Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah
Banyak orang dari kalangan ulama kaum musyrikin ataupun dari kalangan kaum muslimin penganut paham bid’ah, mereka tidak mengkafirkan person (orang mu’ayyan) para pelaku syirik akbar atau kekafiran yang langsung menohok syahadat tauhid, dengan alasan bahwa para pelakunya itu adalah orang bodoh terhadap hukum apa yang dilakukannya atau taqlid (ikut-ikutan) kepada para gurunya atau karena melakukan takwil atau karena ijtihad. Benarkah alasan mereka itu?
Menurut manhaj tauhid yang benar bahwa para pelaku syirik kabar atau kekafiran yang langsung menohok syahadat tauhid itu adalah tetap dikafirkan walaupun mereka itu tidak mengetahui hukum apa yang mereka kerjakan atau hanya ikut-ikutan saja. Ini berdasarkan banyak dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma para ulama.
A. Dalil dari Al Qur’an:
1. Firman Allah Subhaanahu Wa Ta’alaa:
“Dan (ingatlah, ketika Tuhan-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berkata): ”Bukankah Aku ini Tuhanmu? ”.Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.(Kami lakukan yang demikian itu)agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam)adalah orang yang lengah terhadap ini(keesaan Allah),”atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang–orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak–anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu? (QS Al A’raf: 172-173)
Di dalam ayat ini Allah ta’alaa menjadikan kesaksian terhadap rububiyyah yang mengharuskan tauhid uluhiyyah yang Dia ambil dari manusia sebelum terlahir ke dunia sebagai hujjah atas manusia dalam hal tauhid, sehingga Dia ta’alaa tidak menerima alasan ketidaktahuan mereka terhadap hukum bahwa yang mereka lakukan itu syirik “agar kamu di hari kiamat tidak mengatakan: Sesungguhnya kami (Bani Adam)adalah orang-orang yang lengah terhadap ini” yaitu tidak mengetahui bahwa yang dilakukan itu adalah kemusyrikan.” Maksudnya bahwa Allah ta’alaa tidak menerima darinya alasan ketidaktahuan.” (Aqidah Al Muwahidah: 389).
Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Seandainya tidak ada dalil terhadap pentauhidan Allah dan pengenalan-Nya kecuali apa yang manusia akui berupa rububiyyah Allah dan hak khusus-Nya dalam menciptakan, maka tentulah itu cukup sebagai dalil.” (Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis: 19).
Di dalam ayat ini juga Allah tidak menerima alasan taqlid (ikut-ikutan), di mana Dia mengatakan ”atau agar kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Allah sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka.” Maksudnya bahwa Allah Ta’alaa tidak menerima darinya alasan taqlid kepada nenek moyang mereka.” (Aqidatul Muwahhidin: 389), karena taqlid di dalam pokok ajaran dien ini dan di dalam makna syahadat laa ilaaha illallaah dan syahadat Muhammad Rasulullah adalah tidak berguna dan tidak bermanfaat menurut (seluruh) ulama.” (Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis: 18).
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: ”…dan tidak ada ‘udzur bagi orang yang taqlid di dalam tauhid” (Tafsir Al Qurthubi: 7/280).
Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata tentang ayat di atas: Ibnul Qayyim berkata: “Dikarenakan ayat Al A’raf ini ada di surat Makkiyyah maka Allah menyebutkan di dalamnya mitsaq (perjanjian) dan pengambilan kesaksian yang umum bagi seluruh mukallaf yang telah mengakui rububiyyah-Nya, keesaan-Nya dan kebatilan syirik, di mana ia adalah mitsaq dan pengambilan kesaksian yang dengannya hujjah tegak atas mereka, udzur (alasan) terputus dengannya dan sangsi hukum menimpa dengannya serta pembinasaan menimpa dengan sebab menyelisihinya.” (Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 330).
2. Allah ta’alaa berfirman:
”Sebagian diberi–Nya petunjuk dan sebagian pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan sebagai pelindung/sembahan (mereka) selain Allah dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk” (Al A’raf: 30).
Al Imam Al Baghawi rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Di dalam firman Allah ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang kafir yang mengira bahwa dia berada di atas kebenaran di dalam agamanya adalah sama dengan orang kafir yang mengingkari dan orang (kafir)yang mu’anid (membangkang)”. (Tafsir Al Baghawi: 2/156).
Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata secara makna: “Ibnu Jarir mengatakan: “Dan ini menunjukan bahwa orang yang jahil itu tidaklah diudzur.” (Ad Durar As Saniyyah 10/392).
3. Allah Ta’alaa berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka memperuhankan) Al Masih Ibnu Maryam, padahal ,ereka itu tidak diperintahkan kecuali menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persukutukan.” (At Taubah: 31).
Di dalam ayat ini Allah memvonis orang-orang Nasrani dengan banyak vonis yang diantaranya bahwa mereka itu beribadah kapada alim ulama dan para rahib mereka, mempertuhankannya, melanggar laa ilaaha illallaah, mereka musyrik serat para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagai arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Di dalam hadits riwayat At Tirmidzi yang dihasankan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, Rasulullah membacakan ayat ini di hadapan ‘Adi Ibnu Hatim yang saat itu masih beragama Nasrani, dan ketika dia mendengar ayat tersebut, maka dia mengatakan: ”Kami (orang-orang Nasrani) tidak pernah mengibadati mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya juga, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian ikut mengharamkannya juga?” ‘Adi menjawab: “Ya” maka Rasulullah mengatakan: ” Itulah peribadatan kepada mereka”. Di sini ‘Adi dan kaum Nasrani tidak mengetahui bahwa penyandaran kewenangan pembuatan hukum kepada selain Allah (yaitu kepada alim ulama dan pendeta) adalah sebagai bentuk ibadah kepada selain Allah dan merupakan kemusyrikan, namun Allah tidak mengudzur mereka.
Syaikh Abdullah Aba Buthain berkata: “Adi radliyallahu ‘anhu tidak menyangka bahwa menyetujui mereka dalam apa yang disebutkan itu adalah bentuk peribadatan dari mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa hal itu adalah ibadah dari mereka kepada alim ulama dan para rahib, padahal mereka itu tidak meyakininya sebagai ibadah kepada mereka” (Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin: 12).
4. Allah ta’alaa mengabarkan bahwa orang-orang yang bodoh lagi taqlid sama-sama divonis kafir lagi kekal di dalam neraka bersama orang-orang yang diikuti dan menyesatkannya:
“Sehingga apabila mereka telah masuk semuanya, berkatalah orang-orang yang masuk kemudian(atau para pengikut) di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu (para tokoh):” Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka.” Allah berfirman: ”Masing-masing dapat siksaan yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui.” (Al A’raf: 38).
Di dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah ta’alaa memasukan para tokoh kekafiran dengan para pengikutnya yang bodoh lagi taqlid ke dalam neraka, dan Allah melipatkan adzab bagi mereka semua, serta Dia tidak mengudzur orang-orang yang bodoh lagi taqlid itu. Dan hal serupa juga ada di dalam firman-Nya berikut ini:
5. Allah ta’alaa berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah melaknat orang-orang kafir dan menyiapkan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan di dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul.” Dan mereka berkata:” Ya Tuhan kami sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami limpahkanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar.” (Al Ahzab: 64-68).
6. Allah juga menyematkan status musyrik bagi orang yang melakukan syrik akbar walaupun dia belum mendengar hujjah risaliyyah. Allah ta’alaa berfirman:
“Dan jika seorang dari orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu maka lindungilah ia samapai ia mendengar firman Allah.” (At Taubah:6).
Allah ta’alaa menyebutnya musyrik padahal dia belum mendengar hujjah (Al Quran).
7. Allah ta’alaa berfirman seraya mengkafirkan orang yang memperolok-olokan ajarannya padahal mereka tidak mengetahui bahawa itu adalah kekafiran:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:”Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: ”Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah cari-cari alasan, karena kamu telah kafir setelah beriman.” (At Taubah: 65-66).
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata: “Ibnu Taimiyyah berkata:” Dan di dalam ayat ini ada dalil yang menunjukan bahwa seseorang bila melakukan kekafiran itu sedangkan dia tidak mengetahui bahwa itu adalah kekafiran maka dia tidak diudzur dengan sebab itu, justru dia itu kafir”. (Ibthalut Tandid: 201).
B. Dalil dari As Sunnah:
1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada orang yang bertanya tentang ayahnya yang meninggal dunia di atas syirik pada zaman jahiliyyah yang belum turun Al Qur’an dan belum lahir Rasulullah: ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. (HR Muslim). Padahal Abdullah ini adalah termasuk kaum yang Allah firmankan: ”Agar kamu (Muhammad) memberikan peringatan kepada kaum yang mana bapak-bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai (bodoh).” (Yasin: 6) dan firman-Nya: ”Agar kamu (Muhammad) memberikan peringatan kepada kaum yang belum pernah dating kepada mereka seorangpun pemberi peringatan sebelum kamu, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk” (As Sajdah: 3).
Bila saja orang yang jahil kerena belum diturunkan Al Quran dan Rasulullah belum diutus adalah tidak diudzur bila mati di atas kemusyrikan, maka apa gerangan dengan orang-orang yang telah mendengar Al Quran dan bahkan mengaku umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam?
2. Juga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata kepada utusan Banul Muntafiq yang bertanya kepada beliau tentang ayah mereka yang mati zaman jahiliyyah di atas kemusyrikan: ”Sesungguhnya bapak kamu Al Muntafiq itu benar-benar di dalam neraka.” Terus beliau berkata: ”Demi Allah, bila kamu melewati kuburan orang musyrik mana saja baik itu orang Banu ‘Amir maupun Quraisy, maka katakan: Aku diutus oleh Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kamu untuk memberi kabar gembira kepada kamu bahwa kamu digusur telungkup di dalam api neraka”. (Musnad Al Imam Ahmad 4/13 (16251), lihat Az Zanad Syarh Lum’atil I’tiqad: 99).
Syaikh Abdullathif berkata: “Ibnul Qayyim rahimahullah berkata saat menjelaskan ahli fatrah pada hadits Banul Muntafiq dan sabda nya shallallaahu ‘alaihi wasallam:” Sesungguhnya bapak kamu Al Muntafiq itu benar-benar di dalam neraka.”: Seandainya tidak ada dalil terhadap pentauhidan Allah dan pengenalan-Nya kecuali apa yang telah mereka akui berupa rububiyyah Allah dan sifat khusus-Nya dalam menciptakan, maka tentulah itu cukup sebagai dalil”. (Minhajut Ta-sis Wat Taqdis: 19) yaitu yang Allah jelaskan di dalam surat Al A’raf ayat 172-173 yang telah lalu dijelaskan.
Bila saja orang yang mati di atas syirik akbar dipastikan masuk neraka padahal dia belum pernah mendengar Al Quran dan Rasul, maka apa gerangan dengan orang-orang sekarang?
3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya Allah berkata kepada penghuni neraka yang paling ringan siksanya: ”Seandainya kamu memiliki segala apa yang ada di muka bumi, apa kamu mau menebus dirimu dengannya?” Dia menjawab: ”Ya.” Allah berkata: ”Aku telah meminta darimu suatu yang lebih ringan dari hal ini saat kamu masih ada di sulbi Adam; yaitu kamu tidak menyekutukan (sesuatu) dengan-Ku, namun kamu tidak mau kecuali berbuat syirik.” (HR Al Bukhari: 3334, dan Muslim: 2805).
Hadits ini semakna dengan ayat 172-173 surat Al A’raf yang sudah dijelaskan tadi, di mana Allah menjadikan pengambilan kesaksian tauhid saat manusia masih ada di sulbi Adam sebagai hujjah dalam masalah syirik akbar.
C. Ijma para ulama diantaranya adalah:
1. Apa yang dinyatakan Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah saat menuturkan macam-macam kaum yang murtad pada zaman khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallaahu ‘anhu: “Dan di antara mereka ada orang yang tetap di atas dua kalimah syahadat, akan tetapi dia mengakui kenabian Musailamah karena dugaan (darinya) bahawa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyertakan dia di dalam kenabian, dikarenakan Musailamah ini mengangkat para saksi palsu yang bersaksi baginya dengan (kenabian) itu, kemudian dipercayai oleh banyak manusia, namun demikian para ulama ijma bahwa mereka itu adalah orang-orang murtad walaupun mereka itu jahil terhadap hal itu, dan barangsiapa meragukan kemurtaddan mereka maka dia itu kafir”. (Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu’atut Tauhid: 23).
Bila saja mengangkat seseorang sederajat dengan nabi maka divonis murtad dengan ijma ulama dan tidak diudzur karena kejahilannya, maka gerangan dengan mengangkat makhluk sederajat dengan Al Khaliq dengan menyandarkan ibadah kepadanya.
2. Syaikh Abdullah Aba Buthain rahimahullah berkata saat membantah seorang ulama kaum musyrikin (Dawud Ibnu Jirjis) yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan, taqlid, takwil dan ijtihad yang salah: “Orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran ini (syirik akbar) karena takwil, atau ijtihad atau kesalahan atau taqlid atau kebodohan adalah diudzur, maka dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma tanpa diragukan lagi”. (Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin: 18).
3. Beliau berkata juga: Para ulama ijma bahwa tidak boleh taqlid dalam urusan tauhid dan kerasulan”. (Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah: 10/399-400).
4. Beliau berkata juga setelah menukil ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah: “Beliau rahimahullah telah memastikan di dalam banyak tempat prihal kekafiran orang yang melakukan kemusyrikan dan beliau menghikayatkan ijma kaum muslimin terhadap hal itu serta beliau tidak mengecualikan orang yang bodoh dan yang serupa dengannya. Allah ta’alaa berfirman. ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa penyekutuan (sesuatu) dengan-Nya.” Dan Dia berfirman tentang Al Masih bahwa ia berkata: ”Barangsiapa menyekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh Allah telah mengharamkan surga terhadapnya, dan tempat kembalinya adalah neraka.” Barangsiapa mengkhususkan ancaman itu bagi orang mu’anid saja dan dia mengeluarkan orang yang jahil, orang yang melakukan takwil dan orang yang taqlid, maka dia itu telah menentang Allah dan Rasul-Nya serta dia telah keluar dari jalan kaum mukminin. (Al Intishar, Aqidatul Muwahhidin: 27).
Ini adalah dalil dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma para ulama tentang masalah ini. Kemudian bila ada hal yang menyelisihi ini maka jangan dijadikan sebagai penghadang dalil-dalil qath’iy ini, tapi carilah penjelasan tentang hal itu dari pernyataan para ulama yang bermanhaj yang benar. Wallaahu A’lam.
0 komentar: