Bantahan Atas Syaikh Al-Bani (Bagian Satu)

Telah kami lihat di antara pengaruh dari metode syaikh ini, banyak pemuda-pemuda yang mengikuti syaikh dan metode beliau, melihat para penguasa sekuler yang merubah syariat Allah sebagai ulil amri (penguasa) yang wajib kita dengar dan kita taati dan bahwa keluar dari ketaatan kepada mereka layaknya keluar dari penguasa-penguasa umat Islam masa awal dahulu. Sebaliknya, kami melihat mereka melihat saudara-saudara mereka yang memusuhi penguasa tadi layaknya Khawarij ahli bid’ah, tidak layak disikapi selain dengan celaan dan cercaan, bahkan barangkali sebagian berpendapat lebih jauh lagi dengan meminta penguasa memusuhi mereka dan lain sebagainya.
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah. Kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya, meminta ampunan-Nya dan berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan keburukan perbuatan kami. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tak seorang pun mampu menyesatkannya dan barang siapa disesatkan oleh Allah, maka tak seorang pun mampu memberinya petunjuk. Saya bersaksi sesungguhnya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada beliau dan para shahabat.
Wa Ba’du…
Sesungguhnya Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani adalah salah seorang ulama kontemporer. Tak seorangpun mengingkari keutamaan beliau selain orang yang mendustakan atau arogan. Syaikh hafidzahullah telah mengabdikan dirinya untuk mendalami hadits Rasulullah dan bekerja keras untuk menyebarkan sunah, memberantas bid’ah serta menyebarkan ilmu salaf di tengah umat. Kami berdoa semoga Allah membalas semua jasa beliau dengan sebaik-baik balasan.
Namun Allah enggan untuk menjadikan seorang manusia selain para rasul-Nya sebagai seorang yang maksum. Syaikh adalah manusia juga, beliau kadang benar dan kadang salah. Orang yang mengikuti tulisan-tulisan dan kaset-kaset syaikh tentu akan menemukan ada juga kesalahan atau ketergelinciran di dalamnya.
Kami, Alhamdulillah, bukanlah orang-orang yang mencari-cari ketergelinciran orang, membesar-besarkannya dan banyak menyebut-nyebutnya. Karena itu, bukan termasuk kebiasaan kami mencari ketergelinciran-ketergelinciran tersebut. Tetapi bila kami mendapati ketergelinciran dalam pelajaran atau pembahasan kami, kami berpaling dari kesalahan yang kami dapatkan dan kami beramal dengan yang benar. Barangkali kami mengingatkan kesalahan tersebut dalam sebagian majlis kami dengan bahasa yang baik dan metode yang santun, bukan meributkan dan menyebar luaskannya.
Dalam beberapa waktu belakangan ini, saya mendengar sebuah kaset syaikh Hafidzahullah. Saya melihat menjadi kewajiban dari ilmu kami untuk segera mendiskusikan sebagian isi kaset beliau dengan diskusi yang tenang, di mana Allah mengetahui bahwa saya tidak mempunyai maksud selain menerangkan dan mencari kebenaran.
Kaset yang dimaksud berjudul “Min Manhajil Khawarij“ (Manhaj Khawarij). Kaset ini telah direkam pada tanggal 29 Jumadil Akhirah 1416 H bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1995 M, dengan nomor 1/830 dari nomor berseri “Silsilatu Al Huda wa An Nuur” sebagaimana disebutkan dalam kata pengantarnya. Dalam kaset ini, syaikh membahas peristiwa yang terjadi di Mesir dan Aljazair dan menolak sikap keluar dari ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin hari ini, dan beliau memberi fatwa dalam beberapa masalah yang berkaitan dengan hal ini.
Saudara pembaca yang budiman, tulisan yang ada di hadapan anda ini memuat dua persoalan, barangkali keduanya adalah persoalan terpenting yang disebutkan syaikh dalam kasetnya.
Persoalan pertama adalah masalah keluar (melawan) penguasa kafir. Syaikh berpendapat tidak boleh melawan penguasa hari ini sekalipun mereka jelas-jelas telah kafir.
Persoalan kedua adalah persoalan yang berkaitan dengan mengkafirkan penguasa yang membuat dan menetapkan undang-undang positif untuk rakyat tanpa berlandaskan kepada (hukum) Allah dan penguasa yang mewajibkan rakyat untuk berhukum kepada undang-undang positif. Syaikh berpendapat penguasa seperti ini tepat untuk dikenai apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas, ”Kufrun duna kufrin“ (kekafiran yang tidak mengeluarkan dari Islam).
Dalam tulisan ini pembaca akan menemukan diskusi ilmiah terhadap dua persoalan ini dan penjelasan tentang pendapat yang benar dalam kedua masalah ini. Kemudian saya lampirkan juga beberapa halaman lain seputar tema–tema lain yang terpisah-pisah namun masih ada kaitannya dengan dua permasalahan di atas.
Sebenarnya hal yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini adalah bahwa saya mendapati perbincangan seputar permasalahan-permasalahan ini menjadi ciri umum dari pembicaraan dan majlis syaikh. Sekiranya persoalannya sekedar sekali majlis saja di mana syaikh mengutarakan pendapatnya, tentulah persoalannya remeh. Namun kami mendapati syaikh selama bertahun-tahun telah berbicara seputar dua permasalahan di atas dengan menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan beliau sebagai orang-orang bodoh dan tergesa-gesa, dengan memakai ungkapan-ungkapan pedas dan kasar. Sebaliknya kami tidak mendapati ungkapan yang pedas dan kasar ini beliau tujukan kepada pihak yang lain, yaitu para penguasa sekuler yang merupakan faktor terbesar terjadinya bencana dalam diri umat ini dengan kejahatan mereka menjauhkan umat ini dari kitab Rabbnya dan sunah Nabinya Shallalahu ‘alaihi Wa Salam, dan kejahatan mereka memaksa umat ini untuk berjalan sesuai keinginan Barat yang kafir dan ridha dengan program-program Yahudi dan Nasrani.
Telah kami lihat di antara pengaruh dari metode syaikh ini, banyak pemuda-pemuda yang mengikuti syaikh dan metode beliau, melihat para penguasa sekuler yang merubah syariat Allah sebagai ulil amri (penguasa) yang wajib kita dengar dan kita taati dan bahwa keluar dari ketaatan kepada mereka layaknya keluar dari penguasa-penguasa umat Islam masa awal dahulu. Sebaliknya, kami melihat mereka melihat saudara-saudara mereka yang memusuhi penguasa tadi layaknya Khawarij ahli bid’ah, tidak layak disikapi selain dengan celaan dan cercaan, bahkan barangkali sebagian berpendapat lebih jauh lagi dengan meminta penguasa memusuhi mereka dan lain sebagainya.
Berangkat dari sini, saya memberanikan diri untuk menulis lembaran-lembaran ini meskipun harus melewati kesulitan yang berat, karena saya tak pernah sekalipun menginginkan mengambil sikap membantah atau menentang syaikh Nashirudin, namun kebenaran yang diajarkan oleh Dien kami menyatakan kebenaran lebih kami cintai melebihi para ulama dan masayikh kami serta seluruh umat manusia.
Dalam kesempatan ini saya ingin menerangkan bahwa ketika kami berbeda pendapat dengan syaikh dalam sebagian persoalan ilmiah, kami berlepas diri kepada Allah Ta’ala dari orang-orang yang memusuhi syaikh dan membenci beliau disebabkan beliau berpegang teguh dengan As Sunah dan membela aqidah yang benar. Kami memohon kepada Allah semoga perbedaan kami dengan beliau tetap berada dalam koridor ahlussunnah wal jama’ah, ahlul haq wal ‘adl, mereka adalah orang-orang yang berjalan di atas jalan Rasulullah dan para shahabatnya. Semoga Allah tidak menjadikan dalam hati kami kebencian kepada orang-orang mukmin. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang. Dan sebagai penutup dari pembicaraan kami, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.”
Abu Isra’ Al Asyuthi
Sabtu Sore, 11 Sya’ban 1417 H/21 Desember 1996 M
PASAL I:
MASALAH KELUAR DARI PENGUASA KAFIR
Ini adalah masalah pertama yang ingin kami bicarakan. Dalam awal kaset yang tersebut di atas, syaikh ditanya tentang peristiwa yang terjadi di Aljazair dan pandangan syariat dalam masalah tersebut. Beliau menjawab pertanyaan ini dengan pertama kali menyebutkan perkataan ulama, ”Maa buniya ‘ala Fasidin fahuwa faasidun“ (apa yang dibangun di atas landasan yang rusak maka hasilnya tetap rusak). Beliau membuat contoh; sholat tanpa thaharah, maka ini bukan sholat (yang sah).
Kemudian beliau berkata: “Kami selalu dan selamanya menyebutkan bahwa keluar terhadap para penguasa walaupun mereka telah pasti kekufurannya, keluar dari mereka hukumnya sama sekali (mutlak) tidak disyariatkan. Dikarenakan kalaupun keluar ini merupakan suatu keharusan, ia harus berlandaskan syariat sebagaimana sholat yang kami sebutkan tadi ; harus berlandaskan thaharah, yaitu wudhu’. Kami berdalil dalam masalah seperti ini dengan firman Allah seperti:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah.” [QS. Al Ahzab; 21].
Sesungguhnya periode yang dilalui kaum muslimin hari ini dengan berkuasanya para penguasa, taruhlah kekafiran mereka itu telah nyata sebagaimana kekafiran orang-orang musyrik secara sempurna. Taruhlah kita menerima hal ini, kami katakan,” Sesungguhnya kondisi di mana kaum muslimin saat ini hidup dibawah kekuasaan para penguasa—taruhlah kita katakan “para penguasa kafir” meminjam istilah jama’ah takfir secara lafal, bukan secara maknanya, karena dalam masalah ini ada pembahasan rinci yang sudah terkenal— maka kami katakan, ”Sesungguhnya kehidupan kaum muslimin hari ini di bawah kekuasaan para penguasa tadi tidak jauh berbeda dengan kondisi kehidupan Rasulullah dan para shahabat yang disebut oleh para ulama dengan periode Makkah. Beliau telah hidup di bawah kekuasaan para thaghut kafir musyrik yang terang-terangan menolak untuk menerima dakwah dan mengatakan kalimatul haq Laa Ilaaha Illa Allah, bahkan paman beliau sendiri Abu Thalib di akhir hayatnya mengatakan, ”Kalaulah tidak karena takut kaumku akan mencercaku, tentulah aku akan mengucapkannya sehingga engkau tenang”.
Mereka telah jelas-jelas kafir dan menentang dakwah Rasul, namun beliau hidup di bawah kekuasaan dan pemerintahan mereka, beliau tidak berbicara kepada mereka kecuali mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah semata tidak ada sekutu baginya. Lalu datanglah periode Madinah, lalu turunlah hukum-hukum syar’i secara terus menerus. Dimulailah perang antara umat Islam dengan kaum musyrikin sebagaimana disebutkan dalam buku-buku sirah nabawiyah.
Adapun pada periode pertama, periode Makkah, sama sekali tidak ada keluar (dari penguasa kafir) sebagaimana banyak dilakukan umat Islam hari ini di negara yang bukan negara Islam. Keluar seperti ini tidak berada diatas petunjuk Rasul yang kita diperintahkan untuk mengambil suri tauladan dari beliau, khususnya lagi dalam ayat di atas:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sungguh telah ada suri tauladan yang baik bagi kalian pada diri Rasulullah.” [QS. Al Ahzab ;21].
Selesai perkataan syaikh Nashirudin Al Albani tentang tidak disyariatkannya keluar dari para penguasa sekalipun mereka telah jelas-jelas kafir. Sebagai catatan atas pendapat beliau, dengan prihatin kami katakan, ”Perkataan syaikh ini bertentangan dengan nash-nash syariah baik Al Qur’an, sunah Rasulullah maupun ijma’ salaf umat ini. Penjelasannya sebagai berikut:
1) Perkataan beliau menyelisihi nash-nash syariah:
(a). Karena Allah telah memerintahkan dalam banyak ayat dalam Al Qur’an untuk memerangi orang-orang kafir,
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah (kesyirikan dan kekafiran) dan supaya dien semata-mata menjadi milik Allah…” [QS. Al Anfal: 39].
Dan firman-Nya:
فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ
”Maka perangilah orang-orang musyrik di manapun kalian menemukan mereka.” [QS. At Taubah: 5].
Dan firman-Nya:
فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لاَأَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ
”Maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran karena sesungguhnya mereka tidak ada perjanjian lagi (dengan kalian) supaya mereka mau berhenti.” [Qs. At Taubah: 12].
Jika ayat-ayat ini dan ayat lainnya memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir, sedangkan para penguasa adalah kafir, maka bagaimana keluar dari mereka dan memerangi mereka hukumnya sama sekali tidak disyariatkan sebagaimana syaikh ungkapkan…?!
(b). Lalu di mana posisi syaikh terhadap hadits-hadits yang mensahkan untuk memerangi para penguasa jika mereka telah kafir:
1. Sebagaimana dalam hadits Ubadah bin Shamit, ”Nabi mendakwahi kami, maka kami membaiat beliau. Di antara baiat yang beliau ambil dari kami, adalah kami membaiat beliau untuk mendengar dan ta’at baik dalam keadaan sukarela maupun terpaksa, saat senang maupun susah dan atas penguasa yang mendahulukan kepentingannya atas kami (rakyat) dan janganlah kalian merebut urusan (kepemimpinan) dari orang yang memegangnya kecuali jika kalian melihat kufur yang jelas-jelas, di mana kalian mempunyai dalilnya dari sisi Allah”. [HR. Bukhari 7055-7056, Muslim 170 kitabul Iman hadits ke 22].
2. Hadits Ummu Salamah secara marfu’, ”Akan ada para umara’ yang kalian ketahui lalu kalian ingkari. Maka barang siapa mengetahui maka ia telah berlepas diri, barang siapa mengingkari maka ia telah selamat, akan tetapi (yang tidak selamat adalah) orang yang ridha dan mengikuti. “Mereka bertanya, ”Apakah tidak kami perangi saja mereka itu? ”Beliau menjawab,”Tidak, selama mereka masih sholat”. [Muslim 1853, Abu Daud 4760, Tirmidzi 2665, Ahmad VI/302, 305, 321].
3. Hadits Auf bin Malik, Ditanyakan, ”Ya Rasulullah, bolehkah kami melawan mereka dengan pedang? ”Beliau menjawab, ”Jangan, selama mereka masih menegakkan sholat di antara kalian”. [Muslim 1855, Ahmad VI/24, Darimi II/324].
Bukankah hadits-hadits ini merupakan nash-nash qath’i disyariatkannya keluar dengan pedang dari para penguasa jika mereka kafir dan keluar dari hukum syar’i yang hanif? Bukankah kondisi yang disyariatkan oleh Rasulullah kepada kita untuk keluar dari para penguasa adalah kondisi yang dikatakan oleh syaikh sebagai keluar dari para penguasa sama sekali tidak disyariatkan…?!
Kemudian kami bertanya kepada syaikh, ”Bukankah kafirnya seorang penguasa merupakan sebuah kemungkaran?” Kami tak ragu lagi bahwa jawaban beliau pasti ya, sebuah kemungkaran. Bahkan merupakan kemungkaran terbesar. Kalau memang demikian, maka kami katakan Rasul kita telah memerintahkan kita untuk menghapus kemungkaran. Beliau bersabda:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran; jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, kalau tidak sanggup hendaklah ia merubahnya dengan lisannya, kalau masih tetap tidak sanggup maka hendaklah ia merubahnya dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah.” [Muslim 49, Abu Daud 1140, 4340, Tirmidzi 2172, Ibnu Majah 1275, 4013, Nasai VIII/111-112, Ahmad III/54 dari hadits Abu Sa’id al Khudriy].
Kalau demikian halnya, maka kami menuntut berdasar syariat agar kemungkaran penguasa ini yaitu kekufurannya, dihilangkan. Jika kekafirannya tidak bisa ditahan kecuali dengan memerangi dan keluar darinya dengan pedang, maka hal itulah yang wajib dikerjakan. Imam Al Qarafi dalam Al Dzakhirah III/387 ketika membahas sebab-sebab jihad, mengatakan:
“Sebab pertama: dan ini dijadikan patokan dasar wajibnya jihad, yaitu untuk mengilangkan kemungkaran kekafiran. Karena kekafiran merupakan kemungkaran yang paling besar. Barang siapa mengetahui kemungkaran dan mampu untuk menghilangkannya, wajib baginya untuk menghilangkannya.”

2) Perkataan syaikh bertentangan dengan ijma’ ulama dari kalangan salafush sholih dan ulama sesudah mereka.
Di bawah ini saya nukilkan sebagian perkataan mereka yang menunjukkan hal ini:
(a). Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/124 telah menukil perkataan Ibnu Tien, ”Para ulama telah ijma’ (bersepakat) bahwasanya jika khalifah mengajak kepada kekafiran atau bid’ah maka ia dilawan. Para ulama berbeda pendapat kalau khalifah merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar kehormatan; apakah dilawan atau tidak?. ”Ibnu Hajar berkata, ”Pernyataan beliau tentang adanya ijma’ ulama mengenai hukum melawan imam jika ia mengajak kepada bid’ah ini tertolak, kecuali jika maksudnya adalah bid’ah yang jelas-jelas membawa kepada kekafiran yang nyata.”
(b). Al Hafidz dalam Fathul Bari XIII/132 juga menyatakan, ”Kesimpulannya seorang khalifah dipecat berdasar ijma’ kalau ia telah kafir. Maka wajib bagi setiap muslim melakukannya. Siapa kuat melaksanakannya maka baginya pahala, siapa yang berkompromi baginya dosa, sedang yang tidak mampu (lemah) wajib hijrah dari bumi tersebut.”
(c). Juga dalam Fathul Bari XIII/11 disebutkan, ”Sebagian ulama menyatakan sejak awal tidak boleh mengangkat seorang fasik sebagai khalifah. Jika ternyata kemudian ia berbuat dzalim setelah sebelumnya memerintah dengan adil, para ulama berbeda pendapat tentang hukum keluar darinya. Pendapat yang benar adalah tidak boleh kecuali jika ia telah kafir, maka wajib keluar darinya.”
(d). Imam Nawawi menukil dalam Syarhu Shahih Muslim XII/229 dari qodhi Iyadh, ”Jika terjadi kekafiran atau merubah syariat atau bid’ah, ia telah keluar dari kedudukannya sebagai penguasa maka gugurlah kewajiban taat kepadanya dan wajib atas umat Islam untuk melawan dan menjatuhkannya serta mengangkat imam yang adil kalau hal itu memungkinkan. Jika tidak mampu melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib atas kelompok tersebut melawan dan menjatuhkan imam tersebut. Adapun imam yang mubtadi’ (berbuat bid’ah) tidak wajib menjatuhkannya kecuali jika mereka memperkirakan mampu melakukan hal itu…”
(e). Imam Ibnu Katsir setelah menyebutkan Ilyasiq yang ditetapkan oleh Jengish Khan, beliau berkata, ”Undang-undang ini bagi anak keturunannya akhirnya menjadi sebuah perundang-undangan yang diikuti. Mereka mendahulukannya atas berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Siapa saja di antara mereka melakukan hal ini maka ia telah kafir, wajib diperangi sampai kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga tidak diberlakukan hukum selain hukum Allah dan Rasul-Nya, baik dalam masalah yang sedikit maupun banyak.” [Tafsir Al Qur’anil ‘Adzim II/68].
(f). Imam Asy Syaukani setelah berbicara tentang orang yang berhukum kepada selain syariat Allah, beliau berkata, ”Jihad melawan mereka itu wajib dan memerangi mereka itu sebuah keharusan sampai mereka menerima hukum-hukum Islam, tunduk kepadanya dan menghukumi di antara mereka dengan syariah muthaharah dan keluar dari seluruh thaghut-thaghut syaitaniyah yang mereka ikuti.” [Ad Dawa-ul ‘Ajil Fi Daf’il ‘Aduwwi al Shoil hal. 25].
(g). Imam Ibnu Abdil Barr dalam Al Kafi (I/463) mengatakan, ”Al Umari al ‘abid —yaitu Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Khathab— bertanya kepada imam Malik bin Anas, ”Wahai Abu Abdillah, bolehkah kita tidak terlibat dalam memerangi orang yang keluar dari hukum-hukum Allah dan berhukum dengan selain hukum-Nya?” Imam Malik menjawab, ”Urusan ini tergantung kepada jumlah banyak atau sedikit. ”Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr berkata, ”Jawaban Imam Malik ini sekalipun berkenaan dengan jihad melawan orang-orang non musyrik, namun juga mencakup orang-orang musyrik dan mencakup amar makruf nahi mungkar. Seakan-akan beliau berkata siapa mengetahui bahwa jika ia melawan musuh, musuh akan membunuhnya sedang ia tidak menimpakan kehinaan sedikitpun pada diri musuh, maka ia boleh meninggalkan memerangi mereka dan bergabung dengan sekelompok kaum muslimin yang lain…”.
Pernyataan-pernyataan lugas dari para ulama yang menyatakan adanya ijma’ keluar dari ketaatan kepada penguasa jika ia telah kafir ini menjelaskan kesalahan pendapat syaikh Al Albani yang menyatakan tidak disyariatkannya keluar dari penguasa yang kafir.
Sebagaimana orang yang memperhatikan soal yang diajukan kepada Imam Malik mendapati bahwa si penanya tidak menanyakan bolehnya memerangi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, akan tetapi bertanya tentang bolehnya tidak terlibat dalam memerangi mereka. Jika kita telah mengetahui bahwa penanya adalah Abdullah bin Abdul Azizi Al Umari, seorang ulama yang zuhud, tsiqah, seorang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar, sebagaimana disebutkan dalam Tahdzibu Tahdzib III/196-197. Saya katakan kalau kita telah mengetahui hal ini, kita akan memahami jawaban karena memang bentuk soalnya seperti ini. Al Umari al ‘abid telah memahami betul bahwa memerangi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah disyariatkan bahkan wajib. Tapi ia menanyakan apakah ada rukhshah (keringanan) yang membolehkan tidak memerangi mereka, ternyata jawaban Imam Malik jeli juga, beliau mengembalikan masalah ini kepada banyak dan sedikitnya jumlah, artinya kepada kemampuan. Maksudnya, siapa mempunyai kemampuan maka ia harus memerangi mereka, sedang yang tidak mempunyai kemampuan tidak mengapa jika ia tidak memerangi mereka.
Dalam penjelasan imam Ibnu Abdil Barr terhadap perkataan imam Malik, imam darul hijrah, juga terkandung sebuah kupasan yang sangat baik yaitu perkataan beliau, ”…maka ia boleh meninggalkan…” Beliau tidak mengatakan , ”… Wajib baginya meninggalkan…” ini menunjukkan bahwa kemampuan bukanlah syarat sahnya perang, melainkan sekedar syarat wajibnya perang. Siapa tidak mempunyai kemampuan maka tidak ada dosa atasnya jika ia memaksakan dirinya berjihad, bahkan sekalipun ia mengetahui ia tidak mampu meraih kemenangan atas musuh, selama hal itu masih mengandung maslahat syar’iyah seperti menanamkan ketakutan di hati musuh dan membangkitkan ghirah keimanan dan keberanian dalam diri kaum muslimin atau maslahat lain.
3- Adapun alasan yang diajukan oleh syaikh bahwa kondisi umat Islam saat ini di bawah para penguasa tadi adalah seperti kondisi Nabi pada fase Makkah, sedang Rasulullah tidak memerangi orang-orang kafir selama di Makkah!
Setiap orang tentu akan sangat heran, bagaimana seorang ulama yang giat dalam masalah ilmu dan tahqiq seperti syaikh bisa beralasan dengan alasan yang ganjil ini.
Tak diragukan lagi bahwa syaikh tentu mengetahui bahwa dien ini telah sempurna, nikmat Allah telah sempurna dan bahwasanya hukum-hukum pada fase Makkah telah dihapus pada fase Madinah. Di antaranya; jihad dilarang pada fase Makkah lalu diwajibkan pada fase Madinah. Kita diminta untuk melaksanakan urusan Rasulullah yang paling akhir. Ajaran yang ada pada saat Rasulullah wafat, itulah dien sampai hari kiamat nanti. Tak boleh bagi seorangpun untuk meniadakan hukum yang telah jelas dari Rasululah dengan alasan kita berada dalam suatu kondisi yang mirip dengan fase Makkah.
Kalau alasan ini benar, tentulah amat benar pula orang yang mengatakan, ”Kita tidak akan mengeluarkan zakat dan mengerjakan shaum karena kita berada dalam kondisi yang mirip dengan fase Makkah, karena zakat dan shaum baru diwajibkan saat fase Madinah.”
Yang lebih mengherankan lagi, syaikh Albani telah mengatakan hal yang kami katakan ini, dalam sebuah kaset beliau yang berjudul “Hamas dan Ahlussunnah di Khan Yunus“, kaset ini telah direkam dengan tanggal 8 Muharram 1414 H dengan nomor 747/1 dari serial Silsilatu Al huda wa Al nuur, sebagaimana disebutkan di awal kaset tersebut. Dalam kaset tersebut beliau syaikh ditanya tentang seseorang yang datang dari Khan Yunus, ”Saudara-saudara kami di sana mengatakan, ”Kami meyakini apa yang dinamakan dengan masyarakat Makkah; sabar dan dakwah…” Tapi penanya berkata, ”Khan Yunus, seluruh penduduknya beragama Islam. Kadang-kadang mereka terpaksa harus menghilangkan kemungkaran dengan tangan. Apakah boleh bagi kami merubah kemungkaran dengan tangan…?”
Syaikh menjawab: ”Pertama: Dari pertanyaan anda tadi keluar sebuah kata yang saya kira tidak anda sengaja. Dengan kata lain, lisan anda mendahului keinginan mereka. Saya tidak mengira mereka bermaksud dengan kandungan kata tadi. Anda katakan —seingat saya— mereka menganggap diri mereka berada pada fase Makkah. Kami mendengar dari sebagian orang bahwa mereka mengganggap diri mereka dalam fase Makkah akibat kondisi dan intimidasi yang mereka terima. Ini sungguh suatu kesesatan yang nyata. Karena bila seorang muslim menganggap dirinya berada dalam fase Makkah, maknanya ia bebas dari hukum-hukum yang telah jelas–jelas wajib dikerjakan atau ditinggalkan menurut para ulama kaum muslimin. Hal ini selamanya tak akan dikatakan oleh seorang muslim. Menurut persangkaan saya, hal yang membuat mereka mengatakan demikian apalagi meyakini maknanya adalah perasaan mereka bahwa mereka tidak mampu untuk melaksanakan banyak atau sedikit dari hukum-hukum syar’i. Realita sesungguhnya yang menyebabkan mereka melakukan hal ini adalah ketidak mengertian mereka terhadap Islam dan kaedah-kaedah ilmiah Islam yang memungkinkan seorang muslim untuk mensikapi kondisi kehidupan masanya tanpa harus merasa berada dalam fase Makkah atau seperti dalam fase Makkah.”
Lalu syaikh kembali menjawab pertanyaan tadi, yang intinya bolehnya merubah kemungkaran dengan tangan tak memerlukan izin lagi setelah adanya sabda Rasulullah:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
”Siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka jika ia sanggup hendaklah ia merubahnya dengan tangannya.” Namun wajib hukumnya mempehatikan timbangan mashalih dan mafasid (untung dan rugi), sehingga tidak boleh merubah kemungkaran dengan tangan dan lisan jika akan mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar dari kemungkaran yang dirubah.
Perkataan beliau ini sangat kuat, yang seperti ini adalah pendapat beliau yang lain yang ditulis oleh pengarang buku “Hayatul Albani wa Atsaruhu wa Tsanaul ‘Ulama’ ‘Alaihi” (Kehidupan syaikh Albani, pengaruhnya dan pujian ulama kepada beliau). Dalam buku tersebut I/396, sebagai jawaban syaikh atas sebuah pertanyaan tentang bertahap dalam menyampaikan syariah, beliau syaikh menjawab: ”Islam telah sampai kepada kita secara sempurna dan paripurna, maka tidak boleh menerapkan sebagiannya dengan meninggalkan sebagian lainnya atau memilih-milih yang sesuai dengan kondisi dan melalaikan yang tidak sesuai dengan kondisi jika masih mungkin untuk diterapkan. Sesungguhnya Islam yang hari ini ada di hadapan kita berbeda dengan Islam sebelum turunnya firman Allah;
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan dien kalian untuk kalian, dan Aku sempurnakan untuk kalian nikmat-Ku dan Aku telah ridha Islam sebagai dien kalian.” [QS. Al Maidah: 3].
Islam yang hari ini ada di hadapan kita telah sempurna tak ada kekurangan di dalamya baik secara perealisasian maupun hukumnya. Setiap ajaran Islam tidak bertentangan dengan akal dan tidak mustahil untuk direalisasikan, akan tetapi sesuai dan sebagai perelaisasian dari kaedah yang diringkas oleh ayat:
فاتقوا الله مااستطعتم
“Maka bertaqwalah kepada Allah sesuai kemampuan kalian.”
Jadi, hukum dasarnya adalah beramal dan merealisasikan syariah secara sempurna sesuai kemampuan. Itulah yang ditegaskan oleh hadits Rasulullah:
ما أمرتكم من شيئ فأتوا منه مااستطعتم ومت نهيتكم عنه فاجتنبوه
“Apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian, dan apa yang aku larang maka jauhilah.”
Maksud dari penjelasan syaikh Albani —dan kami Alhamdulillah, tidak mengatakan kecuali seperti apa yang beliau katakan— bahwasanya Islam telah sempurna, nikmat telah sempurna. Di antara yang secara yakin kita ketahui bahwa syariat telah sampai pada perintah terakhir wajibnya jihad, dan di antara jihad adalah keluar dari para penguasa jika telah nampak dari diri mereka kekafiran yang jelas terang-terang ada dalilnya dari sisi Allah. Wallahu A’lam.
4- Bahkan kami tambahkan dari uraian di atas bahwa “taruhlah masih ada syubhat” atas telah kafirnya para penguasa yang membuat dan menetapkan perundang-undangan positif untuk manusia tanpa izin dari Allah, maka syubhat ini tetap tak bisa menjadi penghalang dari memerangi mereka.
Hal ini dikarenakan mereka menentang penegakan hukum-hukum Allah. Telah terjadi ijma’ ulama bahwa setiap kelompok yang mempunyai kekuatan, yang menentang dari sebuah syariah saja dari syariah-syariah yang dhahir dan mutawatir, maka wajib hukumnya memerangi kelompok tersebut meskipun mereka tetap mengakui syariah tersebut dan tidak mengingkarinya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah dalam banyak tempat dalam Majmu’ Fatawa beliau.
Di antaranya adalah perkataan beliau ketika ditanya tentang memerangi bangsa Tartar, “Setiap kelompok yang menolak untuk komitmen dengan sebuah syariah dari syariah Islam yang dhahir mutawatir seperti kaum tersebut (Tartar) dan selainnya, maka wajib hukumnya memerangi mereka sampai mereka kembali komitmen dengan syariat-syariat Islam, sekalipun mereka masih mengucapkan syahadat dan komitmen dengan sebagian syariat Islam.”
“Sebagaimana Abu Bakar dan para shahabat memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Ini telah menjadi kesepakatan para ulama setelah mereka setelah terjadinya dialog antara Abu Bakar dengan Umar. Maka para shahabat telah bersepakat untuk berperang demi menjaga hak-hak Islam, sebagai pengamalan Al Qur’an dan As Sunah. Demikian juga telah tetap dari Rasulullah sepuluh sanad: hadits tentang Khawarij. Beliau memberitahukan bahwa Khawarij adalah seburuk-buruk makhluk, sekalipun beliau menyebutkan,” Sholat kalian akan remeh bila dibandingkan sholat mereka, dan shaum kalian akan remeh bila dibandingkan shaum mereka.”
Dengan ini diketahui bahwa sekedar berpegang teguh dengan Islam tanpa disertai komitmen kepada syariat-syariatnya tidak menggugurkan dari sikap memerangi mereka. Perang wajib ditegakkan sampai seluruh dien menjadi hak Allah, dan sampai fitnah tidak ada lagi. Kapan saja dien itu untuk selain Allah maka perang hukumnya wajib. Maka kelompok mana saja menolak mengerjakan sebagian shalat yang wajib, atau shaum atau haji atau untuk komitmen dengan pengharaman darah, harta, khamar dan judi atau menikahi perempuan mahramnya atau menolak untuk komitmen dengan jihad melawan orang-orang kafir atau mengambil jizyah dari ahlu kitab dan kewajiban serta larangan dien lainnya —di mana tak ada udzur pada seorangpun untuk mengingkarinya dan meninggalkannya, bahkan orang yang mengingkarinya telah kafir— maka kelompok yang menolak ini diperangi sekalipun masih mengakui syariat ini. Ini adalah sesuatu perkara yang aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama.” [Majmu’ Fatawa XXVIII/502-503].
Beliau juga menyatakan, ”Dien adalah ketatan. Bila sebagian dien untuk Allah dan sebagian lainnya untuk selain Allah, maka wajiblah perang sampai seluruh dien menjadi hak Allah.” [Majmu’ Fatawa XXVIII/544].
Pernyataan Syaikhul Islam ini juga menjadi pendapat para ulama selain beliau:
(a). Imam Nawawi telah menyebutkan dalam syarh atas hadits Abu Hurairah tentang diskusi Abu Bakar dengan Umar, beliau berkata, “Dalam hadits ini disebutkan wajibnya memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat atau mengerjakan sholat atau kewajiban-kewajiban Islam lainnya baik sedikit ataupun banyak, berdasar perkataan beliau Radhiyallahu ‘anhu,” Kalau mereka tidak membayarkan kepadaku tali ikat unta…” [Syarhu Shahih Muslim II/212].
(b) Al Qadhi Abu Bakar Ibnu Al Araby dalam Ahkamul Qur’an II/596 ketika berbicara tentang ayat perang dalam suat Al Maidah, beliau mengatakan, ”Jika ditanyakan bagaimana ayat ini juga mengenai kaum muslimin padahal Allah telah menyatakan; ”Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya”, padahal itu adalah sifat orang kafir?”, Kami katakan memerangi itu bisa berwujud I’tiqad (keyakinan) yang rusak, kadang juga berwujud maksiat. Allah akan membalas sesuai jenisnya, sebagaimana firman Allah, ”Maka jika mereka tidak mau bertaubat maka umumkanlah bahwa Allah dan rasul-Nya memerangi mereka.” Jika dikatakan ayat ini tentang orang yang menghalalka riba, kami jawab, ”Ya, memang, dan bagi setiap orang yang melakukannya, Sesunguhnya umat ini telah bersepakat bahwa siapa yang melakukan maksiat maka ia diperangi sebagaimana kalau penduduk sebuah negeri bersepakat untuk melakukan riba atau meninggalkan sholat Jum’at dan jama’ah.”
(c) Ibnu Qudamah dalam Al Kafi I/127 mengatakan, ”Adzan itu disyariatkan untuk sholat lima waktu, bukan untuk sholat lainnya. Ia termasuk fardhu kifayah, karena termasuk bagian dari syiar-syiar Islam yang nampak seperti jihad. Jika penduduk suatu negeri sepakat untuk meninggalkannya maka mereka diperangi.”
(d) Ibnu Khuwaiz Mandad berkata, ”Jika penduduk suatu negeri berkecimpung dengan riba sebagai bentuk penghalalan, maka mereka menjadi murtad dan hukum atas mereka seperti hukum orang yang murtad. Jika mereka tidak menghalalkan riba, imam boleh memerangi mereka. Bukankah Allah telah mengizinkan hal itu, sebagaimana firman-Nya,” Maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.” [Al Jami’ li Ahkamil Qur’an lil Qurthubi III/364].
(e) Ibnu Rajab Al Hambali dalam Jamiul Ulum wal Hikam hal. 73 berkata, ”Jika telah masuk Islam, lalu melaksanakan sholat dan zakat serta menjalankan syariat-syariat Islam, maka ia mempunyai hak yang sama dengan hak seorang muslim lainnya dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban muslim lainnya. Jika meninggalkan salah satu dari rukun-rukun, jika mereka sebuah kelompok maka mereka diperangi…”
Saya katakan, ”Jika kelompok yang mempunyai kekuatan diperangi hanya karena ia menolak satu saja dari syariat Islam, maka para penguasa hari ini mereka telah menolak kebanyakan syariat Islam. Kalau tidak, hendaklah syaikh mengatakan kepada kami apakah para penguasa kita hari ini melaksanakan dengan konskuen jihad melawan orang-orang kafir ? Apakah mereka melaksanakan dengan konskuen jizyah dari orang-orang ahlul kitab ? Apakah mereka konskuen dengan pengharaman zina ? Apakah mereka konskuen dengan hukum-hukum qishash, hudud dan diyat? Apakah, apakah, apakah…?
Orang yang meneliti kondisi para penguasa pada saat sekarang ini mendapati mereka telah menolak sebagian besar syariat Islam. Sikap mereka yang paling baik sekedar mengatakan kami mengakui syariat-syariat ini dan tidak mengigkarinya. Namun pengakuan mereka ini tidak menghalangi untuk memerangi mereka sebagaimana telah diterangkan oleh Syaikhul Islam. Maka bagaimana jika para penguasa tadi sejak awal tidak mengakui kebanyakan syariat Islam yang dhahir dan mutawatir ? Sebagai contoh, kita mengetahui secara yakin para penguasa tidak mengakui hukum-hukum tentang ahlu dzimah yang disebutkan oleh kitabullah dan sunah Rasulullah shalallohu‘alaihi wa sallam dan mereka mengatakan tidak ada perbedaan antara seorang muslim dan nasrani, semuanya di hadapan hukum negara sama. Mereka mengatakan jizyah itu telah kadaluwarsa, faham kewarganegaraan telah menggusur pemahaman tentang ahlu dzimah, sebagaimana sebagian penguasa hari ini mensifati hukum hudud dengan tuduhan tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Oleh Karena itu kita katakan sepantasnya tidak ada perbedaan pendapat tentang disyariatkannya keluar dari para penguasa pendosa tersebut, yang tidak saja membuang syariat Allah dan mewajibkan rakyat untuk berhukum dengan hukum-hukum berhala. Tetapi mereka juga memerangi para da’i dengan membunuh, menyiksa, menyeret mereka ke tempat-tempat penjagalan keji yang mereka namakan pengadilan militer. Mereka tidak mempunyai tujuan selain memberangus para da’iI yang akan menegakkan syariat Allah dan berhukum dengan kitabullah di muka bumi ini.
Sekali lagi Kita katakan sepantasnya tidak ada perbedaan pendapat tentang disyariatkannya memerangi para penguasa tersebut dengan catatan menjaga rambu-rambu syariat seperti menimbang maslahat dan mafsadat serta konskuen dengan hukum-hukum syariat dalam masalah jihad. Wallahu A’lam.
(Bersambung… Insya Allah)

Back Top

0 komentar:

Posting Komentar