Pernyataan Aimmah Dakwah

PRIHAL KEJAHILAN DI DALAM  SYIRIK AKBAR
(AL MUTAMMIMAH LI KALAAM AIMMATID DAKWAH FI MAS-ALATIL JAHLI FISY SYIRKIL AKBAR)
Oleh: Syaikh Ali Al Khudlair
Alih Bahasa: Abu Sulaiman
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi dan Rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya dan para sahabat seluruhnya,
Wa ba’du:

Ini adalah penyempurnaan bagi apa yang telah di tulis oleh para Imam dakwah Salafiyyah dalam masalah ketidakdiuzduran dengan sebab kebodohan dalam syirik akbar. Saya telah menjadikannya sebagai penyempurna bagi kitab-kitab berikut ini yang berbicara tentang adamul ‘udzri bil jahli (ketidakdiuzduran dengan sebab kebodohan), yaitu :
  1. Mufidul Mustafid fi kufri taarikittauhid karya Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Imam  Muhammad Ibnu Abdul Wahhab rahimahullah.
  2. Risalatul Intishaar li Hizbillahil Muwahhidin war Raddi ‘Alal Mujadil ‘Anil Musyrikin, karya Syaikh Abdullah Ibnu Abdurrahman Aba Buthain rahimahullah.
  3. Risalah Takfir Al Mu’ayyan, karya Asy-Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Alu Asy-Syaikh rahimahullah.
Di dalamnya saya telah meringkas tiga kitab ini,dan saya menambahkan apa yang dikatakan para ulama dalam masalah ini di awal risalah. Dan pada dasarnya ada pada kitab saya Al Jam’u Wa Tajrid Fi Syarhi Kitabit Tauhid Lisy Syaikh Muhammad Ibni Abdil Wahhab, terus saya menjadikannya dalam risalah tersendiri karena melihat ia amat urgen dan demi memudahkan bagi orang yang ingin mengetahui masalah ini, dan hanya Allah-lah yang memberi petunjuk dan memudahkan kepada jalan yang lurus.
Semoga sholawat, Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya .
PASAL PERTAMA
SEJARAH SYUBHAT INI
Syubhat ini belum muncul sebelum zaman Ibnu Taimiyyah, karena setiap orang yang mengklaim pengudzuran (pelaku syirik akbar karena kebodohan) maka sesungguhnya ucapan yang terdahulu yang dijadikannya sebagai dalil adalah ucapan Ibnu Taimiyyah bahwa beliau mengudzurnya.
Kemudian syubhat ini muncul di zaman Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dari dua macam orang:
(1)  Orang-orang sesat yang menyebarkan syubhat ini, maka beliau membantah dalam Mufidul Mustafid
(2)  Orang yang lebih ringan, karena syubhat ini muncul pada orang-orang itu dengan sebab kesamaran sedang mereka itu adalah para pencari kebenaran, seperti murid-murid beliau di Dir’iyyah dan di Ahsa, kemudian syubhat ini padam setelah itu…
Kemudian syubhat ini muncul lagi di masa Syaikh Abdirrahman Ibnu Hasan, di mana penganutnya adalah Dawud Ibnu Jirjis dan Utsman Ibnu Manshur, maka syubhat ini dihadang oleh Syaikh Abdirrahman Ibnu Hasan dan dibantu oleh putranya yaitu Syaikh Abdullathif di dalam tulisan-tulisannya yang terkenal, juga dibantu oleh Syaikh Aba Buthain…
Kemudian syubhat ini muncul pada masa generasi ketiga, maka tampillah Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman  dan  Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman  menghadangnya di dalam tulisan-tilisan dan fatwa-fatwa dan dibantu atas hal ini oleh dua putra Syaikh Abdullathif, yaitu Abdullah dan Ibrahim. Dan Syubhat itu senantiasa ada dan muncul dengan baju baru di setiap masa.
Dan di masa ini ada orang yang memunculkan bahwa masalah pengudzuran dengan sebab kebodohan dalam syirik akbar ini adalah masalah yang ada perselisihan di dalamnya terus dia menghikayatkan perselisihan atas dua pendapat, dan ini ada dalam sebagian kitab-kitab dan diktat-diktat masa kini, padahal sesungguhnya bila dia menyebutkan perselisihan itu tidaklah dia menyandarkannya kepada seorangpun, akan tetapi dia menyandarkanya begitu saja. Sedangkan sumber muncul pemahaman ini adalah dugaan mereka bahwa Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab  memiliki dua pendapat dalam masalah ini, di mana mereka melihat kepada sebagian teks-teks Syaikh Muhammad, terus mereka memahami pengudzuran dengan sebab kebodohan darinya. Jadi pernyataan ini dibangun di atas praduga perkiraan dan pemahaman yang salah dan ini insya Allah, kami akan membicarakannya dalam pasal-pasal berikutnya serta kami akan menjawab di dalamnya tentang orang yang memahami teks-teks ucapan beliau itu di atas makna yang tidak dimaksudkan oleh beliau dan kami akan menuturkan pemahaman yang benar untuk itu…
Dan ringkasnya bahwa penghikayatan perselisihan dalam masalah al ‘udzru bil jahli adalah muhdats (hal baru / bid’ah) yang tidak muncul kecuali di zaman ini, adapun di zaman-zaman yang lalu maka sesungguhnya ia disebutkan atas dasar bahwa ia ijtihad yang tidak dianggap sebagai perselisihan di dalamnya, dan ini adalah seperti masalah orang yang mengatakan bahwa takfier jahmiyyah itu ada perselisihan di dalamnya menjadi dua pendapat, kemudian ia menghikayatkan perselisihan itu tanpa menyandarkannya kepada seorangpun akan tetapi ia hanyalah dugaan yang salah yang dibangun di atas pemahaman yang salah terhadap sebagian ucapan Ibnu Taimiyyah (dan orang yang mengatakan ini tidak membedakan antara penggunaan-penggunaan Ibnu Taimiyyah terhadap penyebutan jahmiyyah, maka penyebutan ini berbeda sesuai konteks), dan ini muncul pada zaman Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman, maka beliau membantah mereka (dengan menjelaskan) bahwa masalah ini adalah masalah yang sudah disepakati dalam takfier jahmiyah dan tidak ada perselisihan di dalamnya sebagaimana dalam kitabnya Raf’ul Iltibas dan kitab Kasyfusy syubhatain. Dan kami akan menukil ucapannya dalam hal ini Insya Allah dalam pasal-pasal berikutnya. Dan tampil juga dalam menghadang hal itu Abdullah dan Ibrahim putra Asy-Syaikh Abdullathif, mereka berkata : [ Dan adapun memohon kepada orang-orang sholeh, istighatsah dengan mereka dan menuju mereka dalam kondisi-kondisi genting dan sulit, maka ini tidak seorang muslimpun menyelisihi dalam pengharamannya dan (dalam) vonis bahwa ia termasuk dalam syirik akbar, maka dalam pengkafiran mereka dan pengkafiran jahmiyyah tidak ada dua pendapat] (An-Najdiyyah3/66) wallahu’alam.
.                                              PASAL KEDUA
Apakah Orang Yang Jatuh Dalam Syirik Akbar Dinamakan  Musyrik
Dengan Sekedar Perbuatan Dan Keterjatuhan Dia Di Dalamnya Dan Dikhawatirkan Terhadapnya Dari Hal Itu Walaupun Dia Itu Jahil  Atau Muqallid Atau  Yang Melakukan Takwil Atau Yang Keliru Ijtihad Ataukah Tidak?
Dan dibangun di atas hal itu apakah kebodohan (al jahlu) itu udzur dalam syirik akbar ataukah bukan udzur sebagaimana ia madzhab salaf seperti yang akan datang nanti Insya Allah  ta’ala, dan seperti itu juga takwil, taqlid dan keliru ijtihad. Dan ini menarik kami untuk menjabarkan masalah yang agung ini yang mana ia adalah termasuk bab-bab terpenting pengkajian tauhid dan pemahaman syirik. Dan ia juga temasuk bab-bab terpenting pemilahan antara asma’ (nama-nama) dengan ahkam (hukum-hukum) sesekali, dan tidak memilahkannya  di tempat lain pada lain kali, dan sedangkan hal ini mengharuskan penyebutan masalah lewat pasal-pasal, nukilan-nukilan, dan catatan-catatan yang di dalamnya kami menuturkan ucapan para ulama kemudian ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan ucapan murid-muridnya semenjak zaman Syaikh hingga sekarang, dan sebelum itu adalah ucapan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, dan kami menukil ijma-ijma dalam hal itu dan qiyas-qiyas yang shahih dalam hal itu dan sekarang kami masuk dalam masalah ini seraya kami katakan :
PASAL KETIGA
Nukilan-Nukilan Dari Ucapan Ulama Tentang Masalah Al Jahlu
(1)   Dan dalam Ash-Shahih dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu tentang kaum Nuh ‘alaihissalam [Kemudian tatkala ilmu dilupakan maka hal-hal itu diibadati] selesai, yaitu diibadati saat kebodohan, maka mereka dinamakan orang-orang yang beribadah kepada selain Allah walau mereka bodoh.
(2)   Dalam Badaa-i’ush Shanaa-i’ 7/132 [ Kitab Assiyar, bab hukum-hukum yang berbeda-beda dengan sebab perbedaan dua negeri, berkata: Maka sesungguhnya Abu Yusuf meriwayatkan dari Abu Hanifah [ ia pernah berkata tidak ada udzur bagi seorang makhlukpun dalam kebodohannya terhadap pengetahuan akan Penciptanya, karena kewajiban atas seluruh makhluk adalah mengenal Ar-Rabb Subhanahu wa ta’aala dan mentauhidkan-Nya, karena apa yang dia lihat berupa penciptaan langit dan bumi serta penciptaan dirinya dan penciptaan makhluk Allah Subhanahu wa ta’aala lainnya. Adapun faraaidh (hal-hal yang difardlukan syari’at), maka orang yang belum mengetahuinya dan belum sampai (hujjah) kepadanya maka sesungguhnya ini belum tegak atasnya hujjah hukmiyyah ] selesai
(3)   Asy-Syaikh Abdulathif  berkata dalam Mishbahudh Dhalam hal :123 dan dalam kitab As-Sunnah karya Abdullah Ibnu Ahmad: Telah memberitahu kami Abu Sa’id Ibnu Ya’qub Ath-Thaliqaniy, telah mengabari kami  Al Mua-mmil Ibnu Ismail, saya telah mendengar ‘Imarah Ibnu Zazan berkata : Telah sampai kabar kepadaku bahwa Qadariyyah dikumpulkan di hari kiamat bersama kaum musyrikin, maka mereka berkata :D emi Allah kami tidak pernah menyekutukan (Allah); maka dikatakan kepada mereka: Sesungguhnya kalian ini telah menyekutukan (Allah) dari arah yang kalian tidak ketahui ,”selesai. Tidak kalian ketahui artinya bodoh  (juhhal) .
(4)   Ibnu Jarir berkata dalam tafsirnya tentang firman Allah ta’ala dalam surat Al- A’raf 30:
[Sebagian telah diberi-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaithan-syaithan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk], beliau berkata : Sesungguhnya sebagian yang telah pasti kesesatan bagi mereka, hanyalah mereka itu sesat dari jalan Allah dan menyimpang dari jalan yang terang adalah dengan sebab mereka menjadikan syaithan-syaithan pelindung dan penolong (mereka) selain Allah, karena kejahilan mereka terhadap kesalahan apa yang mereka lakukan itu, bahkan mereka melakukan hal itu sedang mereka mengira bahwa mereka itu berada di atas petunjuk dan kebenaran serta bahwa yang benar itu adalah apa yang mereka lakukan dan kerjakan. Dan ini adalah termasuk dalil yang paling jelas terhadap kekeliruan ucapan orang yang mengklaim bahwa Allah tidak akan mengadzab seorangpun atas maksiat yang ia kerjakan atau kesesatan yang dia yakini kecuali bila dia melakukannya setelah ia mengetahui kebenaran yang sebenarnya terus ia melakukan maksiat/kesesatan itu sebagai pembangkangan darinya terhadap Raab-nya, karena hal itu seandainya seperti itu tentulah tidak ada perbedaan antara golongan kesesatan yang telah sesat sedang dia mengira bahwa ia mendapat petunjuk dengan golongan yang mendapat petunjuk, padahal Allah telah membedakan antara nama-namanya dan hukum-hukumnya dalam ayat ini ,” selesai. Dan Syaikh Aba Buthain telah menukil dari Ibnu Jarir pada tafsir firman Allah ta’ala:
[Sebagian di beri-Nya petunjuk dan sebagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaithon-syaithon pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk ] (Al-A’raf :30) Ibnu Jarir  berkata : Dan ini menunjukkan bahwa al jahil (orang yang bodoh) itu tidak di udzur. ( Ad Durar  10/392) dan silakan rujuk juga ucapan Ibnu Jarir  dalam surat Al Kahfi :104.
(5)   Ibnu Katsir telah menukil ucapan Ibnu Jarir tersebut seraya menyetujuinya dan mengakuinya pada tafsir ayat yang lalu .
(6)   Al Baghawiy rahimahullah berkata pada tafsir ayat itu juga  [Dan di dalamnya ada dalil yang menunjukan bahwa orang kafir yang mengira bahwa ia dalam ajarannya itu berada di atas yang haq dan orang yang mengingkari serta orang yang membangkang adalah sama] selesai.
(7)   Al-Bukhariy berkata dalam Ash-Shahih di kitab Al Iman pada bab maksiat itu termasuk urusan jahiliyyah, berkata: Dan pelakunya tidak dikafirkan dengan sebab melanggarnya kecuali dengan sebab syirik berdasarkan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam [Sesungguhnya kamu adalah orang yang kejahiliyahan pada dirimu] dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:
[Sesunguhnya Allah tidak mengampuni (dosa) penyekutuan terhadap-Nya, dan Dia mengampuni (dosa) di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya] (An Nisa: 116).
(8)   Ibnu Mandah rahimahullah berkata dalam kitabnya At-Tauhid 1/314: Bab penuturan bahwa mujtahid yang keliru dalam ma’rifatullah ‘azza wa jalla dan keesaan-Nya adalah seperti mu’anid (orang yang membangkang). Kemudian beliau berkata : Allah ta’ala berfirman seraya mengabarkan tentang kesesatan mereka dan pembangkangan mereka:
[Katakanlah: “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang yang merugi perbuatannya ?” yaitu orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat dengan sebaik-baiknya] (Al Kahfi :103-104), kemudian beliau menukil atsar Ali Ibnu Abi Thalib tatkala ditanya tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya, maka beliau berkata : Kaum kafir ahli kitab, para pendahulu mereka dahulunya di atas kebenaran terus mereka menyekutukan Rabb mereka ‘azza wa jalla dan melakukan bid’ah dalam dien mereka serta mengada-ada atas diri mereka, maka mereka itu berkumpul di dalam kesesatan dan mereka menyangka bahwa mereka itu di atas kebenaran dan mereka ijtihad (bersungguh-sungguh ) dalam kebatilan serta mereka menyangka bahwa mereka itu di atas kebenaran, sungguh telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya, dan Ali radhiallahu’anhu berkata: Di antara meraka ada Ahli Harura (Khawarij Haruriyyah).
Kemudain ia menuturkan atsar Salman Al-Farisiy radhiallahu’anhu tatkala ia menuturkan kepada Rasulullah keadaan orang-orang nashrani sebelum diutus beliau bahwa mereka melakukan shaum, shalat dan bersaksi bahwa engkau akan diutus, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam berkata : Mereka itu termasuk penghuni neraka.
(9) Al Barbahariy berkata dalam kitabnya Syarhus Sunnah no:49 [ Dan seorangpun  dari ahli kiblat tidak dikeluarkan dari islam sehingga ia menolak satu ayat dari Kitabullah ‘azza wa jalla atau menolak suatu dari atsar-atsar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam atau menyembelih kepada selain Allah atau shalat kepada selain Allah, dan barang siapa melakukan suatu dari hal itu maka telah wajib atas dirimu untuk mengeluarkan dia dari Islam. Dan bila dia tidak melakukan sesuatu dari hal itu maka dia itu mu’min muslim secara nama bukan secara hakikat (sebenarnya)] selesai.
Dan sebelum itu beliau menukil ucapan Umar radhiallahu’anhu [Tidak ada udzur bagi seorangpun dalam kesesatan yang ia lakukan yang ia menyangkanya sebagai petunjuk (kebenaran) dan (tidak ada udzur) dalam petunjuk (kebenaran) yang ia menyangkanya sebagai kesesatan, karena sungguh segala sesuatu telah dijelaskan dan hujjah telah tegak serta udzur telah terputus]
(10) Al-Lalikaiy berkata dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah 3/528, bab penuturan apa yang diriwayatkan dalam pengkafiran Al-Musyabbihah, berkata: Daud Al Jawaribiy  berbicara tentang tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya), maka berkumpullah penduduk Wasith di antaranya Muhammad Ibnu Yazid, Khalid Ath-Thahhan, Hasyim dan yang lainnya, mereka mendatangi Gubernur dan memberitahunya tentang pendapat dia itu maka mereka sepakat untuk menumpahkan darahnya.
Dan beliau menukil dari Yazid Ibnu Harun, berkata [Jahmiyyah dan musyabbihah diistitabah (disuruh taubat). Begitu beliau menuduh mereka dengan hal yang besar ].
Dan menukil dari Nu’aim Ibnu Hamdan, berkata: Barangsiapa menyerupakan Allah dengan sesuatu dari makhluk-Nya maka dia telah kafir, dan barangsiapa mengingkari sifat yang telah Allah tetapkan bagi Diri-Nya maka dia telah kafir. Dan ia menukil dari Ishaq Ibnu Rahwiyyah, berkata: Barangsiapa mensifati Allah terus dia menyerupakan sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat sesuatu dari makhluk Allah maka dia kafir kepada Allah yang Maha Agung, selesai.
[Dan barang siapa beribadah kepada selain Allah maka dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, diman dia menjadikan sebagian makhluk Allah sebagai tuhan yang diibadati ].
(11) Dan Al-Qurtubiy berkata dalam tafsirnya 7/319 pada ayat mitsaq, beliau berkata di akhirnya [Dan tidak ada udzur bagi muqallid (orang yang taqlid) dalam tauhid]. Selesai
(12) Al-Qadli ‘Iyadl berkata dalam kitabnya Asy-Syifa di akhirnya pada pasal penjelasan ungkapan-ungkapan yang merupakan kekafiran dan yang masih diperselisihkan di dalamnya serta bukan kekafiran. Dan yang paling pertama beliau tuturkan adalah bahwa setiap ungkapan yang secara tegas menafikan rububiyyah dan wahdaniyyah (keesaan) atau peribadatan sesuatu kepada selain Allah atau (peribadatan sesuatu) di samping Allah, maka ia adalah kekafiran,” selesai.
(13) Abu Wafa’ Ibnu ‘Uqail rahimahullah berkata tentang orang yang menyeru penghuni kubur dan memasukkan kertas di atas kuburan bahwa itu termasuk syirik akbar. Dan para aimmah dakwah telah menukil hal itu secara sering darinya dalam bentuk pengakuan terhadapnya. Syaikh Muhammad berkata dalam Tarikh Nejed hal :266 [Dan Ibnu ‘Uqail  menuturkan bahwa mereka itu kafir dengan perbuatan ini, yaitu ;penyeruan penghuni kubur dan memasukkan kartas]. Dan Syaikh Aba Buthain berkata: [Telah lalu ucapan Ibnu ‘Uqail dalam pemastiannya tentang kekafiran orang yang beliau cap mereka dengan kebodohan dalam apa yang mereka lakukan berupa sikap ghuluw terhadap kuburan, Ibnu Qayyim menukil ucapan ini dengan seraya menganggapnya baik] (Ad-Durar 10/387).
(14) Asy-Syaukani berkata dalam Irsyadul Fuhul pada bab ijtihad           [Kekeliruran yang mana ia menjadi penghaang dari mengenal Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dalam penetapan ilmu terhadap sang Pencipta, tauhid dan keadilan, mereka berkata : Maka hal ini kebenaran di dalamnya adalah satu, barangsiapa menepatinya maka ia menepati kebenaran dan barangsiapa keliru di dalamnya maka dia kafir ] dan berkata juga [sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallah tanpa mengamalkan akan maknanya tidaklah menetapkan keislaman, karena sesungguhnya seandainya ia diucapkan oleh seorang dari ahli jahiliyyah dan ia masih tetap menyembah berhalanya, tentulah itu bukan keislaman ] (Ad-Durr An Nadlid hal:40)[1]
(15) Ibnu Farhun berkata dalam Tabshiratul Hukkam pada bab riddah, berkata [Masalah, dan barangsiapa menyembah matahari atau bulan atau batu atau yang lainnya maka sesungguhnya dia itu dibunuh dan tidak disuruh taubat].
(16) Ibnu Qudamah berkata dalam Raudlatun Nadhir pada bab ijtihad [Dan Al-Jahidh mengklaim  bahwa orang yang menyelisihi millatul islam bila dia mengamati terus dia tidak mampu dari mencapai al haq maka dia itu diudzur lagi tidak dosa, dan (klaim) ini adalah kebatilan secara menyakinkan dan kekafiran terhadap Allah ta’alaa serta penolakan terhadap-Nya dan terhadap Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam, karena sesungguhnya kami mengetahui secara pasti bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan orang yahudi dan nashrani untuk masuk Islam dan mengikutinya, serta mencela mereka atas sikap kebersikukuhan mereka, dan kita memerangi mereka semua dan membunuh orang yang baligh di antara mereka, serta kita mengetahui bahwa orang yang mu’anid lagi mengetahui itu termasuk sedikit, namun sesungguhnya mayoritas mereka adalah muqallid yang meyakini ajaran nenek moyang mereka secara taqlid dan mereka tidak mengetahui mu’jizat Rasulullah, kemudian beliau menuturkan ayat-ayat tentang hal itu].
(17)  Adapun Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Abdul Wahhab, maka beliau memiliki kitab tersendiri dalam hal itu, yaitu kitab Al Kalimat An-Nafi’ah Fil Mukaffirat Al-Waqi’ah dan ia itu ada dalam Ad-Durar 10/149 tentang penuturan  ucapan ulama mujtahidin yang mengikuti madzhab yang empat tentang apa yang dengannya orang muslim menjadi kafir dan murtad, dan bahwa mereka memulai bab hukum murtad dengan pembicaraan pada syirik akbar dan pengkafiran mereka terhadap para pelakunya serta ketidakdiudzuran mereka dengan kebodohan.
Beliau menuturkan ucapan ulama madzhab syafi’iy, dan beliau sebutkan di antara mereka Ibnu Hajar Al-Haitamiy  dalam kitab AZ-Zawajir ’An-Iqtirafil Kabaair pada dosa  besar yang pertama, dan beliau  menegaskan ketidakdiudzuran dengan sebab kejahilan dalam ucapannya : Penjelasan Syirik, dan penuturan sejumlah dari macam-macamnya karena seringnya ia terjadi pada manusia dan pada lisan kalangan awam tanpa mereka mengetahui (yaitu mereka jahil) bahwa seperti itu. Dan beliau menukil ucapan An-Nawawiy dalam Syarah Muslim tentang penyembelihan untuk selain Allah sebagai pengagungan bahwa itu syirik dan ia menjadi murtad dengan sebab penyembelihannya itu (dan ini adalah ta’yin kerena larangan dari sembelihan itu adalah bagi orang mu’ayyan dengannya). Dan beliau menukil ucapan  Abu Syamah dalam Al-Baa’its. Dan menukil ucapan pemilik kitab Tabyinul Maharim dalam bab Al-Kufr, dan menyebutkan macam-macam dari syirik akbar, di antaranya orang yang sujud (beribadah) kepada selain Allah atau menyekutukan sesuatau dari makhluk-Nya dalam ibadah kepada-Nya, bahwa ia adalah kekafiran berdasarkan ijma dan ia dibunuh bila bersikukuh di atas itu. Dan menukil ucapan Syaikh Qasim dalam Syarah Ad-Durar tentang orang yang menyeru kepada selain Allah atau nadzar kepada selain-Nya dan bahwa ia telah kafir. Dan dari ucapan ulama madzhab Malikiy beliau menukil ucapan Abi Bakar Ath-Thurthusiy, dan menegaskan bahwa hal-hal yang dilakukan di zamannya berupa sikap sengaja mempersembahkan (sesuatu) kepada pohon dan yang lainnya bahwa ia adalah seperti perbuataan kaum musyrikin. Kemudian menuturkan ucapan ulama madzhab Hanbaliy, di mana beliau menyebutkan ucapan Ibnu ‘Uqail tentang pengkafirannya terhadap orang yang mengagungkan kuburan dan yang mengkhithabi orang yang sudah mati dengan kebutuhan, bahwa mereka itu juga kafir. Dan menukil ucapan Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim dan ayahnya, dan beliau panjang lebar dalam hal itu pada takfier orang yang menyekutukan Allah serta tidak mengudzurnya dengan kebodohan.” Selesai seraya diringkas.
PASAL KEEMPAT
Nukilan-Nukilan Penjelasan
Dari Ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
Yang Menjadi Jelas Di Dalam Ucapan-Ucapan Beliau Dalam Masalah Ini
Peringatan: Insya Allah kami akan meletakkan catatan kaki di bawah halaman untuk mengomentari hal-hal yang butuh akan itu karena hal penting setelah selesai dari apa yang berkaitan dengan  Syaikh Muhammad,  adapun yang berkaitan dengannya mayoritas komentar adalah mengikuti apa yang kami nukil darinya .
(1)            Dan sebelum nukilan-nukilan itu kami ingin menjelaskan bahwa Syaikh Muhammad memiliki kitab yang menyendiri yang khusus tentang masalah ini, yaitu kitab Mufidul Mustafid Fi Kufri Taarikit Tauhid, dan perhatikan teks ucapan beliau dalam judul kitab yang menegaskan pengkafiran orang yang meninggalkan tauhid yang sudah secara pasti adalah pelaku syirik, jadi dalam judul kitab itu ada takfier mu’ayyan (orang tertentu) bila dia berbuat syirik, dan beliau telah menyerang terhadap orang yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyyah tidak mengkafirkan mu’ayyan dalam hal syirik .
(2)            Kitab Kasyfusy Syubuhat dalam banyak tempat darinya ada penegasan tentang ketidakdiudzuran dalam syirik akbar dengan sebab kebodahan.
(3) Juga dalam risalah sepuluh pembatal keislaman milik beliau rahimahullah, beliau tidak mengudzur di dalamnya dengan sebab kebodohan, dan itu saat menuturkan sepuluh pembatal keislaman beliau menegaskan akan kesamaan hukum orang yang serius, main-main, berkelakar dan yang takut saat terjatuh di dalamnya kecuali orang yang dipaksa, dan beliau tidak mengecualikan kecuali orang yang dipaksa, seperti orang jahil atau yang melakukan takwil atau yang keliru (ijtihad),” selesai, silakan rujuk Fatawa Aimmah An-Najdiyyah 3/188.
(4)            Dan di antara nukilan adalah ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dalam Ad-Durar As-Saniyyah 8/188 tatkala menuturkan kaum murtaddin dan kelompok-kelompok mereka, di antara mereka ada orang yang mendustakan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan kembali kepada peribadatan terhadap berhala-berhala, dan di antara mereka ada yang mengakui kenabian Musailamah dengan dugaan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyertakannya dalam kenabian, namun dengan demikian para ulama ijma bahwa mereka itu murtad walaupun mereka jahil akan hal itu, dan barangsiapa ragu akan kemurtadan mereka maka ia kafir.
(5)            Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab  berkaa dalam Ad-Durar 9/405-406 tatkala menukil ucapan  Ibnu Taimiyyah dalam hal takfier : Dan ucapan Ibnu Taimiyyah [2] di setiap tempat yang kami kaji dari ucapannya tidak menyebutkan sikap tidak takfier mu’ayyan melainkan beliau melanjutkannya dengan sesuatu yang menghilangkan isykal (kesamaran) itu bahwa yang dimaksud dengan sikap tawaqquf dari takfier mu’ayyan [3] ini adalah sebelum hujjah sampai kepada dia. Adapun bila hujjah telah sampai kepadanya maka dia dihukumi dengan apa yang dituntut oleh masalah ini berupa takfier atau tafsiq atau maksiat, dan Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menegaskan bahwa ucapannya ini adalah bukan dalam Al-Masaail Adl-Dhahirah (masalah-masalah yang tampak) di mana beliau berkata dalam bantahannya terhadap ahli kalam tatkala beliau menuturkan bahwa sebagian tokoh mareka didapatkan darinya kemurtadan dari Islam secara banyak, beliau berkata: Dan ini bila dalam al-Maqaalat alKhkafiyyah (masalah-masalah yang samar) bisa dikatakan bahwa ia didalamnya adalah keliru lagi sesat yang belum tegak atasnya hujjah yang  mana dikafirkan orang yang meninggalkannya, akan tetapi ini muncul dari mereka dalam urusan-urusan yang mana kalangan khusus dan umum[4] dari kaum muslimin mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diutus dengannya dan mengkafirkan orang yang menyelisihinya, seperti peribadatan kepada Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangannya dari selain Allah baik itu malaikat, para Nabi dan yang lainnya, maka sesungguhnya ini adalah ajaran islam yang paling nampak, dan seperti pengwajiban-Nya akan shalat yang lima waktu dan pengagungan statusnya, seperti pengharaman fawahisy (perbuatan-perbuatan yang keji, zina, khamr, dan judi, kemudian engkau mendapatkan banyak dari pemimpin-pemimpin mereka terjatuh di dalamnya, sehingga mereka itu murtad, kemudian beliau menyebutkan masalah takfier mu’ayyan setelah tegak hujjah dan berkata : Kami tidak mengetahui dari seorang ulama pun penyelisihan dalam masalah ini.
(6)            Risalah-risalah dan teks-teks ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab menunjukkan bahwa syaikh tidak mengudzur dengan sebab kebodohan, dan beliau menamakan orang yang melakukan syirik sebagai orang musyrik dan tergolong kaum musyrikin, dan dimaksudkan dengan nama kafir bagi Syaikh kadang dengan makna syirik bila hujjah belum tegak atasnya, adapun bila hujjah sudah tegak atasnya maka beliau menamakan Musyrik Kafir. Dan mungkin engkau merasa heran dari ini yaitu pemilihan antara nama-nama sebelum hujjah dengan nama-nama setelah hujjah, akan tetapi memang inilah al haq dan madzhab ahli sunnah sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Taimiyyah, silahkan rujuk  Al-Fatawa 20/37-38 dalam dua halaman yang di dalamnya terdapat berlian yang ditulis dengan air emas sebagaimana ungkapan dan ia adalah metode Ibnu Qayyim dan para aimmatud dakwah, dan semua mereka menukil ijma terhadapnya sebagaiman engkau akan melihat banyak hal itu Insya Allah bila engkau menuntaskan bacaan sampai akhir ucapan aimmatud dakwah.
Dan sekarang kita kembali kepada teks-teks ucapan Syaikh:
Teks Pertama:
Apa yang syaikh tuturkan dalam kitab yang sama Kasyfusy Syubuhat hal:9 terbitan Dar Ats-Tsaqafah Lith-Thiba’ah, di mana beliau berkata : “ Sesungguhnya bila engkau telah mengetahui bahwa orang menjadi kafir dengan sebab satu ucapan yang diutarakan dari lisannya dan bisa jadi dia mengucapkannya sedang ia itu jahil maka tidak diudzur dengan sebab kejahilan …”selesai. (Keberadaan dia sebagai orang jahil tidak menghalangi dari mengkafirkannya ).
Teks Kedua:
Risalah tentang bantahan terhadap Ibnu Shabah, disebutkan dalam Tarikh Nejed Tahqiq Nashruddin Al-Asad hal 468 dalam bantahan beliau terhadap orang yang menuduh beliau dengan berbagai tuduhan, dan beliau membantahnya akan tetapi berkata disela-selanya : “Segala puji hanya bagi Allah, ‘amma ba’du :Maka apa yang disebutkan oleh kaum musyrikin (perhatikan di sini beliau menyebut mereka sebagai kaum musyrikin) tentang saya bahwa saya melarang dari bershalawat kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallaam atau bahkan saya berkata seandainya saya memegang kekuasaan sungguh saya akan merobohkan kubah Nabi shallallahu’alaihi wa sallaam, atau bahwa saya menjelek-jelekkan (orang-orang shaleh, atau saya melarang dari mencintai mereka, semua ini adalah dusta dan fitnah yang diada-adakan terhadap saya oleh syaithan-syaithan yang menginginkan makan harta manusia dengan bathil, seperti anak-anak Syamsan dan anak-anak Idris yang memerintahkan manusia agar nadzar bagi mereka, menyeru mereka dan memohon kepada mereka, dan begitu juga syaithan-syaithan yang miskin yang menisbatkan diri kepada Syaikh Abdul Qadir sedang beliau berlepas diri dari mereka seperti keberlepasan Ali Ibnu Abi Tholib  dari kaum Rafidlah. Maka tatkala mereka melihat saya memerintahkan manusia dengan apa yang diperintahkan Nabi mereka shallallaahu ‘alaihi wasallam yaitu janganlah mereka beribadah kecuali kepada Allah dan bahwa orang yang menyeru Abdul Qadir maka dia kafir, dan Abdul Qadir  berlepas diri darinya, dan begitu juga siapa yang menyeru orang-orang sholeh atau auliya atau memohon kepada mereka atau sujud kepada mereka…”selesai.
Dan bukti masalah adalah ucapannya: “dan bahwa orang yang menyeru Abdul Qadir maka dia kafir.” Ini adalah penegasan bahwa beliau mengkafirkan orang yang menyeru Abdul Qadir dan yang semisalnya [dan amatilah bahwa beliau mensifatinya sebagai orang yang mengibadati Abdul Qadir, sedang orang yang melakukan syirik adalah diberi penamaannya, sehingga ia dinamai musyrik kafir].
Kemudian beliau berkata di akhir risalah: “ Bila orang mengkultuskan Isa Ibnu Maryam padahal beliau itu adalah Nabi, menyerunya dan memohon kepadanya, maka dia telah kafir, maka bagaimana dengan orang yang mengkultuskan syaithan-syaithan seperti anjing Abu Hadidah dan Utsman yang di lembah, dan anjiang lain di Kharaj serta yang lainnnya di tempat-tempat lain …” selesai. Dan bukti masalah adalah ucapannya: “orang yang menyakini pada Isa Ibnu Maryam maka ia telah kafir.”
Kemudian beliau berkata di akhir risalah tentang pengkultusan orang-orang sholeh: “justru ia adalah peribadatan kepada berhala, siapa yang melakukannya maka ia kafir …”selesai.[mengaitkan hukum kepada perbuatan, sedangkan perbuatan yang ia lakukan adalah peribadatan terhadap berhala, dan mustahil secara syari’at orang yang beribadah kepada berhala atau kuburan dinamakan muslim walaupun ia jahil].
Teks Ketiga:
Ada dalam Tarikh Nejed hal 474 pada lembaran-lembaran yang beliau tulis sebagai bantahan terhadap Ibnu Suhaim, berkata di dalamnya : bila kami mengkafirkan orang yang mengatakan bahwa Abdul Qadir dan para wali itu memiliki manfaat dan mudlarat, maka dia berkata: Kalian telah mengkafirkan orang islam, dan bila kami mengkafirkan orang yang menyeru Syamsan, Taj dan Khaththab, maka dia berkata kalian telah kafirkan Islam …”
Dan bukti masalah darinya bahwa Syaikh mengkafirkan orang yang beribadah kepada Abdul Qadir, dan mengkafirkan orang yang menyeru Syamsan – di mana ia adalah seorang shufiyyah yang ada di Kharaj zaman Syaikh Muhammad -.
Teks Keempat:
Dan ia adalah risalah yang beliau kirim kepada Muhammad Ibnu ‘Ied – salah seorang ulama Tsurmuda – yang ada di Tarikh nejed hal 263, berkata setelah ucapan: “Tapi saya memastikan bahwa kekafiran orang yang menyembah kuburan Abu Thalib itu tidak mencapai seperpuluh kekafiran Al-Muwais dan orang-orang yang semacam dia …”selesai.
Dan bukti masalah adalah: Bahwa beliau memastikan kekafiran orang yang menyembah kuburan dan tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan.
Teks Kelima:
Risalah yang beliau kirim kepada Abdullah Ibnu Isa qadli kota Dir’iyyah, dan risalah ini ada dalam Tarikh Nejed di risalah ke 14 hal 324, beliau mengirimnya seraya mengingkari terhadapnya, bagaimana ia memiliki isykal prihal pengkafiran para thaghut, maka Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata:“ Sungguh Ahmad telah menuturkan kepada saya bahwa masih ada isykal atas kalian untuk memfatwakan kekafiran para thaghut itu seperti anak-anak Syamsan dan anak-anak Idris, dan orang-orang yang mereka ibadati seperti Thalib dan orang-orang semisal mereka …” selesai.
Dan nampak jelas dari nash ini pengkafiran beliau terhadap orang-orang yang mengibadati para thaghut, bahkan pengingkaran beliau terhadap orang yang tidak mengkafirkan para thaghut, atau orang yang mengibadati para thaghut, dan perhatikanlah bahwa beliau menamakan mereka para thaghut dan menamakan Thalib dan orang yang semisal dia sebagai orang yang mengibadati para thaghut, sedangkan orang yang mengibadati para thaghut itu tidak mungkin sebagai muslim walaupun dia jahil apalagi sebagai muwahhid, karena nama syirik itu mencakupnya dan pantas melekat padanya.
Teks Keenam:
Risalah yang beliau kirim kepada Abdurrahman Ibnu Rabi’ah salah seorang ulama kota Tsadiq dan ia adalah risalah yang ke-20 dalam Tarikh Nejed hal 341, beliau berkata setelah ucapan :” Barangsiapa beribadah kepada Allah malam dan siang kemudian dia menyeru kepada Nabi atau wali di sisi kuburnya, maka dia sungguh telah menjadikan dua tuhan dan tidak bersaksi akan Laa ilaaha illallah, karena ilah itu adalah apa yang diseru, sebagaimana yang dilakukan kaum musyrikin hari ini di kuburan Az-Zubair atau Abdul Qadir atau yang lainnya, dan sebagaimana yang dilakukan sebelumnya di kuburan Zaid dan yang lainnya….”selesai.
Dan buktinya adalah bahwa beliau telah menamakan mereka musyrikin bagi orang  yang mengibadati penghuni kubur-kubur tersebut dan menamakan mereka juga bahwa mereka termasuk orang yang menjadikan dua tuhan.
Teks Ketujuh:
Risalah yang beliau kirim kepada Sulaiman Ibnu Suhaim qadli Riyad, yaitu risalah ke-9 dari Tarikh Nejed hal 304, beliau berkata setelah ucapan:“ Dan sesungguhnya kami telah mengkafirkan para thaghut, penduduk Kharaj dan yang lain-lainnya karena hal-hal yang mereka kerjakan, di antaranya bahwa mereka menjadikan bapak-bapak dan kakek-kakek mereka sebagai perantara, dan di antaranya bahwa mereka mengajak manusia kepada kekafiran, dan di antaranya mereka membuat manusia benci kepada dien Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam”selesai.
Dan buktinya adalah: “Bahwa beliau mengkafirkan orang yang menjadikan perantara antara dia dengan Allah. Dan dalam risalah yang sama hal 305 beliau berkata seraya melontarkan isykal terhadap Ibnu Suhaim, berkata: “Dan apa yang kamu katakan tentang orang-orang yang mengkultuskan Ali Ibnu Abi Thalib seperti pengkultusan banyak manusia terhadap Abdul Qadir dan yang lainnya …” selesai [Dan perhatikan bahwa beliau mengkafirkan penduduk Kharaj dengan sebab menjadikan perantara, di mana beliau menjadikan alasan hukum adalah perbuatan dan beliau menyandangkan nama perbuatan itu terhadap mereka yaitu syirik] .
Teks Kedelapan:
Risalah jawaban dan bantahan terhadap tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepadanya, ia ada di Tarikh Nejed hal 274, dan ia adalah kumpulan dari tuduhan-tuduhan dan fitnah-fitnah terhadap Syaikh.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab mengakui sebagiannya bahwa beliau mengatakannya, dan diantaranya: pengkafiran orang yang nadzar bila dia memaksudkan dengannya taqarrub kepada selain Allah dan mengambil nadzar-nadzar juga seperti itu, dan di antaranya bahwa penyembelihan buat jin adalah kekafiran dan sembelihannya haram walaupun dia menyebutkan nama Allah di atasnya saat ia menyembelihnya buat jin, maka ini adalah lima masalah yang semuanya benar dan saya memang mengatakannya…”sampai beliau berkata :” Akhirnya sekelompok dari orang-orang yang sesat, mereka menyeru orang-orang dari kalangan shalihin dalam kondisi sulit dan senang seperti Abdul Qadir Al-Jailaniy, Ahmad Al-Badawiy, ‘Addiy ibnu Musafir dan yang lainnya dari kalangan ahli ibadah dan shalihin ….” Kemudian menuturkan bahwa ulama telah mengingkari peribadatan kepada orang-orang shaleh, sampai beliau berkata :” Dan ahli ilmu menjelaskan bahwa hal-hal seperti ini adalah syirik akbar ….”selesai.
Dan buktinya: Bahwa beliau telah menamakan orang yang menyembah tiga kuburan ini sebagai orang-orang yang sesat, dan bahwa ialah syirik akbar, sampai berkata:” Maka perhatikan hal ini, bila ucapannya ini tentang Ali, maka bagaimana gerangan dengan orang yang mengkalim bahwa Ibnu ‘Arabiy dan Abdul Qadir adalah ilah ….”selesai.
Teks Kesembilan:
Risalah yang beliau kirim kepada salah seorang ulama Ahsa yang bernama Ahmad Ibnu Abdil Karim, dan ia adalah risalah ke-21 di Tarikh Nejed hal 346.
Dan Ahmad Ibnu Abdil Karim Al-Ahsaiy ini tatkala tersamar atasnya perbuatan ‘Ubbadul Qubur karena kejahilan mereka, dan dia ini mengingkari takfier mu’ayyan bagi orang yang menyembah kuburan karena kejahilannya, serta dia membolehkan Takfier Nau’ (muthlaq) tidak mu’ayyan yaitu bahwa perbuatannya kufur dan syirik sedang orangnya tidak musyrik dan tidak kafir karena dia jahil, maka Syaikh Muahammad mendebatnya dalam risalah yang panjang yang mana Syaikh berkata di dalamnya:” Dan perhatikan takfier Ibnu Taimiyyah terhadap para tokoh mereka, si fulan dan si fulan secara ta’yin, dan kemurtadan mereka secara nyata.
Dan perhatikan penegasan beliau akan penghikayat ijma atas kemurtadan Al-Fakhr Ar-Raziy dari islam padahal dia itu menurut ulama kalian termasuk imam yang empat, apakah ini sejalan dengan apa yang kamu pahami dari ucapannya bahwa orang mu’ayyan tidak dikafirkan walaupun dia menyeru Abdil Qadir di waktu senggang dan sulit, dan walaupun mencintai Abdullah Ibnu ‘Aun serta mengklaim bahwa diennya bagus disertai peribadatan kepada Abu Hadidah….
Dan berkata dalam risalah itu juga sesudah menuturkan orang yang dikafirkan salaf, berkata : Dan ingatlah ucapannya dalam Al-Iqnaa’ dan syarahnya tentang riddah, bagaimana mereka menuturkan banyak hal yang ada pada kalian, kemudian Manshur Al-Bahutiy berkata: Dan bencana telah merebak rata pada kelompok-kelompok ini dan mereka merusak banyak dari aqidah ahli tauhid, kami memohon ampunan dan ‘afiyah kepada Allah. Dan ini adalah teks ucapannya secara persis, kemudian menuturkan pembunuhan salah seorang dari mereka dan status hartanya, Apakah pernah berkata seorang pun dari sejak sahabat sampai zaman Manshur Al-Bahutiy bahwa mereka dikafirkan na’unya[5] saja tidak mu’ayyannya. (Ad-Durar As-Sunniyyah 10 / 63-74). Maka lihatlah kepada takfier Syaikh Muhammad terhadap orang yang menyembah Abdul Qadir.
[ Dan keompok-kelompok yang dituturkan Al-Bahutiy dalam bab murtad adalah: Ahlul hulul wal ittihad, Rafidhah, Bathiniyyah, Qaramithah].
Teks Kesepuluh:
Ia adalah tentang tafsir kalimat tauhid dalam kumpulan Muallafat Asy-Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, jilid Al-Aqidah bagian pertama hal-363.
Syaikh berkata : Dan kamu melihat kaum musyrikin dari manusia zaman kita ini, dan bisa jadi sebagian mereka mengklaim bahwa ia termasuk ahli ilmu dan padanya ada sikap zuhud, sungguh-sungguh dalam ibadah, bila dia terkena kesulitan dia langsung istighatsah dengan selain Allah seperti Ma’ruf atau Abdul Qadil Al-Jailaniy, dan lebih agung dari mereka itu seperti Zaid Ibnu Khaththab dan Az-Zubair, dan lebih agung dari mereka itu seperti Rasulullah-shallallaahu ‘alaihi wasallam-Fallahul musta’an, dan lebih dahsyat dari perbuatan itu adalah istighatsah mereka dengan para thaghut, orang-orang kafir dan orang-orang bejat seperti Syamsan dan Idris, dikatakan baginya Al-Asyqar, Yusuf dan orang-orang semacam mereka.” Selesai
Dan buktinya: Penamaan beliau bagi orang yang menyembah mereka itu dengan sebutan kaum musyrikin, di mana ia  berkata di awal risalah, “Dan kamu melihat kaum musyrikin…”di mana beliau  sifati mereka bahwa mereka itu istighatsah dengan selain Allah, maka apakah mungkin mereka itu menjadi muslimin dan diberi nama islam dan iman sedangkan mereka itu beribadah kepada selain Allah, ini MUSTAHIL secara syari’at karena islam dan syirik itu dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa kumpul.
Teks Kesebelas:
Teks ini dianggap sebagai pamungkas yang menjelaskan masalah ini dengan penjelasan yang baik, jelas di dalamnya bahwa Syaikh tidak mengudzur dengan sebab kebodohan dalam syirik akbar, dan beliau akan sebutkan hal itu dalam risalah, dan beliau menamakan orang yang jatuh dalam syirik akbar karena kebodohan sebagai orang musyrik kecuali dalam Masaail Khafiyyah, sedangkan peribadatan kepada kuburan (ibadah kubur)[6]adalah termasuk masaail dzahirah bukan khafiyyah. Adapun takfier maka bila hujjah telah tegak atasnya SEDANGKAN dia adalah orang yang belum sampai dakwah kepadanya maka dia itu kafir dan mereka (yaitu orang-orang yang belum sampai dakwah itu) adalah tiga macam orang[7], adapun selain tiga macam orang itu maka hujjah telah tegak atas mereka sehingga nama musyrik dan kafier menempel pada mereka.
Rislah ini ditulis Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab untuk sebagin murid-muridnya di Dir’iyyah tatkala Syaikh masih di ‘Uyainah  di awal dakwahnya, dan murid-muridnya itu adalah : Isa Ibnu Qasim dan Ahmad Ibnu Suwailim, dan risalah ini ada dalam Tarikh Nejed hal : 410.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab merasa heran bagaiman mereka ragu akan pengkafiran para thaghut dan para pengikutnya itu dan apakah hujjah telah tegak atas mereka ataukah belum?
Dan Syaikh Muhammad mengingkari terhadap mereka tatkala merekaTawaqquf dalam takfier[8] para thaghut dan para pengikutnya karena mereka bodoh yang belum tegak hujjah atas mereka, maka beliau berkata : Apa yang telah saya utarakan kepada kalian dari ucapan Syaikh Ibnu Taimiyyah setiap orang yang mengingkari ini dan itu dan telah tegak hujjah atasnya, dan bahwa kalian ragu tentang para thaghut dan para pengikutnya itu apa sudah tegak hujjah atas mereka, maka ini termasuk suatu yang sangat mengherankan, bagaimana kalian ragu dalam hal ini padahal sudah sering saya jelaskan kepada kalian bahwa yang belum tegak hujjah atasnya [9] adalah orang yang baru masuk islam yang hidup tumbuh di pedalaman yang jauh atau hal itu dalam masalah yang samar seperti sharf dan ‘Athf ( pelet), maka tidak dikafirkan sampai di ta’rif (diberi penjelasan), dan adapun ushuluddin yang Allah telah jelaskan dan Dia bakukan dalam Kitab-Nya, maka sesungguhnya hujjah Allah adalah Al-Qur’an, barangsiapa telah sampai Al-Qur’an kepadanya maka hujjah telah sampai kepadanya. Akan tetapi sumber isykal adalah bahwa kalian tidak membedakan antara Qiyamul Hujjah (tegak hujjah) dengan Fahmul Hujjah (paham hujjah), karena mayoritas orang-orang kafir dan munafiqin itu adalah tidak memahami hujjah Allah walaupun hujjah itu telah tegak atas mereka, sebagaiman firman-Nya ta’ala :
“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu ),” <Al-Furqan:44>.
Qiyamul Hujjah dan sampainya hujjah adalah suatu hal, sedangkan kepahaman mereka akan hujjah adalah hal lain, dan Dia mengkafiran mereka dengan sebab sampainya hujjah kepada mereka walaupun mereka tidak memahaminya adalah hal lain pula…”
Kemudian belaiu menyebutkan orang-orang yang telah tegak hujjah atas mereka akan tetapi mereka tidak memahaminya, di mana beliau sebutkan Khawarij, dan beliau sebutkan Al-Ghaliyah yang dibakar oleh Ali, serta beliau sebutkan Ghullatul Qadariyyah, kemudian berkata : “ Dan bila kalian telah mengetahui hal itu maka inilah yang kalian alami sekarang, yaitu pada orang-ornag yang mengibadati para thaghut dan memusuhi dienul islam serta mengklaim bahwa ia adalah kemurtadan karena alasan mereka tidak paham
Dan ringkasan risalah ini : Bahwa Syaikh mengingkari terhadap sebagian murid-muridnya sikap Tawaqquf dalam takfir [perhatikan kata takfier] orang-orang yang jahil dengan alasan bahwa sikap ini adalah salah, dan beliau menjelaskan kepada murid-muridnya agar tidak Tawaqquf dalam takfier orang-orang bodoh kecuali tiga macam orang : Orang yang baru masuk islam, orang yang hidup dan tumbuh di pedalaman, dan dalam sebagian risalah-risalahnya beliau menambahkan macam orang lain yaitu orang yang tumbuh dan hidup di negeri kafir  (asli), serta dalam Masaail Khafiyyah, dan beliau menjelaskan kepada mereka bahwa peribadatan kuburan bukan termasuk Masaail Khafiyyah.
Dan wajib dipahami bahwa Syaikh Muhammad mengatakan tidak takfier tiga macam orang itu, dimana beliau menafikan dari mereka pencantuman nama kafir, karena ketiga macam mereka itu belum mendengar hujjah dan belum sampai kepada mereka, adapun nama syirik dan nama muyrikin maka menempel pada mereka, dan mereka dinamakan musyrikin dan para penyembah selain Allah serta menjadikan tuhan-tuhan yang lain di samping Allah, dan ditiadakan dari mereka nama islam, semua itu menempel pada mereka karena mereka melakukan syirik, sehingga nama syirik mencakup mereka dan menepati mereka…
Adapun nama kufur dan hukum-hukum kaum kuffar berupa pembunuhan dan adzab maka tidak menempel pada mereka, karena hujjah belum tegak atas mereka, karena kufur maknanya adalah pengingkaran atau pendustaan terhadap Rasul, di mana telah datang kepadanya khabar Rasul terus dia mengingkari atau mendustakannya atau membangkangnya atau berpaling darinya atau tidak mau mendengar, sedang makna “telah datang kepadanya khabar Rasul“ artinya hujjah telah tegak atasnya, adapun nama syirik maka ia adalah peribadatan kepada selain Allah dan tidak memiliki kaitan dengan hujjah sebagaimana ucapan IbnuTaimiyyah dalam Al-Fatawa 20 /37-38 dan ia adalah bahasan yang amat penting sekali, ia berkata : Nama musyirk itu ada sebelum risalah (yaitu sebelum hujjah) karena ia menyekutukan Tuahanya dan menjadikan tandingan dengan-Nya, “ Dan wajib engkau pahami bahwa syaikh bila mengatakan saya tidak mengkafirkan ini dan itu adalah bahwa beliau hanya meniadakan nama kafir saja (dan perhatikan batasan ini) akan tetapi tidak mesti bagi orang yang beliau nafikan takfir darinya bahwa ia itu muslim atau diberikan hukum status islam atau muslim, sama sekali tidak, karena Syaikh membedakn antara itu.
Dan setelah kami utarakan teks-teks ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab maka jelaslah bahwa Syaikh mengkafirkan dengan sebab kebodohan setelah nampak dakwahnya kecuali orang-orang yang tertentu yang tidak beliau kafirkan mereka tapi beliau tidak menamakan mereka muslim atau muwahhidin namun (beliau namakan mereka) musyirkin seperti orang-orang pedalaman, orang-orang yang baru masuk islam dan orang-orang hidup tumbuh di negeri kafir (asli), dan bahwa beliau tidak mengudzur dalam status nama kecuali tiga macam orang itu, adapun nama (status) syirik bagi orang yang melakukannya maka beliau tidak mengudzur seorang pun, baik ketiga macam orang itu atau maupaun yang lainnya.
Dan jelas juga bahwa teks-teks yang dipahami darinya sikap tidak mengkafirkan adalah dibawa kepada realita bahwa hujjah belum sampai kepadanya. Dan agar masalahnya semakin jelas, maka kami menukil ucapan Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman sedang ia adalah salah seorang cicit syaikh Muhammad di mana Syaikh menyinggung masalah ini dalam kitabnya “ Takfirul Mu’ayyan “ hal : 16, dan tidak aneh karena orang yang layak memahami ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab adalah murid-muridnya dan anak cucunya karena mereka menguasai ilmu Syaikh lebih dari yang lainnya. Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman berkata setelah panjang lebar : “maka kami mengutarakan sedikit saja dari hal itu karena masalahnya adalah SUDAH DISEPAKATI sedangkan tempatnya adalah tempat ringkasan. Kami akan mengutarakannya dari ucapannya apa yang mengingatkanmu kepada syubhat yang di jadikan dalil oleh orang yang telah kami sebutkan dia tentang orang yang menyembah kubah Kawwaz dan bahwa Syaikh tawaqquf dari mengkafirkannya (perhatikan tawaquf dalam nama takfir, adapun status dia yang musyirk maka Syaikh tidak tawaqquf di dalamnya karena beliau menamakannya menyembah kubah ini dan itu, dan tidak mungkun dia menyembah selain Allah dan terus dinamai muslim karena islam dan syirik itu adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa berkumpul keduanya), dan pertam-tama kami mengutarakan konteks jawaban dan dalam rangka apa jawaban itu di lontarkan, yaitu bahwa Syaikh Muhammad rahimahullah dan orang yang menghikayatkan darinya kisah ini menuturkan hal itu sebagai pemberian alasan baginya dari apa yang di tuduhkan lawan-lawannya terhadapnya berupa tuduhan takfier kaum muslmin, (sedang Syaikh tidak mengkafirkan kaum muslimin karena kata muslimin ini adalah kata yang umum dan di dalam mereka ada orang yang belum tegak hujjah atas mereka dalam keberhakan status nama kafir), dan kalau tidak demikian maka ia sendiri adalah klaim (tuduhan) yang tidak layak menjadi hujjah akan tetapi ia membutuhkan kepada dalil dan bukti dari Al-Qur’an dan As-Sunnah …” kemudian berkata di halaman 19 : “ Dan sikap Tawaqquf beliau rahimahullah – yaitu Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab – dalam sebagian jawabannya di bawa kepada keadaan bahwa itu karena suatu hal tertentu, dan juga sesungguhnya beliau sebagaimana yang engkau lihat pernah suatu kali tawaqquf dalam ucapannya : [Dan adapun orang yang cenderung kepada dunia maka saya tidak mengetahui bagaimana keadaannya]. Sungguh heran sekali bagaimana dia meninggalkan ucapan syaikh di seluruh tempat-tempatnya beserta dalil Al-Kitab dan As-Sunnah serta ucapan-ucapan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, sebagaimana dalam ucapannya : “siapa yang telah sampai Al-Qur’an kepadanya maka hujjah telah tegak atasnya”’ dan dia menerima di satu tempat ucapannya yang global …”selesai.
Dan dari ucapan Syaikh Ishaq ini kita bisa menyimpulkan beberapa hal :
Hal Pertama: Bahwa syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab bila menafikan bahwa beliau mengkafirkan ‘ubbadul qubur, maka sesungguhnya beliau memaksudkan dengan hal itu penafian umum, karena di antara mereka ada yang belum tegak hujjah atasnya seperti tiga macam orang itu, di mana beliau tidak menamakan mereka sebagai orang-orang kafir akan tetapi nama syirk dan musyrikin menempel pada mereka karena mereka itu melakuknnya dan nama itu tepat bagi mereka. Barangsiapa menyembah kuburan secara umum maka dinamakan musyrik secara umum juga dan tidak seorang pun dikecualikan. Adapun nama Kufur maka di dalamnya ada rincian  berkaitan dengan ‘ubbadul kubur sesuai tegaknya hujjah, karena syaikh itu amat dalam pada nama-nama ini dan beliau membedakan antara keduanya (syirik dan kufur) berkaitan dengan hujjah sebagaimana yang akan datang Insya Allah tambahan penjelasan dalam ucapan murid-muridnya secara tegas terutama ucapan orang-orang yang mulazamah kepada beliau, dengan arti tidak setiap orang yang menyembah kubur itu dikafirkan, akan tetapi setiap individu yang menyebah kuburan itu dinamai musyrik, bahkan di sana ada tiga individu orang yang menyembah kuburan dan mereka tidak di kafirkan karena belum tegak hujjah akan tetapi mereka bukan muslimin, yaitu orang baru masuk islam, orang yang hidup dan tumbuh di pedalaman, dan orang yang hidup dan tumbuh di negeri kafir (asli), sedang bila setiap individu yang menyembah kuburan dikafirkan maka tiga macam orang itu akan masuk di dalamnya. Dan dalam lingkaran ini ucapan syaikh wajib dipahami.
Hal Kedua: Bahwa tawaqquf syaikh dalam nama kafir bukan nama musyrik dalam sebagian tempat ini adalah karena suatu hal, akan tetapi bukan hal yang asal.
PASAL KELIMA
Jawaban tentang risalah-risalah dan nash-nash yang dijadikan hujjah oleh orang yang tidak memahami ucapan Syaikh Muhammad Ibnu  Abdil Wahhab, yaitu : [ Kami insya Allah akan menjadikan komentar  di antara dua kurung di tengah ucapan]
TEKS PERTAMA:
Risalah yang beliau kirim kepada Asy-Syarief dan ia ada di dalam kitab Tarikh Nejed, tahqiq dan tahdzib Nashiruddin Al Asad hal  407, terbitan Dar Asy-Syuruq.
Dan risalah ini meliputi dua setengah halaman, di muqaddimahnya Syaikh berkata: “Asy-Syarief bertanya kepada saya tentang atas dasar apa kami memerangi dan dengan sebab apa kami mengkafirkan seseorang, [Perhatikan bahwa pertanyaan itu tentang takfier dan qital], maka saya menjawab: ….” Kemudian menuturkan orang yang dikafirkan Syaikh, yaitu empat macam orang  [yang akan datang di akhir risalah sebab takfier], kemudian setelah itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab beralih kepada bantahan syubhat yang diisyukan terhadapnya, yaitu (tuduhan) bahwa beliau mengkafirkan bil umum ( secara umum ), maka beliau mencantumkan masalah ini di risalah itu sendiri, beliau berkata: “ Dan adapun dusta dan buhtan ( tuduhan yang diada-adakan ) maka seperti itu ucapan mereka bahwa kami mengkafirkan bil umum ( karena takfir itu berkaitan dengan hujjah sedangkan tidak diketahui apakah seluruh seluruh manusia ini telah tegak hujjah atas mereka ataukah belum) dan bahwa kami mewajibkan hijrah kepada kami atas orang yang mampu untuk menampakkan agamanya, dan bahwa kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan dan tidak memerangi, serta utduhan-tuduhan semacam ini yang berlapis-lapis, maka semua ini adalah termasuk dusta dan kebohongan belaka yang dengannya mereka menghalang-halangi manusia dari dienullah dan Rasul-Nya, dan bila saja kami tidak mengkafirkan -  perhatikan bahwa penafian itu bagi takfir dan qital terhadapnya, adapun status dia itu musyrik maka memang iya karena dia itu menyembah selain Allah, oleh sebab itu beliau berkata : Menyembah berhala yang ada di atas kuburan, sedangkan orang yang menyembah berhala itu tidaklah dinamakan muslim – orang yang menyembah berhala yang ada di atas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang ada di atas kuburan Ahmad Al- Badawiy serta yang lainya karena kebodohan mereka dan tidak adanya yang mengingatkan mereka (kejahilan adala suatu penghalang dari takfir, qatl, dan penyiksaan akan tetapi ia bukan penghalang dari penempelan nama syirik bagi mereka itu karena beliau menamakan mereka penyembah selain Allah) maka bagaimana kami mengkafirkan orang yang tidak menyekutukan Allah bila ia tidak hijrah kepada kami dan ia tidak mengkafirkan serta ia tidak memerangi, Maha Suci Engkau ini adalah tuduhan dusta yang amat besar, akan tetapi kami mengkafirkan keempat macam orang itu karena penentangan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, ( karena mereka telah mengetahui, sedangkan orang yang menentang dan membangkang maka hujjah atasnya hingga ia berhak menyandang nama kafir ) maka semoga Allah merahmati kepada orang yang melihat kepada dirinya dan ia mengetahui bahwa ia akan menjumpai Allah yang di sisi-Nya ada surga dan neraka, dan semoga shalawat dan salam Allah limpahkan kepada Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya ….” Selesai dengan teksnya.
Dan berikut dari ucapannya: “Dan bila saja kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala yang ada di atas kuburan Abdul Qadir dan berhala yang ada di atas kuburan Ahmad Al-Badawiy serta yang lainnya karena kebodohan mereka “. (Dan penafian takfir ini tidak berarti pemberian nama (muslim) atau penamaannya sebagai muslim, akan tetapi ia adalah musyrik jahil).
TEKS KEDUA:
Risalah yang telah lama beliau kirim saat beliau di ‘Uyainah dan risalah ini di awal dakwahnya keppada As Suwaidiy Al Iraqiy dan namanya Abdirrahman Ibnu Abdillah, ia adalah salah seorang ulama penduduk Iraq, ada dalam Tarikh Nejed hal: 320.
Dan ia adalah risalah yang dengannya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab menjawab sebagian penerangan-penerangan As Suwaidiy, dan As Suwaidiy menanyakan kepada Syaikh tentang apa yang dikatakan manusia tentangnya, di mana Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab difitnah dengan berbagai tuduhan, yang di antaranya tuduhan  bahwa syaikh mengkafirkan seluruh manusia ( telah lalu kita berbicara tentang peng’umum’an ini dalam risalah yang sebelumnya ), maka syaikh membantah tuduhan ini dan beliau berkata: “ Di antaranya – yaitu di antara tuduhan-tuduhan yang di alamatkan kepada syaikh dan syaikh mengingkarinya – apa yang kalian sebutkan bahwa saya mengkafirkan seluruh manusia kecuali orang yang mengikuti saya dan bahwa saya mengklaim bahwa pernikahan-pernikahan kalian tidak sah, sungguh aneh bagaimana hal ini masuk di akal orang yang berakal ? Apakah ini dikatakan oleh muskim atau kafir ? atau orang yang sehat atau orang yang gila ? “ Kemudian beliau membantah tuduhan penghancurn kubah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan masalah pembakaran kitab “Dalaailul Khairat”, kemudian beliau kembali membantah tuduhan takfir bil umum tersebut, beliau berkata: “Dan adapun takfir maka saya mengkafirkan orang yang telah mengetahui dien Rasul kemudian setelah dia mengetahuinya dia malah mencelanya, melarang manusia darinya dan memusuhi orang yang melakukannya, maka inilah yang saya kafirkan ( Perhatikan, karena dia telah mengetahui dan mengingkari, maka ia berhak mendapat nama kufur, karena kufur itu adalah pengingkaran sedangkan ini adalah pengingkaran ), sedangkan mayoritas umat wa lillahil hamdu adalah tidak seperti itu …” selesai . (yaitu tidak mengingkari, akan tetapi mayoritas mereka itu adalah orang-orang bodoh atau melakukan takwil, namun hal itu tidak manfaat bagi mereka dalam hal syirik) Maka ucapannya: “ Maka saya mengkafirkan orang yang mengetahui dien Rasul kemudian setelah dia mengetahuinya dia malah mencelanya “ Dan ini adalah sifat orang yang mu’anid, Dan risalah ini – risalah As Suwaidiy – disebutkan dalam kitab Mishbahudhdhalam di hal 43.
TEKS KETIGA:
Risalah yang di kirim kepada Muhammad Ibnu ‘Ied – salah seorang ulama kota Tsarmida –dan itu ada dalam Tarikh Nejed hal: 263, dan ia adalah risalah yang panjang yang menghabiskan tujuh halaman, dan ia adalah risalah jawaban yang dengannya syaikh menjawab risalah Muhammad Ibnu ‘ied
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab menuturkan di awalnya bahwa ia dikenal dengan 4 masalah dan beliau menuturkan keempat masalah itu, yaitu:
  1. Beliau menjelaskan tauhid
  2. Penjelasan syirik
  3. Bahwa beliau mengkafirkan orang yang telah jelas tauhid baginya (Perhatikan kalimat “telah jelas tauhid baginya“ yaitu bahwa beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah jelas tauhid baginya karena takfir berkaitan dengan hujjah, dan beliau tidak mengatakan bahwa ia bukan musyrik bila ia melakukan syirik, karena syirik tidak berkaitan dengan kalimat “telah jelas tuahid baginya”)
  4. Bahwa beliau memerintahkan untuk memerangi orang yang telah jelas tauhid baginya (perhatikan dan juga qatl dan qital berkaitan dengan hujjah).
Dan bukti dari itu adalah bahwa Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab tatkala berkata bahwa beliau mengkafirkan orang yang telah jelas tauhid baginya, berkata begini : “ Dan ketiga : mengkafirkan orang yang telah jelas tauhid baginya bahwa tauhid adalah agama Allah dan Rasul-Nya terus dia membencinya, dan dia membuat manusia jauh darinya serta dia memerangi orang yang membenarkan Rasul di dalamnya dan orang yang mengetahui syirik, dan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam diutus untuk mengingkarinya, dan dia mengakui hal itu siang dan malam terus dia memujinya dan memperindahnya di hadapan manusia serta dia mengklaim bahwa penganutnya adalah tidak keliru karena merekalah jumlah yang mayoritas. Dan adapun apa yang disebutkan musuh tentang saya bahwa saya mengkafirkan dengn praduga dan loyalitas, atau mengkafirkan orang yang bodoh yang belum tegak hujjah atasnya, maka ini adalah kebohongan yang besar yang dengannya mereka ingin menjauhkan manusia dari agama Allah dan Rasul-Nya ….” Selesai.
Dan diamati dari ucapan Syaikh, terutama alinea terakhir, dan pastinya ucapan beliau: atau mengkafirkan orang yang bodoh yang belum tegak hujjah atasnya “ (Orang yang bodoh yang belum tegak hujjah atasnya (pelaku syirik ) tidak dikafirkan akan tetapi tidak dinamakan muslim dan tidak pula muwahhid. Dan ada perbedaan antara penamaan kafir dan kaitan-kaitannya dengan penamaan syirik dan kaitan-kaitannya, dan sebagaimana yang dikatakan Ibnu Taimiyyah bahwa Allah telah membedakan antara nama-nama dan hukum-hukum antara keadaan sebelum risalah dengan sesudahnya. <Al-Fatawa 20 / 37-38>.
TEKS KEEMPAT:
Dan yang diutarakan sebagian murid-muridnya darinya, sesungguhnya Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman telah menuturkan darinya dari kitabnya Mishbahudhdhalam hal : 324, di mana beliau berbicara tentang Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, dan berkata : “ Sesungguhnya beliau tidak mengkafirkan (perhatikan penafian itu buat takfir saja) kecuali setelah tegaknya hujjah dan nampaknya dalil sampai beliau juga tawaqquf dalam takfir orang yang bodoh dari kalangan ‘ubbadul kubur bila dia tidak mendapatkan orang yang mengingatkannya (walaupun beliau tidak mengkafirkannya namun sungguh beliau telah menamakannya sebagai penyembah kuburan, dan tidak mungkin penyembah selain Allah itu dinamakan muslim karena islam dan syirik adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa berkumpul ).
Dan di dalam kitab Minhaj At-Ta-sis hal:187 Syaikh Abdullathif berkata : “ Syaikh kami sering menjelaskan di majlis-majlisnya dan risalah-risalahnya bahwa beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang mengetahui agama Rasul dan setelah mengetahuinya dia malah jelas-jelas memusuhuinya. Dan kadang beliau berkata bila kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah kubah Kawwaz, dan berkata – yaitu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab – di sebagian risalah-risalahnya : “ Dan adapun orang yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya maka saya tidak mengetahui apa keadaannya “.
Dan berkata yaitu – Syaikh Abdullathif -: “ sampai-sampai beliau tidak memastikan pengkafiran orang yang bodoh yang menyeru selain Allah dari kalangan penghuni kubur atau yang lainnya, bila tidak mendapatkan  orang yang menasehatinya dan menyampaikan kepadanya hujjah yang mana pelakunya dikafirkan. : (perhatikan bahwa penafian itu bagi takfir, kemudian perhatikan bahwa beliau berkata tentang orang-orang yang beliau nafikan takfier dari mereka bahwa beliau berkata tentang mereka : menyembah kubah ini atau menyeru kepada selain Allah dari kalangan ahli kubur, maka apakah masuk akal meraka itu menyembah selain Allah dan mereka masih  dinamakan muslim ?? ).
Dan adapun orang yang cenderung kepada dunia maka beliau tidak menamakannya kafir dan tidak pula muslim, dan beliau tawaqquf di dalamnya akan tetapi juga menamakannya musyrik karena dia menyembah selain Allah, maka nama syirik pantas baginya dan mencakupnya).
RINGKASAN DARI UCAPAN SYAIKH:
  1. Bahwa beliau tidak menamakan seorangpun dari mereka yang menyembah selain Allah sebagai orang muslim.
  2. Bahwa beliau menafikan penyebutan kafir dan qatl saja tidak selainnya.
  3. Bahwa beliau mencap mereka bahwa mereka itu menyembah selain Allah dan menyeru selain-Nya. Beliau tetapkan bagi mereka sifat musyrik akan tetapi orang yang bodoh yang belum tegak hujjah atasnya meskipun beliau mensifatinya bahwa dia itu musyrik dan menyembah selain Allah, maka beliau tidak menamakan dan mensifatinya dengan cap kafir kecuali setelah tegak hujjah.
PASAL KEENAM
Nukilan- Nukilan Penjelas Dari Ucapan Murid-Murid
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab
Pertama: Orang yang langsung ketemu dan mulazamah kepada Syaikh (dan ini ada sebelas nukilan dan teks):
  1. Dari putra-putra Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan Hamd ibnu Nashir, mereka berkat adalam Ad-Durar 10 /136-138 tatkala ditanya tentang orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bila dia mengucapkan atau melakukan suatu yang merupakan kekafiran karena KEBODOHAN darinya terhadap hal itu, di mana kalian tidak mengkafirkannya sampai hujjah risaliyyah tegak atasnya, maka apakah orang yang keadaannya seperti ini andai dia dibunuh sebelum munculnya dakwak ini, apakah darahnya digugurkan (tidak ada diyat) ataukah tidak ?
Maka mereka menjawabnya seraya berkata: Bila dia melakukan kekafiran dan syirik karena kebodohannya atau tidak ada orang yang mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir sampai hujjah ditegakkan terhadapnya, akan tetapi kami tidak menghukumi dia muslim,[10]akan tetapi kami mengatakan: Perbuatan ini adalah kekafiran yang menghalakan harta dan darah meskipun kami tidak memvonis (kafir) terhadap orang ini[11] karena belum tegaknya hujjah terhadap dia, dan tidak dikatakan bahwa bila ia itu tidak kafir maka dia itu muslim, akan tetapi kami mengatakan : Perbuatannya perbuatan orang-orang  kafir sedangkan pelontaran vonis terhadap orang mu’ayyan ini tergantung kepada sampainya hujjah risaliyyah, dan para ulama menuturkan : bahwa para ahli fatrah diuji di hari kiamat di tempat mereka kumpul, dan mereka tidak menjadikan statusnya seperti status orang-orang kafir dan tidak pula status orang-orang baik. <Ad-Durar 10/ 137>.
  1. Syaikh Husen dan Syaikh Abdullah putra Syaikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab berkata dalam Ad-Durar As-Saniyyah 10/ 142 tentang orang yang mati sebelum dakwah ini dan belum mendapatkan islam, dan (tentang) perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia pada hari ini dan belum tegak hujjah terhadapnya, bagaiman hukum di dalamnya ?
Keduanya menjawab bahwa orang yang mati dari kalangan ahli syirik sebelum sampainya dakwah ini maka hukum yang ditetapkan terhadapnya adalah bahwa bila dia itu dikenal melakukan syirik dan menganutnya serta mati di atas itu maka ini dhahirnya mati di atas kekafiran [12] sehingga tidak didoakan baginya, tidak berkurban atas nama dia serta tidak bershadaqah atas namanya, Adapun hakikat urusan sebenarnya[13] maka dia itu dikembalikan kepada Allah, bila ternyata hujjah telah tegak atasnya di masa ia hidup dan dia membangkang maka ini kekafiran secara dhahir dan bathin, dan bila nyatanya hujjah belum tegak atas dia maka urusannya dikembalikan kepada Allah ta’ala.( ini mereka membolehkan statusnya secara dhahir di atas kekafiran )
3.  Asy-Syaikh Abdul Aziz Qadhi Dir’iyyah berkata dalam Ar-Risalah Wal Masaail An-Najdiyyah 5 / 576 dalam jawaban beliau terhadap pertanyaan tentang orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya bila dia mengatakan atau melakukan suatu yang merupakan kekafiran karena kebodohan darinya akan hal itu, maka apakah tidak kalian mengkafirkannya sampai hujjah tegak atasnya.?
Maka beliau menjawab: Bila dia melakukan kekafiran dan syirik karena kebodohannya dan arena tidak ada orang yang mengingatkannya, maka kami tidak memvonis dia kafir sampai hujjah tegak atasnya, akan tetapi kami tidak menghukumi dia muslim[14]akan tetapi kami mengatakan : Perbuatannya ini adalah kekafiran yang menghalalkan harta dan darah meskipun kami tidak memvonis (kafir) terhadap orang ini karena belum tegaknya hujjah atas dia, dan tidak dikatakan bahwa bila ia itu tidak kafir maka dia itu muslim, akan tetapi kami mengatakan: Perbutannya perbuatan orang-orang kafir sedangkan pelontaran vonis terhadap orang mu’ayyan ini tergantung kepada sampainya hujjah risaliyyah, dan para ulama menuturkan bahawa ahli fatrah itu diuji di hari kiamat di ‘Arashat dan mereka tidak menjadikan statusnya  seperti orang-orang kafir dan tidak pula status orang-orang baik.
  1. Adapun Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, maka beliau memiliki kitab tersendiri dalam hal itu, yaitu kitab al-Kalimat An-Nafi’ah Fil Mukaffirat Al-Waqi’ah, dan ia ada di dalam Ad-Durar 10 /149 tentang penuturan ulama mujtahidin penganut madzhab yang empat pada hal-hal yang dengannya orang muslim menjadi kafir dan murtad, dan bahwa mereka itu dalam bab hukum murtad memulai dengan pembicaraan syirik akbar dan pengkafiran mereka terhadap para pelakunya serta mereka tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan.
Beliau menuturkan ucapan ulama Syafi’iyyah, dan beliau menyebutkan di antara mereka Ibnu Hajar Al-Haitamiy dalam kitabnya Az-Zawajir ‘An Iqtirafil Kabaair pada dosa besar yang pertama dan beliau menegaskan tehadap ketidakdiudzuran dengan sebab kebodohan dalam ucapannya penjelasan syirik dan beliau sebutkan sejumlah dari macam-macamnya karena banyaknya ia terjadi pada manusia dan pada lisan-lisan orang umum tanpa mereka itu mengetahui  (yaitu jahil) bahwa ia itu seperti itu, dan beliau menukil ucapan An-Nawawiy dalam Syarah muslim tentang menyembelihan untuk selain Allah sebagai pengagungan, bahwa perbuatan itu adalah syirik dan pelakunya dengan sebab sembelihan itu menjadi murtad (sedang ini adalah ta’yin, karena pelarangan sembelihan itu adalah bagi orang mu’ayyan (ditentukan) dengannya). Dan beliau menukil ucapan Abu Syaamah dalam Al Baits bab kufur dan beliau sebutkan macam-macam dari syirik akbar, di antaranya barangsiapa sujud kepada selain Allah atau menyekutukan sesuatau dari makhluk-Nya dalam ibadah-Nya maka ia telah kafir berdasarkan ijma, dan ia dibunuh bila bersikukuh di atas hal itu, dan beliau menukil ucapan Syaikh Qasim dalam syarah Ad-Durar tentang orang yang menyeru kepada selain Allah atau nadzar untuknya, bahwa ia itu adalah kafir. Dan dari ucapan ulama Malikiyyah beliau menukil ucapan Abu Bakar Ath-Thartusiy dan ia menegaskan bahwa yang dilakukan di zamannya berupa sengaja berharap kepada pohon dan yang lainnya adalah seperti perbuatan kaum musyrikin.
Kemudian menuturkan ucapan ulama Hanabilah, di mana beliau menuturkan ucapan Ibnu ‘Uqail dalam takfirnya terhadap orang yang mengagungkan kuburan dan  mengadukan permohonan kepada orang-orang yang sudah mati, bahwa mereka itu orang-orang kafir dengan sebab itu, dan menukil ucapan Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim serta ayahnya dan beliau panjang lebar dalam penukilan itu prihal takfir orang yang menyekutukan Allah dan tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan. “selesai diringkas.
  1. Dan berkata juga dalam Ar-Rasaail Wal Masaail bagian pertama dari juz pertama hal : 78 berkata : Adapun orang yang mati sedangkan dia itu melakukan syirik karena kebodohan bukan karena pembangkangan maka ini kami serahkan urusannya kepada[15]kepada Allah ta’ala, dan tidak seyogyanya mendoakan baginya, memintakan rahmat baginya, serta memintakan ampunan untuknya, dan itu disebabkan sesungguhnya banyak dari ulama mengatakan bahwa orang yang telah sampai Al-Qur’an maka hujjah telah tegak atasnya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
[Supaya dengannya Aku memberi peringatan dan kepada orang-orang yang telah sampai Al-Qur’an (kepadanya)] “<Al An’am: 19>.
Dan sebelum itu beliau telah berkata : akan tetapi pada masa-masa fatarat[16]dan dominasi kebodohan maka orang mu’ayyan tidak dikafirkan dengan sebab hal itu sampai tegak atasnya hujjah risaliyyah, dijelaskan kepadanya dan diberitahukan kepadanya bahwa ini adalah syirik akbar yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, kemudian bila hujjah telah sampai kepadanya dan dibacakan ayat-ayat qur’aniyyah dan hadits-hadits Nabi kepadanya terus dia bersikukuh di atas syiriknya[17]maka dia itu kafir, beda halnya dengan orang yang melakukan hal itu karena kebodohan darinya dan dia tidak diingatkan atas hal itu maka orang jahil itu perbuatannya kekafiran tapi dia tidak divonis kafir[18]kecuali setelah sampainya hujjah, bila hujjah telah tegak atasnya kemudian dia bersikukuh di atas syiriknya maka dia telah kafir walaupun dia bersyahadat  laa ilaaha illallah muahammad Rasulullah, dia sholat, zakat dan beriman kepada pokok-pokok yang enam. Ad-Durar 10 /274.
  1. Dan berkata juga Syaikh Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dalam Ar-Rasail Wal Masaail bagian pertama dari juz pertama hal 201, berkata tatkala ditanya tentang orang yang bersumpah dengan selain Allah karena kebodohan darinya bahwa itu syirik bukan karena pembangkangan dan tidak menyakini bahwa keagungannya setara dengan keagungan Allah, maka beliau berkata : Yang nampak bahwa orang yang jahil akan hal itu adalah diudzur dengan sebab kebodohan[19] karena syari’at itu tidak menjadi harus kecuali setelah sampai risalah, hingga beliau berkata, dan begitu juga bila melakukan suatu dari syirik selain sumpah itu karena kebodohan darinya dan kekeliruan, kemudian bila dia diingatkan atas hal itu maka dia tersadar dan taubat serta mencabut diri sebagaimana yang terjadi pada sahabat yang berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam“ jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath “. Dan adapun orang yang melakukan hal itu karena kebodohan bukan pembangkangan serta mereka mati di atasnya sebelum sampai kepada mereka bahwa itu adalah syirik, apakah mereka dihukumi muslim dan diharapkan bagi mereka pemaafan dan ampunan dari Allah serta manfaat bagi mereka istighfar orang-orang yang hidup bagi mereka ? Maka masalah ini jawaban terbaik di dalamnya adalah dikatakan “Allah lebih mengetahui tentang mereka [20] sebagaimana jawaban Musa ‘alaihis salam tatkala dikatakan kepadanya:
[Maka bagaimanakah keadaan umat-umat terahulu ? Musa menjawab:” pengetahuan tentang itu ada disisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuahn kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa]. <Thoha : 51-52 >.
  1. Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab menukil dalam Ad-Durar 10/274 bahwa sesungguhnya memohon kepada mayit dan istighotsah dengan mayit dalam pemenuhan dan penyelamatan dari kesulitan adalah termasuk syirik akbar yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya, dan kitab-kitab Allah serta dakwah para Nabi telah sepakat atas pengharamannya, pengkafiran pelakunya, keberlepasan diri dairnya, dan memusuhinya, akan tetapi zaman fatarat orang mu’ayyan tidak dikafirkan dengan sebab hal itu sampai tegak atasnya hujjah risaliyyah, dijelaskan kepadanya dan diberi tahu bahwa ini adalah syirik akbar, kemudian bila dia bersikukuh di atas syiriknya maka ia kafir.” Dengan ringkasan.
  1. Syaikh Hamd Ibnu Nashir berkata dalam Ad-Durar 10 /336: Adapun orang yang menyembah berhala dan mati di atas itu sebelum muncul dien (dakwah tauhid) ini, maka ini dhahirnya adalah kekafiran[21] meskipun bisa ada kemungkinan bahwa hujjah risaliyyah belum tegak atasnya, karena kejahilannya dan ketidakadaan orang yang mengingatkannya, karena kita menghukumi terhadap dhahir. Dan adapun vonis terhadap bathin maka itu kembali kepada Allah ta’ala, sedangkan Allah tidak mengadzab seseorangpun kecuali setelah tegaknya hujjah atasnya sebagaiman Firman-Nya ta’ala:
[Dan Kami tidak mengadzab sebelum Kami mengutus seorang Rasul] [Al-Isra’: 15].
Ada pun orang yang mati di antara mereka dalam kondisi majhulul hal,[22] maka kami tidak menyinggungnya dan kami tidak memvonis dia kafir serta tidak menghukumi dia muslim,[23]sedangkan itu bukan termasuk yang dibebankan kepada kita:
[Itu adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan dimintai pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan ] <Al Baqarah : 134>.
  1. Dan berkata juga dalam Ad-Durar 11/ 75-77: Bila hal ini telah jelas maka kami katakan bahwa orang-orang yang mati sebelum munculnya dakwah islamiyyah ini dan dhahir keadaannya mereka itu adalah syirik[24] maka kami tidak menyinggungnya dan kami tidak memvonisnya kafir dan tidak menghukuminya muslim[25] Fatawal Aimmah An Najdiyyah 3 /99.
  1. Syaikh Hamd Ibnu Nashir menganggap Rafidlah itu kafir asli dan tidak diudzur dengan kejahilan.<Ad-Durar : 10 /335>.
NUKILAN-NUKILAN
DARI UCAPAN SYAIKH ABDURRAHMAN IBNU HASAN
Dan ia termasuk murid yang belajar langsung kepada Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab di awal pencarian ilmunya dan di akhir kehidupan kakeknya.
Dan beliau memiliki kitab tersendiri dalam bab ini, di mana beliau telah menzamani orang yang menyebarkan syubhat bahwa kejahilan itu udzur dalam syirik akbar semacam Dawud Ibnu Jirjis, Utsman Ibnu Manshur dan orang-orang semacam mereka sebagaimana yang akan datang Insya Allah, serta beliau juga memiliki risalah-risalah yang khusus dan umum dan dalam bab ini.
(1)   Di antara kitab kitabnya[26]dalam hal itu adalah kitab Al-Qaul Al-Fashl An-Nafis Fii Raddi ‘Ala Dawud Ibnu Jirjis, dan kadang disebut At-Ta-sis At-Taqdis.
(2)   Kitab Al-Maurid Al-‘Adzbu Fi Kasyfi Syubahi Ahlidl Dlalal (Ad-Durar 9 / 109,128 cet Darul Ifta).
(3)   Kitab Irsyad Thalibil Huda dalam Ad-Durar 8 / 208.
(4)   Ar Raddu ‘Ala Ibni Manshur dalam Ad-Durar 9/ 187, 194, 200
(5)   Risalah Fir Raddi ‘Ala Syubhah Minal Ahsa Dalam Ad-Durar 9 / 135.
(6)   Risalah Fi Syarhi Ahlil Islam Wa Qaaidatihi dalam Majmu’atut Tauhid.
(7)   Risalah Fi Raddi ‘Alat Tahdzir Minat Takfir dalam Ad-Durar 9 /163, 179 cet Darul ifta
(8)  Berkata dalam Fatawal  Aimmah An Najdiyyah 3/ 155, dan yang di maksud adalah : penjelasan apa yang dianut Syaikhul Islam dan Ikhwan dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berupa pengingkaran syirik akbar yang terjadi di zaman mereka dan penuturan mereka akan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah terhadap kekafiran orang yang melakukan[27] syirik ini atau menyakininya, maka sesungguhnya ia bihamdillah merobohkan apa yang dibangun oleh (orang bodoh lagi mengada-ada ini) di atas tepi jurang  yang rapuh
(9)  Dan berkata 3/162 dalam jawaban Ibnu Taimiyyah dalam Al-Fatawa Al-Mishriyyah tentang para ahli filsafat setelah beliau menuturkan apa yang mereka anut, beliau berkata : mereka itu lebih kafir dari pada yahudi dan dari pada nashraniy, maka Syaikh mengomentari fatwanya, beliau berkata: Dan Syaikhul islam tidak mengatakan bahwa mereka itu diudzur dengan kejahilan[28], akan tetapi beliau kafirkan mereka dan berkata bahwa mereka itu murtad, beliau berkata: dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka ia munafiq dan tidak diistitabah menurut mayoritas ulama         
(10)                      Dan berkata : Dan dikatakan : Setiap orang kafir telah keliru ijtihad dan kaum musyrik itu meski memiliki takwil-takwil dan mereka menyakini bahwa penyekutuan terhadap orang-orang sholeh itu adalah pengagungan kepada mereka yang bisa manfaat bagi mereka dan menghindarkan madlarat dari mereka, namun mereka itu tidak diudzur dengan sebab kekeliruan ijtihad dan dengan sebab takwil tersebut. (Fatawal Aimmah An Najdiyyah: 3/168).
(11) Dan beliau menukil dari Ibnul Qayyim di dalam tingkatan-tingkatan manusia dalam Thabaqah ke 17, yaitu tingkatan orang-orang yang taqlid dan orang-orang kafir yang bodoh serta para pengikut mereka, beliau berkata: Umat telah sepakat bahwa tingkatan ini ia adalah orang-orang kafir meskipun mereka itu orang-orang bodoh yang taqlid kepada tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin mereka kecuali apa yang dihikayatkan oleh sebagian ahli bid’ah[29] bahwa tidak divoniskan api neraka bagi mereka itu dan mereka disamakan dengan orang yang belum sampai dakwah kepadanya, sedangkan ini adalah madzhab yang tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari imam kaum muslimin baik sahabat, tabi’in maupun orang-orang yang sesudah mereka. Dan telah sah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berkata: Tidak seorangpun terlahir melainkan ia dilahirkan di atas fitrah, kemudian kedua orang tuanya menjadikan dia yahudi atau nashrani atau majusi” dan dalam hal itu tidak dianggap selain murabbiy (pendidik ) dan lingkungan yang dia tumbuh[30]di atas apa yang dianut kedua orang tuanya, dan berkata :Bila si hamba tidak membawa hal ini, yaitu tauhid, maka dia bukan muslim, dan bila dia bukan kafir mu’anid maka ia kafir jahil[31].’ Beliau mengatakannya tentang orang-orang kafir yang taqlid. <Fatawa Aimmah An-Najdiyyah 3 /170>.
NUKILAN DARI SYAIKH ABDULLAH ABA BITHIN
Beliau miliki kitab-kitab tentang ketidak diudzuran dalam syirik akbar dengan sebab kebodohan.
  1. Dan di antara kitab-kitabnya yang khusus tentang itu adalah Kitab Al Intishar, dan ia adalah di antara kitab terpenting dalam hal itu, dan di dalamnya beliau telah membantah terhadap Dawud Ibnu Jirjis dan kaki tangannya dalam hal itu.
  2. Beliau memiliki risalah-risalah tentang takfier mu’ayyan dalam syirik akbar dan tidak diudzurnya dengan sebab kebodohan, di antaranya risalah dalam Ad Durar 10/360 tentang takfier mu’ayyan dan ketidak diudzuran dengan sebab kebodohan dalam syirik akbar.
  3. Dan beliau juga memiliki risalah yang dikirimnya kepada Ibrahim Ibnu ‘Ajlan dalam hal ini, yaitu ketidakdiudzuran dengan sebab kebodohan dalam syirik akbar, dan ia ada dalam Ad Durar 10/376.
  4. Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata juga dalam Ad Durar As Saniyyah 10/ 352, maka tidak ada udzur bagi seorangpun setelah di utus Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal ketidakberimanan terhadapnya dan terhadap apa yang dibawanya dengan sebab dia tidak paham hujjah-hujjah Allah.
  5. Dan beliau menukil dari Ibnu Taimiyyah dalam Ad Durar As Saniyyah 10/335 bahwa beliau tidak tawaqquf dalam hal orang bodoh.
  6. Dan berkata: sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan kecuali orang yang mu’anid bila melakukan kekafiran maka ini menyelisihi Al Kitab, As Sunah, dan ijma umat, dalam Ad Durar As Saniyyah 10/359.
  7. Dan berkata dalam Ad Durar As Saniyyah 12/69-70, dan kaum muslimin telah ijma atas kekafiran orang yang tidak mengkafirkan yahudi dan nashrani atau ragu akan kekafiran mereka, sedangkan kita menyakini benar bahwa mayorita mereka itu bodoh.
  8. Dan Syaikh Aba Buthain menukil dalam Majmu’atur Rasaail wal Masaail 1/660 dari Al Qadli Iyadl dalam kitabnya As Syifa pada pasal penjelasan ungkapan-ungkapan yang merupakan kekafiran, sampai beliau berkata : Bahwa setiap ungkapan yang terang-terangan menafikan Rububiyyah atau Wahdaniyyah atau peribadatan kepada selain Allah atau (peribadatan lain) di samping Allah maka ia adalah kekafiran, sampai beliau berkata : Dan orang-orang yang menyekutukan Allah dengan penyembahan berhala atau salah satu malaikat atau syaitan atau matahari atau bintang atau api atau siapa saja selain Allah dari kalangan musyrikin arab atau orang-orang India atau Suadan atau yang lainnya, atau ia mengatakan bahwa di sana ada pencipta atau pengatur alam selain Allah maka semua itu adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin.
Maka coba lihat penghikayatan ijma kaum muslimin terhadap kekafiran orang yang menyembah selain Allah, baik itu kepada malaikat ataupun yang lainnya.
  1. Syaikh Aba Buthain berkata di dalam Ad Durar 12/72-73 dan di dalam Majmu’atur Rasaail 1/659, berkata: Maka Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran ini (syirik akbar) karena takwil, atau ijtihad atau kesalahan atau taqlid atau kebodohan[32] adalah diudzur, maka dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma tanpa diragukan lagi. Padahal sesungguhnya dia itu mesti menggugurkan kaidahnya ini, di mana andaikata dia membakukan kaidahnya tersebut tentu dia menjadi kafir tanpa diragukan lagi, seperti umpamanya dia itu tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang ragu terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan hal-hal yang serupa itu.
  2. Dan berkata juga di dalam Ad Durar 10/359: Bagaimana orang ini (yaitu orang yang mengudzur dengan sebab kebodohan di dalam pembatal-pembatal tauhid) mengatakan prihal orang yang meragukan keberadaan Allah subhanahu wa ta’ala  atau keesaan-Nya atau meragukan kenabian Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam atau meragukan hari kebangkitan setelah kematian? Di mana dia kalau membakukan kaidahnya di dalam hal itu maka dia itu kafir tanpa diragukan lagi, sebagaimana yang dikukuhkan oleh Muwaffaquddien Ibnu Qudamah di dalam ucapannya tadi. Dan bila dia tidak membakukan kaidahnya di dalam hal-hal itu, di mana dia tidak mengudzur dengan sebab keraguan di dalam hal-hal itu dan dia malah mengudzur pelaku syirik akbar yang membatalkan syahadat laa ilaaha illallaah yang merupakan inti dienul islam dengan sebab kebodohan, maka ini adalah kontradiksi yang nyata.
  3. Syaikh Aba Buthain berkata di dalam Ar Rasaail Wal Masaail 2/211-213: Adapun status orang yang telah meninggal di zaman fatrah dan belum sampai dakwah rasul kepadanya, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui prihal mereka. Sedangkan nama fatrah itu tidaklah khususbagi umat tertentu saja,[33] sebagaimana perkataan Al Imam Ahmad di dalam khutbahnya terhadap kaum Zanadiqah dan kaum  Jahmiyyah: Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di setiap zaman fatrah[34] (kekosongan) dari para rasul sisa-sisa dari ahli ilmu.” Dan ucapan semacam ini diriwayatkan dari Umar.
Syaikh Aba Buthain menukil dari Ibnul Qayyim tingkatan manusia yang keempat belas: Kaum yang tidak memiliki ketaatan dan tidak memiliki maksiat, kekafiran dan keimanan.[35] Beliau berkata: Mereka itu di antaranya ada beberapa kelompok orang yang sama sekali belum sampai dakwah kepadanya dan belum pernah mendengar kabar berita, dan di antara mereka ada orang gila yang tidak memahami sesuatupun, dan di antara mereka ada yang tuli yang sama sekali tidak mendengar apa-apa, dan di antara mereka ada anak-anak kecil kaum musyrikin yang meninggal dunia sebelum usia tamyiz, maka para ulama berselisih tentang status orang-orang semacam ini. Dan beliau memilih pendapat yang dipilih oleh gurunya Ibnu Taimiyyah, bahwa mereka itu akan ditaklf di hari kiamat. Dan Syaikh Aba Buthain menukil dari Ibnu Katsir bahwa pendapat prihal pengujian mereka adalah pendapat yang dihikayatkan oleh Al Asy’ari dari Ahlus Sunnah.
  1. Syaikh Aba Buthain berkata di dalam risalah Al Intishar hal 11: Dan Allah telah mengutus semua rasul di mana mereka mengajak kepada tuhid dan untuk mengenal lawannya yaitu syirik yang tidak diampuni dan tidak ada udzur bagi mukallaf dala kejahilan[36] terhadapnya.” Selesai.
  2. Dan berkata: Dan hal paling pertama yang disebutkan para ulama di dalam bab hukum orang murtad adalah syirik, mereka berkata: Barangsiapa menyekutukan Allah maka dia kafir, karena syirik menurut mereka adalah macam kekafiran yang paling besar. Dan mereka tidak mengatakan: Bila orang semacam dia itu mengetahuinya,”[37] sebagaimana yang mereka katakan di dalam macam kekafiran yang lebih rendah darinya.
  3. Dan beliau menukil di dalam Ad Durar 10/392 dari Ibnu Jarir dalam tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi Telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk”. (Al A’raf: 30).
Ibnu Jarir berkata: Dan ini menunjukan bahwa orang jahil itu tidak diudzur.[38]
  1. Syaikh Aba Buthain berkata Di Dalam Ad Durar 10/393 tatkala menyebutkan hadits ‘Adiy Ibnu Hatim ”Kami tidak beribadah kepada mereka” dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata:” Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalianpun menghalalkannya…….” Syaikh Aba Buthain berkata: Allah subhanahu wa ta’ala mencela mereka dan menamakan mereka sebagai kaum musyrikin padahal mereka itu tidak mengetahui bahwa perbuatan mereka terhadap para pendeta dan alim ulama itu adalah sebagai bentuk peribadatan kepada mereka, namun mereka tidak diudzur dengan sebab kejahilan.[39]
  2. Dan berkata tatkala menukil perkataan Ibnu Taimiyyah tentang ijma ulama bahwa orang yang menjadikan perantara antara dirinya dengan Allah, di mana dia tawakkal terhadap mereka dan memohon kepada mereka maka dia itu kafir musyrik: (ucapan ini) mencakup orang yang jahil[40] dan yang lainnya. Ad Durar 10/355.
  3. Di Dalam Ad Durar 12/69-74, dan juga 10/365 berkata: Bila pelaku syirik akbar itu diudzur dengan sebab kejahilannya, maka kalau demikian siapa yang tidak diudzur? Dan konsekuensi klaim ini adalah bahwa tidak ada hujjah bagi Allah terhadap seorangpun kecuali terhadap orang yang membangkang (mu’anid), padahal sesungguhnya pemilik klaim ini adalah tidak bisa membakukan kaidahnya, namun justeru dia itu mesti jatuh di dalam sikap kontradiksi, di mana dia itu tidak bisa tawaqquf prihal (kekafiran) orang yang ragu tentang kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam atau orang yang ragu terhadap kebangkitan setelah kematian atau ushuluddien lainnya, sedangkan orang yang ragu itu adalah orang yang jahil. Dan beliau berkata: Dan konsekuensi klaim ini adalah bahwa kita tidak bisa mengkafirkan orang-orang bodoh dari kalangan yahudi dan nasrani serta orang-orang yang sujud kepada matahari, bulan dan patung karena kebodohan mereka, dan (kita tidak boleh mengkafirkan) orang-orang yang dibakar oleh Ali Ibnu Abi Thalib, karena sesungguhnya kita memastikan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang bodoh, padahal kaum muslimin telah ijma terhadap kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang-orang yahudi dan nasrani atau orang yang ragu prihal kekafiran mereka, sedangkan kita meyakini secara pasti bahwa mayoritas mereka itu adalah orang-orang yang bodoh.
  4. Di Dalam Ad Durar As Saniyyah 10/394-395 Syaikh Aba Buthain berkata: Dan ucapan kamu “Sampai hujjah risaliyyah tegak terhadap mereka dari imam atau wakilnya” maknanya bahwa hujjah islamiyyah tidak diterima kecuali dari imam atau wakilnya, sedangkan ini adalah pendapat yang salah patal yang tidak pernah dikatakan oleh seorang ulamapun, justeru yang wajib atas setiap orang adalah menerima kebenaran dari siapa saja. Dan konsekuensi pendapat ini adalah bahwa orang yang melakukan hal yang diharamkan baik itu syirik ataupun yang di bawah syirik karena kebodohan terus orang yang memiliki pengetahuan terhadap dalil-dalil syar’i menjelaskan kepadanya bahwa apa yang dia lakukan itu adalah haram serta dia menjelaskan kepadanya dalil Al Kitab dan As Sunnah, adalah tidak wajib atas dia untuk menerimanya kecuali kalau  hal itu datang dari imam atau wakilnya dan bahawa hujjah Allah itu tidak tegak terhadapnya kecuali bila hal itu muncul dari Imam atau wakilnya. Dan saya kira kamu ini mendengar ucapan (syubhat) tersebut dari sebagian orang-orang yang sesat terus kamu mengekor kepadanya tanpa bersikap jeli terhadap kecacatannya. Tugas imam atau wakilnya itu adalah menegakkan hudud dan menyuruh taubat orang yang telah divonis untuk dibunuh oleh syari’at ini, seperti orang murtad di negeri islam. Dan saya kira ucapan ini diambil dari ucapan sebagian ahli fiqh prihal orang yang meninggalkan shalat, bahwa dia itu tidak dibunuh sampai si imam atau wakilnya mengajaknya untuk kembali mendirikan shalat, sedangkan ajakan untuk melakukan sesuatu itu adalah di luar  pemberian hujjah terhadap kekeliruannya atau kebenarannya atau posisinya di atas kebenaran atau kebatilan dengan dalil-dalil syar’i. Orang alim umpamanya menegakkan dalil-dalil syar’i terhadap kewajiban membunuh orang yang meninggalkan shalat kemudian si imam atau wakilnya mengajakanya untuk melaksanakannya kembali dan menyuruhnya untuk bertaubat. Selesai
  5. Syaikh Aba Buthain berkata di dalam Majmu’atur Rasaail Wal Masaail 1/657 di dalam risalah beliau prihal pengkafiran orang mu’ayyan yang melakukan syirik akbar padahal dia itu bodoh: Kesimpulan yang ditunjukan oleh Al Kitab dan As Sunnah serta ijma ulama adalah bahwa penyekutuan Allah itu adalah kekafiran, dan barangsiapa melakukan sesuatu dari hal ini atau memperindahnya, maka orang ini tidak diragukan lagi prihal kekafirannya, dan tidak apa-apa bagi orang yang mengetahui jelas bahwa hal-hal itu muncul darinya untuk mengatakan: Bahwa si fulan telah kafir dengan sebab perbuatan ini,[41] dah hal ini dibuktikan dengan realita bahwa para fuqaha menuturkan di dalam bab hukum orang murtad banyak hal yang mana seorang muslim menjadi kafir murtad dengan sebab perbuatan-perbuatan tersebut, dan mereka memulai bab ini dengan ucapan mereka: Barangsiapa menyekutukan Allah maka dia telah kafir dan hukumannya adalah bahwa dia itu disuruh taubat, kemudian bila dia taubat (maka diterima) dan bila tidak maka dia dibunuh saja, sedangkan istitabah (penyuruhan taubat) itu hanyalah kepada orang mu’ayyan.
  6. Berkata di dalamnya: Ucapan para ulama tentang takfier mu’ayyan adalah sangatlah banyak, sedangkan macam syirik terbesar adalah peribadatan kepada selain Allah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan ia itu adalah kekafiran dengan ijma kaum  muslimin, dan tidak apa-apa mengkafirkan orang yang memiliki sifat tersebut,[42] karena orang yang berzina pun kita katakan si fulan pezina, dan orang yang transaksi riba adalah muraabii (muraabi).
  7. Dan beliau berkata di dalam Ad Durar 10/401: Syaikh Abdullah Ibnu Abdirrahman Aba Buthain rahimahullah berkata: “Kami katakan dalam masalah takfir mu’ayyan, dhahir ayat-ayat dan hadist-hadist serta perkataan jumhur ulama menunjukan terhadap kekafiran orang yang menyekutukan Allah, dia beribadah kepada yang lain di samping ibadahnya kepada Allah, dan dalil-dalil itu tidak membedakan antara mu’ayyan dengan yang lainnya.[43] Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu  bagi siapa yang dihendaki-Nya. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar.” (Q.S. An Nisa [4] : 48)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu jumpai mereka” (QS. At Taubah [9]: 5)
Sedangkan ini mencakup setiap individu dari kaum musyrikin. Dan semua para ulama dalam kitab-kitab fiqh menyebutkan hukum orang murtad, sedangkan kemurtadan dan kekafiran yang paling mereka sebutkan pertama adalah syirik, mereka mengatakan : “Sesungguhnya siapa yang berbuat syirik maka dia kafir”, dan mereka tidak mengecualikan orang jahil,[44] dan “Siapa yang mengklaim Allah itu punya istri atau anak maka dia kafir”, dan mereka tidak kecualikan orang jahil, “Siapa yang menuduh ‘Aisyah berzina maka dia telah kafir”, Dan siapa yang memperolok-olok Allah atau para Rasul-Nya, atau kitab-kitab-Nya, maka telah kafir dengan ijma berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Jangan kalian cari-cari alasan sungguh kalian telah kafir setelah iman kalian”. (At Taubah:66)
Dan mereka menyebutkan banyak hal yang diijmakan kekafiran pelakunya dan mereka tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya,[45] kemudian mereka mengatakan: “Siapa yang murtad dari Islam maka dia dibunuh setelah disuruh taubat (istitaabah)”, mereka telah menghukumi kemurtaddannya sebelum hukuman istitabah. Jadi istitaabah adalah setelah vonis kemurtadan, sedangkan istitaabah hanyalah pada orang mu’ayyan. Dan dalam bab ini mereka menyebutkan hukum orang yang mengingkari wajibnya salah satu dari ibadah yang lima, atau menghalalkan susuatu dari hal-hal yang diharamkan, seperti khamr, babi dan yang lainnya, atau meragukannya, maka dia kafir bila orang seperti dia tidak jahil akannya, dan  mereka tidak mengatakan hal itu dalam syirik akbar dan yang lainnya yang mana sebagiannya telah kami sebutkan, bahkan mereka memutlakan kekafirannya dan tidak mengecualikannya dengan sebab kejahilan, dan mereka juga tidak membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya, serta sebagaimana yang telah kami sebutkan istitabah hanya terjadi pada orang mu’ayyan. Apakah boleh bagi orang muslim meragukan kekafiran orang yang mangatakan bahwa Allah memiliki istri atau anak atau berkata Jibril salah dalam menyampaikan risalah atau orang yang mengingkari hari kebangkitan setelah kematian atau mengingkari salah seorang Nabi…? Dan apakah orang muslim[46] membedakan antara mu’ayyan dan yang lainnya dalam hal itu dan yang lainnya, sedangkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan: “Siapa yang mengganti diennya, maka bunuhlah dia”. Sedangkan ini mencakup mu’ayyan dan yang lainnya, sedangkan penggantian dien yang paling dahsyat adalah menyekutukan Allah dan ibadah kepada yang lainnya…..” sampai beliau berkata: Dan kita mengetahui orang yang melakukan hal itu (maksudnya syirik) dari kalangan orang yang mengaku Islam, bahwa tidak ada yang menjerumuskan mereka kedalam hal itu kecuali kejahilan. Seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu menjauhkan dari Allah sejauh-jauhnya dan (mengetahui) bahwa itu tergolong syirik yang telah Allah haramkan, tentulah mereka tidak melakukannya, namun semua ulama telah mengkafirkan mereka dan tidak mengudzur karena kejahilan[47] sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang-orang sesat : ‘Sesungguhnya mereka itu diudzur karena sesungguhnya mereka itu jahil……” sampai beliau berkata: Dan adapun ucapan Syaikh Ibnu Taimiyyah “namun karena pendominasian kejahilan di kalangan muta-akhkhirin maka tidak mungkin mengkafirkannya…” maka beliau tidak mengatakan bahwa mereka itu diudzur,[48] namun beliau tawaqquf dari pelontaran vonis kafir[49] terhadap mereka sebelum pemberian penjelasan, sehingga bisa digabungkan di antara ucapannya dengan cara dikatakan: Bahwa maksudnya bahwa bila kita mendengar dari seseorang ucapan kekafiran atau kita mendapatkannya di dalam ucapan sebagian manusia yang berbentuk syair atau ucapan biasa, maka sesungguhnya kita jangan tergesa-gesa mengkafirkan orang yang kita lihat hal itu muncul darinya atau kita mendengarnya sampai kita menjelaskan kepadanya hujjah syar’iyyah. Ini di samping kita tetap mengatakan bahwa orang-orang yang mengkultuskan makhluk yang menyeru penghuni kubur atau malaikat atau yang lainnya yang berharap terhadap mereka di dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya adalah (kita namakan sebagai) orang-orang musyrik[50] lagi kafir.
  1. Berkata di dalam Ad Durar 10/360-375: Sesungguhnya ucapan Syaikh Taqiyyuddien “sesungguhnya takfir dan qatl itu adalah tergantung kepada sampainya hujjah”[51] adalah menunjukan bahwa bahwa dua hal ini yaitu takfir dan qatl adalah tidak tergantung kepada kefahaman terhadap hujjah secara muthlaq namun terhadap sampainya hujjah, sedangkan kefahaman terhadap hujjah adalah sesuatu, dan sampainya hujjah adalah sesuatu yang lain. Dan seandainya hukum ini tergantung terhadap kefahaman akan hujjah tentulah kita tidak mengkafirkan dan tidak membunuh kecuali orang yang kita ketahui pasti bahwa dia itu adalah mu’anid, sedangkan ini adalah sangat batil, bahkan justeru akhir ucapan Syaikh rahimahullah menunjukan bahwa beliau mensyaratkan fahmul hujjah dalam hal-hal yang samar atas banyak manusia serta tidak ada penohokan di dalamnya terhadap tauhid dan risalah, seperti jahil akan sebagian sifat (Allah). Adapun hal-hal yang langsung menohok Tauhid dan keimanan terhadap risalah, maka sesungguhnya beliau telah menegaskan dalam banyak tempat terhadap kekafiran para pelakunya serta hukuman bunuh bagi mereka setelah disuruh bertaubat, dan beliau tidak mengudzur mereka dengan sebab kejahilan,[52] padahal kita memastikan bahwa penyebab keterjatuhan mereka dalam hal-hal tersebut adalah kejahilan. Karena kalau seandainya mereka mengetahui bahwa hal itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam tentulah mereka tidak melakukannya…..
Kemudian beliau menuturkan contoh-contoh tentang orang yang ghuluw terhadap nabi atau orang saleh, di mana dia menjadikan padanya suatu sifat uluhiyyah……sampai berkata: dan ucapan-ucapan semacam ini yang merupakan sifat-sifat khusus rububiyyah yang tidak layak kecuali bagi Allah saja, maka semua ini adalah kemusyrikan dan kesesatan yang mana pelakunya disuruh taubat, kemudian bila dia taubat (maka diterima) namun bila tidak maka dia dibunuh…..
Sampai berkata: Maka lihatlah ucapan Ibnu Taimiyyah ”Tidak mungkin mengkafirkan mereka dengan sebab hal itu sampai dijelaskan kepadanya apa yang dibawa Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam”  dan beliau tidak mengatakan “ Sampai jelas di hadapan mereka hal itu dan kita mengetahui pasti dari mereka sikap pembangkangan setelah mereka mengetahui”…..sampai ucapannya: Maka lihatlah kepada pemilahan beliau antara masalah-masalah yang khafiy (samar) dengan masalah-masalah yang dhahirah (nampak), di mana beliau mengatakan di dalam masalah-masalah yang khafiy yang merupakan kekafiran: Bisa dikatakan bahwa dia di dalamnya adalah orang yang salah lagi sesat yang belum tegak terhadapnya hujjah yang mana orangnya bisa dikafirkan, namun beliau tidak mengatakan ucapan semacam itu di dalam masalah-masalah yang dhahirah. Jadi masalahnya sangat nampak di dalam pemilahan antara masalah-masalah yang dhahirah dengan masalah-masalah yang khafiy, di mana di dalam masalah dhahirah orangnya langsung dikafirkan dan dikafirkan juga dengan sebab apa yang muncul dari orang muslim karena kebodohan, seperti penghalalan apa yang diharamkan atau perbuatan atau ucapan yang syirik setelah diberitahu. Dan tidak dikafirkan dengan sebab hal-hal yang khafiy yang dilakukan karena kejahilan, seperti kejahilan terhadap sebagian Sifat, maka orang jahil tidak dikafirkan dengan sebabnya secara muthlaq, walaupun dia itu penyeru (kepada paham itu), seperti ucapannya (Ibnu Taimiyyah) kepada orang-orang jahmiyyah:” Kalian ini bagi saya adalah tidak kafir karena kalian ini adalah bodoh” dan ucapan beliau “Bagi saya” menunjukan bahwa sikap tidak mengkafirkan mereka itu adalah bukan masalah yang diijmakan terhadapnya, namun beliau memilih pendapat itu. dan pandapat beliau di dalam masalah ini adalah menyelisihi apa yang masyhur di dalam madzhab (Hanbali), karena pendapat yang shahih dari madzhab ini adalah pengkafiran mujtahid yang menyeru kepada pernyataan Al Qur’an itu makhluq atau pernyataan bahwa Allah tidak dilihat di surga atau paham Rafidlah dan paham semacam itu, serta memvonis fasiq orang yang taqlid di dalamnya.
Al Majdu berkata: Dan yang shahih adalah bahwa setiap bid’ah yang mana kami telah mengkafirkan tokoh penyerunya, maka sesungguhnya kami menghukumi fasiq orang yang taqlid di dalamnya, seperti orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu adalah makhluq atau bahwa ilmu Allah adalah makhluq atau bahwa Nama-Nama Allah adalah makhluq atau bahwa Dia tidak dilihat di akhirat atau orang yang mencela para sahabat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah atau bahwa iman itu adalah sekedar keyakinan serta hal-hal semacam itu. Barangsiapa menganut sesuatu dari bid’ah-bid’ah ini lagi dia mengajak kepadanya serta berdebat di atasnya, maka dia itu dihukumi kafir, sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Ahmad di dalam banyak tempat. Selesai. Lihat bagaimana mereka divonis kafir padahal mereka itu jahil,[53] sedangkan Syaikh rahimahullah memilih tidak mengkafirkan mereka dan mereka itu fasiq menurut beliau.
Dan hal serupa adalah ucapan Ibnul Qayyim rahimahullah, di mana beliau berkata: Fasiq i’tiqad adalah seperti kefasiqan ahli bid’ah yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan mereka mengharamkan apa yang Allah haramkan serta mereka mewajibkan apa yang Allah wajibkan, akan tetapi mereka menafikan banyak dari apa yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan karena kejahilan atau takwil dan taqlid kepada para guru, serta mereka juga menetapkan apa yang tidak ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan mereka itu seperti Khawarij mariqah dan banyak dari kalangan Rafidlah, Qadariyyah, Mu’tazilah dan banyak dari kalangan Jahmiyyah yang bukan ghulat di dalam paham tajahhumnya. Dan adapun Ghulatul Jahmiyyah maka mereka itu adalah seperti Ghulatur Rafidlah,[54] di mana keduanya tidak memiliki bagian sedikitpun di dalam islam ini, oleh sebab itu mereka dikeluarkan oleh jama’ah ulama salaf dari yang 72 firqah, dan para ulama itu berkata: Mereka itu di luar millah. Selesai ucapan dan nukilan Aba Buthain.
Saya berkata: Dan yang lebih mendekati kebenaran adalah membedakan antara zaman Ibnu Taimiyyah dengan zaman yang sebelumnya dari sisi nampaknya hujjah dan nampaknya ilmu. Dan perbedaan di dalam pilihan ini sebabnya adalah perbedaan di dalam dua zaman itu. Dan zaman Ibnu Taimiyyah adalah dominasi kebodohan dan zaman fatrah.
NUKILAN-NUKILAN
DARI UCAPAN SYAIKH ABDULLATHIF IBNU ABDIRRAHMAN ALU ASY SYAIKH
Beliau memiliki banyak kitab di dalam hal ini di mana beliau menzamani orang-orang yang mengudzur dengan sebab kejahilan di dalam syirik akbar.
Dan di antara kitab beliau yang paling agung di dalam hal ini adalah kitab Minhajut Ta-sis Fir Raddi ‘Alaa Dawud Ibni Jirjis.
Dan beliau juga memiliki banyak risalah yang ada di dalam Ad Durar dan Majmu’atur Rasaail. Kami akan menuturkan darinya beberapa cuplikan insya Allah.
Beliau rahimahullah berkata: Para ahlul ilmi wal iman tidak berselisih bahwa orang yang muncul darinya ucapan atau perbuatan yang menjadikan dia kafir atau musyrik atau fasiq adalah bahwa dia itu divonis sesuai apa yang dituntut oleh hal itu walaupun dia itu mengakui dua kalimah syahadat. Ar Rasaail wal Masaail 3/225.
Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata di dalam Ad Durar 12/260-264: Adapun bila orang yang mengkafirkan seseorang dari umat ini dia bersandar di dalam pengkafirannya itu kepada nash dan bukti dari Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wasallam dan dia telah melihat kekafiran yang nyata seperti penyekutuan Allah dan peribadatan kepada yang lain atau perolok-olokan terhadap-Nya subhanahu wa ta’ala atau terhadap ayat-ayat-Nya atau rasul-rasul-Nya atau mendustakan mereka atau membenci apa yang telah Allah turunkan berupa petunjuk dan dienul haq atau mengingkari sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala serta hal-hal serupa itu, maka orang yang mengkafirkan dengan sebab hal ini dan yang semisal dengannya adalah benar lagi mendapatkan pahala serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya……sampai beliau berkata: Pengkafiran dengan sebab meninggalkan hal-hal pokok ajaran ini dan dengan sebab tidak beriman kepadanya adalah tergolong pondasi dien ini yang paling agung yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki minat di dalm mengenal dienul Islam…….dan beliau berkata: Dan apa yang dinukil oleh Al Qadli dari Malik berupa membawa makna hadits ini kepada Khawarij adalah sejalan dengan salah satu riwayat dari Ahmad prihal pengkafiran Khawarij, dan ia dipilih oleh sejumlah ulama madzhab ini dan yang lainnya, dikarenakan mereka itu telah mengkafirkan banyak para sahabat serta menghalalkan darah dan harta mereka seraya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dengan hal itu, dan para ulam itu tidak mengudzur mereka dengan sebab takwil yang batil, namun mayoritas para fuqaha tidak mengkafirkannya karena sebab takwil mereka, dan berkata: Baransiapa menghalakan membunuh orang-orang yang ma’shum dan mengambil harta mereka tanpa syubhat dan tanpa takwil maka dia kafir, dan bila penghalalannya itu dengan sebab takwl seperti Khawarij maka tidak kafir.
Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata di dalam Minhajut Ta-sis halaman 315: Sesungguhnya ucapan dua syaikh ini (Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim) di setiap tempatnya, di dalamnya ada penjelasan yang memuaskan bahwa penafian takfier dengan sebab mukaffirat baik yang bersifat ucapan maupun perbuatan adalah di dalam hal yang samar dalilnya serta belum tegak hujjah terhadap pelakunya. Dan sesungguhnya penafian itu dimaksudkan dengannya adalah penafian pengkafiran si pelaku dan pemberian sangsi terhadapnya sebelum tegaknya hujjah, dan bahwa penafian takfier ini adalah khusus dalam masalah-masalah yang dipertentangkan oleh umat ini. Adapun peribadatan kepada orang-orang saleh, istighatsah dengan mereka serta berlindung kepada mereka di dalam kondisisi-kondisi genting dan susah, maka hal ini tidak seorang muslim pun berselisih prihal keharamannya atau penghukumannya bahwa ia termasuk syirik akbar.[55] Dan telah lalu dari syaikh (Ibnu Taimiyyah) bahwa pelakunya disuruh taubat, kemudian bila dia taubat (maka diterima) namun bila tidak maka dia dibunuh.
Syaikh Abdullathif rahimahullah berkata juga di dalam Al Minhaj hal 320: Bagaimana dua syaikh itu (Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim) tidak menghukumi kafir atu musyrik seseorang sedangkan Allah dan Rasul-Nya telah menghukuminya[56] serta seluruh para ulama juga. Dan kedua syaikh ini menghukumi bahwa barangsiapa melakukan suatu yang menyebabkannya kafir atau murtad atau musyrik maka dia dihukumi sesuai apa yang dituntut oleh vonis tersebut baik itu kafir atau musyrik atau fasiq kecuali bila ada penghalang syar’iy yang menghalangi penyematan vonis itu, dan hal ini memiliki gambaran-gambaran khusus yang tidak masuk di dalamnya orang yang menyembah patung atau kuburan atau manusia atau pohon karena jelasnya dalil dan tegaknya hujjah dengan para rasul. Selesai.
NUKILAN-NUKILAN
DARI UCAPAN SYAIKH ISHAQ IBNU ABDIRRAHMAN
Beliau memiliki risalah yang agung yang bernama (Takfirul Mu’ayyan) prihal tidakdiudzurnya dengan sebab kebodohan, dan bahwa termasuk bid’ah yang diada-ada adalah membedakan antara ucapan dengan orangnya di dalam masalah syirik akbar. Dan semua nukilan berikut ini adalah dari risalah tersebut, di mana beliau di zamannya telah diuji dengan sekelompok orang dari Ahsa yang mengudzur dengan sebab kejahilan dan mereka itu mengaku sejalan dengan metode Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, maka beliau menjelaskan bahwa mereka itu tidak berada di atas manhaj Syaikh Muhammad maupun manhaj Ibnu Taimiyyah juga Ibnul Qayyim serta ulama salaf lainnya, dan beliau menukil banyak ijma di dalm hal ini.
Dan di dalam risalah itu beliau berkata: Telah sampai kepada kami, dan kami telah mendengar dari sebagian orang yang mengklaim ahli ilmu dan agama dan dari kalangan yang mana dia itu mengklaim mengikuti dakwah Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, (orang itu mengatakan): “Bahwa orang yang menyekutukan Allah dan menyembah berhala tidak boleh dihukumi kafir dan musyrik secara mu’ayyan,”.[57] Dan ini dikarenakan bahwa sebagian orang yang memberitakan saya akan hal itu mendengar dari sebagain ikhwan, dia itu menghukumi musyrik dan kafir orang yang menyeru Nabi dan beristighatsah dengannya, maka orang itu (maksudnya orang yang mengklaim berilmu dan beragama serta mengklaim mengikuti dakwah Syaikh Muhammad,pent) mengatakan kepada orang itu: “Janganlah kamu vonis dia kafir sebelum memberinya penjelasan (ta’rif)”. (Fatawal Aimmah An Najdiyyah 3/116)
Dan berkata juga di dalam kitabnya itu: Dan itu dikarenakan bahwa sebagian orang yang kami isyaratkan tadi telah saya ajak dia diskusi tentang masalah ini, maka dia mengatakan: “Kami mengatakan terhadap orang-orang yang meminta-minta kepada kubah-kubah kuburan yang di mana mereka ibadah kepadanya dan          kepada orang yang ada di dalamnya,”Perbuatan kamu ini adalah syirik dan dia belum tentu musyrik,’”[58] dan beliau menganggap ucapan ini sebagai bid’ah, terus beliau berkata: Orang yang memberitahu saya tentang orang ini telah menyebutkan bahwa pada suatu kesempatan dia ditanya tentang hal ini dan tentang acuan mereka, maka dia itu menjawab: “Kita hanya mengkafirkan nau’nya (jenis pelakunya) saja dan tidak menta’yin seseorang kecuali setelah ta’rif  (diberi penjelasan), sedangkan acuan kita adalah apa yang kita lihat di dalam sebagian risalah-risalah Syaikh Muhammad semoga Allah mensucikan ruhnya – bahwa beliau enggan mengkafirkan orang yang ibadah kepada kubbah Kawwaz dan Abdul Qadir dari kalangan orang~orang jahil karena tidak ada orang yang mengingatkan (mereka) “. Syaikh Ishaq mengatakan hal itu sebagai bentuk pengingkaran terhadap pernyataan yang batil itu.
Dan beliau berkata: Dan masalah kita ini yaitu masalah ibadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan berlepas diri dari ibadah kepada selain-Nya, dan barangsiapa beribadah kepada yang lain disamping dia beribadah kepada Allah maka dia itu telah menyekutukan Allah dengan syirik akbar yang mengeluarkan dia dari agama ini, (masalah ini) adalah ashlul ushul (pokok segala pokok), dengannya Allah mengutus para Rasul dan dengannya Dia menurunkan banyak kitab, serta hujjah itu telah tegak atas manusia dengan Rasulullah dan dengan Al Qur’an. Begitulah anda bisa dapatkan jawaban seperti itu dari para Imam agama ini dalam pokok agama ini tatkala mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah, sesungguhnya dia (orang yang menyekutukan Allah) itu langsung disuruh taubat, bila dia bertaubat (maka dia dilepas), namun bila dia tidak bertaubat, maka dia dibunuh, mereka (semua para Imam) tidak menyebutkan (keharusan) ta’rif (pemberian penjelasan) dalam masalah-masalah ushuul.[59] Mereka hanya menyebutkan talrif dalam masalah-masalah khafiyyah (yang samar) yang terkadang dalilnya samar atas sebagian kaum muslimin, seperti masalah yang diperselisihkan oleh sebagian Ahlul bid’ah, seperti Qadariyyah, Murji’ah atau dalam masalah yang samar seperti sharf dan ‘athaf. Bagaimana mungkin para pengagung/penyembah kuburan itu dita’rif (diberi penjelasan) sedangkan mereka itu bukan kaum muslimin[60] dan mereka itu tidak masuk dalam lingkungan Islam, apakah masih tersisa amalan bila disertai syirik (akbar).
Beliau rahimahullah berkata:
“Dan barangsiapa kafir kepada Allah maka hapuslah amalannya,” ( Al Maidah: 5)
Dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan tetapi keyakinan ini (maksudnya keyakinan tidak bolehnya mengkafirkan orang yang berbuat syirik akbar secara langsung ta’yin, kecuali setelah diberi penjelasan terlebih dahulu, Pent) mengharuskan, darinya timbul keyakinan yang sangat busuk, yaitu bahwa hujjah itu belum tegak dengan Rasulullah dan Al Qur’an atas umat ini, naudzubillah dari busuknya pemahaman yang memastikan mereka melupakan Kitabullah dan Rasulullah.
Dan beliau rahimahullah berkata: Syubhat yang kami sebutkan tadi itu telah pernah terjadi hal serupa atau lebih kecil darinya terhadap orang-orang zaman Syaikh Muhammad rahimahullah, namun orang yang mendapatkan syubhat pada zaman syaikh ini dia memandangnya sebagai syubhat dan dia mencari penyelesaian masalahnya, dan adapun orang yang kami sebutkan di atas, sesungguhnya mereka menjadikan syubhat ini sebagai ashl (landasan pokok/manhaj) dan mereka memperlakukan seluruh orang-orang musyrik dengan          ta’rif (diberi penjelasan sebelum dikafirkan), serta mereka menganggap bodoh orang-orang yang tidak sepakat dengan mereka16, sehingga mereka itu tidak mendapatkan taufiq akan kebenaran.
Dan berkata rahimahullah: Perhatikanlah perkataan beliau rahimahullah dalam hal takfir (pengkafiran) terhadap para ulama itu dan dalam hal kafirnya orang yang beribadah kepada berhala yang ada di atas kuburan Yusuf, dan sesungguhnya pengkafiran itu sungguh sangat jelas dalam perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah dan dalam penghikayatan beliau (Syaikh Muhammad) tentang Ahmad Ibnu Abdil Karim (yang dikirimi         surat itu), serta vonis beliau terhadapnya dengan ayat dalam surat Al Munafiqun, dan sesungguhnya ini adalah hukum yang mencakup luas. Dan beliau berkata: kemudian anda mendapatkan banyak dari tokoh-tokoh mereka yang terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan semacam ini, sehingga jadilah mereka orang-orang murtad dari Islam dengan kemurtaddan yang sangat jelas sampai beliau (Ibnu Taimiyyah) mengatakan: Dan lebih dasyat dari itu adalah bahwa sebagian mereka mengarang buku kemurtadan sebagaimana Ar Raziy mengarang tentang tata cara ibadah kepada bintang-bintang28 dan ini adalah kemurtaddan dari Islam dengan kesepakatan kaum muslimin.(yaitu bahwa beliau (Ibnu Taimiyyah) tidak mengudzurnya dengan sebab takwil, sedangkan takwil itu adalah seperti kejahilan di dalam hukum, bahkan tidak melakukan takwil kecuali orang yang jahil).
Kemudian beliau rahimahullah berkata: Kemudian amati perkataan Syaikhul Islam dalam vonis kafir yang beliau kenakan kepada mereka, apakah beliau mengatakan bahwa mereka itu tidak boleh dikafirkan dahulu sebelum diberi penjelasan? atau apakah mereka itu tidak divonis sebagai orang-orang musyrik33 namun hanya dikatakan bahwa perbuatannya yang syirik sebagaimana yang dikatakan oleh orang yang kami isyaratkan tadi?
Dan beliau berkata: Kemudian amatilah penghikayatan Syaikh Muhammad dari Syaikhul Islam saat mengomentari para ahli kalam dan yang sejalan dengan mereka: Hal ini bila terjadi dalam maqalaat khafiyyah (pendapat-pendapat keyakinan yang samar), maka bila dikatakan sesungguhnya orangnya itu adalah mukhthi’ dlaal (salah lagi sesat) yang belum tegak atasnya hujjah yang di mana orang yang meninggalkannya bisa dikafirkan, akan tetapi hal itu terjadi pada kelompok-kelompok dari mereka  dalam hal-hal yang dhahirah (nampak) yang di mana orang-orang musyrikin, Yahudi dan Nasrani mengetahui bahwa Muhammad diutus dengannya dan mengkafirkan orang-orang yang menyalahinya, seperti perintah beliau agar orang-orang beribadah kepada Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, dan larangan beliau dari beribadah kepada selain Allah, baik itu para Nabi, Malaikat dan yang lainnya, sesungguhnya itu semua adalah syi’ar-syi’ar Islam yang paling nampak, kemudian anda dapatkan banyak dari tokoh-tokoh mereka terjerumus dalam penyimpangan-penyimpangan macam ini, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang murtad dari Islam sampai akhirnya Syaikh Muhammad mengatakan: Maka perhatikanlah perkataannya dalam membedakan antara maqaalaat khafiyyah (masalah pendapat yang samar/pelik) dengan masalah yang sedang kita bicarakan dalam hal kekafiran orang tertentu (mu’ayyan), dan amatilah takfir beliau (pengkafiran yang beliau lakukan) terhadap para tokoh mereka. Dan amatilah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh. Dan beliau berkata: Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah (Ibnu Muhammad Ibni Abdil Wahhab) rahimahullah berkata dalam syarah kitab Tauhid di banyak tempat (Bahwa orang yang telah mengucapkan kalimah tauhid, shalat, dan zakat, namun dia menyalahi itu dengan perbuatan dan perkataannya, seperti dengan menyeru orang-orang shalih, istighatsah kepada mereka. dan menyembelih untuk mereka, maka sesungguhnya dia itu sama seperti orang Yahudi dan Nasrani dalam hal pengucapan mereka akan kalimah tauhid dan menyalahinya). Dengan dasar ini maka orang yang mengatakan harus adanya penjelasan (ta’rif) dikala mau mengkafirkan orang yang menyekutukan Allah,[61] maka wajib atas orang itu mengatakan seharusnya ta’rlf di kala mau mengkafirkan orang Yahudi dan Nasrani, tidak beleh mengkafirkan mereka (yahudi dan Nasrani) kecuali setelah adanya ta’rif. Ini sangat jelas sekali dengan kiyas.
Dan beliau: Sesungguhnya dia membuang pertanyaan, padahal jawaban ini berkenaan dengan takfir dalam masalah yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan Khawarij dan Rafidlah, sesungguhnya mereka (Khawarij dan Rafidlah) itu mengkafirkan kaum muslim dan Ahlus Sunnah karena berbeda dengan bid’ah-bid’ah yang mereka ada-adakan, mereka tetapkan dan mereka yakini. Al ‘Iraqi itu tidak membuang hal ini kecuali karena ada kekhawatiran bila dikatakan bahwa menyeru ahli kubur, meminta serta beristighatsah kepada mereka bukanlah termasuk dalam pembahasan (yang ada di dalam jawaban) itu, sedangkan kaum muslimin tidak berbeda pendapat di dalamnya bahkan semua berijma’[62] bahwa (menyeru ahli kubur / memohon / istighatsah kepada mereka) itu adalah termasuk syirik yang membuat kafir sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan beliau menjadikannya dalam bagian yang tidak ada perbedaan dalam takfir (pelakunya) dengan sebab hal itu, sehingga tidak boleh membawa perkataan di atas itu terhadap apa yang beliau pastikan bahwa itu kekafiran yang diijmakan. Dan seandainya penukilan Al ‘Iraqi ini benar pada tempatnya tentu perkataan beliau (Syaikh) ini satu sama lain saling bertentangan, sedangkan Allah telah melindungi dan menjaganya dari hal ini, bahkan ucapan beliau ini sejalan saling mendukung satu sama lain. Bila engkau telah mengetahui ini tentu engkau mengetahui tahrif yang dilakukan Al “Iraqi dalam membuang dan menggugurkan sebagai perkataan. Dan juga sesungguhnya membuang awal perkataan membuat ungkapan itu keluar dari makna yang sebenarnya dan dari arti yang diinginkan.
Tahrif    yang kedua Sesungguhnya Syaikh rahimahullah berkata Ashluttakfir  Lilmuslimin (pokok pengkafiran kaum muslimin).” Sedangkan ungkapan-ungkapan Syaikh yang sangat banyak mengeluarkan para pengagung kuburan (‘ubbadul qubuur) dari nama kaum muslimin sebagaimana yang akan kami nukil sebagian ucapan beliau  ketika menghukumi mereka bahwa mereka itu tidak masuk dalam jajaran kaum muslimin dalam hal pembahaskan ini, kemudian beliau menyebutkan ungkapan yang berkenaan dengan sebagian kaum muslimin yang terjerumus dalam kekeliruan pada sebagian masalah furu’, sampai akhirnya beliau mengatakan: Siapa orangnya yang meyakini ketuhanan seseorang atau dia menyeru mayit dan meminta darinya rizki, pertolongan, dan hidayah, dia bertawakkal kepadanya dan sujud terhadapnya, maka sesungguhnya dia itu diperintahkan untuk taubat, bila dia taubat (maka dilepas) dan bila tidak maka dipenggal lehernya… (selesai ucapan        beliau) maka batillah (gugurlah) pengambilan dalil yang dilakukan oleh A1 ‘Iraqi itu dan robohlah dari pangkalnya, bagaimana mungkin larangan mengkafirkan (takfir) kaum muslimin itu mencakup orang yang menyeru orang-orang shalih, beristighatsah kepadanya dan memalingkan ibadah-ibadah yang tidak layak kecuali bagi Allah kepada mereka itu, ini (anggapan) sungguh sangat batil dengan Nushushul Kitab Was Sunnah dan Ijma ulama umat ini. Dan di antara keanehan kejahilan Al ‘Iraqi ini, dia berhujjah atas lawannya dengan klaim itu juga, sedangkan klaim itu tidak layak dijadikan dalil, karena klaim Al ‘Iraqi akan Islamnya para pengagung kuburan itu sangat memerlukan dalil yang pasti akan keislaman mereka, dan bila keislaman mereka itu terbukti dengan dalil maka terlaranglah mengkafirkan mereka itu. Memperkembang masalah ini adalah tidak susah, dan termasuk hal yang ma’lum adalah bahwa orang-orang yang mengkafirkan kaum muslimin dengan hawa nafsunya seperti Khawarij dan Rafidlah48 atau mengkafirkan orang yang keliru dalam masalah-masalah ijtihadiyyah baik dalam ushul atau furu’ maka orang ini dan yang serupa dengannya adalah mubtadi’ dlaal (ahli bidah yang sesat) yang menyalahi ijma para imam petunjuk dan para masyayikh agama ini, sedangkan orang seperti Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab tidak pernah mengkafirkan seorangpun dari orang jenis dan macam ini, dan beliau hanya mengkafirkan  orang yang telah dikafirkan oleh Al Kitab Al Aziz, dikafirkan oleh As Sunnah Ash Shahihah, dan umat ijma49 akan pengkafirannya, seperti orang yang mengganti agamanya (murtad), dan melakukan amalan orang-orang jahiliyyah yang menyembah para Nabi, para Malaikat dan orang-orang shalih, dan mereka memohon/menyeru kepada mereka itu. Sesungguhnya Allah telah mengkafirkan mereka, menghalalkan darahnya, hartanya dan anak-anaknya (untuk dijadikan budak) dengan sebab mereka beribadah kepada selainNya, baik itu Nabi, wali, atau patung, dan tidak ada perbedaan di dalam vonis kekafiran di antara mereka sebagaimana itu ditunjukan oleh Al Kitab Al Aziz dan As Sunnah yang masyhur. Penjelasan lebar hal ini akan datang nanti, sedangkan sebagiannya sudah lewat. Beliau berkata saat ditanya tentang status orang-orang jahil itu, maka beliau menetapkan bahwa orang yang telah tegak hujjah atasnya dan memiliki ahliyyah50 untuk mengetahuinya maka dia itu dikafirkan[63] dengan sebab dia beribadah ke kuburan, dan adapun orang yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya maka saya tidak tahu bagaimana keadaannya. Dan sebagian perkataan beliau ini sudah lewat dan di anggap sudah cukup jelas, sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullah dengan tegas memastikan kafirnya orang-orang yang taqlid kepada syaikh-syaikhnya dalam masalah-masalah yang mukaffirah (yang membatalkan keislaman) bila mereka itu memiliki kemungkinan untuk mencari dan mengetahui kebenaran dan mereka memiliki ahliyyah akan hal itu namun mereka malah berpaling darinya dan tidak menghiraukannya. Adapun orang yang tidak ada kemungkinan baginya untuk mencari kebenaran dan tidak memiliki ahliyyah untuk mengetahui apa yang dibawa oleh para Rasul, maka dia menurut Ibnul Qayyim statusnya sama dengan Ahlul fatrah dari kalangan yang tidak sampai kepada mereka dakwah seorang. Rasul-pun, dan kedua macam orang ini sama-sama tidak dihukumi sebagai orang-orang Islam dan tidak masuk dalam jajaran kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagian mereka,51 dan nanti perkataan beliau (Ibnul Qayyim) itu akan datang, dan adapun syirik itu sudah mengenai mereka dan namanya meliputi mereka,53 Islam apa yang tersisa padanya bila landasannya yang paling besar yaitu kesaksian laa ilaaha illallaah – dihancurkan, dan apakah nama Islam itu masih nempel dikala dia beribadah dan menyeru orang-orang shalih, sebagaimana yang disebutkan oleh para fuqaha dalam bab hukum orang murtad.
Dan berkata rahimahullah: Perhatikanlah ucapan beliau rahimahullah: menyeru ahli kubur, meminta serta beristighatsah kepada mereka bukanlah termasuk dalam pembahasan (yang ada di dalam jawaban) itu, dan kaum muslimin tidak ada perselisihan di dalamnya. Dan berkata juga: dan perhatikan juga dalam apa yang dikatakan Syaikh Abdullathif dalam apa yang beliau nukil dari Ibnul Qayyim bahwa status minimal mereka itu adalah seperti ahli fatrah yang meninggal dunia sebelum adanya kerasulan dan seperti orang yang belum sampai kepadanya dakwah seorang nabipun, sampai ucapannya: dan kedua macam orang ini sama-sama tidak dihukumi sebagai orang-orang Islam[64] dan tidak masuk dalam jajaran kaum muslimin termasuk menurut orang yang tidak mengkafirkan sebagian mereka, dan nanti perkataan beliau (Ibnul Qayyim) itu akan datang, dan adapun syirik itu sudah mengenai mereka dan namanya meliputi mereka, Islam apa yang tersisa padanya bila landasannya yang paling besar yaitu kesaksian laa ilaaha illallaah – dihancurkan. Selesai.
NUKILAN-NUKILAN
DARI UCAPAN SYAIKH ABDULLAH DAN IBRAHIM PUTERA SYAIKH ABDULLATHIF DAN UCAPAN SYAIKH SULAIMAN IBNU SAHMAN
Mereka telah berbicara banyak tentang hal itu, dan mereka menzamani orang yang mengudzur dengan sebab kejahilan di dalam syirik akbar. Dan yang paling banyak berperan di dalam hal ini adalah Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman, di mana beliau menulis banyak kitab tentang hal itu, di antaranya:
  1. Kitab Kasyfusy Syubhatain.
  2. Kitab Kasyful Auham Wal Iltibas.
  3. Kitab Tamyiz Ash Shidqi Minal Main.
Ia adalah tiga kitab yang sangat agung di dalam masalah ini, bahkan ia adalah ringkasan bagi ucapan para aimmatud dakwah dalam hal itu, dan ia adalah penjelasan bagi ucapan Al Imam Ibnu Taimiyyah dan Al Imam Ibnul Qayyim.
Syaikh Abdullah dan Ibrahim putera Syaikh Abdullathif dan Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata: (Adapun Jahmiyyah dan ‘Ubbadul Qubur, maka tidak berdalil dengan nash-nash semacam ini terhadap sikap tidak mengkafirkan mereka itu kecuali orang yang tidak mengetahui hakikat islam….” Dan mereka berkata: Karena kemusyrikan yang mereka lakukan itu adalah menggugurkan kalimat tauhid yang telah mereka ucapkan).
Dan metode mereka bertiga itu adalah mengqiyaskan kekafiran ‘Ubbadul Qubur terhadap pengkafiran Jahmiyyah yang dilakukan salaf serta sikap salaf tidak mengudzur mereka di dalam pengkafirannya dengan sebab kejahilan. Ad Durar 10/432.
Syaikh Abdullah dan Ibrahim putera Syaikh Abdullathif dan Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata di dalam Ad Durar 10/433-437: Sesungguhnya ahli ilmu dan hadits tidak berselisih prihla kekafiran Jahmiyyah, sampai mereka berkata: Syaikhul Islam dan muridnya yaitu Ibnul Qayyim telah menuturkan di dalam banyak tempat bahwa penafian pengkafiran dengan sebab hal-hal yang mengkafirkan baik itu ucapan maupun perbuatan adalah di dalam hal yang samar dalilnya serta hujjah belum tegak terhadap pelakunya, dan bahwa penafian itu itu maksudnya adalah penafian pengkafiran pelakunya dan pemberian sangsi hukum terhadapnya sebelum tegaknya hujjah, dan bahwa penafian pengkafiran itu adalah khusus di dalam masalah-masalah yang dipertentangkan di antara umat ini. Adapun masalah peribadatan kepada orang-orang saleh, istighatsah dengan mereka dan berharap kepada mereka di dalam kondisi-kondisi genting dan sulit, maka hal ini tidak ada seorang muslimpun yang menyelisihi tentang pengharamannya dan tentang penghukumannya bahwa ia tergolong syirik akbar,[65] sehingga di dalam pengkafiran mereka dan di dalam pengkafiran Jahmiyyah itu tidak ada dua pendapat.
Di dalam Ad Durar 10/434 mereka menafsirkan sikaf tawaqquf Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab prihal orang yang menyembah kubbah Kawwaz dan sikap beliau tidak mengkafirkan orang musyrik sampai beliau mendakwahi keduanya, yaitu bahwa beliau tidak serta merta mengkafirkan manusia langsung begitu saja sebelum tegaknya hujjah dan dakwah, karena saat itu adalah zaman fatrah dan ketidakadaan ilmu tentang ajaran rasul, oleh sebab itu beliau berkata: Karena kejahilan mereka dan ketidakadaan orang yang mengingatkan mereka. Adapun bila hujjah sudah tegak, maka tidak ada penghalang dari mengkafirkan mereka walaupun mereka itu tidak memahaminya) selesai. Perhatikanlah bahwa ucapan beliau itu tentang takfir, adapun penafian nama muslim dari mereka maka beliau  menafikannya walaupun beliau tidak mengkafirkan, karena mereka itu melakukan syirik, dan nama musyrik itu menyemat pada diri mereka sehingga nama itu tersanding pada diri mereka.
Syaikh Abdullah dan Ibrahim putera Syaikh Abdullathif dan Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata di dalam Ad Durar 10/432-435: (Adapun Jahmiyyah dan ‘Ubbadul Qubur, maka tidak berdalil dengan nash-nash semacam ini (“Barangsiapa shalat seperti shalat kami” dan nash-nash nabawi lainnya) terhadap sikap tidak mengkafirkan mereka itu kecuali orang yang tidak mengetahui hakikat islam dan ajaran yang dengannya Allah telah mengutus para rasul yang mulia, karena hakikat apa yang mereka bawa dan yang mereka dakwahkan adalah kewajiban ibadah kepada Allah saja dan tidak ada sekutu bagi-Nya, pemurnian amalan kepada-Nya, tidak menyekutukan sesuatu makhluqpun di dalam hak khusus Allah, dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat yang telah Dia tetapkan bagi Diri-Nya berupa sifat-sifat kesempurnaan dan kemulianaan. Barangsiapa menyelisihi apa yang mereka bawa dan malah menafikannya dan menggugurkannya, maka dia itu orang kafir yang sesat walaupun dia mengucapkan laa ilaaha illallaah dan mengaku muslim, karena kemusyrikan yang dia lakukan adalah telah menggugurkan kalimat tauhid yang dia ucapkan, sehingga pelafalan lkalimat laa ilaaha illallaah itu tidaklah bermanfaat bagi dia, karena dia mengucapkan apa yang tidak dia amalkan serta tidak meyakini kandungannya. Dan adapun ucapannya: Kami katakan bahwa ucapannya kufur namun kami tidak menhukumi orangnya sebagi orang kafir” maka pemuthlaqan ucapan ini adalah kejahilan[66] yang murni, karena ungkapan ini hanyalah terkait orang mu’ayyan.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata di dalam Kasyfusy Sybhatain 64: Sesungguhnya syirik akbar berupa peribadatan kepada selain Allah dan pemalingan ibadah kepada selain-Nya di samping dia beribadah kepada Allah baik itu para nabi, atau para wali atau orang saleh, maka sesungguhnya hal ini tidak seorangpun diudzur dengan sebab kejahilan terhadapnya, dan justeru mengetahuinya dan iman terhadapnya adalah termasuk hal yang pasti di dalam islam ini.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman menukil dari gurunya Syaikh Abdullathif di dalam Minhajut Ta-sis hal 102-105: Oleh sebab itu beliau (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) menghukumi (pasti neraka) terhadap orang-orang mu’ayyan dari kalangan kaum musyrikin jahiliyyah arab yang ummiy, karena jelasnya dalil dan nyatanya bukti. Dan di dalam hadits Banul Muntafiq (Bila kamu melewati kuburan orang musyrik mana saja baik itu dari suku Daus maupun Quraisy, maka katakanlah: Sesungguhnya Muhammad memberi kabar kamu diadzab di neraka) ini padahal mereka itu adalah ahli fatrah, maka bagiamana dengan orang yang hidup dari kalangan umat ini sedangkan dia mendengar ayat-ayat qur’aniyyah dan hadits-hadits nabawiyyah serta hukum-hukum fiqh prihal kewajiban tauhid dan perintah merealisasikannya serta pengharaman syirik dan larangan dari melakukannya. Selesai.
Dan beliau menukil dari guru-gurunya seraya mengukuhkannya di dalam Fatawa Al Aimmah An Najdiyyah 3/195-196: (Adapun masalah peribadatan terhadap kuburan dan penyeruan mereka di samping beribadah kepada Allah, maka ia adalah masalah yang disepakati keharamannya dan diijmakan pelarangannya serta penetapan dosa bagi pelakunya, sehingga ia tidak masuk di dalam ucapan syaikh (Ibnu Taimiyyah) karena jelasnya bukti dan nyatanya dalil serta tidak dianggapnya syubhat di dalamnya. Dan berkata: Dan telah lalu bahwa umumnya orang-orang kafir dan kaum musyrikin sejak zaman nabi Nuh sampai zaman kita ini adalah mereka itu jahil dan melakukan takwil, dan juga Ahlul Hulul wal It Tihad seperti Ibnu ‘Arabi, Ibnul Faridl, At Tilimsani serta yang lainnya dari kalngan kaum sufi adalah mereka melakukan takwil, dan ‘Ubbadul Qubur serta kaum musyrikin yang sedang kita bicarakan[67] juga adalah mereka itu melakukan takwil…sampai beliau berkata: dan orang-orang nasrani pun melakukan takwil. Dan beliau berkata: Termasuk suatu yang diketahui secara pasti dari dien ini adalah bahwa islam dan syirik itu adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu dan tidak bisa kedu-duanya lenyap secara bersamaan dari seseorang. Dan karenanya maka mustahil dengan dalih syubhat apapun seorang muslim[68] itu merangkap menjadi orang musyrik, karena itu menyebabkan kumpulnya dua hal yang kontradiksi dan terjadinya hal yang mustahil. Selesai.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman menukil di dalam Kasyfusy Syubhatain hal 92 dari gurunya Syaikh Abdullathif seraya mengukuhkan ucapannya itu: Maka tidak diudzur seorangpun dalam hal dia tidak beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya serta hari akhir, maka tidak ada udzur baginya setelah itu dengan sebab kejahilan.[69] Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan tentang kejahilan banyak orang-orang kafir padahal Dia tegas mengkafirkan mereka.
Berkata di dalam Kasyfusy Syubhatain 93-94: Adapun masalah tauhidullah dan pengikhlasan ibadah kepada-Nya, maka tidak menyelisihi di dalam kewajibannya seorangpun dari penganut islam ini, termasuk ahli bid’ah[70] sekalipun dan yang lainnya, dan ia itu tergolong masalah yang diketahui pasti di dalam dien ini. Setiap orang yang telah sampai risalah kepadanya dan dia memiliki gambaran tentangnya sesuai apa yang sebenarnya, dan begitu juga Jahmiyyah yang telah dikeluarkan oleh salaf dari yang 72 firqah……sampai beliau berkata: Orang mu’ayyan bila muncul darinya suatu yang menyebabkan dia menjadi kafir berupa hal-hal yang diketahui secara pasti di dalam islam ini seperti peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala dan seperti pengingkaran bahwa Allah itu ada di atas semua makhluk-Nya dan penafian sifat-sifat keagungan dan kemuliaan-Nya yang berkaitan dengan Dzat-Nya dan perbuatan-Nya serta masalah pengetahuan-Nya terhadap segala apa yang terjadi sebelum kejadiannya, maka sesungguhnya pelarangan pengkafiran dan penetapan dosa dengan sebab kesalahan ijtihad di dalam hal ini semuanya adalah merupakan bantahan terhadap orang yang mengkafirkan kaum yang menafikan Dzat Allah, dan yang menafikan rububiyyah-Nya, dan yang menafikan asma dan sifat-Nya, dan yang menafikan keesaan-Nya subhanahu wa ta’ala dengan uluhiyyah-Nya,[71] dan yang mengatakan bahwa Allah itu tidak mengetahui apa yang terjadi sebelum ia terjadi seperti Ghulatul Qadariyyah, dan orang yang menyandarkan kejadian yang terjadi kepada bintang-bintang yang di atas, serta orang yang meyakini adanya dua sumber pencipta yaitu cahaya dan kegelapan. Dan bila si orang yang mengudzur dengan sebab kejahilan itu kemitmen dengan kaidahnya itu di dalam hal ini semuanya maka dia itu lebih kafir dan lebih sesat daripada kaum yahudi dan nasrani.
Dan berkata rahimahullah di dalam Kasyfusy Syubhatain hal 95: Sesungguhnya ucapan syaikhul Islam hanyalah diketahui dan dipahami oleh orang yang mengkaji dalam ucapannya serta memahami kaidah-kaidahnya, karena sesungguhnya beliau telah menegaskan di dalam banyak tempat bahwa kesalahan ijtihad itu bisa dimaafkan  bagi orang yang belum sampai syari’at kepadanya dan belum tegak hujjah terhadapnya adalah di dalam masalah-masalah tertentu saja bila dia bertaqwa kepada Allah dan bersungguh-sungguh sesuai maksimal kemampuannya, maka mana taqwa dan sungguh-sungguh yang diklaim oleh ‘Ubbadul Qubur dan orang-orang yang memohon kepada orang-orang yang sudah mati dan yang ghaib serta orang-orang yang menggugurkan Allah dari sifat ‘Uluww di atas semua makhluk-Nya dan yang menafikan asma dan sifat keagungan-Nya?
Dan berkata rahimahullah di dalam Kasyfusy Syubhatain hal 79-80 dalam menuturkan madzhab Ibnu Taimiyyah prihal sikap tidak mengkafirkan di dalam masaail khafiyyah sampai tegak hujjah. Dan adapun di dalam masaail dhahirah yang nyata yang diketahui pasti dari dien ini, maka beliau tidak tawaqquf di dalam pengkafiran pelakunya.
Dan dalam Fatawa Syakh Muhammad Ibnu Ibrahim, berkata pengumpul Fatawa di dalam daftar isinya: Apakah sesorang diudzur dengan sebab kejahilan terhadap tauhid, terus berkata: Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim ditanya: Walaupun dia jahil? Maka Syaikh berkata: Tauhid adalah tidak ada kejahilan di dalamnya, hal ini tidak pantas tidak diketahui, orang ini hanyalah berpaling dari agama, apakah orang tidak mengetahui matahari? Al Fatawa 12/198.
NUKILAN DARI UCAPAN
LAJNAH DAIMAH DAN YANG LAINNYA
Di dalam fatwa Lajnah Daimah 1/220, mereka menjawab seraya berkata: Setiap orang yang beriman kepada kerasulan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam dan segala apa yang beliau bawa di dalam syari’at ini, bila dia sujud setelah itu kepada selain Allah  baik itu wali atau penghuni kuburan atau syaikh thariqat, maka dia itu dianggap kafir lagi murtad dari islam lagi musyrik kepada Allah di dalam ibadah walaupun dia mengucapkan dua kalimah syahadat saat dia sujudnya itu, karena dia telah mendatangkan apa yang membatalkannya berupa sujud kepada selain Allah, akan tetapi bisa saja diudzur karena kejahilannya sehingga sangsi hukuman tidak langsung dikenakan kepadanya sampai dia diberitahu dan ditegakkan hujjah terhadapnya serta dieberi tenggang waktu tiga hari sebagai kesempatan bagi dia untuk merujuk dirinya dengan harapan dia taubat, kemudian bila dia tetap bersikukuh terhadap sujudnya kepada selain Allah itu setelah ada penjelasan tadi maka dia dibunuh karaena kemurtaddannya…jadi pemberian penjelasan dan penegakkan hujjah itu itu adalah untuk memberi dia kesempatan waktu sebelum dijatuhkan sangsi hukuman dengan sebabnya bukan untuk dinamakan sebagai orang kafir setelah pemberian penjelasan itu, karena sesungguhnya dia itu telah dinamakan sebagai orang kafir dengan perbuatan yang dia lakukan berupa sujud kepada selain Allah[72] itu atau nadzarnya atau penyembelihan kambing sebagai tumbalnya umpamanya. Selesai.
Syaikh Ibnu Baz (rahimahullah) berkata: Urusan itu ada dua macam, satu macam yang di dalamnya diudzur dengan sebab kejahilan dan satu macam yang tidak diudzur di dalamnya dengan sebab kejahilan. Bila orang yang melakukan hal itu berada di tengah kaum muslimin dan dia melakukan kemusyrikan dengan beribadah kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia itu tidak diudzur, karena dia itu teledor lagi tidak mau berupaya serta tidak mau membekali dirinya di dalam agamanya, sehingga dia itu tidak diudzur di dalam peribadatannya kepada selain Allah. Fatawa Ibnu Baz 4/26-27.
Dan ia adalah pendapat guru kami Syaikh Hamud ‘Uqla Asy Syu’aibi semoga Allah menjaga dan melindunginya.
PASAL KETUJUH
PENUTURAN DILALAH QIYAS
Setelah menuturkan dalil-dalil dari Al Kitab dan As Sunnah, Ijma dan pernyataan para ulama yang menunjukan tidak ada udzur karena kejahilan dalam hal syirik akbar, kami akan menuturkan apa yang ditunjukan oleh qiyas dalam hal itu. Dan disini ada dua qiyas: Qiyas Aula dan Qiyas Syabah.
Petama: Qiyas Aula
  1. Ijma para sahabat atas kafirnya Musailamah dan para pengikutnya secara ta’yin dan mereka tidak diudzur karena kejahilan tatkala dia mengaku sekutu Rasulullah dalam kenabian.
Sisi Qiyasnya adalah tidak diudzurnya dia dalam persekutuan ini, maka apa gerangan dengan orang yang mengklaim musyarakah (menyertai/menyekutui) Allah dalam ibadah kepada-Nya, dia dan pengikutnya. Dan ini lebih utama (untuk tidak diudzur)
  1. Ijma para sahabat atas kafirnya Al Mukhtar Ats Tsaqafi dan para pengikutnya tatkala dia mengklaim menjadi Nabi, sebagaimana yang kami katakan tentang Musailamah dan para pengikutnya. Ini juga lebih utama (untuk tidak diudzur karena kejahilan).
  2. Ijma para sahabat atas tidak diudzurnya orang-orang yang menolak bayar zakat dengan sebab kejahilan, karena mereka menolak (menunaikan) salah satu dari hak Laa ilaaha illallaah, maka lebih utama lagi orang yang menolak Laa ilaaha illallaah yang merupakan inti.
  3. Tidak diudzurnya orang yang menikahi ibu tirinya dengan ijma dengan sebab kejahilan, bahkan tidak diminta rincian masalah darinya, karena masalahnya adalah sama dalam hal itu, karena dia tidak komitmen akan hak-hak Laa ilaaha illallaah maka apa gerangan dengan Laa ilaaha illallaah.
Kedua: Qiyas Syabh
  1. Salaf ijma atas kafirnya Ahlul Hulul Wal Ittihad, karena mereka mengklaim bahwa Allah telah menyatu pada sebagian makhluk-Nya Maha Suci Allah dari hal itu. Maka begitu juga sama dengannya orang yang mengklaim bahwa uluhiyyah (sifat Ketuhanan) itu menyatu pada diri orang-orang shalih, sehingga dia mengibadatinya.
  2. Salaf ijma atas kafirnya Al Musyabbihah yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dalam asma dan sifat, maka serupa dengannya orang yang menyamakan salah satu makhluk Allah dengan Allah dalam sifat uluhiyyah baginya, terus dia mengibadati selain Allah.
  3. Salaf ijma atas kafirnya orang-orang Jahmiyyah Mu’aththilah dan Qadariyyah yang mengingkari lagi menafikan sifat Ilmu bagi Allah, maka serupa dengannya orang yang menafikan sifat uluhiyyah dari Allah dan memberikan kepada sebagian makhluk-Nya
  4. Mengqiyaskannya dengan qiyas syabah terhadap orang yang memperolok-olok Allah, maka sesungguhnya dia kafir dengan ijma dan tidak diudzur dengan kejahilannya, sedangkan orang musyrik dengan penyekutuannya itu dia memperolok-olok Allah sebagaimana kata ulama salaf, Allah berfirman : “Dan Maha Suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik”
PASAL KEDELAPAN
KONSEKUENSI YANG BATIL
Orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan, dia memiliki konsekuensi-konsekuensi yang bathil bila memberlakukan pendapatnya secara baku:
  1. Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil lagi awam dari kalangan Yahudi dan Nashrani.
  2. Dia harus mengudzur Ahlul Fatrah atau sebagiannya karena kejahilan mereka. (dan ini tentunya menyelisihi ijma)
  3. Dia harus mengudzur orang-orang yang jahil dan awam dari kalangan munafiqin. (dan ini tentunya menyelisihi ijma)
  4. Dia harus mengudzur setiap orang yang mengingkari rububiyyah Allah karena jahil. (dan ini tentunya menyelisihi ijma)
  5. Dia harus mengudzur orang yang mengingkari Ilmu Allah karena kejahilan atau  takwil. (dan ini tentunya menyalahi ijma)
  6. Dia harus mengudzur orang yang menafikan nama-nama dan sifat Allah karena kejahilan dari kalangan jahmiyyah. (dan ini tentunya menyalahi ijma)
  7. Pendapat ini mengharuskan adanya pendapat bahwa hujjah itu belum tegak atas seorangpun dari umat ini baik dengan Rasul atau dengan Al Qur’an.
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata saat menjelaskan batalnya lawazim yang lalu, beliau berkata dalam kitabnya Kasyfusy Syubhatain : “Sesungguhnya larangan dari mengkafirkan dan menetapkan dosa dengan sebab kekeliruan dalam hal ini semua (yaitu syirik akbar) adalah merupakan sikap membantah terhadap (ulama-ulama) yang telah mengkafirkan Mu’aththilah Dzat, Mu’aththilah Rububiyyah, Mu’aththilah Asma dan Sifat dan mu’aththilah sifat Esa Allah ta’ala dengan Ilahiyyah, dan orang-orang yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi sebelum kejadiaannya seperti Qadariyyah yang ekstrim, dan orang-orang yang berpendapat dengan penyandaran segala kejadian kepada bintang-bintang yang ada di atas, serta orang yang berkeyakinan adanya dua pokok, cahaya dan gelap. Sesungguhnya orang yang komitmen dengan hal ini semua, maka dia lebih kafir dan lebih sesat daripada Yahudi dan Nashrani. Selesai.
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘Alamin, dan semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad, keluarganya dan seluruh sahabatnya.

[1] Begitu juga orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah, sedang dia masih menyembah (mengikuti)           berhala pancasila, demokrasi, UUD dan paghanisme hukum lainnya, maka dia itu bukan orang muslim walau khatam Al-Qur’an tiap hari atau tidak pernah tinggal shalat (pent)
[2] Ini menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad telah memahami dan mencerna madzhab Ibnu Taimiyyah dalam hal ini serta berjalan di atas jalannya.
[3] Perhatikan bahwa penafian itu terhadap nama takfier, bukan terhadap nama syirik.
[4] Ini adalah batasan al-umuur adh-dhahir (hal-hal yang tampak), kadang disebut al-ma’lum minaddin bidl dlarurah (suatu yang diketahui dari dien ini secara pasti).
[5] Yaitu bahwa Syaikh Muhammad tidak membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan dalam masalah-masalah syirik akbar dan hal-hal yang dhahirah. Dan di sini beliau menukil ijma muslimin terhadapnya semenjak zaman sahabat sampai zaman Manshur Al-Bahutiy penulis kitab Ar-Raudl Al-Murbi’.
[6] Ibadatud dustur (peribadatan kepada hukum /aturan / undang-undang ) juga termasuk masaail dzahirah, sebagaimana dalam surat at-Taubah 31 dengan tafsir Rasulullah terhadapnya dalam hadits ‘Addi Ibnu Hatim, tidak di udzur karena kebodohan terhadap hukum. (pent)
[7] Yang tiga orang itu : Orang yang baru masuk islam, orang yang hidup di pedalaman, dan orang yang hidup tumbuh di negeri kafir asli. Tiga macam orang ini bila melakukan syirik akbar maka dinamakan musyrik walau jahil, dan bila sudah sampai dakwah maka musyrik kafier. Tidak ada perbedaan baik pelaku syirik ini mengaku islam ataupun tidak, oleh sebab itu keliru sekali orang yang membedakan antara yang mengaku islam dengan yang tidak.
Adapun selain tiga macam orang tadi maka hujah sudah dianggap tegak, sehingga pelaku syirik akbar yang bodoh di antara mereka dinamakan musyrik lagi kafier.
Dan perlu diketahui bahwa hujjah di dalam masaail dhahirah ini adalah adanya kesempatan untuk mengetahui. (pent).
[8] Dan wajib diperhatikan terhadap ucapan Syaikh Muhammad bahwa beliau mengingkari terhadap murid-muridnya sikap mereka tidak memberlakukan nama kafir kepada para thaghut. Adapun nama thaghut dan nama musyrik maka mereka memberlakukannya terhadap mereka, oleh sebab itu perhatikan selalu terhadap (ungkapan) Syaikh saat penafian beliau amat jelas, di mana  beliau menafikan nama kufur bukan nama musyrik atau nama musyrikin, dan kami akan sering mengulang ucapan ini sampai dicerna dengan baik. Dan ucapan ini terfokus pada penafian takfier saja, adapun nama islam maka ia ditiadakan dari mereka ….
[9] Yaitu belum tegak hujjah dalam pencantuman nama kafir yang mendatangkan adzab di atasnya atau yang mana ia dibunuh dengannya. Adapun ketiga macam orang itu dan juga orang yang tumbuh di negeri kafir (asli), maka mereka itu bila melakukan syirik maka nama syirik itu menempel pada mereka,  akan tetapi hujjah belum tegak atas mereka dalam pembunuhan, pemerangan, pengadzaban, serta nama kufur.”
Penerjemah berkata: Dari itu sesungguhnya orang-orang yang mengaku muslim sejak kecil dan mereka hidup di tengah kaum muslimin serta Al-Qur’an dan terjemahannya beredar luas, terus mereka melakukan syirik akbar (baik syirik kuburan dan segala bentuknya atau syirik aturan) karena kebodohannya terhadap hukum maka mereka itu musyrik, kafir, murtad karena hujjah sudah tegak akan tetapi mereka berpaling darinya.
[10] Perhaitkan ini tidak di hukumi muslim dan tidak dinamakan muslim.
[11] Yaitu vonis dengan nama kafir dan hukum-hukum kekafiran seperti qatl, qital dan siksa. Adapun penetapan nam syirik dan apa yang  mengikuti nama ini berupa tidak memintakan ampunan baginya, maka tidak dinafikan.
[12] Perhatikan, mereka menamakan dia sebelumnya sebagai orang musyrik karena ia melakukan syirik dan menganutnya, dan ucapan beliau “ mati di atas kekafiran  yaitu kufur syirik, oleh sebab itu berkata sesudahnya “ tidak berkurban atas namanya “ sedang ini adalah hukum-hukum kaum musyikin [tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman mmintakan ampunan bagi kaum musyrikin walaupun mereka karib kerabat terdekat ].
[13] Perhatikan keduanya tidak menamai dia muslim.
[14] Perhatikan beliau tidak menamakannnya sebagai muslim, apalagi sebagai muwahhid apalagi sebagai mu’min. Dan dari penafian status kafir ini tidak mesti adanya penetapan bahwa dia muslim, ini adalah ucapan mereka semua.
Penterjemah berkata: Orang yang melakukan syirik akbar di zaman fatrah yang tidak ada dakwah, maka orangnya dinamakan sebagai orang musyrik, bukan kafir dan bukan muslim, walaupun dia mengaku islam. Dan para ulama dakwah tauhid di masa itu sepakat bahwa zaman mereka adalah zaman fatrah, oleh sebab itu mereka mencap pelaku syirik akbar dengan cap musyrik saja. Adapun setelah dakwah merebak maka pelaku syirik itu mereka cap sebagai musyrik kafir dan tidak mereka udzur dengan sebab kejahilan, karena hujjah sudah tegak, yaitu adanya kesempatan untuk mengetahui.
[15] Belaiu tidak manamakannya sebagai muslim, oleh sebab itu berkata setelahnya “tidak seyogyanya mendoakan baginya”dan seandainya dia itu muslim, tentu beliau tidak mengatakan hal itu, akan tetapi beliau memberinya status hukum musyirkin berupa tidak boleh mendoakan baginya.
[16] Di sini berkata “fatarat” dengan bentuk jamak, dan ini adalah madzhab aimmatud da’wah, mereka memandang zaman fatrah itu bisa teulang setelah diutusnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan setiap zaman yang mendominasi dan dahsyat di dalamnya kebodohan serta tidak ada dakwah yang tegak maka ia adalah zaman fatrah dan sama dalam statusnya.
[17] Perhaitkan, beliau menyebut dia orang yang bersikukuh di atas syiriknya, sedang pada dasarnya dia sebelum kebersikukuhannya itu adalah pelaku syirik, beliau menamakannya musyrik dan beliau menafikan takfir darinya.
[18] Perhatikan penafian takfir, dan tidak mesti dari penafian takfir ini adanya penetapan nama islam.
[19] ini pada syirik ashghar, karena sumpah yang disebutkan di sini adalah syirik ashghar .
[20] Perhatikan beliau tidak menamakan mereka sebagai muslim, dan inilah bukti darinya.
[20] Karena dia menyembah berhala, dan kafir yang disebutkan ini adalah kufur syirik.
.
[22]Perhatikan, beliau tidak menamakannya muslim padahal dia itu majhuluL hal, dan beliau tidak menamakannya muslim dan tidak pula mu’min, dan beliau  menafikan darinya kekafiran serta tidak menetapkan islam baginya, karena ia menyembah berhala.
[23] Perhatikan, beliau tidak menamakannya muslim apalagi mu’min apalagi  muwahhid.
[24] Jadi mereka itu musyrikin, sedangkan orang yang dhahir keadaanya syirik adalah bukan muslim.
[25] Dan di sini adalah penafian kufur dan islam, dan tinggallah dia itu dicakup oleh nama syirik, karena mereka melakukannya dan mati di atasnya.
[26] Rujukan dalam kitab-kitab dan risalah-risalah Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan adalah Al-Mujaddid Ats-Tsaniy (yaitu syaikh Abdurrahman ) karya Syaikh Khalid Al Ghunaim.
[27] Perhatikan, beliau mengaitkan kekafiran pada syirik, dan beliau menukil ijma atasnya.
[28] Dan ‘Ubbadul Qubur  diqiyaskan kepada mereka itu karena kesamaan penyelisihan dalam hal-hal yang diketahui secara pasti dari dien ini.
[29] Yaitu tentang kafir asli.
[30] Yaitu anak kecil itu disebut bocah yahudi, bocah nashraniy dan seterusnya, dan dia menamakannya majusi  karena sebab murabbiynya dan lingkungan dia tumbuh, yaitu perbuatan, karena dia melakukan perlakuan mereka, dan sebutan yahudi dan yang lainnya itu tidak ada kaitannya dengan hujjah .
[31] Dan kebodohan itu bukan penghalang dari takfir.
[32] Di sini beliau tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilan, dan beliau menganggap pengudzuran dengan sebab kejahilan adalah sebagai ucapan yang kontradiksi lagi menyelisihi ijma.
[33] Ini adalah pendapat yang beliau pilih dan dipilih oleh para aimmah dakwah, yaitu bahwa zaman fatrah itu bisa berulang kembali bila kebodohan mendominasi dan menguasai serta tidak ada seorangpun orang yang tampil berdakwah.
[34] Ini adalah pilihan Imam Ahmad, bahwa masa fatrah itu ada di setiap zaman.
[35] Lihatlah ucapan Ibnul Qayyim, di mana beliau menjadikan bahwa di sana ada orang yang disifati dan dinafikan darinya ketaatan dan maksiat serta kekafiran dan keimanan. Ini adalah empat hal yang dinafikan oleh Ibnul Qayyim darinya, namun beliau tidak menafikan penyebutan nama syirik dan musyrikin, dan seandainya beliau mengatakan bahwa  ia itu muslim, tentulah beliau tidak mengatakan ucapan ini.
[36] Dan ini adalah jelas menyatakan bahwa tidak ada udzur dengan sebab kejahilan.
[37] Pengulangan seperti yang sebelumnya.
[38] Perhatikan bahwa di sini ada tambahan, yaitu bahwa ia juga adalah pilihan Ibnu Jarir bahwa tidak ada udzur dengan sebab kejahilan, namun perlu diperhatikan bahwa Syaikh Aba Buthain ini telah menyebutkan ucapan Ibnu Jarir secara makna, sedangkan teks ucapan Ibnu Jarir ada di dalam tafsir ayat Al A’raf tersebut.
[39] Ini tegas bahwa tidak ada udzur dengan sebab kebodohan.
[40] Ini seperti yang sebelumnya.
[41] Perhatikanlah beliau mengaitkannya dengan perbuatan, dan membolehkan memberlakukan nama terhadapnya.
[42] Perhatikan beliau mengaitkannya dengan perbuatannya itu dan tidak mengudzurnya dengan sebab kejahilannya.
[43] Yaitu di dalam bidang syirik tidak ada perbedaan antara mu’ayyan dengan yang lainnya, sedangkan membedakan nau dengan mu’ayyan itu adalah pendapat yang menyelisihi pernyataan para ulama itu.
[44] Tegas lagi jelas bahwa tidak ada udzur dengan sebab kejahilan, dan ini adalah ijma.
[45] Ini adalah penghikayatan ijma bahwa tidak ada perbedaan antara mu’ayyan dengan yang lainnya di dalam masalah syirik akbar, bahkan sikap membedakan adalah bid’ah.
[46] Lihat sikap tegasnya di dalam sikap tidak membedakan antara orang mu’ayyan dengan yang lainnya, dan beliau menegaskan tentang masalah yang sangat penting di dalam istitabah bahwa ia itu tidak terjadi kecuali kepada orang mu’ayyan. Sehingga bila dikatakan istitabah maka pahamilah bahwa itu terhadap orang mu’ayyan. Kemudian beliau mengatakan bahwa tidak dikatakan istitabah kecuali kepada orang yang yang sudah diberlakukan nama musyrik atau nama kafir sebelumnya.
[47] Ini sangat jelas sekali sehingga tidak ada komentar.
[48] Ini batasan yang sangat penting.
[49] Perhatikan yaitu nama kafir saja, namun demikian mereka itu tidak dinamakan sebagai orang-orang muslim, karena mereka melakukan syirik sebagaimana yang dituturkan sebelumnya.
[50] Perhatikan beliau tidak menamakannya kafir tapi musyrik
[51] Perhatikanlah kepada kefahaman mereka terhadap ucapan Ibnu Taimiyyah, dan teks ucapannya ini mengkhususkan lontaran-lontaran umumnya di banyak tempat yang lain.
[52] Lihatlah penghikayatannya terhadap ucapan Ibnu Taimiyyah, dan ia adalah tegas menyatakan bahwa Ibnu Taimiyyah tidak mengudzur dengan sebab kejahilan di dalam hal-hal yang menggugurkan langsung tauhid dan iman terhadap kerasulan atau hal-hal yang merupakan bagian dari sifat-sifat khusus rububiyyah sebagaimana yang akan datang.
[53] Ini adalah buktinya yaitu mereka tidak diudzur dengan sebab kejahilan, dan ia adalah pendapat ulama yang tadi disebutkan.
[54] Salaf telah mengkafirkan  Ghulatul Jahmiyyah dan Ghulatur Rafidlah, dan para ulama dakwah telah menqiyaskan ‘ubbadul qubur terhadap mereka dari sisi kesamaan keduanya telah melakukan suatu yang pengkafiran dengannya telah diketahui secara umum, dan qiyas di sini adalah qiyas syabah, sedangkan  pengqiyasan dengan Rafidlah adalah qiyas aula.
[55] Lihatlah pemahaman mereka terhadap ucapan Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, bahkan beliau menukil ijma dan bahwa tidak ada seorangpun yang menyelisihi di dalamnya.
[56] Lihat penukilannya dari semua ulama, dan bahwa orang yang menyembah berhala atau manusia sebagaimana yang beliau katakan adalah tidak diudzur dengan sebab kebodohan selamanya
[57] Ini sangat jelas bahawa tidak ada udzur dengan sebab kejahilan, maka aapakah ada yang lebih jelas dari hal ini?
[58] Perhatikan hal itu, dan apa yang datang sesudahnya bahwa beliau menganggap hal itu sebagai bid’ah.
[59] Perhatikan,  beliau menisbatkan kepada para imam bahwa ta’rif itu bukan di dalam masalah-masalah ushul.
[60] Ini adalah penegasan yang tidak ada penegasan yang lebih jelas darinya bahwa para penyembah kuburan itu bukan kaum muslimin dan tidak diudzur dengan sebab kejahilan.
16 Dan inilah memang yang terjadi, mereka memvonis orang-orang yang berseberangan dengan mereka dengan lebel Takfiriy (pent)
28 Kitabnya Assirrul Maktum Fis Sihri Wa Mukhathabatin Nujum. Lihat kitab Arrijal Alladzina takallama ‘alaihim Ibnu Taimiyah hal: 34. Ar Razi meninggal 604 H sedangkan Ibnu Taimiyyah lahir tahun 661 H dan meninggal 728, beliau mengatakan kemurtaddan Ar Razi sedangkan beliau belum lahir saat Ar Razi ada, apakah mungkin Ibnu Taimiyyah menyampaikan penjelasan kepada Ar Razi ? (pent)
33 Perhatikan hal ini di dalam ucapan Ibnu Taimiyyah, yaitu bahwa beliau menamakan orang yang melakukan syirik sebagai orang musyrik.
Penterjemah berkata: Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ishaq dan Syaikh Abdullathif. (Jenis orang-orang musyrik itu dan yang semisal dengan mereka dari kalangan yang beribadah kepada para wali dan orang-orang shalih, kami menghukumi bahwa mereka itu adalah orang-orang musyrik dan kami memandang kafirnya mereka bila hujjah risaliyyahnya telah tegak atas mereka, dan adapun dosa-dosa di bawah (syirik) itu dari sisi tingkatan dan kerusakannya, maka kami tidak mengkafirkan pelakunya dengan sebabnya. Ad Durar Assaniyyah 1/515, 522, dan Minhajut Tasis 60.
[61] Perhatikanlah kepada konsekuensi yang mematahkan ini.
[62] Lihat penghikayatan ijma.
48 Yaitu Rafidla yang bukan ekstrim, Syaikh Muhammad lbnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: (Ghulatul Jahmiyyah, Qadadyyah, Rafidlah dan yang lainnya dari kalangan yang dikafirkan oleh salaf, maka kami tidak keluar sedikitpun tentang masalah mereka dari pernyataan para imam petunjuk dan taqwa dari generasi salaf ini) Ad Durar Assaniyyah 1/522. (pent)
49 Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: (Para ulama ijma baik dari kalangan salaf dan khalaf dari kalangan para sahabat, tabi’in, para imam, dan seluruh Ahlus Sunnah bahwa orang itu tidak dikatakan muslim kecuali dengan menafikan dari syirik akbar, berlepas diri darinya dan dari pelakunya, membenci mereka dan memusuhinya …. ) Ad Durar Assaniyyah 11/545-546. (pent)
50 Dia telah memiliki ahliyyah untuk dapat taklif (baligh dan berakal, pent). Lihat Al Minhaj 99.
[63] Lihatlah perkataan ini, yaitu apakah disematkan nama kafir atau tidak? Adapun nama musyrik maka ia itu sudah terbukti, oleh sebab itu beliau tidak menyinggungnya.
51 Yaitu mereka itu tidak dihukumi dengan hukum-hukum yang dikenakan kepada orang-orang kafir yang telah tegak hujjah atas mereka berupa Adzab di akhirat, kekal di neraka, dan yang lainnya. (pent).
53 Mereka bukan kaum muslimin, mereka juga bukan orang kafir, tapi mereka adalah orang-orang musyrik. Kalau orang tidak paham istilah ini maka hendaklah kembali membaca kitab-kitab tauhid para ulama terdahulu. (pent)
[64] Perhatikan penafian islam dari mereka, dan inilah buktinya dan ini adalah masalah yang sedang dibahas.
[65] Lihatlah penghikayatan ijma dan penyebutan tidakadanya perselisihan di antara salaf di dalam pengkafiran Jahmiyyah dan ‘Ubbadul Qubur.
[66] Perhatikan hal ini.
[67] Lihatlah penukilan ijma sejak zaman Nuh, dan bahwa kejahilan itu bukanlah udzur, dan bahwa salaf tidak menudzur aliran-aliran ini dengan sebab kejahilan, dan mereka itu adalah lima aliran.
[68] Lihatlah bahwa beliau menganggap mustahil adanya orang musyrik itu sebagai orang muslim, oleh sebab itu mustahil secara syari’at kaum ‘Ubbadul Qubur itu disebut sebagai orang muslim walaupun mereka itu mengucapkan syahadat, shalat dan shaum. Maka bagaimana halnya dengan orang yang mengatakan bahwa orang yang membuat tumbal atau menyeru selain Allah itu adalah orang muslim yang jahil? Di mana dia menggabungkan antara dua hal yang kontradiksi.
[69] Perhatikanlah ketidakdiudzuran  dengan sebab kejahilan pada diri mereka itu, dan semisal dengan mereka adalah orang yang tidak beriman kepada uluhiyyah Allah.
[70] Ini menunjukan bahwa ahli bid’ah itu komitmen dengan tauhid dan syirik itu bukan bagian dari madzhab mereka sebelum munculnya Rafidlah, karena hanya Rafidlah lah dari kalangan ahli bid’ah yang tidak komitmen dengan tauhid dan mereka menganut syirik akbar.
[71] Kaum Mu’aththilah (orang-orang yang menafikan)  yang lima itu, status mereka itu adalah sama di dalam tidak diudzur dengan sebab kejahilan: Yaitu Mu’aththilah Dzat (yang menafikan Dzat Allah),  Mu’aththilah (yang menafikan) rububiyyah Allah, Mu’aththilah Asma dan Sifat, Mu’aththilah keesaan Allah dengan peribadatan dan mereka inilah yang dimaksud di bahasan ini, serta Mu’aththilah ilmu Allah.
[72] Adapun ucapan Lajnah semoga Allah memberikan taufiq kepada mereka dan merahmati yang sudah mati di antara mereka, maka ia adalah sangat jelas seperti terangnya matahari, dan seperti itu adalah ucapan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah setelah ucapan ini adalah jelas juga.
Penterjemah berkata: Andaikat Syaikh Ali Al Khudlair tidak menyertakan syaikh-syaikh pemerintah yang ada di dalam Lajnah Daimah tentulah lebih baik.

Back Top

0 komentar:

Posting Komentar