B. Pekerjaan yang merupakan PEMUTUSAN DENGAN HUKUM BUATAN
Pekerjaan pemutusan dengan selain hukum Allah ta’ala yang merupakan pekerjaan para yudikatif dan eksekutif, yaitu seperti para hakim, para jaksa dan para pejabat adalah pekerjaan kekafiran dengan sendirinya. Selain mereka memutuskan dengan hukum thaghut, mereka juga sudah pasti tahakum (merujuk hukum) kepada hukum thaghut yang menjadi sandarannya, sedangkan masing-masing dari keduanya merupakan kufur akbar.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Al Maidah: 44)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim” (Al Maidah: 45)
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq” (Al Maidah: 47)
Ayat-ayat ini dengan rentetan ayat sebelumnya adalah berkaitan dengan orang yang meninggalkan hukum Allah ta’ala dan malah merujuk kepada hukum tandingan yang mereka sepakati sebagai rujukan. Al Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al Bara ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata: “Dilewatkan kepada Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam seorang Yahudi yang wajahnya dipoles hitam lagi di dera, maka beliau memanggil mereka dan berkaata: “Seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, mereka berkata: “ya”, maka beliau memanggil seorang dari ulama mereka, terus berkata: “Saya ingatkan kamu dengan Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, maka dia berkata: “tidak, demi Allah, seandainya kamu tidak mengingatkan saya dengan hal ini tentu saya tidak mengabarkan kepadamu. Kami mendapatkan had pezina di kitab kami itu rajam, namun tatkala hal itu banyak dikalangan para bangsawan kami, maka kami bila seorang bangsawan berzina kamipun membiarkannya, dan bila orang lemah berzina maka kami tegakkan had itu kepadanya. Kemudian kami berkata: “Mari kita sepakati agar kita menjadikan sesuatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap bangsawan dan orang papa”, maka kami pun sepakat terhadap tahmim (pemolesan wajah dengan warna hitam) dan dera”.
Di sini mereka tidak menghapus hukum Allah ta’ala yang ada di dalam Taurat dan mereka juga tidak menghalalkan zina, namun merek menyepakati hukum lain yang diterapkan di tengah mereka. Dan orang-orang yang memutuskan dengan hukum buatan pada zaman ini juga sama seperti mereka, sehingga vonis yang diterapkan kepada orang-orang itu juga sama dengan yang disematkan kepada mereka “…maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, dan ulama sepakat bahwa gambaran yang sama dengan sebab turun ayat adalah masuk secara qath’iy di dalam hukum yang ada di ayat itu.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum yang sudah dinaskh (dihapus), maka dia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Alyasa(Yasiq) dan lebih mendahulukannya terhadap (aturan Muhammad) itu, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”. (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Sedangkan Alyasa (Yasiq) itu adalahkitab hukum yang disusun oleh Jengish Khan yang diambil dari gabungan hukum Islam, Yahudi, Nasrani, ahli bid’ah dan pikiran dia sendiri, sama seperti yang dibuat oleh pemerintahan thaghut negeri ini dimana merangkum dari Islam (dipakai di Pengadilan Agama yang disebut akhwal syakhshiyyah kaitan dengan nikah, cerai dan warisan), dari Yahudi dan Nasrani (seperti KUHP dan yang lainnya sisa penjajahan Belanda dan dipakai sekarang oleh penjajah lokal) dan dari buah pikiran para arbab da parlemen atau di lembaga lainnya, yang semua tidak terlepas dari batasan Yasiq terbesarnya yaitu UUD 1945 yang sering ditambal sulam.
Pemerintah, pejabat, hakim dan jaksa semuanya meninggalkan ajaran Allah ta’ala dan malah memutuskan dan merujuk kepada Yasiq modern, maka mereka kafir dengan ijma kaum muslimin, bahkan mereka itu salah satu tokoh thaghut, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah bahwa diantara tokoh para thaghut yang ketiga: Yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala: “Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Risalah Fi Ma’na Thaghut, Majmu’ah At Tauhid). Vonis ini walaupun dalam satu hukum saja, seperti dalam sebab nuzul ayat itu.
C. Pekerjaan yang SIFATNYA PEMBELAAN KEPADA THAGHUT ATAU SISTEMNYA
Dan ini biasa para pelakunya dinamakan Anshar Thgahut seperti Tentara, Polisi, Intelejen dan yang lainnya yang bertugas mengokohkan thaghut atau sisitemnya atau kedua-duanya baik dengan lisan maupun dengan fisik dan senjata. Thaghut atau sistemnya tidak akan kokoh dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa anshar yang membelanya, melindunginya dan selalu siap siaga berperang di jalannya, oleh sebab itu Allah menamakan anshar thaghut (bala tentaranya) bagai pasak, sebagaimana firman-Nya ta’ala: “Dan Fir’aun yang memiliki pasak-pasak (tentara yang banyak) yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka membuat banyak kerusakan dalam negeri itu” (Al Fajr: 10-12) oleh sebab itu sanksi dunia dan akhirat pun sama-sama didapatkan oleh thaghut dan pembantunya berikut ansharnya sebagaiman firman-Nya ta’ala:
“Maka Kami siksa dia (Fir’aun) dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut”. (Adz Dzariyat: 40), dan firman-Nya ta’ala: “Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah”. (Al- Qashash: 8), dan firman-Nya ta’ala: “Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (Al- Qashash: 40-41).
Anshar Thaghut itu ada dua:
· Orang atau dinas yang membela thaghut dengan fisik dan senjata seperti tentara, polisi, intelijen, dan yang lainnya yang dibentuk dan dipersiapkan untuk itu.
· Orang atau dinas yang membela thaghut atau sistemnya dengan lisan atau tulisan, baik itu wartawan atau para cendikiawan dan juga para ulama atau du’at suu’ yang menetapkan keabsahan pemerintahan thaghut ini dan mencap kaum muslimin yang berjihad melawannya sebagai para pembangkang atau khawarij. Dan sikap para ulama dan du’at suu’ ini lebih berbahaya daripada sikap tentara dan polisi terhadap umat, karena mereka berbicara atas Nama Allah ta’ala dalam membela para thaghut itu di hadapan umat, sedangkan tentara dan polisi bertindak atas dasar dunia (gaji dan pensiun). Adapun dalil-dalil perihal kekafiran anshar thaghut ini maka dari Al Qur’an, As Sunnah dan ijma. Allah ta’ala berfirman: “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu. (An Nisa: 76). Nash yang tegas menyatakan bahwa orang yang beperang di jalan thaghut adalah orang-orang kafir. ”Katakanlah: barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur’an) kedalam hatimu dengan seijin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman. Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnyaAllah adalah musuh orang-orang kafir. (AL Baqarah: 97-98). Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan An Nasai, meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kabarkanlah kepada kami siapa kawanmu? beliau menjawab: Jibril. “Mereka berkata: Jibril itu yang turun dengan (membawa) pertempuran, peperangan dan azab, musuh kami? andaikata kamu mengatakan Mikail yang turun dengan rahmat, tanaman dan hujan tentu ia lebih baik”, maka turun ayat di atas.
Orang yang memusuhi Jibril yang merupakan salah satu utusan Allah ta’ala dari kalangan malaikat, maka dia adalah musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya dan semua rasul-Nya, dan dia itu divonis kafir oleh Allah ta’ala. Dan begitu juga orang yang memusuhi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu adalah musuh bagi Allah, semua malaikat dan semua rasul, dan dia itu adalah orang kafir. Sedangkan bentuk permusuhan terhadap Allah ta’ala dan Rasul-Nya macam apa yang lebih dasyat dari sikap thaghut dan ansharnya yang mencampakkan hukum Allah ta’ala, menjunjung tinggi hukum syaitan, meninggikan orang-orang kafir dan orang-orang murtad serta orang-orang bejat dan mereka malah mempersulit orang-orang yang bertauhid, memenjarakan dan membunuhi mereka, melapangkan jalan bagi setiap perusak ajaran Allah ta’ala dan membatasi gerakan para penyeru tauhid, mematikan tauhid dan menghidupkan syirik dan kerusakan. Dan anshar thaghut adalah dipersiapkan untuk menjaga keamanan sistem kafir dan mempertahankan Negara kafir dari setiap upaya yang ingin merubahnya dengan sistem yang diturunkan Allah ta’ala, oleh sebab itu mereka adalah kafir baik berperang melawan kaum muwahhidin ataupun tidak, karena sikap mereka tawalliy (loyalitas yang megeluarkan dari Islam) kepada syirik, dan bila memerangi muwahhidin maka mereka menggabungkan antara tawalliy kepada syirik dengan tawalliy kepada orang-orang musyrik.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (Al Hasyr: 11).
Allah tala mempertalikan ukhwah kufuriyyah (persaudaraan kekafiran) antara orang orang munafik yang dhahirnya Islam dengan orang orang Yahudi, yaitu Allah ta’ala menvonis mereka kafir, dengan sebab janji mereka untuk membantu orang orang Yahudi itu bila diserang kaum muslimin, padahal janji mereka itu dusta, maka bagimana halnya dengan orang orang yang secara rutin berikrar janji dan sumpah untuk membela thaghut dan sistemnya bila ada rongrongan musuh (yang diantarannya mujahidin muwahhidin), dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil dan mereka sebelumnya bersaing untuk masuk dalam barisan itu? bukankah itu realita tentara dan polisi serta yang serupa itu di negeri ini? janganlah ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Andai tidak ada janji dan sumpah itu, tetap saja mereka itu kafir karena dzat dinas dan tugas mereka sejak awal adalah membela thaghut dan sistemnya, sedangkan sumpah dan janji itu adalah penambahan bagi kekafiran mereka. Mereka itu kafir saat perang, atau shalat atau haji atau tidur selama belum berlepas diri dari kekafiran mereka itu.
Bagaimana tentara, polisi juga intelejen serta anshar qanun (undang-undang) yang dinas di penjara-penjara thaghut bisa disebut muslim sedangkan mereka tidak kafir kepada thaghut (Pancasila, UUD dan undang-undang turunannya) yang merupakan salah satu dari dua rukun laa ilaaha illallaah. Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinyaberupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan syirik akbar dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya (mengucapkan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma”. (Taisir Al Aziz Al Hamid, dinukil dari Al Haqaiq, Syaikh Ali Al Khudlair).
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan ucapan kekafiran maka dia kafir, walupun dusta, maka apa gerangan bila dia serius?.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Shahih Al Bukhari memperlakukan Al ‘Abbas yang berada di barisan anshar thaghut Quraisy sebagaimana perlakukan terhadap orang kafir, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menawannya dan menyuruhnya untuk menebus dirinya, padahal dia itu mengaku muslim dan mengaku dipaksa ikut perang badar, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh kepada pengakuan dan klaimnya itu dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Zhahir kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu”.
Di sini jelas takfir mu’ayyan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada individu anshat thaghut walaupun dia mengaku dipaksa, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukumi dia kafir secara dhahir, dan batinnya diserahkan kepada Allah ta’ala dengan sebab pengakuan dipaksanya itu.
Maka bagaimana gerangan dengan tentara, polisi, intelejen dan anshar thaghut hukum lainnya (sipir penjara) yang tidak dipaksa dan mereka bersaing saat mendaftar, bangga dengan korpsnya dan seragamnya, merasa pada posisi kuat dengan menjadi penyembah thaghut itu.
“Dan mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuahn itu menjadi pengokoh (pelindung) bagi mereka”. (Maryam 81).
“Dan mereka lakukan itu demi menggapai dunia (gaji dan tunjangan) yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir”. (An Nahl: 107)
Dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil serta kekafiran-kekafiran lainnya?. Maka jangan ragu-ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin…!!! Ingat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lebih wara’ dan lebih hati-hati daripada kamu…!!!, tapi beliau mengkafirkan secara mu’ayan (personal) orang yang bergabung di barisan anshar thaghut Quraisy padahal mengaku muslim dan mengaku dipaksa, namun kamu bersikap wara’ dari mengkafirkan ta’yin (personal) tentara dan polisi thaghut itu, maka wara’ macam apa itu…???!!!
Para shabat pada zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhum ijma (sepakat) terhadap kekafiran anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan nabi palsu lainnya secara ta’yin, dimana saat utusan Buzakha’ meminta damai dan taubat datang kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, maka beliau mengutarakan beberapa syarat yang disepakati para sahabat diantaranya bahwa mantan orang-orang murtad itu harus bersaksi bahwa orang-orang yang mati terbunuh dari mereka adalah masuk neraka.Sedangkan orang-orang yang terbunuh itu adalah orang-orang yang mu’ayanin (tertentu) dan sedangkan yang boleh dipastikan masuk neraka dalam aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah hanyalah orang-orang yang mati dalam kondisi kafir, dan orang muslim walaupun ahli maksiat tidak boleh dipastikan masuk neraka. Ini artinya para sahabat ijma atas kekafiran anshar thaghut secara ta’yin (personal). (Ijma ini bisa dilihat di dalam Risalah Mufidul Mustafid dan Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, milik Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Al Jami’ bahasan Anshar Thaghut milik Syaik Abdul Qadir ibnu Abdil Aziz).
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata perihal orang-orang yang dikafirkan dengan sebab syirik akbar: “…dan begitu juga (kami kafirkan) orang yang berdiri dengan pedangnya melindungi kuburan-kuburan yang dikeramatkan ini semuanya dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berupaya untuk melenyapkannya”. Sedangkan tentara, polisi dan satgas syirik lainnya adalah penjaga dan pengawal Pancasila syirik, demokrasi kafir dan UU thaghut, dimana lisan mereka selalu bergema melantunkan dengan lantang Garuda Pancasila, Akulah Pendukungmu, Patriot Proklamasi, Rela Berkorban Untukmu.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah tentang anshar Musailamah Al Kadzdzab yang tertipu oleh para saksi palsu dan para du’at penipu yang mengabsahkan klaim Musailamah: “…namun begitu para ulama ijama bahwa mereka itu murtad walaupun mereka jahil akan hal itu, dan barang siapa ragu perihal kemurtadan mereka maka dia kafir.” (Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, Majmuah At Tauhid), bahkan diantara yang menjadi saksi keabsahan Musailamah adalah Ibnu Unfuah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Banu Hanifah (kaum Musailamah) yang malah membelot kepada Musailamah dan menyesatkan mereka, begitu juga banyak orang yang tertipu menjadi anshar thaghut (tentara, polisi, intelejen, kepala lapas dan anak buahnya dan lain-lain) oleh ulama suu’dan du’at penyeru di atas pintu-pintu jahanam yang mengabsahkan pemerintahan kafir murtad ini, sistemnya, falsafahnya dan hukumnya (pemerintahan RI), diantara mereka ada yang duduk menjadi thaghut di parlemen, ada yang menjadi menteri gama Pancasila, ada yang menjadi du’at departemen agama thaghut, ada sebagai Bintal (pembintaan mental) di militar dan posisi-posisi lainnya yang menipu umat.
Di dalam kaidah fiqiyyah ditegaskan bahwa status personel thaifah mumtani’ah (kelompok yang mengokohkan diri atau melindungi diri dengan kekuatan yang dimilikinya) adalah tergantung pemimpinnya. Bila thaifah itu adalah bughat (pemberontak muslim) maka personelnya adalah baghiy (pemberontak muslim), bila Khawarij maka personelnya Khariji, bila thaifah itu adalah pemerintah murtad maka personel ansharnya adalah orang kafir murtad (bila mengaku muslim).
apa yang anda tulis sungguh sangat ngawur, pemikiran yang anda tuangkan dalam tulisan ini adalah pemahaman khawarij (golongan para pemberontak), untuk mentafsirkan ayat tidak sembarangan sesuai dengan hawa nafsu sendiri!!! tapi harus merujuk kembali kepada para ulama, tidak semua orang yang berhukum kepada selain Allah lantas divonis KAFIR!!! PERLU ADANYA RINCIAN TERHADAP MEREKA!!! SEBAB TIDAK SEMUA ORANG BELUM PAHAM TENTANG HUKUM BERHUKUM KEPADA SELAIN ALLAH, HAKIKAT KESYIRIKAN DAN KONSEKUENSI DARI TAUHID
Hujjah terkadang belum tegak seluruhnya dalam hati mereka, sehingga mereka masih ada keraguan atau ketidakpahaman dalam hati mereka!!! Berbeda halnya dengan kaum musyirikan jaman dulu, kaum musrikin jaman dulu pantas dihukumi atau divonis musrik kafir sebab mereka sudah paham akan konsekuensi dari laa ilaha illallahu bahwa mereka harus meninggal peribadatan kepada selain Allah dan mereka sudah yakin dan paham bahwa perbuatan mereka adalah perbuatan syirik, sehingga dalam al quran diterangkan kalau orang musyrik jaman dulu melakukan kesyirikan ketika mereka senang saja dan mereka kembali memurnikah ibadah kepada Allah ketika mereka ditimpa musibah atau bencana
Berbeda halnya dengan orang-orang pada jaman sekarang yan dhohirnya muslim. Mereka dalam kondisi suka maupun duka, tetap melakukan kesyirikan. Ini menunjukkan banyak masyarakat kita yan meman belum mengetahui konsekuensi dari kalimat syahadat yang mereka ucapkan dan belum mengetahui hakikat kesyirikan. Sehingga hal ini menunjukkan adanya syubhat dalam hati-hati mereka. Menunjukkan adanya ketidakpahaman dan belum pahamnya mereka terhadap konsekuensi laa ilaha illallahu dan hakikat kesyirikan. Oleh karena itu TIDAK BOLEH SEMBARANGAN MEMVONIS KAFIR PADA SETIAP PERSON!!! PERLU ADANYA RINCIAN!!!
KECUALI JIKA MEMANG KITA MELIHAT BAHWA MEREKA SUDAH PAHAM TENTANG KONSEKUENSI LAA ILAHA ILLALLAH DAN HAKIKAT KESYIRIKAN. MEREKA SUDAH PAHAM DENGAN JELAS TANPA ADANYA SYUBHAT DALAM HATI MEREKA. MAKA DENGAN SEPERTI ITU ORANG TERSEBUT BISA DISEBUT MUSYRIK KAFIR. AKAN TETAPI DALAM HAL VONIS KAFIR TIDAK SERAMPANGAN DAN SEMBARANGAN SETIAP ORANG BISA MEMBERIKAN VONIS!!!
sekarang kalau misal anda punya bapak kandung yang bekerja sebagai polisi, sementara bapak anda belum tahu tentang ilmu tauhid, ilmu kesyirikan secara benar dan jelas sehingga masih ada keraguan dalam hati bapak anda apakah lantas anda akan memvonis kafir bapak anda???
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, karena tuduhannya akan kembali kepada dirinya, jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.[42]
(Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6045) dan Ahmad (V/181), dari Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu
Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir:
(1). mengetahui (dengan jelas),
(2). dilakukan dengan sengaja, dan,
(3). tidak ada paksaan.
Dan tidaklah seorang yang dhohirnya muslim yang melakukan shalat, puasa, zakat dan sebagainya akan tetapi melakukan perbuatan kesyirikan misal berhukum kepada selain Allah lantas tidak boleh dia dvonis kafir dengan syarat:
(1). Tidak mengetahui,
(2). Tidak disengaja, dan
(3). Karena dipaksa.
Lihat Mujmal Masa-ilil Iman wal Kufr al-‘Ilmiyyah fi Ushulil-‘Aqidah as-Salafiyyah, Cetakan II Tahun 1424 H, halaman 28-35, dan Majmu’ Fatawa’ (XII/498).