Oleh: Al Ustadz Abu Sulaiman
Orang yang melakukan syirik setelah sampainya hujjah, maka dia musyrik kafir, karena nama kafir yang berkonsekuensi adzab tidak ada kecuali setelah sampai hujjah. Sedangkan orang yang asalnya muslim terus melakukan syirik akbar, maka dia musyrik kafir murtad dan dia itu lebih buruk dari orang kafir asli berdasarkan ijma.I. Dalil-dalil dari Al-Qur’an:
Orang yang melakukan syirik setelah sampainya hujjah, maka dia musyrik kafir, karena nama kafir yang berkonsekuensi adzab tidak ada kecuali setelah sampai hujjah. Sedangkan orang yang asalnya muslim terus melakukan syirik akbar, maka dia musyrik kafir murtad dan dia itu lebih buruk dari orang kafir asli berdasarkan ijma.I. Dalil-dalil dari Al-Qur’an:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Dan barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia dihari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. Al Maidah [5]: 5)
Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya, maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang kafir itu.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 89)
Dalam ayat pertama ada dilalah bahwa iman dan kekafiran yang mendatangkan adzab adalah setelah ada hujjah. Dalam ayat kedua Allah menamakan mereka sebagai orang-orang kafir setelah ada hujjah.
II. Pernyataan-Pernyataan Para Imam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Para ulama tidak mengkafirkan orang yang melakukan sesuatu dari hal-hal yang diharamkan karena sebab baru masuk Islam atau karena hidup di pedalaman yang sangat jauh, karena vonis kafir tidak ada kecuali setelah sampainya risalah.” [Majmu Al Fatawa: 28/501]
Beliau juga berkata: “Kekafiran yang mendatangkan adzab tidak ada kecuali setelah risalah. [Majmu Al Fatawa: 2/78]
Dan beliau berkata juga: “Kekafiran setelah tegak hujjah mendatangkan adzab dan sebelumnya mengurangi nikmat dan tidak menambah.” [Majmu Al Fatawa: 16/254]
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Macam orang-orang musyrik itu dan yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang yang beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami vonis mereka sebagai orang-orang musyrik dan kami memandang mereka kafir bila hujjah risaliyyah telah tegak atas mereka. Dan dosa selain ini yang lebih rendah tingkatan dan kerusakannya, maka kami tidak mengkafirkan (si pelaku) dengan sebabnya.” [Ad Durar As Saniyyah: 522 jilid 1]
Hal ini walillahihamd adalah jelas sekali, sesungguh Syaikh rahimahullah menamakan orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain Allah SWT sebagai ‘abid (hamba) bagi makhluk itu lagi musyrik terhadap Allah sebelum tegak hujjah, dan adapun setelah tegak hujjah maka beliau menamakannya sebagai orang musyrik lagi kafir.
Syaikh Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata juga setelah menukil perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah takfir muslim mu’ayyan bila menyekutukan Allah setelah sampainya hujjah, beliau berkata: “Dan kami tidak mengetahui perbedaan dari seorang ulamapun dalam masalah ini.” [Mufid Al Mustafid Fi Kufri Tarik At Tauhid dalam Aqidatul Muwahidin: 55]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Sesungguhnya tauhid itu menuntut penanggalan syirik, bara’ah darinya, memusuhi para pelakunya dan mengkafirkan mereka dikala hujjah telah tegak atas mereka.” [Syarhu Ashli Dien Al Islam dalam Majmu’ah At Tauhid: 31]
Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ucapan Syaikh Taqiyyudien rahimahullah bahwa takfir dan qatl (pembunuhan) itu tergantung atas sampainya hujjah. Ucapannya ini menunjukan bahwa kedua hal ini, yaitu takfir dan qatl tidak tergantung pada paham akan hujjah secara mutlak, akan tetapi terhadap sampainya hujjah. Jadi paham akan hujjah adalah suatu hal, sedangkan sampainya hujjah adalah hal lain pula.” [Al Kufru Al Ladzi Yu’dzaru Shahibuhu Bil Jahl: 13]
Beliau berkata juga: “Dan orang yang mengucapkan Laa ilaha illallah namun disamping itu dia juga melakukan syirik akbar, seperti memohon kepada mayit dan orang-orang yang ghaib, meminta kepada mereka pemenuhan kebutuhan dan diselamatkan dari bencana serta taqarrub kepada mereka dengan nadzar dan sembelihan., maka orang ini adalah musyrik, mau tidak mau, sedangkan Allah tidak mengampuni penyekutuan terhadap-Nya dan siapa yang menyekutukan Allah maka Allah haramkan surga atasnya dan tempat kembalinya adalah nereka. Dan dengan sebab perbuatan ini dia musyrik, dan siapa yang melakukannya maka dia kafir, namun atas dasar apa yang dikatakan oleh Syaikh, tidak boleh dikatakan si fulan kafir sampai dijelaskan kepadanya apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bila dia tetap bersikeras setelah penjelasan itu, maka dia dihukumi kafir serta halal darah dan hartanya.” [Risalah Makna Laa ilaha illallah: 106-107 dalam kalimat An Nafi’ah]
0 komentar: