Membongkar Kemurtadan Demokrasi

DEMOKRASI ADALAH MURTAD !
Sesungguhnya, Syariat bagi makhluk adalah hak mutlak ciptaan Allah semata yang tidak sah Tauhid seseorang kecuali dengan menTauhidkan-Nya dalam ciptaan-Nya, maka barangsiapa yang membuat syariat bagi manusia selain dari syariat Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan [sekutu] bagi Allah di dalam ketuhanan-Nya dan peribadahan-Nya, dan juga berarti telah menjadikan dan mengangkat dirinya sebagia Tuhan bagi menusia selain Allah, maka dia telah kafir dengan perbuatannya itu. Sifat-sifat yang demikian Allah tegaskan sebagaimana ditunjukan dalam ayat-ayat-Nya, antara lain sebagai berikut :Berfirman Allah SWT. :
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” ? [QS. Asy-Syura’: 21].

Ayat ini menegaskan dan menetapkan bahwa barangsiapa membuat syariat bagi manusia selain dari syariat Allah [tidak diizinkan Allah], maka sungguh dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam kerubbubiyahan-Nya [keTuhanan-Nya] dan barangsiapa yang mentaati orang dengan syariat yang dibuatnya dan mengikuti syariat yang bertentangan dengan syariat Allah, maka dia telah musyrik dan kafir kepada Allah. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam kitabnya Iqtidlaish-Shiratil Mustaqiem hal. 267, sehubungan dengan ayat : “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” beliau mengatakan “maka barang siapa yang membiasakan melakukan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mewajibkannya dengan ucapan atau perbuatan yang tidak disyariatkan Allah, maka dia telah membuat syariat [agama] yang tidak diizinkan Allah, dan barang siapa mengikutinya dengan syariat yang dibuatnya maka dia telah menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah”.
Demikian pula Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, di dalam Tafsirnya jilid 4/111, berkaitan dengan ayat di atas : “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” ? beliau mengatakan : “Bahwa mereka tidak mengikuti apa yang disyariatkan Allah kepadamu [Muhammad] berupa agama yang lurus, akan tetapi mereka justru mengikuti apa yang disyariatkan kepada mereka oleh syaithan-syaithan mereka dari golongan jin dan manusia, yaitu mengharamkan apa yang mereka haramkan atas mereka [pengikut-pengikutnya], seperti bahiirah, saaibah, washiilah, haam, menghalalkan makan bangkai, darah, judi dan lain sebagainya dari segala macam bentuk kesesatan dan kebodohan yang batil, di mana mereka dengan kesesatan dan kebodohannya telah mengada-ada hukum dalam menghalalkan, mengharamkan, beribadah dan makan harta dengan cara-cara yang batil”.
DEMOKRASI ADALAH MURTAD !
Segala puji hanya bagi Allah subhaanahu wa ta’aala, Hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan, petunjuk, dan ampunan. Kepada-Nya pula kita bertaubat, dan berlindung dari kejahatan diri dan keburukan perbuatan. Barangsiapa yang diberi perunjuk oleh Allah, maka tiada seorangpun dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tiada seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang hak selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya; Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi was salam adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan Allah kepada beliau, keluarga, dan para sahabatnya.
Sungguh, sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah [Al-Qur’an] dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW. Sedang seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang baru yang diada-adakan, dan setiap hal baru yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap yang bid’ah adalah sesat.
Amma ba’du :
Sesungguhnya, Syariat bagi makhluk adalah hak mutlak ciptaan Allah semata yang tidak sah Tauhid seseorang kecuali dengan menTauhidkan-Nya dalam ciptaan-Nya, maka barangsiapa yang membuat syariat bagi manusia selain dari syariat Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan [sekutu] bagi Allah di dalam ketuhanan-Nya dan peribadahan-Nya, dan juga berarti telah menjadikan dan mengangkat dirinya sebagia Tuhan bagi menusia selain Allah, maka dia telah kafir dengan perbuatannya itu. Sifat-sifat yang demikian Allah tegaskan sebagaimana ditunjukan dalam ayat-ayat-Nya, antara lain sebagai berikut :
Berfirman Allah SWT. :
“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” ? [QS. Asy-Syura’: 21].
Ayat ini menegaskan dan menetapkan bahwa barangsiapa membuat syariat bagi manusia selain dari syariat Allah [tidak diizinkan Allah], maka sungguh dia telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam kerubbubiyahan-Nya [keTuhanan-Nya] dan barangsiapa yang mentaati orang dengan syariat yang dibuatnya dan mengikuti syariat yang bertentangan dengan syariat Allah, maka dia telah musyrik dan kafir kepada Allah. Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam kitabnya Iqtidlaish-Shiratil Mustaqiem hal. 267, sehubungan dengan ayat : “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” beliau mengatakan “maka barang siapa yang membiasakan melakukan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah atau mewajibkannya dengan ucapan atau perbuatan yang tidak disyariatkan Allah, maka dia telah membuat syariat [agama] yang tidak diizinkan Allah, dan barang siapa mengikutinya dengan syariat yang dibuatnya maka dia telah menjadikannya sebagai tandingan bagi Allah”.
Demikian pula Imam Ibnu Katsir Rahimahullah, di dalam Tafsirnya jilid 4/111, berkaitan dengan ayat di atas : “Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah” ? beliau mengatakan : “Bahwa mereka tidak mengikuti apa yang disyariatkan Allah kepadamu [Muhammad] berupa agama yang lurus, akan tetapi mereka justru mengikuti apa yang disyariatkan kepada mereka oleh syaithan-syaithan mereka dari golongan jin dan manusia, yaitu mengharamkan apa yang mereka haramkan atas mereka [pengikut-pengikutnya], seperti bahiirah, saaibah, washiilah, haam, menghalalkan makan bangkai, darah, judi dan lain sebagainya dari segala macam bentuk kesesatan dan kebodohan yang batil, di mana mereka dengan kesesatan dan kebodohannya telah mengada-ada hukum dalam menghalalkan, mengharamkan, beribadah dan makan harta dengan cara-cara yang batil”.
Di dalam Al-Qur’an Allah SWT. berfirman :
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” [QS. Al-Kahfi: 26].
Dalam ayat ini ditegaskan sebagaimana telah dikatakan pada ayat diatas, barangsiapa yang membuat syariat selain dari syariat Allah [tidak diizinkan Allah] maka dia telah menyekutukan Allah di dalam menetapkan syariat hukum bagi makhluk, dan telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah, Maha Tinggi Allah yang setinggi-tinggi-Nya dari apa yang mereka sekutukan. Dan Allah SWT. telah memerintahkan suatu perintah yang syar’i agar seseorang tidak menyekutukan-Nya dengan makhluk-Nya dalam hukum [memutuskan suatu perkara] dan syariat-Nya yang hanya diri-Nya saja yang berhak menciptakan hukum dan syariat,
seperti ditegaskan-Nya dalam ayat berikut ini :
“ Membuat Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah.” [QS. Yusuf: 40].
Allah SWT. berfirman :
“ Mereka menjadikan orang-orang alim-nya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan [juga mereka mempersekutukan] Al-Masih putra Maryam.” [QS. At-Taubah: 31].
Di dalam tafsir Ibnu Katsir Rahimahullah dijelaskan: Pada suatu ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘Anhu datang menemui Nabi SAW. dengan memakai kalung salib di lehernya yang terbuat dari perak melihat hal tersebut Nabi SAW. membaca ayat tersebut di atas [mereka menjadikan orang-orang alim-nya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah], lalu Adi bin Hatim menjawab “mereka [orang-orang kristen] tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib mereka”, Nabi SAW. menjawab: “Betul ! mereka tidak menyembah orang -orang alim dan rahib-rahib mereka, tapi mereka [orang-orang alim dan rahib-rahib mereka] mengharamkan atas mereka sesuatu yang halal dan menghalalkan bagi mereka sesuatu yang haram dan mereka mengikutinya dan itulah sesungguhnya ibadah mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka”. [ HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan Ibnu Jarir dari Adi bin Hatim R.A.]
Kesimpulannya bahwa orang yang menghalalkan dan mengharamkan dan membuat syariat yang bertentangan dengan syariat Allah maka dia telah mengangkat dirinya sebagai tuhan selain Allah dan barangsiapa mentaatinya dengan mengikuti syariatnya yang bertentangan [dengan syariat Allah], sebagaimana yang dilakukan oleh para hakim [para thoghut] yang berhukum dengan tidak menurut apa yang diturunkan Allah, maka dia telah menjadikannya sebagai tuhan dan dia musyrik kepada Allah, sebagaiamana ditunjukan di akhir ayat,
yaitu firman Allah :
“ Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.”
Dan dia menjadi kafir sebagaimana ditunjukan firman Allah SWT. :
“ Dan [tidak wajar pula baginya] menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah [patut] dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah [menganut agama[ Islam?” [QS.Al-Imran: 80].
Kalau menjadikan para malaikat dan para nabi saja sebagai tuhan adalah kafir, maka tentu tidak diragugan lagi kekafiran orang yang menjadikan orang-orang yang bersyariat dengan syariat kafir [Al-Qawanun Al-Wadl’iyyah] sebagai tuhan dan mengikuti syariatnya.
Salah satu yang termasuk bagian dari Ashul Iman [Dasar Keimanannya] adalah bersyariat dengan syariat Allah SWT. di mana seorang muslim dianggap hilang Ashul Imannya [Dasar Keimanannya] bila bersyariat dengan syariat yang tidak menurut apa yang turunkan Allah SWT. Oleh karena itu, setiap perbuatan yang kalau ditinggalkan kafir pelakunya, maka pengamalannya, baik berupa ucapan maupun perbuatan adalah termasuk dari ashlul iman [dasar-dasar keimanan], dan setiap perbuatan yang kalau diamalkan kafir pelakunya, maka meninggalkannya termasuk dari ashul iman. Karena ashul iman [dasar-dasar keimanan] adalah lawan dari kekafiran, maka setiap dosa yang dapat mengkafirkan, baik dosa yang dilakukannya adalah berupa meninggalkan kewajiban atau melakukan sesuatu yang haram, maka orang itu telah hilang ashul imannya, dan setiap orang yang tidak membawa atau hilang ashul imannya maka dia adalah kafir, kekal di neraka dan tidak akan keluar dari padanya untuk selama-lamanya,
sebagaimana firman Allah SWT. :
” Sesungguhnya orang-orang yang kafir sekiranya mereka mempunyai apa yang di bumi ini seluruhnya dan mempunyai yang sebanyak itu [pula] untuk menebus diri mereka dari adzab hari kiamat, niscaya [tebusan itu ] tidak akan diterima dari mereka, dan mereka mendapat adzab yang pedih. Mereka ingin keluar dari neraka, padahal mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya, dan mereka mendapat adzab yang kekal.” [QS. Al-Maidah: 36-37].
Maka setiap orang [muslim] yang melakukan dosa yang dapat mengkafirkannya, baik dosa yang dilakukannya itu adalah berupa meninggalkan kewajiban, yaitu kewajiban yang termasuk dari Ashlul Iman [Dasar Keimanan], seperti tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah SWT., meninggalkan shalat yang wajib dengan sengaja hingga habis waktunya dan perbuatan lainnya yang termasuk bagian dari Ashlul Iman, atau melakukan sesuatu yang haram, yakni haram yang termasuk dari Ashlul Iman, seperti berhukum dengan hukum yang tidak menurut apa yang diturunkan Allah SWT. [Hukum Thoghut], maka orang yang melakukan dosa-dosa tersebut di atas telah kafir [keluar dari Islam] walaupun hanya sekedar meninggalkan atau melakukannya, dan tidak boleh dalam pengkafirannya itu disyaratkan orang itu harus mengingkari kewajiban yang ditinggalkannya atau menghalalkan keharaman yang dilakukannya. Karena Allah SWT. telah menamakan orang yang berbuat dosa itu adalah kafir tanpa mengikatnya dengan mengingkaran atau penghalalan, maka barangsiapa yang mensyaratkan hal itu [mengingkaran atau penghalalan] dalam mengkafirkan orang yang telah meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman yang termasuk dari dasar-dasar keimanan [ashul iman], maka dia telah menganggap dirinya lebih tahu dari Allah SWT. dan sungguh dia telah berdusta dengan ayat-ayat Allah yang menunujukan bahwa telah kafir orang yang melakukan dosa yang termasuk dari ashlul iman. Dan barangsiapa mendustakan ayat-ayat Allah, maka dia berarti telah kafir. Oleh sebab itu, para Salafush-Shalih mengkafirkan para ghulatul murjiah yang menganggap untuk mengkafirkan orang yang berbuat dosa yang dapat mengkafirkannya disyaratkan harus dengan pengingkaran terhadap dosa yang dilakukannya atau menghalalkannya.
Dalil-dalil dari nash dan ijma’ yang menunujukan bahwa orang yang berbuat dosa yang mengkafirkan adalah kafir walaupun hanya sekedar melakukan atau meninggalkannya tanpa harus mengikatnya terlebih dahulu dengan pengingkaran atau penghalalan terhadap dosa itu, di antaranya adalah sebagai berikut :
Allah SWT. Berfirman :
”Mereka [orang-orang munafik itu] bersumpah dengan [nama] Allah, bahwa mereka tidak mengatakan [sesuatu yang menyakitimu]. Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, telah menjadi kafir sesudah Islam.” [QS. At-Taubah: 74].
Dalam ayat ini Allah SWT. menghukumi kekafiran mereka walau hanya sekedar mengucapkan suatu ucapan yang mereka katakan. Dan sebagaimana dikatakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa ”Allah SWT menyebutkan kalimat-kalimat kekafiran di dalam Al-Qur’an dan menghukumi kafir mereka yang mengatakannya dan mereka berhak memperoleh ancaman karena perkataannya itu”.
Allah SWT. berfirman :
”Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka : ”teruskanlah ejekan-ajekanmu [terhadap Allah dan Rasul-Nya]” Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka[tentang apa yang mereka lakukan itu], tentulah mereka akan menjawab : ”Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah : ” Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” [QS. At-Taubah: 64-66]
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ”sesungguhnya mereka telah kafir sesudah beriman karena ucapan mereka : Sesungguhnya kami telah berbicara dengan kekafiran [mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya] tanpa menyakini bahwa ucapan itu adalah telah mengkafirkan, karena kami hanya berseda gurau dan bermain-main. Namun jelas bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah adalah kafir”. Masih dalam ayat yang sama beliau mengatakan : ”sesungguhnya mereka tidak menyakini dalam diri mereka apa yang mereka lakukan itu telah membawa kepada suatu kekafiran dan mereka menduka perbuatannya itu bukanlah suatu kekafiran, tapi jelas bahwa mengejek-ejek Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya adalah kafir, kafir yang melakukannya sesudah beriman”.
Rasul SAW. bersabda ”perbedaan antara seseorang dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” [HR. Muslim].
Kata kafir dengan alif dan laam seperti tersebut dalam hadits di atas adalah yang dimaksud kafir besar [yang telah mengeluarkan pelakunya dari agama] Rasul SAW. menetapkan hukum kafir hanya sebatas meninggalkan shalat, demikian juga para sahabat sepakat mengkafirkan orang yang meninggalkan satu shalat wajib dengan sengaja hingga habis waktunya.
Para Sahabat Rasul SAW. [pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq.ra] sepakat atas pengkafiran orang-orang yang menolak membayar zakat dengan sekedar penolakan tanpa harus melihat terlebih dahulu kepada keyakinan mereka, apakah mereka masih menyakini bahwa zakat itu wajib atau mengingkarinya. Mereka [Para sahabat Rasul SAW.] langsung memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat dan menganggap mereka adalah orang-orang yang sudah murtad [kafir karena menolak membayar zakat]. Kalau menolak pembayaran zakat [hanya satu hukum] saja sudah ditetapkan kafir, bagaiman dengan orang-orang yang tidak bersyariat dengan syariat Allah secara keseluruhan, yang dampak kehancuran dan kebinasaannya lebih luas, lebih dahsyat dan mencakup semua aspek kehidupan dari pada dibandingkan hanya meninggalkan zakat. Maka tentu kekafirannya lebih kafir dari pada Yahudi dan Nashrani.
Allah SWT. menyipati apa yang dibuat oleh sesembahan-sesembahan manusia [Syuraka] berupa aturan yang diikuti adalah syariat, karena syariat adalah peraturan [ath-thariqah] yang diikuti, baik itu peraturan yang benar ataupun yang batil. Begitu juga agama adalah peraturan [an-nidham] bagi kehidupan manusia, ada yang hak dan ada juga yang batil. Maka semua kekafiran yang dilakukan orang-orang kafir [yang berupa aturan-aturan, syariat dan hukum yang mereka buat] adalah agama, seperti yang ditunjukan Allah dalam firman-firman-Nya, antara lain :
”Untukmulah agamamu dan untukulah agamaku.” [QS. Al-Kafirun: 6],
Allah SWT. berfirman mengenai ketakutan Firaun yang menunujukan bahwa syariat, aturan-aturan dan hukum orang-orang kafir adalah agama :
”Sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agama mu.” [QS. Al-Mu’min: 26],
”Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima [agama itu] dari padanya.” [QS. Ali’Imran: 85].
Dalam ayat-ayat tersebut di atas, Allah SWT. menerangkan bahwa aturan atau syariat selain Islam juga disebut agama, tapi agama yang batil.
Syariat, aturan dan hukum yang dibuat oleh manusia yang tidak sesuai menurut apa yang diturunkan Allah SWT. adalah thaghut dan Allah memerintah kita untuk beriman kepada-Nya dan kafir kepada thaghut, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya :
”Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” [QS. Al-Baqarah: 257],
dan juga berfirman :
”Dan orang-orang yang menjauhi thaghut[yaitu] tidak menyembahnya.” [QS. Az-Zumar:17],
dan lain-lain.
Thaghut artinya : Setiap yang memanglingkan dan menghalang-halangi manusia [dari] beribadah kepada Allah secara ikhlas, taat dan tunduk kepada-Nya dan Rasul-Nya, baik yang memanglingkannya itu adalah syaithan dari golongan jin ataupun manusia, tumbuh-tumbuhan ataupun bebatuan dan lain sebagainya. Dan tidak diragukan lagi bahwa yang termasuk thaghut adalah berhukum dengan undang-undang di luar Islam dan syariatnya dari setiap yang dibuat oleh manusia dalam memutuskan halal haramnya darah, kehormatan dan harta benda seseorang. Disamping itu juga dalam rangka untuk membatalkan syariat Allah, seperti penegakan hudud, haramnya riba, zina, arak [miras] dan yang lain-lainya semuanya itu dihalalkan dan terus tetap dipelihara kehalalannya berdasarkan undang-undang itu. Undang-undang itu sendiri dinamakan thaghut disamping orang-orang yang membuat dan yang melaksanakannya juga di namakan Thaghut. Dan setiap kitab yang dibuat dan ditulis akal manusia dalam rangka untuk memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh Rasul SAW., secara sengaja atau tidak disengaja dari orang yang membuatnya maka dia adalah thaghut. Thaghut terbesar di abad ini adalah demokrasi, karena tidak ada satupun negara di dunia ini, termasuk negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim terlepas dari aturan, hukum dan syariat demokrasi.
Berdasarkan realita di atas, banyak kaum muslimin sadar atau tidak sadar sengaja ataupun karena dibohongi dan dibodohi mengikuti kesesatan tersebut, bahkan hampir keseluruhannya terjerumus jatuh kedalam jurang kemusyrikan dan kekafiran demokrasi tanpa mampu menyelamatkan diri dari kebinasaan itu, khususnya para penyelenggara pemerintahan negara, seperti para pemimpin negara [ presiden dan wakilnya ] yang memerintahkan dan mengizinkan melaksanakan hukum kepada para bawahan dan pembantunya, para hakim dan qadli [Kejaksaan, Kehakiman, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Pengacara dan lain-lain] yang menjalankan aturan dan ketentuan hukum, para anggota parlemen seperti DPR dan MPR yang membuat undang-undang dan membuat suatu kebijakan politik negara secara umum`, begitu juga para pembela dan pendukungnya [pendukung thaghut], seperti polisi, tentara yang dengan dukungan mereka keberadaan dan kelanggengan thaghut tetap utuh dan terjaga, para ulama suu’ [iblis] yang selalu mendukung dan membenarkan semua apa yang menjadi kebijakan thaghut walaupun menyimpang jauh dari kebenaran dan mendukung langkah-langkah mereka dalam memerangi para mujahidin yang berada di luar barisan mereka dan menuduhnya sebagai kelompok sesat dengan berlindung di balik dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah diselewengkan tujuannya [kalimatul hak yurodu bihal batil : Dalil-dalilnya benar tapi maksunya yang di belokan] sehingga tampak seakan-akan apa yang dilakukan thaghut dan dukungan terhadap mereka dibenarkan, para pimpinan partai politik dan para kadernya juga para pendukung serta simpatisannya, media massa baik cetak maupun elektronik yang ikut menjadi media dan kepanjangan tangan serta corong dalam menyuarakan kepentingan thaghut dan yang sejenisnya MEREKA SEMUA adalah KAFIR ! [keluar dari Islam], karena mereka telah melakukan dosa-dosa yang mengkafirkan, yaitu tidak berhukum menurut apa yang diturunkan Allah SWT Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa berhukum dengan hukum Allah SWT adalah bagian dari Ashlul Iman, maka walaupun mereka tetap mengaku dirinya adalah muslim dan melaksanakan segala apa yang menjadi kewajibannya sebagai muslim, seperti menunaikan shalat, membayar zakat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji dan lain sebagainya dari segala jenis perbuatan baik yang mereka lakukan, tetapi dalam bersyariat tidak seperti menurut apa yang diturunkan Allah SWT melainkan bersyariat dengan demokrasi [thaghut], seperti yang saat ini berlaku hampir di seluruh negara-negara yang mengaku Islam. Maka sungguh mereka telah kafir, walaupun mereka sangat mengetahui dan menyadari bahwa berhukum dengan selain hukum Allah SWT adalah diharamkan dan bathil.
Kemusyrikan dan kekafiran demokrasi telah lama bersemi dan hidup subur di hati para penyelenggara pemerintahan negara ini beserta pendukungnya, dari dahulu hingga kini dan bahkan sudah menjadi darah daging yang menyatu menjadi suatu keyakinan [agama] yang tidak mungkin akan beranjak apalagi keluar dari diri dan kehidupan mereka, walau hingga ajal mereka datang menjemput sekalipun [itu tidak mungkin dan mustahil]. Kecuali hanya dengan satu cara yaitu ber-Jihad melawan mereka dan sistem mereka, hingga mereka benar-benar bertaubat dengan mau meninggalkan sistem kafir itu dan beralih kepada Syari’at Islam.
Untuk memberi ilmu kepada mereka yang sudah bertaubat, juga demi menjaga serta menyelamatkan generasi penerus dari kemungkinan tergoda kembali mengikuti jejak-jejak sesat dan kafir para pendahulunya, maka dengan izin Allah SWT dan memohon ampunan-Nya, kami menghadirkan Tuliasan ini, Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan manfaat dan petunjuk serta menyelamatkan kita semua dari kemusyrikan dan kekafiran demokrasi yang sudah membinasakan banyak manusia di muka bumi ini, Amiin.
Abu Zaky

Back Top

0 komentar:

Posting Komentar