiliki pengaruh konsekuensi hukum di atasnya karena kemurtadan si suami atau si istri sebelum atau sesudah nikah, jadi masalahnya adalah sangat berbahaya.
3. Dari hukum-hukum warisan.
Perbedan agama adalah penghalang dari saling mewarisi, namun Ibnu Taimiyyah dan diikuti oleh Ibnul Qoyyim telah menyelisihi dalam hal ini, di mana mereka membolehkan pewarisan orang muslim dari kerabatnya yang kafir, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dan beliau telah panjang lebar dalam membela pendapat ini dalam kitabnya (Ahkam Ahlidz Dzimmah 2/462 dst terbitan Darul ‘Ilmi Limalayin 1983 M). Pendapat mereka berdua ini adalah keliru lagi tertolak karena menyelisihi nash-nash yang shahih lagi tegas yang selamat dari (nash) yang menentang, dan keduanya telah berhujjah dengan ucapan-ucapan para sahabat sedang ucapan seseorang tidak dianggap di sisi ucapan Rosulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
4. Dari hukum-hukum ‘Ishmah (Keterjagaan): Sesungguhnya ‘Ishmah darah dan harta tidak terjadi kecuali dengan iman atau aman. Adapun iman maka yang di maksud dengannya adalah Islam Hukmiy Zhahir. Dan adapun aman maka ia ada dua macam:
v Amaan (keamanan) yang sementara, dan ia bagi orang yang meminta jaminan keamanan yang diberi izin untuk masuk ke Darul Islam bukan untuk menetap terus di sana.
v Dan amaan selamanya, dan ia adalah bagi dzimmiy yang menetap selamanya di Darul Islam dengan syarat dia komitmen dengan syarat-syarat akad dzimmah.
Jaminan keamanan ini dengan kedua macamnya tidaklah berlaku, kecuali bagi kafir asli, adapun orang murtad maka tidak ada amaan baginya, sedangkan orang yang tidak memiliki jaminan keamanan, baik ia itu kafir asli atau orang murtad, maka ia adalah halal darah dan hartanya. Bila engkau membunuh orang yang tidak diketahui agamanya secara sengaja kemudian ternyata terbukti bahwa dia itu orang kafir yang tidak terjaga darahnya atau orang murtad, maka tidak ada qishash dan diyat atas dirimu, ini dalam hukum qodlary (putusan dunia), adapun dosa di akhirat maka di dalamnya ada perselisihan dengan sebab kesengajaan bersama ketidaktahuan akan keadaannya sedang ia berkemungkinan Islam. Bila engkau membunuhnya secara tidak sengaja, maka tidak ada kewajiban Diyat dan Kaffarat atas dirimu.
5. Dari hukum-hukum jenazah:
v Bahwa orang kafir atau orang murtad tidak dimandikan, tidak dishalatkan dan tidak dikuburkan bersama kaum muslimin .
v Tidak boleh orang muslim berdiri di atas kuburannya saat menguburkannya atau memintakan ampunan baginya meskipun boleh mengiringi jenazahnya.
Ini adalah termasuk kesempurnan bara’ah dari orang-orang kafir dalam masa hidup dan kematian mereka, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu sekali kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan rosul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasiq.” (Qs At Taubah: 84)
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik. Walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya).” (At Taubah: 113)
6. Hukum-hukum Al Wala’ dan Al Bara’:
v Wajib muwaalah (berloyalitas) kepada orang mu’min dengan berdasarkan keimananya.
v Haram muwaalah kepada orang kafir, wajib bara’ darinya dan wajib orang mu’min membencinya di jalan Allah serta (wajib) menampakkan di hadapannya permusuhan selagi itu mungkin bagi dia. Dan tidak boleh membantunya terhadap suatu yang membahayakan kaum muslimin, tapi wajib mempersulit orang kafir tanpa menzholiminya bila ia itu kafir mu’ahid atau dzimmy.
7. Hukum-hukum hijrah:
Ia dibangun di atas iman dan kufur, wajib atas orang mu’min untuk hijrah dari tengah orang-orang kafir bila ia mampu agar ia selamat dengan agamanya dari penindasan mereka dan agar tidak memperbanyak jumlah mereka serta tidak membantu mereka terhadap orang muslim.
8. Hukum-hukum jihad dan apa yang dibangun di atasnya, seperti memperlakukan tawanan, ghonimah, fa’i, jizyah dan kharaj. Semua ini dibangun di atas iman dan kufur
9. Hukum-hukum negeri:
Dibangun di atas iman dan kufur, maka tidak boleh seorang muslim bepergian ke negeri kafir kecuali kebutuhan, dan tidak boleh muqim (menetap) disana, kecuali karena darurat, sebagaimana orang kafir tidak boleh masuk ke Darul Islam, kecuali dengan perjanjian dan tidak boleh menetap disana, kecuali dengan jizyah. Dan di sana ada tempat-tempat yang mana orang kafir tidak boleh menetap, yaitu Jazirah Arab dan di sana ada tempat-tempat yang tidak boleh mereka memasukinya yaitu Al Haram.
10. Dari hukum-hukum peradilan (Qodlo’)
Bahwa pada dasarnya tidak diterima kesaksian orang kafir atas orang muslim, apalagi sangat haramlah orang kafir menjadi qodliy yang memberikan vonis terhadap kaum muslimin sebagaimana yang telah kami utarakan dalam hukum-hukum perwalian.
Bila kita lebih jauh menelusuri hukum-hukum yang dibangun di atas al iman dan al kufr dalam berbagai bab fiqh yang beraneka ragam, tentu kita akan menghimpun sesuatu yang amat banyak, dimana bejana-bejana kaum kafir memiliki banyak hukum, sembelihan mereka memiliki banyak hukum, serta transaksi bersama orang kafir dalam hal jual beli dan sewa menyewa memiliki banyak hukum. Ini adalah pintu yang luas, kita mencukupkan darinya dengan contoh-contoh yang lalu. Dan sesungguhnya Allah Ta’ala menjadikan makhluq-Nya dua kelompok, Dia Ta’ala berfirman:
“Dialah yang telah menciptakan kamu, maka diantaramu ada orang-orang kafir dan diantaramu ada orang yang mu’min ” . (At Taghobun: 2)
Dia Subhanahu Wa Ta’ala tidak menyamakan antara dua kelompok ini baik di dunia maupun di akhirat, Dia Ta’ala berfirman:
“Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan.” (Al Qolam: 35-36)
Firman-Nya Ta’ala:
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasiq (kafir)? Mereka tidaklah sama ” (As Sajdah: 18)
Firman-Nya Ta’ala:
“Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga.” (Al Hasyr: 20)
Atas dasar ini maka penyetaraan antara dua kelompok adalah bentuk pembangkangan terhadap ajaran Allah, dan inilah yang diperankan oleh undang-undang dasar jahiliyyah yang menegaskan dahwa semua warga Negara dihadapan hukum/UU adalah sama, dan bahwa tidak dibedakan di antara mereka dalam hal hak dan kewajiban dengan sebab keyakinan (agama) dan hal lainnya. Sedangkan pengguguran perbedaan-perbedaan ini menghantarkan kerusakan yang besar dalam agama dan dunia kaum muslimin, serta tidak mengambil untung dari hal itu, kecuali orang-orang kafir. Inilah realita kerusakan pada agama kaum muslimin hari ini, kehancuran pada dunia mereka serta keunggulan bagi kaum kafir. Padahal sesungguhnya pengamalan hukum-hukum iman dan kufur menyebabkan pemilahan manusia pada dua kelompok: mu’min dan kafir. Pemilahan ini adalah kunci jihad fie sabilillah dan pendahuluannya, sedangkan pada jihad itu terdapat kehidupan bagi umat Islam dan kejayaannya sebagaimana di dalamnya terdapat pembungkaman dan penghinaan orong-orang kafir. Pemilahan manusia ini adalah hal yang dicintai Allah Ta`ala sebagaimana firman-Nya Ta`ala:
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min)…” (Ali Imron: 179)
Dia Ta`ala berfirman:
“Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukan-Nya kedalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al Anfal: 37)
Begitu juga sesungguhnya cara pemilahan ini, yaitu mengamalkan hukum-hukum iman dan kufur dan menjadi saksi atas (perbuatan) manusia adalah hal yang dicintai Allah Ta`ala sebagaimana firman-Nya Ta`ala:
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia…” (Al Baqoroh: 143)
Sedangkan lalai dari semuanya ini adalah termasuk lalai dari agama Allah dan dari apa yang dicintai Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka bagaimana dengan orang yang menghalangi kaum muslimin dari berbicara dalam materi al iman dan al kufr, dengan klaim bahwa keselamatan dari ketergelinciran adalah dalam menjauhinya? dan bagaimana bila ikut serta dalam penghalang-halangan ini sebagian orang-orang yang mengaku penebar Dakwah Islamiyyah? dan ini tidak lain adalah tergolong kebodohan terhadap agama Allah dan termasuk kurangnya iman, sesungguhnya sebagian orang-orang yang tampil untuk dakwah Islamiyyah dan untuk memimpin jama’ah-jama’ah Islamiyyah pada hari ini, mereka itu adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Manusia menjadikan para pemimpin yang bodoh, terus mereka itu ditanya, maka mereka memberikan fatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan” (Muttafaq ’Alaih)
Mana mungkin bisa membela agama Allah atau berdakwah kepadanya orang yang tidak bisa membedakan orang mu’min dengan orang kafir atau orang yang menghalangi dari hal itu.
Sesungguhnya pemilahan antara orang mu’min dengan orang kafir dan berinteraksi bersama masing-masing dari keduanya sesuai dengan apa yang di tentukan oleh syari’at tidak hanya berpengaruh pada nasib individu-individu, akan tetapi sesunguhnya pengaruhnya pada nasib bangsa-bangsa dan negara adalah lebih jauh berbahaya. Coba apa yang menghalangi antara kaum muslimin dengan penegakan Syari’at Islam di negeri-negeri mereka? Selain para penguasa kafir yang mana kaki tangan mereka dari kalangan para syaikh yang sesat menyebut mereka sebagai penguasa muslim, dan mereka dikawal oleh aparat tentara kafir yang menduga diri mereka dan para penguasa mereka sebagai muslimin. Sedangkan tidak ada yang menghantarkan kepada realita ini selain bertumpuknya pembodohan yang disengaja dan penyesatan yang terprogram semenjak puluhan tahun, yang mana hal itu menyebabkan berpalingnya mayoritas kaum muslimin dari berpikir dalam hal ini -yaitu masalah iman dan kufur dan pemilahan orang mu’min dari kafir- bahkan itu menghantarkan mereka kepada Jahl Murokkab (kebodohan yang berlapis) akan hal ini, yaitu keyakinan mereka di dalamnya menyelisihi akan hakikat sebenarnya, maka akhirnya mereka memandang penguasa yang kafir itu sebagai orang muslim yang taat, dan mereka memandang orang muslim yang aktif dakwah lagi mujahid sebagai bagian Khawarij yang sesat, sehingga dengan hal itu dakwah menjadi terbatasi dan para da’i pun tetap asing lagi tertindas. Inilah realita di berbagai negeri-negeri kaum muslimin hari ini. Oleh sebab itu bukan hal yang aneh bila para ulama mengatakan bahwa wajib atas setiap muslim untuk mengetahui keadaan penguasanya karena terbangun di atasnya banyak hukum. (lihat Al Mustashfa, Abu Hamid Al Ghazaliy; 2/390)
Sesungguhnya penelantaran yang disengaja akan hal ini -yaitu masalah pemilahan muslim dari orang kafir- dan pemalingan kaum muslimin darinya adalah yang dimaksudkan dengannya: pembodohan kaum muslimin terhadap musuh-musuh mereka yang sebenarnya dari kalangan pemerintah kafir di dalam negeri mereka sendiri dan dari kekuatan kafir internasional di luar negeri mereka, agar kaum muslimin berpaling dari menjihadi musuh-musuh mereka di dalam dan di luar negeri mereka, sedangkan tidak ada kehidupan bagi umat Islam dan tidak ada ‘Izzah (kemulian) bagi mereka, kecuali dengan jihad. Bila jihad terlantar, maka rusaklah agama kaum muslimin, dan hancurlah dunia mereka dan berkuasalah orang-orang kafir di muka bumi, leluasa melakukan kerusakan dan inilah realita hari ini semenjak dahulu. Rosulullah saw bersabda: “Bila kalian jual beli dengan ‘inah (riba) dan kalian mengikuti ekor sapi, dan kalian rela dengan pertanian serta kalian meninggalkan jihad, maka Allah kuasakan terhadap kalian kehinaan yang tidak Dia mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud dengan isnad yang hasan dari Ibnu Umar)
‘Inah adalah macam dari riba, dan mengikuti ekor sapi dan ridla dengan pertanian keduanya menunjukkan terhadap kecenderungan kepada dunia yang termasuk konsekuensinya adalah meninggalkan jihad, sedangkan ini semuanya menghantarkan kepada kehinaan yang tidak mungkin diangkat, kecuali dengan meninggalkan sebab-sebabnya.
Semua itu (terrangkum,ed) dalam penjelasan pentingnya materi al iman dan al kufru, dan dalam penjelasan pentingnya materi ini Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Bila hal itu sudah jelas, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya (masalah-masalah takfier dan tafsiq) adalah masalah-masalah (nama-nama dan hukum-hukum) yang berkaitan dengannya janji dan ancaman di negeri akhirat dan berkaitan dengannya loyalitas, permusuhan, pembunuhan, keterjagaan (harta dan darah) serta hal lainnya di negeri dunia ini karena sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mewajibkan surga bagi mu’min dan mengharamkan surga atas kafirin. Sedangkan ini adalah termasuk hukum-hukum yang menyeluruh di setiap waktu dan tempat” (Majmu Al Fatawa; 12/468).
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata juga: “Sesungguhnya keliru dalam nama iman tidaklah seperti kekeliruan dalam nama yang baru dan tidak pula seperti kekeliruan pada nama-nama lainnya, karena hukum-hukum dunia dan akhirat dikaitkan dengan nama Iman, Islam, Kufur dan Nifaq” (Majmu Al Fatawa, 7/395)
Dan berkata juga: “Dan tidak ada dalam ucapan suatu namapun yang digantungkan padanya kebahagiaan, kebinasaan, pujian, celaan, pahala dan siksa yang lebih besar dari nama iman dan kufur, oleh sebab itu inti ini dinamakan masailul asma wal ahkam” (Majmu Al Fatawa, 13/58)
Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah berkata: “Dan masalah-masalah ini -yaitu masalah-masalah Islam, Iman, Kufur, dan Nifaq- adalah masalah-masalah yang sangat agung, karena Allah ‘Azza Wa Jalla telah mengaitkan pada nama-nama ini kebahagiaan, kesengsaraan serta keberhakan akan surga dan neraka, sedangkan perselisihan pada penamaan-penamaannya adalah perselisihan paling awal yang terjadi di tengah umat” (Jamiul Ulum Wal Hikam: 27)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata saat membicarakan datangnya syari’at dengan ajaran penutupan pintu-pintu kejahatan dan kerusakan, terus beliau menyebutkan di antara contoh-contoh hal itu: “Sesungguhnya syarat-syarat yang di tetapkan terhadap ahlu dzimmah mengandung pemilahan mereka dari kaum muslimin dalam hal pakaian, rambut, kendaraan dan yang lainnya supaya penyerupaan mereka itu tidak menghantarkan orang kafir diperlakukan seperti orang muslim, maka pintu ini ditutup dengan cara mengharuskan mereka tampil beda dari orang muslim” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/154)
Maka kesimpulan masalah ini adalah: Bahwa buah hasil materi ini -yaitu perbincangan al iman dan al kufru- adalah membedakan orang mu’min dari orang kafir agar memperlakukan masing-masing dari keduanya dengan semestinya dalam ajaran Allah Ta’ala, sedangkan ini adalah wajib atas setiap muslim. Kemudian sesungguhnya termasuk mashlahat (bagi,ed.) orang kafir atau orang murtad adalah dia mengetahui bahwa ia itu kafir sehingga ia segera taubat atau dengan memperbaharui keIslamannya, maka ini adalah baik bagi dia di dunia dan di akhirat. Adapun kita menyembunyikan dari dia statusnya dan kita tidak mengabarkan kepada dia akan kekafirannya atau kemurtadannya dengan dalih bahwa perbincangan dalam masalah ini adalah tidak aman akibatnya, maka ini di samping bentuk penyembunyian al haq dan penghancuran terhadap pilar-pilar dien ini adalah juga merupakan kezhaliman terhadap orang kafir ini dan penipuan terhadapnya dengan menghalanginya dari kesempatan taubat, bila dia telah tahu kekafiran pada dirinya, karena banyak orang kafir itu mereka tergolong “…orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik baiknya” (Al Kahfi: 104)
Telah lalu dalam tingkatan pertama yang khusus dengan ilmu orang awam, saya menyebutkan bahwa saya tidak menuntut orang awam untuk berfatwa dalam hukum-hukum al iman dan al kufr, bahkan hal itu tidak boleh baginya, akan tetapi materi ini wajib hadir dalam pikirannya pada interaksi yang beraneka ragam agar dia meminta fatwa di dalamnya saat membutuhkan, sebagai bentuk pengamalan kewajiban berilmu sebelum berbicara dan berbuat.
Adapun pencari ilmu dalam tingkat ke tiga, yaitu tingkat sepesialis dan pencapaian ijtihad, maka seyogyanya perhatian dia terhadap materi ini adalah lebih tinggi dari itu, dengan cara ia mengkajinya dengan pengkajian yang cukup agar ia memiliki kelayakan untuk berfatwa di dalamnya.
Disadur dari:
Materi Al Iman & Al Kufur, Kitab Al Jami’ Juz Ke-8 Lanjutan Bab Ke-7
Syaikh Abdul Qadir Ibnu Abdul Aziz Fakallaahu Asrah
Diterjemahkan oleh: Ust. Abu Sulaiaman Aman Abdurrahman Fakallaahu Asrah[1] Mahakim adalah bentuk jama’ dari mahkamah yang bisa diterjemahkan: pengadilan (di Indonesia Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan MA) yang hakikatnya tidak benar disebut pengadilan, tapi yang tepat adalah pendzaliman, karena selain hukum Allah adalah dzalim. (pent.)
[2] Seperti MPR dan DPR di negara kafir Republik Indonesia.(pent.)
[3] Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy hafidhahullah berkata: “Berkaitan dengan orang-orang yang memilih, maka mesti ada rincian pada mereka, itu dikarenakan sesungguhnya orang yang memilih itu tidaklah terjun pada pembuatan hukum dan tidak terjatuh pada mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) yang beraneka ragam yang terjatuh ke dalamnya si anggota parlemen yang dia pilih, seperti sumpah untuk menghormati UUD dan loyal terhadap arbabnya, atau tahakum (berhakim) kepada undang-undangnya dan pembuatan aturan yang tidak Allah izinkan sesuai (panduan) qowanin wadl’iyyah serta yang lainnya, si pemilih menjadi kafir bila dia memilih si anggota itu dan menjadikannya sebagai wakil dan pengganti dia untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekafiran ini, oleh sebab itu si anggota parlemen dinamakan wakil (rakyat) karena ia mewakili sejumlah masyarakat yang memilihnya dalam hal pembuatan hukum atau tugas-tugas lainnya yang di jalankannya menurut teks-teks UUD.
Atas dasar ini, barangsiapa memilih mereka karena hal itu maka ia telah kafir, karena dia mengangkatnya sebagai wakil dia dalam menjalankan kekafiran, dan dia bersepakat dan bermufakat bersama mereka terhadap ajaran demokrasi yang mana ia adalah hukum rakyat untuk rakyat dan bukan hukum Allah. Dan inilah makna “maksud melakukan perbuatan kekufuran” yang wajib menjadi syarat dalam takfir para pemilih, bukan maksud untuk kafir yaitu keluar dari agama (Islam) sebagaimana yang di syaratkan oleh sebagian orang.
Adapun maksud memilih (dengan,ed.) begitu saja tanpa ada rincian sebagaimana yang dituturkan oleh mushannif (penulis), maka sesungguhnya ia tidaklah tepat dengan sebab tersamarnya keadaan parlemen-parlemen ini di hadapan manusia (terutama) banyak kalangan awam dan lanjut usia yang datang untuk memberikan suara mereka bagi karib-kerabat mereka atau kalangan lainnya yang mengangkat slogan-slogan (Islamlah Solusinya…!) dan yang serupa itu. Sesungguhnya diantara mereka ada yang tidak mengetahui hakikat pemilu dan maknanya, tidak (pula mengetahui) hakikat parlemen-parlemen ini, realitanya dan tugas-tugas para anggotanya serta apa yang dijalaninya di sana. Di antara para pemilih ada orang yang mengira para wakil itu dan berinteraksi bersama mereka serta memilih mereka atas dasar anggapan bahwa mereka itu para wakil, pelayan yang memberikan pelayanan-pelayanan bagi daerah mereka, suku mereka dan para pemilih mereka, seperti membangun RS atau jalan atau mengangkat kezaliman dan seterusnya, atau dia mengira bahwa dengan ia memilih syaikh fulan maka si syaikh itu akan menerapkan Islam sedang ia tidak tahu bahwa si syaikh shahibul fadhilah…!!! yang bersorban panjang itu akan mengucapkan sumpah di awal tahapan pekerjannya untuk menghormati kekafiran (UUD) dan loyal (setia) kepada orang-orang kafir dan para thoghut, serta bahwa ia tidak menjalankan kewenangan dan pekerjannya apa pun kecuali menurut pedoman butir-butir UUD dan undang-undang, dan bahwa tugas terpenting pekerjan mereka seluruhnya adalah tasyri’ (pembuatan hukum) yang mana terbentuk darinya nama Musyarri’ (anggota dewan legislatif) dan nama Majlis Tasyri’ (lembaga legislatif).
Barangsiapa mengetahui hal itu maka ia kafir sebagaimana yang dikatakan mushannif (hal: 780): “…karena pemilihan mereka ini pada hakikatnya adalah pengangkatan arbab selain Allah, sebagaimana ia di dalamnya mengandung pengakuan akan tugas parlemen yang memegang kewenangan pembuatan hukum secara muthlaq, sedangkan ini semuanya termasuk kekafiran yang nyata” selesai dari Al Jami’.
Barangsiapa memilih, memberikan suara dan mengangkat seorang wakil sedang ia mengetahui bahwa ini adalah hakikat tugasnya maka ia kafir meskipun ia tidak mengetahui bahwa Tasyri’ (pembuatan hukum) dan ketaatan di dalamnya adalah kekafiran dan kemusyrikan, selagi dia telah memaksudkan melakukan perbuatan yang mengkafirkan itu, karena sesungguhnya orang-orang yang mentati para alim ulama’ dan rahib-rahib mereka dan mengikutinya di atas hukum buatannya tidaklah mengetahui bahwa ketatan dan pengikutannya ini adalah ibadah, sebagaimana dalam hadits ‘Addiy Ibnu Hatim Ath Thaiy, namun ternyata hal itu bukanlah penghalang dari keberadaan status mereka itu yang telah menyekutukan arbab bersama Allah.
Adapun suatu yang dengannya kami mengudzur orang-orang ‘awam di sini adalah ketidakadaan maksud dan pilihan mereka terhadap perbuatan yang mengkafirkan, akan tetapi banyak dari mereka sebagaimana yang dikenal oleh orang yang bergaul dengan kalangan ‘awam dan lanjut usia serta yang mengetahui mereka, tidaklah mengetahui arti dan hakikat majelis-majelis ini dan mereka tidak memilih orang-orang yang mereka pilih atas dasar bahwa mereka itu para pembuat hukum, dan mereka tidak mengetahui hakikat perbuatan mereka, akan tetapi mereka memilih orang-orang itu untuk pelayanan atau untuk memberlakukan syari’at tanpa mengetahui tata caranya, jadi mereka di sini tidak memaksudkan perbuatan yang mengkafirkan itu namun memaksudkan hal lain.
Dan inilah khatha’/kekeliruan (tidak adaanya kesengajan) yang di sebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padaanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang di sengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang “. (Al Ahzab: 5).
Dhahir mereka itu adalah bahwa mereka telah melakukan perbuatan yang mengkafirkan, akan tetapi mereka tidak dikafirkan kecuali setelah penegakkan hujjah dengan memberitahu mereka akan hakikat parlemen-parlemen ini dan hakikat para wakil rakyat itu.
Kesimpulan:
Bahwa kami tidak mengudzur mereka itu pada ketidaktahuan mereka bahwa memilih para pembuat hukum dan mentati mereka dalam hukum buatannya itu adalah kekafiran, dan tidak pula dengan apa yang sering di lontarkan sebagian orang bahwa tidak dikafirkan kecuali orang yang bermaksud kafir dan keluar dari agama, akan tetapi (kami mengudzurkan mereka) karena mereka tidak memaksudkan perbuatan yang mengkafirkan itu, namun mereka memaksudkan suatu yang lain, dan itu di sebabkan ketidaktahuan mereka akan hakikat dan realita parlemen-parlemen ini, sehingga keadaan mereka ini seperti keadaan orang non arab yang mengucapkan kalimat kekafiran (yang berbahasa arab) sedang dia tidak mengetahui maknanya. Selesai ucapan Syaikh Al Maqdisiy dalam An Nukat Al Lawami’ pada komentarnya terhadap ucapan Syaikh Abdul Qadir di tempat lain di Al Jami’ dalam materi yang sama.
Kesimpulannya:
Orang yang memberikan suara dalam pemilu sedang ia mengetahui hakikat dan makna demokrasi dan mengetahui tugas parlemen dan para anggotanya, maka dia kafir walau tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran. Jadi dalam hal ini dia Jahilul hukmi (bodoh akan hukum) namun tidak jahil akan hakikat dan makna apa yang dia lakukan, sedangkan Jahilul hukmi dalam hal ini tidaklah diudzur.
Orang yang memberikan suara, sedang ia tidak mengetahui hakikat dan makna demokrasi juga tidak mengetahui hakikat parlemen (MPR/DPR) dan tugas para anggotanya, maka ia tidak dikafirkan sebelum ditegakkan hujjah terhadapnya dengan cara diberitahukan tentang hakikat hal tadi. Orang ini di sebut Jahilul Hal (bodoh akan keadaan). (Pent).
0 komentar: