Dakwah "Salafy" Dakwah Murji'ah (Membongkar Kebohonan Ali Hasan Al Kadzdzab Bagian 8)

Kami telah merinci pembahasan tentang hukum pekerjaan di pemerintahan-pemerintahan ini di tempat lain, dan telah kami jelaskan bahwa kami tidak mengatakan bahwa itu semuanya adalah kekafiran, dan kami tidak mengharamkannya semuanya juga, akan tetapi di dalamnya ada yang merupakan kekafiran, ada juga yang haram serta ada yang tidak seperti itu.102
Lontaran Syaikh ini dan penisbatannya kepada jama’ah-jama’ah jihad atau yang lainnya tanpa mencari kejelasan dan tabayyun adalah sikap ngawur dan menyeleisihi kebenaran. Dan di sini saya mengingatkannya dengan firman Allah ta’ala: “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa”. (Al-Maaidah: 48)

Syaikhul Islam berkata: “Dan ayat ini turun dengan sebab kebencian mereka terhadap (orang) kafir, sedangkan ia adalah kebencian yang diperintahkan, bila saja kebencian yang Allah perintahkan kepada kita ini telah melarang orangnya dari menzhalimi orang yang dia benci, maka apa gerangan dengan kebencian muslim dengan sebab syubhat dan takwil atau dengan hawa nafsu?! Maka ia lebih berhak untuk tidak dizhalimi namun diperlakukan secara adil”. Selesai (Minhajus Sunnah 5/127).
Saya berkata: Maka apa gerangan dengan menzhaliminya karena sebab kemurnian dakwah tauhidnya atau karena bara’ahnya dia syirik dan tandid?!
Bila engkau telah mengetahui apa yang telah lalu, maka nampak bagimu bahwa tidak ada hubungannya dengan kami atau muwahhid mana saja yang mengkafirkan para thaghut dan berupaya untuk menjihadinya perbincangan yang dilakukan oleh Al Albaniy dengan laki-laki yang ia cap bahwa dia berasal dari jama’ah takfier kemudian Allah memberinya hidayah.
Karena kami tidak mengatakan sebagaimana yang diklaim oleh dia bahwa manusia telah rela dengan hukum para penguasa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan.
Dan orang yang kami kafirkan dari kalangan manusia maka sesungguhnya kami tidak membelah dadanya untuk mengetahui sikap ridla dan tidaknya dia, namun kami hanya mengkafirkannya dikarenakan dia telah menampakkan suatu yang lebih besar dari sekedar ridla/rela, yaitu nushrah, dukungan dan tawalliy.
Siapa yang tawalliy kepada para thaghut itu dan membela dien (ajaran) mereka yang syirik dan hukum mereka yang batil serta undang-undang mereka yang kufur, dan membantu mereka atas kaum muwahhidin, maka kami mengkafirkannya. Berdasarkan firman Allah ta’ala: “Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka” (Al Maidah: 51)
Ibnu Hazm telah menuturkan ijma bahwa ayat ini sesuai zhahirnya, dan bahwa setiap orang yang tawalliy kepada orang-orang kafir, maka ia kafir seperti mereka. Allah ta’ala:
 “Dan seandainya mereka beriman kepada Allah, Nabi dan apa yang diturunkan kepadanya tentulah mereka tidak menjadikan mereka (kuffar) sebagai auliya akan tetapi banyak dari mereka itu fasiq” (Al Maa-idah: 81).
Ini adalah vonis dari Allah terhadap orang yang tawalliy kepada mereka, dan ia itu bukan batasan bagi hukum (vonis) itu.
Dan kami maksudkan dengan tawalliy adalah nushrah (pembelaan) terhadap kemusyrikan mereka dan undang-undang mereka yang kafir atau membela mereka atas kaum muwahhidin)… dan kami tidak memaksudkan dengan hal itu mudahanah atau membantu terhadap kezhaliman atau memperbanyak jumlah kezhaliman dan yang lainnya… berupa hal-hal yang dituturkan sebagian ulama dalam muwaalah sebagai bentuk penganggapan besar akan keberadaan jalan-jalan yang bisa menghantarkan kepada kekafiran dan sebagai bentuk penutupan akan seluruh jalan-jalannya yang menghantarkan kepadanya.
Dan kami tidak mengatakan sebagaimana yang disyaratkan Murji’ah: Mesti tawalliy kepada mereka dengan hatinya, atau menghalalkan tawalliy itu. Namun justeru ini menurut Ahlus Sunnah adalah tambahan dalam kekafiran.
Kita tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati manusia, namun kita hanya diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan apa yang mereka tampakkan kepada kita, oleh sebab itu siapa yang menampakkan di hadapan kita bahwa ia termasuk barisan thaghut, golongannya, kelompoknya, elemennya dan ansharnya, maka orang ini belum merealisasikan tauhid dan tidak merealisasikan penafian yang telah Allah sebutkan dalam syahadat (laa ilaaha illallah)…
Dia itu belum menjauhi thaghut dan tidak berlepas dari syirik dan tandid, dan dia belum berkomitmen dengan apa yang menjadi inti dakwah semua rasul: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (mereka berkata): “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut.” (An Nahl: 36). Namun justeru dia berkomitmen dengan lawan dan kebalikannya: “Maka orang-orang yang zhalim itu mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka”. (Al Baqarah: 59)
Yang seharusnya dia kafir terhadap thaghut dan menjauhinya, dia malah melindunginya, membelanya dan mengokohkan dien thaghut yang batil dan aturannya yang kafir, dia memerangi serta memusuhi setiap orang yang berlepas diri darinya atau menantangnya atau berupaya untuk merubahnya serta menghancurkannya…!!!
Kemudian dikatakan: Mereka itu Khawarij!! Dan ini adalah takfier dengan sebab maksiat!!
Padahal sesungguhnya Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Malik Al Asyja’iy dari ayahnya: “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Allah maka haramlah harta dan darahnya sedangkan penghisabannya atas Allah ‘azza wa jalla”.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullaah berkata dalam rangka berkomentar atas hadits ini: “Dan ini tergolong hal terbesar yang menjelaskan makna laa ilaaha illallah, karena sesungguhnya Dia tidak menjadikan pelafalan terhadapnya sebagai penjaga darah dan harta, bahkan tidak pula (menjadikan pengetahuan akan) maknanya bersama lafazhnya, bahkan tidak pula pengakuan terhadapnya, dan tidak pula keberadaan dia tidak menyeru kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, bahkan harta dan darahnya tidak haram sampai dia menambahkannya dengan kufur terhadap segala yang diibadati selain Allah. Bila dia ragu atau tawaqquf maka harta dan darahnya tidak haram”. Selesai dari Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin (Bab Tafsir Tauhid dan Syahadat laa ilaaha illallah).
Sungguh masalah yang amat besar dan agung, dan sungguh penjelasan yang sangat nyata dan hujjah yang sangat pemungkas bagi yang menentang.
Dan ringakasnya bahwa kami tidak mengkafirkan dengan sekadar maksiat sebagaimana yang dilakukan Khawarij dan Ghulatul Mukaffirah pada zaman ini, namun kami hanya mengkafirkan orang yang membatalkan tauhid dan membela syirik juga tandid. Maka silahkan Syaikh dan para muqallid-nya mendebat kami bila mereka mau dalam hal ini –tidak yang lain–, oleh sebab itu pengarahan Syaikh dalam diskusinya dengan orang itu terhadap kekafiran orang-orang yang di bawah kekuasaannya secara muthlaq adalah tidak ada kaitannya dengan kami, karena kami bara darinya.
Yang penting bagi kita dari ucapan Syaikh hanyalah sikap pembelaannya terhadap para thaghut-thaghut itu dan serangannya terhadap orang yang mengkafirkannya serta orang yang berupaya merubah mereka dan menjihadinya.
Seperti ucapannya hal 66: “Kalian terlebih dahulu tidak mampu menghukumi terhadap setiap orang yang memutuskan dengan qawanin barat yang kafir –atau dengan banyak darinya– bahwa seandainya ia ditanya tentang al hukmu bi ghairi ma anzalallah! Tentu ia menjawab: bahwa pemutusan dengan undang-undang ini adalah kebenaran dan yang layak pada masa kini! Dan bahwasanya tidak boleh memutuskan dengan (hukum) Islam!! Karena mereka seandainya mengatakan itu tentulah mereka kafir –dengan sebenarnya– tanpa ragu atau bimbang” Selesai.
Maka kami katakan: Kami tidak mensyaratkan hal seperti ini, karena kami meyakini sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepada engkau bahwa pembuatan hukum di samping Allah adalah kufur akbar dan syirik yang nyata yang tidak berbeda dari penyembahan berhala… sebagaimana yang sudah lalu dari Syaikh Asy Syinqithiy dan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim serta yang lainnya.
Tidak seorang pun dari Ahlus Sunnah mensyaratkan dalam takfier penyembah berhala keberadaan orang itu berkata: Bahwa penyembahannya adalah benar dan pantas, dan bahwa tidak boleh mentauhidkan Allah dalam ibadah atau tasyri’, akan tetapi dia itu kafir, baik menyatakan itu ataupun tidak, sedangkan pengucapannya ini bila dia mengatakannya tidak lain adalah tambahan dalam kekafiran menurut kami.
Dan siapa yang mensyaratkan hal itu maka dialah yang dituntut untuk mendatangkan dalil, dan kalau tidak bisa maka setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah adalah batil.
Adapun ucapan Syaikh hal 67: “Kapan vonis diterapkan kepada orang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah –dan bisa jadi dia itu sholat– bahwa dia itu telah murtad dari diennya? Apakah itu cukup satu kali? Atau bahwa ia wajib menyatakan bahwa ia murtad dari dien ini? Sesungguhnya mereka tidak mengetahui jawaban! Dan tidak mengetahui kebenaran!!” Selesai.
Maka kami katakan: Tapi kami Insya Allah memiliki jawaban dan kebenaran.
Syarat-syarat ini adalah syarat-syarat yang tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari para imam yang kokoh ilmunya sebelum Syaikh. Ya kami mendengar semisal itu pada zaman ini dari para pengekor syaikh atau dari orang-orang yang tergabung dalam jama’ah-jama’ah Tajahhum wal Irja modern, sedangkan ia adalah syarat-syarat yang tidak pernah Allah turunkan satu keterangan pun tentangnya.
Berapa banyak orang yang telah Allah jelaskan kekafirannya dalam Al Qur’an sedangkan mereka itu mengira mendapat petunjuk.
Dan banyak sekali Dia sebutkan orang-orang yang rugi, di dunia dan di akhirat sedang mereka menduga telah berbuat baik.
Berapa banyak orang yang telah Allah kafirkan di dalam Kitab-Nya tanpa mereka menyatakan bahwa diri mereka itu murtad dari dien ini dan tanpa mereka berlepas diri dari ajaran-ajaran-Nya.
Di antara contoh itu adalah apa yang telah Allah turunkan tentang orang-orang yang keluar berjihad bersama Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan terbesar Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka bersyahadat laa ilaaha illallah, mereka shalat dan shaum serta mereka itu dinyatakan dengan nash Al Qur’an bahwa mereka itu asalnya kaum mu’minin, kemudian Allah kafirkan mereka setelah keimanannya itu dengan sebab kalimat-kalimat yang mereka ucapkan dalam rangka perolok-olokkan terhadap para penghapal Kitabullah ta’ala; Allah berfirman:
 “Dan seandainya kamu bertanya kepada mereka tentulah mereka menyatakan: Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main, Kataknalah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu memperolok-olok? Jangan kamu mencari alasan, sungguh kamu telah kafir setelah kamu beriman(At-Taubah: 65).103
Ath Thabari dan ahli tafsir lainnya telah menuturkan atsar-atsar tentang sebab nuzul, yang sebagiannya datang dari Abdullah Ibnu Umar ucapannya tentang sebagian orang-orang yang Allah kafirkan itu: “Saya melihat dia menggelayuti pelana unta Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam sedang bebatuan membenturi dia dan dia berkata: Wahai Rasulullah kami ini hanya bersenda gurau dan bermain-main…”
Dan dalam sebagian riwayat: “Kami ini hanya berbincang-bincang ucapan yang biasa diucapkan para pengendara yang dengannya kami menghilangkan kejenuhan di jalan…”
Yaitu artinya wahai Syaikh: Mereka itu tidak menyatakan murtad sebagaimana yang engkau syaratkan…!!!
Maka tsabit-lah dengan penegasan firman Allah bahwa orang muslim yang bersaksi laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah serta shalat bisa saja kafir setelah keimanannya bila dia terjatuh pada suatu dari pembatal-pembatal keIslaman tanpa dia menyatakan murtad.
Dan bahwa tidak wajib –sebagaimana yang dikatakan Syaikh– bagi setiap orang agar menjadi kafir; dia itu menyatakan bahwa ia murtad dari dien ini, atau bersengaja dan bermaksud keluar darinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Ash Sharimul Maslul hal (370): “Dan tujuan di sini sesungguhnya sebagaimana riddah itu bisa kosong dari hinaan (kepada Allah), maka begitu juga ia kosong dari maksud ganti agama dan (dari) keinginan mendustakan risalah, sebagaimana halnya kekafiran iblis kosong dari tujuan mendustakan Rububiyyah, namun ketidakadaan maksud ini tidaklah bermanfaat bagi dia, sebagaimana tidak bermanfaat bagi orang yang mengatakan kekufuran sikap dia tidak bermaksud untuk kafir” Selesai.
Allah ta’ala telah mengabarkan tentang mayoritas orang-orang kafir bahwa mereka itu menduga bahwa mereka berbuat baik, bahkan mereka memandang bahwa mereka lebih lurus jalannya daripada orang-orang yang beriman.
Di antaranya firman Allah ta’ala: “Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amlan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan sautu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat”. (Al Kahfi: 103-105).
Ibnu Jarir Ath Thabariy berkata dalam tafsirnya: “Dan ini tergolong dalil yang paling menunjukkan atas kekeliruan orang yang mengklaim bahwa tidak seorang pun kafir terhadap Allah, kecuali bila dia bermaksud kafir setelah mengetahui akan kekuasaan-Nya…” hingga ucapannya “…dan seandainya pendapat (yang benar) itu sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang mengklaim bahwa tidak seorang pun kafir terhadap Allah, kecuali dari sisi dia mengetahui, tentulah wajib orang-orang yang dalam amalannya yang Allah kabarkan tentang mereka bahwa mereka itu mengira di dalamnya bahwa mereka itu berbuat baik (tentulah wajib mereka itu) diberi balasan dan pahala di dalamnya, akan tetapi pendapat (yang benar) adalah berbeda dengan apa yang mereka katakan, di mana Allah Yang Maha Terpuji mengabarkan tentang mereka bahwa mereka itu kafir terhadap Allah dan bahwa amalannya itu sia-sia”. Selesai hal 44-45 cet. Darul Fikr.
Beliau rahimahullaah berkata dalam Tahdzibil Atsar setelah menuturkan sebagian hadits-hadits yang menyebutkan Khawarij: “Di dalamnya ada bantahan terhadap pendapat orang yang berkata: Tidak seorang pun dari ahlul kiblat dikeluarkan dari Islam setelah dia berhak mendapatkan hukumnya, kecuali dengan maksud keluar darinya seraya mengetahui”. Selesai, dinukil dari Fathul Bari Kitab Istitabatil Murtaddin Bab Man Taraka Qitalal Khawarij
Dan Ibnu Hajar berkata dalam bab yang sama: “Dan di dalamnya (ada faidah) bahwa di antara kaum muslimin ada orang yang keluar dari dien ini, tanpa dia bermaksud keluar darinya dan tanpa dia memilih dien lain selain Islam”. Selesai.
Dan juga Allah telah menuturkan dalam Kitab-Nya bahwa sejumlah orang pada zaman Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menampakkan iman dan Islam terus mereka berpaling dari putusan dengan apa yang Allah turunkan dan dari putusan Rasul dan mereka malah ingin berhakim kepada thaghut, maka Allah ta’ala mendustakan klaim iman mereka itu dan Dia namakannya sebagai klaim, Dia berfirman: “Apa kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman terhadap apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu, mereka ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya…” (An Nisaa’: 60).
Perhatikanlah bagaimana Allah mendustakan klaim iman mereka, di mana Dia menamakan hal itu sebagai klaim, padahal mereka itu tidak menyatakan murtad secara terang-terangan, namun justeru mereka sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan setelah itu: “Mereka bersumpah dengan (nama) Allah: Kami tidak ada maksud kecuali berbuat baik dan penyelarasan”104
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata: “Siapa yang menyalahi apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya ‘alaihissalam (yaitu) dengan (cara) memutuskan di antara manusia dengan selain apa yang telah Allah turunkan, atau meminta hal itu karena mengikuti apa yang dia sukai dan dia inginkan, maka dia itu telah melepas ikatan Islam dan iman dari lehernya meskipun dia mengklaim bahwa ia mu’min, karena Allah ta’ala mengingkari terhadap orang yang ingin (melakukan) itu dan Dia dustakan mereka dalam klaim imannya, di mana dalam firman-Nya “mengklaim” terdapat penafian keamanan mereka, karena sesungguhnya “mengkalim” biasanya hanya dipakai pada orang yang mengklaim suatu hal yang mana ia dusta di dalamnya, karena sebab dia menyelisihi konsekuensinya dan melakukan suatu yang menggugurkannya. Hal ini dibuktikan dengan firman-Nya: “Padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya” karena kufur terhadap thaghut adalah rukun tauhid sebagaimana dalam Surat Al Baqarah, sehingga bila rukun ini tidak terealisasi maka orang itu bukan muwahhid”. Selesai (Fathul Majid hal 329).
Dan juga firman Allah ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu kepada sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (Al Hujuraat: 2).
Ibnu Hazm berkata: “Ini adalah penegasan yang jelas dan khithab bagi orang-orang mu’min bahwa iman mereka batal secara total dan bahwa amalan mereka hapus dengan sebab mereka meninggikan suara mereka lebih dari suara Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada pengingkaran sama sekali dari mereka, dan seandainya ada pengingkaran dari mereka tentulah mereka menyadarinya, sedangkan Allah ta’ala telah mengabarkan kepada kita bahwa itu terjadi sedangkan mereka tidak menyadari, sehingga sah-lah bahwa di antara amalan jasad itu ada yang merupakan kekafiran yang menggugurkan keimanan pelakunya secara total, dan di antaranya ada yang bukan merupakan kekafiran, akan tetapi sesuai apa yang Allah ta’ala tetapkan dalam itu semuanya dan tidak boleh ditambah”. Selesai, dari Al Fashl 3/262.
Saya berkata: Syaikhul Islam telah menuturkan dalam Ash Sharimul Maslul hal yang serupa dengan ucapan Ibnu Hazm, dan beliau menuturkan bahwa hapusnya amalan secara keseluruhan hanyalah terjadi bersama kekafiran, serta beliau menyebutkan dalil-dalil atas hal itu…
Dan berkata hal 177-178: “Dan secara umum siapa yang mengucapkan atau melakukan suatu yang merupakan kekafiran maka ia kafir dengan hal itu, meskipun tidak bermaksud untuk kafir karena tidak ada yang maksud untuk kafir seorangpun, kecuali apa yang Allah kehendaki”.
Maka sah-lah bahwa orang bisa jadi kafir dan amalannya hapus tanpa dia menyatakan murtad terang-terangan.
Ini bisa disaksikan dalam realita, berapa banyak orang kafir dalam dienullah, mencela Allah dan Rasul-Nya, memerangi wali-wali Allah dan terjatuh di dalam berbagai pembatal keIslaman dan mukaffirat yang beraneka ragam, namun demikian ia mengira bahwa ia berada di atas sesuatu, bahkan dia marah sekali bila divonis kafir, dia melakukan bantahan dalam hal ini dan ia mengaku bahwa ia muslim mu’min yang tidak menyatakan riddah atau bara’ah dari Islam…!!!
Maka apa yang dikatakan Ahlut Tajahhum Wal Irja tentang hal seperti ini…???!!!
“Sesungguhnya mereka tidak mengetahui jawaban dan tidak akan mendapatkan kebenaran…!!!” begitu Syaikh mengatakan.
Saya memohon kepada Allah ta’ala hidayah bagi mereka…
Adapun hikayat yang selalu diulang-ulang oleh Syaikh itu, dan ia mengira bahwa dengannya ia mampu membungkam orang-orang yang menyelisihinya dalam masalah takfier para penguasa, dan para muqallid-nya mengikuti ia dalam hal itu.
Dan di antaranya adalah Al Halabiy itu105
Yaitu ucapannya hal (67): “Qadli menghukumi dengan syari’at begitulah kebiasaan dia dan sistemnya, akan tetapi dalam satu kasus dia tergelincir terus dia memutuskan dengan hal yang menyelisihi syari’at; yaitu dia memberikan hak kepada orang yang zhalim dan menghalanginya dari yang dizhalimi. Maka ini –secara pasti– adalah putusan dengan selain apa yang telah Allah turunkan! Maka apakah kalian mengatakan bahwa ia: adalah telah kafir dengan kufur riddah?.  Mereka akan mengatakan: Tidak, karena ini muncul darinya sekali saja”. Maka kita katakan: Bila putusan yang sama muncul darinya untuk kedua kalinya atau putusan lain, dan ia menyelisihi syari’at maka apakah ia kafir?. Kemudian kita mengulang-ulang (pertanyaan) atas mereka: tiga kali! Empat kali! Kapan kalian mengatakan bahwa ia telah kafir? Mereka tidak akan mampu meletakkan batasan dengan menghitung hukum-hukum yang di dalamnya ia menyelisihi syari’at, kemudian mereka tidak mengkafirkannya”. Selesai.
Maka kami katakan:
Pertama: Hal ini hanyalah terjatuh di dalamnya orang yang terjatuh, terus dia membatasi (sekali) atau berkata: (dalam suatu kasus) sebagai bentuk mutaba’ah darinya terhadap ahlul ilmi yang telah lampau, karena mereka tidak pernah membayangkan: (seorang qadli memutuskan dengan syari’at begitulah kebiasaannya!! dan sistemnya), sebagaimana yang disifati Syaikh!! Kemudian kebiasaannya (memutuskan dengan yang menyelisihi syari’at yaitu dia memberikan hak kepada orang yang zhalim dan menghalanginya dari yang dizhalimi)!! Berulang kali dan berulang kali…!!!
Karena banyak dari mereka membedakan antara meninggalkan bagian amal dengan (meninggalkan) jenis amal secara total, di mana mereka memasukkan yang terakhir ini di bawah cakupan (kufur tawalliy), sebagaimana yang telah lalu, oleh sebab itu nash-nash ucapan mereka dalam pemberian contoh dengan suatu kasus adalah sangat banyak. Dan inilah yang bisa saya utarakan saat ini di dalam penjara:
Pensyarah Ath Thahawiyyah berkata: “Bila dia meyakini wajibnya memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan dan ia mengetahuinya dalam kejadian ini serta dia berpaling darinya dengan disertai pengakuannya bahwa dia berhak akan sanksi, maka kufurnya adalah kufur ashgar”106
Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya seorang hakim bila dia itu berkomitmen dengan dien (Islam), akan tetapi dia memutuskan tanpa dasar ilmu maka ia tergolong calon penghuni neraka. Dan bila dia memutuskan tanpa keadilan dan tanpa ilmu, maka ia lebih pantas menjadi ahli neraka, dan ini bila ia memutuskan dalam kasus tertentu kepada seseorang…”107
Ibnul Qayyim berkata: “Bila ia meyakini wajibnya memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan dalam kasus ini dan ia berpaling darinya sebagai bentuk maksiat disertai pengakuannya bahwa ia berhak mendapatkan sanksi, maka ini adalah kufur ashgar…” Selesai.
Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim berkata dalam fatwanya seputar Tahkimul Qawanin dalam bagian kedua dari 2 bagian al hakim bi ghairi ma anzalallah yang tidak mengeluarkan dari millah: “Dan itu dia dibawa oleh syahwatnya dan hawa nafsunya untuk memutuskan dalam kasus tertentu dengan selain apa yang telah Allah turunkan, dengan disertai keyakinannya bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya adalah al haq dan pengakuan bersalah atas dirinya serta menyelisihi petunjuk yang benar” Selesai.
Dan berkata juga: “Dan adapun yang dikatakan padanya: kufrun duna kufrin; adalah bila ia mengacu kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa ia maksiat dan bahwa hukum Allah adalah al haq, maka inilah yang muncul darinya sekali dan yang serupa. Adapun bila ia menjadikannya sebagai qawanin (undang-undang) dengan dikemas dan rapi, maka ia adalah kekafiran meskipun mereka berkata: Kami telah keliru dan hukum syari’at adalah lebih adil,” maka berbeda antara orang yang mengakui, menetapkan dan merujuk108, mereka menjadikannya sebagai acuan (rujukan), sehingga ini adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah”. Selesai dari Fatawa wa Rasaail Asy Syaikh 12/280 fatwa no (4060).
Ke dua: Bila pertanyaan seperti ini dialamatkan kepada kami…
Maka kami akan menjawab: Bahwa hal seperti ini adalah zhalim lagi aniaya tidak kafir dengan kufur yang mengeluarkan dari millah, walau ia melakukan hal itu berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali selagi inti dien yang dia anut dan dia berhakim kepadanya adalah dien Allah dan syari’at-Nya… dan selagi ia sesuai gambaran yang diandai-andaikan Syaikh (dia tergelincir, terus ia memberikan hak kepada orang yang zhalim dan menghalanginya dari yang dizhalimi…) ia itu bukan perujukan hukum kepada aturan-aturan kufur atau (tahakum kepada thaghut) dan ia bukan pula berpaling dari hukum Allah ta’ala secara total, akan tetapi ia melakukannya sebagai maksiat dan kadang mengikuti hawa nafsu, maka ini tidak kafir kecuali bila dia menghalalkan hal itu, statusnya seperti status dosa-dosa yang tidak mengkafirkan seperti zina, minum khamr dan mencuri.
Dan di sini ada koreksi juga dalam ucapan Syaikh: “Ini sudah barang tentu putusan dengan selain apa yang Allah turunkan” dalam keadaan ini, karena ia telah menjadikan hawa nafsu atau syahwat sebagai hakim; sedangkan itu secara pasti selain apa yang telah Allah turunkan, akan tetapi ia bukan pembuatan hukum thaghutiy yang kami maksudkan dan kami kafirkan para pelakunya…
Oleh sebab itu kami mengoreksi di sini, kami katakan: Sesungguhnya hal yang dijadikan contoh oleh Syaikh bukanlah realita kita hari ini…!!! Maka kenapa pengkaburan dan talbis ini dilakukan…???!!!
Pada masa kita hari ini tidak ada apa yang dikatakan Syaikh: “Qadli memutuskan dengan syari’at begitulah kebiasaannya dan sistemnya”.
Ya mungkin ia mendapatkan hal-hal yang serupa di masa Ibnu ‘Abbas radliallaahu’anhuma, dan itu ada pada kekhilafahan Bani Umayyah, Abbasiyyah dan yang serupa dengan mereka. Dan bolehlah bagi mereka mendebat orang yang mengkafirkan orang-orang yang serupa dengannya dengan thariqah yang diinginkan Syaikh dan para pengekornya ini.
Adapun apa yang ada pada masa kita sekarang ini maka ia adalah: “Qadli yang memutuskan dengan undang-undang positif yang kafir, begitulah kebiasaan dia dan sistemnya”!!
Maka silahkan Syaikh bertanya kepada kami tentang orang-orang semacam ini bila mau…!!!
Kita tidak berada di masa Khilafah Bani Umayyah dan tidak pula di masa Bani Al ‘Abbas…!!!
Dan orang yang masih tidur dan lalai hendaklah ia cepat bangun dan sadar…!!!
Yang ada pada masa kita hari ini adalah: “tidak ada sanksi kecuali dengan penegasan dari undang-undang” dan “kewenangan pembuatan undang-undang berada di tangan raja atau amir atau presiden sesuai ketentuan UUD” dan “Ketiga kekuasaan –di antaranya yudikatif– melaksanakan kekuasaannya sesuai ketentuan UUD”109
Qadli (hakim) di kita pada hari ini tidak melaksanakan kekuasaan (kewenangan hukumnya) kecuali sesuai (menurut) point-point (ketentuan) UUD dan undang-undang kafir, dan ia tidak memiliki hak kecuali itu; yaitu: “begitulah kebisaaan dia dan sistemnya…!! Wahai Syaikh…!!!”
Dan orang semacam ini adalah kafir dengan sebab komitmen dia atas hal ini dan dengan sekedar penerimaannya akan jabatan hakim sesuai cara kebisaaan dan sistem ini…!!! Walaupun dia itu tidak menerapkan undang-undang tersebut dan tidak memutuskan dengannya sama sekali, karena dengan perbuatan itu dia telah membatalkan tauhid dan jatuh dalam syirik dan tandid, dengan keinginannya dan penerimaannya akan tahakum (perujukan hukum) kepada aturan thaghut, dan bahasan tentang ini telah lalu dalam firman-Nya ta’ala: “Apa kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa yang sudah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu, mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka sudah diperintahkan untuk kafir terhadapnya”, dan untuk lebih jelasnya, sesungguhnya keumuman para Syaikh hari ini –sangat disayangkan– tidak memahami apa itu qanun (undang-undang)…!!! namun demikian mereka mengeluarkan fatwa dalam masalah-masalah ini tanpa dasar ilmu, petunjuk dan bashirah.
Kami bertanya kepada Syaikh dan para muqallid-nya pertanyaan yang jelas, yaitu:
Andaikata jabatan qadli (hakim) pada hari ini tidak memutuskan hukum kecuali dengan ajaran Injil yang sudah dihapus…!!! Dan si qadli atau si hakim tidak menjabat posisinya itu kecuali dengan terlebih dahulu bersumpah atas Nama Allah Yang Maha Agung serta berjanji untuk menerapkan dalam putusannya dan sistem hukumnya teks-teks Injil…!!! Dan ia (berjanji) untuk setia kepadanya…!!! Dan hal itu diterima oleh orang yang mengaku Islam serta ia menjabat sebagai qadli di atas syari’at ini…!!!
Maka orang semacam ini, apakah kalian di dalam hal itu membedakan antara orang yang menerapkan itu dan menghukumi dengannya sekali atau dua kali atau tiga kali… dst…???!!!
Saya tidak ingin terus mengulang-ulang apa yang dikatakan Syaikh tentang orang-orang yang menyelisihinya: “(bahwa) mereka itu tidak akan mengetahui jawaban! Dan tidak akan mendapatkan kebenaran”
Akan tetapi saya katakan: Sesungguhnya qadli semacam ini menurut kami dan menurut ‘aqidah kami adalah kafir dan lepas dari millah dengan sekedar penerimaan dia terhadap jabatan itu dan komitmen dengannya atas dasar syarat dan ketentuan itu serta kebisaaan dan cara itu, meskipun dia tidak memutuskan dengan hal itu dan tidak menerapkannya sama sekali…!!!
Adapun orang yang memutuskan dengannya!!! Maka orang ini telah disebutkan oleh Ibnu Hazm bahwa dia kafir dengan ijma kaum muslimin… di mana beliau berkata dalam Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam: “Tidak ada perbedaan antara dua orang dari kaum muslimin bahwa orang yang memutuskan dengan hukum Injil berupa suatu yang tidak datang wahyu dengan nash terhadapnya dalam syari’at Islam, maka sesungguhnya dia itu kafir musyrik lagi keluar dari Islam”. Selesai 2/958
Dan hal seperti itu kami katakan pula pada orang yang melimpahkan pada dirinya atau pada orang lain kewenangan pembuatan hukum yang muthlaq, sebagaimana yang telah lalu dalam teks UUD mereka bahwa mereka “Menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada raja atau amir atau presiden dan para anggota parlemen”, maka ini adalah kekafiran kepada Allah Yang Maha Agung… baik –orang yang melimpahkan hal itu kepada dirinya atau kepada orang lain itu– melakukan pembuatan hukum ataupun tidak.
Karena ia itu seperti orang yang berkata “Aku adalah tuhan kalian tertinggi”, maka ia itu kafir, baik ia meminta dari manusia agar mengibadatinya ataupun tidak meminta, dan baik mereka mengibadatinya ataupun tidak mengibadatinya. Dan bagi hal seperti itu tidak boleh dikatakan apakah dia menganggap halal ataupun tidak menganggap halal…!!!
Oleh sebab itu kami –wahai Syaikh– sebagaimana yang telah lalu tidak berhujjah saat kami mengkafirkan orang-orang semcam mereka itu dengan firman Allah ta’ala: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir” (Al Maa-idah: 44) yang zhahirnya mencakup dua macam pemutusan yang telah lalu yang mana Murji’ah modern mencampuradukkan di antara keduanya.
Sama sekali tidak… dan kami tidak menceburkan diri bersama kalian dalam debat dan tarik ulur seputar ayat ini…
Meskipun pada hakikatnya ia adalah hujjah bagi kami dalam realita zaman kita ini, karena sesungguhnya penempatan aslinya sebagaimana yang telah lalu adalah pada macam para penguasa zaman kita ini.
Namun kami tidak berhujjah terhadap macam realita pembuatan hukum syirik ini kecuali dengan firman-Nya ta’ala: “Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan yang menetapkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Allah izinkan” (Asy Syuuraa: 21). Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala wa ta’ala: “Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka untuk membantah kamu. Dan bila kamu menuruti mereka maka sesungguhnya kamu adalah orang-orang musyrik” (Al An‘aam: 121).110 Dan firman-Nya ta’ala: “Mereka menajdikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab selain Allah…” (At Taubah: 31). Dan firman-Nya ta’ala: “…Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya” (Al Kahfi: 26). Dan dengan firman-Nya ta’ala: “Maka apakah hukum Jahiliyyah yang mereka cari, dan siapakah yang lebih baikhukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini” (Al Maa-idah: 50)111. Dan dengan firman-Nya ta’ala:“Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu. Mereka ingin berhakim kepada thaghut, padahal mereka sudah diperintahkan untuk kafir kepadanya…” (An Nisaa’: 60).
Dan hal-hal serupa itu, agar kita memperkenalkan kepada orang yang diajak bicara bahwa realita hukum hari ini adalah pembuatan hukum thaghut yang syirik lagi kafir yang menggugurkan kalimah tauhid, sehingga dia tidak menyibukkan diri dengan penyulapan dan pengkaburan serta pembauran Ahlut Tajahhum Wal Irja seputar ayat pertama tadi.
Adapun ucapan Syaikh setelah itu: “di waktu mereka mampu melakukan kebalikan itu secara pasti, bila diketahui darinya bahwa ia dalam putusan pertama telah menganggap baik pemutusan dengan selain apa yang Allah turunkan –seraya meyakini kehalalannya– dan menganggap buruk hukum syar’i, maka saat itulah vonis murtad atas dia itu shahih dan dari kali yang pertama”. Selesai hal 67-68.
Maka kami katakan: Bahkan tanpa kali yang pertama dan sebelum dia melakukan kali yang pertama…!!!
Dan di sini adalah kekafiran akbar yang berlapis-lapis…
Karena menganggap halal al hukmu bighairi ma anzalallah adalah kufur akbar, dan menganggap buruk hukum Allah adalah kufur akbar, serta begitu juga menganggap baik al hukmu bighairi ma anzalallah terutama bila kita memperhatikan bahwa mereka itu menempatkan ucapan ini pada realita undang-undang buatan thaghut hari ini…!!! Jadi menganggap bagus hukum thaghut yang mana kita diperintahkan untuk bara darinya dan kafir terhadapnya adalah kekafiran juga…
Sedangkan Syaikh tidak memfatwakan murtadnya si hakim, kecuali bila dia menggabungkan itu semuanya…!!!
Padahal sesungguhnya masing-masing dari tiga hal ini adalah kekafiran, baik si hakim itu memutuskan dengan selain yang telah Allah turunkan ataupun tidak.
Bahkan andaikata si hakim itu memutuskan dengan Islam yaitu (dengan apa yang telah Allah turunkan); sedangkan ia menganggap bagus selain hukum Allah dan memandang bahwa hukum selain-Nya adalah lebih utama, makanya tentulah ia kafir.
Dan andaikata ia memutuskan dengan Islam sedang dia meyakini kehalalan pemutusan dengan selainnya tentulah dia itu kafir.
Dan andaikata ia memutuskan dengan Islam sedang dia menganggap buruk hukum Allah tentulah dia kafir.
Sehingga tidaklah butuh pada syarat-syarat seperti ini yang mana ia pada hakikatnya adalah ungkapan murahan yang tidak berfaidah sama sekali…!!!
Sungguh ini adalah pembelokan dari kenyataan, karena pembicaraan kami adalah tentang pemberlakuan (hukum) thaghut dan tahakum kepadanya serta pembuatan hukum di samping Allah dalam apa yang tidak Dia izinkan. Dan masing-masing dari perbuatan ini adalah telah divonis sebagai kekafiran dengan sendirinya oleh Allah, dan Dia mendustakan iman para pelakunya, maka kenapa kalian membelok darinya dan malah mengembalikan masalahnya kepada hati, penghalalannya dan keyakinannya…???!!!
Bukankah ini adalah hakikat madzhab Jahmiyyah dan Murji’ah dalam Bab Al Iman…!!!???
Dan ketahuilah bahwa saya setelah menulis ungkapan ini tertuju kepada realita bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin sesudah tempat ini beberapa halaman, yaitu hal 72-73 dari (Kitab At Tahdzir) telah memberikan komentar terhadap ucapan Al Albaniy seraya mengoreksi sesuatu yang serupa ini,… ia berkata: “Akan tetapi kami (bisa jadi)112 menyelisihinya dalam masalah bahwa ia tidak memvonis kafir mereka, kecuali bila meyakini kehalalan hal itu. Masalah ini membutuhkan pengamatan, karena kami mengatakan: Siapa yang memutuskan dengan hukum Allah sedang ia meyakini bahwa hukum selain Allah adalah lebih utama maka ia kafir –meskipun ia memutuskan dengan hukum Allah– dan kekafirannya adalah kufur keyakinan, akan tetapi pembicaraan kita adalah tentang amal. Dan dalam (perkiraan saya), bahwa tidak mungkin bagi seseorang menerapkan qanun (undang-undang) yang menyelisihi syari’at; di dalamnya dia menghukumi hamba-hamba Allah kecuali dia itu menghalalkannya dan meyakini bahwa ia lebih baik dari hukum syari’at, maka dia itu kafir. Inilah yang zhahir, dan kalau tidak demikian maka apa gerangan yang membawa dia untuk melakukan itu?”. Selesai hal 73113

Dan perkataannya itu masih memiliki sisa yang akan kami komentari nanti.
Kemudian Syaikh (Al Baniy) berkata hal 71-72: “Telah saya katakan –dan saya masih mengatakannya– kepada mereka orang-orang yang mendengung-dengungkan pengkafiran para pemimpin kaum muslimin. Taruhlah para penguasa itu kuffar dengan kufur riddah! Dan taruhlah –juga– bahwa di sana ada pemimpin yang lebih tinggi di atas mereka !!. Maka suatu yang wajib –sedang keadaannya seperti ini– adalah si pemimpin yang tertinggi ini menerapkan had terhadap mereka. Akan tetapi sekarang: Apa yang kalian petik dari sisi ‘amaliyyah andaikata –saja– kami terima bahwa para pemimpin itu kuffar dengan kufur riddah? Apa yang bisa kalian lakukan dan kalian perbuat?. Bila mereka berkata: Wala dan Bara!! Maka kami katakan: Wala dan Bara itu berkaitan dengan muwalah dan mu’adah (permusuhan) –qalbiyyah (hati) dan ‘amaliyyah (praktek)– dan sesuai kemampuan, sehingga tidak disyaratkan untuk keberadaan keduanya pernyataan takfier secara terang-terangan dan vonis murtad di hadapan umum… Bahkan sesungguhnya al wala dan al bara kadang diterapkan kepada ahli bid’ah atau ahli maksiat atau orang zhalim. Kemudian saya katakan kepada mereka itu: Ini mereka orang-orang kafir telah menjajah banyak tempat dari negeri Islam! –sedang kita sayang sekali telah mendapat bencana dengan penjajahan Yahudi terhadap Palestina– maka apa yang kami dan kalian bisa lakukan terhadap mereka, sehingga kalianpun hanya  berdiri menghadapi para penguasa yang kalian kira dan kalian klaim bahwa mereka itu kuffar?” Selesai.
Adapun ucapannya: “Akan tetapi sekarang: apa yang kalian petik dari sisi amaliyyah andaikata –saja– kami terima bahwa para pemimpin itu kuffar dengan riddah? Apa yang bisa kalian lakukan dan kalian perbuat?”
Maka saya katakan: “Sesungguhnya di antara hal yang sangat menyakitkan adalah pertanyaan semacam itu muncul dari orang yang terkenal dan sejumlah besar manusia memandang kepadanya bahwa ia adalah seorang ulama dari ulama kaum muslimin yang mana mereka mencontoh kepadanya dan mengikuti fatwa-fatwanya.

102 Lihat Kitab kami: Kasyfun Niqab dan Al Ajwibah Al Munirah ‘Ala As-ilati Ahlil Jazirah dan Al Isyraqah Fi Sualat Sawwaqah dan yang lainnya.
103 Ibnu Hazm berkata dalam Al Fashl 3/245 tentang ayat ini: “Dia ta’ala menegaskan bahwa perolok-olokan terhadap Allah ta’ala, ayat-ayat-Nya atau terhadap seorang Rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Al Iman. Dan dalam hal itu Allah ta’ala tidak berkata: “Sesungguhnya Aku telah mengetahui bahwa dalam hati mereka itu ada kekafiran”, namun Dia menjadikan mereka kafir dengan sekedar perolok-olokkan itu. Dan siapa yang mengklaim selain ini maka dia telah menyandarkan kepada Allah ta’ala apa yang tidak pernah Dia katakan dan berdusta atas nama Allah” selesai.
104 Asy Syaukaniy berkata dalam firman-Nya ta’ala: “…Kami tidak bermaksud kecuali berbuat baik dan penyelarasan…” “yaitu kami tidak bermaksud dengan sikap berhakim kami kepada selainmu, kecuali berbuat baik bukan berbuat buruk, dan penyelarasan antara kedua pihak yang berseteru bukan (untuk) menyelisihimu”. Selesai dari Fathul Qadir.
105 Di mana dia berkata dalam muqaddimahnya hal (26): “Manakah dalil ilmiy yang pasti yang membedakan antara tidak memutuskan dalam suatu masalah, atau sepuluh atau seratus, atau lebih banyak, dengan orang yang meninggalkan al hukmu bi maa anzalallah dalam dasar hukumnya? Baik sikap meninggalkan ini dilakuakn pemimpin di tengah rakyatnya atau kepala keluarga di tengah keluarganya” selesai.
Perhatikanlah bagaimana dia berpura-pura buta dari kufur tawalliy dan i’radl (keberpalingan) yaitu (meninggalkan jenis amal secara keseluruhan) dan ini tidak ragu lagi adalah bagian dari buah penelantaran bahkan pengguguran Ahlut Tajahhum Wal Irja terhadap rukun amal dari al iman.
Kemudian perhatikan bagaimana dia berpura-pura buta dari realita pembuatan undang-undang tahghut yang dilakukan para penguasa hari ini, oleh sebab itu engkau melihat dia menyamakan antara penguasa yang pada hari ini memegang kendali kekuasaan yudikatif, eksekutif dan legislatif thaghutiy…!!! Dengan kepala keluarga di tengah keluarganya…!!! Sesungguhnya bukan pandangan mata yang buta, tapi mata hati yang di dadalah yang buta…!!
106 Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah hal: 324
107 Majmu Al Fatawa 35/388, Syaikhul Islam berkata langsung setelah bagian ini: “Adapun bila dia menghukumi kebatilan dan kebatilan sebagai al haq, sunnah sebagai bid’ah dan bid’ah sebagai sunnah, hal ma’ruf sebagai kemungkaran dan kemungkaran sebagai yang ma’ruf, dia melarang apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dan dia memerintahkan apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, maka ini warna lain yang mana Rabbul ‘Alamin dan Ilahal Mursalin Maliki Yaumuddin memutuskan di dalamnya” selesai. Dan ketahuilah bahwa Al Halabiy telah menukil potongan ini dari ucapan Ibnu Taimiyyah di catatan kaki muqaddimahnya hal (25) dan ia memberikan image kepada pembaca dan memahamkannya bahwa Syaikhul Islam tawaqquf pada ucapannya yang akhir ini tentang keadaan macam ini.
108 Perbedaan antara orang yang mengakui dan menetapkan syari’at Allah lagi berkomitmen padanya lagi mengakui sikap maksiatnya pada suatu kali atau suatu kejadian yang mana ia menyelisihinya di dalamnya, dengan orang yang menjadikan selain syari’at Allah sebagai rujukan (acuan)… !!!
109 Sebagaimana dalam pasal 24 UUD Yordania ayat (1) di antaranya: (Rakyat adalah sumber segala kekuasaan) ayat (2): (Rakyat menjalankan kekuasaannya sesuai ketentuan yang dijelaskan UUD).
110 Lihat apa yang diutarakan Ibnu Abbas radliallahuanhu dalam sabab Nuzulnya dan ucapan Asy Syinqithiy seputar itu.
111 Lihat ucapan Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini.
112 Dan ketahuilah bahwa di sini Al Halabiy telah memberikan komentar pada catatan kakinya terhadap catatan kaki !!! terhadap ucapannya (Ibnu Utsaimin,ed): (bisa jadi) dan (menurut perkiraan saya), seraya berkata: “Perhatikanlah –semoga Allah memberikanmu taufiq– sikap kehati-hatian Syaikh yang mulia dalam hal ini –dalam ucapannya (bisa jadi) dan dalam ucapannya (dalam perkiraan saya)– dan sikap penuh pertimbangan dan kewaspadaannya. Dan silahkan bandingkan itu dengan sikap ketergesa-gesaan sebagian (orang-orang bodoh)…” selesai hal 72.
Perhatikanlah bagaimana karena ta’ashshubnya dia memuji, termasuk pada ungkapan (bisa jadi) dan pengikutan zhann (perkiraan) yang telah dicela oleh Allah dalam Kitab-Nya, dan dia menyayanginya, padahal ungkapan ilmiyyah yang benar lagi tegas bukanlah seperti itu, akan tetapi itu adalah penyakit-penyakit taqlid dan fanatik buta yang tercela serta hawa nafsu, di mana mata hawa nafsu picik dari setiap aib…
113 Dan perlu diketahui bahwa saya mengutarakan ucapan Ibnu Utsaimin di sini hanyalah untuk menjelaskan kepada anda bahwa pendapat yang selalu didengung-dengungkan Al Halabiy ini bukanlah hal yang disepakati termasuk di kalangan para pengaku salafiy dan syaikh-syaikhnya yang dijadikan oleh Al Halabiy sebagai bagian ulama umat ini dan bahwa kesepakatan mereka itu !! tidaklah jauh melenceng bila orang menilainya sebagai ijma…!!!
Dan saya menuturkannya bukanlah sama sekali dalam rangka menganggapnya dan berhujjah dengannya, karena kami tidak merasa butuh dengan apa yang dikatakan Ibnu Utsaimin dan ulama-ulama pemerintah lainnya yang seperti dia, dan kami bukan tergolong orang-orang yang bersemangat untuk mengumpulkan fatwa-fatwa mereka dalam maslah-masalah ini atau kami mati-matian dalam menafsirkan maksud mereka di dalamnya.
Bahkan kami demi Allah sangatlah berkeberatan dari menukil dan menuturkan apa yang sejalan dengan al haq dari ucapan-ucapan mereka dalam tulisan-tulisan kami, karena khawatir dari talbis (pengkaburan) di hadapan para pemuda dan khawatir dari memberikan dugaan bahwa kami merekomendasikan para ulama-ulama pemerintah itu dan mengakui mereka sebagai rujukan yang telah dipasang para thaghut untuk umat ini.
Karena hal yang wajib adalah mentahdzir dari kebid’ahan-kebid’ahan dan kesesatan-kesesatan mereka dalam masalah imamah, bai’at terhadap para thaghut kufur dan penyimpangan-penyimpangan mereka lainnya, dan mengingatkan para pemuda terhadap hal itu bukan ikut serta dalam talbis dengan menjadikan mereka sebagai panutan dan tauladan serta tempat ijma…!!!
Maka bagaimana bila ucapan mereka itu tidak jelas teratur dan di dalamnya terdapat “bisa jadi” dan “perkiraan”… atau memberikan anggapan maksud kaum Jahiliyyah, sebagaimana ia itu ada di sini dalam ucapannya: “Dan dalam perkiraan saya bahwa tidak mungkin bagi seseorang menerapkan qanun yang menyelisihi syari’at; di dalamnya dia menghukumi hamba-hamba Allah kecuali dia itu menghalalkannya dan meyakini bahwa ia lebih baik dari hukum syari’at, maka ia itu kafir…” Selesai.
·       Ini bila ia memaksudkan bahwa pemberlakuannya akan aturan-aturan kufur adalah kekafiran dengan sendirinya, yaitu ia adalah dalil terhadap lenyapnya iman di hati atau dalil terhadap kekafiran bathin, terus siapa yang melakukan hal itu maka dia kafir lahir dan bathin, yaitu bahwa itu adalah hukum dan bukan batasan untuk hukum, maka ini tidak apa-apa dan ini ditunjukkan oleh firman-Nya ta’ala:
“Dan andai mereka itu beriman kepada Allah, Nabi dan apa yang diturunkan kepadanya, tentulah mereka tidak menajdikan (orang-orang kafir) itu sebagai auliya” dan firman-Nya swt “Demi tuhanmu mereka itu tidak beriman sehingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim…” dan firman-Nya “Apakah engkau tidak memperlihatkan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada engkau dan apa yang telah diturunkan (kepada rasul-rasul) sebelum engkau, mereka ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka itu telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya…”
·         Adapun bila ia ingin memaksudkan dengannya ta’lil (pemberian alasan) dan taqyid (pembatasan hukum), di mana (orang yang menerapkan (hukum) thaghut tidak dikafirkan, kecuali bila ia menganggap halal hal itu dan meyakini bahwa itu lebih baik dari syari’at), sehingga maksudnya atas dasar itu; bahwa setiap orang yang menerapkan qanun yang menyelisihi syari’at, sungguh dia melakukan itu karena ia menganggap halal hal itu dan meyakini bahwa ia lebih baik dari syari’at, jadi istihlal ini dan rusaknya keyakinan adalah kekafirannya ~yang mana ia dikafirkan dengannya~ bukan pemberlakuannya akan undang-undang, maka ini adalah pendapat yang rusak, dan telah kami jelaskan dalam kitab kami Imta’un Nazhar Fi Kasyfi Syubuhati Murji-atil ‘Ashri bahwa pembatasan dan pensyaratan ini dalam perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan adalah paham dan metode Jahmiyyah yang mengatakan bahwa sujud kepada berhala dan patung atau membunuh para Nabi dan membuang mushhaf ke tempat kotor serta perbuatan-perbuatan mukaffirah lainnya adalah bukan kekafiran dengan sendirinya, namun ia adalah tanda yang menunjukkan bahwa pelakunya meyakini kekafiran, sehingga bila mereka mengkafirkannya, maka karena sebab keyakinannya bukan karena amalannya itu.

Back Top

0 komentar:

Posting Komentar