RISALAH HUKUM BERNYANYI DENGAN MENGGUNAKAN AL QUR’AN
(RISALAH FI HUKMIL GHINA BIL QUR’AN)
Oleh: Syaikh Nashir Ibnu Hamd Al Fahd
Alih Bahasa: Abu Sulaiman
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, wa ba’du:
Ini adalah risalah yang singkat tentang hukum menyanyikan Al Qur’an (ghinaaul qur’an) yang telah saya susun dalam dua pasal:
PASAL PERTAMA: Hukum ghina (bernyanyi) dengan ayat-ayat Al Qur’anul Karim.
PASAL KEDUA: Sya’ir atau Natsr (prosa/ungkapan yang bukan sya’ir) memuat sesuatu dari Al Qur’an serta hukum hal itu.
PASAL PERTAMA
Hukum Ghina (Bernyanyi) Dengan Ayat-Ayat Al Qur’anul Karim
Barangsiapa menyanyikan Al Qur’an atau sesuatu dari Al Qur’an, maka dia itu telah melakukan dosa yang sangat besar, yang dalam banyak keadaan bisa sampai pada tingkat kemurtaddan dari islam – wal ‘iyadzu billa -, tergantung qarinah (indikasi) dan keadaan yang menyertai nyanyian itu, umpamanya nyanyian itu dalam rangka istihza (perolok-olokan), lahwun (main-main) dan bercanda, atau dalam rangka meremehkannya atau hal-hal serupa itu. Dan penjelasan hal ini adalah dari beberapa sisi:
SISI PERTAMA
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyertakan antara perolok-olokan ayat-Nya dengan kekafiran dan pendustaan, di mana hal ini menunjukkan bahwa setiap orang yang memperolok-olok ayat Allah itu adalah kafir lagi mukadzdzib (mendustakan). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya”.(Ar Ruum: 10)
Di Mana Allah di sini menyertakan antara pendustaan ayat-ayat-Nya dengan perolok-olokan terhadapnya, dan Dia menjadikan akibat orang-orang yang mengerjakan hal ini adalah Jahannam – wal ‘iyadzu billah-.
Dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sungguh Allah Telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu bila mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”(An Nisa: 140)
Di sini Allah menyertakan antara kekafiran terhadap ayat-ayat-Nya dengan perolok-olokan terhadapnya.
Dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu mencari-cari alasan, karena kamu kafir sesudah beriman”(At Taubah: 65-66).
Telah ada di dalam seba nuzul ayat ini dari Abdullah Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata: Seorang laki-laki berkata di dalam perang Tabuk – di suatu majelis – : Saya tidak pernah melihat orang yang seperti para qurra kita itu, mereka paling banyak makannya, paling dusta lisannya dan paling penakut saat bertemu dengan musuh,” maka seorang laki-laki di mesjid itu berkata: Kamu dusta, justeru kamu adalah orang munafiq, sungguh saya akan mengabarkannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,” maka hal itupun sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sedangkan Al Qur’an sudah turun, maka Abdullah Ibnu Umar berkata: Saya melihat dia memegangi tali pelana unta Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya bebatuan mengenainya sedang dia berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja,” sedang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata:” “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Al Jashshash berkata tentang ayat ini 3/207: (Ini menunjukan juga bahwa istihza (perolok-olokan) terhadap ayat-ayat Allah atau terhadap sesuatu dari ajaran agama-Nya adalah kekafiran dari pelakunya).
Ibnu Qudamah berkata di dalam Al Mughni 9/33: (Barangsiapa menghina Allah subhanahu wa ta’ala maka dia kafir baik dia itu bercanda maupun serius. Dan begitu juga orang yang memperolok-olok Allah subhanahu wa ta’ala atau ayat-ayat-Nya atau rasul-rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“ Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu mencari-cari alasan, karena kamu kafir sesudah beriman.”(At Taubah: 65-66).
Dan seyogyanya keberadaan dia kembali kepada islam itu tidak dianggap cukup, sampai terlebih dahulu dia dikasih pelajaran (sangsi) dengan sangsi yang membuatnya jera dari hal itu, karena sesungguhnya bila tidak dianggap cukup dari orang yang menghina Rasulullah itu dengan sekedar taubat saja, maka tentunya orang yang menghina Allah subhanahu wa ta’ala adalah lebih utama (untuk dianggap cukup dengan taubat saja)).
Sedangkan penjelasan penunjukan ayat ini terhadap kekafiran orang yang menyanyikan sesuatu dari Al Qur’an dalam rangka lahwun (main-main) dan senda gurau dengannya serta hal-hal serupa itu, maka adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaitkan kekafiran di dalam Firman-Nya” karena kamu kafir sesudah beriman”terhadap perolok-olokan kepada Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya.
Kedua: Bahwa orang-orang tersebut telah nampak nyata bahwa diri mereka – atau sebagian mereka – itu adalah tidak mengetahui hukum perolok-olokan ini, oleh karenanya Allah memaafkan sebagian mereka yang taubat, namun demikian mereka itu sebelumnya sudah kafir, maka bagaimana halnya dengan orang yang dalam rangka main-main dan bersenda gurau menyanyikan sesuatu yang telah terpatri di dalam fithrah kaum muslimin baik tua maupun muda, baik sunni maupun ahli bid’ah (kewajiban) untuk menghormatinya mengagungkannya dan memuliakannya serta mengangkatnya dari kotoran dan tempat-tempat najis?!
Ketiga: Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berkata tentang mereka prihal pengutaraan alasan yang mereka kemukakan ““Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja” sedangkan sudah diketahui semua kalangan bahwa ucapan yang bukan sya’ir (ungkapan biasa) itu terbagi menjadi dua bagian: Serius (betulan) dan bercanda, namun walaupun demikian sesungguhnya Allah tidak mendustakan mereka di dalam pengakuan bahwa mereka itu bersenda gurau dan bermain-main saja, namun justeru Allah menjadikan sikap permainan mereka ini sebagai bentuk perolok-olokan. Sedangkan ghina (nyanyian) yang melalaikan dengan memakai Al Qur’an itu adalah hanya satu bagian saja, yaitu termasuk gurauan dan main-main.
Keempat: Bahwa mereka itu menjadi kafir padahal mereka itu sama sekali tidak menyebutkan Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula ayat-ayat Al Qur’an, namun Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan ucapan mereka tentang sahabat Rasulullah itu sebagai bagian dari istihza (perolok-olokan) terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, dan Dia menjadikannya sebagai kekafiran setelah dia beriman, maka bagaimana halnya dengan orang yang menyanyikan ayat-ayat Al Qur’an dan dia memainkannya dengan disertai gitar atau alat-alat yang serupa itu?!
SISI KEDUA
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah meniadakan kebatilan dan senda gurau dari Kitab-Nya yang mulia, di mana Dia berfirman:
“Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (Ath Thariq: 13-14)
Ibnu Abbas berkata: (Senda gurau) adalah kebatilan.
Mujahid berkata: (Senda gurau) adalah permainan.[1]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”(Fushshilat: 41-42)
Sedangkan nyanyian itu adalah termasuk kebatilan dan permainan, dan Al Bukhari rahimahullah telah menetapkan di dalam Kitab Shahihnya satu bab yang beliau juduli (Setiap permainan itu adalah kebatilan bila menyibukan dari keta’atan kepada Allah).
Al Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakar rahimahullah berkata: (Nyanyian itu adalah kebatilan, sedangkan kebatilan itu adalah di neraka)).
Dan Mujahid menamakan nyanyian itu sebagai kebatilan.
Dan Asy Syafi’iy berkata: (Nyanyian itu adalah makruh (dibenci) yang menyerupai kebatilan).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah Ibnu ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma berkata: (Sesungguhnya Allah menurunkan al haq untuk melenyapkan kebatilan dengannya, dan untuk menggugurkan permainan, tarian, seruling, mizhar dan kibarat dengannya). Mizhar adalah gitar yang dimainkan, sedangkan kibarat adalah kecapi dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah rebana sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian ulama tabi’in.
Bila Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa Al Qur’an itu “adalah tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,” oleh sebab itu barangsiapa menyanyikannya atau menyanyikan sesuatu darinya, maka dia itu telah melakukan pembangkangan terhadap Al Qur’an dengan perbuatannya itu.
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari ‘Imran Ibnu Abdillah Ibnu Thalhah bahwa seorang laki-laki membaca Al Qur’an dengan mendayu-dayu di mesjid Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan, maka Al Qasim mengingkari hal itu dan berkata: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”(Fushshilat: 41-42)
Maka coba perhatikan bagaimana tabi’iy yang mulia ini menjadikan pembacaan Al Qur’an dengan mendayu-dayu sebagai kebatilan, padahal dia itu tidak bermain-main dan tidak bersenda gurau dengannya, dan beliau mengingkari orang yang melakukannya? Maka bagaimana dengan orang yang menyanyikan Al Qur’an dengan disertai alat musik?!.
SISI KETIGA
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menuturkan bahwa menjadikan ayat-ayat Allah sebagian perolok-olokan dan permainan itu adalah tergolong sifat kaum munafiqin, di mana Dia berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah: 57).
Dan berfirman:
“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah Karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal” (Al Maidah: 58)
Dan berfirman:
“Tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.” (Al Kahfi: 56)
Dan berfirman tentang orang-orang kafir:
“Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (Al Kahfi: 106)
Dan berfirman:
“Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (Al Jatsiyah: 9)
Dan berfirman:
“Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, Maka pada hari Ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (Al Jatsiyah: 35)
Barangsiapa menyanyikan ayat-ayat Allah, maka dia itu telah menjadikannya sebagai buah ejekan dan permainan sebagaimana hal itu adalah yang nampak.
Al Qurthubiy rahimahullah berkata: 3/157: (Dikatakan bagi orang yang melecehkan ayat-ayat Allah bahwa dia itu telah menjadikannya sebagai bahan perolok-olokan, dan hal itu dikatakan kepada orang yang kafir terhadapnya, dan hal itu dikatakan pula kepada orang yang mencampakkannya dan tidak mengambilnya dan malah mengamalkan yang lainnya).
SISI KEEMPAT
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Dan telah sah dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas serta yang lainnya radliyallaahu ‘anhum penafsiran lahwal hadits di sini bahwa itu adalah ghina (nyanyian), bahkan Ibnu Mas’ud bersumpah tiga kali terhadap hal itu. Sedangkan laam di sini[2] adalah memiliki dua makna tergantung nyanyian itu:
Pertama: Bila nyanyian itu tidak dimaksudkan untuk menghalang-halangi dari jalan Allah dengannya, maka laam di sini adalah untuk makna akibat, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (Al Qashash:
Maknanya bahwa akibat akhir dari nyanyian itu adalah menghalang-halangi dari jalan Allah, dan ini adalah bersumber dari kaum muslimin yang bermaksiat.
Kedua: Bila nyanyian itu dimaksudkan dengannya untuk menghalang-halangi dari jalan Allah, maka laam di sini adalah untuk menjelaskan alasan (ta’lil), dan ini adalah bersumber dari orang-orang kafir.
Jadi di sini Dia menyebutkan bahwa orang yang bernyanyi itu keadaannya atau akibat akhirnya adalah kepada penghalang-halangan dari jalan Allah atau menjadikan jalan Allah itu sebagai bahan perolok-olokan, sedangkan di sini dia itu hanyalah menyanyikan sya’ir atau ungkapan biasa, maka bagaimana bila yang dinyanyikan itu adalah dari ayat-ayat Al Qur’anul Karim?!
Maka tidak ragu lagi bahwa dia (yaitu orang yang menyanyikan ayat Al Qur’an) itu adalah masuk di dalam sikap menjadikannya sebagai bahan perolok-olokan secara langsung, sedangkan sifat itu adalah tidak bersumber kecuali dari orang kafir.
SISI KELIMA
Bahwa para ulama telah ijma bahwa melecehkan Al Qur’an itu adalah kekafiran dan kemurtaddan.
Assafariniy berkata di dalam Ghidzaaul Albab 1/414: (Al Imam An Nawawi berkata di dalam At Tibyan dan Ibnu Muflih di dalam Al Aadaab serta yang lainnya: (Kaum muslimin telah ijma terhadap kewajiban mengagungkan Al Qur’anul ‘Adhim secara muthlaq, memuliakannya serta menjaganya. Dan mereka ijma bahwa barangsiapa mengingkari satu huruf dari apa yang sudah diijmakan terhadapnya, atau menambahkan satu huruf yang tidak ada di dalam qira’ah siapapun sedangkan dia mengetahui hal itu, maka dia itu kafir. Al Qadli ‘Iyadl berkata: Ketahuilah bahwa barangsiapa melecehkan Al Qur’an atau mushhaf atau sesuatu darinya, atau dia mengingkari satu huruf darinya, atau mendustakan sesuatu yang jelas di dalamnya baik itu berbentuk hukum atau khabar, atau dia menetapkan apa yang dinafikannya atau menafikan apa yang telah ditetapkannya sedangkan dia mengetahui hal itu, atau dia meragukan sesuatu dari hal itu, maka dia itu kafir dengan ijma kaum muslimin).
Menyanyikan Al Qur’an atau sesuatu darinya adalah pelecehan terhadapnya, seandainya ada seorang raja mengeluarkan instruksi yang tertulis yang dengannya dia memerintahkan rakyatnya untuk melakukan suatu atau melarang mereka dari sesuatu, terus salah seorang dari mereka menyanyikan (teks) instruksi itu, tentulah perbuatannya ini dianggap sebagai pelecehan terhadap raja dan perintahnya, dan sudah barang tentu dia diberi sangsi hukuman yang berat.
SISI KEENAM
Bahwa di sana ada nash-nash sebagian para ulama di dalam masalah ini, dan saya akan menuturkan darinya:
Ibnu Nujaim Al Hanafi berkata di dalam Al Bahrur Raaiq 5/130 bahasan hal-hal yang mengkafirkan: (Dan dengan meletakkan kaki di atas mushhaf saat bersumpah seraya melecehkannya, dan membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana atau bambu).
Dan di dalam Al Fatawa Al Hindiyyah 2/267: (Bila membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana dan bambu maka dia kafir).
Dan di dalam Majma’ul Anhur 1/693: (Dan di dalam Fushul ‘Imadiyyah bila membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana dan bambu maka dia kafir).
Dan di dalam Bariqah Mahmudiyyah 2/61: (orang yang melecehkan Al Qur’an atau satu huruf darinya atau melemparkan mushhaf ke comberan atau mengingkari satu huruf darinya atau mendustakannya atau menafikan apa yang ditetapkannya atau menetapkan apa yang dinafikannya atau mengganti satu huruf darinya atau menambahkannya atau membacanya dalam rangka mainan dengan memakai rebana).
Dan di dalam Lisanul Hukkam hal 416: (Seorang yang membaca (Al Qur’an) dengan tabuhan rebana atau bambu maka dia kafir karena dia itu melecehkan Al Qur’an).
Saya berkata: Maka lihatlah pernyataan mereka, yaitu seandainya orang membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana atau bambu maka dia kafir, padahal sesungguhnya rebana itu adalah mubah di beberapa keadaan seperti nyanyian pernikahan, sedangkan bambu maka Ibnu Qudamah berkata tentangnya di dalam Al Mughni 10/174: (Adapun menabuh bambu maka hukumnya adalah dibenci bila disertai hal yang diharamkan atau hal yang dibenci seperti tepuk tangan, nyanyian dan tarian, dan bila tidak disertai hal itu semua maka ia tidak dibenci, karena ia adalah bukan alat musik, dan ia itu tidak ditabuh dan tidak didengarkan secara menyendiri, beda halnya dengan alat musik).
Bila saja menyanyikan Al Qur’an atau sebagiannya disertai tabuhan suatu yang pada hukum asalnya adalah mubah – seperti bambu – atau ia mubah di dalam beberapa keadaan -seperti rebana – adalah kekafiran dan kemurtaddan menurut para ulama itu, maka bagaimana bila disertai suatu yang memang haram berdasarkan ijma seperti gitar dan yang serupa itu?!
SISI KETUJUH
Bahwa menyanyikan Al Qur’an itu adalah perolok-olokan terhadapnya yang berlapis dari dua sisi:
Sisi Pertama: Bahwa nyanyian itu sendiri adalah lahwun (senda gurau) dan permainan berdasarkan ijma – termasuk menurut kesaksian ahli ilmu yang syadz (memiliki pendapat ganjil) yang membolehkannya yaitu Ibnu Hazm – di mana beliau telah menamakan tulisannya yang membolehkan nyanyian dengan judul (Risalah Fil Ghina Al Mulhi A Mubah Am Mahdhur) – Majmu’ah Rasaail-nya 4/417, di mana beliau menamakannya mulhi (yang melalaikan) sebagaimana yang engkau lihat, sedangkan menyanyikan Al Qur’an adalah menjadikannya sebagai lahwun (gurauan) dan mempermainkannya – wal ‘iyadzu billah -.
Sisi Kedua: Bahwa ulama telah ijma – sebelum muncul pendapat ganjil Ibnu Hazm – terhadap keharaman nyanyian, dan pernyataan mereka dalam hal ini adalah sangat banyak. Dan telah menukil ijma ini banyak ulama, di antaranya: Ibnul Mundzir, Ibnu Abdil Barr, Ibnul Jauziy, Al Qadli ‘Iyadl, Ibnu Qudamah, Ibnu Ash Shalah, An Nawawiy, Al Qurthubiy, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Ibnu Hajar Al Haitami serta yang lainnya, bahkan lebih dasyat dari hal itu adalah bahwa Al Qadli ‘Iyadl dan Al Kafiy At Tunisiy telah menukil ijma terhadap kekafiran orang yang menghalalkan nyanyian.[3]
Bila saja nyanyian telah datang celaannya dan pengharamannya di dalam Al Kitab, dan Assunnah serta ulama telah ijma terhadapnya, maka sesungguhnya menyanyikan Al Qur’an adalah penambahan penyepelean terhadap pengharaman ini – termasuk andaikata nyanyian itu dilakukan dalam rangka serius dan bukan dalam rangka senda gurau dan permainan -, dan ia itu seperti mengucapkan bismillah saat minum khamr – wal ‘iyadzu billah -, karena sesungguhnya pengucapan basmalah itu adalah disyari’atkan, namun pengucapan basmalah saat meminum khamr adalah pelecehan terhadap Nama Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mengharamkan khamr itu, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa andaikata seseorang bila meminum khamr dan membaca bismillah atau mengatakannya saat berzina maka dia itu kafir.[4] Di mana ia adalah perolok-olokan dari sisi mempermainkan Al Qur’an dan dari sisi menyepelekan pengharaman.
PASAL KEDUA
Sya’ir Atau Natsr (Prosa/Ungkapan Yang Bukan Sya’ir) Memuat Sesuatu Dari Al Qur’an Serta Hukum Hal Itu
BAHASAN PERTAMA
Bentuk-Bentuk Pencantuman Al Qur’an Di Dalam Ungkapan Lain[5]
Ketahuilah bahwa pencantuman Al Qur’an Al Karim di dalam sya’ir atau yang lainnya adalah ada dua bentuk:
Bentuk Pertama: Istisyhad (Dalam Rangka Berdalil), yaitu menyebutkan ayat Al Qur’an seadaanya tanpa perubahan, dan istisyhad (pengambilan dalil) ini ada dua keadaan:
Keadaan Pertama: Si pembicara mengingatkan bahwa itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, dan itu adalah di dalam natsr (ungkapan biasa bukan sya’ir) seperti ucapan para ahli fiqh dan yang lainnya saat berdalil dengan ayat (berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, terus dia menuturkan ayatnya), dan di dalam sya’ir seperti ucapan Abdul Qahir Al Baghdadi:
يـا من عدا ثم اعتدى ثم اقترف ^^^ ثم انتهى ثم ارعوى ثم اعترف
أبشـر بقول الله في آياته ^^^ (إن ينتهوا يغفر لهم ما قد سلف)
Hai orang yang menyerang terus aniaya kemudian dia melakukan lagi
Terus menghentikan diri terus sadar kemudian mengakui
Berbahagialah dengan firman Allah di dalam ayat-ayat-Nya
(Bila mereka menghentikan diri, maka diampuni bagi mereka apa yang telah lalu)
Keadaan Kedua: Si pembicara tidak mengingatkan bahwa itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, namun konteks ucapan atau bukti-bukti menunjukan bahwa yang dimaksud itu adalah ayat, umpamanya dia menuturkan sejumlah ayat atau menyebutkan ayat yang tidak mengkin dikatakan oleh manusia, seperti:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Adz Dzariyat: 56)
Dan yang serupa itu.
Bentuk Kedua: Iqtibas.
Dan pembicaraan terhadap hal ini ada dalam beberapa bahasan.
Bahasan Pertama: Definisinya.
Iqtibas itu dimaksudkan dengannya adalah si pembicara memuatkan sesuatu dari Al Qur’an di dalam ucapannya baik yang berbentuk sya’ir ataupun bukan sya’ir, dengan cara yang tidak mengandung pengisyaratan bahwa itu adalah dari Al Qur’an
Bahasan Kedua: Macam-Macamnya.
Iqtibas ini dengan melihat ucapan yang digunakannya terbagi menjadi dua macam:
Macam Pertama: Iqtibas di dalam natsr (bukan sya’ir), seperti ucapan si khathib:
“Dialah yang Telah mengutus Rasu-lNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At Taubah: 33).
Dan yang serupa itu.
Macam Kedua: Iqtibas di dalam sya’ir:
Seperti ucapan Abul ‘Atahiyyah:
الحمد لله الواحد الصمد ^^^ هو الذي لم يولد ولم يلد
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa Lagi Tempat Bersandar
Dia-lah Yang Tidak Dilahirkan dan Tidak Melahirkan
Dan ia sesuai makna yang dituturkan adalah terbagi dua juga:
Pertama: Iqtibas yang tidak memindahkan ayat dari maknanya yang asal, seperti ucapan Abu Tammam:
قد كان ما خفت أن يكونا ^^^إنـا إلى الله راجعونا
Sungguh telah terjadi apa yang aku khawatirkan terjadi
Sesungguhnya kita adalah akan kembali kepada Allah
Kedua: Iqtibas yang di dalamnya ayat itu berpindah dari makna asalnya, seperti ucapan Ibnu Ar Rumi:
لئن أخطأت في مدحك ^^^ما أخطأت في منعي
لقد أنـزلت حاجاتي ^^^( بواد غير ذي زرع )
Sungguh andai saya telah keliru di dalam memujimu
Namun engkau tidak keliru dalam menghalangku
Sungguh engkau telah menempatkan hajatku
Di lembah yang tidak ada tanaman.
Di mana ucapannya (بواد غير ذي زرع) adalah iqtibas dari Al Quranul Karim, di mana ia datang di dalam Al Qur’anul Karim dengan makna (Mekkah Al Mukarramah), terus si penya’ir memindahkannya dari makna ini ke makna lain yang kiasan (majaziy) yaitu (suatu yang tidak ada manfaat dan kebaikan di dalamnya).
Bahasan Ketiga: Hukum Iqtibas:
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum iqtibas,[6] dan sebelum kami tuturkan perselisihan mereka, kami ingin menjelaskan uraian masalah di sini, sebagaimana berikut ini:
Pertama: Para ulama sepakat bahwa tidak boleh iqtibas di dalam acara bejat dan majelis-majelis orang-orang fasiq.
Kedua: Ulama sepakat bahwa iqtibas dari Al Qur’an itu menjadikan nash yang dicuplik itu memiliki kehormatan yang tidak dimiliki oleh ungkapan yang lainnya.
Dan mereka berselisih dalam selain hal ini menjadi beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Sebagian ulama – sebagaimana yang diriwayatkan dari kalangan Malikiyyah – melarang iqtibas secara muthlaq baik di dalam natsr maupun di dalam sya’ir, serta mereka bersikap keras di dalamnya demi kehormatan Al Qur’an Al Karim.
Pendapat kedua: Sebagian ulama berpendapat boleh iqtibas di dalam natsr tidak di dalam sya’ir, karena Allah telah mensucikan Al Qur’an dari sya’ir. Di antara mereka adalah An Nawawiy, Al Baqilaniy dan yang lainnya.
Pendapat ketiga: Ada rincian, di mana iqtibas itu ada tiga macam:
- Diterima: Iqtibas di dalam khuthbah, ceramah dan perjanjian.
- Mubah: Iqtibas di dalam ucapan dan surat serta kisah.
- Tertolak: Dan ini ada dua macam:
Pertama: Apa yang Allah sandarkan kepada Diri-Nya dan si pembicara menyandarkannnya kepada dirinya.
Kedua: Memuatkan ayat di dalam ucapan yang mengandung makna permainan.
Dan pendapat ini dianggap bagus oleh Assayuthi.
Ibnu Muflih berkata di dalam Al Aadaab Asy Syar’iyyah 2/289: (Pasal) (Iqtibas dengan memuatkan sesuatu dari Al Qur’an di dalam nadham (Sya’ir) dan natsr (ngkapan biasa): Ibnu ‘Uqail ditanya tentang meletakkan kalimat-kalimat dan ayat-ayat dari Al Qur’an di akhir bagian ceramah?
Maka beliau berkata: Memuatkan Al Qur’an untuk tujuan-tujuan yang menyerupai tujuan-tujuan Al Qur’an adalah tidak apa-apa sebagai pengindah bagi ungkapan, sebagaimana dimuatkan di dalam surat-surat kepada kaum musyrikin ayat-ayat yang mengajak mereka kepada Islam, adapun memuatkannya ucapan-ucapan yang rusak maka ia itu tidak boleh seperti kitab-kitab ahli bid’ah. Dan mereka telah mengatakan:
ويخزهم وينصركم عليهم ^^^ويشف صدور قوم مؤمنينا
Dia mengancurkan mereka dan menolong kalian terhadap mereka
Serta melegakkan dada kaum mukminin.
Dan hal itu tidak diingkari terhadap si penya’ir tatkala dia bermaksud memuji syari’at dan mengagungkan penganutnya. Dan memuatkan Al Qur’an di dalam sya’ir itu adalah boleh karena baiknya tujuan dan tepatnya penempatan).
Dan yang shahih berkaitan dengan natsr di dalam ceramah, khuthbah dan yang serupa itu adalah boleh karena hal itu pernah dicontohkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti apa yang ada di dalam hadits shahih secara marfu’ – di dalam penaklukan Khaibar – :
(الله أكبر ، خربت خيبر ، إنا إذا نزلنا بساحة قوم فساء صباح المنذرين)
“Allahu Akbar, Hancurlah Khaibar. Sesungguhnya kami bila turun dihalaman mereka, Maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.”
Dan seperti sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam:
(إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير)
“Bila datang kepada kalian laki-laki yang kalian ridlai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Serta nash-nash lainnya yang banyak.
BAHASAN KEDUA
Hukum Menyanyikan Sesuatu Yang Memuat Sesuatu Dari Al Qur’an
Hukum menyanyikan ungkapan yang memuat sebagian ayat Al Qur’an di dalam bentuk-bentuk yang lalu:
Adapun Bentuk Yang Pertama:
Yaitu Istisyhad (dalam rangka berdalil), dengan makna orang menyebutkan satu ayat Al Qur’an atau lebih atas dasar bahwa ia adalah bagian dari Al Qur’an, baik dia menegaskan terhadap hal itu ataupun hal ini diketahui lewat bukti-bukti yang mengelilinginya, maka hukum menyanyikannya adalah sama persis dengan hukum menyanyikan Al Qur’an sebagaimana yang telah kami jelaskan di pasal pertama, karena yang disebutkan adalah sebagian dari Al Qur’an, sedangkan bagian dari Al Qur’an adalah memiliki kehormatan Al Qur’an berdasarkan ijma, oleh sebab itu seandainya seseorang kafir terhadap satu ayat saja atau meragukannya, tentulah dia murtad dari Islam berdasarkan ijma – sebagaimana yang telah dijelaskan para ulama dan para fuqaha di dalam kitab-kitab mereka -, maka begitu juga di dalam masalah kita ini.
Dan Adapun Bentuk Yang Kedua:
Telah jelas dari perselisihan para ulama di dalamnya, bahwa orang yang membolehkannya telah mensyaratkan di dalamnya bahwa itu tidak di lakukan di dalam majelis kebejatan dan permainan, dan itu tidak lain adalah dikarenakan telah disepakatinya kehormatan apa yang dicuplik dari Al Qur’an termasuk seandainya ia keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Al Qur’an, sehingga barangsiapa menyanyikan suatu ucapan yang dicuplik dari Al Qur’an, maka dia telah melakukan perbuatan haram yang pengharamannya berlapis dari dua sisi:
Sisi Pertama: Keharaman nyanyian pada dasarnya yang diijmakan oleh para ulama.
Sisi Kedua: Keharaman menyanyikan suatu yang mengandung sebagian ayat Al Qur’an – walaupun dia memaksudkan selain Al Qur’an dengannya -.
Ini adalah yang bisa saya uaraikan di sini, wallahu ta’alaa a’lam.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Untuk mendapatkan risalah-risalah lain, maka silahkan mengunjungi situs Nashir Ibnu Hamd Al Fahd (http://www.al-fahd.com)
[1] Tafsir Ath Thabari 30/150.
[2] Yaitu yang ada di dalam kalimat “Liyudlilla”. (pent).
[3] Dan ini adalah tidak benar, dan silahkan lihat nukilan dari mereka secara rinci di dalam Fashlul Khithab 157-164.
[4] Lihat Lisanul Hukkam 416.
[5] Lihat rincian masalah ini di dalam Risalah milik Assuyuthi dengan judul Raf’u Ilbas Wa Kasyfil Iltibas Fi Dlarbil Matsal Minal Qur’an Wal Iqtibas di dalam Al Hawi Lil Fatawa 1/344-377, Syarh Az Zarqaniy 3/65, Tanwirul Hawalik 2/24, Manahilul ‘Urfan 1/296, Abjadul ‘Ulum 2/491, Shubhul A’syaa 1/234 dan Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 6/17.
[6] Lihat referensi-referensi yang telah saya sebutkan di awal pasal ini.
RISALAH HUKUM BERNYANYI DENGAN MENGGUNAKAN AL QUR’AN
(RISALAH FI HUKMIL GHINA BIL QUR’AN)
Oleh: Syaikh Nashir Ibnu Hamd Al Fahd
Alih Bahasa: Abu Sulaiman
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, wa ba’du:
Ini adalah risalah yang singkat tentang hukum menyanyikan Al Qur’an (ghinaaul qur’an) yang telah saya susun dalam dua pasal:
PASAL PERTAMA: Hukum ghina (bernyanyi) dengan ayat-ayat Al Qur’anul Karim.
PASAL KEDUA: Sya’ir atau Natsr (prosa/ungkapan yang bukan sya’ir) memuat sesuatu dari Al Qur’an serta hukum hal itu.
PASAL PERTAMA
Hukum Ghina (Bernyanyi) Dengan Ayat-Ayat Al Qur’anul Karim
Barangsiapa menyanyikan Al Qur’an atau sesuatu dari Al Qur’an, maka dia itu telah melakukan dosa yang sangat besar, yang dalam banyak keadaan bisa sampai pada tingkat kemurtaddan dari islam – wal ‘iyadzu billa -, tergantung qarinah (indikasi) dan keadaan yang menyertai nyanyian itu, umpamanya nyanyian itu dalam rangka istihza (perolok-olokan), lahwun (main-main) dan bercanda, atau dalam rangka meremehkannya atau hal-hal serupa itu. Dan penjelasan hal ini adalah dari beberapa sisi:
SISI PERTAMA
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyertakan antara perolok-olokan ayat-Nya dengan kekafiran dan pendustaan, di mana hal ini menunjukkan bahwa setiap orang yang memperolok-olok ayat Allah itu adalah kafir lagi mukadzdzib (mendustakan). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya”.(Ar Ruum: 10)
Di Mana Allah di sini menyertakan antara pendustaan ayat-ayat-Nya dengan perolok-olokan terhadapnya, dan Dia menjadikan akibat orang-orang yang mengerjakan hal ini adalah Jahannam – wal ‘iyadzu billah-.
Dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan sungguh Allah Telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu bila mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”(An Nisa: 140)
Di sini Allah menyertakan antara kekafiran terhadap ayat-ayat-Nya dengan perolok-olokan terhadapnya.
Dan Dia subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu mencari-cari alasan, karena kamu kafir sesudah beriman”(At Taubah: 65-66).
Telah ada di dalam seba nuzul ayat ini dari Abdullah Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata: Seorang laki-laki berkata di dalam perang Tabuk – di suatu majelis – : Saya tidak pernah melihat orang yang seperti para qurra kita itu, mereka paling banyak makannya, paling dusta lisannya dan paling penakut saat bertemu dengan musuh,” maka seorang laki-laki di mesjid itu berkata: Kamu dusta, justeru kamu adalah orang munafiq, sungguh saya akan mengabarkannya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam,” maka hal itupun sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sedangkan Al Qur’an sudah turun, maka Abdullah Ibnu Umar berkata: Saya melihat dia memegangi tali pelana unta Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam seraya bebatuan mengenainya sedang dia berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja,” sedang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata:” “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
Al Jashshash berkata tentang ayat ini 3/207: (Ini menunjukan juga bahwa istihza (perolok-olokan) terhadap ayat-ayat Allah atau terhadap sesuatu dari ajaran agama-Nya adalah kekafiran dari pelakunya).
Ibnu Qudamah berkata di dalam Al Mughni 9/33: (Barangsiapa menghina Allah subhanahu wa ta’ala maka dia kafir baik dia itu bercanda maupun serius. Dan begitu juga orang yang memperolok-olok Allah subhanahu wa ta’ala atau ayat-ayat-Nya atau rasul-rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“ Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu mencari-cari alasan, karena kamu kafir sesudah beriman.”(At Taubah: 65-66).
Dan seyogyanya keberadaan dia kembali kepada islam itu tidak dianggap cukup, sampai terlebih dahulu dia dikasih pelajaran (sangsi) dengan sangsi yang membuatnya jera dari hal itu, karena sesungguhnya bila tidak dianggap cukup dari orang yang menghina Rasulullah itu dengan sekedar taubat saja, maka tentunya orang yang menghina Allah subhanahu wa ta’ala adalah lebih utama (untuk dianggap cukup dengan taubat saja)).
Sedangkan penjelasan penunjukan ayat ini terhadap kekafiran orang yang menyanyikan sesuatu dari Al Qur’an dalam rangka lahwun (main-main) dan senda gurau dengannya serta hal-hal serupa itu, maka adalah dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaitkan kekafiran di dalam Firman-Nya” karena kamu kafir sesudah beriman”terhadap perolok-olokan kepada Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya.
Kedua: Bahwa orang-orang tersebut telah nampak nyata bahwa diri mereka – atau sebagian mereka – itu adalah tidak mengetahui hukum perolok-olokan ini, oleh karenanya Allah memaafkan sebagian mereka yang taubat, namun demikian mereka itu sebelumnya sudah kafir, maka bagaimana halnya dengan orang yang dalam rangka main-main dan bersenda gurau menyanyikan sesuatu yang telah terpatri di dalam fithrah kaum muslimin baik tua maupun muda, baik sunni maupun ahli bid’ah (kewajiban) untuk menghormatinya mengagungkannya dan memuliakannya serta mengangkatnya dari kotoran dan tempat-tempat najis?!
Ketiga: Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berkata tentang mereka prihal pengutaraan alasan yang mereka kemukakan ““Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja” sedangkan sudah diketahui semua kalangan bahwa ucapan yang bukan sya’ir (ungkapan biasa) itu terbagi menjadi dua bagian: Serius (betulan) dan bercanda, namun walaupun demikian sesungguhnya Allah tidak mendustakan mereka di dalam pengakuan bahwa mereka itu bersenda gurau dan bermain-main saja, namun justeru Allah menjadikan sikap permainan mereka ini sebagai bentuk perolok-olokan. Sedangkan ghina (nyanyian) yang melalaikan dengan memakai Al Qur’an itu adalah hanya satu bagian saja, yaitu termasuk gurauan dan main-main.
Keempat: Bahwa mereka itu menjadi kafir padahal mereka itu sama sekali tidak menyebutkan Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula ayat-ayat Al Qur’an, namun Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan ucapan mereka tentang sahabat Rasulullah itu sebagai bagian dari istihza (perolok-olokan) terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya, dan Dia menjadikannya sebagai kekafiran setelah dia beriman, maka bagaimana halnya dengan orang yang menyanyikan ayat-ayat Al Qur’an dan dia memainkannya dengan disertai gitar atau alat-alat yang serupa itu?!
SISI KEDUA
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah meniadakan kebatilan dan senda gurau dari Kitab-Nya yang mulia, di mana Dia berfirman:
“Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (Ath Thariq: 13-14)
Ibnu Abbas berkata: (Senda gurau) adalah kebatilan.
Mujahid berkata: (Senda gurau) adalah permainan.[1]
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”(Fushshilat: 41-42)
Sedangkan nyanyian itu adalah termasuk kebatilan dan permainan, dan Al Bukhari rahimahullah telah menetapkan di dalam Kitab Shahihnya satu bab yang beliau juduli (Setiap permainan itu adalah kebatilan bila menyibukan dari keta’atan kepada Allah).
Al Qasim Ibnu Muhammad Ibnu Abi Bakar rahimahullah berkata: (Nyanyian itu adalah kebatilan, sedangkan kebatilan itu adalah di neraka)).
Dan Mujahid menamakan nyanyian itu sebagai kebatilan.
Dan Asy Syafi’iy berkata: (Nyanyian itu adalah makruh (dibenci) yang menyerupai kebatilan).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah Ibnu ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma berkata: (Sesungguhnya Allah menurunkan al haq untuk melenyapkan kebatilan dengannya, dan untuk menggugurkan permainan, tarian, seruling, mizhar dan kibarat dengannya). Mizhar adalah gitar yang dimainkan, sedangkan kibarat adalah kecapi dan ada yang mengatakan bahwa ia adalah rebana sebagaimana yang ditafsirkan oleh sebagian ulama tabi’in.
Bila Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa Al Qur’an itu “adalah tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,” oleh sebab itu barangsiapa menyanyikannya atau menyanyikan sesuatu darinya, maka dia itu telah melakukan pembangkangan terhadap Al Qur’an dengan perbuatannya itu.
Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari ‘Imran Ibnu Abdillah Ibnu Thalhah bahwa seorang laki-laki membaca Al Qur’an dengan mendayu-dayu di mesjid Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan, maka Al Qasim mengingkari hal itu dan berkata: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya Al Quran itu adalah Kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”(Fushshilat: 41-42)
Maka coba perhatikan bagaimana tabi’iy yang mulia ini menjadikan pembacaan Al Qur’an dengan mendayu-dayu sebagai kebatilan, padahal dia itu tidak bermain-main dan tidak bersenda gurau dengannya, dan beliau mengingkari orang yang melakukannya? Maka bagaimana dengan orang yang menyanyikan Al Qur’an dengan disertai alat musik?!.
SISI KETIGA
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menuturkan bahwa menjadikan ayat-ayat Allah sebagian perolok-olokan dan permainan itu adalah tergolong sifat kaum munafiqin, di mana Dia berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang Telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (Al Maidah: 57).
Dan berfirman:
“Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah Karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal” (Al Maidah: 58)
Dan berfirman:
“Tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak, dan mereka menganggap ayat-ayat kami dan peringatan- peringatan terhadap mereka sebagai olok-olokan.” (Al Kahfi: 56)
Dan berfirman tentang orang-orang kafir:
“Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.” (Al Kahfi: 106)
Dan berfirman:
“Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan.” (Al Jatsiyah: 9)
Dan berfirman:
“Yang demikian itu, karena sesungguhnya kamu menjadikan ayat-ayat Allah sebagai olok-olokan dan kamu telah ditipu oleh kehidupan dunia, Maka pada hari Ini mereka tidak dikeluarkan dari neraka dan tidak pula mereka diberi kesempatan untuk bertaubat.” (Al Jatsiyah: 35)
Barangsiapa menyanyikan ayat-ayat Allah, maka dia itu telah menjadikannya sebagai buah ejekan dan permainan sebagaimana hal itu adalah yang nampak.
Al Qurthubiy rahimahullah berkata: 3/157: (Dikatakan bagi orang yang melecehkan ayat-ayat Allah bahwa dia itu telah menjadikannya sebagai bahan perolok-olokan, dan hal itu dikatakan kepada orang yang kafir terhadapnya, dan hal itu dikatakan pula kepada orang yang mencampakkannya dan tidak mengambilnya dan malah mengamalkan yang lainnya).
SISI KEEMPAT
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits (perkataan yang tidak berguna) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Dan telah sah dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas serta yang lainnya radliyallaahu ‘anhum penafsiran lahwal hadits di sini bahwa itu adalah ghina (nyanyian), bahkan Ibnu Mas’ud bersumpah tiga kali terhadap hal itu. Sedangkan laam di sini[2] adalah memiliki dua makna tergantung nyanyian itu:
Pertama: Bila nyanyian itu tidak dimaksudkan untuk menghalang-halangi dari jalan Allah dengannya, maka laam di sini adalah untuk makna akibat, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (Al Qashash:
Maknanya bahwa akibat akhir dari nyanyian itu adalah menghalang-halangi dari jalan Allah, dan ini adalah bersumber dari kaum muslimin yang bermaksiat.
Kedua: Bila nyanyian itu dimaksudkan dengannya untuk menghalang-halangi dari jalan Allah, maka laam di sini adalah untuk menjelaskan alasan (ta’lil), dan ini adalah bersumber dari orang-orang kafir.
Jadi di sini Dia menyebutkan bahwa orang yang bernyanyi itu keadaannya atau akibat akhirnya adalah kepada penghalang-halangan dari jalan Allah atau menjadikan jalan Allah itu sebagai bahan perolok-olokan, sedangkan di sini dia itu hanyalah menyanyikan sya’ir atau ungkapan biasa, maka bagaimana bila yang dinyanyikan itu adalah dari ayat-ayat Al Qur’anul Karim?!
Maka tidak ragu lagi bahwa dia (yaitu orang yang menyanyikan ayat Al Qur’an) itu adalah masuk di dalam sikap menjadikannya sebagai bahan perolok-olokan secara langsung, sedangkan sifat itu adalah tidak bersumber kecuali dari orang kafir.
SISI KELIMA
Bahwa para ulama telah ijma bahwa melecehkan Al Qur’an itu adalah kekafiran dan kemurtaddan.
Assafariniy berkata di dalam Ghidzaaul Albab 1/414: (Al Imam An Nawawi berkata di dalam At Tibyan dan Ibnu Muflih di dalam Al Aadaab serta yang lainnya: (Kaum muslimin telah ijma terhadap kewajiban mengagungkan Al Qur’anul ‘Adhim secara muthlaq, memuliakannya serta menjaganya. Dan mereka ijma bahwa barangsiapa mengingkari satu huruf dari apa yang sudah diijmakan terhadapnya, atau menambahkan satu huruf yang tidak ada di dalam qira’ah siapapun sedangkan dia mengetahui hal itu, maka dia itu kafir. Al Qadli ‘Iyadl berkata: Ketahuilah bahwa barangsiapa melecehkan Al Qur’an atau mushhaf atau sesuatu darinya, atau dia mengingkari satu huruf darinya, atau mendustakan sesuatu yang jelas di dalamnya baik itu berbentuk hukum atau khabar, atau dia menetapkan apa yang dinafikannya atau menafikan apa yang telah ditetapkannya sedangkan dia mengetahui hal itu, atau dia meragukan sesuatu dari hal itu, maka dia itu kafir dengan ijma kaum muslimin).
Menyanyikan Al Qur’an atau sesuatu darinya adalah pelecehan terhadapnya, seandainya ada seorang raja mengeluarkan instruksi yang tertulis yang dengannya dia memerintahkan rakyatnya untuk melakukan suatu atau melarang mereka dari sesuatu, terus salah seorang dari mereka menyanyikan (teks) instruksi itu, tentulah perbuatannya ini dianggap sebagai pelecehan terhadap raja dan perintahnya, dan sudah barang tentu dia diberi sangsi hukuman yang berat.
SISI KEENAM
Bahwa di sana ada nash-nash sebagian para ulama di dalam masalah ini, dan saya akan menuturkan darinya:
Ibnu Nujaim Al Hanafi berkata di dalam Al Bahrur Raaiq 5/130 bahasan hal-hal yang mengkafirkan: (Dan dengan meletakkan kaki di atas mushhaf saat bersumpah seraya melecehkannya, dan membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana atau bambu).
Dan di dalam Al Fatawa Al Hindiyyah 2/267: (Bila membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana dan bambu maka dia kafir).
Dan di dalam Majma’ul Anhur 1/693: (Dan di dalam Fushul ‘Imadiyyah bila membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana dan bambu maka dia kafir).
Dan di dalam Bariqah Mahmudiyyah 2/61: (orang yang melecehkan Al Qur’an atau satu huruf darinya atau melemparkan mushhaf ke comberan atau mengingkari satu huruf darinya atau mendustakannya atau menafikan apa yang ditetapkannya atau menetapkan apa yang dinafikannya atau mengganti satu huruf darinya atau menambahkannya atau membacanya dalam rangka mainan dengan memakai rebana).
Dan di dalam Lisanul Hukkam hal 416: (Seorang yang membaca (Al Qur’an) dengan tabuhan rebana atau bambu maka dia kafir karena dia itu melecehkan Al Qur’an).
Saya berkata: Maka lihatlah pernyataan mereka, yaitu seandainya orang membaca Al Qur’an dengan tabuhan rebana atau bambu maka dia kafir, padahal sesungguhnya rebana itu adalah mubah di beberapa keadaan seperti nyanyian pernikahan, sedangkan bambu maka Ibnu Qudamah berkata tentangnya di dalam Al Mughni 10/174: (Adapun menabuh bambu maka hukumnya adalah dibenci bila disertai hal yang diharamkan atau hal yang dibenci seperti tepuk tangan, nyanyian dan tarian, dan bila tidak disertai hal itu semua maka ia tidak dibenci, karena ia adalah bukan alat musik, dan ia itu tidak ditabuh dan tidak didengarkan secara menyendiri, beda halnya dengan alat musik).
Bila saja menyanyikan Al Qur’an atau sebagiannya disertai tabuhan suatu yang pada hukum asalnya adalah mubah – seperti bambu – atau ia mubah di dalam beberapa keadaan -seperti rebana – adalah kekafiran dan kemurtaddan menurut para ulama itu, maka bagaimana bila disertai suatu yang memang haram berdasarkan ijma seperti gitar dan yang serupa itu?!
SISI KETUJUH
Bahwa menyanyikan Al Qur’an itu adalah perolok-olokan terhadapnya yang berlapis dari dua sisi:
Sisi Pertama: Bahwa nyanyian itu sendiri adalah lahwun (senda gurau) dan permainan berdasarkan ijma – termasuk menurut kesaksian ahli ilmu yang syadz (memiliki pendapat ganjil) yang membolehkannya yaitu Ibnu Hazm – di mana beliau telah menamakan tulisannya yang membolehkan nyanyian dengan judul (Risalah Fil Ghina Al Mulhi A Mubah Am Mahdhur) – Majmu’ah Rasaail-nya 4/417, di mana beliau menamakannya mulhi (yang melalaikan) sebagaimana yang engkau lihat, sedangkan menyanyikan Al Qur’an adalah menjadikannya sebagai lahwun (gurauan) dan mempermainkannya – wal ‘iyadzu billah -.
Sisi Kedua: Bahwa ulama telah ijma – sebelum muncul pendapat ganjil Ibnu Hazm – terhadap keharaman nyanyian, dan pernyataan mereka dalam hal ini adalah sangat banyak. Dan telah menukil ijma ini banyak ulama, di antaranya: Ibnul Mundzir, Ibnu Abdil Barr, Ibnul Jauziy, Al Qadli ‘Iyadl, Ibnu Qudamah, Ibnu Ash Shalah, An Nawawiy, Al Qurthubiy, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Ibnu Hajar Al Haitami serta yang lainnya, bahkan lebih dasyat dari hal itu adalah bahwa Al Qadli ‘Iyadl dan Al Kafiy At Tunisiy telah menukil ijma terhadap kekafiran orang yang menghalalkan nyanyian.[3]
Bila saja nyanyian telah datang celaannya dan pengharamannya di dalam Al Kitab, dan Assunnah serta ulama telah ijma terhadapnya, maka sesungguhnya menyanyikan Al Qur’an adalah penambahan penyepelean terhadap pengharaman ini – termasuk andaikata nyanyian itu dilakukan dalam rangka serius dan bukan dalam rangka senda gurau dan permainan -, dan ia itu seperti mengucapkan bismillah saat minum khamr – wal ‘iyadzu billah -, karena sesungguhnya pengucapan basmalah itu adalah disyari’atkan, namun pengucapan basmalah saat meminum khamr adalah pelecehan terhadap Nama Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mengharamkan khamr itu, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa andaikata seseorang bila meminum khamr dan membaca bismillah atau mengatakannya saat berzina maka dia itu kafir.[4] Di mana ia adalah perolok-olokan dari sisi mempermainkan Al Qur’an dan dari sisi menyepelekan pengharaman.
PASAL KEDUA
Sya’ir Atau Natsr (Prosa/Ungkapan Yang Bukan Sya’ir) Memuat Sesuatu Dari Al Qur’an Serta Hukum Hal Itu
BAHASAN PERTAMA
Bentuk-Bentuk Pencantuman Al Qur’an Di Dalam Ungkapan Lain[5]
Ketahuilah bahwa pencantuman Al Qur’an Al Karim di dalam sya’ir atau yang lainnya adalah ada dua bentuk:
Bentuk Pertama: Istisyhad (Dalam Rangka Berdalil), yaitu menyebutkan ayat Al Qur’an seadaanya tanpa perubahan, dan istisyhad (pengambilan dalil) ini ada dua keadaan:
Keadaan Pertama: Si pembicara mengingatkan bahwa itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, dan itu adalah di dalam natsr (ungkapan biasa bukan sya’ir) seperti ucapan para ahli fiqh dan yang lainnya saat berdalil dengan ayat (berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala, terus dia menuturkan ayatnya), dan di dalam sya’ir seperti ucapan Abdul Qahir Al Baghdadi:
يـا من عدا ثم اعتدى ثم اقترف ^^^ ثم انتهى ثم ارعوى ثم اعترف
أبشـر بقول الله في آياته ^^^ (إن ينتهوا يغفر لهم ما قد سلف)
Hai orang yang menyerang terus aniaya kemudian dia melakukan lagi
Terus menghentikan diri terus sadar kemudian mengakui
Berbahagialah dengan firman Allah di dalam ayat-ayat-Nya
(Bila mereka menghentikan diri, maka diampuni bagi mereka apa yang telah lalu)
Keadaan Kedua: Si pembicara tidak mengingatkan bahwa itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, namun konteks ucapan atau bukti-bukti menunjukan bahwa yang dimaksud itu adalah ayat, umpamanya dia menuturkan sejumlah ayat atau menyebutkan ayat yang tidak mengkin dikatakan oleh manusia, seperti:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Adz Dzariyat: 56)
Dan yang serupa itu.
Bentuk Kedua: Iqtibas.
Dan pembicaraan terhadap hal ini ada dalam beberapa bahasan.
Bahasan Pertama: Definisinya.
Iqtibas itu dimaksudkan dengannya adalah si pembicara memuatkan sesuatu dari Al Qur’an di dalam ucapannya baik yang berbentuk sya’ir ataupun bukan sya’ir, dengan cara yang tidak mengandung pengisyaratan bahwa itu adalah dari Al Qur’an
Bahasan Kedua: Macam-Macamnya.
Iqtibas ini dengan melihat ucapan yang digunakannya terbagi menjadi dua macam:
Macam Pertama: Iqtibas di dalam natsr (bukan sya’ir), seperti ucapan si khathib:
“Dialah yang Telah mengutus Rasu-lNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At Taubah: 33).
Dan yang serupa itu.
Macam Kedua: Iqtibas di dalam sya’ir:
Seperti ucapan Abul ‘Atahiyyah:
الحمد لله الواحد الصمد ^^^ هو الذي لم يولد ولم يلد
Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa Lagi Tempat Bersandar
Dia-lah Yang Tidak Dilahirkan dan Tidak Melahirkan
Dan ia sesuai makna yang dituturkan adalah terbagi dua juga:
Pertama: Iqtibas yang tidak memindahkan ayat dari maknanya yang asal, seperti ucapan Abu Tammam:
قد كان ما خفت أن يكونا ^^^إنـا إلى الله راجعونا
Sungguh telah terjadi apa yang aku khawatirkan terjadi
Sesungguhnya kita adalah akan kembali kepada Allah
Kedua: Iqtibas yang di dalamnya ayat itu berpindah dari makna asalnya, seperti ucapan Ibnu Ar Rumi:
لئن أخطأت في مدحك ^^^ما أخطأت في منعي
لقد أنـزلت حاجاتي ^^^( بواد غير ذي زرع )
Sungguh andai saya telah keliru di dalam memujimu
Namun engkau tidak keliru dalam menghalangku
Sungguh engkau telah menempatkan hajatku
Di lembah yang tidak ada tanaman.
Di mana ucapannya (بواد غير ذي زرع) adalah iqtibas dari Al Quranul Karim, di mana ia datang di dalam Al Qur’anul Karim dengan makna (Mekkah Al Mukarramah), terus si penya’ir memindahkannya dari makna ini ke makna lain yang kiasan (majaziy) yaitu (suatu yang tidak ada manfaat dan kebaikan di dalamnya).
Bahasan Ketiga: Hukum Iqtibas:
Para ulama berselisih pendapat tentang hukum iqtibas,[6] dan sebelum kami tuturkan perselisihan mereka, kami ingin menjelaskan uraian masalah di sini, sebagaimana berikut ini:
Pertama: Para ulama sepakat bahwa tidak boleh iqtibas di dalam acara bejat dan majelis-majelis orang-orang fasiq.
Kedua: Ulama sepakat bahwa iqtibas dari Al Qur’an itu menjadikan nash yang dicuplik itu memiliki kehormatan yang tidak dimiliki oleh ungkapan yang lainnya.
Dan mereka berselisih dalam selain hal ini menjadi beberapa pendapat:
Pendapat pertama: Sebagian ulama – sebagaimana yang diriwayatkan dari kalangan Malikiyyah – melarang iqtibas secara muthlaq baik di dalam natsr maupun di dalam sya’ir, serta mereka bersikap keras di dalamnya demi kehormatan Al Qur’an Al Karim.
Pendapat kedua: Sebagian ulama berpendapat boleh iqtibas di dalam natsr tidak di dalam sya’ir, karena Allah telah mensucikan Al Qur’an dari sya’ir. Di antara mereka adalah An Nawawiy, Al Baqilaniy dan yang lainnya.
Pendapat ketiga: Ada rincian, di mana iqtibas itu ada tiga macam:
- Diterima: Iqtibas di dalam khuthbah, ceramah dan perjanjian.
- Mubah: Iqtibas di dalam ucapan dan surat serta kisah.
- Tertolak: Dan ini ada dua macam:
Pertama: Apa yang Allah sandarkan kepada Diri-Nya dan si pembicara menyandarkannnya kepada dirinya.
Kedua: Memuatkan ayat di dalam ucapan yang mengandung makna permainan.
Dan pendapat ini dianggap bagus oleh Assayuthi.
Ibnu Muflih berkata di dalam Al Aadaab Asy Syar’iyyah 2/289: (Pasal) (Iqtibas dengan memuatkan sesuatu dari Al Qur’an di dalam nadham (Sya’ir) dan natsr (ngkapan biasa): Ibnu ‘Uqail ditanya tentang meletakkan kalimat-kalimat dan ayat-ayat dari Al Qur’an di akhir bagian ceramah?
Maka beliau berkata: Memuatkan Al Qur’an untuk tujuan-tujuan yang menyerupai tujuan-tujuan Al Qur’an adalah tidak apa-apa sebagai pengindah bagi ungkapan, sebagaimana dimuatkan di dalam surat-surat kepada kaum musyrikin ayat-ayat yang mengajak mereka kepada Islam, adapun memuatkannya ucapan-ucapan yang rusak maka ia itu tidak boleh seperti kitab-kitab ahli bid’ah. Dan mereka telah mengatakan:
ويخزهم وينصركم عليهم ^^^ويشف صدور قوم مؤمنينا
Dia mengancurkan mereka dan menolong kalian terhadap mereka
Serta melegakkan dada kaum mukminin.
Dan hal itu tidak diingkari terhadap si penya’ir tatkala dia bermaksud memuji syari’at dan mengagungkan penganutnya. Dan memuatkan Al Qur’an di dalam sya’ir itu adalah boleh karena baiknya tujuan dan tepatnya penempatan).
Dan yang shahih berkaitan dengan natsr di dalam ceramah, khuthbah dan yang serupa itu adalah boleh karena hal itu pernah dicontohkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti apa yang ada di dalam hadits shahih secara marfu’ – di dalam penaklukan Khaibar – :
(الله أكبر ، خربت خيبر ، إنا إذا نزلنا بساحة قوم فساء صباح المنذرين)
“Allahu Akbar, Hancurlah Khaibar. Sesungguhnya kami bila turun dihalaman mereka, Maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.”
Dan seperti sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam:
(إذا أتاكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير)
“Bila datang kepada kalian laki-laki yang kalian ridlai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.”
Serta nash-nash lainnya yang banyak.
BAHASAN KEDUA
Hukum Menyanyikan Sesuatu Yang Memuat Sesuatu Dari Al Qur’an
Hukum menyanyikan ungkapan yang memuat sebagian ayat Al Qur’an di dalam bentuk-bentuk yang lalu:
Adapun Bentuk Yang Pertama:
Yaitu Istisyhad (dalam rangka berdalil), dengan makna orang menyebutkan satu ayat Al Qur’an atau lebih atas dasar bahwa ia adalah bagian dari Al Qur’an, baik dia menegaskan terhadap hal itu ataupun hal ini diketahui lewat bukti-bukti yang mengelilinginya, maka hukum menyanyikannya adalah sama persis dengan hukum menyanyikan Al Qur’an sebagaimana yang telah kami jelaskan di pasal pertama, karena yang disebutkan adalah sebagian dari Al Qur’an, sedangkan bagian dari Al Qur’an adalah memiliki kehormatan Al Qur’an berdasarkan ijma, oleh sebab itu seandainya seseorang kafir terhadap satu ayat saja atau meragukannya, tentulah dia murtad dari Islam berdasarkan ijma – sebagaimana yang telah dijelaskan para ulama dan para fuqaha di dalam kitab-kitab mereka -, maka begitu juga di dalam masalah kita ini.
Dan Adapun Bentuk Yang Kedua:
Telah jelas dari perselisihan para ulama di dalamnya, bahwa orang yang membolehkannya telah mensyaratkan di dalamnya bahwa itu tidak di lakukan di dalam majelis kebejatan dan permainan, dan itu tidak lain adalah dikarenakan telah disepakatinya kehormatan apa yang dicuplik dari Al Qur’an termasuk seandainya ia keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Al Qur’an, sehingga barangsiapa menyanyikan suatu ucapan yang dicuplik dari Al Qur’an, maka dia telah melakukan perbuatan haram yang pengharamannya berlapis dari dua sisi:
Sisi Pertama: Keharaman nyanyian pada dasarnya yang diijmakan oleh para ulama.
Sisi Kedua: Keharaman menyanyikan suatu yang mengandung sebagian ayat Al Qur’an – walaupun dia memaksudkan selain Al Qur’an dengannya -.
Ini adalah yang bisa saya uaraikan di sini, wallahu ta’alaa a’lam.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Untuk mendapatkan risalah-risalah lain, maka silahkan mengunjungi situs Nashir Ibnu Hamd Al Fahd (http://www.al-fahd.com)
[1] Tafsir Ath Thabari 30/150.
[2] Yaitu yang ada di dalam kalimat “Liyudlilla”. (pent).
[3] Dan ini adalah tidak benar, dan silahkan lihat nukilan dari mereka secara rinci di dalam Fashlul Khithab 157-164.
[4] Lihat Lisanul Hukkam 416.
[5] Lihat rincian masalah ini di dalam Risalah milik Assuyuthi dengan judul Raf’u Ilbas Wa Kasyfil Iltibas Fi Dlarbil Matsal Minal Qur’an Wal Iqtibas di dalam Al Hawi Lil Fatawa 1/344-377, Syarh Az Zarqaniy 3/65, Tanwirul Hawalik 2/24, Manahilul ‘Urfan 1/296, Abjadul ‘Ulum 2/491, Shubhul A’syaa 1/234 dan Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah 6/17.
[6] Lihat referensi-referensi yang telah saya sebutkan di awal pasal ini.
0 komentar: