Inilah Aqidah Kami

HADZIHI ‘AQIDATUNA
SYAIKH  ABU MUHAMMAD AL MAQDISI
ALIH BAHASA: ABU SULAIMAN
Bismillahirrahmanirrahiim…
MUQADDIMAH
Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘Alamin, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Pemilik hari pembalasan.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada para penutup nabi dan rasul, keluarganya, dan seluruh para shahabatnya.
Wa ba’du:
Ini adalah ringkasan bagi apa yang kami yakini dan kami anut dihadapan Allah dalam masalah-masalah dien yang paling penting, saya telah menulisnya di penjara sesudah sampai berita kepada saya bahwa segolongan orang menisbatkan kepada kami dan menyandarkan kepada kami sesuatu yang tidak pernah kami ucapkan kapanpun, terutama dalam bab-bab kufur dan iman, dan sebelum itu saya tidak pernah memperhatikan untuk menulis dalam materi semacam ini, itu dikarenakan ulama-ulama kita telah memberikan kecukupan di dalamnya dan dikarenakan pencari kebenaran yang objektif bisa mengetahui benar pendapat-pendapat kami dari tulisan-tulisan kami yang terperinci, sampai akhirnya meminta dari saya hal itu sebagian ikhwan tauhid yang sering berinteraksi dengan kami dan sering membesuk kami di penjara, dan itu setelah dia bertemu dengan orang-orang yang tidak mengetahui kejelasan pendapat-pendapat kami dalam sebagian bab-bab kufur dan iman, maka saya segera merespon permintaan saudara kami ini sebagai bentuk pengikatan banyak masalah dan untuk memperkenalkan inti-inti dan hal-hal terpenting yang kami yakini dan kami imani, mudah-mudahan saya dengan hal itu bisa menutup pintu di hadapan orang yang memancing di air keruh dalam sebagian ucapan-ucapan yang bersifat umum, atau orang yang menyandarkan ucapan kepada kami apa yang tidak pernah kami katakan, atau menyandarkan kepada kami dan mengharuskan kami dengan suatu yang bukan termasuk madzhab kami, terutama sesungguhnya saya mengetahui bahwa sebagian tulisan-tulisan kami dibaca oleh banyak para pemula dalam pencarian ilmu yang kadang terkabur atas mereka sebagian masalah ; terkhusus pada sebagian lontaran-lontaran atau keumuman-keumuman yang kadang mereka baca pada tulisan-tulisan kami yang bersifat dakwah yang banyak darinya kami mengkhitabi (mendakwahi) para thaghut dan orang-orang semacam mereka dari kalangan pembuat hukum dan para pembela mereka dari kalangan aparat-aparat kemusyrikan dan yang lainnya yang telah Allah perintahkan untuk menakut-nakuti mereka dan bersikap keras terhadap mereka. Kadang kami membiarkan sebagian nash-nash ancaman yang mutlak secara dhahirnya tanpa takwil atau kami lontarkan hukum-hukum tentang macam perbuatan kemudian orang yang masih terbatas dalam pencarian ilmunya tidak membedakan antara hal itu dengan penerapan hukum tersebut terhadap individu-individu orangnya, atau kami membiarkan sebagian lontaran-lontaran atas dhahirnya tanpa perincian atau pentakwilan agar hal itu lebih mengena pada hati orang yang diajak bicara yang memiliki kebiasaan mencari hal-hal yang enteng dan ringan yang mempermudah mereka melakukan dosa, dan itu dilakukan dalam rangka mencontoh metode banyak salaf dalam pelontaran nash-nash ancaman sebagaimana yang telah Allah ta’ala lontarkan, dan menuturkannya tanpa masuk dalam pentakwilannya  agar lebih menekan sebagaimana yang Allah ta’ala inginkan, karena maksiat yang Allah sertakan laknat dengannya tidaklah seperti maksiat lainnya, dan sesungguhnya perbuatan yang Allah cap atau Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam namakan sebagai kekafiran tidaklah seperti perbuatan-perbuatan yang lainnya, kecuali mereka khawatir adanya salah paham dari orang-orang yang diajak bicara, maka mereka masuk ke dalam rincian, dan begitu juga kami melakukannya dalam tulisan-tulisan kami yang terperinci.
Sebagaimana saya tahu bahwa sebagaian Ghulatul Mukaffirah (orang-orang yang ghuluw dalam takfir) mengoleksi sebagian apa yang kami tulis dalam rangka mencari apa yang mengokohkan pendapat-pendapat mereka, dan saya yakin penuh bahwa mereka seandainya para pencari kebenaran yang objektif tentu mereka tidak akan mendapatkan sedikitpun apa yang mereka cari kecuali seandainya mereka memotong ungkapan-ungkapan kami.
Sebagaimana saya tahu, bahwa banyak dari seteru-seteru kami dari kalangan Murji-ah masa kini dan orang-orang macam mereka meneliti didalamnya bukan dalam rangka mencari al haq akan tetapi dalam rangka mencari ungkapan-ungkapan yang bisa jadi kami nukil dari sebagian ulama, para imam, dan para da’i, dalam rangka mengecam kami dengannya sebagai upaya dari mereka mencoreng dakwah kami dengan memuatkan kepada ucapan kami apa yang tidak terkandung didalamnya dan dengan memaksakan kepada kami apa yang tidak kami yakini.
Maka kepada mereka seluruhnya saya katakan: “Takutkah kalian kepada Allah, dan ucapkanlah ucapan yang baik dan ingatkal selalu hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa mengatakan pada orang mukmin suatu yang tidak ada padanya, maka Allah  memasukan dia ke dalam Radghatul Khabal sampai dia datang dengan jalan keluar dari apa yang dia ucapkan[1]
Dan saya katakan secara terang-terangan tanpa sedikitpun keberatan:
Bahwa setiap ucapan yang telah saya ucapkan dalam tulisan-tulisan saya baik yang sudah nampak ataupun yang akan nampak suatu saat bila ia datang menyelisihi nash dari Al Kitab dan As Sunnah yang samar atas saya, maka saya adalah orang yang pertama rujuk darinya dan berlepas diri darinya serta memegang teguh nash itu.

Dan pembaca lembaran-lembaran ini akan melihat bahwa banyak dari ucapan-ucapan kami didalamnya terpengaruh dengan keterpengaruhan yang jelas bahkan bisa saja sama persis kata-katanya dengan apa yang sering di ulang dalam Aqidah Ath Thahawiyyah atau Al Wasithiyyah atau kitab-kitab lainnya, dan tidak aneh dalam hal itu karena kami telah terpengaruh dengan kitab-kitab ini secara jelas diawal pencarian ilmu ini, dan kami mempelajarinya serta mengajarkannya berulang-ulang dan berkali-kali dengan karunia Allah ta’ala.
Para ulama kita berbicara panjang lebar dalam tulisan-tulisan itu dan membahas panjang lebar dalam banyak masalah yang merebak kekeliruan tentangnya pada zaman mereka itu sehingga butuh membahas panjang lebar didalamnya sebagai bentuk bantahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atau terhadap bid’ah-bid’ah yang merebak dimasa mereka. Dan engkau bisa melihat mereka berbicara ringkas dalam masalah-masalah lain yang mereka lalui begitu saja, karena sedikitnya pembicaraan atau kekeliruan didalamnya pada zaman itu, dan kadang mereka menuturkan sebagian masalah–masalah fiqh disela-sela pembahasan mereka tentang aqidah dan itu sebagai bantahan terhadap penyelisihan ahli bid’ah dalam masalah-masalah itu, untuk membedakan Ahlus Sunnah dari Ahlu Bid’ah, untuk mencatat sikap bara’ (berlepas diri) mereka dari ahli bid’ah itu, walaupun dalam cabang-cabang fiqih yang biasanya muncul daru ushul yang mana ahli bid’ah ganjil di dalamnya.
Dan kami dalam lembaran-lembaran ini kelak berjalan di atas metode ini, sehingga kami tidak menuturkan semua masalah i’tiqad yang dituturkan oleh kitab-kitab itu, akan tetapi kami mengutarakan di dalamnya masalah-masalah yang penting saja, dan kami mementingkan terhadap bahasan-bahasan tertentu yang kami telah melihat bahwa kekeliruan dan kesamaran telah banyak terjadi seputar masalah itu di zaman ini, atau masalah-masalah yang kami khawatir disandarkan kepada kami di dalamnya ~atau memang telah disandarkan kepada kami~ apa yang tidak pernah kami katakan.
Dan kepada Allah kami memohon agar menerima upaya kami ini, dan menjadikan amalan-amalan kami tulus bagi wajahNya Yang Mulia, serta meneguhkan kami di atas aqidah kelompok yang selamat Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dan juga menjadikan bagian dari Ath Thaifah Al Manshurah. Dia-lah pelindung kami, dan Dia-lah sebaik-baik yang menolong.
Ditulis oleh
Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Jumada Al Akhirah, Tahun 1418 H.
I. Tauhidullah
Kami katakan tentang Tauhidullah bahwa Allah itu Esa lagi tidak ada sekutu bagiNya, baik dalam RububiyyahNya maupun dalam UluhiyyahNya ataupun dalam Asma dan SifatNya.
Maka tidak ada Pencipta selainNya, tidak ada Rabb selain Dia dan tidak ada Pemberi rizki yang Memiliki dan Mengatur semua wujud ini kecuali Dia, dan kami mentauhidkan Allah dalam semua perbuatanNya Subhanahu, sebagaimana kami mentauhidkanNya dengan semua perbuatan kami.
Kami bersaksi sebagaimana Allah bersaksi bagi DiriNya sendiri dan juga malaikat-malaikat dan para ulama, Dia-lah yang menegakan keadilan, tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana seraya kami menetapkan apa yang ditetapkan oleh kalimat yang agung ini berupa pemurnian seluruh ibadah kepada Allah saja, konsekwensi-konsekwensinya, kewajiban-kewajibannya dan hak-haknya, juga kami menafikan (meniadakan) apa yang dinafikan oleh kalimat ini berupa berbagai macam kemusyrikan dan tandingan serta hal-hal yang menyertainya.
Dan kami beriman, bahwa tujuan yang karenanya Allah ta’ala menciptakan semua makhluk adalah ibadah kepadaNya saja, sebagaimana firman Allah:
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk berubadah kepadaKu” (Adz Dzariyat : 65)
Kami menyeru kepada Tauhidullah subahanahu dalam seluruh macam-macam ibadah berupa sujud atau ruku’ atau atau nazar atau thawaf atau haji atau sembelihan atau hukum dan yang lainnya.
“Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (Al An’am: 162-163)]
Perintah Allah Subhanahu   Wa Ta’ala adalah mencakup perintah kauni (ketentuan alam) dan syar’iy (ketentuan syari’at), dan sebagaimana hanya milik Dia Subhanahu hukum kauni qadariy (ketentuan alam yang bersifat taqdir), dimana Dia-lah yang mengatur alam ini lagi menentukan di dalamnya dengan ketentuan yang Dia inginkan dan sesuai apa yang dituntut oleh hikmahNya, maka begitu juga kami mentauhidkan Allah Subhanahu   Wa Ta’ala dalam hukumNya yang bersifat syar’iy sehingga tidak menyekutukan seorangpun dalam hukumNya dan kami tidak menyekutukan seorangpun dalam ibadahNya:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah-kan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan Semesta Alam” (Al A’raf: 54)]
Halal adalah apa yang Dia halalkan dan haram adalah apa yang Dia haramkan.
[“Keputusan itu hanyakah keputusan Allah, Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (Yusuf: 40)],
Maka tidak ada yang berhak membuat hukum kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala, dan kami berlepas diri dan menanggalkan diri serta kafir (ingkar) terhadap setiap musyarri’ (pembuat hukum) selainNya, maka kami tidak mencari tuhan pengatur selain Allah, dan kami tidak menjadikan selain Allah Subhananhu sebagai sembahan, dan kami tidak mencari aturan selain Islam, karena sesungguhnya orang yang menjadikan penentu hukum dan pembuat hukum selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimana orang tersebut mengikutinya dan bersepakat bersama-nya terhadap undang-undang yang menyelisihi aturan Allah maka dia itu telah menjadikan tuhan pengatur selain Allah dan telah mencari aturan selain Islam. Allah Subhanahu   Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya syaitan itu membisikan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik” (Al An’am; 121)
Dan firmanNya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah: 31)
Sebagaimana kami mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Asma dan SifatNya, maka tidak ada orang yang menyerupaiNya dan tidak pula yang serupa denganNya dan tidak pula yang sepertiNya dan tidak pula tandingan dan yang sepadan denganNya.
[”Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (Al Ikhlas: 1-4)]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyendiri dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan yang Dia tetapkan bagi DiriNya dalam kitabNya atau yang disebutkan oleh NabiNya dalam sunnahnya, sehingga kita tidak mensifati satupun dari makhlukNya dengan sifat-sifatNya, dan kami tidak tidak membuatkan nama bagiNya dari nama-namaNya, dan kami tidak membuatkan bagiNya perumpamaan-perumpamaan atau menyerupakanNya dengan salah satu dari makhlukNya, serta kami tidak melakukan penyimpangan dalam nama-nama dan sifat-sifat Rabb kami.
Akan tetapi kami beriman terhadap semua sifat Allah yang Dia tetapkan bagi DiriNya  dan terhadap sifat-sifat Allah yang diutarakan oleh RasulNya Shalallahu ‘alaihi wasallam sesuai hakikat yang sebenarnya, bukan majaz (kiasan), tanpa tahrif (memalingkan maknanya), tanpa takyif (mereka-reka), dan tanpa tamtsil (penyerupan).
[“Dan bagiNyalah sifat-sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Ar Rum: 27)],
Maka kami tidak meniadakan darinya sedikitpun dari sifat-sifat yang telah Dia tetapkan bagiNya Subahanahu, dan kami tidak memalingkan kalimat-kalimat dari tempat-tempatnya, dan kami tidak masuk di dalamnya seraya melakukan takwil dengan pikiran-pikiran kami, atau melakukan dugaan-dugaan dengan dudaan-dugaan kami dengan dalih tanzih (mensucikan Alah), maka tidak selamat dalam agamnya kecuali orang yang menerima putusan Allah ‘Azza Wa Jalla dan RasulNya Shalallahu ‘alaihi wasallam, serta mengembalikan ilmu yang samar atas dia kepada yang mengetahuinya, dan tidak kokoh pijakan Islam bagi seseorang kecuali di atas panggung penerimaan dan penyerahan diri, barangsiapa menginginkan pengetahuan apa yang dia dilarang darinya dan dia tidak puas pemahamannya dengan penerimaan penuh, maka keinginannya itu menghalangi dia dari kebenaran iman dan kemurnian Tauhid.
Kami beriman bahwa Allah telah menurunkan kitabNya dengan bahasa Arab yang jelas, maka kami tidak menyerahkan ilmu tentang makna-makna sifat (kepada Allah), akan tetapi yang kami serahkan kepadaNya adalah ilmu tentang kaifiyat (bentuk sebenarnya) sifat-sifatNya dan kami mengatakan  [“Kami beriman kepadaNya, semuanya itu dari sisi Tuhan kami” (Ali Imran : 7)]. Kami berlepas diri kepada Allah dari ta’thil kaum Jahmiyyah dan tamtsil kaum Musyabbihah, maka kami tidak cenderung kepada yang ini dan yang itu, akan tetapi kami bersikap pertengahan dan lurus sebagaimana yang diinginkan Rabb kami antara penafian dan penetapan. Dia ta’ala berfirman:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Asy Syura: 11).
Barangsiapa tidak menghindari ta’thil dan tasybih maka dia tergelincir dan tidak tepat pada tanzih.
Kami dalam bab ini ~sebagaimana dalam bab-bab yang lain~ adalah di atas apa yang diyakini salafush shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dan di antara hal itu adalah apa yang di kabarkan dalam kitabNya dan telah mutawatir dari RasulNya Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa Dia Subhanahu Wa Ta’ala di atas langit-langitNya bersemayam di atas ArasyNya sebagaimana dalam firmanNya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikan bumi bersama-sama, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu tergoncang?” (Al Mulk: 16)
Dan sebagaimana hadits budak wanita yang ditanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: ”Dimana Allah ?”, dia menjawab : “Di atas”, Rasul berkata : “Saya siapa ?”, dia menjawab : “Engkau rasulullah”, beliau berkata : “Merdekakanlah dia karena dia itu wanita beriman” [2]
Dan ini adalah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya bagi kami.
Akan tetapi kita menjagaNya sebagaimana As Salaf Ash Shalih telah menjagaNya dari dugaan-dugaan yang dusta seperti diduga bahwa langit itu menaungiNya atau menjadi pijakanNya, maka ini adalah bathil yang memaksa kami menyebutkannya dan menafikannya dan mensucikan Allah darinya ~walaupun generasi Salaf tidak secara jelas menyinggungnya~ adalah sikap gaduh para ahli bid’ah dan ilzam-ilzam (pengharusan-pengharusan) mereka yang bathil terhadap Ahlus Sunah.
Allah Subhanahu  Wa Ta’ala berfirman:
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi” (Al Baqarah: 255)
Dan:
“Menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap” (Fathir: 41)
Dan:
“Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi kecuali dengan izinNya” (Al Hajj: 65)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradatNya” (Ar Rum: 25)
Dan kami beriman bahwa Dia Subhanahu istiwa (bersemayam) di atas ArasyNya sebagaimana firmanNya ta’ala:
“Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arasy” (Thaha: 5)
Dan kami tidak mentakwil istiwa dengan istiila-istiila (menguasai), akan tetapi istiwa itu sesuai dengan maknanya dalam bahasa Arab yang mana Al Qur’an  Allah turunkan dengan bahasa itu, dan kami tidak menyerupakan istiwaNya dengan istiwa sesuatupun dari makhlukNya, akan tetapi kami mengatakan seperti apa yang dikatakan Imam Malik : “Istiwa itu sudah di ketahui, iman terhadapnya adalah wajib dan kaifiyyahnya adalah tidak diketahui, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah”
Dan terhadap ini kami memahami sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu   Wa Ta’ala yang lainnya seperti turun, datang, dan hal-hal lainnya yang telah Allah kabarkan dalam kitabNya atau telah ada dalam Sunnah yang shahih.
Dan kami beriman bahwa Allah Subhanahu   Wa Ta’ala walaupun Dia istiwa di atas Arasy-Nya lagi tinggi di atas langit-lanngitNya, bahwa Dia dekat dari hamba-hambaNya sebagaimana firmanNya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat” (Al Baqarah: 186)
Dan sebagaimana dalam hadits Muttafaq ‘alaih:“Hai manusia kasihanilah diri kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah menyeru Dzat yang tuli dan jauh, namun kalian ini menyeru Dzat Yang Maha Mendengar, Maha Melihat lagi Dekat, sesungguhnya Dzat yang kalian seru itu adalah lebih dekat kepada seorang di antara kalian daripada leher hewan tunggangannya”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersama hamba-hambaNya dimana saja mereka berada. Dan Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan sebagaiman firmanNya ta’ala:
“Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada, dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Al Hadid: 4)
Dan kami tidak memahami dari firmanNya “Dan Dia bersama kamu” apa yang di pahami oleh orang-orang zindiq bahwa Allah itu berbaur dengan hamba-hambaNya atau menempati pada sebagian mereka atau menyatu dengan mereka, dan keyakinan-keyakinan kafir dan sesat lainnya, akan tetapi kami berlepas diri di hadapan Allah dari itu semuanya.
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki bersama hamba-hambaNya yang mukmin memiliki kebersamaan yang lain yang khusus selain kebersamaan yang umum, yaitu kebersamaan pertolongan dan bimbingan serta pelurusan sebagaimana dalam firmanNya:
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kabaikan” (An Nahl: 128).
Allah Subhanahu   Wa Ta’ala walaupun Dia bersemayam di atas ArasyNya dan Tinggi di atas langit-langitNya namun Dia bersama hamba-hambaNya di mana saja mereka berada seraya mengetahui apa yang mereka lakukan, dan Dia  Subhanahu Wa Ta’ala dekat dari orang yang menyeruNya, dan Dia bersama hamba-hambaNya yang beriman; menjaga mereka, menolong mereka, dan memelihara mereka, maka kedekatan dan kebersamaan Allah tidak menafikan Tingginya Dia, karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dalam sifat-sifatNya, dan Dia itu Tinggi pada kedekatanNya lagi dekat pada keTinggianNya.
Dan di antara buah-buah tauhid yang agung yang merupakan hak Allah atas hamba-hambaNya ini adalah keberhasilan orang yang bertauhid dengan surga Tuhannya dan keselamatan dari api neraka sebagaimana dalam hadits Mu’adz Ibnu Jabbal, dan di antaranya juga pengagungan Allah dan pemuliaanNya dengan mengenal sifat-sifat kesempurnaan dan keagunganNya, mensucikanNya dan membersihkanNya dari yang menyerupai atau menyamai, dan mengetahui kebodohan orang-orang yang menjadikan tuhan-tuhan selainNya yang mereka sekutukan bersamaNya dalam ibadah atau hukum-hukum dan aturan, serta kehinaan dan kenistaan orang yang menjadikan dirinya sebagai sekutu dalam sesuatu dari hal itu, padahal mereka itu tidak ikut dalam penciptaan dan tidak memiliki sedikitpun bagian dalam kekuasaan atau pemberian rizki atau pengaturan.
Dan di antara buah tauhid ini juga keberlepasan hati dan jiwa dari perbudakan terhadap makhluk dan keteguhan si hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat karena orang yang menyembah sekutu-sekutu yang berselisih dimana dia menyeru mereka dan terpecah-pecah rasa takut dan pengharapannya di antara mereka tidaklah seperti orang yang mentauhidkan Tuhannya Subhanahu Wa Ta’ala dan yang memurnikan bagiNya rasa takut, pengharapan, tujuan, keinginan dan ibadah.
Ya Allah, wahai pelindung Islam dan para pemeluknya, teguhkanlah kami di atas tauhidMu sampai hari berjumpa denganMu…
II.     Malaikat – Malaikat
Kami beriman terhadap malaikat-malaikat Allah, dan bahwa mereka itu adalah hamba-hamba Allah yang di mulyakan, mereka itu tidak mendahuluiNya dengan perkataan, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya, mereka mensucikanNya siang malam lagi tidak berhenti.
Maka kami loyal terhadap mereka dan mencintai mereka karena mereka itu termasuk tentara-tentara Allah, dan karena mereka itu memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang yang beriman, dan kami membenci orang yang membenci mereka.
Di antara mereka itu Jibril Ar Ruh Al Amin, Mikail, Israfil yang ditugaskan meniup sangkakala, dan di antara mereka ada yang ditugaskan memikul Arasy, malaikat Kematian, Mungkar dan Nakir, Malik penjaga neraka, Ridwan penjaga surga, malaikat Gunung, malaikat-malaikat yang mulya yang mencatat amalan, dan lainnya sangat banyak, tidak mengetahui jumlahnya kecuali Allah ta’ala, dan telah tsabit dari Al Bukhari dan Muslim dari hadits Annas radhiallahu ‘anhu dalam kisah Mi’raj bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam diperlihatkan kepada beliau Al Bait Al makmur di langit, masuk ke dalamnya untuk shalat setiap harinya 70.000 malaikat, bila mereka keluar maka mereka tidak kembali lagi.
Dan di dalam hadits shahih Muslim dari ‘Aisyah Ummul Mulminin radhiallahu ‘anha bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya dan Jin diciptakan dari nyala api serta Adam diciptakan dari apa yang telah disebutkan kepada kalian”. Dan kadang malaikat dengan perintah Allah menjelma dengan bentuk manusia sebagaimana dalam kisah Maryam dan hadits Jibril saat bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tentang Iman, Islam, dan Ihsan. Adapun bentuk aslinya, maka Allah telah menyebutkan dalam Al Qur’an bahwa Dia menjadikan dari malaikat-malaikat itu utusan-utusan (untuk mengutus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap masing-masing (ada yang 2, 3, dan 4), Allah menambahkan pada ciptaanNya apa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat Jibril dalam bentuk aslinya, sedang dia memiliki 600 sayap yang menutupi ufuk.
Dan di antara buah-buah keimanan ini adalah mengagungkan Allah ta’ala karena keagungan makhluk menunjukan terhadap keagungan Penciptanya dan di antara buah-buahnya juga si hamba merasa malu dari malaikat-malaikat Allah ta’ala yang selalu menyertainya dan di antara itu juga pengokohan keimanan orang mukmin yang asing dengan keimanan serta tidak merasa kesepian karena sedikitnya anshar dengan ia selau mengingat bahwa bersamanya ada malaikat-malaikat Allah yang menjaga, dan di dalam shahih Al Bukhari dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya bila Allah menciantai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril bahwa Allah telah mencintai si fulan maka cintailah dia, maka Jibril-pun mencintainya, kemudian Jibril menyerukan di langit bahwa Allah telah mencintai si fulan, maka cintailah dia, kemudian para penghuni langitpun mencintainya, dan penerimaan untuknya di diletakan di bumi…”. Maka wajib atas orang mukmin untuk mencintai dan loyal terhadap orang yang telah dicintai Allah, malaikat-malaikatNya dan hamba-hambaNya yang beriman, serta dia wajib membenci dan memusuhi serta berlepas diri dari orang yang telah dibenci oleh Allah, malaikat-malaikatNya dan hamba-hambaNya yang beriman, karena sesungguhnya hal itu termasuk ikatan iman yang paling kokoh.
III.    Kitab – Kitab
Dan kami beriman terhadap kitab-kitab Allah ta’ala yang telah Dia turunkan kepada rasul-rasulNya secara global, dan kami beriman secara rinci terhadap kitab-kitab yang telah Allah sebutkan namanya seperti Taurat, Injil, dan Zabur, serta bahwa penutupnya Al Qur’an Al Adhim adalah firman Rabbul ‘Alamin secara sebenarnya yang turun dengan membawanya Jibril Ar Ruh Al Amin terhadap Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam agar ia menjadi bagian dari para rasul, sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab Allah yang lain, dan Al Qur’an itu adalah diturunkan dari Allah ta’ala dan bukan makhluk, dan ia itu tidak di setarai oleh sesuatupun dari ucapan makhluk, dan barangsiapa mengatakan (“Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” (Al Mudatstsir: 25) maka dia telah kafir dan sudah sepantasnya berlaku terhadapnya bila ia tidak rujuk dan taubat dari hal itu firman Allah ta’ala : “Aku akan memasukannya ke dalam (neraka) Saqar” (Al Mudatstsir: 26) dan kami beriman bahwa Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
Dan kami beriman bahwa Allah ta’ala telah menjaga kitabNya dari penggantian dan pengrubahan, dimana Dia ta’ala befirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya” (Al Hijr: 9)
Dan bahwa Allah telah menggantungkan peringatan denganNya. Dia ta’ala berirman:
“Dan Al Qur’an ini di wahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an (kepadanya)” (Al An’am: 19)
Dan kami beriman bahwa kitabNya ini adalah Al Urwah Al Wutsqa dan talinya yang kokoh yang barangsiapa berpegang dengannya maka dia selamat, dan barangsiapa berpaling darinya dan meninggalkannya serta membelakanginya, maka binasa dan tergelincir serta sesat dengan kesesatan yang nyata.
Dan di antara buah-buah iman ini adalah mengambil kitab Allah dengan sungguh-sungguh, berpegang teguh dengannya, mengagungkan perintah-perintahnya dan mengamalkannya, serta tidak membenturkan satu ayat dengan yang lainnya dan iman terhadap mutasyabih-mutasyabihnya serta mengembalikannya kepada yang muhkam sesuai metode orang-orang yang mendalam ilmunya.
IV. Para Nabi Dan Rasul
Kami beriman terhadap nabi-nabi dan rasul-rasul Allah seluruhnya yang telah Allah ta’ala kabarkan tentang mereka dalam kitabNya atau telah dikabarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya baik yang telah Allah ceritakan beritanya kepada kita maupun yang tidak Dia ceritakan, dan kami tidak membedakan di antara seseorangpun dari rasul-rasul itu. Allah menyatukan mereka semuanya dalam satu inti dakwah sebagaimana firmanNya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thaghut itu” (An Nah: 36)
Dan firmanNya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ”Bahwasannya tidak ada Tuhan yang haq melainlkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al Anbiya: 25)
Dan firmanNya:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu” (An Nisa: 165)
Dan firmanNya:
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.” (Al Isra: 15)
Dan firmanNya:
“Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiapkali dilemparkan kedalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga neraka bertanya kepada mereka : “Apakah belum pernah datang kepadamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?”. Mereka menjawab : “Benar ada”, sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan (nya) dan kami katakan : “Allah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan” (Al Mulk: 8-9)
Dan wajib atas mereka memberikan petunjuk jalan dan bimbingan, namun mereka tidak mampu memberi petunjuk hati manusia karena hal itu berada di antara jari-jemari Allah Yang Maha Pengasih, Dia membolak-balikannya sesuai dengan kehendakNya.
Dan sesungguhnya hidayah itu ada dua macam:
Pertama: Hidayah dilalah dan irsyad (bimbingan dan penunjuk jalan), ini mampu diberikan oleh para rasul, para nabi, para da’i, sebagaimana firmanNya ta’ala:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (Asy Syura: 52).
Kedua: Hidayah taufiq dan tasdid, dan ini tidak mampu memberikannya kacuali Allah sebagaimana firmanNya:
“Sesungguhnya kamu tidak dapa memberi petunjuk kepada orang yang” (Al Qashash: 56)
Dan firmanNya:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk” (Al Baqarah: 272).
Dan hidayah ini adalah karunia dari Allah dan keadilan yang Allah berikan kepada orang yang Allah ketahui darinya sikap penerimaan terhadap al haq dan pencarian terhadapnya, sebagaimana firmanNya ta’ala:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhoan Kami, benar-benar kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami (Al Ankabut: 69)
Dan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam:“Barangsiapa benar-benar memilih kebaikan maka dia pasti diberinya”
Adapun yang pertama maka termasuk keadilan dan rahmat Allah ta’ala, Dia memberikannya kepada seluruh makhluk.
Dan kami beriman terhadap mukjizat-mukjizat para nabi dan kami menjaga bagi mereka hak mereka, dan kami beretika terhadap mereka, dan kami tidak mengunggulkan atas mereka seorangpun dari manusia baik para wali atau para imam ataupun yang lainnya, namun demikian meeka itu adalah manusia biasa yang tidak memiliki satupun dari sifat-sifat Rububiyyah atau Uluhiyyah, namun mereka itu terkena oleh sifat-sifat kemanusiaan seperti : sakit, mati, dan kebutuhan terhadap makanan dan minuman serta yang lainnya. Allah ta’ala berfiman seraya memerintahkan NabiNya untuk mengatakan:
“Katakanlah (Muhammad): “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupum mudlarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (Al A’raf: 188)
Dan kami beriman bahwa penutup para nabi dan rasul adalah nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sehingga tidak ada nabi sesudahnya, sedangkan syari’atnya adalah syari’at yang menjadi batu ujian terhadap syari’at-syari’at yang lainnya sampai hari kiamat, dan seorang hamba tidak dikatakan beriman sampai dia mengikuti syari’atnya itu dan menerima dengan sepenuhnya putusan-putusannya.
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa: 65)]
Dan kami beriman bahwa Allah telah menjadikan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai Khalil (kekasihNya) sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil, Dia mengutusnya sebagai rahmat bagi sekalian alam, dan Dia memerintahkan umatnya untuk mengikuti Millah Ibrahim sebagaimana firmanNya:
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (muhammad): “Ikutilah millah Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik” (An Nahl: 123)
Dan firmanNya ta’ala:
“Sesungguh, telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-rang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja” (Al Mumtahanah: 4)
Maka kami mentauladani hal itu sampai kami menemui Allah, kami berlepas diri dari kaum musyrikin, anshar mereka, dan wali-wali mereka. Kami membenci mereka dan berlepas diri dari apa yang mereka ibadati selain Allah, kami kafir terhadap falsafah-falsafah mereka dan sistem-sistem mereka yang bathil lagi menyelisihi ajaran Allah, dan kami menampakan serta menyatakan sikap terang-terangan sikap permusuhan kami terhadap orang-orang yang menentang Allah di antara mereka, yang memerangi al haq lagi terang-terangan dengan kebathilannya, namun hal itu tidak menghalangi kami dari mendakwahi mereka dan menjelaskan al haq terhadap orang yang ingin mendengarkannya dari mereka, serta (kami) mengharapkan mereka mendapat petunjuk.
Dan di antara buah-buah iman kepada para rasul adalah mengenal sebagian nikmat-nikmat yang agung terhadap makhlukNya serta mensyukuri nikmatNya itu, sedangkan di antara nikmat Allah yang paling agung adalah kasih sayangnya terhadap mereka dengan diutus rasul-rasul kepada mereka untuk membimbing mereka kepada jalan yang lurus, dan memperkenalkan kepada mereka apa yang bisa menghantarkan mereka ke surga dan menyelamatkan mereka dari api nereka.
Dan di antara hal itu mencintai para rasul, memuji mereka, mengucapkan shalawat dansalam atas mereka, dan mendo’akan mereka atas apa yang mereka pikul berupa penindasan kaum-kaumnya, dan atas kesabaran mereka dari kesulitan-kesulitan dakwah serta mentauladani mereka dalam hal itu dan mengikuti mereka di atas manhaj mereka, sunnah mereka, perjalanan mereka dan dakwah mereka kepada Allah.
Dan kami mencintai dengan sebab kecintaan terhadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, anggota-anggota keluarga beliau yang suci, para shahabatnya, para pengikutnya, dan ansharnya sampai hari pembalasan. Kami loyal terhadap mereka dan tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka, bahkan justeru kami membenci orang yang membenci mereka dan orang yang menyebutkan mereka dengan selain kebaikan, maka kami tidak menyebutkan mereka kecuali dengan kebaikan, dan mencintai mereka itu bagi kami adalah dien, iman, dan ihsan yang dengannya kami mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Dan kami membedakan diri dari ahli bid’ah dengan keselamatan hati kami dan lisan kami terhadap mereka, dan kami tidak bosan dari berdo’a dengan firman Allah:
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang” (Al Hasyr: 10)
Dan kami berlepas diri dari ajaran orang-orang Rafidlah yang membenci dan mencaci para shahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, dan dari ajaran orang-orang Nawashib yang menyatakan permushan terhadap Ahlul Bait.
Dan kami mengetahui bagi Ali, Fathimah, Al Hasan, Al Husen, dan Ahlul Bait lainnya hak mereka, maka kami mencintai mereka dan tidak ghuluw terhadap mereka.
Jagalah bagi Ahlul Bait kewajiban hak mereka
Dan ketahuilah Ali dengan sebenar-benarnya
Jangan kau mengurangi dan merubah dalam kedudukannya
Karena atas dasarnya kedua kelompok masuk neraka
Salah satunya tidak meridhai ia sebagai khalifah
Dan yang lain mengangkatnya sebagai tuhan kedua[3]
Dan kami mengatakan bersama ini semuanya sebagaimana apa yang dikatakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: ”Barangsiapa amalannya memperlambat dia, maka faktor keturunan tidak akan mempercepatnya”.[4]
Dan kami menahan diri dari membicarakan perselisihan yang terjadi di antara para shabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, karena mereka dalam hal itu antara mujtahid yang tepat dan mujtahid yang keliru, sehingga bagi sebagian mereka satu pahala dan bagi sebagian yang lain dua pahala.
Katakanlah ucapan yang baik tentang para shahabat Ahmad
Dan pujilah seluruh keluarga dan isteri-isterinya
Tinggalkan apa yang terjadi di antara shahabat di peperangan
Dengan pedang-pedang mereka saat dua pasukan bertempur
Orang yang terbunuh di antara mereka dan yang membunuhnya
Keduanya dirahmati di hari kebangkitan
Jangan kau terima dari sejarah apa
Yang dikumpulkan perawi dan yang dituliskan oleh tangan.[5]
Dan mereka bersama itu semua bukanlah orang yang ma’shum, akan tetapi mereka itu sebagaimana yang dikabarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah generasi terbaik, dan satu mud dari seseorang di antara mereka bila di shadaqahkan adalah lebih baik dari emas sebesar gunung Uhud dari orang-orang setelah mereka.
Dan kami mencintai ansharuddin di setiap zaman sampai hari kiamat, yang dekat di antara mereka maupun yang jauh, orang yang kami kenal di antara mereka maupun yang tidak kami kenal, dan tidaklah membahayakan mereka keberadaan kami tidak mengenal mereka.
Kami tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka atau kami memusuhinya atau kami memperlakukannya seperti terhadap orang kafir, akan tetapi kami loyal terhadap mereka, mendo’akan mereka, dan kami berupaya keras untuk menjadi bagian dari mereka.
V. Hari  Akhir
Kami beriman terhadap fitnah kubur, dan terhadap nikmat kubur bagi orang-orang mukmin serta terhadap adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya, sebagaimana yang telah ada dalam hadits-hadits yang mutawatir dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, dan kami tidak menoleh terhadap takwil-takwil ahli bid’ah. Dan dalam hal ini Allah Subhanahu   Wa Ta’ala berfirman:
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, sedangkan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk” (Al Mukmin/Gafir: 46)
Dan dari Zaid Ibnu Tsabit dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Seandainya kalian tidak saling menguburkan tentu saya akan memohon kepada Allah untuk meperdengarkan kepada kalian dari adzab kubur apa yang saya dengar”, kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan berkata: “Mintalah perlindungan kepada Allah dari adzab kubur” (Hadits Shahih Muslim)
Dan dalam hadits Al Bara’ Ibnu ‘Adzib yang panjang yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata tentang orang mukmin bila ia telah menjawab pertanyaan dua malaikat di kuburnya: “….maka penyeru dari langit menyerukan bahwa benarlah hambaKu, maka hamparkanlah baginya dari surga dan berilah dia pakaian dari surga serta bukakanlah baginya pintu ke surga”, beliau berkata: “Maka datanglah kepada dia dari kenikmatannya dan keindahannya, dan dilapangkan baginya di kuburanya sejauh mata memandang”
Sedangkan fitnah kubur adalah pertanyaan Munkar dan Nakir terhadap si hamba di dalam kuburnya tentang: Rabbnya, diennya, dan nabinya, maka Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (Laa ilaaha illallaah)
Ya Allah, wahai pelindung Islam dan para pemeluknya, teguhkanlah kami dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan dunia dan akhirat…
Dan adapun orang kafir, maka dia mengatakan: “Haah… haah… saya tidak tahu” dan orang munafik serta orang yang ikut-ikutan (taqlid) dalam agamanya terhadap mayoritas mengatakan: “Saya tidak tahu, saya mendengar manusia mengatakan sesuatu, maka saya mengatakannya”.
Dan keadaan alam Barzakh adalah termasuk hal-hal yang ghaib yang bisa dirasakan oleh si mayit tidak oleh yang lainnya, dan ia itu tidak bisa diraba oleh indera dalam kehidupan dunia ini, oleh sebab itu iman terhadapnya termasuk hal yang membedakan orang yang beriman terhadap hal yang ghaib dari orang yang mendustakannya.
Dan kami beriman terhadap tanda-tanda hari kiamat yang telah Allah ta’ala kabarkan dalam kitabNya dan telah dikabarkan oleh NabiNya Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Sunnahnya, di antaranya seperti kemunculan Dajjal yang sebenarnya, tanpa menoleh kepada takwil-takwil ahli bid’ah, meskipun kami meyakini bahwa jenis fitnah Dajjal selalu ada disetiap zaman sampai datang Isa Ibnu Maryam as, Dan dia-lah yang akan membunuh Dajjal, dan kami beriman pula terhadap terbitnya matahari dari arah terbenamnya, dan kami beriman terhadap keluarnya hewan bumi dan hal-hal lainnya yang telah Allah ta’ala kabarkan atau telah dikabarkan oleh NabiNya Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dan kami beriman terhadap kebangkitan setelah kematian, balasan amal dan hari kiamat ‘Ardl (pemaparan amalan), hisab, pembacaan lembaran-lembaran amalan dan mizan (timbangan). Allah ta’ala berfirman:
“Kemudian, sungguh kamu akan dibangkitkan (dari kuburmu) pada hari kiamat” (Al Mukminuun: 16)
Maka manusia berdiri menghadap Tuhan Semesta Alam dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang lagi belum dikhitan. Allah ta’ala berfirman:
“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kami-lah yang akan melaksanakannya” (Al Anbiya: 104)
Dan firmanNya ta’ala:
“Dan Kami akan memadang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tidak seorangpun dirugkan walau sedikitpun, sekalipun hanya sebesar biji sawi pasti Kami akan mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan” (Al Anbiya: 47)
Dan kami beriman terhadap telaga Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam di Mahsyar, dan bahwa airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu, dan bejana-bejananya sejumlah bintang-bintang di langit, panjangnya 1 bulan dan lebarnya 1 bulan, barangsiapa meminum sekali saja darinya, maka dia tidak akan haus sesudahnya selama-lamanya.
Ya Allah, wahai pelindiung Islam dan para pemeluknya, janganlah halangi kami darinya…
Dan bahwa golongan-golongan dari umat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam akan diusir darinya dan dihalangi dari mendatanginya di hari yang mana matahari didekatkan dari atas kepala-kepala manusia sehingga keringat manusia sesuai dengan kadar amalan-amalan mereka, maka di antara mereka ada orang yang keringatnya sampai mata kakinya, dan di antara mereka ada yang sampai pada lututnya, dan di antara mereka ada yang sampai pada pinggangnya, serta di antara mereka ada yang tenggelam dalam keringatnya.
Dan di antara orang-orang yang diusir dan dihalangi dari telaga itu adalah kaki tangan para penguasa (muslim) yang dzalim, yang masuk menemui mereka dan membenarkan kebohongan mereka serta membantu mereka di atas kezalimannya. Dan begitu juga diusir darinya orang yang merubah atau membuat bid’ah atau mengada-adakan yang baru dalam ajaran Allah, dan di hari itu Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Enyahlah… enyahlah bagi orang yang mengadakan pengrubahan setelahku !!”
Dan kami beriman terhadap Shirath yang dipasang di atas jurang Jahannam dan ia adalah jembatan antara surga dan nereka, manusia melewati di atasnya sesuai dengan kadar amal-amal mereka, maka di antara mereka ada orang yang melewatinya dengan sekejap mata, di antara mereka melewatinya bagaikan kilat, di antara mereka ada yang melewatinya bagaikan angin, dan di antara mereka ada yang melewatinya bagaikan kuda pacu, di antara mereka ada yang melewatinya bagaikan lari unta, di antara mereka ada yang lari, di antara mereka ada yang berjalan, di antara mereka ada yang merangkak, dan di antara mereka yang terkena sambar dan dilemparkan ke neraka Jahannam, karena sesungguhnya di atas jembatan itu ada bandringan-bandringan yang menyambar manusia sesuai dengan amalannya, dan barangsiapa bisa melewati shirat maka dia masuk surga dan selamat.
Ya Allah, wahai pelindung Islam dan para pemeluknya, selamatkanlah kami dari neraka…
Bila mereka telah melewati shirath, maka mereka berhenti di jembatan antara surga dan neraka, kemudian sebagian mereka mengqishash sebagian yang lain lalu bila mereka telah dibersihkan dan disucikan, maka mereka di izinkan masuk surga.
Orang yang pertama kali meminta agar pintu surga dibukakan adalah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan umat yang pertama kali masuk surga adalah umat beliau.
Kami beriman terhadap surga dan neraka, dan bahwa keduanya adalah makhluk yang tidak fana (lenyap), kecuali dimaksudkan fananya neraka orang-orang yang bertauhid dan bahwa Allah telah menciptakan bagi keduanya para penghuni, barangsiapa yang Dia kehendaki dari mereka maka masuk surga dengan karuniaNya, dan barangsiapa yang Dia kehendaki dari mereka maka masuk neraka dengan keadilanNya. Surga adalah Darun Na’im (Negeri kenikamatan) yang telah Allah ta’ala siapkan bagi orang-orang yang beriman di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa, didalamnya terdapat berbagai macam nikmat abadi yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia, Allah ta’ala berfirman:
“Maka tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (yaitu) bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan” (As Sajdah: 17)
Dan adapun neraka maka ia adalah Darul Adzab (Negeri Siksaan) yang telah Allah siapkan pada dasarnya untuk orang-orang kafir, Allah ta’ala berfirman:
“Katakanlah (Muhammad) kepada orang-orang kafir: “Kamu akan dikalahkan dan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal ” (Ali Imran: 12)
Dan ia dimasuki oleh kaum muslimin yang maksiat, akan tetapi ia bukan negeri mereka yang dipersiapkan untuk mereka, oleh sebab itu bila mereka memasukinya, mereka tidak kekal didalamnya, akan tetapi disiksa dengan kadar dosa-dosa mereka, kemudian tempat akhir mereka adalah ke surga yang merupakan negeri orang-orang yang beriman.
Kami beriman terhadap syafa’at yang Allah ta’ala izinkan Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya, dimana beliau di hari kiamat memiliki 3 syafa’at: Pertama : Syafa’at beliau untuk penduduk Masyhar (Mauqif) agar Allah memutuskan di antara mereka setelah para nabi yaitu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa ‘Alaihimus salam tidak sanggup untuk memikul syafa’at itu, sampai akhirnya kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua : Syafa’at beliau untuk ahli surga untuk memasukinya, dan kedua syafa’at ini khusus bagi beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam[6][.
Dan yang ketiga : Syafa’at beliau bagi orang yang berhak masuk neraka dari kalangan muwahhidin agar dikeluarkan darinya atau agar tidak dimasukan ke dalamnya. Dan macam ini bagi beliau dan bagi para nabi, shiddiqin, para syuhada, dan yang lainnya yang mendapat izin dari Allah, maka beliau memberikan syafa’at bagi orang yang sudah masuk agar di keluarkan darinya.
Dan Allah telah mengeluarkan dari neraka orang-orang tanpa syafa’at dengan karunia dan rahmatNya Subhanahu Wa Ta’ala. Dan di surga masih ada tempat kosong, maka Allah menciptakan orang-orang untuknya kemudian dia memasukannya ke surga. Dan iman kepada syafa’at ini adalah ciri khusus yang dengannya kami menyelisihi Khawarij yang menganggap kekal para pelaku dosa besar dalam neraka, dan kami beriman bahwa orang-orang mukmin akan melihat Tuhan mereka di hari kiamat dan di surga sebagaimana firmanNya:
“Wajah orang-orang mukmin pada hari itu berseri-seri, memandang Tuhan-nya” (Al Qiyamah: 22-23)
Dan juga sebagaimana dalam hadits-hadits mutawatir dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bahwa orang-orang mukmin akan melihat Tuhan mereka di hari kiamat sebagaimana mereka melihat bulan purnama seraya tidak tersamar dalam melihatNya, dan kami tidaklah menyamakan Tuhan kami dengan sesuatupun dari makhlukNya, akan tetapi penyerupaan disini adalah penyerupaan penglihatan dengan penglihatan dari sisi kejelasan dan kebenaran serta tanpa kesamaran, bukan penyerupaan yang dilihat dengan yang dilihat, barangsiapa tidak memiliki bashirah dan keimanan dalam hal ini, maka sesungguhnya dia amat pantas untuk tidak mendapatkan nikmat ini di hari penambahan nikmat, namun demikian Allah berfirman:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu” (Al An’am: 103),
Dan kami hanyalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh nabiNya Shalallahu 'alaihi wasallam berupa penglihatan orang-orang mukmin terhadapNya Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan An Nadhru (memandang) dan Ar Ru’yah (melihat) adalah sesuatu yang lain dengan Idrak (pencapaian), maka berhentilah di batasan-batasan Allah dan janganlah memasukan ke dalam nash-nash wahyu apa yang tidak dikandung di dalamnya, dan jangan menolak sesuatu darinya atau menggugurkannya… nanti kamu tergelincir dalam kesesatan.
Dan di antara pengaruh-pengaruh iman terhadap hal itu :
Beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala siapkan bagi orang-orang mukmin dan untuk mencapai keselamatan dari apa yang Allah ancamkan terhadap para ahli maksiat dan orang-orang kafir.
Dan tidak mengeluh karena materi dunia yang tidak didapatkan oleh orang mukmin atau apa yang ia dapatkan berupa penindasan, ujian ,dan mushibah karena keimanannya, dakwahnya, dan jihadnya, dengan ia mengharap gantinya di akhirat dan kenikmatannya dan pahalanya serta buah-buah hasil yang banyak lainnya. Iman kepada hal itu bukanlah sebagaimana yang dikira oleh banyak orang berupa hal-hal yang bersifat pengetahuan dan keilmuan saja, akan tetapi ia adalah iman dan pembenaran serta pengakuan yang mendorong untuk beramal.
VI.         Q a d a  r
Kami beriman terhadap Qadar (ketentuan Allah) yang baik dan yang buruk, dan bahwa Allah telah menciptakan seluruh makhluk, dan Dia menentukan bagi mereka ketentuan-ketentuan dan menetapkan bagi mereka ajal. Dan Dia mengetahui apa yang mereka lakukan sebelum menciptakan mereka, dimana Dia mengetahui apa yang terjadi dan apa yang telah terjadi serta apa yang tidak terjadi seandainya ia terjadi bagaimana keadaannya.
Dia telah menunjukan kepada mereka 2 jalan, kemudian Dia Subhanahu Wa Ta'ala memerintahkan mereka untuk mentaatiNya dan melarang mereka dari maksiat terhadapNya, dan segala sesuatu berjalan dengan ketentuan Allah dan kehendakNya. KehendakNya ini pasti terlaksana, tidak ada kehendak bagi makhluk kecuali apa yang Dia kehendaki bagi mereka. Apa yang Dia kehendaki bagi mereka pasti terjadi, Dia memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, Dia melindungi dan menyelamatkannya sebagai bentuk karunia dariNya. Dan Dia menyesatkan orang yang di kehendakiNya dan Dia mencelakakan serta menelantarkan sebagai bentuk keadilan dariNya, dan semua hamba ini berada dalam kehendakNya antara karuniaNya dan keadilanNya. Tidak ada yang bisa menolak ketentuanNya dan tidak ada yang dapat menolak ketetapanNya serta tidak ada yang kuasa terhadap urusanNya.
Hamba tidak memiliki suatu yang wajib atasnya
Dan tidak ada upaya yang sia-sia di sisiNya
Dan bila mereka disiksa maka dengan keadilanNya
Atau mereka mendapat nikmat maka dengan karuniaNya
Sedang Dia-lah Yang Maha Besar lagi Maha Luas (karuniaNya)
Sebagaimana sesungguhnya musabbabat (hal-hal yang disebabkan) termasuk ketentuan Allah yang sudah selesai darinya, maka begitu juga sebab-sebab termasuk ketentuan Allah yang sudah selesai darinya.
Iman terhadap qadar ini memiliki 2 tingkatan, dan setiap tingkatan mengandung dua hal:
Tingkat pertama: Iman bahwa Allah telah mengetahui apa yang akan dilakukan oleh makhlukNya sehingga ilmuNya ini telah mendahului pada setiap hal yang akan terjadi pada ciptaanNya, kamudian Dia menetapkan ukuran-ukuran hal itu dengan serapi-rapinya.
“Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar dzarrah (atom) di bumi ataupun di langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (lauh mahfudz)” (Yunus: 61)].
Dan firmanNya ta’ala:
“Dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (Al Furqan: 2)
Dan firmanNya ta’ala:
“Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku” (Al Ahzab: 38)
Kemudian Dia menulis hal itu dalam lauh mahfudz, dan mencantumkannya tentang ketentuan-ketentuan ciptaanNya.
Dari Ubadah Ibnu Ash Shamit radhiallahu ‘anhu berkata: “Hai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan hakikat keimanan sehingga engkau mengetahui, bahwa apa yang ditetapkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang ditentukan meleset darimu tidak akan menimpamu, saya telah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “sesungguhnya pertama kali Allah menciptakan pena, Dia berfirman kepadanya : “Tulislah”, pena berkata : “Tuhanku, apa yang aku tulis?”, Dia berfirman: “Tulislah ketentuan-ketentuan segala sesuatu sampai hari kiamat”. Hai anakkku, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mati atas selain hal ini, maka ia bukan termasuk bagianku”[7] Allah Subhanahu   Wa Ta’ala berfirman:
“Tidaklah engkau tahu bahwa Allah mengaetahui apa yang di langit dan di bumi ? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah” (Al Hajj: 70)
Takdir ini ada dalam banyak tempat secara global, dan dalam tempat-tempat lain secara terperinci, sungguh Dia telah mencatat dalam Al Lauh Al Mahfudz apa yang Dia kehendaki, dan bahwa Dio telah menciptakan janin sebelum meniupkan ruh di dalamnya, Dia mengutus kepada malaikat lalu memerintahkannya untuk mencatat empat ketentuan : rizkinya, ajalnya, amalannya, serta nasib baik dan buruk.
Seandainya makhluk seluruhnya berkumpul terhadap sesuatu yang telah Allah tentukan ia terjadi supaya mereka menjadikannya tidak terjadi tentulah mereka tidak kuasa terhadapnya, dan seandainya mereka seluruhnya kumpul terhadap sesuatu yang Allah tidak tetapkan terjadi agar mereka menjadikannya terjadi tentulah mereka tidak kuasa terhadapnya. Pena telah kering dengan apa yang akan terjadi sampai hari kiamat. Dan apa yang ditetapkan tidak menimpa hambaNya tentu tidak akan menimpanya, dan apa yang ditentukan menimpanya maka tidak mungkin meleset darinya.
Tingkatan kedua: iman tehadap masyi-ah (kehendak) Allah yang pasti terlaksana dan kudrahNya yang mencakup luas dan bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak mungkin terjadi, dan bahwa tidak ada satu gerakanpun atau sikap diam yang ada dilangit dan dibumi melainkan dengan kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan di dalam kerajaan-kerajaanNya tidak ada yang terjadi kecuali apa yang Dia inginkan
Namun demikian, sungguh Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mentaatiNya dan mentaati RasulNya Shalallahu ‘alaihi wasallam serta melarang mereka dari maksiat terhadapNya, dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala mencintai orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik serta orang-orang yang berbuat adil, serta Dia ridha teradap orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak mencintai orang-orang kafir, dan tidak ridha terhadap orang-orang fasik. Dia tidak memerintahkan perbuatan keji, dan Dia tidak ridha dengan kekafiran bagi hamba-hambaNya serta tidak mencintai kerusakan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki dua masyi’ah, dan keduanya adalah penciptaan Allah dan perintahNya serta qudrahNya dan syari’atNya sebagaimana firmanNya:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah-kan hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan Semesta Alam” (Al A’raf : 54)]
1.    Masy’iah Syar’iyyah, yaitu perintahNya yang bersifat syar’iy yang kadang Allah didurhakai dan diselisihi di dalamnya.
2.    Dan Masyi’ah Qadariyyah, maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi Sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi Sunnah Allah itu, sehingga perintah Allah yang bersifat Qauniy Qadariy tidak mungkin didurhakai.
Yang itu adalah Sunnah yang bersifat syar’iy dan perintah, dan yang ini adalah SunnahNya yang bersifat ketetapan dan ketentuan (Qadha Qadar).
Perbuatan-perbuatan hamba adalah ciptaan Allah dan perbuatan hamba-hamba itu sehingga si hamba adalah pelaku yang sebenarnya, sedangkan Allah adalah Sang Pencipta perbuatan-perbuatan mereka, dan hamba itu adalah orang mukmin atau kafir, orang baik atau jahat, serta orang yang shalat dan shaum. Dan hamba itu memiliki qudrah terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan memiliki iradah (keinginan), sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah pencipta mereka dan pencipta qudrah dan iradah mereka. Allah Subhanahu  Wa Ta’ala berfirman:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (Ash Shaffat: 96)
Dan firmanNya ta’ala:
“(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan Seluruh Alam” (At Takwir: 28-29)
Dan tingkatan ini di dustakan oleh mayoritas Qadariyyah dan telah ghuluw di dalamnya segolongan orang-orang yang menetapkannya sampai mereka meniadakan dari si hamba qudrah dan pilihan-pilihannya, dan mereka mengeluarkan dari perbuatan-perbuatan Allah dan hukum-hukumNya, hikmah-hikmah, dan maslahat-maslahatnya.
Sedangkan kami adalah pertengahan antara Jabriyaah dan Qadariyyah, di mana perbuatan-perbuatan dan kehendak kita adalah makhluk sedangkan manusia adalah pelaku sebenarnya terhadap perbuatan-perbuatan itu, dan bisa memilih dan dia memiliki iradah dan masy’iyyah.
Inilah global apa yang dibutuhkan dalam masalah ini oleh orang yang hatinya telah Allah beri cahaya dari kalangan wali-wali Allah ta’ala.
Asal qadar adalah rahasia Allah dalam penciptaannya, dan Dia melarang mereka dari membicarakan secara mendalam tentangnya, maka Dia berfirman dalam kitabNya:
“Dia (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan, tetapi merekalah yang akan ditanya” (Al Anbiya: 23)
Barangsiapa bertanya : “Kenapa Allah melakukan…” maka dia telah menolak putusan Kitab Allah, sedangkan siapa yang menolak putusan kitabNya maka dia telah kafir, rugi, dan kecewa, dan itu di karenakan ilmu ini ada 2 macam:
1.    Ilmu yang Allah ta’ala turunkan di tengah makhluknya, maka ia adalah hal yang ada.
2.    Dan ilmu yang Allah tutupi dari mereka, maka ia tidak ada.
Maka mengingkari ilmu yang ada adalah kekafiran dan mengakui ilmu yang tidak ada adalah kekafiran, sedangkan iman tidak akan terbukti ada kecuali dengan menerima ilmu yang ada dan meninggalkan ilmu yang tidak ada, serta mengembalikan hal itu kepada yang mengetahuinya, yaitu Allah Yang Maha Pengampun lagi Penyayang.
Di antara pengaruh dan buah-buah iman kepada qadar ini adalah sebagai berikut :
-         Orang mukmin bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka ia tidak menjadikan sebab-sebab sebagai arbaab dan tidak bersandar terhadapnya, akan tetapi ia memurnikan ketawakkalannya kepada Allah saja, karena segala sesuatu itu terjadi dengan ketentuanNya Subhanahu Wa Ta’ala.
-         Dan di antaranya ketenangan hati orang mukmin dan ketidakmengeluhannya, atau menyayangkan terhadap apa yang menimpanya dari ketentuan-ketentuan Allah ta’ala, maka ia tidak putus asa karena lenyapnya sesuatu yang dicintai atau terjadinya sesuatu yang dibenci, karena semua itu dengan takdir Allah ta’ala, dan apa yang Allah tentukan menimpanya tidak mungkin meleset darinya, dan apa yang Allah tentukan meleset darinya tidak mungkin menimpanya.
VII.      Al  Iman
Iman adalah amal dan ucapan serta niat, maka ia adalah sehingga keyakinan dengan hati dan pengakuan dengan lisan serta amal-amalan dengan anggota badan (al jawarih)
Keyakinan hati adalah ucapan-ucapannya dan amalan-amalannya, maka ucapan hati adalah pengetahuannya atau ilmunya dan pembenarannya, sedangkan di antara amalan hati adalah, ridha, taslim (penerimaan), kecintaan, inqiyyad (ketundukan), dan ikhbat (kepatuhan), serta yang lainnya.
Maka ucapan itu adalah ucapan hati dan lisan, sedangkan amal adalah amalan hati dan jawarih, dan tashdiq (pembenaran) itu bisa dengan hati, bisa dengan lisan, dan bisa dengan jawarih[8].
Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat, dan ia itu memiliki cabang-cabang seperti yang dikabarkan oleh Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam ; yang paling tinggi adalah laa ilaaha illallaah… dan yang paling rendah adalah menyingkirkan kotoran dari jalan. Dan ia juga memiliki banyak ikatan, yang paling kokoh di antaranya adalah cinta karena Allah dan membenci karena Allah, serta loyalitas karena Allah dan memusuhi karena Allah.
Dan di antara cabang-cabangnya ada yang merupakan Ashlul Iman yang mana iman itu lenyap dan gugur dengan sebab kelenyapan hal itu, seperti cabang tauhid (laa ilaaha illallaah), shalat, dan hal-hal lannya yang telah ditegaskan oleh syari’at bahwa Ashlul Iman lenyap dan gugur dengan sebab meninggalkan hal itu.
Dan di antaranya ada yang merupakan Wajibatul Iman, yang mana Al Iman Al Wajib berkurang dengan sebab lenyapnya hal itu seperti cinta karena Allah dan membenci karena Allah, tetangga merasa aman dari gangguannya serta hal lainnya yang mana orang yang meninggalkannya berdosa, dan seperti itu pula pelanggaran hal-hal yang diharamkan seperti ; zina, minum khamer, dan mencuri. Dan pelakunya tidak kafir dan tidak lenyap darinya Ashlul Iman, akan tetapi dengan sebab hal itu berkuranglah iman dia yang wajib, sehingga dia tidak termasuk kaum mukminin yang berhak akan janji yang mutlak, yang selamat dari ancaman.
Dan di antara cabang-cabang al iman ada yang merupakan kamalul iman al mustahab (kesempurnaan iman yang dianjurkan), seperti menyingkirkan kotoran dari jalan, husnul ‘ahdi[9], dan hal-hal lainnya yang termasuk kesempurnaan-kesempurnaan iman yang mustahab yang mana tidaklah berdosa orang yang meninggalkannya.
Dan atas dasar ini maka iman itu memiliki Ashlul (pokok) yang mana iman tidak sah kecuali dengannya dan ia memiliki kesempurnaan yang wajib serta memiliki kesempurnaan yang mustahab, dan setiap penafian keimanan yang ada dalam nash-nash syari’at, maka ada yang dimaksudkan dengannya penafian ashlul iman sehingga pelakunya kafir, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa: 65)
Dan bisa jadi dimaksudkan dengannya penafian iman yang wajib yaitu kesempurnaan iman yang wajib, sehingga pelakunya berdosa atau fasik, seperti sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari ganguan dia”[10] ,
Atau sabdanya Shalallahu ‘alaihi wasallam:“Tidaklah berzina orang yang berzina saat dia berzina sedang dia dalam keadaan mukmin”[11]
Atau sabdanya Shalallahu ‘alaihi wasallam: “Tidak beriman seseorang dianatara kalian sampai dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya”
Itu dikarenakan sesungguhnya penafian iman adalah bentuk ancaman, sedangkan ancaman itu tidak datang kecuai pada orang yang melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib sehingga ia itu bisa jadi termasuk ashlul iman atau termasuk al iman al wajib (kesempurnaan iman yang wajib), sedangkan pemilahan dan pembedaan antara dua dilalah (indikasi) ini apakah dilalah terhadap kekafiran (gugurnya ashlul iman) atau terhadap kefasikkan (berkurangnya iman al wajib) adalah terjadi dengan qarinah-qarinah (bukti-bukti) yang diketahui dar nash itu sendiri atau nash-nash yang lainnya.
Barangsiapa batal keimanannya dengan sesuatu dari pembatal-pembatal keimanan sehingga ia kafir, maka tidak bermanfaat bagi dia cabang-cabang keimanan yang lainnya bila itu ada padanya. Dan siapa yang melanggar al iman al wajib maka dia kembali kepada kehendak Allah, bila Dia menghendaki maka mengadzabnya dan bila Dia menghendaki maka Dia memberikan ampunan baginya selagi memiliki ashlul iman.
Kami tidak cenderung dalam hal ancaman Allah, tidak kepada Murji’ah dan tidak pula kepada Khawarij, sebagaimana dalam hal nama-nama Al Iman dan Ad Dien. Kami tidak cenderung kepada Haruriyyah dan Mu’tazillah, dan tidak pula kepada Murji’ah dan Jahmiyyah.
Dan di antara buah-buah masalah ini ; berupaya keras di atas ketaatan dan bersegera melakukan amal shalih serta berlomba-lomba menuju kebaikan agar iman kita selalu bertambah dengan disertai selalu menjaga dan melindungi ashlul iman, karena ia adalah modal ikatan keselamatan yang paling kokoh.
VIII.    Al  Kufr
Kami berlepas diri di hadapan Allah dari kesesatan Murji’ah Gaya Baru dan Jahmiyyah Masa Kini yang tidak memandang kekafiran itu kecuali pada juhud (pengingkaran) dan Takdzib Qalbiy (pendustaan hati) saja, sehingga dengan hal itu mereka memperenteng dan mempermudah kekafiran, dan mereka membuat penambalan bagi orang-orang kafir yang bejat, serta mereka menegakan syubhat-syubhat yang bathil yang melegalkan kekafiran dan undang-undang thaghut.
Dan kami meyakini bahwa ucapan mereka (bahwa seseorang tidak kafir kecuali dengan juhud qalbiy) adalah ucapan yang bid’ah, karena juhud itu sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama kita yang muhaqqiqin adalah terbukti dengan amalan dan ucapan, yaitu dengan jawarih sebagaimana ia terbukti dengan hati, sedangkan tashdiq (pembenaran) adalah seperti itu juga.
Kekafiran itu bermacam-macam, di antaranya ada kufur juhud (kekafiran karena pengingkaran), ada kekafiran karena kebodohan, dan di antaranya ada kufur i’radl (kekafiran karena keberpalingan)
Dan pembatal-pembatal keIslaman adalah banyak, sedangan keterjatuhan orang pada kekafiran adalah lebih cepat dari masuknya ke dalam Islam.
Sebagaimana sesungguhnya iman itu bagi kami adalah keyakinan dan ucapan serta amalan, maka begitu juga kekafiran bisa terjadi dengan keyakinan, dan terjadi juga dengan ucapan, serta terjadi juga dengan amalan.
Dan di antara kekafiran dan kedzaliman serta kefasikkan-kefasikkan ada yang merupakan suatu yang akbar (besar), dan ada yang ashghar (kecil), dan pernyataan (“bahwa kufur amali secara mutlak adalah kufur ashghar dan bahwa kekeliruan yang bersifat keyakinan secara mutlak adalah kufur akbar”) adalah pernyataan yang bid’ah akan tetapi kufur amali itu ada yang ashghar dan ada yang akbar, dan begitu juga kekeliruan atau penyimpangan dalam keyakinan ada yang merupakan kufur akbar dan ada yang di bawah itu.
Di antara amal jawarih ada yang telah Allah ta’ala kabarkan bahwa itu kufur akbar, dan Dia tidak mensyaratkan untuk itu penyertaan keyakinan atau juhud atau istihlal (penghalalan) padanya, seperti membuat hukum disamping Allah apa yang tidak Allah izinkan dan seperti sujud kepada matahari dan berhala, atau menghina Allah atau agama atau para nabi atau menampakan perolok-olokan atau pelecehan terhadap sesuatu dari dien ini.
Dan di antaranya ada yang tergolong maksiat yang tidak mengkafirkan, yang tidak mengeluarkan pelakunya dari linngkaran Islam kecuali bila ia menghalalkannya, seperti; zina, minum khamr, mencuri, dan yang lainnya.
Dan kami tidak mengatakan (“Tidak berbahaya dosa apapun bersama keimanan”), akan tetapi di antara dosa ada yang mengurangi iman dan ada yang mengugurkannya, dan kami berlepas diri dari pendapat-pendapat Murji’ah yang menghantarkan pada pendustaan terhadap ayat-ayat ancaman dan hadits-haditsnya yang datang berkenaan dengan status ahli maksiat dari umat ini atau tentang status orang-orang kafir, musyrikin, murtaddin.
Dan kami meyakini bahwa mitsaq (perjanjian) yang telah Allah ambil dari Adam dan keturunannya adalah hak, dan bahwa Dia Subhanahu Wa Ta’ala telah menciptakan hamba-hambaNya dalam keadaan hanif (bertauhid), kemudian syaitan jin dan syaitan manusia memalingkan mereka dari agamanya dan mensyari’atkan bagi mereka apa yang tidak Allah izinkan, dan bahwa anak yang terlahir adalah dilahirkan di atas fithrah kemudian kedua orang tuanya menjadikan dia Yahudi atau Nashrani atau Majusi atau Musyrik. Oleh sebab itu kami meyakini bahwa setiap orang yang tidak menganut Dienul Islam maka dia kafir, baik risalah sudah sampai kepada dia atau belum, dan barangsiapa yang telah sampai risalah kepadanya maka dia kafir mu’anid (kafir yang membangkang) atau kafir mu’ridl (kafir yang berpaling), dan barangsiapa yang belum sampai padanya risalah maka dia kafir jahil, maka kekafiran itu memiliki banyak tingkatan sebagaimana iman memiliki banyak tingkatan, namun demikian Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mencukupkan dengan hujjah mitsaq dan fithrah terhadap hamba-hambaNya, maka Dia mengutus kepada mereka para rasul yang mengingatkan mereka akan mitsaq yang telah Allah ambil atas mereka, dan Dia menurunkan terhadap mereka kitab-kitabNya serta Dia menjadikan yang terakhir (Al Qur’anul Karim) adalah kitabNya yang menguji atas kitab-kitab itu, yang tidak ada kebathilan dari depannya dan dari belakangnya, dan Dia melindunginya daripada perubahan serta menjadikannya hujjah yang jelas lagi kuat yang tegak terhadap orang yang sampai padanya. Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai (Al Qur’an) kepadanya” (Al An’am: 19)
Maka dienullah di bumi dan di langit adalah satu yaitu Dienul Islam. Allah Subhanahu   Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam” (Ali Imran: 19)
Dan firmanNya ta’ala:
“Dan telah Kuridhai Islam menjadi agamamu” (Al Maidah: 3)
Maka kami menganut Al Islam dan berlepas diri dari setiap yang menyelisihinya, dan kami kafir terhadap segala yang menggugurkan dan menentangnya; berupa ideologi-ideologi kafir dan ajaran-ajaran yang bathil serta paham-paham yang rusak, dan di antara hal itu adalah kebid’ahan zaman sekarang yang kafir (DEMOKRASI). Barangsiapa mengikuti ini dan mencarinya sebagai pegangan maka dia telah mencari agama selain agama Islam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima agama itu daripadanya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi” (Ali Imran: 85)
Oleh sebab itu kami mengkafirkan orang yang membuat hukum di samping Allah sesuai ajaran Demokrasi (hukum rakyat untuk rakyat) sebagaimana kami mengkafirkan orang yang memilih atau mewakilkan atau mengangkat pembuat hukum sebagian wakilnya, karena dia telah mencari pemutus hukum, rabb (tuhan pengatur) dan musyarri’ (pembuat hukum) selain Allah. Dia Subhanahu   Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan yang mensyari’atkan bagi mereka dari ajaran ini apa yang tidak Allah izinkan” (Asy Syura: 21)
Dan firmanNya ta’ala:
“Mereka menjadikan orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah: 31)
Namun demikian kami tidak mengkafirkan seluruh manusia yang ikut pemilu, karena tidak semua mencari pembuat hukum dalam keikut sertaan mereka di dalamnya, akan tetapi di antara mereka (para pencoblos) ada orang yang bermaksud memilih wakil-wakil untuk pelayanan-pelayanan yang bersifat kepentingan dunia mereka dan penghidupan mereka, dan ini adalah hal yang umum.
Dan berbeda di dalamnya tujuan-tujuan para pemilih yang tidak secara langsung membuat hukum seperti para wakil rakyat, dan oleh sebab itu kami tidak tergesa-gesa mengkafirkan seluruh individu-individu mereka (para pencoblos), sebagaimana kami mengkafirkan individu-individu wakil rakyat yang secara langsung jatuh ke dalam kekafiran yang nyata seperti membuat hukum, dan lain-lain.
Dan kami katakan, Sesungguhnya ikut serta dalam pemilihan Dewan Legislatif adalah perbuatan kekafiran…! dan kami tidak mengkafirkan seluruh para pemilih, tetapi kami membedakan antara keterjatuhan orang pada perbuatan yang mengkafirkan dengan penerapan vonis kafir padanya yang mana mesti di dalamnya penegakan hujjah bila masalahnya samar dan kondisi masih kabur serta kemungkinan tidak adanya maksud dalam masalah seperti ini[12].
Dan kami tidak memutlakkan ungkapan: (“Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun dari ahli kiblat dengan sebab dosa”) akan tetapi kami membatasinya dengan tambahan (“yang tidak mengkafirkan selagi ia tidak menghalalkannya”), maka kami tidak mengkafirkan dengan sekedar maksiat dan dosa.
Dan kami menamakan ahli kiblat sebagai kaum muslimin, mukminin, dan hukum asal pada mereka bagi kami adalah ISLAM selagi seorang di antara mereka tidak mendatangkan suatu pembatal keIslaman dan tidak ada penghalang untuk mengkafirkannya.
Dan kami tidak mengatakan kekekalan pada  para pelaku dosa besar dari umat Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam neraka apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid, termasuk seandainya mereka belum taubat dari dosa-dosanya itu. Berbeda dengan pendapat Khawarij dan yang mengikuti mereka dari kalangan yang ghuluw dalam takfir, akan tetapi kami mengatakan: Mereka itu kembali pada kehendak Allah dan putusanNya, bila Dia Subhanahu   Wa Ta’ala menghendaki maka Dia mengampuni dan memaafkan mereka dengan karuniaNya, sebagaimana Allah sebutkan:
“Dan dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendakiNya” (An Nisa: 48)]
Dan apabila Dia menghendaki maka Dia mengadzab mereka dengan keadilan-Nya, kemudian mereka dikeluarkan dari neraka dengan rahmatNya dan dengan syafa’at Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam yang disimpan bagi umatnya, atau dengan syafa’at makhluk yang Allah ridhai syafa’atnya dari kalangan yang taat kepadaNya.
Kami adalah pertengahan antara Khawarij dan Murji’ah dalam bab janji dan ancaman, dan janji serta ancaman Allah adalah hak seluruhnya, dan Ukhuwah Imaniyyah (persaudaraan atas dasar keimanan) itu tetap ada bagi seluruh ahi kiblat walaupun berbuat maksiat dan dosa besar, sebagaimana Allah tegaskan dalam kitabNya, Dia ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara mereka kedua saudaramu (yang berselisih)” (Al Hujurat: 10)
Dan firmannya ta’ala:
“Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah ia mengikutinya dengan baik” (Al Baqarah: 178)
Maka kami tidak mencabut keIslaman secara total dari orang fasik sebagaimana dikatakan Khawarij, dan kami tidak mengkekalkan dalam neraka sebagaimana dikatakan Mu’tazilah, dan kami tidak menafikan muthlaqul iman (kadar minimal iman) darinya serta tidak mensifatinya dengan al iman al muthlaq (iman yang sempurna), akan tetapi kami mengatakan: Dia adalah mukmin yang kurang imannya atau mukmin dengan keimanan yang fasik dengan dosa besarnya.
Dan kami mengharap bagi orang yang baik dari kalangan kaum mukminin, Allah mengampuni mereka dan memasukan mereka ke dalam Jannah dengan rahmatNya. Dan kami tidak menjamin mereka aman (dari siksa), dan kami tidak memastikan surga atau neraka bagi seseorang dari mereka kecuali orang yang telah dipersaksikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan beliau kabarkan hal itu tentangnya, dan kami memintakan ampunan untuk orang yang berbuat buruk di antara mereka, kami meng-khawatirkannya dan tidak membuat mereka putus asa, karena merasa aman (dari azab) dan sikap putus asa adalah mengeluarkan dari Millah Islam dan jalan orang-orang yang benar di antara keduanya ~semoga Allah menjadikan kami bagian dari mereka~.
Dan kami menyayangi kaum muslimin yang awam dari kalangan ahli kiblat dan kami tidak membebani mereka di atas kemampuannya, maka kami tidak mensyaratkan untuk menghukumi keIslaman mereka, mereka mengetahui pembatal-pembatal keIslaman atau menghapal atau menyebutkan syarat laa ilaaha illallaah, akan tetapi mereka dihukumi Muslim dengan perealisasian inti tauhid dan menjauhi syirik dan tandid (menjadikan suatu tandingan bagi Allah) ~selama mereka tidak melakukan satu pembatalpun~ dan kami memperhatikan syarat-syarat takfir dan mawani’’nya, sebagaimana kami melihat dengan mata pertimbangan pada realita  ketertindasan yang mereka hidup di dalamnya di saat tidak adanya kekuasaan Islam, hukumnya, dan negaranya, serta apa yang muncul berupa kejahilan dan apa yang merebak berupa syubhat karena ilmu dan lenyapnya ulama-ulama Rabbani.
Dan atas dasar ini maka kami tidak berlepas diri dari ahli maksiat yang masih beriman seperti keberlepasan diri kami dari orang-orang kafir, orang-orang musyrik, dan orang-orang murtad, akan tetapi ahli maksiat yang beriman itu berada di dalam lingkaran loyalitas keimanan. Kami tidak mengeluarkan mereka darinya selagi masih muslim, dan kami hanya berlepas diri daripada maksiat-maksiat dan kefasikan mereka, dan kami tidak memperlakukan mereka seperti memperlakukan terhadap orang kafir. Dan kami tidak mengkafirkan setiap orang yang bekerja di dinas pemerintahan kafir dari kalangan mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw dalam takfir, akan tetapi kami hanya mengkafirkan orang yang dalam pekerjaannya itu terdapat sesuatu daripada kekafiran atau kemusyrikan seperti ikut serta dalam pembuatan hukum kafir atau dalam melaksanakan hukum thaghut atau tawalliy kepada orang-orang musyrik/kafir, atau membantu mereka atas orang-orang yang bertauhid.
Dan kami melakukan rincian dalam status bekerja pada orang-orang kafir, kami tidak menyatakan bahwa ia adalah kekafiran seluruhnya atau haram seluruhnya, akan tetapi di antara hal itu ada yang merupakan kekafiran, ada yang haram, dan ada pula yang tidak seperti itu, dan masing-masing pekerjaan tergantung keadaannya.
Dan kami tidak memvonis dalam hukum-hukum dunia kecuali berdasarkan dhahir yang mana kita tidak berhak menghukumi kecuali dengannya, dan Allah adalah yang menangani urusan bathin dan memberikan perhitungan terhadapnya, maka kita tidak punya hak untuk mengorek hati manusia dan bathin mereka, dan kami sebagaimana para ulama yang lurus menjaga diri dalam mengkafirkan ahlut takwil, terutama bila perselisihan itu bersifat lafdziy (lafadh) atau dalam masalah-masalah keilmuan yang mana orang yang menyelisihi di dalamnya di udzur karena kebodohan.
Dan bukan termasuk manhaj kami tergesa-gesa dengan membangun konsekwensi-konsekwensinya tanpa terlebih dahulu mencari kejelasan (karena menumpahkan darah orang yang shalat lagi bertauhid adalah bahaya yang besar, sedangkan kekeliruan dalam meninggalkan 1000 orang kafir adalah lebih ringan daripada kekeliruan dalam menumpahkan sedikit saja dari darah seorang muslim)[13]
Dan kami membedakan dalam bab-bab takfir antara kufur nau’ atau amal mukaffir (amalan yang mengkafirkan) dengan kufur mu’ayyan (kekafiran orang tertentu), dan bahwa kadang muncul dari seseorang sesuatu dari kekafiran, namun vonis dan status kafir itu tidak melekat padanya bila ada syarat yang tidak terpenuhi atau adanya salah satu penghalang-penghalang kekafiran, dan kami meyakini bahwa orang yang masuk Islam secara meyakinkan maka sesungguhnya ia tidak dikeluarkan darinya dengan keraguan atau praduga, karena suatu yang telah tetap secara meyakinkan tidaklah hilang dengan keraguan.
Dan bid’ah itu tidaklah seluruhnya satu tingkat, akan tetapi di antaranya ada yang termasuk bid’ah mukaffirah  yang di antaranya adalah bid’ah (Demokrasi) dan mengikuti serta mencari selain Allah sebagai pembuat hukum, dari kalangan arbaab yang beraneka ragam, dan di antara bid’ah itu ada yang di bawah itu dimana ia tidak sampai kepada kekafiran.
Dan kami meyakini bahwa kaidah (“barangsiapa tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir”) hanyalah digunakan oleh para imam kita untuk membuat orang takut dan jera dari sebagian macam-macam kekafiran, dan mereka tidak menggunakan di dalamnya tasalsul (penetapan hukum yang sambung-menyambung) yang bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang ghuluw dalam takfir. Dan bahwa kaidah itu tidaklah digunakan secara mutlak, akan tetapi berkenaan dengan orang yang mendustakan atau menolak dengan sebab dia tidak mengkafirkan orang kafir suatu nash yang qath’iy dilalahnya lagi qath’iy keberadaannya. Adapun orang yang tidak mengkafirkan orang yang telah terbukti bagi kami pengkafirannya, akan tetapi dalam penerapan vonis kafir terhadap orang tertentu butuh kepada pengamatan dalam syarat-syarat dan penghalang-penghalang serta dalil-dalil syar’iy seperti para penguasa yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan beserta bala tentara mereka umpamanya, maka barangsiapa tawaquf dalam memberlakukan vonis kafir terhadap individu-individu mereka karena syubhat-syubhat yang bersifat nash padanya, maka orang ini tidak berlaku padanya kaidah tersebut, karena ia tidak mendustakan dan tidak menolak nash syar’iy, namun ia hanyalah tidak mampu untuk menyelaraskan antara dalil-dalil yang ada atau ia mendahulukan suatu dalil terhadap dalil lain, atau hal serupa itu yang kadang terjatuh di dalamnya orang yang memiliki keterbatasan dalam ilmu-ilmu alat dan ijtihad, maka ini tidak kafir bagi kami selagi penyelisihan dia dengan kami tentang lafadz dan nama, kecuali bila hal tu menghantarkan dia pada sikap masuk dalam ajaran orang-orang kafir atau membelanya atau menghantarkan dia pada sikap tawalliy terhadap mereka dan membantu mereka atas kaum muwahhidin.
Dan kami meyakini bahwa mengikuti mutasyabih (hal-hal yang samar) dan meninggalkan suatu yang muhkam (paten) adalah salah satu ciri ahlu bid’ah, dan bahwa jalan orang-orang yang kokoh dalam ilmu dari kalangan Ahlu Sunnah adalah mereka mengembalikan yang mutasyabih kepada yang muhkam.
Dan kami tidak mengkafirkan dengan ma-al (apa yang dihantarkan oleh suatu pendapat) atau dengan lazimul qaul (kelaziman suatu pendapat) karena kelaziman suatu pendapat bagi kami bukanlah pendapat itu, sebagaimana kami tidak mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi kami dan orang yang aniaya terhadap kami dari kalangan Murji’ah masa kini dan ahli bid’ah lainnya yang mana bid’ah mereka itu tidak sampai kepada kekafiran selagi sikap ngawur mereka dan penyelisihan mereka terhadap kami bersifat lafdziy, seperti sekedar penyelisihan al iman atau al kufur dan definisi keduanya.
Dan kami tidak mengkafirkan mereka meskipun mereka mengada-ada atas nama kami, dan menyandarkan terhadap kami ucapan yang tidak pernah kami ucapkan atau menisbatkan kepada kami apa yang kami berlepas diri darinya, maka kami tidak maksiat kepada Allah dalam menyikapi mereka meskipun mereka maksiat kepada Allah dalam menyikapi kami, dan kami tdak mengkafirkan mereka karena paham Irja-nya bila itu tergolong jenis Irja fuqaha selagi penyelisihan mereka kepada kami bersifat lafdziy, maka kami tidak mengkafirkan mereka kecuali bila Irja mereka itu menghantarkan mereka kepada peninggalan tauhid dan fara’idl, atau menghantarakan kepada kekafiran dan kemusyrikan dan melegalkannya, atau kepada sikap tawalliy dan nushrah para thaghut atau membantu mereka atas kaum muwahhidin.
Dan kami membenci Jama’ah Irja yang telah meleburkan dien ini dan ikut serta atau melegalkan keikut sertaan dalam pemutusan dengan selain apa yang Allah turunkan, atau pembuatan hukum disamping Allah melalui jalur Demokrasi, atau penampakan nushrah bagi kaum murtaddin, dan kami berlepas diri dari jalannya dan kami menganggapnya sebagai jama’ah bid’ah dan kesesatan yang telah sesat dan menyesatkan dari jalan yang lurus, dan kami memandang bahwa para tokohnya termasuk para du’at di atas pintu-pintu Jahannam, namun demikian kami tidak mengkafirkan dari jama’ah-jama’ah ini kecuali orang yang melakukan kekafiran di antara mereka, atau membelanya, atau melegalkannya, atau membantu para pengusungnya terhadap para muwahhidin, dan kami tidak mengkafirkan mereka secara keseluruhan.
Dan kami menjaga bagi ulama-ulama kami yang berperan aktif hak-hak mereka, dan begitu juga para du’at kita yang berjihad, yang menyampaikan risalah-risalah Allah dan mereka takut kepada Allah serta mereka tidak takut kecuali kepada Allah. Kami senang dengan mencari ilmu syar’iy dan kami mencintai para pencarinya, serta kami membenci orang-orang yang mengedepankan akal, ahlu bid’ah, dan ahlu kalam yang mengedepankan akal terhadap naql (dalil syar’iy) atau mengedepankan maslahat-maslahat dan anggapan-anggapan bagus mereka terhadap nash-nash wahyu.
Dan kami membenci sekolahan-sekolahan milik thaghut, serta kami mengajak untuk menjauhinya, namun kami tidak mengkafirkan semua orang yang ikut serta di dalamnya baik belajar ataupun mengajar, kecuali ia terjun langsung dan ikut serta dalam kekafiran atau melegalkannya, atau mengajak kepadanya. Dan kami tidak melarang untuk mempelajari ilmu duniawi yang bermanfaat bila ia selamat dari hal-hal yang dilarang, dan kami tidak mengajak untuk meninggalkan sebab, serta kami mendorong untuk mendidik anak-anak di atas tauhid dan memberikan pemahaman kepada mereka tentang urusan dien dan dunia mereka, agar mereka menjadi bala tentara yang jujur dan anshar yang aktif membela Dienullah.
IX.   Darul Kufri Dan Darul Islam
Serta Penduduknya
Kami mengatakan apa yang dikatakan para fuqaha tentang dar (negeri) bila yang berlaku adalah hukum-hukum kafir dan penguasaan di dalamnya berada ditangan orang-orang kafir  dan aturan-aturan mereka sesungguhnya ia adalah darul kufri, akan tetapi kami meyakini bahwa ini adalah istilah yang tidak memiliki pengaruh dalam menghukumi para penduduknya dikondisi tidak adanya Daulatul Islam dan Sulthannya dan penguasaan orang-orang murtad serta pengendalian mereka terhadap pemerintahan di negeri-negeri kaum muslimin, karena sesungguhnya istilah ini diberikan kepada negeri apabila dikuasai oleh hukum-hukum kafir, walaupun mayoritas penduduknya kaum muslimin, sebagaimana isltilah Darul Islam digunakan terhadap negeri yang dikuasai hukum-hukum Islam meskipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir, selagi mereka tunduk pada hukum Islam (dzimmah).
Akan tetapi di atas istilah-istilah ini kami tidak menetapkan kaidah hukum asal yang rusak sebagaimana yang dilakukan orang yang ghuluw dalam takfir, seperti ungkapan (“hukum asal pada manusia hari ini adalah kafir secara mutlak”)  dan kami tidak menganut sedikitpun dari hal itu, akan tetapi kami memperlakukan setiap orang dengan apa yang nampak darinya dan kami serahkan rahasia mereka kepada Allah, maka kami memperlakukan orang yang menampakan keIslaman dengannya dan kami menghukuminya sebagai seorang muslim, kami menyatakan bahwa hukum asal pada orang yang menampakan ajaran Islam adalah Islam, selagi ia tidak melakukan pembatal keIslaman, bagitu pula kami memperlakukan orang yang telah menampakan kekafiran dan kemusyrikan dan tawalliy pada kaum musyrikin serta membantu mereka atas kaum muwahhidin dengan apa yang dia tampakan sampai dia beriman kepada Allah saja dan mentauhidkan Allah dalam ibadahnya serta berlepas diri darinya, sedangkan mencukur jenggot atau tasyabuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir dan maksiat-maksiat lainnya yang telah merata dan menyebar bencananya di zaman ini adalah tidak pantas dengan sendirinya untuk menjadi bukti-bukti bagi takfir. Karena ini bukanlah sebab-sebab yang jelas untuk takfir, sehingga kami tidak menghalalkan harta dan darah dengan hal seperti itu, sebagaimana  yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw dalam takfir, (karena menumpahkan darah orang yang shalat lagi bertauhid adalah bahaya yang besar, sedangkan kekeliruan dalam meninggalkan 1000 orang kafir adalah lebih ringan daripada kekeliruan dalam menumpahkan sedikit saja dari darah seorang muslim).
X.  S h a l a t
Dan kami memandang shalat (boleh) di belakang setiap orang yang baik dan buruk dari kalangan ahli kiblat, dan menshalatkan orang mati di antara mereka selagi mereka tidak melakukan pembatal keIslaman yang nampak, dan ada penghalang dari pengkafirkan mereka, dan kami tidak menempatkan seorangpun dari mereka ke surga dan ke nereka, dan kami tidak memvonis atas mereka dengan kekafian, syirik dan nifaq selagi tidak nampak sesuatu dari hal itu dari mereka.
Dan para wakil thaghut[14]di dalam shalat bagi kami ada beberapa kemungkinan : Orang yang tawalliy kepada mereka, maka ia seperti tentara mereka dan militer mereka dalam nushrah terhadap mereka, atau melegalkan demokrasi mereka lagi membela-bela kemusyrikan mereka, maka mereka itu kami tidak memandang boleh shalat di belakang mereka, mereka itu termasuk golongan thaghut dan bukan dari golongan kita, bahkan kami melarang dari shalat di belakangnya dan kami memerintahkan agar mengulangi shalatnya lagi:
“Dan Allah tidak akan menjadikan bagi orang-orang kafir satu jalanpun atas kaum mukminin” (An Nisa: 141)].
Atau orang mendurhakai lagi memperbanyak jumlah orang di Lembaga Wakaf mereka dan pemerintahan mereka yang bathil demi penghidupan dan dunia, maka tidak batal shalat di belakangnya. Maka hukum shalat di belakang mereka adalah seperti hukum shalat di belakang orang fasik dan ahli bid’ah yang tidak mengkafirkan, maka kami memakruhkannya dan tidak menganggapnya batal, dan shalat di belakang ahli sunnah wat tauhid yang menampakan sunnah dan berlepas diri dari kaum musyrikin adalah lebih kami sukai.
Dan mendo’akan para penguasa, baik mereka kafir ataupun muslim adalah termasuk bid’ah jum’at bagi kami, dan sebagai tanda masuk dalam ketaatan terhadap mereka, serta kami membenci dan mengingkari, sedangkan shalat di belakang orang yang meninggalkannya dari kalangan ahli sunnah adalah lebih kami cintai, dan kami tidak menganggap shalat batal dengan sebabnya. Dan kami tidak memandang shalat itu perlu diulang kecuali bila do’a itu sangat jelas berbentuk nushrah bagi para thaghut atau ajaran syirik mereka, maka status mereka itu adalah sama dengan status anshar dan bala tentara mereka, karena nushrah dengan lisan sejawat nushrah dengan senjata.
Dan kami meyakini bahwa orang alim bila membaiat thaghut para pembuat hukum atau penguasa yang kafir, lalu dia memberikan kesetiannya kepada penguasa kafir itu atau dia membelanya dan tawalliy kepadanya serta menyelasarkan fatwanya sesuai dengan kehendak penguasa itu, maka sesungguhnya dia kafir murtad. Adapun orang yang memegang posisinya itu, bila di dalamnya terdapat kekufuran atau bantuan terhadap kekufuran atau ikut serta dalam pembuatan hukum kafir, atau bantuan dan dukungan bagi kaum musyrikin atas kaum muwahhidin maka orang ini kafir menurut kami, sedangkan keberadaan jenggot dia yang panjang atau besarnya gelar dan ijazah yang dia sandang serta besarnya sorban bukanlah penghalang dari pengkafiran bagi kami. Dan bila dalam posisinya tidak ada sesuatupun dari hal itu, akan tetapi dalam hal itu terdapat sikap memperbanyak pihak yang bathil dan pengkaburan al haq dengannya, maka mereka itu termasuk para tokoh yang bodoh yang sesat lagi menyesatkan.
XI.  Jihad Dan Pembangkangan
Jihad itu berlangsung bersama setiap kelompok dari kaum muslimin, dan orang boleh berjihad sendirian atau bersama para amir yang baik maupun yang fajir sampai hari kiamat, dan tidak boleh mentaati mereka dalam maksiat kepada Allah tapi boleh kita memerangi orang yang kafir kepada Allah bersama orang yang maksiat kepada Allah saat di butuhkan, demi menghindarkam kerusakan yang paling besar dari dua kerusakan dengan memikul yang paling ringan.
Akan tetapi jihad di bawah panji yang sunnah adalah lebih kami cintai dan lebih utama serta lebih wajib. Dan jihad itu salah satu hal yang fardhu  yang tidak bisa digugurkan oleh ketidak adaan imam dan ketidakadaan Daulah Islam.
Dan kami tidak memandang boleh menghunuskan pedang terhadap seorangpun dari ahli kiblat yang bertauhid kecuali yang wajib mendapatkan tebasan pedang di antara mereka dengan dalil yang qath’iy. Dan Ishmah (keterjagaan darah dan harta) itu telah ada bagi mereka dengan meyakinkan, maka tidak bisa hilang kecuali dengan sesuatu yang meyakinkan (pula), karena menumpahkan darah orang yang shalat lagi bertauhid adalah bahaya yang besar, sedangkan kekeliruan dalam meninggalkan 1000 orang kafir adalah lebih ringan daripada kekeliruan dalam menumpahkan sedikit saja dari darah seorang muslim.
Dan kami tidak memandang boleh khuruj (membangkang) terhadap para pemimpin kaum muslimin meskipun mereka itu aniaya, dan kami tidak mencabut tangan dari ketaatan terhadap mereka selagi mereka memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan kami memandang bahwa taat kepada mereka itu wajib selagi mereka tidak memerintahkan kepada maksiat dan kami mendo‘akan hidayah dan kebaikan bagi mereka.
Dan kami memandang wajibnya khuruj terhadap tokoh/pemimpin kekafiran dari kalangan para penguasa kafir yang melilit leher kaum muslimin dan bahwa mereka itu telah murtad dari agama ini; dengan mengganti pemberlakuan syari’at, pembuatan hukum di samping Allah, tahakum kepada para thgahut timur dan barat, tawalliy kepada musuh-musuh Allah dan memusuhiNya lagi memusuhi wai-wali-Nya.
Dan bahwa dakwah, amal, dan penyerahan segala kemampuan dalam rangka merubah mereka adalah fardhu atas kaum muslimin, masing-masing sesuai kemampuannya, dan orang yang tidak mampu memikul senjata… dia tidak akan tidak mampu dari membela orang yang memikul senjata itu walaupun dengan do’a, dan bahwa I’dad Madiy (penyiapan yang bersifat materi) dan i’dad Maknawi untuk hal itu adalah termasul kewajiban dien ini. Dan kami meyakini bahwa memerangi mereka adalah lebih utama dari memerangi yang lainnya, karena kuffur riddah  adalah lebih dasyat berdasarkan ijma dari kufur asli, dan karena menjaga modal adalah didahulukan daripada untung, dan kerena jihad difensif adalah didahulukan terhadap jihad ofensif, serta karena memulai dengan memerang orang-orang kafir yang dekat adalah lebh utama daripada menjihadi orang-orang kafir yang jauh.
Dan juga tidak ada yang memberi keleluasaan bagi kaum Yahudi dan Nashara juga kaum kafir yang lainnya di negeri kaum muslimin serta tidak ada yang menjadikan harta kaum muslimin dan negeri mereka sebagai mangsa empuk bagi mereka kecuali orang-orang yang murtad itu.
Dan kami memandang bahwa orang-orang yang menggugurkan jihad terhadap mereka dengan syuhat-syubhat yang konyol seperti klaim tidak hijrah atau memisahkan diri atau tidak adanya imam yang mengurusi ahlul Islam, mereka adalah orang-orang yang bodoh dan sesat yang telah memfatwakan tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat lagi menyesatkan, dan mereka telah menelantarkan dien ini dan mengecewakan dari membelanya, akan tetap kami meyakini bahwa memerangi mereka itu bagaimanapun keadaannya, mencopot dan mengganti mereka sampai ketundukan ini seluruhnya hanya kepada Allah ; adalah tergolong kewajiban terpenting, sedangkan hijrah yang mesti untuk itu adalah hijrah kepada Allah dengan tauhid, dan hijrah kepada RasulNya dengan mutaba’ah, serta i’dad yang serius lagi menyeluruh untuk amal seperti ini adalah wajib bagi kami, dan ia lebih utama dari amal-amal individu dan upaya-upaya yang berserakan.
Dan bila bangkit melawan mereka dan upaya untuk mengganti mereka tidak wajib kecuali atas  orang-orang yang mampu, maka syarat wajib itu bukan syarat untuk kebolehan, maka boleh seseorang walaupun sendirian memerangi mereka walaupun yakin mati syahid dan tidak mendapat kemenangan. Jihad adalah faridlah yang disyari’atkan sampai hari kiamat, tidak ada sesuatupun yang mengugurkannya, maka boleh melakukannya setiap saat seperti shadaqah dalam penyandarannya kepada zakat. Jihad adalah madrasah yang di dalamnya terdidik pondasi yang tebal dn terpancang dengannya pilar-pilar yang kokoh yang berdiri di atasnya bangunan dien ini.
XII.    Thaifah Manshurah
Dan kami beriman terhadap apa yang telah di kabarkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam tenang thaifah manshurah, di mana beliau bersabda: “Senantiasa sekelompok dari umatku berperang di atas al haq seraya nampak (menang) sampai hari kiamat” beliau berkata : “Kemudian turun Isa Ibnu Maryam as., maka amir mereka berkata: “mari shalatlah engkau untuk kami”, maka Isa berkata : “Tidak, sesungguhnya sebagian kalian adalah pemimpin atas sebagian yang lain sebagai penghargaan Allah bagi umat ini“ (HR Muslim dari Jabir secara marfu’)
Dan bersabda: “Senantiasa segolongan dari umatku beperang diatas perintah Allah ‘Azza Wa Jalla seraya mengalahkan musuh mereka, tidak membahayakan mereka orang yang menyelisihi mereka sampai datang kiamat kepada mereka sedangkan mereka di atas itu” (HR Muslim dari ‘Uqbah Ibnu Amir secara marfu’)
Dari Salamah Ibnu Nufail Al Kindiy radhiallahu ‘anhu, berkata: “Bahwa saya duduk di sisi rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah, manusia telah melepaskan kuda-kudanya dan mereka meletakan senjata dan berkata: “Tidak ada jihad, perang telah selesai”, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya dan berkata : “Mereka bohong, sekarang datang giliran perang, dan akan senantiasa dari umatku suatu umat yang berperang di atas al haq, dan Allah mencenderungkan bagi mereka hati-hati banyak orang dan Dia mengkaruniakan rizki kepada mereka dari orang-orang itu sampai hari kiamat, dan Dia mewahyukan kepadaku bahwa aku akan diambil lagi tidak akan menetap dan kalian akan mengikutiku secara beriringan, sebagian kalian memenggal leher sebagian yang lain,dan pusat negeri kaum mukminin adalah Syam” (Hadits Shahih riwayat Ahmad dan An Nasai)
Ia adalah kelompok yang merupakan anshar dien ini di setiap zaman, dan ia adalah kelompok yang berjihad lagi berperang; yang berupaya untuk nushrah dienullah dari setiap sisi pembelaan. Maka kami memohon kepada Allah ta’ala agar Dia menjadikan kita bagian dari anshar dien ni dan memberikan penghujung bagi kami dengan syahadah di jalanNya.
Wa ba’du:
Ini adalah dien dan keyakinan kami lahir bathin, dien pertengahan antara ghuluw dan taqshir, antara tasybih dengan ta’thil, antara Jahmiyyah dengan Qadariyyah, antara merasa aman (dari azab Alah) dengan putus ada (dari rahmat Allah), tidak kepada ifrath dan tidak kepada tafrith. Kami berlepas diri di hadapan Allah dari setiap agama, ajaran, dan ideologi selainnya. Dan kami memohon kepadaNya ta’ala agar meneguhkan kita di atas al iman dan memberikan bagi kami penutup dengannya, dan menjaga kami dari hawa nafsu yang bermacam-macam, pendapat-pendapat yang beragam dan aliran-aliran yang rusak.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para shahabat seluruhnya. 
Penterjemah berkata: Selesai diterjemahkan di Bandung pada bulan Sya’ban 1427 H

[1] HR. Muslim
[2] HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan yang lainnya.
[3] Dari Nuriyyah Al Qathaniy.
[4] HR. Muslim, Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad Darimi.
[5] Dari Nuriyyah Al Qathaniy
[6] Dan beliau memiliki syafa’at yang ketiga yang juga khusus, yaitu meringankan adzab dari pamannya Abu Thalib sebagaiman dalah hadits shahih.
[7] HR. Ahmad dan Abu Dawud, sedangkan lafadz milik Abu Dawud
[8] Sebagaimana dalam hadits shahih : “…dan kemaluan membenarkan hal itu atau mendustakannya”
[9] Yang dimaksud Husnul ‘Ahdi dis ini adalah menyambung tali persaudaraan dan berbuat baik seperti dalam sikap dan perhatian Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam terhadap wanita tua, yang mana ‘Aisyah radhiallahu ‘anha telah bertanya kepada beliau tentang wanita itu, maka beliau berkata: “Sesungguhnya dia sering datang kepada kami pada zaman Khadijah dan sesungguhnya husnul ‘ahdi itu termasuk iman”.
[10] HR Muslim
[11] HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan yang lainnya.
[12] Dan kami telah merinci itu dalam risalah kami yang berjudul Ar Risalah Ats Tsalatsaniyyah tentang penghati-hatian dari kekeliruan takfir.
[13] Asal ungkapan yan berharga ini adalah dai kitab Asy Syifa karya Al Qadliy ‘Iyadl: 2/277, ia menukilnya dari para ulama muhaqqiqin, dan Al Ghazali memiliki ungkapan yang serupa.
[14] Yang dimaksud para wakil bukanlah para wakil rakyat di Parlemen Legislatif , karena mereka itu orang-orang kafir yang tidak boleh shalat di belakang mereka, dan tidak ada harganya mereka sama sekali, akan tetapi yang dimaksudkan hal itu adalah para imam masjid yang diangkat Departeman Wakaf (Depag, Pent), yang diangkat oleh pemerintah thaghut untuk menjadi imam shalat kaum muslimin.

Back Top

0 komentar:

Posting Komentar